Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan (amandemen) Konstitusi dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa
Indonesia memberikan perubahan mendasar dalam proses penyusunan arah pembangunan
hukum nasional. Hal ini didasari oleh perubahan-perubahan politik dalam sejarah
Indonesia antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter.
Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, karakter produk hukum juga
berubah. Perubahan politik yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum bukan hanya
menyangkut perubahan undang-undang melainkan menyentuh perubahan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP MPR) dan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945
merupakan agenda atau produk reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran yang kuat yang
dimotori oleh berbagai kampus dan para penggiat demokrasi bahwa reformasi konstitusi
merupakan keharusan jika kita mau melakukan reformasi. Perubahan UUD 1945 ini akan
merubah sistem kelembagaan negara termasuk kedudukan MPR yang akan berdampak
pada hilangnya kewenangan MPR untuk membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
Landasan hukum yang menjadi dasar pijakan hukum di Indonesia adalah pasal 1 ayat
(3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum” yang
menunjukkan bahwa UUD 1945 menjadi dasar dalam segala penyelenggaraan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia mengarahkan
pembagunan hukum nasionalnya untuk melindungi hak-hak warga negara untuk mencapai
keadilan dan jaminan supremasi hukum serta persamaan di muka hukum bagi setiap warga
negara. Adapun tujuan didirikannya negara Indonesia terdapat dalam pembukaan UUD
1945 alinea keempat sebagai berikut :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;

1
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan pembangunan nasional yang


bertahap dan berkesinambungan. Sebelum adanya perubahan (amandemen) UUD 1945
arah pembangunan nasional ditetapkan melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
GBHN merupakan haluan negara tentang pembangunan nasional dalam garis-garis besar
sebagai pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) setiap lima tahun. Setelah amandemen, perencanaan untuk menjamin
tercapainya tujuan negara diatur melalui sistem perencaan pembangunan nasional melalaui
keluarnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (UU-SPPN) yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN). Baik GBHN maupun RPJPN hakekatnya sama sebagai pedoman arah
pembangunan Indonesia baik pemerintah pusat dan daerah.
Perubahan landasan hukum dalam perencanaan pembangunan nasional sebagai
pengganti GBHN pada masa setelah amandemen UUD 1945 banyak menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat. Dengan dihapuskannya GBHN, sebagian pihak menilai
konsistensi dan kontinuitas belum berjalan karena perencanaan pembangunan diwadahi
dalam undang-undang. UU-SPPN beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya
yang menjadi landasan perencanaan pembangunan dianggap tidak mampu menjamin
kesinambungan dan keselarasan pembangunan antara pusat dan daerah. Pemikiran-
pemikiran ini menimbulkan adanya wacana dihidupkannya kembali GBHN yang lebih
mudah dipahami untuk menjalankan roda pembangunan hukum nasional.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana perbedaan dan perbandingan Garis Besar Haluan Negar (GBHN) dengan
Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional (SPPN) ?
2. Apakah saat ini yang digunakan GBHN atau SPPN di Indonesia dan manakah yang
lebih baik untuk arah pembangunan ekonomi ?

2
C. Tujuan Penulisan
Ingin mengetahui dan memahami serta mengkaji perbedaan dan perbandingan antara Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
yang manakah yang lebih baik untuk arah pembangunan ekonomi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan dan perbandingan GBHN dengan SPPN


Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara sistem pembangunan GBHN dan
SPPN yang perlu diulas lebih awal sebelum masuk kedalam tataran argumentasi yang lebih
dalam dan kompleks. Pertama dari sisi sejarahnya, GBHN pertama kali diberlakukan
melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1960 yang melegitimasi konsepsi mengenai
Manipol Usdek sebagai arahan pembangunan nasional Indonesia kedepan. Alasan
mengapa bentuk pertama kalainya adalah Penetapan Presiden karena pada saat itu MPR
belum terbentuk, sehingga GBHN yang semula direncanakan dimuat dalam TAP MPR
untuk sementara waktu dimuat dalam Penetapan Presiden. Sedangkan adanya SPPN di
Indonesia ditujukan untuk mengganti keberadaan GBHN sebagai arah perencanaan
pembangunan nasional yang sudah tidak dibuat lagi, hal itu termuat dalam konsideran butir
A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004.
Kedua dari segi definisi dan konsep, GBHN adalah haluan negara tentang arah dan
tujuan pembangunan nasional yang menjadi pedoman untuk Presiden dalam menjalankan
roda pemerintahan serta berisi tentang pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh
MPR setiap lima tahun sekali dalam rangka mencapai tujuan negara. Sedangkan SPPN
adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-
rencana ditingkat Pusat dan Daerah yang dituangkan melalui RPJP, RPJM dan RKP.
Ketiga dari lemabaga yang membentuk dan produk pembentukannya, GBHN dibuat oleh
MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan produk pembentukannya melalui TAP MPR,
sedangkan SPPN dibuat oleh Presiden selaku kepala pemerintahan dan produk
pembentukannya melalui suatu undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.

