Pada saat terjadi bencana; misalnya banjir, tanah longsor, gempa bumi dan sebagainya,
pemerintah baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan; mulai dari merumuskan kebijakan, membuat program kegiatan,
strategi pelaksanaan kegiatan serta melakukan evaluasi kegiatan? Tugas Anda untuk memberikan
argumen tentang hal tersebut dengan menggunakan konsep pengertian dan ruang lingkup
kebijakan publik, serta berikan contohnya.
Penyelesaian :
Kebijakan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat dan stakeholder yang
berkepentingan dalam urusan kebencanaan, terkait Indonesia belum mempunyai undang-undang
tentang kebencanaan. Sangat riskan kiranya dilihat dengan mempertimbangkan kondisi geografi,
geologi, dan demografi Indonesia yang rawan bencana, mulai dari bencana alam seperti gempa
bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin rebut, kebakaran hutan. Bahkan bencana sosial
seperti konflik antar komunitas sebagai dampak negatif dari keberagaman adat, budaya, agama,
disparitas pendapatan ekonomi, dan sebagainya. Kebijakan penanggulangan bencana ini
termasuk dalam model kebijakan imperatif. Kebijakan imperatif adalah kebijakan sosial terpusat,
yakni seluruh tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya telah
ditentukan. Seringkali pemerintah di negara-negara berkembang memilih kebijakan imperatif
dimana peran perencanaan pembangunan sebagian besar dilaksanakan oleh pemerintah.
Tahap ini di lanjutkan ketika terjadi pada tahap tanggap darurat ketika terjadi bencana
meliputi pengerahan segala sumber daya untuk korban bencana. Dilanjutkan pada tahap setelah
terjadinya bencana yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat pemulihan dan
pembangungan kembali fasilitas-fasilitas sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat. Jika tahap
setelah terjadi bencana, kegiatan yang diharapkan terus dilakukan adalah dengan meningkatkan
kesiapsiagaan dan pencegahan dampak/risiko bencana. Melalui pelatihan dan simulasi tindakan
ketika terjadi bencana pada lembaga-lembaga pendidikan, perusahaan, pemerintahan, dan
sebagainya. Aktivitas tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat untuk mengetahui
tentang kebencanaan (awernes) dan pengorganisasian masyarakat dalam kerangka advokasi.
Memang kebijakan ini disiapkan untuk menangani bencana dengan segala perangkatnya secara
holistik dan berkesinambungan. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, tujuan yang dirumuskan adalah:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
b. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
c. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
d. Menghargai budaya lokal.
e. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
f. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan,dan kedermawanan,dan
g. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Regulasi sebelum UU No.24 Tahun 2007 hanyalah setingkat keputusan presiden, antara
lain Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan
Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI
No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001. Keputusan
Presiden No. 28 tahun 1979 Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam
(BAKORNAS PBA). Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut
disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS
PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana
oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres
ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas
tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.
Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999–pun tidak bertahan lama. Sebabnya antara lain
pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP kehilangan
salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres
No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang
diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris
Bakornas PBP. Sedangkan Jepang yang memiliki kerentanan hampir sama dengan Indonesia
telah mempunyi regulasi tentang kebencanaan sejak 1880 yaitu Provision and Saving Act for
Natural Disaster. Dan pada tahun 1961 melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961)
yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain :
Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dan proses memberikan wewenang lebih
luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan,
menyediakan kesempaan untuk ikut bagian dan memiliki kewenangan dalam proses pegambilan
keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan menejemen bencana. Tujuannya adalah
memecahkan persoalan dengan lebih baik dengan mempertimbangkan kontribusi dan peran
komunitas. Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah dengan cara
kebih baik, dengan memberikan kontribusi sehingga implementsi kegiatan berjalan lebih efektif,
efisien, dan berkelanjutan. Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan
pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan.
Pelayanan perumahan pada masa tanggap darurat disediakan dalam bentuk posko-posko
pengungsian dalam bentuk tenda atau gedung yang dianggap aman. Pada tahap rehabilitasi
disediakan tempat tinggal sementara (temporary shelter) dari bahan bambu dan terpal plastik.
Pada tahap rekonstruksi, pemerintah menyediakan dana rekonstruksi (dakon) bagi korban dengan
tiga kriteria; rumah roboh atau rusak berat sebesar Rp.15.000.000,-, rumah rusak sedang Rp.
