PENDAHULUAN
1. hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan jajahan;
2. hukum agraria tersebut mempunyi sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di
samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi perombakan secara mendasar dalam bidang hukum
agraria di Indonesia, yaitu tidak berlakunya lagi hukum agraria kolonial dan membangun hukum
agraria nasional, yang menghapuskan dualisme hukum, yang mewujudkan unifikasi dan
kesederhanaan hukum agraria, dan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas
tanah. Menurut Budi Harsono, dengan berlakunya UUPA maka terjadilah perubahan yang
fundamental pada hukum agraria di Indoneisa, terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan
yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukumnya, konsepsi yang mendasarinya
maupun isinya. Dengan diundangkannya UUPA, bangsa Indonesia telah mempunyai hukum
agraria yang sifatnya nasional. Hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan
tercapainya fungsi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, harus sesuai dengan kepentingan rakyat dan
negara, dan memenuhi keperluannya menurut permintaan jaman dalam segala soal agraria. Hukum
1
agrarian yang sifatnya nasional, seperti yang dimuat di dalam UUPA memiliki ciri-ciri sebagai
berikut;
a. Hukum agraria nasional harus berdasarkan atas hukum adat;
b. Hukum agraria nasional harus sederhana.
c. Hukum agraria nasional harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Hukm agraria nasional tidak boleh mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pad a hukum
agama.
e. Fungsi daripada bumi, air, dan kekayaan alam serta ruang angkasa harus sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia.
f. Hukum agraria nasionaI harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila sebagai asas
kerohanian Bangsa Indonesia.
g. Hukum agraria nasional harus melaksanakan ketentuan pasa1 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, yaitu mewajibkan bahwa negara harus mengatur mengenai pemilikan, penggunaan
peruntukan tanah sehingga dapat dicapai penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Untuk mencapai tujuan negara dan cita-cita rakyat Indonesia, yaitu suatu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka UUPA telah meletakkan dasar-dasar hukum agraria
nasional. Oleh karena itu dalam pembentukan UUPA telah disertai pencabutan undang-undang
serta peraturan-peraturan agraria kolonial terlebih dahulu sebagairnana yang tersebut dalarn
dikturn UUPA. Dengan dicabutnya undang-undang dan peraturan-peraturan hukurn agrarian
kolonial, rnaka tercapailah kesatuan (unifikasi) hukurn agraria yang berlaku di Indonesia, yang
sesuai dengan kepribadian dan persatuan bangsa.
Sebelum diterbitkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun 1960, yang
membuka hak atas tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS, pada Stb 1872 No. 117 tentang
Agraris Eigendom Recht yaitu memberi hak eigendem (hak milik) pada orang Indonesia. Hal
tersebut juga disamakan dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW, tetapi hak tersebut
diberikan bukan untuk orang Indonesia. Maka dengan adanya dualisme aturan yang mengatur
2
tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkannya pada tanggal 24 september 1960 diterbitkan
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pada lembar Negara No. 104/1960. Undang-
undang No.5 tahun 1960 tersebut bersifat nasionalis, yaitu diberlakukan secara nasional dimana
seluruh warga Negara indonesia menggunakan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960
tersebut. Dasar kenasionalan hukum agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA, adalah:
1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat indonesia yang
bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA).
2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan
karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan digunakan untuksebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15 UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya bersifat abadi, sehingga tidak dapat diputuskan oleh siapa
pun (pasal 1 UUPA).
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi wewenang
untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat (pasal 2 UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya. Pengakutan tersebut
disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan peraturan perundang-uandangan yang lebih tinggi (pasal 3
UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga negara indonesia tanpa
dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada perinsipnya tidak mempunyai hubungan
sepenuhnya alam yang terkandung didalamnya (pasal 9, 21,dan 49 UUPA)
7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3
1.2 Permasalahan
Agar permasalahan tidak melebar maka permasalahan dibatasi hanya yang terjadi di kota
Surabaya.
1.4 Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi menguasai
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak
menguasai Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa berisi wewenang yang ditetapkan dalam Pasal
2 ayat (2) UUPA, yaitu :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air,
dan ruang angkasa;
Wewenang Negara atas bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya merupakan tugas Pemerintah Pusat. Namun demikian, wewenang ini
dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA, yaitu : “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan Pemerintah“.
Urusan agraria yang meliputi bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikonsepsikan dalam UUPA dilaksanakan secara sentralistik atau
merupakan tugas Pemerintah Pusat. Namun demikian, tugas Pemerintah Pusat dapat dilimpahkan
kekuasaannya kepada Daerah Swatantra (Pemerintah Daerah). Ketentuan tentang urusan agraria
merupakan tugas Pemerintah Pusat dan adanya pelimpahan kewenangan kepada Daerah Swatantra
(Pemerintah Daerah) ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA, yaitu : “Ketentuan dalam ayat
(4) adanya bersangkutan dengan asas otonomi dan medebewind dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas
Pemerintah Pusat (Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar). Dengan demikian, maka pelimpahan
5
wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan
medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluan dan sudah barang tentu
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat
merupakan sumber keuangan bagi daerah itu”.
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 diubah oleh Keputusan Presiden No. 154 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan
Nasional. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 yang diubah oleh Keputusan Presiden No. 154
Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000 tentang
Badan Pertanahan Nasional. Pengertian Badan Pertanahan Nasional menurut Pasal 1 ayat (1)
Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000 sama dengan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden No. 26
Tahun 1988. Perbedaan struktur pemimpin Badan Pertanahan Nasional antara Keputusan Presiden
No. 26 Tahun 1988 dengan Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000, adalah pada Keputusan
Presiden No. 26 Tahun 1988 ditetapkan bahwa Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh seorang
kepala tanpa dibantu oleh wakil kepala, sedangkan dalam Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000
ditetapkan bahwa Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh seorang kepala diantu oleh seorang
wakil kepala.
Pada saat ini, Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun
2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
6
Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh Kepala. Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas
melaksaakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.
Sebelum diundangkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
kewenangan pengurusan bidang pertanahan ada pada Pemerintah Pusat yang bersifat sentralistik,
sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah melaksanakan kewenangan pengurusan bidang
pertanahan berdasarkan pelimpahan kewenangan yang bersifat medebewind. Penyerahan
kewenangan pengurusan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah dibatasi hanya
menyangkut kewenangan menyelenggarakan atau melaksanakan dan bukan
kewenangan untuk mengatur. Penyerahan kewenangan itupun didasarkan asumsi bahwa
instansi di daerah yang melaksanakan kewenangan tersebut merupakan instansi Pemeirntah Pusat
yang ada di daerah dan bukan sebagai lembaga otonom daerah. Dengan diundangkan Undang-
undang No. 22 Tahun 1999, yang di dalamnya mengatur otonomi daerah, mengubah kebijakan
kewenangan pengurusan bidang pertanahan, yaitu yang sebelumnya bersifat sentralistik diubah
menjadi desentralistik. Otonomi daerah menghendaki adanya penyerahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan pengertian bahwa kewenangan tersebut
merupakan kepunyaan Pemerintah Daerah. Kebijakan otonomi daerah ditandai oleh lahirnya
Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang mengubah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, yang sebelumnya bersifat sentralistik diubah menjadi desentralistik.
Kewenangan Pemerintah Pusat yang sebelumnya mencakup semua sektor pembangunan telah
dikurangi menjadi hanya beberapa sektor strategis.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan,, sistem administrasi negara dna lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
srategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Tidak semua bidang pembangunan yang
7
diserahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Bidang
pembangunan yang tidak diserahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah, adalah bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain, meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan,, sistem administrasi negara dna lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
srategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota,
meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga
kerja.
