Anda di halaman 1dari 95

CRITICAL REVIEW

Sebuah hasil bacaan dari buku Analisis Kebijakan dari Riant Nugroho D. dan Kebijakan

Pendidikan Era Otonomi Daerah dari Sam M. Chan bersama Tuti T. Sam.

Buku yang berjudul Analisis Kebijakan merupakan sebuah bacaan yang isinya terkait mengenai

tinjauan terhadap berbagai aliran pemikiran dalam bidang kebijakan publik. Selain itu, ada pula

pendekatan pada, ruang analisis kebijakan publik bertautan dengan ruang yang dihuni oleh

analisis politik, bahkan ekonomi-politik. Menurut penulis, kebijakan yang dirancang untuk

publik, untuk umum, tidak dapat dipisahkan dari unsur pengaruh kekuasaan.

Dalam pemahaman yang pada umumnya diajarkan secara formal di berbagai institusi pendidikan

(public policy), aspek ini semua orang dapat mengakses secara potensial terhadap pengetahuan

dan keterampilan tersebut lewat jalur pendidikan. Kemudian muncul pertanyaan, adakah yang

dapat membebaskan diri dari tekanan sebuah kekuasaan?. Sesungguhnya dalam ruang lingkup

kebijakan tidak hanya bersifat ilmiah-abstrak dari para ahli, namun juga dapat berhubungan

dengan para pemegang kekuasaan konkret, penyalur dana, para pengusaha, para serikat buruh

dan juga lain sebagainya. Dengan kata lain, kepentingan dasar sebuah kebijakan merupakan

kepentingan bersama dari berbagai bidang-bidang yang ada, untuk memetakan konstelasi

kekuasaan secara lebih luas dalam masyarakat dan Negara.

Ada pendapat, analisis kebijakan tidak pernah akan menjadi teori, dikarenakan analisis kebijakan

lebih banyak pada ranah praktik daripada ranah teori. Kebijakan publik merupakan keputusan-

keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan

pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat

banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Ditinjau dari proses, kebijakan publik
diartikan sebagai hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai

gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.

Oleh karena itu, kebijakan merupakan instrument pemerintah untuk melakukan suatu tindakan

dalam bidang tertentu seperti fasilitas umum, tranportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan,

kesehjahteraan, dan lain-lain yang dianggap akan membawa dampak positif bagi kehidupan

warganya. Pengertian lainnya, kebijakan publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi seperti

perundang-undangan, dan peraturan-peraturan pemerintah. Namun, sebagian lagi mengartikan

kebijakan publik sebagai pedoman acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau

ditetapkan sebagai garis besar pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.

Kebijakan publik sebagai pilihan

tindakan yang legal karena dibuat oleh orang

yang memil

iki otoritas dan legitimasi dalam

sistem

pemerintahan.

Keputusan

keputusannya

mengikat

aparatus

pemerintahan

untuk

bertindak
dalam

menyiapkan

rancangan

perundang

undangan dan peraturan pemerintah untuk

dipertimbangkan

oleh

parlemen

atau

mengalokasikan

angg

aran

guna

mengimplementasikan program tertentu.

Kebijakan sebagai keputusan legal

bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu

memiliki kewenangan dalam menangani

berbagai isu dan masalah publik. Setiap

pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan

warisan kebia

saan

-
kebiasaan pemerintahan

terdahulu. Rutinitas birokrasi yang diterima

biasanya merefleksikan keputusan kebijakan

lama yang sudah terbukti efektif jika

diterapkan. Dalam konteks ini, penting

dikembangkan

proses

kebijakan

yang

partisipatif dan dapat diter

ima secara luas

sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan

aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara

teratur dan mencapai hasil yang baik.

Kebijakan publik sebagai hiptesis

artinya kebijakan dibuat berdasarkan teori

dan proposisi

proposisi sebab akibat. O

leh

karena itu, kebijakan

hendaknya

bersandar
pada asumsi

asumsi mengenai prilaku. Hal

ini penting agar kebijakan selalu mendorong

orang untuk melakukan sesuatu, serta

mampu

memprediksi

keadaan

dan

menyatukan perkiraan

perkiraan mengenai

keberhasilan yang

akan dicapai dengan

mekanisme

mengatasi

kegagalan

yang

mungkin terjadi.

Namun kebijakan bukanlah

laboratorium tempat uji coba, karena sulit

untuk mengevaluasi asumsi

-
asumsi prilaku

sebelum sebuah

kebijakan

benar

benar

dilaksanakan.

Pemerintah

mungkin

mempe

rkirakan

bahwa

sebuah

paket

pengurangan pajak akan mendapat respon

positif dari rakyat. Tetapi, hingga pemerintah

mengumumkan pengurangan tersebut dan

mengukur dampaknya, para pengambil

kebijakan harus selalu waspada karena

akibat yang ditimbulkan kebijaka

n tersebut

belum tentu sesuai dengan perkiraan

sebelumnya.
Dalam konteks tersebut, pelajaran

dan temuan

temuan dari hasil implementasi,

monitoring dan evaluasi menjadi sangat

penting. Artinya, pembuatan kebijakan yang

baik didasari kemampuan dalam memahami

pelajaran

pelajaran

dari

pengalaman

pengalaman kebijakan dan menerapkan

pelajaran itu dalam langkah perumusan

kebijakan

berikutnya.

Oleh

arena

banyaknya pemain dan kepentingan dalam

perumusan

sebuah
kebijakan,

mengintegrasikan pengalaman penerapan

kebija

kan

dengan

perbaikan

kebijakan

berikutnya tidak selalu mudah dilakukan.

Temuan

temuan

dilapangan

mengenai

konsewensi

konsekwensi kebijakan perlu

dicatat dan didokumentasikan secara baik

dalam sebuah naskah kebijakan sehingga

dapat dipelajari dan disebarlua

skan.

