Anda di halaman 1dari 13

Fiqih Muamalah Munakahah

“Talak”

Kelompok 12 :
1. M. Rizal Farhani
2. Amira fajjriyani (B91217063)

Dosen Pengampu :
H. Fahrur Razi, S.Ag, M.HI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fiqih
Muamalah Munakahah tentang Talak.

Makalah Fiqih Muamalah Munakahah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah Fiqih Muamalah Munakahah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Fiqih Muamalah Munakahah tentang talak
dapat memberikan penegetahuan, ilmu bermanfaat maupun inpirasi terhadap penulis dan
pembaca.

Surabaya, 09 Mei 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan.....................................................................................................
Latar Belakang.................................................................................................
Rumusan Masalah............................................................................................
Tujuan..............................................................................................................

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Talak
B. Hukum Talak
C. Rukun dan Syarat Talak
D. Berbagai Kondisi yang Hakim Dapat Memutuskan Talak
BAB III Kesimpulan

Daftar Pustaka...............................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai umat Islam yang bertaqwa, kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam.
Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-
laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang
membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan, talak, cerai, dan rujuk.
Keempat hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam
Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam
hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan perkawinan. 
Selanjutnya tentang masalah talak, hal ini juga tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari.
Kita ketahui bahwa tindak lanjut dari talak itu sendiri akan berakibat perceraian. Dan
hal itu akan menambah penderitaan dari kaum itu sendiri jika melakukan sebuah
perceraian. Sebagai umat yang paham dan patuh akan ajaran agama seharusnya kita tidak
mudah untuk mengucapkan perkataan talak, dan bermain dengan lafadz-lafadz talak,
karena akibatnya bisa fatal.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian talak?
2. Apa hukum talak?
3. Apa rukun dan syarat talak?
4. Apa saja kondisi yang memperbolehkan Hakim dapat memutuskan talak?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian talak.
2. Mengetahui hukum talak.
3. Mengetahui rukun dan syarat talak.
4. Mengetahui berbagai kondisi yang memperbolehkan Hakim memutuskan untuk
menjatuhkan talak.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Talak
Talak berasal dari akar kata ithlaq, artinya irsal (melepas) dan tark (meninggalkan).
Athlaqtu al-asira artinya aku membuka ikatan tawanan dan melepaskannya. Talak menurut
terminologi syariat adalah melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami-
istri. Atau bisa juga diartikan melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz
tertentu yang mengandung arti menceraikan. Talak merupakan jalan keluar terakhir dalam
suatu ikatan pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan dalam
membina rumah tangga.

B. Hukum Talak
Para ulama Fiqih berbeda pendapat tentang hukum talak. Pendapat yang paling kuat
adalah dilarang, kecuali jika ada keperluan. Pendapat ini dikemukakan oleh Fuqaha’
Hanafiyah dan Hanabillah. Alasan mereka adalah kareba talak mengingkari nikmat Allah,
mengingat pernikahan adalah satu dari sekian nikmat yang Allah berikan, sedangkan
mengingkari nikmat hukumnya adalah haram. Dengan demikian, talak tidak dibolehkan,
kecuali jika sangat diperlukan.

C. Rukun dan Syarat Talak


a) Rukun Talak
1. Kata-kata talak.
2. Suami yang menjatuhkan talak.
3. Istri yang dijatuhi talak.

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak.


Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-
Kasani sebagai berikut:

‫فركن الطالق هو اللفظ الذي جعل داللة على معنى الطالق لغة وهو التخلية واإلرسال ورفع القيد الص??ريح وقط??ع الوص??لة‬
]1[‫ونحوه فى الكناية أو شرعا وهو إزالة حل المحلية فى النوعين أو ما يقوم مقام اللفظ‬

" Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak, baik secara
etimolog iyaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf
al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau

5
secara syara' yang menghilangkan halalnya ("bersenang-senag" dengan) isteri dalam kedua
bentuknya (raj'iy dan ba'in), atau apapun yang menempati posisi lafal"

Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun talak itu dalam
pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu shighah atau lafal yang menunjukkan
pengertian talak, baik secara etimologi, syar'iy maupun apa saja yang menempati posisi lafal-
lafal tersebut.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:

1. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak


itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya) ataupun wali, jika ia masih kecil.

2. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu sengaja
membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal shrih atau lafal kinayah yang
jelas.

3. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mesti terhadap isteri yang
telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.

4. Adanya lafal, baik bersifat sharih ataupun termasuk kategori lafal kinayah.

Adapun menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah, rukun talak itu adal lima, yaitu:
1. Orang yang menjatuhkan talak Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah
seorang mukallaf.
2. Lafal talak Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya
kepada tiga macam. dalam pandangan ulama Syafi'iyyah , lafal atau sighah yang
merupakan salah satu rukun talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal
yang sharihatau kinayah,  isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat
yang sharih maupunkinayah, ataupun melalui penyerahan menjatuhkan talak yang
dikuasakan oleh seorang suami kepada isterinya.
3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama
Syafi'iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang dikeragui cacatnya
kesengajaan, yaitu: 1. Salah ucapan, 2. Ketidaktahuan, 3. Bersenda gurau, 4. Adanya
unsur paksaan, 5. Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat.
4. Wanita yang dihalalkan atau isteri. Apabila seorang suami menyandarkan talak itu
kepada bagian dari tubuh isternya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota tubuh

6
tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun apabila
suami tersebut menyandarkan kepada fadhalat tubuhnya seperti air liur, air susu atau
air mani, maka talaknya tidak sah.
5. Menguasai isteri tersebut.
b) Syarat Talak
Menurut ulama  dari kalangan Hanafiyyah, syarat-syarat talak yang mesti dipenuhi
tersebut diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu ada yang terdapat pada suami, terdapat
pada isteri dan terdapat pada lafal itu sendiri.
Syarat pada suami: (1) Berakal. (2) Suami tidak dungu, bingung, marah hingga
hilang kesadaran akan apa yang diucapkan ataupun sedang tidur. (3) Baligh. (4) Suami harus
meniatkan untuk menjatuhkan talak, jika ia menjatuhkan talak melalui lafal kinayah.
Syarat pada istri: wanita tersebut adalah miliknya atau masih berada dalam masa
'iddah talak. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada wanita yang
bukan isterinya atau tidak berada dalam masa 'iddah maka talaknya tidak sah.

Syarat pada lafal:


a.       Lafal tersebut tidak diiringi oleh istitsna' (pengecualian), baik pengecualian tersebut
bersifat wadh'I maupun 'urfiiy.[31] Demikian menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik
yang menolerir pengecualian yang menggunakan huruf istitsna' seperti: dan lain-lain,
sedangkan pengcualian yang bersifat 'urfi adalah pengecualian yang tidak menggunakan
huruf istitsna' namun mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT (menggunakan kalimat ‫إن‬
‫)شاء هللا‬.[32]

b.      Lafal tersebut tidak ada madhrub fih. Apabila ada Madhrub fih maka tidak jatuh dan yang
jatuh hanya madhrub saja menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.Sedang
menurut Zufar, tidak adanya madhrub fih bukan syarat. Oleh karena itu menurutnya, apabila
dalam kalimat yang menjatuhkan talak itu ada madhrub fihnya maka jatuh talak sesuai
madhrub dan madhrub fih, misalnya seorang suami berkata kepada isterinya:‫أنت طالق واحدة فى‬
‫ثالث وأنت طالق واح??دة فى الثن??تين‬  atau ‫أنت ط??الق اثن??تين? ف الثن??تين‬  (Kamu ditalak satu kali dua, kamu
ditalak satu kali tiga atau kamu ditalak dua kali dua). Namun contoh diatas, madhrub fihnya
adalah ‫ثالث‬ ,‫اثنتين‬dan]33[.‫اثن?تين‬Jadi apabila seorang suami menjatuhkan talak isterinya dengan
kalimat seperti diatas, maka menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad talaknya
tidak sah.Namun menurut zufar talaknya sah sehingga pada contoh pertama talaknya jatuh 2

7
(1 x 2), pada contoh kedua talknya jatuh 3 (1 x 3) dan pada contoh ketiga talaknya jatuh 4 (2
x 2).Adapun menurut ulama Syafi'iyyah, hukumnya tergantung kepada yang diniatkannya.

c.       Syarat yang terdapat pda waktu, yaitu berlalu masa Ila' yang mana masa tersebut (Empat
Bulan) merupakan syarat terjadinya talak dengan cara ila' dan talak tidak jatuh sebelum habis
masa itu.

