Anda di halaman 1dari 10

Nama : Martua

NIM : 1830201040
UAS Hukum Agraria

1. JELASKAN SECARA SINGKAT SEJARAH HUKUM PERTANAHAN PADA MASA


SEBELUM TERBENTUKNYA UUPA DAN MASA SESUDAH TERBENTUKNYA
UUPA!

Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu


a) Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan
dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang di perlakukan
perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (obyeknya).
Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan utang (hak tanggungan),
Pewarisan.
b) Hukum Agraria Administrasi (Administratif)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada
pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari
masalah- masalah agraria yang timbul.
Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, Hukum agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri
atas 5 perangkat hukum, yaitu:
1) Hukum Agraria adat
yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada
hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-
hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat
2) Hukum agraria barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada
hukum perdata Barat, khususnya yang bersumber pada Boergelijk Wetboek
(BW).
3) Hukum Agraria Administratif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang
merupakan pelaksanaan dari politik Agraria pemerintah didalam
kedudukannya sebagai badan penguasa.
4) Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah hukum Agraria yang bersumber dari kaidah
hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di
daerah-daerah swapraja (yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan
bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan
5) Hukum Agraria antar golongan
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa(kasus) agraria
(tanah), maka timbullah agraria antar golongan, yaitu keseluruhan dari
kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku
(Hukum adat ataukah hukum barat) apabila 2 orang yang masing-masing
tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah.

c) Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33


Ayat (3) disebutkan bahwa: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai.
Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak
demikian adanya. Pada penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria
disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai
tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah
pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Pokok Agraria yang menyatakan, kewenangan negara adalah:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau
pemeliharaannya.
2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur. Kewenangan
negara tersebut menguatkan penerapan asas fungsi sosial atas pemanfaatan
dan peruntukan tanah tidak mutlak menjadi hak pemegang hak nya saja,
melainkan ada peran negara secara langsung untuk menjamin tepenuhinya
kebutuhan bagi kepentingan umum. Penafsiran hak atas tanah berfungsi
sosial sangat luas, yakni dengan menggunakan “standar kebutuhan umum”
(public necessity), “kebaikan untuk umum” (public good) atau “berfaedah
untuk umum” (public utility). Yang terpenting dari kandungan hak atas
tanah berfungsi sosial tesebut adalah kesimbangan, keadilan, kemanfaatan
dan bercorak kebenaran. Sehingga akan menunjukkan fungsi pribadi dalam
bingkai kemasyarakatan yang memberikan berbagai hubungan keselarasan
yang harmonis dan saling memenuhi guna meminimalisir kompleksitasnya
berbagai permasalahan yang mungkin dan akan timbul dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan, bangsa dan negara.

2. JELASKAN KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM PERTANAHAN


NASIONAL, DIMANA HAL TERSEBUT DIATUR!
Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan mempunyai fungsi sosial,
yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.Dapat diketahui bahwa peran pemerintah atau
penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang
pertanahan, khususnya hukum tanah adat. Akan tetapi bertitik tolak dari peran Pemerintah
tersebut, sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan atau agraria memilki tendensi
politik dari pada dari hukumnya.
Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan bahwa
segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan
masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari haknya
sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta
baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling imbang
mengimbangi, atau adil adanya. Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum
bidang pertanahan adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA
1960 menyatakan bahwa “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan peraturan Pemerintah”.
Hukum Tanah Adat setelah berlakunya UUPA seperti yang telah dijelaskan dalam
konsepsi UUPA, maka “Tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah
Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang
merupakan kekayaan nasional”. Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa “Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa maksudnya Hukum Adat sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturanperaturan yang tercantum
dalam undang undang ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur unsur yang bersandar pada hukum agama.” Adanya ketentuan
tersebut diatas menimbulkan dua permasalahan terhadap hukum adat tentang tanah yang
berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas
berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing.
Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan
tetapi juga berlaku untuk tanah-tanah yang sebelumnya termasuk dalam golongan tanah
Barat. Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan
tanahtanah oleh persekutuan hukum mendapatkan pembatasan sedemikian rupa dari
kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan
mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara. Dengan demikian kewenangan
masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, belum pasti diakui
berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan-ketentuan
hukum adat tentang tanah.Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan
dari UUPA, antara lain :
1. Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional”.
2. Peraturan Pemerintah Pasal 3 “Dengan menggugat ketentuanketentuandalam
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan yang lebih tinggi”.
3. Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan
Pemerintah”.