4.000.000,-, dan rumah rusak ringan Rp.1.000.000,- melalui skema kelompok masyarakat
(pokmas), penggantian lahan tempat tinggal dan usaha bagi korban luapan lumpur (Lapindo) di
Sidoarjo.
Pelayanan kesehatan gratis untuk korban luka-luka dijamin selama masa rehabilitasi dan
penyembuhan. Begitu pula dengan pendidikan gratis bagi anak korban bencana gempa bumi di
Yogyakarta selama satu semester. Pelayanan perseorangan terutama penderita gangguan fisik
dan mental juga disediakan beberapa bulan paska gempa maupun perlindungan pada kelompok
rentan; perempuan, anak, manula, dan kaum difable.
Sasaran kebijakan (target group) dari kebijakan ini adalah seluruh warga negara yang
terkena dampak bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial. Tanpa memperhitungkan
kontribusi pada negara, mereka berhak mendapat pelayanan sosial dalam kondisi
ketidakberdayaan dan ketidakberfungsian individu dan institusi. Kebijakan ini termasuk dalam
kategori instrument wajib (compulsory Instrumen) atau instrument instruksi atau tindakan
langsung ke sasaran baik individu maupun perusahaan. Instrument intruksi yang ada berbentuk
regulasi yang dimaksudkan membatasi perilaku individu, masyarakat, dan perusahaan baik
perusahaan swasta maupun perusahaan publik. Regulasi juga dapat berbentuk penentan standar,
prosedur perijinan, larangan perilaku tertentu, dan perintah untuk melakukan tindakan.Regulasi
penanggulangan bencana kiranya tepat dikategorikan sebagai perintah untuk melakukan
tindakan.
Dari segi anggaran, perubahan radikal yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut
adalah merubah anggaran bencana dari dana tak tersangka yang aksesnya sangat terbatas menjadi
masuk dalam salah satu item pos anggaran baik APBN dan APBD. Hal ini dirasakan penting
berlandaskan paradigma bahwa bencana dapat menghambat proses pembangunan, tentunya
apabila tidak diantisipasi akan lebih banyak anggaran untuk membiayai kerugaian yang dialami
pemerintah dan masyarakat.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, ada empat stakeholder yang terlibat dalam
penanggulangan bencana yang terdapat di dalam UU No.24 Tahun 2007. yaitu Pemerintah dalam
hal ini Badan Nasional Penaggulangan Bencana, Pemerintah daerah dalam hal ini Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, lembaga usaha, dan lembaga internasional da lembaga asing
nonpemerintah. Dua pemangku kepentingan pertama merupakan bentuk
tanggungjawab/kewajiban pemerintah dalam melindungi dan menyediakan layanan pada
warganya, sedangkan dua pemangku kepentingan terakhir adalah wujud partisipasi dan
kemitraan yang digalang oleh pemerintah untuk menanggulangi bencana. Namun pemerintah
pusat tetap mempunyai wewenang dan tanggungjawab besar dalam memutuskan dan
melaksanakan undang-undang ini, seperti memutuskan tidakan yang dilakukan waktu bencana
terjadi, penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, penentuan kebijakan kerja
sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak
internasional lain, dan sebagainya.
Sejauh ini belum terdapat aturan atau regulasi pendukung untuk pelaksanaan yang lebih
bersifat teknis. Misalnya Kepres pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan
Kepres yang mengatur keterlibatan lembaga internasioal dan lembaga asing non-pemerintah
yang diamanatkan undang-undang. Jika aturan pendukung tersebut tidak segera dibentuk, maka
kemungkinan besar pelaksanaan di lapangan akan terhambat, tidak terkoordinasi dengan baik,
dan kendala teknis lainnya akan muncul.
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia sangat terlambat dalam mengantisipasi dan
menangani dampak bencana. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterlambatan pemerintah
mengeluarkan regulasi berbentuk undang-undang yang mengatur penanggulangan bencana
secara berkelanjutan atau berkesinambungan. Sebelumnya, regulasi hanya bersifat ad hoc
sehingga penanganan bencana dijalankan parsial dan tidak terkoordininasi dengan baik sesuai
siklus menejemen bencana.
Namun, dengan hadirnya undang-undang bencana dapat mengobati rasa haus masyarakat
sipil yang menambakan penanganan bencana secara integratif. Pasalnya, telah terjadi beberapa
perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana, diantaranya paradigma linear ke siklus,
dari responsif ke pengelolaan, dari karikatif ke pemberdayaan, dan dari mengelola dampak ke
mereduksi risiko.