Adapun menurut jumhur ulama, disyaratkan pada setiap rukun talak yang telah
mereka kemukakan itu beberapa syarat sebagai berikut:

    Syarat-syarat yang terdapat pada orang yang menjatuhkan talak adalah:

a. Orang yang menjatuhkan talak tersebut mesti mempunyai hubungan


pernikahan dengan orang yang menjatuhkan talaknya. Maksudnya, talak itu dijatuhkan oleh
seorang suami kepada isterinya. Adapun dasarnya adalah Hadits Nabi SAW berikut:

]37[)‫م ال طلق إال بعد نكاح وال عتق إال بعد ملك (رواه ابن مادة‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن جابر رضي هللا عنه قال‬

"Diterima dari Jabir r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak ada
talak kecuali setelah ada pernikahan dan tidak ada memerdekakan budak kecuali setelah ada
pemiliknya" (H.R., Abu Ya'la dan Hakim men-shahihkan-nya)

Suami tersebut mesti orang yang mukallaf. Oleh karena itu, tidak sah talak yang
dijatuhkan oleh orang gila dan anak kecil, baik yang belum mumayyiz maupun yang telah
mumayyiz. Hanya ulama Hanabillah yang menyatakan sahnya talak mumayyiz walaupum
umurnya belum sampai 10 tahun

Jumhur ulama juga sepakat berpendapat bahwa ikhtiyar-nya suami termasuk


keabsahan talak. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan terpaksa
hukumnya tidak sah. 

Talak yang dijatuhkan oleh suami yang berada dalam keadaan sangat marah juga
tidak sah dan karenanya tidak mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hukum.

b.      Syarat yang terdapat pada adanya unsur kesengajaan adalah bahwa suami
meniatkan untuk menjatuhkan talak apabila ia tidak mengucapkan lafaz talak yang termasuk
dalam kategori sharih.

8
c.       Syarat yang terdapat pada tempat menjatuhkan talak atau isteri adalah bahwa
isteri tersebut memang benar isterinya bukan isteri orang lain walaupun belum disetubuhi,
atau isterinya tersebut masih berada dalam masa 'iddah talak raj'iy. sebab talak raj'iy tidak
menghilangkan ikatan pernikahan, kecuali 'iddahnya habis.

d.      Terdapat pada al-wilayah 'ala mahal al-thalaq, (menguasai tempat menjatuhkan
talak) yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah.

Syarat yang terdapat pada lafal adalah:


a.       menggunakan lafal yang bermakna talak, baik secara etimologi
maupun ‘urfi atau baik melalui tulisan maupun isyarat yang dapat difahami.

b.      orang yang menjatuhkan talak itu memahami makna lafal itu.

c.       lafal talak itu disandarkan kepada istrinya dalam kalimat.

D. Berbagai Kondisi yang Hakim Dapat Memutuskan Talak

1) Talak karena istri tidak diberi nafkah.

Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad berpendapat pengadilan boleh menceraikan suami-
istri apabila istri menuntutnya karena tidak diberi nafkah dan suami tidak memiliki simpanan
harta. Fuqaha’ Hanafiyah berpendapat bahwa pengadilan tidak boleh menceraikan suami-istri
dengan alasan istri tidak diberi nafkah, baik karena faktor kemiskinan atau tidak mampu. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT.

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
(at-Talaq: 7).

Jika suami enggan memberi nafkah karena zalim, padahal dia mampu, cara
menghilangkan kezaliman itu adalah dengan menjual harta milik suami untuk diberikan
kepada istri sebagai nafkah, atau suami ditahan hingga dia mau memberi nafkah.
Menceraikan suami-istri tidak lazim dilakukan untuk menghilangkan kezaliman ini selama
masih ada cara-cara lain. Jika keadaan suami miskin maka Allah tidak membebani seseorang,
kecuali sesuai apa yang telah Dia berikan kepadanya.