Berkaitan dengan kebijakan publik sebagai

tujuan dimaksudkan kebijakan menjadi alat

untuk mencapai sebuah tujuan. Artinya,


kebijakan

publik

adalah

seperangkat

tindakan pemerintah yang didesain untuk

mencapai

hasil

hasil

tertentu

yang

diharapkan oleh

publik. Pembuat kebijakan

harus mampu merumuskan tujuan yang

ingin dicapai, karena kebijakan tanpa tujuan

tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil

akan menimbulkan masalah baru. Misalnya,

sebuah kebijakan yang tidak memiliki tujuan

jelas, program

progr

amnya akan diterapkan

secara berbeda
-

beda, strategi pencapaiannya

menjadi kabur, dan akhirnya para analis dan

kritikus akan menyatakan bahwa pemerintah

telah kehilangan arah. Dalam kenyataannya,

pembuat kebijakan seringkali kehilangan

arah

dalam

penetapan

tujuan

tujuan

kebijakan. Solusi kerapkali dipandang lebih

penting dari masalah. Padahal yang terjadi

seringkali sebaliknya dimana sebuah solusi

yang baik akan gagal jika diterapkan pada

masalah yang salah. Dalam konteks ini,

identifikasi masalah dan kebutu

han menjadi

sangat penting. Oleh karena itu kebijakan

yang baik dirumuskan berdasarkan masalah


dan kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian, kebijakan yang

baik akan dapat merumuskan secara eksplisit

pernyataan resmi mengenai pilihan tindakan

yang akan dilaku

kan, dan teori, proposisi

dan model sebab

akibat yang mendasari

kebijkan, serta hasil

hasil yang akan dicapai

dalam kurun waktu tertentu. Artinya, dalam

sebuah lingkaran perumusan kebijakan,

pilihan

pilihan tindakan yang legal dibuat

berdasarkan

hiptesis

dari

proposisi

proposisi berbagai teori guna mencapai


tujuan

tujuan kebijakan yang ditetapkan.

Rumusan yang sederhana ini menunjukkan

hubungan antara ketiga dimensi kebijakan di

atas. Artinya, kebijakan publik sebagai

pilihan tindakan legal, sebagai hipte

sis dan

sebagai tujuan merupakan tiga serangkai

yang saling berkaitan satu sama lain

sehingga ketiganya merupakan prasyarat

sekaligus tantangan bagi kebijakan publik

yang efektif.

PE

RMASALAHAN KEBIJAKAN

PENDIDIKAN

Persoalan penting yang perlu disorot

da

lam makalah ini,

apakah kebijakan

pendidikan bagian kebijakan publik atau

kebijakan pendidikan sebagai kebijakan

publik. Permasalahan tersebut menjadi


pent

ing

karena

berkaitan

dengan

mem

osisikan pendidikan dalam konteks

sektor

sektor publik yang harus dike

lola

secara serius

dan besarnya tingkat urgensi

bagi

pemerintah

di dalam

menetapkan

prioritas

program

program pembangunan

Untuk tidak bias dalam pembahasan


permasalahan di atas

, perumusan kebijakan

pendidikan

dan kebijakan publik

menjadi

mendesak ditakr

ifkan.

Definisi kebijakan

publik telah dikemukakan pada bagian

terdahulu, sementara pengertian kebijakan

pendidikan berangkat dari pemikiran

Tilaar

dan Nugroho (2008)

yang

mengungkapkan

bahwa kebijakan pendidikan tidak dapat

dilepaskan dengan hakikat pendi

dikan

dalam proses memanusiakan anak manusia

menjadi

manusia

merdeka.

Manusia
meredeka adalah manusia yang kreatif yang

terwujud di dalam budayanya. Manusia

dibesarkan di dalam habitusnya yang

membudaya, dia hidup di dalam budayanya

dan dia menciptakan ata

u merekonstruksi

budayanya itu sendiri.

Konstruksi

pemikiran

di

atas

bermakna bahwa

pendidikan

adalah

proses

pemberdayaan

sehingga

peserta

didik

menjadi mandiri, kreatif dan bertanggung

jawab atas eksistensinya.

Tilaar dan Nugroho

(2008) mengelaborasi p
en

didikan dalam

pandangan Ki Hajar Dewantara

, Romo

Mangun dan Paulo Freire. Bagi Ki Hajar

Dewantara, pendidikan

sebagai

suatu proses

pemberdayaan

untuk

menumbuh

kembangkan kemandirian manusia karena

pada dasarnya manusia merupakan mahluk

yang berdiri sendiri

dan bertanggung jawab

atas eksistensi dirinya, tidak seorangpun

berhak merampas kemandirian orang lain

dan hak menjadi diri sendiri menunjukkan

identitas seseorang yang diwujudkan melalui

interaksi dengan orang lain. Hal ini juga

senada dengan pandangan


Romo Mangun

yang memandang manusia sebagai mahluk

kreatif yang dianugerahi kebebasan berpikir

agar dapat menentukan dirinya sendiri.

Untuk mengeksplorasi kemampuan yang

diberikan sang pencipta tersebut, sehingga

membuahkan kreasi

kreasi baru, dibutuhkan

uasana kebebasan yang dapat

menjamin

kemerdekaan berdialog dengan dirinya

sendiri, sesama peserta didik, dengan alam

dan dengan pendidiknya. Romo Mangun

tidak percata bahwa proses pendidikan y

ang

bersifat otoriter yang memba

tasi kebebasan

peserta

didik

dap

at
mengembangkan

kreatifitas peserta didik. Ketidak percayaan

Romo Mangun tersebut, sejalan dengan

Paulo

Freire

yang

melihat

proses

memanusiakan manusia lewat dialog dan

interaksi dengan sesama manusia dalam

suasana kemerdekaan dan

kebebasan.

Istilah keme

rdekaan dan kebebasan

tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan

dengan

konsep

kekuasaan.

Dengan

demikian,

pendidikan tidak dapat lepas dari


kekuasaan

yang memberikan kebebasan

untuk berekspresi, mengeksplorasi pontensi

dasarnya dan berinteraksi sesama man

usia

sehingga jati dirinya sebagai manusia dewasa

dan sempurna dapat terwujud

. Apabila

diinginkan suatu masyarakat demokrasi

maka yang pertama

tama dilakukan adalah

mendemokratisasikan pendidikan. Hal ini

berarti pendidikan bukanlah suatu yang

mencekoki pe

serta didik dengan ilmu

pengetahuan tetapi ilmu pengetahuan itu

dimiliki karena pengalaman peserta didik

dalam suasana kebebasan dan kemerdekaan

(Tilaar, 2003

dan Tilaar, 2005

.
Uraian

di

atas

memperlihatkan

keterkaitan yang erat antara pandangan

tentan

g manusia dengan proses pendidikan.

Proses memanusia untuk mewujudkan

kemerdekaannya

diperlukan

lingkungan

yang kondusif bagi perkembangan pribadi

yang merdeka, sehinga proses pendidikan

merupakan kesatuan antara teori dan

praktek pendidikan atau disebut p

raksis

pendidikan (Tilaar dan Nugroho, 2008).

Artinya,

visi

dan

misi

pendidikan

merupakan penjabaran dari pandangan


tentang hakikat manusia atau filsafat

manusia yang menganggap manusia sebagai

mahluk pribadi dan sosial sekaligus. Dengan

demikian,

perumus

an

visi

dan

misi

pendidikan sangat tergantung pada aspek

aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya

dimana dia hidup. Oleh karena pendidikan

merupakan suatu pengetahuan praksis maka

analisis kebijakan pendidikan merupakan

salah satu input penting dalam peru

musan

visi dan misi pendidikan.

Dalam konteks inilah kebijakan

pendidikan harus di pandang berdasarkan

pendidikan sebagai suatu pengetahuan

praksis dimana vis

i dan misi pendidikan


mengakomodasi esensi filsafat manusia,

filsafat politik, sosial, ekonomi da

n budaya

Dengan demikian, kebijakan pendidikan

merupakan pengejewantahan dari visi dan

misi pendidikan bernuansa

esensi

manusia

berdasarkan filsafat manusia dan politik

dalam

konteks

situasi

politik,

sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakatnya.

KEBIJAKAN

PENDIDIKAN:

PENDEKATAN FILSAFAT MORAL DAN

EKONOMI POLITIK

Untuk

menjawab

permasalahan
kebijakan pendidikan

bagian dari kebijakan

publik

atau kebijakan pendidikan sebagai

kebijakan

publik yang telah dikemukakan

sebelumnya,

akan dimulai dengan teladan

pene

rapan

kebijakan

pendidikan

di

Kabupaten Jembrana

Namun sebelum kasus

ini

dijelaskan,

terlebih

dahulu

akan

disampaikan proses kebijakan publik sebagai

pengantar teoetis memahami perumusan,


implementasi dan evaluasi kebijakan

yang

terjadi di Jembrana

Setel

ah kasus Jembrana

dipaparkan,

kemudian

ditindaklanjuti

analisis dengan pendekatan filsafat moral

dari Tilaar. Untuk memperluas perspektif

pemahaman tentang kebijakan pendidikan

dan kebijakan publik maka digunakan pula

pendekatan

teori

ekonomi

politik

pendi

dikan.

Pendekatan ekonomi politik berbeda

dengan pendekatan filsafat moral, kalau

pendekatan filsafat moral lebih fokus pada

hakikat manusia sebagai suatu tujuan yang


hendak dicapai oleh kegiatan pendidikan

dan politik, maka pendekatan ekonomi

politik leb

ih tertuju pada hakikat pendidikan

sebagai barang

atau jasa yang di

konsumsi

untuk

memuaskan konsumernya

. Oleh

karena itu pendekatan ekonomi politik

pendidikan masih belum lumrah digunakan

(Rosidi, 2008), maka model ini menjadi

sebuah pi

ranti analisis kriti

k kebijakan

pendidikan yang bermanfaat untuk mencari

tahu posisi kedudukan kebijakan pendidikan

dan kebijakan publik.

A. Proses Kebijakan

Proses kebijakan dapat digambarkan

sebagai suatu sistem yaitu ada input, proses


dan output.

Input proses kebijakan a

dalah

isu kebijakan atau agenda pemerintah,

sedangkan

proses

kebijakan

berupa

perumusan

formulasi

kebijakan

dan

implementasi kebijakan. Isu dan formulasi

kebijakan merupakan proses politik yang

dilakukan elit politik dan kelompok

kelompok penekan. Sementar

a output dari

suatu proses kebijakan adalah kinerja

kebijakan.

Berkaitan

dengan

perumusan
kebijakan, Nugroho (2008) mengajukan

model yang dapat digunakan yakni: model

kelembagaan,

model

proses,

model

kelompok, model elit, model rasional, model

inkremental

model

permainan,

model

pilihan

publik,

model

sistem,

model

demokratis, model strategis, dan model

deliberatif. Ketiga belas model tersebut

diuraikan secara ringkas sebagai berikut.

Model

kelembagaan

pada
dasarnya

merupakan

sebuah

model

yang

dikembangkan

oleh para pakar ilmu politik

dengan

memandang

kebijakan

publik

sebagai kegiatan

kegiatan yang dilakukan

oleh lembaga

lembaga pemerintah. Artinya,

tugas membuat kebijakan publik adalah

tugas pemerintah.

Model proses berasumsi bahwa

politik merupakan sebuah

aktivitas sehingga

mempunyai
proses.

Artinya,

kebijakan

publik merupakan proses politik dengan

rangkaian

kegiatan:

identifikasi

permasalahan, pengembangan program atau

kebijakan, dan evaluasi program atau

kebijakan.

Model teori kelompok merupakan

abstrak

si dari proses formulasi kebijakan

yang di dalamnya terdapat beberapa

kelompok

kepentingan

yang

berusaha

mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan

secara interaktif. Dengan demikian, model ini

mengandaikan

kebijakan

sebagai
titik

keseimbangan

dari

suatu

intera

ksi

kelompok

kelompok kepentingan.

Model elit berasumsi bahwa dalam

suatu masyarakat terdiri dari kelompok elit

yang memegang kekuasaan dan kelompok

massa yang tidak memiliki kekuasaan.

Rumusan kebijakan merupakan preferensi

politik dari para elit yang be

rkuasa sehingga

apabila

terjadi

bias

formulasi

dapat

dimaklumi sebagai kelemahan pendekatan

model tersebut.
Model rasional menganggap bahwa

kebijakan publik sebagai

maximum social gain

yang berarti pemerintah sebagai pembuat

kebijakan harus memilih kebija

kan yang

memberikan

manfaat

optimum

bagi

masyarakat. Dikatakan rasional karena

memperhitungkan biaya dan manfaat yang

dicapai. Oleh sebab itu, model ini lebih

menekankan pada aspek efisiensi atau aspek

ekonomis.

Model inkrementalis pada dasarnya

bersifat

pragmatis atau praktis karena

memandang

kebijakan

publik

sebagai

kelanjutan dari kegiatan


-

kegiatan yang telah

dilakukan oleh pemerintah di masa lampau,

dengan

hanya

melakukan

perubahan

perubahan seperlunya.

Model demokratis menitik beratkan

pada

pengambi

lan

keputusan

harus

sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari

stakeholders

. Artinya, model ini menghendaki

sebanyak mungkin pemilik hak demokrasi

dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Model

strategis

menggunakan
formula tuntutan perumusan strategi sebag

ai

basis perumusan kebijakan. Perencanaan

strategis

lebih

memfokuskan

pada

pengidentifikasian dan pemecahan isu

isu.

Model ini merupakan salah satu derivat

manajemen dari model rasional karena

mengandaikan bahwa proses perumusan

kebijakan adalah proses ras

ional dengan

pembedaan bahwa model ini lebih fokus

pada rincian

rincian langkah manajemen.

Model teori permainan mengacu

pada gagasan, yakni; pertama, formulasi

kebijakan dalam situasi kompetisi yang

intensif. Kedua, para aktor berada dalam


situasi piliha

n yang tidak independen ke

dependen melainkan situasi pilihan yang

sama

sama bebas (independen).

Oleh sebab

itu, konsep penting teori permainan adalah

strategi defensif, yaitu kebijakan yang paling

aman bukan yang paling optimum. Dengan

demikian, inti teor

i permainan adalah

mengakomodasi

kenyataan

paling

riil

dengan anggapan masyarakat tidak hidup

dalam ruang vakum sehingga lingkungan

tidak pasif.

Model pilihan publik dalam membuat

formulasi kebijakan berakar dari teori


ekonomi pilihan publik yang berasums

manusia adalah

homo economicus

yang

memiliki

kepentingan

kepentingan

yang

harus dipuaskan. Setiap kebijakan publik

yang dibuat pemerintah harus merupakan

pilihan publik yang menjadi pengguna.

Artinya,

proses

formulasi

kebijakan

melibatkan

publik

melalui

kelompok

kelompok kepentingan sehingga model ini


bersifat demokratis.

Model

sistem

dalam

formulasi

kebijakan mengandaikan bahwa kebijakan

merupakan hasil atau output dari sistem

politik.

Proses

formulasi

kebijakan

berdasarkan sistem politik mengandalkan

asukan dari tuntutan dan dukungan dari

kelompok

kelompok kepentingan.

Model deliberatif atau musyawarah

pada perumusan kebijakan menempatkan

peran

pemerintah

sebagai

legalisator
daripada kehendak publik. Semenetara peran

analisis kebijakan sebagai proseso

r proses

dialog publik agar menghasilkan keputusan

publik untuk dijadikan kebijakan publik.

Berkaitan

dengan

implementasi

kebijakan, banyak model yang dapat

digunakan dalam implementasi, diantaranya

model Van Meter dan Van Horn, model

Mazmanian dan Sabati

er, model Hogwood

dan Gunn, model Goggin, model Grindle,

model Elmore, model Edward, model

Nakamura dan Smallwood, model jaringan,

model pemetaan.

Menurut Nugroho (2008) bahwa tidak

ada pilihan model seperti model

model di

atas yang terbaik dalam implemen

tasi
kebijakan. Namun ada satu hal yang penting

yakni implementasi kebijakan haruslah

menampilkan keefektifan kebijakan itu

sendiri.

Dalam

konteks

ini

Nugroho

menganjurkan

menggunakan

matriks

ambiguitas

konflik

yang

dikembangkan

Matland

, terdiri dari pende

katan

pendekatan

sebagai berikut.

I
mplementasi secara

administratif adalah implementasi yang

dilakukan oleh dalam keseharian operasi

birokrasi pemerintahan. Kebijaksanaan di

sini mempunyai ambiguitas yang rendah dan

konflik yang rendah. Implementasi secar

politik adalah implementasi yang perlu

dipaksakan secara politik karena walaupun

ambiguitas rendah tetapi tingkat konfliknya

tinggi. Implementasi secara eksperimen

dilakukan pada kebijakan yang ambguitas

tinggi, namun tingkat konfliknya rendah.

Sedangkan

implementasi secara simbolik

dilakukan pada kebijakan yang mempunyai

ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi.

Kebijakan yang telah dirumuskan dan

dimplementasikan, perlu di evaluasi. Ruang

lingkup evaluasi kebijakan meliputi evaluasi

perumusan, impleme

ntasi, lingkungan dan

evaluasi
kinerja.

Evaluasi

perumusan

formulasi kebijakan berkenaan dengan yaitu:

(1) penggunaan pendekatan yang sesuai

dengan masalah yang hendak diselesaikan,

(2) mengikuti prosedur yang diterima secara

bersama,

dan

(3)

pendayagunaan

sumberdaya yang optimal. Teknik yang

dipakai dalam evaluasi ini adalah model

model

perumusan

formulasi

kebijakan

seperti yang telah diuraikan di atas.

Evaluasi

implementasi

kebijakan

dimaksudkan untuk melihat kesesuaian


antara

jenis

kebijakan

yang

harus

diimplementasikan

dan

metode

implementasi yang tepat. Untuk maksud

tersebut

maka

evaluasi

implementasi

kebijakan dapat menggunakan panduan

matriks ambiguitas

konflik. Sebagai contoh,

untuk konteks Indonesia, implementasi

kebijakan

kewargaan

misalnya

kartu

penduduk dapat dilakukan dengan metode


atau pendekatan administratif. Implementasi

kebijakan

biaya

pendidikan

dapat

dilaksanakan

dengan

menggunakan

pendekatan

politik.

Kebijakan

penanggulangan kemiskinan lebih tepat

diimplementasikan

metode

eksperimen.

Ke

bijakan

gender

lebih

efektif

diimplementasikan dengan metode simbolik.

Evaluasi lingkungan kebijakan publik

terbagi dalam dua fokus yaitu evaluasi


lingkungan formulasi kebijakan dan evaluasi

lingkungan implementasi kebijakan. Evaluasi

lingkungan

formulasi

kebijakan

menghasilkan sebuah deskripsi bagaimana

lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa

kebijakan seperti itu. Sedangkan evaluasi

lingkungan

implementasi

kebijakan

berkenaan dengan faktor

faktor lingkungan

apa saja yang membuat kebijakan gagal atau

berha

sil diimplementasikan.

Berkaitan dengan evaluasi kinerja

kebijakan dimaksudkan untuk mendapatkan

gambaran

pencapaian

suatu
kebijakan

dibandingkan dengan target atau rencana

pencapaian yang diharapkan. Metode yang

dapat dipergunakan dalam evaluasi ini

adal

ah analisis kesenjangan.

. Kasus Jembrana

Tilaar

dan

Nugroho

(2008)

menguraikan

secara berturut

turut rumusan

kebijakan

pendidikan,

implementasi

kebijakan, kinerja kebijakan dan analisis

proses kebijakan

pendidikan di Kabupaten

Jembrana
.

Rumusan kebijak

an pendidikan

tidak

terlepas

dari

isi

pendidikan

Kabupaten Jembrana

yakni

terwujudnya

pendidikan yang berbudaya, merata dan

bermutu, efektif dan efisien serta relevan

dengan kebutuhan masyarakat. Visi tersebut

dijabarkan dalam rumusan kebijakan yakni

pemb

ebasan biaya pendidikan di sekolah

sekolah negeri mulai tingkat SD sampai SMA

dan SMK serta pemberian beasiswa kepada

siswa tingkat SD, SMP, SMA dan SMK yang

memperoleh nilai surat tanda kelulusan


tertinggi dan berprestasi di bidang olah raga.

Rumusan keb

ijakan tersebut secara

formal dituangkan dalam Surat Keputusan

Bupati tahun 2003. Namun prakteknya telah

dilakukan pembebasan biaya pendidikan

sudah dimulai sejak tahun 2001 dengan tidak

mempergunakan kebijakan khusus kecuali

mengalokasikan

anggaran

APBD

001.

Setelah anggaran memungkinkan untuk

melanjutkan kebijakan tersebut, maka tahun

2003 dilakukan pelembagaan kebijakan pada

tingkat eksekutif.

Secara teoretis, proses kebijakan

pendidikan di Kabupaten Jembrana mengacu

pada kombinasi model elit, rasional

dan

pilihan publik. Dipilihnya model elit sebagai

alat analisis karena publik pada dasarnya


tidak dilibatkan secara efektif dalam proses

perumusan kebijakan, dengan alasan adanya

kesenjangan kemampuan berpikir antara elit

(khususnya Bupati) dengan rakyat

karena

tingkat pendidikan rakyat relatif masih

rendah.

Dikatakan menggunakannya model

rasional

dalam

perumusan

kebijakan

pendidikan di Jembrana karena prinsip

prinsip dasar yang digunakan adalah prinsip

efisiensi untuk mencapai hasil maksimal.

Walaupun dal

am perumusan kebijakan

pendidikan dilakukan elita secara rasional,

tetapi muatan inti dalam kebijakan tersebut

tetap mengacu pada pilihan utama dari

rakyat.

Rumusan
kebijakan

yang

telah

dikemukakan di atas, diimplementasikan

melalui

strategi

kelembagaan,

strategi

anggaran,

manajemen

sekolah,

komite

sekolah dan Dewan Pendidikan. Strategi

kelembagaan

yang

dipilih

pemerintah

Kabupaten Jembrana dalam implementasi

kebijakan dalam kondisi anggaran terbatas

adalah melakukan efisiensi dengan cara

penggabungan Din

as Pendidikan dan Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata. Prinsip efisiensi


ini sejalan dengan UU No.20 Tahun 2003

tentang Sisdiknas pada pasal 48 ayat 1

dinyatakan

bahwa

pengelolaan

dana

pendidikan berdasarkan prinsip keadilan,

efisiensi, transparansi, dan akunt

abilitas

publik.

Strategi anggaran mengacu pada

prinsip efisiensi penggunaan dana. Prinsip

manajemen mengajarkan bahwa efisiensi

penggunaan

dana

dengan

cara

penggabungan

sejumlah

sekolah

akan

terkumpul

dana
yang

cukup

untuk

menyelenggarakan pendidikan g

ratis. Tahun

2001

2002 dilakukan penggabungan 22 SD

dengan asumsi setiap SD memerlukan biaya

operasional Rp150 juta per tahun maka

penggabungan akan meningkatkan efisiensi

anggaran sebesar Rp3,3 milyar. Dana inilah

yang dipakai untuk membiayai sekolah

mula

i tingkat SD sampai SMA dan SMK

tanpa memungut biaya dari murid. Dalam

konteks

inilah

Pemerintah

Kabupaten
Jembrana menerapkan prinsip manajemen

sektor bisnis dalam sektor publik.

Implementasi kebijakan pada tingkat

manajemen

sekolah

dilakukan

dengan

beb

erapa strategi.

Pertama

, dengan pola

efisiensi melalui penggabungan SD sebanyak

31 SD selama tahun 2001 hingga 2004.

Kedua

menerapkan

good governance

(tata kelola baik)

dengan

meningkatkan

akuntabilitas

manajemen sekolah melalui pengembangan

transparansi
pada Sekolah Kajian. Selain itu,

proses belajar mengajar di sekolah ini

menghabiskan waktu dari jam 07.00

16.00,

dan pada waktu istirahat anak didik diberi

snack

dan susu, sedang pada waktu makan

siang diselenggarakan makan bersama pada

ruang makan sekolah

Ketiga

, memberi

insentif khusus kepada guru dalam bentuk

Rp2000 per jam mengajar pada tahun 2000

dan meningkat pada tahun 2006 menjadi

Rp5000 per jam mengajar. Selain itu,

Pemerintah Daerah menambah bonus guru

sebesar Rp1.000.000 setiap tanggal 15

Agustu

s,

bertepatan

HUT
Kabupaten

Jembrana.

Kempat

, peningkatan kapasitas

guru dan kepala sekolah dalam bentuk

pelatihan

MBS,

pelatihan

manajer,

administrator, suverpisor, kepemimpinan,

kewirausahaan, inovasi dan motivasi.

Kelima

memberi dukungan dalam bentuk s

ubsidi

bagi

guru

guru

yang

melanjutkan

pendidikannya ke jenjang D3, S1 dan S2.

Implementasi kebijakan pada tingkat


komite sekolah adalah perbaikan sekolah

atau

pembangunan

sekolah.

Komite

mengajukan anggaran kepada pemerintah

daerah dan mengabulkannya sek

itar 50%

80%. Anggaran sebesar ini sudah memenuhi

stndar untuk perbaikan atau pembangunan

sekolah. Jika ingin melebihi standar yang

telah ditetapkan pemerintah daerah maka

komite mencari tambahan kekurangan dana

tersebut.

Sedangkan peran Dewan Pendidikan

dalam proses kebijakan pendidikan sangat

minimal. Tidak berperannya dewan ini

sebagaimana

seharusnya

disebabkan;

pertama,

ketua
Dewan

Pendidikan

merangkap menjadi ketua LSM di Denpasar

sehingga repsentasinya secara fisik di

Jembrana sangat terbatas. Kedua

, struktur

organisasi

dan

sumber

daya

Dewan

Pendidikan sendiri belum di tata secara baik,

karena terdiri dari para administratur

birokrasi pendidikan Kabupaten Jembrana,

dan terdapat seorang pimpinan partai politik

di tingkat lokal.

Temuan yang telah dip

aparkan di

atas

adalah

model

kelembagaan

dan
implementasi

kebijakan

pendidikan

di

Jembrana bersifat khas. Dengan mengacu

pada

matriks

ambiguitas

konflik

maka

implementasi kebijakan dilakukan secara

politik dan administrasi. Dipilihnya model

ini

dalam

imple

menetasi

kebijakan

dimaksudkan untuk tidak mengorbankan

sumberdaya pembangunan untuk sektor di

luar pendidikan, dengan cara melakukan

efisiensi pengelolaan pendidikan.

Kinerja pembangunan pendidikan di


Kabupaten Jembrana di atas rata

rata

nasional untuk s

emua indikator yaitu: angka

partisipasi kasar (APK), angka partisipasi

murni (APM), angka putus sekolah (APS),

tingkat kelulusan dan melanjutkan.

Kinerja

formal pendidikan tersebut berkait dengan

kinerja perkembangan tingkat pendidikan

penduduk yang mening

kat. Perkembangan

ini memberi sumbangan terhadap indeks

pembangunan

manusia,

yang

skornya

meningkat dari 65,8 tahun 1999 menjadi 68,9

tahun 2002.

IPM Jembrana secara rata

rata
berada di atas rata

rata IPM Propinsi Bali

yang hanya 67,5.

Pendekatan

Fils

afat Moral

Tujuan pembangunan

Kabupaten

Jembrana adalah sebangun dengan tujuan

pembangunan nasional yakni terwujudnya

taraf kesejahteraan masyarakat yang adil,

aman, damai dan demokratis. Untuk itu,

dengan keterbatasan sumber daya yang

dimiliki,

maka

pri

oritas

pembangunan

Kabupaten

Jembrana
diletakkan

pada

pendidikan sebagai peningkatan kompetensi

intelektual

dan

kesehatan

sebagai

peningkatan kompetensi fisik yang menjadi

tumpuan bagi kesejahteraan rakyat yaitu

meningkatnya daya beli rakyat sebagai

indika

tor kompetensi ekonomi.

Strategi

pemerintah daerah untuk mewujudkan visi

dan misi pembangunan tersebut adalah cara

melihat isu pokok dalam pembangunan yaitu

adanya keterbatasan sumber daya alam,

manusia dan keuangan. Dalam kondisi yang

serba

terbatas,

peme
rintah

daerah

menempuh cara efisiensi. Artinya, strategi

utama politik pembangunan Kabupaten

Jembrana adalah memenuhi kebutuhan

pembangunan dengan cara efisiensi pada

sumber daya manusia, sarana dan dana

(Tilaar dan Nugroho,2008)

odel

pembangunan

Kabupat

en

Jembrana

seperti yang dikemukakan di atas

dan

kebijakan

publik

yang

dikembangkan

nya

, menurut Tilaar dan


Nugroho (2008)

dapat dikatakan model

Jembrana

adalah

model

kebijakan

pendidikan sebagai kebijakan publik, bukan

kebijakan pendidikan sebagai bagian d

ari

kebijakan publik.

Kesim

pulan ini ditarik dari

kerangka

pemikiran relasi ideal antara

kebijakan pendidikan dan kebijakan publik

dimana

elasi ini terbentuk dari filsafat moral

tentang hakikat dan tujuan hidup manusia

yakni tercapainya kebahagiaan dan k

eadilan

manusia.
Unsur ini pula yang menjadi tujuan

pembangunan Kabupaten Jembrana yang

bertumpu pada pengembangan potensi

sumberdaya manusia melalui kebijakan

pendidikan. Dengan demikian, k

ebijakan

pendidikan dan kebijakan publik berfokus

pada relasi anta

ra kedua unsur tersebut

dalam

mencapai

kebahagiaan

yang

berkeadilan sebagai garapan

yang esensil

dari kebijakan pendidikan dan kebijakan

publik

Relasi

ideal

antara

kebijakan

pendidikan dan kebijakan publik seperti


yang dikemukakan di atas, mengandung

pen

gertian yakni; (1) kebijakan publik satu

dengan kebijakan pendidikan, (2) kebijakan

publik tidak berkaitan dengan kebijakan

pendidikan, (3) kebijakan publik tidak

ditunjang oleh kebijakan pendidikan, dan

(4)

kebijakan

pendidikan

tidak

ditunjang

kebijakan p

ublik. Dalam kasus Jembrana,

relasi ideal antara dua kebijakan tersebut

terjadi pada relasi kebijakan pendidikan satu

dengan kebijakan publik

, dengan alasan

terjadi kesepakatan tujuan hidup manusia

oleh kebijakan pendidikan dan kebijakan

publik. Persepsi y

ang sama dalam mencapai

tujuan hidup manusia akan melahirkan


kebijakan

yang

sama

dalam

bidang

pendidikan dan dalam kehidupan publik.

Kasus Jembrana menolak pandangan

kebijakan pendidikan bagian dari kebijakan

publik karena

Pemerintah Jembrana tidak

menemp

atkan posisi kebijakan pendidikan

harus

menunjang

kebijakan

publik.

Pemerintah Jembrana menyadari pemosisian

kebijakan

pendidikan

sebagai

bagian

kebijakan publik menyebabkan kebijakan

pendidikan
tidak

berbeda

dengan

menyuarakan aspirasi politik kekuasaan.

Ini

berarti, pendidikan direduksi menjadi sub

ordinat dari proses

pembangunan sehingga

pendidikan

tidak dinilai sebagai penentu

pembangunan atau proses pembangunan.

Kalau kebijakan pendidikan sebagai

kebijakan publik seperti yang dipetakan

dalam relasi id

eal yakni kebijakan publik

satu dengan kebijakan pendidikan, maka

kebijakan pendidikan bagian kebijakan

publik termanifestasikan dalam relasi yaitu

kebijakan publik tidak berkaitan dengan

kebijakan

pendidikan.

Perbedaan
cara

pandang ini bersumber dari fils

afat moral

yang melahirkan ilmu politik dengan

kebijakan publik dan ilmu pendidi

kan

dengan kebijakan pendidikan. Oleh karena

perumusan secara pragmatis

hakikat tujuan

manusia dalam dua disiplin ilmu tersebut

berbeda sehingga perspektif relasi kebijakan

aka

n berbeda atau tidak saling mengait

bahkan

hanya menjadi salah satu pilar

seperti pilar ekonomi, politik, sosial dan

budaya

dari

kebijakan

publik

atau

pembangunan.
Menurut Tilaar dan Nugroho (2008),

hal i

ni dapat dimengerti karena kebijakan

publik

atau

kebijakan

pembangunan

dirumuskan

berdasarkan

politik

pembangunan

dengan

mengacu

pada

ideologi

sebagai basis politik suatu negara.

Karenanya dapat dimengerti kebijakan

pendidikan sebagai kebijakan publik akan

berbeda

beda

untuk

setiap
negara,

tergantung pad

a ideologi yang dianut negara

tersebut. Negara yang menganut sistem

politik demokratis akan berbeda

signifikan

kebijakan pendidikannya dengan negara

yang berideologi totaliter dengan sistem

politik otoriter.

. Pendekatan Ekonomi Politik Pendidikan

Berbeda dengan pandangan kebijakan

pendidikan

dan

kebijakan

publik

berdasarkan

pendekatan

filsafat

moral

menurut Tilaar dan Nugroho di a


tas,

pendekatan ekonomi politik

khusus

berkaitan dengan fokus masalah

lebih

cenderung

membahas kebijakan pendidik

an

yang mengarah sebagai jasa layanan publik

atau pribadi. Apapun pilihan dari bentuk

kebijakan pendidikan tersebut membawa

konsekwensi pada akses pendidikan dan

biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta

didik.

Konsep ekonomi politik mengacu pada

penggunaan konsep

konsep ekonomi untuk

memahami

dan

menjelaskan
masalah

masalah dan proses

proses politik.

Konsep

ini

menerangkan

bahwa

kebijakan

pendidikan

dan

kebijakan

publik

mencerminkan masalah dan proses politik

sehingga

dapat

dijelaskan

menurut

pand

angan dan pemikiran ekonomi. Kasus

Jembrana

seperti uraian di atas,


merupakan

masalah dan proses politik yang didekati

berdasarkan pemikiran ekonomi

oleh Bupati

Jembrana

yang

berlatar

belakang

wirausahawan.

Pertanyaan relevan yang perlu dibahas

sehubungan dengan kasus Jembrana adalah

pendidikan termasuk barang publik (public

goods) atau barang

pribadi (privat goods).

Barang atau jasa pendidikan dalam konsep

ekonomi

politik

berkaitan

dengan

kepentingan publik dan kepentingan pribadi,

dan bagaimana

hubungan kepentingan

-
kepentingan tersebut.

Pemikiran

ekonomi

klasik

dan

neoklasik

mengasumsikan

bahwa

kepentingan publik memiliki hubungan

dengan

kepentingan

pribadi

biarpun

keduanya berbeda, yaitu bahwa kepentingan

publik

adalah

untuk

menumbuhkan

kekaya

an masyarakat. Menurut Adam Smith

tujuan

tujuan publik bisa dicapai tanpa harus


ada wilayah publik atau paling tidak dengan

mengadakan wilayah publik tetap ditekan

seminimal mungkin. Biarkan mekanisme

pasar bekerja dengan sendirinya, meregulasi

dirinya sen

diri sehingga dapat menggantikan

peranan dari sebuah lembaga politik

(Caporaso dan Levine, 1992). Dengan

kata

lain

, keputusan terbaik yang dapat dibuat

negara

untuk bidang ekonomi politik adalah

mengarahkan anggota masyarakat agar

berusaha mencapai tujuan

tujuan tertentu

dimana tujuan tersebut dapat dicapai sebaik

baiknya kalau tidak ada campur tangan

negara. Negara tidak dapat

bertindak lebih

daripada itu, bahkan akan lebih baik jika


negara bertidak kurang daripada itu, biarlah

pasar yang mengatur dirinya

sendiri dalam

pemenuhan

kebutuhan

pribadi

dan

memenuhi kebutuhan pribadi sama dengan

memenuhi kebutuhan publik.

Mekanisme pasar dipercaya dapat

memecahkan

masalah

masalah

ekonomi

politik sehingga terjadi efisiensi yang

optimum

dalam

kondisi

keter

batasan

sumberdaya yang dimiliki. Akan tetapi

dalam berbagai hal mekanisme pasar gagal


dalam

melaksanakan

fungsinya

untuk

mengalokasikan sumber

sumber ekonomi

secara efisien dalam menghasilkan barang

dan jasa. Mekanisme harga tidak dapat

berfungsi sebagaim

ana yang diinginkan

pencetus teori ekonomi.

Artinya,

mekanisme

harga dalam keadaan pasar persaingan tidak

sempurna

tidak

dapat

meng

efisien

kan

alokasi

sumber
-

sumber ekonomi.

Secara teoretis faktor

faktor yang

membuat pasar tidak berfungsi sebagaimana

mestin

ya adalah faktor eksternalitas, barang

barang publik dan terjadinya monopoli dan

oligopoli (Caporaso dan Levine, 1992).

Dengan begitu, f

aktor relevan dengan

persoalan yang dihadapi adalah barang

barang publik, karena itu kedua faktor

lainnya

(eksternalitas

dan monopoli serta

oligopoli)

tidak akan dipersoalkan dalam

pembahasan ini.

Apa yang dimaksud dengan


barang publik?

arang publik

menurut

parameter ekonomi adalah barang yang

bersifat

non

rival

dan

non

excludable

Barang

dikatakan memiliki sifat non

ekslu

sif kalau

orang lain tidak terhalangi atau berpeluang

setara untuk mengonsumsi, memakai atau


memanfaatkan

barang

yang

sama,

sedangkan sifat

non

rival

berarti bahwa

ketika orang yang satu mengonsumsi barang

publik tersebut tidak menyebabkan nilai dan

volume

berkurang sehingga orang lain tetap

bisa sama

sama mengonsumsi

barang publik

yang sama juga.

Kalau barang pribadi seperti uraian

sebelumnya

merupakan

barang

yang
disediakan

melalui

mekanisme

pasar

sehingga alokasi sumber

sumber ekonomi

menjadi efisien, ma

ka barang publik tidak

dapat di produksi oleh pasar. Masalah yang

menghambat produksi barang publik

di

pasar

pada

tataran

mikro ekonomi

adalah

individu tidak memiliki insentif untuk

mengi

nvestasikan sumberdaya yang dimi

liki

untuk memproduksi barang publik

tersebut
dikarenakan benefit yang diperoleh investor

sama dengan porsi benefit yang didapatkan

semua orang. Sedangkan pada

tataran

makro

ekonomi, kesulitan pasar memproduksi

barang publik terjadi karena biaya dan

keuntungan dari individu tidak dapat

dihubu

ngkan dengan biaya dan keuntungan

sosial yang dihasilkan barang publik tersebut

sehingga

distorsi

alokasi

sumberdaya

sehingga

membuat barang publik tersedia

dalam

jumlah

yang

terlalu

sedikit.

Konsekwensi dari kejadian tersebut, akan


membuat harga barang pu

blik menjadi

mahal dan tidak terjangkau oleh semua

orang yang membutuhkan dan menjadi

haknya.

Persoalannya,

apakah

pendidikan

merupakan barang publik atau barang

pribadi? Findlay (1991), Caporaso dan Levine

(1992) dan

Dunn (2003

) menganggap bahwa

pendidik

an merupakan barang publik

karena

bersifat non

ekslusif dan non

rivalry

yakni

tiap warga mendapat kesempatan yang sama


untuk memperoleh akses pendidikan yang

layak. Oleh karena itu pendidikan tidak

boleh diserahkan ke pasar untuk diproduksi

karena akan men

yebabkan biaya pendidikan

atau harga pendidikan menjadi mahal

sehingga kesempatan dan akses memperoleh

pendidikan menjadi terbatas

Praktek

komersialisasi

pendidikan

yang

berorientasi

mencari

laba

atau

mengakumulasi kapital, pada dasarnya

mengugurkan sifa

t non

ekslusif dan non

-
rivarly, dan hal tersebut

merupakan cermin

kegagalan pasar

. Dengan merujuk kepada

kepentingan pendidikan untuk kemajuan

bangsa maka negara harus bertanggung

jawab menyediakan layanan pendidikan

seluas

luasnya

kepada

warga

negara,

kes

empatan dan akses untuk mendapatkan

pendidikan dibuka seluas

luasnya sehingga

pendidikan tidak bisa digeser dari barang

publik menjadi barang pribadi.

Walaupun muncul p

endapat

yang
begitu

deras

arusnya

sekarang

yang

menganggap

pendidikan sebagai

barang

pr

ibadi dengan mengacu pada pemikiran

bahwa

lulusan

dari

satuan

tingkat

pendidikan khususnya perguruan tinggi

akan

masuk

pada

pasar

kerja

dan

memperoleh upah atau benefit dari ilmu dan


ketrampilan yang diperoleh di satuan tingkat

pendidikan tersebut. Namun a

rgumentasi ini

tidak terlalu kuat karena lulusan yang sudah

bekerja akan memberikan kontribusi kembali

kepada

negara

melalui

pajak

yang

dikeluarkannya. Pajak tersebut digunakan

kembali

untuk

kegiatan

pelayanan publik

sehingga tidaklah relevan mengkategorik

an

pendidikan

sebagai

barang

pribadi.

Kalaupun tetap dipaksakan pendidikan

sebagai barang publik maka konsekwensinya


kesempatan

dan

akses

akan

dibatasi

sehingga mengorbankan tujuan lebih besar

yakni

mencerdaskan

khidupan

bangsa

sebagai

modal

intelektual

da

lam

membangun kepentingan bangsa ke depan,

dan tentunya hal ini tidak diinginkan oleh

kita semua, baik selaku warga negara

maupun sebagai elit negara.

Berkaitan dengan kasus Jembrana,

dengan kebijakan pendidikan yang memberi

kesempatan dan akses seluas

-
lua

snya kepada

warga masyarakat melalui pendidikan gratis

menunjukkan pendidikan menjadi barang

publik yang harus ditanggung pemerintah.

Bupati

sebagai

seorang

wirausahawan

menyadari sepenuhnya bahwa produksi

pendidikan melalui pasar akan menyebabkan

kegagala

n pasar karena

adanya

keterbatasan

akses

dan

kesempatan

warga

untuk

memperoleh pendidikan yang layak dan ini


akan

mengorbankan

modal

intelektual

generasi Jembrana untuk melanjutkan dan

melanggengkan pembangunan Kabupaten

Jembrana di masa depan. Untuk itu,

pemerintah

harus

mengambil

alih

pengelolaan pendidikan

dan menempatkan

pendidikan di Jembrana sebagai barang

publik.

Dengan begitu, kebijakan pendidikan

di Jembrana sebagai kebijakan publik, karena

pendidikan mengemban misi sosial profetik

untuk memajukan

masyarakat Jembrana

secara ekonomi, politik, sosial dan budaya

serta peradaban umumnya.

SIMPULAN
S

impulan yang dapat dikemukakan

sehubungan dengan pembahasan kebijakan

pendidikan sebagai kebijakan publik adalah

pertama

kebijakan pendidikan berkaitan

de

ngan upaya pemberdayaan peserta didik.

Oleh k

arena pendidikan merupakan ilmu

praksis

maka

kebijakan

pendidikan

merupakan proses pemanusiaan yang terjadi

dalam lingkungan alam dan sosialnya

sehingga

kebijakan

pendidikan

adalah

penjabaran

dari
visi

dan

misi

dari

pendidikan dalam masyarakat tertentu.

Sedangkan

alidasinya

terletak

pada

seberapa

besar

sumbangan

kebijakan

tersebut

bagi proses pemerdekaan individu

dan

pengembangan pribadi individu yang

kreatif

dalam

mentransformasikan

masyarakat serta kebudayaann

ya.
Kedua,

kebijakan pendidikan lahir

dari ilmu praksis pendidikan sehingga

kebijakan

pendidikan

meliputi

proses

analisis kebijakan, perumusan kebijakan,

implementasi

dan evaluasi

kebijakan

. Proses

kebijakan tersebut dapat

mengguna

kan

model

model yang tel

ah baku, walaupun

model

model

tersebut
mempunyai

kelemahan dan kekurangan, namun dengan

kombinasi berbagai model dapat dihasilkan

proses kebijakan yang layak

Ketiga,

pendidikan milik masyarakat

(barang publik)

maka suara masyarakat

dalam

berbagai

tingkat

erumusan,

pelaksanaan dan ev

aluasi kebijakan perlu di

dengar

dan di akomodasi.

Selain itu,

pendidikan

sebagai

barang

publik

hendaknya ditangani oleh pemerintah dan


upaya

menyerahkan pendidikan

ke pasar

merupakan suatu

proses komersialisasi dan

hal ini akan

merugikan kepentingan bangsa

yang lebih luas melebihi semata

mata

pertimbangan kelangkaan sumber dana.

Keempat,

merujuk kepada filsafat moral

maka

kebijakan

pendidikan

sebagai

kebijakan

publik

bukan

kebijakan

pendidikan bagian dari kebijakan publik.

Selai
n

alasan

filsafat

moral

yang

memosisikan kebijakan pendidikan sebagai

kebijakan publik, juga didukung oleh teori

kegagalan pasar dalam teori ekonomi politik.

Persoalan penting yang perlu disorot adalah apakah kebijakan pendidikan bagian kebijakan

publik atau kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik. Permasalahan tersebut menjadi

penting karena berkaitan dengan memposisikan pendidikan dalam konteks sektor-sektor publik
yang harus dikelola secara serius dan besarnya tingkat urgensi bagi pemerintah di dalam

menetapkan prioritas program-program pembangunan.

Dengan menggunakan kasus Jembrana dan menganalisis dengan pendekatan filsafat

moral dan ekonomi politik disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik

bukan kebijakan pendidikan bagian dari kebijakan publik.

Anda mungkin juga menyukai