Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PUTUSNYA PERNIKAHAN TALAK

Dosen Pengampu: Drs. H. Radino, M. Ag

Sheni Nugrahwati Utami 19104010104

Anisy rahmawati 19104010086

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Tahun Akademik 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, saya ucapkan sebagai rasa syukur kami atas kehadirat Allah SWT,
karena berkat nikmat, taufiq, dan Hidayah-Nya sehingga kami sebagai penyusun makalah ini
dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu dan tanpa adanya halangan.

Sholawat serta salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, karena beliau
lah petunjuk bagi manusia baik di dunia maupun akherat.

Makalah yang kami buat merupakan salah satu tugas mata kuliah Fiqh Munakahat dan
Mawaris.

kami berharap semoga makalah ini dapat menambah khazanah pengetahuan serta
membuka cakrawala kita khususnya tentang pengetahuan mata kuliah Fiqh Munakahat dan
Mawaris.

Yogyakarta, 19 Mei 2021

2
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perceraian merupakan suatu permasalahan yang mendapat kajian mendalam


pada fiqih khususnya pada fiqih munakahat. Dalam kajian tersebut permasalah
perceraian mendapat porsi yang cukup besar, sebab selain tentang tata cara perceraian
juga mengatur tentang akibat dari putusnya perkawinan tersebut. Akibat hukum yang
timbul dari perceraian merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
suami istri yang bersepakat untuk memutuskan ikatan mereka.

Dalam makalah sederhana ini akan dijelaskan secara singkat tentang putusnya
perkawinan menurut perspektif fiqih dan hukum positif yang berlaku di beberapa
negara Islam dan tentunya di Indonesia sendiri. Akan nampak perbandingan tentang
ketentuan perceraian tersebut oleh masing-masing negara, baik negara yang
memberlakukan syari’at Islam maupun negara yang memberlakukan hukum Islam
terkhusus kepada peraturan perkawinan di negara tersebut.

Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat
kepada pembaca makalah ini dan terkhusu kepada penulis makalah ini. Saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Putusnya pernikahan talak?
2. Macam macam putusnya pernikahan?
3. Rukun dan syarat putusnya pernikahan?
4. Persaksian putusnya pernikahan?
5. Hukum menjatuhkan putusnya pernikahan?

4
6. Hikmah putusnya pernikahan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Putusnya Perkawinan

1. Perceraian dan Pengembangan Makna Perceraian

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara


pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan
kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama,
karena tidak ada ikatan yang resmi. Secara etimologi perceraian berasal dari kata
“cerai”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “cerai” merupakan kata kerja yang
berarti pisah; putus hubungan sebagai suami isteri; talak. Sedangkan perceraian berarti
perpisahan; perihal bercerai (antara suami isteri); perpecahan. 1 Menurut Subekti
perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu.2 Perceraian dalam istilah fiqh juga sering disebut
“furqah” yang artinya “bercerai”, yaitu “lawan dari berkumpul.”3 Perceraian dalam
istilah ahli figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan
membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul).
Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti
perceraian antara suami-isteri.

Menurut hukum Islam ada beberapa bentuk perceraian sebagai berikut:

a. Talak
Kata talak berasal dari kata “ithlaq”. Sedangkan secara istilah talak menurut
Sayyid Sabiq adalah “melepaskan ikatan perkawinan”.4 Menurut al Jaziry talak
adalah:

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 185
2
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), h.42.
3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 103
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 2007), Juz. II, h. 577

5
‫الطالق ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ مخصوص‬5
talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu
Talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya
ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak
bai’n, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan ikatan perkawinan ialah berkurangnya
hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak
suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak
itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan
suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan thalaq
kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW
yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'isebagai berikut:
‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا علي\\ه وس\\لم ق\\ال ثالث ج\\دهن ج\\د وه\\زلهن ج\\د النك\\اح والطالق‬
)‫والرجعة (رواه األربعة إال النسائي وصححه الحاكم‬
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara
sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main
menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah
kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh Hakim).6
Alasan yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam menjatuhkan
thalaq kepada isterinya adalah karena suami diberi beban membayar mahar dan
menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan
menjamin nafkah bekas isterinya selama ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami
pada umumnya tidak mudah terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya
dan senantiasa mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya. Berbeda dengan
wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai kemelut,
termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh karena itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri
maka keutuhan rumah tangga akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja
dapat  menyebabkan isteri menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.