3. TANAH ITU MEMILIKI FUNGSI SOSIAL, APA YANG DIMAKSUD DENGAN


PERNYATAAN TERSEBUT DAN SEBUTKAN DASAR HUKUMNYA!
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung
beberapa prinsip keutamaan antara lain :
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan
secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip
Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat
komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional;
b. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak
itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang
dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat.
Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat;
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan
tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga
kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga
masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan
kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi
beban bagi setiap orang,badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah.

4. JELASKAN APA ITU HAK MENGUASAI NEGARA!


Hak menguasai negara adalah suatu kewenangan atau wewenang formal yang ada
pada negara dan memberikan hak kepada negara untuk bertindak baik secara aktif maupun
pasif dalam bidang pemerintahan negara, dengan kata lain wewenang negara tidak hanya
berkaitan dengan wewenang pemerintahan semata, akan tetapi meliputi pula semua
wewenang dalam rangka melaksanakan tugasnya. Tanpa adanya penguasaan Negara, maka
tidak mungkin tujuan Negara yang telah ditetapkan dalam konstitusi atau UUD dapat
diwujudkan, namun demikian penguasaan oleh Negara itu tidak lebih dari semacam
“penguasaan” kepada Negara yang disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga tidak
boleh digunakan secara sewenang-wenang yang dapat berakibat pelanggaran hukum
kepada masyarakat. Pada dasarnya pemberian kekuasaan bisa dibedakan menjadi dua
macam, yaitu :
a. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “atributif”. Pemberian kekuasaan semacam ini
disebut sebagai pembentukan kekuasaan, karena dari keadaan yang belum ada menjadi ada.
Kekuasaan yang timbul karena pembentukan ini sifatnya asali (oorspronkelijk) . pada
pembentukan kekuasaan semacam ini menyebabkan adanya kekuasaan baru.
b. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “derivatif”. Pemberian kekuasaan ini disebut juga
sebagai “pelimpahan kekuasaan”, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada
badan hukum publik lain. Oleh karena itu sifatnya derivatif (afgeleid). Secara formal,
kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa : “bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi
sebesar-besarkemakmuran rakyat”. Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945,
pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 33 alinea 4 yang berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (Lembaran
Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-undang pokok agraria (UUPA).Hukum tanah
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut
mengisyaratkan bagi pembuat undang- undang dalam membentuk hukum tanah nasional
jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama.
5. JELASKAN APA ITU HAK MENGUASAI NEGARA! JELASKAN PROSEDUR DAN
TATA CARA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA! DIMANA HAL TERSEBUT
DIATUR?

Dalam sistem negara Indonesia, prosedur pendaftaran tanah diatur dalam PP 24


Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. ... Serangkaian kegiatan tersebut mencakup
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik yaitu
letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun.
Tahap-Tahap Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah untuk pertama kali.
• Pemeliharaan pendaftaran tanah.
• Pembuatan peta da BBMsar pendaftaran.
• Penetapan batas bidang-bidang tanah.
• Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran.
• Pembuatan daftar tanah.
• Pembuatan surat ukur.
• Pembuktian hak baru.

6. JELASKAN MACAM-MACAM PERALIHAN DAN JENIS PAJAK PERALIHAN


SERTA HITUNG PAJAK PERALIHAN DARI SUATU PERBUATAN HUKUM JUAL
BELI DENGAN HARGA JUAL BELI Rp. 250.000.000,-

penjelasan dalam peralihan hak atas tanah : Peralihan Hak Atas gambar Tanah
Melalui Pewarisan Pewarisan adalah tindakan pemindahan hak milik atas benda dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain yang ditunjuknya dan/atau
ditunjuk pengadilan sebagai ahli waris. Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997, maka
keterangan mengenai kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah karena
pewarisan diatur dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa :
• Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data
fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
• Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.
• Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah Berdasarkan Pasal 1666 KUHPerdata,
hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang
guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Pada dasarnya
setiap orang dan/atau badan hukum diperbolehkan untuk diberi/menerima hibah,
kecuali penerima hibah tersebut oleh undang – undang dianggap tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum.
• Peralihan hak atas tanah karena hibah tidak serta merta terjadi pada saat tanah
diserahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah. Berdasarkan Pasal 37 PP
No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Dalam Pasal 1684 KUHPerdata dinyatakan bahwa penghibahan yang diberikan