4
1. Pandangan Pro Terhadap Pemberlakuan Kembali GBHN
a. GBHN Sebagai Perwujudan Keadulatan Yang Kongkrit Ditinjau Dari Proses
Pembentukannya
Menurut Jean Bodin dalam bukunya Six Livers de la Republique pada tahun 1675
bahwa keadulatan adalah summa in cives ac subditos legibusque soluta potestas atau
yang jika diartikan bermakna sebagai kekuasaan tinggi didalam suatu negara.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kedaultan
berada ditangan rakyat dan dilksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Menurut
Profesor Jimly Pasal tersebut harus dimaknai bahwa rakyatlah yang memegang
kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Maka dari salah satu bentuk konsekuensi
dari paham kedaulatan rakyat yang Indonesia anut adalah mengikutsertakan rakyat
atau perwakilannya dalam menentukan arah pembangunan nasional karena pada
dasarnya pembangunan itu pada akhirnya ditujukan kepada rakyat juga, sehingga
pastilah yang mengetahui kebutuhan dasar faktualnya adalah rakyat itu sendiri.
Namun sayangnya baik secara konseptual maupun empirik, 250 Juta rakyat
Indonesia tidak akan mungkin bisa semuanya melakukan pembahasan untuk
menentukan arah pembangunan nasional sehingga dibutuhkanlah lembaga yang
mewakili aspirasi rakyat itu sendiri dan perwujudan rakyat yang paling representatif
dan institusional sejatinya terletak di lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mengapa MPR ? karena pada dasarnya MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan Anggota Perwakilan Daerah. Kedua lembaga tersebut merupakan organ
yang merepresentasikan rakyat dari dua perspektif yang berbeda yakni dari aspirasi
politik dan aspirasi daerah sehingga mampu dikatakan sebagai penjelmaan dari seluruh
rakyat Indonsia. Terlebih lagi proses pembentukan RPJP dan turunannya saat ini sama
sekali tidak mencerminkan perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat yang hakiki
karena proses penyusunannya yang hanya dilakukan oleh Presiden dan timnya saja,
tanpa adanya keterlibatan dari unsur masyarakat lainnya, sehingga tidak heran apabila
SPPN dan turunannya disebut sebagai executive perspective saja. Presiden juga tidak
dapat dikatakan sebagai bukti nyata dari penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat

5
karena Presiden terpilih sejatinya hanyalah Presiden yang bersuara mayoritas, bukan
representasi 100% rakyat Indonesia.
Hal ini tentu berbeda apabila GBHN kembali diterapkan dan diletakan pada
kewenangan MPR. Dimana kedaulatan rakyat itu dapat lebih tercermin dan terasa dari
proses pembentukan GBHN yang dilakukan oleh MPR selaku lembaga negara yang
identik dengan kedaulatan rakyat karena didalamnya terdiri dari anggota DPR dan
anggota DPD yang memiliki nilai representatif tinggi dari sudut politik dan daerah.
Maka dari itu GBHN patut untuk diterapkan kembali sebagai penjewantahan prinsip
kedaulatan rakyat yang hakiki dengan melibatkan peran serta masyarakat yang
diasosiasikan melalui MPR, bukan oleh Presiden semata melalui SPPN nya.

b. GBHN Sebagai Penguatan Prinsip Check and Balances


Sejalan dengan diamandemennya UUD 1945 telah banyak perubahan yang
terjadi dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia. Salah satunya adalah diterapkannya
sistem baru yang dinamakan sebagai mekanisme check and balances. Mekanisme ini
sejatinya merupakan salah satu tuntutan reformasi karena pada masa sebelumnya
terdapat sejarah kelam adanya pemusatan kekuasaan pada satu lembaga tertentu saja.
Tujuan dari adanya sistem check and balances adalah untuk mengatur hubungan antara
suatu lembaga dengan lembaga negara lainnya agar tercipta suatu kondisi yang saling
mengimbangi dan mengawasi agar mampu menghindari terjadinya pemusatan
kekuasaan yang berpotensi menimbulkan otoriterisme serta penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang.
Maka dari itu salah satu cara untuk menerapakan dan menjewantahkan
mekanisme check and balnces adalah dengan memberlakukan kembali GBHN sebagai
arah pembangunan nasional Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya
GBHN akan membuat MPR dapat melakukan mekanisme check and balances secara
langsung terhadap program pembangunan yang telah Presiden lakukan. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya GBHN bukan semata-mata berfungsi sebagai arah
pembangunan nasional saja, akan tetapi didalamnya terkandung juga mekanisme
kontrol kepada Presiden agar membangun sesuai dengan apa yang telah disepakati.
Dengan adanya mekanisme ini tentunya akan menstimulus Presiden agar tidak