b. Khulu’

5
Abdurrahman al Jaziry, Fiqh ala mazahib al Arba’ah, (Mesir : Maktabah Al Hijaiyyah Al Kubra,
1969), juz IV, h. 249
6
Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam,
pdf. h. 15

6
Khulu’ berasal dari kata “khala’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau
mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan
juga sebaliknya.7 Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti
menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang
‘iwadh atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau
khulu’. Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk
kepada isterinya. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang
disyaratkan suami.

Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu, ulama menggunakan beberapa
kata, yaitu fidyah, shulh,dan mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun
dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi
untuk putusnya perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut
khulu’. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar disebut shulh, bila ganti rugi itu lebi
banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila isteri bebas dari ganti rugi disebut
mubaraah.8

Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba’in. Maka bila
suami telah melakukan khulu’terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali
kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang telah
dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya,
maka suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan
syaratnya.

c. Fasakh

Fasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan


perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan perkawinan.
Kemudian secara terminologi fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahann oleh
Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dibenarkan oleh
Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum
pernikahan.9
7
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h. 112
8
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum Positif), (Yoqyakarta:
UII Pers, 2011), h. 105-106
9
Ibid., h. 141

7
Thalaq adalah hak suami, khulu’ merupakan hak isteri, sementara fasakh
merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka hak fasakh ada
pada suami, dan begitu juga sebaliknya. Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau
isteri merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai
yang ditentukan agama sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari
keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah tangga
tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu
ditempuh. Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam
praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali
karena suami lebih banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab fasakh adalah sebagai berikut:
1) Syiqaq. Yakni pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin didamaikan.
2) Fasakh karena cacat. Cacat di sini adalah cacat yang terdapat pada diri suami atau
isteri, baik cacat jasmani atau rohani. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah
terjadi perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami isteri bergaul.
Fasakh karena cacat ini dilakukan di lakukan di hadapan hakim Pengadilan dan tidak
dapat dilakukan sendiri setelah pihak-pihak mengetahui adanya cacat tersebut. Hal ini
karena cacat itu harus dibuktikan, yang mana hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan.
3) Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Fasakh dalam hal ini terjadi
karena suami tidak mampu menunaikan kewajiban berupa nafkah dalam berupa nafkah
dalam bentuk belanja, pakaian, dan tempat tinggal.
4) Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan. Termasuk karena dalam hal ini
adalah perjanjian untuk tidak dimadu dan ta’liq thalaq.10
Adapun yang dimaksud dengan pengembangan makna perceraian, dalam hal ini
penulis memahami bahwa pengembangan itu terletak pada prosesnya. Yaitu perceraian
harus melalui pengadilan. Hal ini merupakan bentuk dari pembaharuan hukum keluarga
pada abad ke 20. Proses penyesuaian hukum dilakukan terhadap hukum keluarga ini
berbeda dengan proses yang terjadi sebelumnya dalam bidang lain dari hukum Islam itu
sendiri. Pembaharuan ditandai tidak saja oleh penggantian hukum Islam dengan hukum
Barat, tetapi juga oleh perubahan dalam hukum Islam itu sendiri yang didasarkan atas

10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII, 1980), h. 78

8
penafsiran kembali terhadap tradisi hukum Islam sesuai dengan perkembangan penalaran
dan pengamalannya. Dengan cara inilah hukum keluarga Islam yang berlaku sejak dari
Afrika Utara sampai ke Asia tenggara mengalami perubahan.

d. Li’an
Li’an ialah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan
perbuatan yang elah mengotori dirinya (berzina) alasan suami untuk menolak anak. Li’an
juga berarti sumpah seorang suami apabila ia menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu
diucapkan 4 kali, bahwa tuduhannya benar dan pada sumpah yang kelima ia meminta
kutukan Allah seandainya ia berdusta. Pihak istri juga bersumpah 4 kali apabila ia tidak
berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah yang kelima ia bersedia
menerima kutukan Allah apabila tuduhan suaminya ternyata benar.