9
2) Talak karena tindakan yang membahayakan istri.

Imam Malik berpendapat bahwa istri boleh meminta hakim menceraikannya dengan
suami apabila dia mengaku suaminya telah melakukan tindakan yang membahayakannya,
tidak mampu lagi untuk terus hidup bersama suami, seperti dipukul, dicela, atau disakiti
dengan cara apapun yang tidak kuat ditahan istri. Hal ini senada dengan pendapat Imam
Ahmad, tetapi Abu Hanifah dan Syafi’I tidak sependapat boleh menceraikan suami-istri
karena tindakan yang membahayakan.

Begitu juga jika suami memaksa istri melakukan kemungkaran, baik dengan kata-kata
atau tindakan maka dia (istri) boleh meminta hakim untuk menceraikannya dari suaminya.
Ketika tuduhan istri benar dan terbukti di hadapan hakim atau suami mengakui dan tindakan
yang dilakukan suami membuat istri tidak mampu untuk terus hidup bersamanya, disamping
itu hakim juga tidak mampu untuk mendamaikan diatara keduanya maka saat itu hakim
berhak menjatuhkan talak ba’in kepada istri.

3) Talak karena kepergian suami.

Talak boleh dilakukan karena suami meninggalkan istri. Demikian pendapat madzhab
Malik dan Ahmad. Malik menilai talak yang berlaku adalah talak ba’in, sedangkan Ahmad
menilainya sebagai fasakh demi menghilangkan bahaya dari pihak istri. Istri berhak menuntut
cerai ketika suami pergi meninggalkannya, meskipun suami memiliki harta untuk keperluan
nafkah istri, dengan syarat:

1. Kepergian suami tidak disertai alasan yang bisa diterima.


2. Kepergian suami membahayakan istri.
3. Suami berada di negeri lain, bukan tempat istri bermukim.
4. Berlalu selama satu tahun dan membahayakan istri.
Batasan satu tahun ini adalah berdasarkan pendapat Imam Malik. Pendapat lain
mengatakan tiga tahun. Imam Ahmad menilai batasan minimal istri boleh menuntut cerai
adalah enam bulan terhitung sejak kepergian suami.
4) Talak karena suami ditahan (dipenjara)
Termasuk dalam masalah ini menurut pendapat Imam Malik dan Ahmad adalah talak
karena suami dipenjara, sebab penahan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi istri karena
suami jauh darinya. Ketika suami divonis penjara selama tiga tahun atau lebih dan putusan
tersebut bersifat final dijatuhkan kepada suami. Kemudian, berlalu satu tahun lebih sejak

10
tanggal eksekusi tersebut, pada saat itu istri berhak menuntut hakim untuk menjatuhkan talak
karena bahaya yang dapat menimpa istri lantaran suami berada jauh darinya. Ketika hal itu
terjadi, hakim boleh menjatuhkan talak ba’in kepada si istri. Ini menurut pendapat Malik. Hal
itu dinilai sebagai fasakh menurut Imam Ahmad.
Sedangkan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa berdasarkan pendapat ini, istri orang
yang ditawan, dipenjara, dan sejenisnya sedang istri tidak bisa mendapatkan manfaat dari
suaminya maka hukumnya sama seperti wanita yang kehilangan suami berdasarkan ijmak.

11
BAB III
KESIMPULAN

Talak berasal dari akar kata ithlaq, artinya irsal (melepas) dan tark (meninggalkan).
Talak menurut terminologi syariat adalah melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri
hubungan suami-istri. Para ulama Fiqih berbeda pendapat tentang hukum talak. Pendapat
yang paling kuat adalah dilarang, kecuali jika ada keperluan.
Rukun Talak secara garis besar ada tiga: 1) kata-kata talak 2) suami yang
menjatuhkan talaq 3) istri yang dijatuhi talak. Berbagai kondisi yang hakim dapat
memutuskan terjadinya perceraian antara suami istri ada empat kondisi: 1) Talak karena istri
tidak diberi nafkah. 2) Talak karena tindakan yang membahayakan istri. 3) Talak karena
kepergian suami. 4) Talak karena suami ditahan (dipenjara).

12
DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai