Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FIQH

Hukum-Hukum Talak, Dan Khulu’


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
DosenPengampu:
“Dr. Yahya Zahid Ismail M.Pd.I”

DisusunOleh :
1. Usamma AS Sabits
2. Nugroho Agung Purwandani
3. Rintih Tri Lestari
4. Sri Wahyuni
5. Muhammad Nazrul Faizin

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


SUNAN GIRI TRENGGALEK
KATAPENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah Swt, atas


seluruh nikmat, rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang telah dianugerahkan
kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
Rosululloh Saw,beserta keluarga dan pengikut setianya, semoga kesuksesan
senantiasa terwujud dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Sejalan dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan
terimakasih banyak kepada:
1. Dr. YahyaZahidIsmail, M.PdI,selaku Ketua Sekolah Tinggi lmu
Tarbiyah Sunan Giri selaku dosen pengampu mata kuliah fiqih.
2. Semua pihak yang turut membantu dalam pembahasan materi ini.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sedemikian
rupa.Akhirnya,semoga Alloh meridhoi usaha kami dan mencatat nya sebagai
amal saleh kami.Dan apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang ada dalam
makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami akan selalu
berkenan untuk menerima setiap kritik dan saran. Semoga materi ini bisa
menambah wawasan ilmu yang barokah bagi kita semua. Amien.

Trenggalek,22Februari2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................4
C. Tujuan Pembahasan................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................5
A. Pengertian Talak.....................................................................................5
B. Kesaksian Talak.......................................................................................6
C. Hukum Talak...........................................................................................11
D. Lafadz Talak............................................................................................12
E. Bilangan Talak.........................................................................................12
F. Pengertian Khulu’...................................................................................15
G. Syarat dan Rukun Khulu’......................................................................17
H. Akibat Hukum Khulu’............................................................................18
I. Hukum Khulu’ dan Menurut KHI........................................................20
BAB III PENUTUP.............................................................................................23
A. Kesimpulan..............................................................................................23
B. Saran.........................................................................................................24

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya,
sementara suaminya sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di
bawah tangan) sebanyak tiga kali yang dijatuhkan terpisah dalam tiga kali
kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk kembali karena
mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan
menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani
karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.
Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan,
kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan hak
dan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci istri
atau istri membenci suami. Dalam keadaan seperti ini islam berpesan agar
bersabar dan sanggup menahan diri dan menasehati dengan obat penawar yang
dapat menghilangkan sebab-sebab timbulnya rasa kebencian.
Dan Islam memberikan solusi yang terbaik kepada kedua
pasangan(suami- istri). Jika istri bermasalah maka solusinyan dengan Thalaq.
Dan jika suami yang bermasalah maka solusinya dengan khulu’.
Khulu’ terdiri dari lafazkha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab, secara
etimologi bearti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkan dengan
kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu
sebagai pakaian istri dan istri merupakan pakaian bagi suaminya.
Khulu’ itu perceraian kehendak istri. Hukumnya menurut jumhur ulama
adalah boleh atau mubah.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah menghindarkan si istri dari
kesulitan dan kemudaratan yang dirasakan bila perkawinan dilanjutkan tanpa
merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas
permintan cerai dari istrinya itu.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam-macam thalak ?
2. Apa yang dimaksud dengan Khulu’ ?
3. Apa sajakah syarat dan rukun Khulu’ ?
4. Bagaimana akibat hukum Khulu’ ?
5. Bagaimana pemberlakuannya hukum khulu’ dan KHI ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Tentang materi talak 3 dengan satu kalimat dalam satu
waktu.
2. Untuk mengetahui apa itu khulu’.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun khulu’.
4. Untuk mengetahui akibat hukum khulu’.
5. Untuk mengetahui hukum khulu’ dan menurut KHI.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Talak
Talak dalam bahasa Indonesia diartikan perceraian yang artinya
terputusnya tali perkawinaan yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap
istrinya. Maksudnya adalah perceraian karena talak adalah seorang suami yang
menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau talak atau
kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah
talak yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga dan apakah ucapan talak itu
diucapkan talak dua atau tiga sekaligus pada satu kejadian atau peristiwa,
waktu dan tempat yang berbeda.Para ahli hukum Islam (fukaha) berpendapat
bahwa bila seseorang mengucapkan kata-kata talak atau semisalnya terhadap
isterinya maka talaknya dianggap sah dan haram hukumnya bagi keduanya
melakukan hubungan biologis sebelum melakukan rujuk atau ketentuan hukum
lain yang membolehkan mereka bersatu sebagai suami isteri.Para fukaha
berbeda pendapat tentang kata-kata talak atau semisalnya yang diucapkan oleh
suami kepada isteri dalam kondisi sadar atau tidak misalnya suami dalam
kondisi mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau ketika
dalam kondisi marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat
menghilangkan keseimbangan jiwa suami atau karena dalam kondisi dipaksa.
Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam
menjelaskan bahwa talak dalam bahasa arab artinya melepaskan dan
meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak adalah perceraian ……
antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1776 ).
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as Sunnah memberi definisi bahwa talak dalam
terminology bahasa adalah “ al-irsalu wa al-taraku” artinya melepaskan dan
meninggalkan. Sedangkan menurut istilah hukum talak adalah “ hillu rabithatin
al zuwaj “ artinya melepaskan ( ikatan ) tali perkawinan. ( Sayyid Sabiq
1975:241)
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
No.1/1974) dan Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975( PP.No 9/1975 )