kepada seorang perempuan yang bersuami, barang yang dihibahkan tersebut tidak dapat
diterima. Pada Pasal 1685 KUHPerdata ditetapkan bahwa penghibahan kepada orang-
orang yang belum dewasa yang masih berada dibawah kekuasaan orang tua, barang
yang dihibahkan tersebut harus diterima oleh orang tua yang menguasai penerima hibah
tersebut. Sama halnya dengan penghibahan kepada orang-orang di bawah perwalian
dan pengampuan, barang yang dihibahkan tersebut harus diterima oleh wali atau
pengampu dengan diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1672
KUHPerdata, pemberi hibah berhak mengambil kembali barang yang telah dihibahkan
apabila penerima hibah dan keturunan-keturunannya meninggal lebih dulu daripada si
pemberi hibah, dengan ketentuan telah dibuatnya perjanjiannya yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Lelang adalah setiap penjualan
barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis
melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Berdasarkan sifatnya, lelang
dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

• Lelang eksekutorial yaitu lelang dalam rangka putusan pengadilan yang


berkaitan dengan hak tanggungan, sita pajak, sita yang dilakukan oleh
Kejaksaan atau Penyidik dan sita yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang
Negara.
• Lelang non-eksekutorial yaitu lelang terhadap barang yang dikuasai atau
dimiliki oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lelang terhadap
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dimiliki atau
dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum.

Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Berdasarkan Pasal 37 Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli
(AJB) merupakan bukti sah (selain risalah lelang, jika peralihan haknya melalui
lelang) bahwa hak atas tanah dan bangunan sudah beralih kepada pihak lain. AJB
dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau camat untuk daerah
tertentu yang masih jarang terdapat PPAT. Secara hukum, peralihan hak atas tanah
dan bangunan tidak bisa dilakukan di bawah tangan. Dalam KUHPerdata Pasal
1457, 1458 dan 1459 menyatakan bahwa jual beli tanah adalah suatu perjanjian
dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya
untuk membayar harga yang telah ditentukan. Pada saat kedua belah pihak telah
mencapai kata sepakat, maka jual beli dianggap telah terjadi, walaupun tanah belum
diserahkan dan harga belum dibayar. Akan tetapi, walaupun jual beli tersebut
dianggap telah terjadi, namun hak atas tanah belum beralih kepada pihak pembeli.
Agar hak atas tanah beralih dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka masih
diperlukan suatu perbuatan hukum lain, yaitu berupa penyerahan yuridis (balik
nama). Penyerahan yuridis (balik nama) ini bertujuan untuk mengukuhkan hak-hak
si pembeli sebagai pemilik tanah yang baru.

Sementara dalam praktik jual beli tanah sering kali pihak penjual
menggunakan prosedur jual beli dengan melakukan pemindahan hak atas tanah
berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Secara hukum, hak atas tanah
tersebut telah beralih kepada pembeli meskipun tanah tersebut belum
disertifikatkan. Menyikapi hal tersebut, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan (SEMA 4/2016) angka 7 (SEMA 4/2016), berbunyi sebagai berikut:
“Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah
menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.” Berdasarkan hal
tersebut, walaupun hanya PPJB, selama pembeli telah membayar lunas harga tanah
tersebut serta telah menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik,
maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah
terjadi.

Pph yang dibayar adalah: Rp. 250.000.000 x 2,5% = 6.250.000

BPHTB yang harus dibayar Rp. 250.000.000-60.000.000 = Rp. 190.000.000

Rp. 190.000.000 x 5% =RP. 9.500.000


maka pph yang dibayar=Rp. 6.250.000 BPHTB yang dibayar = 190.000.000

Anda mungkin juga menyukai