B. Macam-macam Talak

 Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah.
Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak
isteri.
 Talak ba’in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri,
talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh
merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas
isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-
nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari
talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak ba’in besar ini mengakibatkan si
suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah
maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang mentalak ba’in besar
isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
o Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
o Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
o Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
o Talah habis masa ‘iddahnya.

9
 Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah
Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang
hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami dalah halal.
 Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran
maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang termasuk talak bid’i
ialah:
o Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.
o Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah
dicampuri.
o Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya
untuk selama-lamanya.
C. Rukun dan Syarat Talak

Rukun talak merupakan suatu unsur yang harus dipenuhi ketika akan melakukan
talak, tanpa rukun maka talak tidak sah hukumnya. Adapun talak yang harus kita
pahami berikut ini :11

a. Suami
Suami merupakan satu-satunya orang yang dapat menjatuhkan talak
asrtinya selain suami tidak boleh menjatuhkan talak. Pada dasarnya, talak
dijatuhkan sebab kedua belah pihak akan memutuskan ikatan perkawinan
maka orang yang berhak menjatuhkan talak adalah orang yang sedang dalam
hubungan perkawinan yang sah. Adapun syarat suami sehingga dapat
menjatuhkan talak antara lain :
1) Berakal
2) Baligh
3) Kemauan sendiri bukan paksaan dari orang lain
b. Istri
Adapun istri yang dapat ditalak adalah istri sendiri. Yang dimaksud
istri sendiri adalah suami hanya dapat menalak istri yang statusnya istri dari si

11
ABD. Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”. (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2003), h.201-205

10
suami tersebut bukan istri orang lain.12 Adapun dalil dari hadits Nabi saw yang
bersumber dari Amru bin Syuaib ;
‫وال طالق له فيما ال يملك‬
“ Dan tidak ada talak pada sesuatu yang tidak dimilikinya. (HR. At-Tirmidzi)13
Syarat istri yang dapat ditalak, berikut ini :
1) Istri masih ada dalam perlindungan suami.
Adapun yang dimaksud salah satunya adalah istri yang menjalani masa
iddah talak raj’i maka dalam hukum Islam maka masih dianggap dalam
perlindungan suaminya. Maka apabila akan menambah talak
diperbolehkan dan akan menambah jumlah talak yang dijatuhkan serta
mengurangi hak talak yang dimiliki suami.
2) Kedudukan istri merupakan istri dari hasil perkawinan yang sah.
c. Sighat Talak
Sighat talak merupakan kata-kata yang ditunjukkan suami kepada istri
yang mana isinya menunjukkan talak, baik secara jelas (sarih) ataupun
sindiran (kinayah). Adapun bentuknya dapat diutarakan secara lisan, tulisan,
bahasa isyarat, ataupun dengan suruhan orang lain. Sighat talak dikatakan
terjadi apabila sudah diucapkan atau sudah dilakukan dengan tulisan, dll,
apabila masih sebatas niat maka talak belum terjadi. 14
Berikut merupakan syarat sighat yang disebutkan oleh Wahbah Az-Zuhaili
dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu :
1) Penggunaan lafal talak memiliki makna dan dapat dimengerti atau
dipahami baik secara bahasa, tulisan, ataupun isyarat.
2) Orang yang melafalkan talak harus paham dengan maknanya walaupun
dengan bahasa asing. Maka apabila terdapat seseorang mengucapkan talak
dengan bahasa asing maka tetap talak tersebut dihukumi terjadi.
3) Penyaandaran lafal talak kepada istri. Cara menentukannya adalah dengan
melihat sifat, nama panggilan, isyarat, dhamir, dll. Contohnya ; istriku
tertalak, kamu ku talak, aku menalaknya, dll.
4) Jangan ragu dalam menalak. Sebab apabila terdapat seorang suami yang
menalak istri dengan bahasa bercanda ataupun dengan kata yang

12
Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”., h.207
13
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, “Shahih Sunan Tirmidzi Jilid 1”., h. 908
14
Ibid., h.208

11
disimpangkan maka tetap dihukumi talak tersebut terjadi. Contoh dengan
menyimpangkan kata talak menjadi talakh, menalak dengan mengeja kata
talak menggunakan huruf hijaiyah “tha, lam, dan qaf”.15
d. Qasad
Qasad atau sengaja mengucapkan talak untukmenalakbukan yang lain.
Menurut hemat peneliti rukun yang keempat ini sejalan dengan kaidah fikih
yang berbunyi;

‫االمور بمقاصدها‬
Artinya: “Tiap-tiap perkara itu tergantung dengan maksud dan tujuannya”.16
Meskipun demikian ternyata para ulama mengecualikan apabila talak itu
diucapkan untuk main-main atau senda gurau. Menurut mereka talak seperti itu
tetap terjadi talak. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi Saw yang berbunyi;
...‫ثالث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطالق والرجعة‬...
Artinya;
Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh-sungguh dan senda
guraunya menjadi sungguh-sungguh; nikah, talak, dan rujuk”17
D. Persaksian Talak

a. Ulama Sunni

Jumhur ulama sunni tidak menempatkan saksi pada syarat sah talak melainkan
hanya pada syarat sah nikah. Diperkuat dalam sebuah kitab (al-Ahwal al-
Syakhsiyah) karangan Muhammad Abu Zahrah bahwasannya tidak ada penjelasan
mengenai saksi untuk syarat sah talak baik dari hadits Nabi maupun referensi
sahabat. Sehingga apabila menempatkan saksi sebagai syarat sah talak merupakan
menambahkan hal baru yang mana tidak ada dalil dari perkara tersebut. 18

Beberapa ulama juga menguatkan dengan berbagai pernyataannya mengenai saksi


bukanlah suatu kewajiban dalam bagian syarat sah talak. Simak penjelasan
sebagai berikut :
15
Lihat:Wahbah Az-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid 7”., h.366
16
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001, h. 39. Lihat juga; Jaih Mubarak,
Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, Cet 1, 2002, h. 115. Lihat juga; H.
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Uṣuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, Cet 4, 2002, h. 107.
17
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid 1..., h. 911.
18
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah (Mesir:Dar al-Fikr al-‘Arabi,t,t), 430.

12
1) Imam al-Syaukani dalam Nail al-Aut}ār menyatakan, sudah menjadi ijmak
kalau persaksian talak itu bukan sebuah kewajiban:

“Anda telah mengetahui, ijmak ulama bahwa menyaksikan talak adalah tidak
wajib, dan kelompok ini mengatakan hukumnya hanya sunah saja.”19

2) Usamah Bin Sa’id al-Qahthani dan kawan-kawan penyusun Mausū’ah al-Ijmā’


fī al-Fiqh al-Islāmī

“Bahwasanya persaksian talak bukanlah sebuah kewajiban, dan talak tetap


jatuh baik dengan persaksian maupun tidak, dan untuk ini sudah dinukilkan
ijmak ulama.”20

3) Wahbah az-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu

“Para ulama telah ijmak tentang tidak wajibnya persaksian dalam talak maka
hukum persaksian rujuk juga seperti itu (tidak wajib).”21

Dari beberapa pernyataan diatas tentu sudah dapat diambil kesimpulan


bahwasannya ulama sunni tidak menempatkan saksi menjadi syarat sah talak.
Namun ulama sunni masih menghargai hal tersebut dan memberikan posisi saksi
dalam syarat sah talak memiliki hukum sunnah walaupun ada beberapa yang
mewajibkannya. Adapun kalangan sahabat yang mewajibkan dalam syarat sah
talak adalah Ibnu Abbas, Imran bin Hushain dan diriwiyatkan pula dari Imam Ali
bin Abi Thalib.22 Dari kalangan tabi’in yang mendukung pendapat ini ada Atha`
bin Abi Rabah, Ibnu Juraij, Ibnu Sirin, alSuddi dan lain-lain.23

b. Persaksian Talak Perspektif Ulama Syi’ah Imamiyah

Berbanding terbalik dari talak menurut tata cara sunni yang mudah sebab talak
dalam syiah lebih dipersulit. Sebab terdapat penulis syiah yang menyatakan
bahwasannya saksi masuk pada bagian rukun talak. 24 Khusus dalam pengucapan
19
Al-Syaukāni, Nail al-Auṭār, Cet. III ( Beirūt : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 267
20
Usamah Bin Sa’id Al-Qahthani dan kawan-kawan penyusun Mausū’ah al-Ijmā’ fī al-Fiqh al-Islāmī, Cet. I
(Riyadh : Dār al-Faḍīlah li an-Nasyr wa al-Tauzī’, 2012), 341.
21
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Cet. IV (Damaskus : Dār al-Fikr, t.t), 442.
22
Amr Abdul Mun’in Salim, al-Jāmi` fi Ah}kām al-T}alāq wa Fiqhihi wa Adillatihi, (T.tp : Dār adh-Dhiya`, t.th),
151-2.
23
Amr Abdul Mun’in Salim, 152.
24
Al-Tabrizi dalam Al-Sayyid Yusuf al-Madani al-Tabrizi, Minhāj al-Aḥkām fi an-Nikāh wa al-Ṭalāq, Cet. VI
(Danis: Ma’zham lah, 1429 H), 509.

13
talak, ada beberapa syarat yang ditetapkan ulama Syiah yakni: pertama, lafaz
khusus talak (dia perempuan diceraikan/ wahai Fulanah kuceraikan, atau engkau
perempuan kuceraikan) harus diucapkan dengan bahasa Arab kecuali seseorang
itu bisu atau tidak sanggup. Kedua, disaksikan oleh dua orang adil saat
pengucapan talak.25 Lebih lengkapnya referensi Syiah menginformasikan, rukun
talak ada empat yakni: adanya orang yang menalak, adanya penerima talak,
diucapkannya akad talak, adanya saksi atau penyaksian.26

Salah seorang fakih Syiah, Syaikh at-Thusi dalam Kitab al-Khilaf menyatakan:
Setiap talak yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi yang adil muslim walau
terpenuhi semua syarat talak dianggap tidak jatuh.27 Hal ini dinilai menyalahi
semua fuqaha yang tidak menganggap kesaksian sebagai syarat sah jatuhnya talak.

Al-Sayyid Kadzim al-Musthafawi dalam al-Fiqh al-Muqāran menyatakan dengan


mengutip pendapat al-Khulli sebagai berikut : “Talak harus disaksikan dua orang
saksi yang mendengar langsung ucapan talak, mendengar ucapan itu menjadi
syarat sah talak. Talak tidak sah jika hanya dengan satu saksi walau adil, atau
dengan dua orang saksi tapi fasik, tetapi harus disaksikan dua orang saksi yang
secara zahir keduanya adil.28

Di Iran, di mana Syiah Imamiyah menjadi paham resmi negara, aturan talak yang
mengharuskan kehadiran dua saksi adil seperti ini juga menjadi ketentuan hukum
positif dalam hukum perdata sipil di Iran pada Bab 2 tentang Perceraian pasal
1134 berbunyi : The divorce must be performed in the actual form of utterance
and in the presence of at least two just men who must hear the actual form of
divorce. (Perceraian wajib dinyatakan dalam bentuk ucapan yang sebenarnya dan
dihadiri paling sedikit dua pria yang adil yang mendengar sendiri ungkapan talak
itu.29

25
Al-Sayyid Yusuf al-Madani al-Tabrizi, Minhāj al-Aḥkām fi an-Nikāh wa al-Ṭalāq, Cet. VI (Danis: Ma’zham lah,
1429 H), 493.
26
Wiki Shi’a, http://ar.wikishia.net/view/ , diakses 25 Mei 2021.
27
Al-Thusi, al-Khilaf, Juz 2 sebagaimana dikutip oleh Markaz Nun al-Ta’lif wa al-Tarjamah, al-Fiqh al-Muqaran,
Cet. III (T.Tp : Jam’iyyah al-Ma’arif, 2007), 123.
28
Al-Sayyid Kadzim al-Musthafawi, al-Fiqh al-Muqāran: al-‘Ibādāt wa al-Ahwal al-Syakhṣiyyah, Cet. I (Qum:
Markaz al-Must}afa, 1390 H), 434.
29
Ali Trigiyatno, Persaksian Talak: Perspektif Ulama Sunni dan Syi’ah Imamiyah, Al-Manahij:Jurnal Kajian
Hukum Isam, Vol. 14 No. 2, Desember 2020, 273.

14
E. Hukum Menjatuhkan

Talak berasal dari kata bahsa arab “ithlaq” yang berarti melepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah Fikih berarti pelepasan ikatan perkawinan yaitu
perceraian anatara suami istri. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis,
ulama mengemukakan rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni
melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal talak dan sejenisnya.30

Hak menjatuhkan talak dalam Islam berada di tangan suami, akan tetapi dalam
menjatuhkan talak, suami tidak boleh sewenang-wenang. Hal ini dikarenakan suami
pernah melakukan janji untuk hidup bersama dengan seorang perempuan untuk
melalui masa yang lama, akan tetapi secara tiba-tiba ingin meninggalkan dan
menceraikan perempuan tersebut tanpa adanya alasan yang jelas. Wanita yang ditalak,
menurut kesepakatan para ulama mazhab, disyaratkan harus seorang istri. Sementara
itu, mazhab Imamiyah memberi syarat khusus bagi sahnya talak terhadap wanita yang
telah dicampuri, serta bukan wanita yang telahmengalami menopose dan tidak pula
sedang hamil, hendaknya dia dalam keadaan suci (tidak haid dan tidak pernah
dicampuri pada masa sucinya itu antara dua haid). Kalau wanita tersebut ditalak
dalam keadaan haid, nifas, atau pernah dicampuri pada sucinya, maka talaknya tidak
sah. Oleh sebab itu, suami tidak boleh menjatuhkan talak apabila istri sedang dalam
keadaan haid. Dalam menjatuhkan talak suami harus menunngu istri dalam keadaan
suci terlebih dahulu. Jadi talak melepaskan ikatan atau bisa juga disebut dengan
mengurangi atau melepaskan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah
ditentukan. Menurut pasal 117 dalam Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar

30
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Prespektif Fikih dan Hukum Positif), (Yogyakarta: UII Press,
2011), 233.

15
suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengancara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.31

31
Baqir Al Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002). 181.

16
F. Hikmah Perceraian

Melalui perkawinan Allah SWT menginginkan agar manusia hidup di dunia


ini penuh dengan kedamaian, tetapi tidak selamanya pasangan suami istriakan tetap
utuh dan harmonis,kadang kala terjadi perselisihan dan percekcokan yang sulit
dihindarkan, kian hari semakin manjadi-jadi sehingga terjadi kekerasan yang bisa
membahayakan jiwa, baik jiwa istri maupun jiwa suami ataupun jiwa anak-anaknya.
Pertengkaran tersebut bukan saja terjadi antara suami istri tetapi sudah melebar
kepada keluarga istri ataupun keluarga suami, sehingga rumah tangga bukan lagi
sebagai tempat yang aman tetapi penuh dengan ancaman, rumah tangga bukan lagi
seperti surga tetapi laksana neraka. Allah SWT yang Maha Bijaksana sehingga telah
memberikan jalan keluar bagi mereka yang perkawinannya penuh dengan penderitaan
dan ancaman melalui penghalalan talak sekalipun, kehalalan tersebut hanya digunakan
ketika rumah tangga sudah madharat, yang penggunaannya hanya untuk kepentingan
istri, suami, atau keduanya, atau juga untuk kepentingan turunannya. 32

Begitu juga jika perkawinan itu tidak menghasilkan keturunan (anak), padahal
dengan keturunan dunia ini menjadi makmur, dengan keturunan itu pula rumah tangga
menjadi lengkap dan sempurna. Tujuan rumah tangga untuk melahirkan keturunan
tidak tercapai yang disebabkan karena pihak istri ataupun pihak suami tidak bisa
melahirkan keturunan (mandul), sehingga keberadaan rumah tangga penuh dengan
kejenuhan. Kita bisa melihat pasangan suami istri yang mandul meskipun dulunya
penuh dengan cinta kasih dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan yang
memperkuat hubungan mereka berdua, namun kenikmatan yang berupa anak tidak
pernah mereka rasakan, padahal anak adalah kesempurnaan kebahagiaan dunia
bahkan anak merupakan yang terpenting bagi suami istri. Oleh karena itu Allah SWT
memberi jalan keluar bagi mereka yang tidak mempunyai keturunan (mandul)
dengan jalan talak jika ingin mengakhiri perkawinannya. Sekalipun Allah SWT telah
menghalalkan perceraian dan Allah telah memberikan hak talak pada suami, akan
tetapi suami tidak diperkenankan untuk menggunakan talaknya tanpa alasan yang
jelas dan tanpa sebab.

Kehalalan talak berlaku selektif yang harus dilakukan di depan Mahkamah,


sebab perceraian yang dilakukan di depan Mahkamah hak-hak istri, hak-hak
anak ataupun hak-hak suami istri akan terjamin keberadaannya. Sebagai contoh ketika
suami menceraikan istrinya di depan Mahkamah, maka Mahkamah akan menghukum
suami untuk membayar uang iddah, uang mut’ah, maskawin,biaya anak-anak, dan lain
sebagainya sesuai dengan kemampuan suami, kewajiban-kewajiban suami tersebut
akan dituangkan dalam putusan Mahkamah, sehingga suami tidak bisa mengelak dari
kewajiban-kewajiban tersebut. Begitu juga kalau terjadi perceraian yang diajukan oleh
pihak istri di depan Mahkamah, maka hak-hak suami istri seperti harta bersama akan
dijamin. Perceraian seperti inilah yang akan membawa kemaslahatan baik untuk

32
SlametAbidin, FiqhMunakahat, h. 190-191

17
mantan istri, anak-anaknya ataupun mantan suami dan itulah yang dikehendaki oleh
syari’ah.

Oleh karena itu kalau ada orang yang membolehkan perceraian di luar
Mahkamah itu hanya pendapat orang yang picik, orang yang hanya menuruti
keinginan hawa nafsunya saja, dalam fikirannya hanya terlintas bagaimana cara
mendapatkan perempuan-perempuan cantik dan lebih muda, diceraikan bila sudah
bosan diganti dengan yang baru begitru seterusnya, dalam fikirannya tidak terlintas
bagaimana nasib istri-istri yang dicerai di luar Mahkamah dan bagaimana pula nasib
anak-anak yang diceraikan di luar Mahkamah. Perceraian yang dilakukan di luar
Mahkamah tidak ada kepastian hukum untuk anak-anak dan istri-istriya, sehingga
hak-hak anak atau hak-hak istri tidak bisa dijamin keberadaannya, pendidikan anak
akan terbengkalai. Perceraian seperti inilah yang akan membahawa kepada
kemadharatan bagi perempuan ataupun anak-anak, serta tidak dikehendaki oleh
syari’ah.

Menurut Imam Asy-Syathibi “ jika aturan atau hukum itu membawa kepada
kemaslahatan, maka aturan atau hukum itu harus dijadikan sebagai pegangan, dengan
kriteria:

1. Tidak bertentangan dengan maqashid al-syari’ah yang dharuriyyah, hajiyyat


dan tahsiniyyat.
2. Rasional, dalam arti bisa diterima oleh orang cerdik-cendikiawan (ahl al-
dzikr).
3. Menghilangkan raf’ al haraj”. Dengan demikian dapat difahami bahwa hikmah
perceraian di depan Pengadilan, adalah akan membawa kepada kemaslahatan,
karena akan terjamin hak-hak anak, hak-hak istri atau hak-hak suami istri,
sedangkan perceraian di luar Mahkamah akan membawa kepada
kemadharatan, karena hak-hak anak dan hak- hak istri akan terabaikan.33

33
Musthafa Haji Daud, Institurasi Kekeluargaan Islam (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989), h.34

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

19

Anda mungkin juga menyukai