6
melaukan program pembangunan yang asal-asalan dan sewenang-wenang dari arah
roda pemerintahan yang telah disusun oleh MPR. Lebih lanjut, dengan situasi Presiden
yang terus selalu merasa diawasi untuk mengikuti arah pembangunan sesuai dengan
GBHN tentunya akan memitivasi Presiden untuk melakukan pembangunan yang
semata-mata hanya berorientasi kepada kesejahteraan rakyat karena apabila terbukti
menyeleweng dari GBHN terdapat sanksi yang tegas berupa impeachment kepada
Presiden dengan dalih telah melakukan tindakan yang inkonstitusional.
Sejalan dengan hal tersebut Penulis sekaligus merevisi ketentuan dari GBHN
yang semula hanya berisi tentang dasar pembangunan nasional, agenda jangka
panjang, dan pembangunan lima tahun kini ditambahkan dengan adanya sanksi berupa
impeachment apabila Presiden terbukti secara sengaja melanggar GBHN sebagai arah
pembangunan yang telah disusun oleh MPR. Terlebih lagi saat ini prosedur SPPN yang
termuat dalam RPJP berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Thaun
2007 sama sekali tidak mereflesikan semangat check and balances karena mulai dari
pembuatan, pelaksanaan, pengendalian dan bahkan proses evaluasi semuanya
dilakukan oleh Presiden seseorang tanpa adanya keterlibatan dari lembaga lain.
Sehingga muncul kembali suatu pertanyaan kritis yang pernah dikemukakan oleh
Montesquie bahwa bagaimana bisa mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi
dapat diterapkan apabila dilakukan oleh satu lembaga yang sama ? jawabannya sangat
sederhana, dengan hanya satu lembaga yang mengelola suatu sistem logikanya tidak
mungkin ada situasi yang saling mengimbangi dan mengawasi karena segala
sesuatunya telah dikelola secara mandiri oleh satu lembaga saja tanpa adanya
keterkaitan dengan lembaga negara lainnya.
Kemudian bagaimana mungkin ada kondisi yang saling mengimbangi dan
mengawasi karena pada faktanya lembaga lain tidak memiliki tempat dalam mengurusi
permasalahan ini. Lebih jauh lagi, situasi yang tidak sehat ini akan menimbulkan
pemusatan kekuasaan dalam hal pembangunan yang hanay ada satu cabang kekuasaan
saja yakni Eksekutif dan dikhawatirkan kegagalan sistem ini akan berdampak kepada
pembanguan yang dilakukan hanya berorientasi kepada kepentingan Eksekutif semata.

7
c. GBHN Terbukti Mampu Mewujudkan Pembangunan Nasional Yang Lebih
Sukses, Konsisten dan Berkesinambungan
Ketika GBHN dijadikan sebagai arahan pembanguan nasional pada saat sebelum
reformasi telah banyak bukti yang mengindikasikan bahwa GBHN memiliki kontribusi
penting dalam kesuksesan pembangunan pada saat itu. Tidak heran semasa GBHN
diberlakukan Indonesia kerap diganjar sebagai salah satu “Macan Asia” dan
dikategorikan sebagai Newly Industrializing Economies (Negara Baru Ekonomi
Industri) karena memiliki pembangunan yang progresif sehingga menjadi kekuatan
yang diperhitungkan di Asia. Berikut adalah beberapa bukti kesuksesan GBHN yang
pernah terjadi :
1) Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula tengah minus 2,25% pada
tahun 1963. Kemudian sejak diberlakukannya GBHN berhasil hingga
menyentuh angka 12% pada tahun 1969, atau rata-rata 7,2% hingga tahun
1997.
2) Harapan hidup (Life Expectancy) yang semula hanya berkisar pada angka 56
tahun, kemudian sejak GBHN diberlakukan dibuatlah fasilitas-fasilitas
kesehatan yang memadai seperti puskesmas di tiap kecamatan dan
peningkatan kualitas rumah sakit yang menyebabkan angka harapan hidup
meningkat menjadi 71 tahun.
3) Angka kemiskinan absolut yang semula mencapai angka 60% pada tahun
1966 merosot tajam hingga menjadi 14% pada tahun 1990.
4) GBHN juga berhasil menyediakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia
berupa rumah atau papan. Dimana berkat arahan pembangunan dari GBHN
pemerintah Indonesia berhasil membangun 441.923 unit rumah dilengkapi
dengan kebijakan KPR atau kredit kepemilikan rumah.
5) Sektor pertanian juga menjadi suatu prestasi khusus karena bertumbuh
sangat signifikan dengan salah satunya adalah peningkatan produktivitas
padi. Semula Indonesia adalah negara pengimpor beras akan tetapi telah
berubah menjadi negara yang melakukan swasembada beras pada tahun
1984, hal ini tentunya menuai decak kagum dari masyarakat internasional
kususnya FAO PBB.

8
Bukti-bukti kesuksesan di atas bukanlah tanpa sebab, alasan utamanya adalah
konsistensi dan kesinambungan konsep GBHN yang dinilai lebih mumpuni ketimbang
SPPN itu sendiri. Dalam GBHN orientasi yang dibuat adalah untuk jangka panjang
dengan perencanaan yang matang selama 25 tahun dan dilakukan secara bertahap
selama 5 tahun sekali melalui REPELITA, selain itu GBHN juga tidak mudah diubah-
ubah karena dibuat dan disusun oleh MPR yang secara logika pasti akan lebih stabil
diubah karena terdiri dari berbagai macam elemen mayarakat yang terasosiasikan
melalui anggota DPR dan anggota DPD, berbeda halnya dengan SPPN yang hanya
dibuat oleh Presiden seorang yang nantinya akan membuat SPPN itu mudah diubah-
ubah sesuai dengan kehendak Presidennya. Hal ini membuktikan bahwa SPPN dalam
implementasinya sangatlah tidak konsisten.
Permasalahan lain yang kerap terjadi pada SPPN dan tidak terjadi pada GBHN
adalah tidak adanya jaminan bahwa SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara
konsisten oleh pemangku kepentingan terkait karena tidak adanya mekanisme yang
jelas untuk menilai apakah dokumen-dokumen perencanaan tersebut dibuat sebagai
tindak lanjut dari RPJPN seperti level nasional, RPJMN, Renstra-KL, RKP, RKK dan
di lever daerah yaitu RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD memang sudah
merujuk kepada RPJP ataukah tidak. Apalagi jika ditambahkan dengan keharusan
untuk megintegrasikan penjabaran visi dan misi Presiden/Kepala Daerah terpilih,
maka potensi ketidaksinambungan dengan RPJP tentunya menjadi lebih besar lagi.
Logika yang relavan untuk dipakai adalah semakin banyak lapisan yang ada tentunya
akan semakin membuka peluang ketidaksinambungan anatara dokumen-dokumen
perencanaan tersebut. Terlebih lagi dengan tidak adanya mekanisme penyelarasan
antar dokumen tentunya membuat masalah ketidaksinambungan sebagai suatu yang
tidak dapat dielakan. Sehingga dapatlah kita simpulkan bahwa didalam SPPN terdapat
persoalan yang mendasar dan sistematis karena memicu terjadinya inkonsistensi dan
ketidaksinambungan antara berbagai macam dokumen perencanaan lanjutan sebagai
turunan dari RPJP Nasional sebagai induknya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan
proses pembangunan seolah-olah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola,
sedangkan kondisi seperti ini hampir tidak pernah terjadi pada era sebelumnya karena

9
pada saat itu GBHN lah yang merupakan rujukan utama proses perencanaan
pembangunan baik di level nasional maupun daerah.

2. Pandangan Kontra Terhadap Pemberlakuan GBHN


a. GBHN Bertentangan Dengan Sistem Presidensil Yang Indonesia Anut
Dalam proses amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 hingga tahun 2002
terdapat lima komitmen yang disepakti oleh panitia ad-hoc MPR RI. Lima komitmen
tersebut yakni tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan NKRI,
penjelasan UUD 1945 ditiadakan, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara
addendum, dan yang terakhir adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensil untuk
memperkokoh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara
Republik Indonesia agar sesuai dengan apa yang telah dipilih oleh founding fathers
pada tahun 1945. Berbicara dalam konteks sistem pemerintahan maka erat kaitannya
dengan bagaimana cara pemerintahan di suatu negara dijalankan. Dalam sistem
pemerintahan presidensil menurut Prof. Jimly, Abdul Ghoffar dan Duchacck terdapat
beberapa karakteristik khusus yang membedakan dengan sistem pemerintahan
parlementer yakni : (1) Presiden dan kabinetnya tidak bertanggungjawab kepada
legislative, akan tetapi langsung kepada rakyat. (2) Presiden memiliki hak prerogratif
untuk menentukan arah pembangunan nasional selaku kepala pemerintahan sekalugus
kepala negara.
Indonesia sebagai negara yang dengan tegas menganut sistem pemerintahan
presidensil dalam pelaksanaannya kerap menuai banyak halangan dan permasalahan,
salah satunya adalah ketika GBHN itu diberlakukan. Dimana dengan adanya GBHN
membuat semangat sistem pemerintahan presidensil yang Indonesia anut menjadi
tercederai. Hal itu dikarenakan dengan diterapkannya GBHN akan membuat Presiden
harus mempertanggungjawabkan pembangunan yang telah dilakukannya kepada MPR
selaku lembaga yang membuat GBHN itu sendiri. Jika dikorelasikan dengan
karakteristik sistem pemerintahan presidensil butir A dari sini saja penerapan GBHN
sudah tidak valid dengan sistem pemerintahan presidensil karena menyebabkan
Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR bukan kepada rakyat secara langsng.

10
Lebih lanjut lagi dengan adanya GBHN akan membuat Presiden menjadi
tersandera karena Presiden hanya berwenang untuk melaksanakan isi dari GBHN saja,
bukan sebagai Presiden yang seutuhnya dengan melaksanakan program-program
pembangunan yang sejatinya ia yakini. Itu artunya dengan adanya GBHN akan
membuat tekanan politik yang tidak sehat kepada Presiden karena Presiden tidak
mampu untuk kreatif dan mandiri dalam merencanakan dan menjalankan
pembangunan. Kesalahan sistem GBHN ini tentunya akan berdampak dengan tidak
sesuainya program pemabangunan yang ingin direalisasikan oleh MPR dengan apa
yang sejatinya diinginkan oleh Presiden. Jika dilihat dari perspektif ketatanegaraan pun,
sekarang Presiden bukan lagi sebagai mandataris dari MPR akan tetapi sebagai
mandataris langsung dari rakyat sehingga itu artinya tidak ada lagi hubungan kausalitas
antara Presiden dan MPR selain dari pada masalah sumpah jabatan dan pelantikan.

b. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) Lebih Baik Dari Pada


GBHN Ditinjau Dari Segi Mekanisme dan Segi Ke-Otonomian Daerah
Terdapat dua kelebihan dari SPPN yang tidak dimiliki oleh GBHN, Pertama
SPPN itu lebih terarah karena mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan
ada dibawah sat ugaris komando yaitu Eksekutif atau Presiden. Hal ini tentunya
membuat SPPN menjadi lebih terarah dan mudah dilaksanakan karena hanya dipegang
oleh satu lembaga saja, leih lanjut hal ini memudahkan koordinasi karena mulai dari
perencanaan hingga pada tataran pelaksanaan semuanya dipegang oleh Presiden selaku
cabang kekuasaan yang memiliki penuh dalam melakukan pembangunan. Sedangkan
GBHN justru memicu ketidaksinambungan antara program yang diharapkan dan
program yang direalisasikan, karena prooses perencanaannya ada di MPR sedangkan
pelaksanaanya ada di Presiden, hal ini tentunya akan membuat Presiden merasa tidak
nyaman karena program yang nantinya akan dilaksanakan tidak sesuai dengan apa yang
diyakinkan.
Kedua, dalam SPPN terdapat mekanisme bernama Musrembang atau
Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang terdiri dari unsur-unsur penyelenggara
negara, akademisi dan unsur masyarakat. Itu artinya SPPN dibuat berdsarkan kajian
praktik dan akademik yang mumpuni karena melibatkan banyak pihak dalam

11
perencanaannya, meskipun pada akhirnya perencanaan final ada di tangan Presiden.
Sedangkan GBHN penyusunannya hanya dilakukan oleh MPR secara sendiri, tanpa
adanya peran serta dari unsur-unsur lain yang memiliki pertimbangan pula. Hal ini
tentunya mengakibatkab proses perencanaan GBHN hanya bermuatan unsur politik
semata, berbeda dengan SPPN yang kaya akan muatan kebutuhan praktik dan
akademik.
Ketiga, SPPN sejatinya membawa semangat otonomi daerah. Otonomi daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban yang dimiliki oleh daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat di
wilayahnya berdasarkan prinsip yang seluas-luasnya. Dengan format SPPN yang terdiri
daru RPJMD membuat pemerintah dapat leluasa melakukan perencanaan
pembangunan sesuai dengan kebutuhan empirik yang ada di wilayahnya. Karena pada
dasarnya tidak ada yang lebih tahu kebutuhan pembangunan di suatu wilayah kalau
bukan masyarakat daerah itu sendiri dan pemerintah daerhanya. Sedangkan dalam
GBHN yang hanya terdiri dari suatu dokumen perencanaan justru membuat daerah
terpaksa tunduk atas perencanaan pembangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
Hal itu disebabkan karena penyusunan GBHN bersifat sentralistik dan Top-Down,
tentnya hal ini meningkatkan potensi tidak terakomodirnya kebutuhan khusus yang
berbeda-beda di berbagai wilayah karena segala perencanaan pembangunan diseluruh
wilayah Indonesia disamaratakan oleh Pemerintah Pusat melalui GBHN.
Kemudian berdasarkan data aktual dari laporan Bapenas terkait evaluasi RPJMN
pada tahun 2010-2014, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan sudah efektif dan
terlaksana dengan baik, hal ini mengindikasikan bahwa SPPN telah layak dan mampu
menggantikan peran GBHN sebagai sistem perencanaan pembangunan nasional.
Berikut adalah beberpa contoh kesuksesan SPPN yang tertuang dalam RPJP yakni :
(1) Program penghapusan buta aksara yang ditargetkan 4,8 % dengan SPPN
hasilnya 4,40%
(2) Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 7% dengan SPPN hasilnya 6,5%
(3) Pengurangan kemiskinan yang ditargetkan 10% dengan SPPN hasilnya 11,
66%