8
negara itu menjadi kurang tepat, bahkan tidak bisa dibenarkan; karena yang berhak menyewakan
tanah adalah pemilik tanah atau pemegang sertifikat Hak Milik (HM). Kemudian, untuk
menyiasati hal itu, diterbitkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya No. 22
Tahun 1977 tentang Pemakaian dan Retribusi Tanah yang Dikelola oleh Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Surabaya, sejak saat itu Izin Sewa Tanah berubah menjadi Surat Izin Pemakaian
Tanah (IPT). Berdasarkan pembaharuan dasar legalitas, terjadi penggantian istilah “sewa tanah”
menjadi “pemakaian tanah”, dua istilah tersebut sebenarnya mempuyai makna yang sama, yakni
mewajibkan warga penghuni membayar sejumlah uang tertentu (retribusi) setiap tahun pada
Pemerintah Kota Surabaya. Di kalangan warga penghuni menyebut surat IPT yang bersampul
warna hijau itu sebagai surat ijo (surat hijau). Sebutan itu terus berkembang di kalangan warga
Kota Surabaya, bahkan bisa dikatakan telah melegenda sebagai trade mark pengelolaan tanah
negara di Surabaya. Dalam konteks diatas yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ketidaklaziman
atau keunikan itu akan terus berlanjut tanpa ujung? Bilamana berlanjut, tidakkah disadari bahwa
hal itu bermakna sebagai bersinambungnya rasa ketidakadilan di kalangan warga penghuni tanah
surat ijo, di samping rawan konflik? Tulisan ini mencoba mencermati konteks tanah surat ijo
beserta eksesnya dari sudut kesejarahan dengan bantuan konsep ilmu ilmu sosial/hukum untuk
mendapatkan suatu bentuk pemahaman yang bisa digunakan untuk mendukung upaya mencari
resolusi konflik tanah surat ijo.
9
ijo terluas yakni Kecamatan Gubeng (Surabaya Selatan) seluas 1.923.767,44 m² (192,38 hektare),
disusul Kecamatan Wonokromo (Surabaya Selatan) seluas 1.147.179,30 m² (114,72 hektare). Di
tingkat kelurahan, diantara 163 kelurahan ada 88 kelurahan yang memiliki tanah surat ijo.
Kelurahan yang memiliki tanah surat ijo terluas yakni Kelurahan Ngagelrejo (Kecamatan
Wonokromo) yakni 683.129,51 m² (68, 31 Ha), disusul kelurahan Baratajaya (Kecamatan Gubeng)
seluas 650.625,23 m² (65, 06). Di dalam dokumen DPBT Kota Surabaya tanah negara
dikelompokkan berdasarkan status tanah seperti Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan Lahan (HPL),
tanah Eigendom, tanah Besluit (pembelian pada zaman Belanda), hasil pengadaan Panitia
Pengadaan Tanah untuk Negara (P2TUN), dan Tanah Negara Lain-lain (TNLL).
10
2014). Hingga tahun 2014 baru dicapai Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan
Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya. Beberapa point persyaratan pelepasan yang sudah
dirumuskan antara lain:
a) Luas tanah maksimal 250 m²
b) Sudah dihuni selama minimal 20 tahun
c) Surat IPT masih berlaku dan aktif membayar retribusi
d) Bila memiliki dua bidang tanah, hanya satu yang boleh diambil
e) Tanah yang boleh dilepas hanya untuk perumahan/hunian
f ) Warga wajib membayar kompensasi kerugian negara sebesar nilai NJOP tanah kepada Pemkot
Surabaya
11
di kalangan pejuang surat ijo sebagai “dana partisipasi pembangunan” yang nilai besarannya di
bawah NJOP tanah (Wawancara dengan Supadi HS 15 Maret 2015).
Sebenarnya konflik tanah surat ijo tidak perlu terjadi, atau pun tidak berlama-lama. Kedua belah
pihak tidak perlu bersitegang beradu otot/argument memperebutkan status hak atas tanah negara,
atau pun saling mengklaim sebagai pihak yang paling berhak, karena secara yuridis kedua belah
pihak bukan pemilik tanah. Pemkot sebagai pihak yang penerima limpahan kewenangan
mengelola, sedang warga penghuni sebagai pengguna. Sejatinya, kedua belah pihak (kalau boleh)
“bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa” terhadap tanah surat ijo. Apalagi terhadap tanah Negara
yang masih asli berstatus eigendom.
Dalam konteks di atas, semestinya Pemkot tidak bisa semena mena terhadap “barang
titipan” negara, baik hanya sebatas mengklaim (Jawa: ndhaku) tanah HPL sebagai barang milik
daerah maupun bertindak melepas/memindahtangankan. Pemkot tidak bisa serta merta sekehendak
hati secara otonom melepaskan tanah surat ijo seolah sebagai pemilik, hingga menimbulkan situasi
“Negara dalam negara” (Ratna Djuita dan Indriayati 2011). Secara etika dan moral, penyelesaian
konflik tanah surat ijo dalam bentuk pelepasan/pemindahtanganan harus dikembalikan kepada
pemberi wewenang, yakni negara. Tentunya melalui lembaga yang berkompeten, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang dan/BPN. Pemberlakuan Perda No. 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan
Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya (dan Peraturan Walikota No. 51 Tahun 2015), terkesan
Pemkot Surabaya telah memposisikan diri sebagai pemilik tanah surat ijo, pada hal bukan pemilik,
hanya sebatas pemegang HPL, yakni selaku pihak yang dipercaya secara administratif untuk
mengelola tanah negara. Pemberlakuan Perda pelepasan seolah menunjukkan betapa biasnya
pemahaman asal-usul status HPL. Atau, belum/ tidak disadarinya bahwa status HPL bukanlah
HAT yang tidak bisa disetarakan dengan status HAT yang tersurat dalam UUPA. Dengan kata
lain, kurang tidak disadarinya bahwa status HPL atas tanah negara itu berdasarkan Pasal 33 Ayat
3 UUD 1945 yang peruntukannya jelas-jelas untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Juga, belum disadari (baca: ikhlas) bahwa status HPL bisa diubah atau pun ditingkatkan
statusnya menjadi tanah yang berstatus HAT yang legal-konstitusional, dalam arti hak atas tanah
yang diatur secara eksplisit dalam UUPA, dan demi terwujudnya kepastian hukum mengenai hak
atas tanah untuk seluruh rakyat (Ahmad Nasih Luthfi dkk. 2010, 14).
12
Tanah HPL dapat dimaknai bahwa tanah surat ijo di Surabaya sebagai barang milik negara,
sementara itu Pemerintah Kota Surabaya sebagai pengelola barang milik negara. Menurut UU No.
1 Tahun 2004 Pasal 45 Ayat 2 dinyatakan “pemindahtanganan barang milik negara/daerah bisa
dilakukan melalui dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah
setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD” (Juga termaktub pada Pasal 54 Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 2014). Bila nilai barang milik negara itu bernilai lebih dari seratus milyar rupiah,
harus mendapat persetujuan DPR (Pasal 55 PP No. 27 Tahun 2014). Berkaitan dengan program
pelepasan tanah surat ijo yang luasnya mencapai 1.496,37 hektare, yang tentunya bernilai trilyunan
rupiah, jauh di atas seratus milyar rupiah, semestinya memerlukan persetujuan DPR, setelah
melalui usulan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara (Pasal 1 Ayat 2 PP No. 27
Tahun 2014). Dalam perspektif seperti di atas, pemberlakuan Perda No. 16 Tahun 2014 itu bisa
menimbulkan konotasi sebagai kekhilafan pemerintah daerah setempat dalam memaknai status
HPL ataupun sudah paham tentang status HPL, pemberlakuan Perda tersebut mungkin bisa
dimaknai sebagai bentuk kealpaan terhadap status/posisi Negara selaku pemberi limpahan
wewenang, dan mungkin terlupakan juga bahwa negara merupakan bentuk organisasi
rakyat/bangsa Indonesia, yang mendapatkan mandat menguasai tanah dari rakyat (Lihat Pasal 2
dan Pasal 4 UUPA)
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan & Saran
Tanah surat ijo yang merupakan permukiman di atas tanah negara hasil konversi tanah hak
Barat yang telah menimbulkan konflik antara warga pemukim versus Pemerintah Kota Surabaya
merupakan fenomena unik yang sangat menarik untuk dicermati/dikaji lebih jauh. Keberadaan
system tanah surat ijo itu sebagai varian pemanfaatan tanah HPL di Indonesia, namun esensinya
tetap sebagai sistem sewa tanah yang lazim pada era kolonial. Pemanfaatan tanah berstatus HPL
hasil konversi tanah hak barat seperti di atas perlu ditinjau kembali keberadaannya, terutama yang
diplot untuk permukiman rakyat, karena kurang/tidaksesuai dengan semangat mewujudkan
keadilan/ kesejahteraan rakyat pada era kemerdekaan. Artinya, status HPL yang dilimpahkan
kepada pemerintah daerah harus dibedakan dengan status HPL yang diajukan/diperoleh pihak
badan usaha milik negara/daerah/swasta yang jelas-jelas didasari visi/misi/tujuan komersial murni.
Konflik tanah surat ijo selayaknya menjadi skala prioritas utama penanganan, seyogyanya
diselesaikan sesegera mungkin di bawah payung hukum UUPA dan UUD 1945, sebelum konflik
berkembang semakin kompleks, menggurita, dan rumit. Di dalam kerangka mencapai resolusi itu,
setidaknya diperlukan koordinasi tiga kementerian, yakni Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Upaya penyelesaian konflik tanah surat ijo melalui jalur ligitasi yang cenderung menghasilkan
keputusan menang-kalah (winner-losser) telah terbukti belum/tidak bisa menyelesaikan masalah
konflik, oleh karena itu perlu dicoba penyelesaian melalui mekanisme non-ligitasi, misalnya
APS/ADR atau pun jalur politik/kebijakan. Perlu digarisbawahi, bahwa program pelepasan/
pemindahtanganan tanah surat ijo ke tangan warga penghuni dapat menjadi sebuah
momentum/ajang pembuktian secara nyata upaya negara dalam mewujudkan
keadilan/kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi.
14
Daftar Pustaka
Djuita, Ratna dan Indriayati, 2011, “Eksistensi dan Konflik Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum
Adat”, dalam Jurnal Pertanahan, Menggagas RUU Pertanahan, Vol. 1 No. 1 November 2011, Pusat
Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta.
Harsono, Boedi, 1968, Undang-Undang Pokok Agraria, Sedjarah Penjusunan Isi dan Pelaksanaannja,
Djambatan, Djakarta.
Hukumonline.com 18 Juni 2015 “Ahli: Tanah HPL Bukan Aset Daerah” dalam situs http://
www.hukumonline.com/berita/baca/ lt558289b221708/ahli—tanah-hpl-bukan-asetdaerah.
Jawa Pos, 12 Februari 2011 “Pelepasan Surat Ijo Berbasis Kawasan, Pilihan Rasional Hindari
Spekulan”.
Jawa Pos, 11 Februari 2012 “Tanah Surat Ijo Bisa Jadi Hak Milik, Dewan Usulkan dalam Raperda
Barang Milik Daerah”.
Jawa Pos 30 Juni 2014 “Rencana Pelepasan Tanah Surat Ijo di Surabaya, Warga Masih
Berkeberatan Nilai Kompensasi”.
Jawa Pos, 18 Agustus 2015 “Pelepasan Surat Ijo tanpa Diskon, Warga Tak Mampu Bayar Pelepasan”
15