5
tentang Pelaksanaan UU No.1/1975 dalam pengertian umum tidak terdapat
definisi talak, kecuali definisi talak dapat dilihat pada pasal 117 Kompilasi
Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai berikut :
“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129,130 dan 131”
Bunyi pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan
sidang untuk keperluan itu “

B. Kesaksian Talak
Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam
Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya
memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan
talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka
berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami
terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap
isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka
berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami
dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Berbeda halnya dengan ulama Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat
bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu
disaksikan oleh dua orang saksi dengan mengambil argumerntasi pengertian
secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1783)
yang berbunyi sebagai berikut :
artinya :…. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…..(Q.S. at-
Talak ayat 2).
Imam Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya

6
tentang seseorang yang menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia
rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula. Imran bin Husain ketika itu
menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai dengan sunah (Rasulullah) dan
dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah
talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis
kutip di atas maka talak yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya
selain setelah mengikuti sidang-sidang dan mendapat izin dari Pengadilan,
maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian terhadap suami yang akan
menjatuhkan talak terhadap isterinya.
Tampaknya pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU
No.1/1974 diilhami pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i)
yang mensyaratkan adanya dua orang saksi bila seseorang akan
menceraikan/mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada
perbedaan dan kesamaan tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya
yaitu :
1. Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya
Imam Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam
mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
2. Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang
suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum
positif menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami terhadap
isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan
Sementara Pihak Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD kepada
Mahkamah Agung RI yang dikutip pada awal tulisan ini, maka Pengadilan
(Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut haruslah bijaksana. Dari satu sisi
sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengah-tengah
masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat apresiasi,
karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu mendukung

7
hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari sisi lain
sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk menegakkan hukum
yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undang-
undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan menceraikan/mentalak isterinya
haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap isteri
yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali
Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur
Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat bahwa kesaksian dalam talak
sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun) kepentingan kesaksian
dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Mereka-mereka yang penulis sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam
perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman,
persoalan saksi semakin penting karena waziib ad-diin (tanggung jawab
religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga dikhawatirkan
talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.” (A.Z. Dahlan
1996:1783).
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya
perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan agar seorang suami tidak
semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan yang harus
dipedomani. Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang
ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan
maka solusinya sebagai berikut:
a. Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang
perkawinan bahwa selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak
berperkara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk mengusahakan
perdamaian secara maksimal. jelas bahwa kedua belah pihak berperkara
akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca
Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa
atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak

8
sendiri mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang
tuanya.Apalagi kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan,
maka hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-
pihak menempuh proses mediasi sesuai amanat Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah, bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar
Pemohon/Penggugat membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau
pihak Termohon/Tergugat hadir maka diperlukan persetujuannya) sehingga
tidak ada alasan bagi hakim untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara
yang mereka ajukan ke Mahkamah Syar’iyah ( Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian
tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan
perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum
(positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan
Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan
perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya
hukum. (Mujahidin 2008:172)
b. Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh
pihak suami terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah
Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah wewenang Mahkamah
Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak mentolerirnya, karena
perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang Mahkamah
Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
c. Benarkah bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak
tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah
menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.Menurut pasal 65 dan 82
UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara (perkawinan)
belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua

9
belah pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar
pihak-pihak mengakhiri sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun,
damai tetapi mendamaikan diartikan lebih dari itu, termasuk di dalamnya
upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan kepada
kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi
arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah
menjatuhkan talaknya secara liar (tanpa prosedur yang diatur dalam
Undang-undang).
Karena Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di
bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim atau mediator memberi
nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih Pemohon tidak
dapat lagi rujuk kepada isterinya sebelum isterinya menikah lagi dengan
laki-laki lain dan bercerai setelah adanya hubungan suami isteri.
Nah, karena perceraian itu dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan
isterinya terhadap suami yang kedua tentu juga di bawah tangan, dan
seterusnya dalam proses/langkah-langkah seterusnya. Memang repot dan
memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi masyarakat yang tidak
taat hokum
d. Dapatkah Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang
ketiga.?
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak
ada alasan lagi untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan
sebaliknya hakim tidak dibenarkan memberi putusan dan mengabulkan
permohonan Permohon dengan memberi izin kepada Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-
undang, justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa
perkara tersebut dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim
memberitahukan kepada pihak-pihak bahwamereka tidak perlu datang lagi
dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan diputus

C. Hukum Talak

10
Ulama fikih ( fukaha) berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua
macam yaitu :
a. Wajib. Apabila terjadi peselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim
yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya
bercerai
b. Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk
yang disyariatkan Islam, yaitu :
1. Menalak isteri harus secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua dan
tiga) dan diselingi rujuk.
2. Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan Isteri
tersebut telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.
3. Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara yang
tidak diakui syariat islam yaitu:
1)  Menalak isteri dengan tiga kali talak sekaligus,
2)  Menalak isteri dalam keadaan haidh,
3)  Menalak isteri dalam keadaan nifas, dan Menjatuhkan talak isteri
dalam keadaan suci tetapi telah digauli sebelumnya, padahal
kehamilannya belum jelas.
4. Makruh. Yaitu Hukum Asal dari talak itu sendiri
Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa menjatuhkan talak bid’i
hukumnya haram dan pelakunya mendapat dosa. Akan tetapi apabila terjadi
juga seperti tersebut di atas, maka jumhur mengatakan talaknya tetap jatuh.
Alasan mereka adalah talak bid’i itupun termasuk dalam keumuman ayat-ayat
yang berbicara tentang talak, seperti surah al- Baqarah ayat 229-230, at-Talak
ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW dalam kasus Abdullah bin Umar yang
menjatuhkan talak terhadap isterinya yang sedang haid. Rasulullah bersabda
“Suruh dia kembali pada isterinya sampai ia suci, kemudian suci, lalu suci lagi
setelah itu jika ia ingin menceraikan isterinya itu, dan jika ingin menalak juga
lakukanlah ketika itu (ketika suci belum digauli ( H.R. Muslim, Abu Dawud ,
Ibnu Majash dan an Nasa’i ) ( Abdul Azizi Dahlam et.al 1996:1783)Pengertian
Talak Dalam Hukum Positif.
D. Lafadz Talak

11
Kalimat yang dipakai atau yang disahkan Ulama’ ada 2 macam yaitu :
1.    Sarih ( Terang ) yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang
dimaksud adalah memutuskan tali perkawinan seperti kata sis suami “Kamu
Tertalak” atau “Saya Ceraikan Kamu” Kalimat tersebut tidak perlu dengan
Niat. Jadi apabila contoh kalimat tersebut dilafazkan oleh suami terhadap
istrinya Niat atau tidak berniat maka keduanya harus bercerari kecuali kalimat
tersebut berupa HIKAYAT
2.    Kinayah (sindiran) yaitu kalimat yang masih ragu-ragu seperti kata suami
“pulanglah engkau kerumah keluargamu” atau “pergi dari sini” dsb. Kalimat
sindiran ini tergantung Niat si suami, kalu kalimat tersebut diniatkan utuk talak
maka kuduanya harus bercerai.

E. Bilangan Talak
Setiap orang berhak menalak istrinya dari talak satu sampai dengan tiga.
Talak satu,dua masih bias untuk Rujuk sebelum habis masa Iddahnya dan
boleh menikah lagi kalu masa Iddahnya sudah habis tampa harus si perempuan
menikah dengan orang lain dulu. Sebagaimana Firman Allah
 “Talak (yang dapat dirujuk) Dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (Al-Baqaroh :229
Adapun talak tiga tidak boleh rujuk atau kawin kembali kecuali apabila si
perepuan telah menikah dengan orang lain dan telah di talak pula oleh suami
yang kudua itu. Sebagaimana Firman Allah:
“Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali jika
keduanya akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” (Al-Baqaroh : 230)
Jadi si perempuan yang sudah ditalak oleh suaminya talak tiga boleh
menikah kembali kepada suaminya apabila si istri menikah dengan yang lain
dan sudah dicampuri suami keduanya dan ditalak serta masa Iddahnya sudah
habis dari talak suami yang kedua. Akan tetapi perlu di ingat pernikahan
tersebut benar-benar kehendak suami yang kedua dan kesukaan istri terhadap
suami yang kedua bukan karena kehendak suami yang pertama dan perbuatan
ini tidak diperbolehkan oleh Agama bahkan dimurkai oleh Allah dan Rasulnya