12
(4) Pengentasan pengangguran yang ditargetkan 6% dengan SPPN hasilnya
6,32%

B. Manakah Yang Saat Ini Digunakan GBHN atau SPPN Di Indonesia Serta Manakah
Yang Lebih Baik Untuk Arah Pembangunan Ekonomi
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan negara tentang
penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat
secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun.
Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan
presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU NO 25 Tahun 2004 mengatur
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang menyatakan bahwa
penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan
UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang
memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman
pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah,
dengan merujuk kepada RPJP Nasional.
Pada era baru kita mengenal Garis Besar haluan Negara atau GBHN yang
ditetapkan oleh MPR sebagai patokan untuk pembangunan Negara ini. sekarang sudah
tidak ada lagi GBHN dan dijaman reformasi ini diganti dengan Undang-Undang 25/2004
yang mengatur Rencana Pembangunan jangka panjang Nasional. Biasa disebut sebagai
RJPP atau RJPPN. Sesungguhnya GBHN dan RPJP ini sama fungsinya yaitu sebagai
patokan arah pembangunan Indonesia baik pusat dan daerah. RPJP ini akan dibuat
turunannya per lima tahun dengan sebutan RPJM atau rencana Pembangunan Jangka
Menengah. Lima tahun diambil dari masa kerja seorang Presiden RI. Demikian juga
dengan daerah yang harus membuat RPJP dan RPJM masing-masing mengaju kepada
RPJPN tersebut diatas. Sudah berjalan 7 tahun RPJPN tersebut dan apakah ada tanda-tanda
masih sesuai target atau justru menyimpang jauh. Coba kita cek dari misi yang ditulis
diatas. Indonesia yang mandiri, maju dan makmur, apakah ada kemajuannya? Beras malah

13
import, bawang dan cabai juga import, garam juga import, ikan laut juga import,
masyarakat masih banyak yang miskin dan sebagainya. 7 tahun berlalu kok bukan malah
swasembada ini kok malah semakin banyak importnya. Artinya yang berkembang justru
jiwa dagang ketimbang jiwa entrepreneurnya. Yang penting untung walaupun dari import.
Harusnyakan produksi sendiri dan kurangi sebanyak mungkin ketergantungan pada import.
Yang kedua, bangsa yang berdaya saing, akan sulit dicapai selama masih sangat
mencintai neo liberalism. Yang kuat adalah pemenang dan yang lemah adalah pecundang.
Makanya tidak heran kita selalu import dan juga sulit melaksanakan pembangunan
infrastruktur ekonomi yang dapat mendukung pembangunan. Karena tidak jelas
langkahnya maka banyak hambatan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Demikian juga
dengan dunia pendidikan yang masih saja rebut. Lalu bagaimana bisa berdaya saing jika
kita tidak punya agenda jelas pondasi mana yang akan dibangun untuk sebagai dasar
langkah kedepannya.
Akhlak mulia dan bermoral? Kok makin jauh ya. Demokratis dan berdasar hukum?
Juga makin jauh saja. korupsi semakin meraja lela. Tawuran dan anarkisme semakin luas.
Mafia hukum dan pajak masih mantap eksis dinegara ini. kebebasan sek, narkoba,
minuman keras tidak pernah berkurang. Peranan pemuka agama dan masyarakat semakin
dipinggirkan. Pelaku zinah tetap dijadikan idola. Koruptor masih tersenyum dan
melambaikan tangan seperti orang mulia saja. ngaku demokratis tetapi berbeda sedikit
rusuh ujungnya. Mau menang pada nggak mau kalah. Jadi tidak bergerak kemajuan
pelaksanaan misi ini. itu jelas dan fakta.

1. Wacana Kembali Ke GBHN


Salah satu perubahan sistem politik Indonesia yang berlangung sejak reformasi
adalah perubahan sistim kelembagaan Negara dari sistim MPR sebagai lembaga tertinggi
negara, berwenang menentukan arah pembangunan bangsa melalui GBHN (Garis-garis
Besar Haluan Negara) menjadi MPR sebagai lembaga tinggi negara, sejajar dengan
lembaga eksekutif,legislative dan yudikatif. MPR sebagai lembaga permusyawaratan,
tempat bertemu dua lembaga legislatif DPR RI dan DPD RI, memiliki dua wewenang.
Pertama, wewenang terhadap UUD (mengubah dan menetapkan UUD). Kedua wewenang
terhadap Presiden (melantik dan memberhentikan Presiden). Sementara wewenang MPR

