Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU
perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup
sebagai suami istri.1
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain
karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena
perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain.2
Perkawinan dapat putus karena :
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas putusan pengadilan.
Menurut Imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak,
khulu’, khiyar/fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dan dzihar. Imam Syafi’i menuliskan
sebab-sebab putusnya perkawianan adalah talak, khulu’, fasakh, khiyar, syiqaq,
nusyuz, ila’, dzihar, dan li’an. As-Sarakshi juga menuliskan sebab-sebab
perceraian adalah talak, khulu’, ila’, dan dzihar.3
B. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan
1. Thalaq
a. Pengertian
Secara harfiyah Thalaq itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya
kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena
antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) h.189
2
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010) h.229
3
Mardani, Hukum Perkawianan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
h.28
sudah bebas.4
Menurut istilah syarak talak adalah melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri.
Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya.5
b. Macam talak
Apabila talak sudah dapat dielakkan lagi, Islam mengajurkan agar
suami menjatuhkan talak dalam bentuk berikut:
1. Talak Sunni
Ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya dalam
keadaan haid atau dalam keadaan suci, yang kemudian suci itu
suami istri tidak mengadakan hubungan kelamin (bersetubuh).
2. Talak Bid’i
Ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya dalam
keadaan suci, yang keadaan suci itu suami istri telah bersetubuh.
c. Bentuk-bentuk talak
1. Talak Raj’i
Ialah talak satu atau talak dua tanpa iwadh (penebus talak) yang
dibayar istri kepada suami yang dalam masa iddah suami dapat
merujuk kembali (tanpa akad) kepada istrinya.
2. Talak Bain Sugra
Ialah talak satu atau talak dua disertai dengan iwadh (penebus
talak) dari istri kepada suami yang dengan akad nikah baru suami
dapat kembali kepada bekas istrinya.

4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) h.198
5
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010) h.229
3. Talak Bain Kubra
Ialah talak tiga (dilakukan sekaligus atau berturut-turut) suami
tidak dapat memperistrikan lagi bekas istrinya kecuali bekas istrinya
tersebut telah kawin dengan laki-laki lain yang kemudian bercerai
setelah mengadakan hubungan kelamin dan masa iddahnya.6
2. Khulu’
a. Pengertian
Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-’a yang berasal dari bahasa
Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka
pakaian. Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena
dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya
dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya.
b. Hukum Khulu’
Khulu’ itu perceraian dengan kehendak istri. Hukumnya
menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam
hadis Nabi; telah berlaku secara umum baik sebelum datangnya
Nabi maupun sesudahnya.7
c. Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan apakah perempuan
yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam
Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan
talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam
Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti dengan talak tanpa
memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan

6
Mardani, Hukum Perkawianan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
h.29
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) h.231-232
segera atau tidak.8
3. Fasakh
a. Pengertian
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang
secara etimologi berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata ini
dengan perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak
perkawinan. Dalam arti etimologis ditemukan beberapa rumusan
yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat
dalam KBBI, berikut :
Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama
berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan
Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur
menyalahi hukum pernikahan.9
b. Hukum
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak
disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada keadaan
dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk
tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian.10
c. Akibat Fasakh
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan
ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal
itu mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.11

8
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010) h.315
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) h.242
10
Ibid h.244
11
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010) h.314
4. Zhihar
a. Pengertian
Kata zhihar adalah kata dalam bahasa Arab yang secara arti
kata berarti “punggung”. Digunakan kata “punggung” dan bukan
anggota badan lainnya untuk keperluan zhihar ini karena kata itu
digunakan untuk suatu yang dikendarai atau diracak. Istri dalam
pandangan ini adalah sesuatu yang dipimpin oleh laki-laki, yaitu
suaminya. Yang dipimpin itu disamakan dengan yang diracak,
sehingga lebih tepatlah kata ini digunakan untuk maksud zhihar.12
b. Hukum
Ulama sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu adalah
haram. Yang menjadi dasar dari haram itu dapat dilihat dari 2 segi:
pertama, kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang
menyamakan istrinya dengan ibunya. Kedua, dari segi sanksi dan
ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya
yang melanggar.13
c. Akibat
Bila suami telah mengucapkan ucapan zhihar kepada istrinya
dan semuanya telah memenuhi syarat, maka selanjutnya suami tidak
boleh menggauli istrinya sampai ia membayar kaffarah.14
5. Ila’
a. Pengertian
‘ila’ berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata berarti “tidak
mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau “sumpah”.
Dalam artian definitif terdapat beberapa rumusan yang hampir atau

12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) h.259
13
Ibid h.261
14
Ibid h.269
berdekatan maksudnya.15
b. Hukum
Dalam pandangan Islam Ila’ tersebut adalah perbuatan yang
terlarang karena menyalahi hakikat dari perkawinan untuk
mendapatkan ketenangan hidup, kasih sayang, dan rahmat. Tentang
tingkat dosa bagi yang melanggar larangan tersebut menurut ulama
Syafi’iyah adalah dosa besar, sedangkan menurut uama lain di
antaranya al-Khathib berpendapat dosa orang yang meng-ila’ istri
itu adalah dosa kecil.16
c. Akibat
Bila telah selesai suami mengucapkan ila’ terhadap istrinya,
sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an suami
diberi tenggang waktu selama empat bulan.17
6. Li’an
a. Pengertian
Li’an adalah lafaz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar
kata laa-a’-na’, yang secara harfiah berarti “saling melaknat”. Cara
ini disebut dalam term li’an karena dalam prosesinya tersebut kata
“laknat” tersebut. Di antara definisi yang mudah dipahami adalah:
“Sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia
tidak mampu mendatangkan empat orang sanksi”.18
b. Hukum
Hukum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya akan
kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun bila suami
tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhannya itu, maka hukum

15
Ibid h.275
16
Ibid h.277
17
Ibid h.285-286
18
Ibid h.288
li’an itu baginya adalah haram.19
c. Akibat
Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan menekan
perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang sedang dalam
perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing,
terutama setelah mereka berada dalam ketenangan berpikir.20
C. Akibat Putusnya Perkawinan
1. Iddah
a. Pengertian
Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata adda-
ya’uddu-’idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata
(etimologi) berarti: “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan
untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-
iddah menunggu berlakunya waktu.
b. Hukum
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai
hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib
menjalani masa iddah itu.21
c. Bentuk-bentuk iddah
Istri yang akan menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu
berlangsungnya perceraian adalah sebagai berikut:
1) Kematian suami
2) Belum dicampuri
3) Sudah dicampuri tapi dalam keadaan hamil
4) Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti

19
Ibid h.293
20
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010) h.317
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006) h.303-304
haidnya.
5) Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil, dan masih dalam
haid.22
2. Hadhanah
a. Pengertian
Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk
maksud yang sama yaitu kafalah dan hadanah. Yang dimaksud
dengan hadhanah atau kafalah dalam arti sederhana ialah
“pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap
adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan.
b. Hukum
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu
hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada
dalam ikatan perkawinan. Kewajiban membiayai anak yang masih
kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam
tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya
perceraian.23
Bila hubungan perkawinan putus, maka mempunyai akibat hukum sebagai
berikut:
1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak
boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana
yang berlaku antara dua orang yang saling asing
2. Keharusan memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai suatu kompensasi
3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa
perkawinan, baik dalam bentuk mahar maupun nafaqah, yang menurut

22
Ibid h.309
23
Ibid h.327-328
sebagian ulama wajib dilakukan bila pada waktunya dia tidak dapat
membayarnya
4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah
5. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.24

24
Mardani, Hukum Perkawianan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
h.30

Anda mungkin juga menyukai