12
Adapun kalimat/cara talak tiga yang di sahkan oleh Ulama’ yaitu
1.    Menjatuhkan talak tiga pada masa yang berlainan contoh suami menalak
istrinya yang pertama kemudian rujuk, setelah itu suami kembali menalak
istrinya yang kedua kemiad rujuk lagi, kemudian si suami kembali menalak
istrinya yang ketiga.
2.    Seorang suami menalak istrinya lalu menikahnya setelah masa iddahnya
habis, begitu juga dengan talak yang kedua si suami menalak istrinya lalu
menikahinya seterlah masa iddahnya habis, kemudian ditalak lagi ketiga
kalinya.
Dalam dua cara tersebut para ulama’ sepakat talak tersebut menjadi talak
tiga, dan berlaku hukum talak tiga yang sudah dijelaskan diatas.
3.    Suami menalak istrinya dengan kalimat “saya talak kamu talak tiga” atau
“saya talak kamu, saya talak kamu, saya talak kamu”
Cara yang ketiga ini para Ulama’ berbeda pendapat yaitu:
a. Jatuh talak tiga dan berlaku segala hokum talak tiga
b. Tidak jatuh sama sekali dengan alasan “Talak tiga bukan perintah
Rasulullh bahkan dilarang oleh beliau, talak tiga di tolak berarti tidak
sah,
c. Jatuh talak satu, dalam hal ini berlaku hokum talak satu. Seuai sabda
Rasulullah yang artinya :
“dari Ibnu Abbas : Sesungguhnya Rakanah telah menalak istrinya
dengan talak tiga pada satu waktu kemudia ia sangat merasa bersedih
atas perceraian itu maka Nabi SAW bertanya kepadanya ‘bagaiman
caramu menalaknya?’ jawab Rakanah ‘Talak tida pada satu
waktu(sekaligus).’ Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya talak
yang demikian itu adalah talak satu, rujuklah kamu kepadanya.” (HR.
Ahmad dan Abu Ya’la dan disahkannya)

Talak3. Adalah talak yang dijatuhkan sesudah talak 2 atau bisa dengan 1x talak
secara jelas spt "aku talak kamu dengan talak 3, dan hukum talak 3 tsb sah. 
Ketika jatuh talak 3 maka suami istri tidak bisa rujuk sebelum istri menjadi
janda orang lain. 

13
Catatan. Talak yang diucapkan 3x atau bahkan lebih namun dalam 1 waktu
tanpa ada kejelasan ucapan talak 3 maka dianggap masih talak 1. 
Misalkan suami mengatakan "aku ceraikan kamu, aku ceraikan kamu, aku
ceraikan kamu" walau 3x ucapan maka dianggap talak 1. Begitu juga ketika
untuk waktu kedua memberi talak. 
Jika seorang suami yang belum pernah memberi talak lalu menjatuhkan talak 3
sekaligus, namun setelah itu suami merasa menyesal dan ingin kembali maka
dianggap talak tsb adalah talak 1. Ada kisah dibalik ini pada jaman Rosulullah,
namun aku tidak bisa menjelaskan karena komentarku akan terlalu panjang,
silahkan cari di google saja. 
Talak oleh istri. 
Istri tidak bisa memberi talak tanpa dasar hukum yang jelas, dalak hal ini istri
minta dipecahkan pada orang yang mengetahui seluk beluk perceraian serta
bersikap adil dan amanah. 
Sebagaimana keterangan jika seorang suami memukul/menyakiti badan atau
hati istri, tidak memberi nafkah lahir dan bathin lalu istri tidak RIDHO maka
bisa jatuh talak. 
Pengertian memukul/menyakiti badan atau hati mempunyai arti tersendiri,
tentunya hal tsb jika diluar batas ketentuan dalam Islam. 
Aturan rujuk istri. 
Sebagaimana rujuk seorang suami maka begitu pula rujuk seorang istri. 
# Perceraian melalui PA. 
Statusku duda cerai lewat PA (Pengadilan Agama). 
Ketika seseorang yang mengajukan gugatan cerai melalui PA maka akan
mengikuti prosedur yang berlaku. 
Jika jatuh vonis hakim dengan mengabulkan gugatan cerai tsb maka jatuh talak
1. 
Hal ini RANCU. Dengan kekuatan hukum negara yang ada maka akan ada
kesenjangan atau permasalahan yang timbul. Aku menemui hal ini beberapa
kali sebelum aku bercerai. 
Sepasang suami istri yang sudah bercerai atas vonis hakim namun dikemudian
hari mereka rujuk kembali biasanya akan mengalami masalah. Mereka harus

14
mengajukan ke PA lagi tentang rujuk tsb. 
Dari sebagian orang yang aku ketahui mereka mengajukan gugatan cerai ke-2
namun tanpa pernikahan resmi yang terjadi karena mereka rujuk dimasa idah
hanya disaksikan tetangga. Hal tsb ditolak PA karena tidak ada rujukan surat
nikah baru yang tanggalnya sesuai dengan tanggal sesudah keluar akta cerai. 
Ada sepasang suami istri ingin rujuk kembali di akhir masa idah istri namun
karena tersandung birokrasi akhirnya ketika sampai di PA masa idahnya sudah
habis maka hal tsb juga ditolak oleh PA atas dasar masa idah sudah habis. 
Aku lebih mengutamakan hukum Allah sesuai tuntunan Syariat yang ada dan
terkesan mengabaikan aturan negara karena menikah dan bercerai adalah
pertanggungan jawab langsung pada Allah, jika kita cerai sah menurut Allah
namun kita berpatokan pada hukum negara maka akan mempersulit diri. 
Sebagai contoh jika seorang suami telah memberikan talak 3 secara dengan
aturan yang ada maka sah mereka bercerai dan hukum dari persetubuhan
mereka adalah HARAM, namun karena belum pernah mengajukan gugatan
cerai ke PA maka sesuai prosedur mereka belum bercerai. Dan dalam kondisi
tsb putusan hakim tetap talak 1 yang tertera pada akta cerai. Ini dialami oleh
teman dekatku sendiri sewaktu di Kalimantan, karena kami perantauan yang
tidak punya waktu untuk mengurus perceraian yang memakan waktu sementara
kami hidup ditengah rimba yang jauh dari kota. Dengan mengikuti aturan
negara dia merasa belum bercerai, namun ketika dia curhat padaku maka aku
jelaskan dan aku berikan rujukan pada alim ulama untuk memperjelasnya.
Kesimpulannya dia telah berzinah selama 6 bulan dengan istrinya karena sah di
mata Allah telah memberi talak 3 sebelumnya.

F. Pengertian Khulu’

Khulu’ menurut etimologi  berasal dari kata ‫ خلع‬yang berarti melepaskan


atau memisahkan.    ‫ل ثوبه‬UU‫ع الرج‬UU‫“خل‬Pria itu melepaskan pakaian-nya.”1 Dan
khulu’ disebut juga Fidyah (Pemberian sebagian besar), Shulh (Pemberian
sebagiannya), dan Mubara’ah (Istri menggugurkan hak yang di miliki dari

1
Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab, Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih (Jakarta: Cahaya,
2007) jil. 3, hlm. 560.

15
suami).2
Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab
secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.3 Karena
seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki, dan sebaliknya sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur’an:
“…mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki), dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka (wanita)…”. (QS. 2:187).4
Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di lakukan oleh suami
istri untuk membebaskan istri dari pernikahannya, dengan syarat si istri
membayarkan sejumlah harta (atau maskawin yang dahulu diberikan), lalu
suami methalaqnya atau mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di berikan
oleh istri kepada suami supaya mengkhulu’nya.5
Terdapat pada buku lain yakni dalam bukunya Jaih Mubarok yang
berjudul “Modifikasi Hukum Islam”, khulu’ dengan bahasa kiasan. Dalam
fikih dikenal istilah khulu’, secara bahasa, Khulu’ berarti melepas. Sedangkan
secara istilah, khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri
terhadap suaminya dengan membayar tebusan ‘iwadh.6
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat suatu
yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
menghendaki untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang
disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya
perkawinan dengan cara ini juga disebut khulu’.7
Menurut pendapat para ulama mengenai khulu’ yang terdapat dalam
bukunya Abdul Rahman yang berjudul “perkawinan dalam syariat islam”,
yakni:
Maliki, khulu sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwad” atau “cerai dengan

2
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Fathur Rakhman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm.
133.
3
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009, cet.3), hlm. 231.
4
Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (jakarta: Rineka Cipta, 1996, cet.2), hlm. 122.
5
Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 163.
6
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.1), hlm. 259.
7
Syarifuddin, op.cit, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia., hlm.197.

16
membayar”, sedangkan menurut ulama Hanafi, berkata bahwa ia menandakan
berakhirnya hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik mengucapkan
kata khulu’ ataupun kata lain yang berarti sama. Dan para ulama syafi’I
berkata, “ia merupaan cerai yang dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu
dan dengan mengucapkan kata cerai atau khulu”. Ia dapat dicapai melalui
perintah Qadhi agar si istri membayar/ memberikan sejumlah tertentu kepada
suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah diberikan suaminya sebagai
maharnya.8

G.Syarat dan Rukun Khulu’


Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang
menjadi karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat
beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan dikalangan
ulama. Adapun yang menjadi syarat khulu’ itu adalah:
1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan
3. Uang tebusan atau iwadh, dan
4. Alasan untuk terjadinya khulu’
a. Suami. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk
khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam thalaq adalah seseorang
yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu
akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan
kesengajaan.
b. Istri yang di khulu’. Istri yang mengajukan khulu’ kepada
suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam
arti, istrinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada
dalam iddah raj’iy.
2) Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena
untuk pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk
syarat ini ia harus seorang wanita yang telah baligh, berakal,

8
Rahman, op.cit, hlm.112-113.

17
tidak berada di dalam pengampuan, dan sudah cerdas dalam
bertindak atas harta.
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya
dengan persetujuan istri. Khulu’ ini disebut khulu’ ajnabi.
Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh
pihak ajnabi tersebut.
3) Adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau iwadh.
4) Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang
dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh.
Menurut ulama ucapan khulu’ terdapat dua macam. Pertama,
menggunakan lafadz yang jelas dan terang atau shahih. Kedua,
menggunakan lafadz kinayah yaitu lafadz lain yang tidak
langsung berarti perceraian tapi dapat digunakan untuk itu.
5) Adanya alasan untuk terjadinya khulu’

H.Akibat Hukum Khulu’9


Perceraian yang dilakukan dengan putusnya Pengadilan Agama adalah
perceraian yang dilakukan berdasarkan suatu gugatan perceraian oleh istri.
Tatacara perceraian yang berhubungan dengan gugatan, dilakukan
sebagaimana pasal 28 PMA Nomor 3 Tahun 1975. Suatu perceraian dianggap
terjadi beserta akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.10
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat
dirujuk.
1. Khulu’ Tanpa Alasan
Khulu’ hanya  di bolehkan kalau ada alasan yang benar . seperti:
suami cacat badan, buruk akhlaqnya, tidak memberi nafkah lahir batin, dan
tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya,  sedangkan istri khawatir
akan melanggar hukum Allah. Dalam keadaan seperti ini maka istri tidak
wajib memenuhi hak suami. Maka jika tidak ada alasan yang benar, maka

9
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2004, cet.5), hlm. 164.
10
ibid, Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 202.

18
tidak di perbolehkan oleh syariah.
Sebagaimana hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Tirmidzi:  Dari Tsauban ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:
“ Setiap wanita yang minta Thalaq kepada suaminya tanpa alasan
yang di benarkan agama, maka haram baginya mencium semerbak
(wanginya) surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Dari tsauban ra. dari Rasulullah saw bersabda:


“Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita
munafiq”(HR. Tirmidzi).11

2. Iddah perempuan yang di khulu’

Menurut pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling


shahih dari Ahmad bin Hambal, dan juga pendapat Ishaq bin Rahawaih,
bahwa perempuan yang di Khulu’ iddah-Nya satu kali Haid. Sebagaimana
hadis Tsabit, beliau bersabda kepadanya:
“menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit beriddah
dengan satu kali haid dan di “Ambillah miliknya  (Istri Tsabit) untuk mu
(tsabit) dan mudahkanlah urusannya, lalu ia kembalikan kepada
keluarganya” (HR. Nasa’i).12
3. Sighat khulu’
Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan
sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari
salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat
Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab-Qabul
dalam Khulu'. Pada dasarnya, shigat ini harus dengan kata-kata. Namun,
untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya,
maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.
a) Jumhur ulama membolehkan sighah khulu’ di ucapkan dengan kata
jelas atau kiasan, seperti khulu’ atau fasakh seperti‫ بارئتك‬ (Aku
11
Al-Khalafi, hlm. 638.
12
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Penerjemah Dr. M. Thalib, jil. 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990), hlm.
111.

19
melepaskan- Mu) dan suami berkata kepada istrinya ‫ذا‬UU‫ي بك‬UU‫ك نفس‬UU‫بعت‬ 
“Aku menjual diri-Ku dengan sekian”  lalu istri berkata ‫اشتريت‬  “ Aku
membeli-Mu” Atau suami berkata demikian  ‫اشتريت طالقك بكذا‬   “Belilah
thalaq-Mu dengan sekian”  lalu Istri berkata  ‫قبلت‬  “Aku terima”
Khulu tidak syah bila di lakukan secara Mu’athah (serah
terima), yaitu dengan cara istri memberikan tebusan kepada suami dan
berpisah tanpa keduanya mengucapkan sighat apapun.
b) Imammiyah berpendapat bahwa khulu’ tidak syah bila menggunakan
kata kiasan. Mereka hanya mensyahkan sighat dengan kata khulu’ dan
thalaq, keduanya bisa di ucapkan sekaligus atau salah satu dari
keduanya. Misalnya: Istri berkata ‫بذلت كذا لتطلقني‬  “Aku serahkan sekian
demi engkau menthalaq-Ku” lalu suami berkata:  ‫أنت‬UU‫ف‬  ‫ك‬UU‫خعلتك على ذل‬
‫” طالق‬aku mengkhulu’-Mu atas hal itu maka kamu tercerai”13

I. Hukum Khulu’ dan Menurut KHI

1. Hukum khulu’
Khulu’ itu perceraian kehendak istri. Hukumnya menurut jumhur
ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis nabi. Adapun dasarnya Firman Allah swt dalam surat
Al- Baqarah ayat 229.
“ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”.14

Ayat diatas yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan


'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran
yang disebut 'iwadh.

Riwayat Ibnu Abbas ra.

13
Jannati, op.cit, hlm. 569-570.
14
QS. Al-Baqarah (02) : 229.

20
‫ ثابت بن‬,‫ يا رسول هللا‬:‫عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى هللا عليه وسلم فقالت‬
‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه‬,‫ ولكنى أكره الكفر فى اإلسالم‬,‫قيس ما أعيب عليه فى خلق وال دين‬
:‫لم‬UU‫ه وس‬UU‫لى هللا علي‬UU‫ول هللا ص‬UU‫ال رس‬UU‫ه فق‬UU‫رددت علي‬UU‫ ف‬,‫ نعم‬:‫الت‬UU‫ فق‬,))‫ ((أتردين عليه حديقه‬:‫وسلم‬
.]‫((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى‬

Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin
Syammas datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “ Ya Rasulullah,
aku tidak membenci Tsabit (suami) bukan karena agamanya dan bukan
(pula) karena perangainya (akhlaq), melainkan sesungguhnya aku
khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah bersabda: “ Maka maukah engkau
mengembalikan kebun kepadanya (maksudnya harta yang pernah dahulu
di berikan) ? Jawabnya,” Ya (mau)” kemudian ia mengembalikan
kepadanya dan selanjutnya Rasulullah memerintahkan suaminya (Tsabit)
agar menceraikanya” (HR. Al- Bukhari).15

Kata-kata “sesungguhnya aku khawatir kufur” maksudnya, tidak


suka mendurhakai suami dan meninggalkan kewajiban akibat tidak cinta
lagi terhadapnya.
Namun demikian, khulu’ baru boleh dilakukan apabila betul-betul
ada alasan yang memaksa, seperti kalau suami itu cacat tubuhnya, buruk
akhlaqnya, suka menyakiti istri dan tidak menunaikan kewajiban sebagai
suami, atau dengan bersuamikan dia wanita itu khawatir lalai akan
perintah Allah swt. Jadi kalau tidak ada alasan yang memaksa, hal itu tentu
tidak di bolehkan.16
Demi menghindari masalah bila terjadi ketidak cocokkan antara
suami istri karena hal fisik, agama atau selainnya. Karena itu, semua
ulama fiqh membolehkannya.
2. Menurut KHI
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur
sama sekali dalam UU Perkawinan. Namun KHI ada mengaturnya dalam
15
Al-Khalafi,  Al- Wajiz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil (Jakarta: Pustaka Al- Sunnah, 2006), hlm.
639.
16
Al-Jamal, Fiqh Wanita, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal (Semarang: Asy- Syifa’, 1981),
hlm. 433.

21
dua tempat, yaitu pasal 1 ayat (I) dan pasal 124.
Pasal 1 ayat (I): khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan
istri dengan memberikan tebusan dan atau iwadh kepada dan atas
persetujuan suaminya.
Pasal 124: khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai
ketentuan pasal 116.17
3. Cara melakukan Khulu’
Secara umum Khulu’ dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni:
 Pertama menggunakan kata khulu’,
 Kedua menggunakan kata cerai (talak),
 Ketiga dengan kiasan yang di sertai dengan niat menceraikan.
Dalam qaul qodim imam syafi’i berpendapat bahwa khulu yang
dilakukan dengan menggunakan kata-kata kiasan mengakibatkan fasakh
perkawinan. Yaitu perkawinan itu batal dengan sendirinya. Dan akad
pernikahan tidak berlaku. Sedangkan dalam qaul jadid beliau berpendapat
bahwa khulu’ yang dilakukan dengan menggunakan kata kiasan tidak
mengakibatkan fasakh perkawinan, karena kata-kata kinayah dalam talak
tidak memerlukan niat begitu pula khulu’. 18

17
Syarifuddin, op.cit, hlm. 241.
18
http://salingpengertian.blogspot.com/2011/04/pendahuluan.html.9:00.29/03/2014.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa:
1. Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami terhadap
isterinya di depan persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi izin
kepada suami (Pemohon)
2. Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar,
keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi
perceraian.
3. Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam
sidang Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status
suami isteri secara hukum, sekaligus memberi pendidikan hukum agar
perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses,
pembuktian-pembuktian.
4. Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang
telah menjatuhkan talak liar ditinjau secara hukum serta memberi solusi
terhadap perkara yang diajukan.
 Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk
yang disyariatkan Islam, yaitu :
a. Menalak isteri harus secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua
dan tiga) dan diselingi rujuk.
b. Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli
c. dan Isteri tersebut telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.
5. Khulu’ dapat diartikan talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya atas
permintaan istri dengan pembayaran sejumlah harta kapada suami.
Mengkhulu’ istri dapat dilakukan sewaktu-waktu.
6. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 229 dan hadis
nabi.
7. Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan si istri dari

23
kesulitan dan kemudaratan. Sedangkan hikmah dari hukum khulu’ adalah
tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri.
8. Selain itu khuluk mempunyai rukun dan syarat khuluk. Dan khlu’ itu dapat
dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan hakim atau
oleh hakim.

B. Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik
yang sifatnya membangung sangat kami harapkan. Dengan sadar bahwa apa
yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
senantiasa mengharapkan uluran tangan yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini dikemudian hari. Saya hanya berharap bahwa
makalah ini mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian
tentang Khulu’,dan thalak. Terkhusus dalam menyelesaikan dilema-dilema
yang sering muncul dalam kalangan masyarakat awam mengenai khulu’
ataupun thalak

24
DAFTAR PUSTAKA

Rasjid  H. Sulaiaiman, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensido Bandung 42 :


2009
Taqiuddin Muhammad, Kifayatul Akhyar , Hakim Abdul Hamid, Mu’ainul
Mubin, 2007
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. 1981. Fiqh Wanita. Penerjemah Anshori
Umar Sitanggal. Semarang: Asy-Syifa’.
Al-Khalafi, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2006. Al-Wajiz. Penerjemah Ma’ruf
Abdul Jalil. Jakarta: Pustaka Al-Sunnah.
Jannati, Muhammad Ibrahim. 2007. Fiqh Perbandingan Lima Madzhab.
Penerjemah Ibnu Bafaqih, Alwi. Jakarta: Cahaya. jil. 3.
Mubarok, Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam. jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. cet.1.
Mujieb, M. Abdul dkk. 1994. .Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. jakarta: Rineka
Cipta. cet.2.
Ramulyo, Moh. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi
Aksara. cet.5.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Fathur Rakhman.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayid. 1990. Fiqh Al-Sunnah. Penerjemah Dr. M. Thalib. Bandung:
Al-Ma’arif. jil. 8.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. jakarta:
Kencana Prenada Media Group. cet.3.
QS. Al-Baqarah (02) : 229.

25

Anda mungkin juga menyukai