14
untuk menentukan arah pembangunan nasional dihapus. Tujuan dari perubahan sistim ini
adalah untuk membangun demokrasi kelembagaan agar tidak ada hirarchi kelembagaan.
Ketika MPR sebagai lembaga permusyawaratan, tidak memiliki wewenang lagi
untuk menafsir dan menjabarkan pasal-pasal UUD 45 dalam bentuk GBHN, maka
Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai upaya berkesinambungan untuk
merealisasikan tujuan nasional : melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat,
dirubah sistem dan lembaga perencananya. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
diatur dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007 yang berisi visi, misi,
arah pembangunan nasional, dengan sistimatika Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional ( RPJPN ) per- 20 tahun dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah
Nasional (RPJMN ) per- 5 tahun. RPJMN disusun oleh Presiden dan ditetapkan dengan
Peraturan Presiden RI dengan tujuan meningkatkan taraf hidup, pemenuhan kecerdasan,
dan kesejahteraan masyarakat.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) pasca reformasi ini
melahirkan berbagai masalah diantaranya :
a. Penyusunan dan pelaksanaan RPJMN dan RPJPN dipandang lemah, karena
executive perspective.
b. Terjadi inkonsistensi dan diskontinuitas pelaksanaan RPJMN dengan RPJPN
karena pergantian Presiden 5 tahun sekali.
c. RPJM Nasional tidak sinkron dengan Daerah, karena RPJM Daerah disusun
menurut perspektif daerah.

Ketika hampir 15 tahun sistem ini berjalan, banyak pihak menilai bahwa tanpa
GBHN sebagai otoritas tertinggi yang mengarahkan pembangunan bangsa, membuat
negara ini bukan lagi Negara kesatuan, tetapi Negara dengan multy government. Kekuasaan
ada dimana-mana ( Pusat dan Daerah) yang dengan mudah dapat diselewengkan untuk
kepentingan diri dan kelompok dalam bentuk tindak pidana korupsi dan lain-lain. RPJM
yang disusun dan dilaksanakan selama ini tidak menjawab secara komprehensif persoalan
nasional yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan
kemajuan negara-negara tetangga lainnya. Kita banyak mengalami kemunduran dalam
pembangunan bangsa.

15
Atas dasar itu, maka berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali
GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden ) dalam menjalankan roda
pemerintahan. Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya
melaksanakan GBHN yang telah disusun. Berbagai pihak banyak yang menyesalkan
penghapusan tugas MPR dalam menentukan GBHN, karena tanpa GBHN pembangunan
Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan dan Indonesia tidak akan mampu
menghadapi berbagai ancaman di masa depan. GBHN sebagai aset bangsa kembali
diperhitungkan dalam perannya sebagai pagar kehidupan bangsa. Hilangnya pagar
kehidupan telah membuat bangsa ini dengan mudah dijamah tangan-tangan asing, dimana
visi pembangunan cenderung hanyut dalam hiruk pikuk kepentingan asing sehingga
kesejahteraan rakyat terabaikan. Maka itu, berbagai pihak meminta ruh dan jati diri
pembangunan bangsa tetap berpijak pada aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang
dituangkan dalam GBHN.
Indonesia Kembali ke sistem GBHN ?. Untuk maksud di atas, banyak hal yang
harus dikaji, baik secara yuridis, sosiologis dan metodologis. Yang harus pula
diperhitungkan adalah perubahan paradigma berpikir yang ikut merubah arena, wajah dan
struktur politik. Dalam era Reformasi, demokrasi mulai terkondisi di berbagai lini
kehidupan,sekalipun demokrasi yang dilahirkan di Indonesia abortus sehingga menjadi
industri politik. Semua identitas yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat
mendapat ruang. Semua kelompok dari berbagai kalangan mendapat tempat untuk
menyalurkan aspirasi dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi
terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan
politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.
Muncul pertanyaan, Sistem GBHN bisa kah diterapkan dalam arena baru politik
ini? Apakah representasi, partisipasi dan penataan ruang publik yang telah diatur dengan
undang-undang harus dikoreksi lagi?. Bagaimana mencari solusi kalau terjadi konflik
kepentingan dalam menyusun GBHN ? Kita sekarang berada dalam medan wacana. Politik
adalah medan wacana dan GBHN bisa menjadi pertempuran wacana. Dengan majunya
media, kita sekarang menjadi masyarakat tontonan, apakah akan kita mempertontonkan
perebutan dan konflik kepentingan dari para penguasa di negeri ini ?.Indonesia negara yang
sangat multikultural sebab negeri ini terdiri atas etnis, bahasa, agama, budaya yang

16
berbeda-beda. Kondisi ini bagaikan dua sisi mata pedang, jika dapat dikelola dengan baik
maka akan menjadi hal yang positif, tetapi jika tidak dapat dikelola dengan baik maka akan
muncul “malapetaka”. Orde Baru dengan sistem GBHN tidak sepi dari berbagai
“malapetaka”, sehingga harus diakhiri dengan Reformasi yang mengambil korban.
Dalam sistim GBHN di era Orde Baru, tripolarisasi ekonomi ( BUMN, Koperasi
dan Swasta) tidak tegak sama-sama kukuh, sehingga terjadi kepincangan sosial dalam
berbagai aspeknya. Padahal tujuan pembangunan nasional dirumuskan dalam Trilogi
Pembangunan : Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. Kebijakan yang menempatkan
pemerintah sebagai pemegang peran penting dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi
juga diselewengkan dengan memberikan fasilitas,proteksi dan subsidi ekonomi pada
kelompok-kelompok tertentu, sehingga keadilan sosial yang diamanatkan UUD 45 tidak
pernah terwujud. Tumbuh konglomerat swasta yang berbau kekuasaan yang menindas
pelaku-pelaku ekonomi lemah. Penerapan kembali sistim GBHN memang sudah menjadi
aspirasi, tapi perlu kajian yang seksama. Arena ,wajah dan struktur politik telah berubah.
Sekarang ini perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep negara tidak mudah diatasi,
karena paradigma berpikir terarah kepada kebebasan.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Permasalahan mengenai stagnansi pembanguan yang kerap dirsakan akhir-akhir ini
membuat romantisme kepada GBHN kembali di semarakan. Pasalnya perencanaan
pembangunan memegang peranan penting dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri
karena dengan perencanaan yang baik niscaya hasil pembangunan yang terwujud akan baik
pula. Permasalhannya saat ini terdapat dua opsi format mengenai arah perencanaan
pembangunan nasional yang memiliki kebaikan dan keburukan masing-masing yakni Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Pandangan yang pro terhadap pemeberlakuan kembali GBHN mendasari alasannya bahwa
GBHN merupakan perwujudan kedaulatan yang konkrit ditinjau dari proses
pembentukannya. Selain itu, GBHN juga dinilai sebagai manifestasi konkrit dari penguatan
sistem cheks and balances yang ingin dikedepankan di Indonesia. Kemudian
disempurnakan dengan bukti-bukti aktual bahwa GBHN lebih sukses ketimbang SPPN itu
sendiri. Sedangkan pandangan yang kontra melihat bahwa dengan diberlakukannya GBHN
justru akan menodai sistem presidensil yang Indonesia ingin perkuat saat ini. Tidak hanya
itu, GBHN yang dibuat secara top down tidak lagi sesuai dengan konteks relevansi saat ini
yang menjungjung tinggi semangat otonomi daerah.
Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan
presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU NO 25 Tahun 2004 mengatur
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang menyatakan bahwa
penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan
UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) pasca reformasi ini melahirkan
berbagai masalah diantaranya : penyusunan dan pelaksanaan RPJMN dan RPJPN
dipandang lemah, karena executive perspective. terjadi inkonsistensi dan diskontinuitas
pelaksanaan RPJMN dengan RPJPN karena pergantian Presiden 5 tahun sekali, RPJM
Nasional tidak sinkron dengan Daerah, karena RPJM Daerah disusun menurut perspektif

18
daerah. Dengan begitu yang lebih baik untuk arah pembanguan nasional adalah Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang telah sukses dengan bukti-bukti aktual bahwa GBHN lebih
sukses ketimbang SPPN itu sendiri.

B. Saran
Tujuan didirikannya negara Indonesia terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Dari amanat UUD 1945 tersebut sangat jelas bahwa pemerintah harus
melaksanakan pembangunan dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan rakyatnya, maka
dari itu pemerintah harus memikirkan kembali tentang sistem perencanaan pembangunan
yang sukses seperti GBHN dahulu agar supaya apa yang diamanatkan UUD 1945 dapat
tercapai.

19
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hasbi Arbi, UUD 1945 dan GBHN Sebagai Kendali Yuridis Dalam
Pembangunan Nasional, Variasi : Vol No. 12, Juni-Juli 2013.
Solly Lubis, Politik Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Jakarta, 2000.
Minto Rahayu, Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghadapi Jati Diri Bangsa,
Grasindo, Jakarta, 2007.
Alfitra Salam, Prospek dan Tantangan Implementasi Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional, 2005-2025, Pusat Pengkajian Pengolahan Data Informasi
Sekretariat Jendral DPR RI, 2007.
Dimyati Hartono, Probelmatik dan Solusi Amandemen UUD 1945, Gramedia, Jakarta, 2009.
Nasrudin Anshorly, Dekonstruksi Kekuasaan : Konsolidasi Semangat Kebangsaan, LKIS,
Yogyakarta, 2008.
Sofyan Saleh dan Nurdjaman Arsjad, Perekonomian Indonesia Dalam Perspektif Waktu,
Pamator, Jakarta, 2000.
Bapenas, Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta, 2013.
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi, Civic Education : Antara Realistis Politik dan
Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai