Anda di halaman 1dari 10

Tugas 1

Pada saat terjadi bencana; misalnya banjir, tanah longsor, gempa bumi dan sebagainya,
pemerintah baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan; mulai dari merumuskan kebijakan, membuat program kegiatan,
strategi pelaksanaan kegiatan serta melakukan evaluasi kegiatan? Tugas Anda untuk memberikan
argumen tentang hal tersebut dengan menggunakan konsep pengertian dan ruang lingkup
kebijakan publik, serta berikan contohnya.

Penyelesaian :

Menurut saya Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sendiri tertuang


dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Penanggulangan
bencana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut memuat aktivitas yaitu pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Semua
aktivitas tersebut dilaksanakan dalam rangkaian kerja holistik-berkesinambunga dengan
kerangka menyukseskan pembangunan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.Dalam definisi diatas
tidak memasukkan kegiatan rekonstruksi. Namun pada prinsipnya upaya penanggulangan
bencana mengacu pada siklus menejemen bencana yang memuat upaya mitigasi, emergensi,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kebijakan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat dan stakeholder yang
berkepentingan dalam urusan kebencanaan, terkait Indonesia belum mempunyai undang-undang
tentang kebencanaan. Sangat riskan kiranya dilihat dengan mempertimbangkan kondisi geografi,
geologi, dan demografi Indonesia yang rawan bencana, mulai dari bencana alam seperti gempa
bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin rebut, kebakaran hutan. Bahkan bencana sosial
seperti konflik antar komunitas sebagai dampak negatif dari keberagaman adat, budaya, agama,
disparitas pendapatan ekonomi, dan sebagainya. Kebijakan penanggulangan bencana ini
termasuk dalam model kebijakan imperatif. Kebijakan imperatif adalah kebijakan sosial terpusat,
yakni seluruh tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya telah
ditentukan. Seringkali pemerintah di negara-negara berkembang memilih kebijakan imperatif
dimana peran perencanaan pembangunan sebagian besar dilaksanakan oleh pemerintah.

Berdasarkan kelanjutanya, kebijakan penanggulangan bencana termasuk dalam model


residual. Menurut model residual, kebijakan sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga
alamiah, yang karena suatu sebab (misalnya keluarga kehilangan pencari nafkah karena
meninggal dunia) tidak dapat menjalankan peranannya. Pelayanan sosial yang diberikan
biasanya bersifat temporer, dalam arti segera dihentikan manakala lembaga tersebut berfungsi
kembali.Namun, dalam kebijakan tersebut memiliki variable institusional atau
berkesinambungan. Hal tersebut terdapat dalam upaya mitigasi bencana yang menekankan pada
kegiatan-kegiatan pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, meliputi:

a. Perencanaan penanggulangan bencana.


b. Pengurangan risiko bencana.
c. Pencegahan.
d. Pemaduan dalam perencanaan pembangunan.
e. Persyaratan analisis risiko bencana.
f. Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang.
g. Pendidikan dan pelatihan,dan
h. Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana

Tahap ini di lanjutkan ketika terjadi pada tahap tanggap darurat ketika terjadi bencana
meliputi pengerahan segala sumber daya untuk korban bencana. Dilanjutkan pada tahap setelah
terjadinya bencana yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat pemulihan dan
pembangungan kembali fasilitas-fasilitas sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat. Jika tahap
setelah terjadi bencana, kegiatan yang diharapkan terus dilakukan adalah dengan meningkatkan
kesiapsiagaan dan pencegahan dampak/risiko bencana. Melalui pelatihan dan simulasi tindakan
ketika terjadi bencana pada lembaga-lembaga pendidikan, perusahaan, pemerintahan, dan
sebagainya. Aktivitas tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat untuk mengetahui
tentang kebencanaan (awernes) dan pengorganisasian masyarakat dalam kerangka advokasi.
Memang kebijakan ini disiapkan untuk menangani bencana dengan segala perangkatnya secara
holistik dan berkesinambungan. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, tujuan yang dirumuskan adalah:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
b. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
c. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
d. Menghargai budaya lokal.
e. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
f. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan,dan kedermawanan,dan
g. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dilakukan dalam tahap-tahap


mitigasi dan kesiapsiagaan bencana untuk mengurangi risiko bencana. Aktivitas yang dilakukan
antara lain pengkajian dan risiko dan kerentanan, penanggulangan dampak risiko bencana,
pendidikan dan pelatihan kesiapsiagaan bencana. Upaya ini termasuk dalam kebijakan
pencegahan terhadap risiko bencana. Menyelaraskan kebijakan atau peraturan perundang-
undangan yang ada adalah menyempurnakan kebijakan sosial kebencanaan yang sebelumnya
ada, kebijakan sebelumnya tersebut masih bersifat parsial. Kemampuan Indonesia untuk
menanggulangi bencana dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu dimensi filsafat dan
paradigma, kebijakan, struktur, mekanisme, program dan kegiatan. Dari segi filsafat dan
paradigma, penanggulangan bencana di Indonesia pada masa lalu lebih banyak diwarnai oleh
paradigma fatalistik-responsif. Bencana dianggap sebagai suatu kutukan dari Tuhan dan tidak
terlalu banyak yang dapat dilakukan oleh rakyat kecuali melakukan tanggapan darurat terhadap
peristiwa dan dampak bencana yang baru saja terjadi.

Regulasi sebelum UU No.24 Tahun 2007 hanyalah setingkat keputusan presiden, antara
lain Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan
Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI
No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001. Keputusan
Presiden No. 28 tahun 1979 Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam
(BAKORNAS PBA). Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut
disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS
PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana
oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres
ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas
tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.
Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999–pun tidak bertahan lama. Sebabnya antara lain
pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP kehilangan
salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres
No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang
diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris
Bakornas PBP. Sedangkan Jepang yang memiliki kerentanan hampir sama dengan Indonesia
telah mempunyi regulasi tentang kebencanaan sejak 1880 yaitu Provision and Saving Act for
Natural Disaster. Dan pada tahun 1961 melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961)
yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain :

a. Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management Council) di tingkat


nasional, prefektur, kota/ municipality berkoordinasi dengan organisasi-organisasi multi
sektoral.
b. Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) di tingkat
nasional, prefektur, dan kota/ municipality.
c. Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama multisektoral untuk respon
gawat darurat.
d. Regulasi terakhir mengenai penanggulangan bencana bertujuan menagani bencana secara
integral, koodinatif, holistik, dan terencana. Mainstream yang digunakan adalah
menyukseskan pembangunansebab ketika terjadi banyaknya kerugian infrastruktur
seperti jembatan, bangunan perkantoran, pasar, sekolah, rumah sakit tentunya
menghambat pembangunan. Kongkritnya anggaran yang dapat dialokasikan untuk
kesejahteraan rakyat dikurangi atau paling tidak dialihkan pada pembangunan kembali
infrastruktur yang rusak. Dari dimensi pembangunan manusia, bencana menghambat
pengembangan kualitas manusia pada tersendatnya penyelenggaraan pendidikan,
ekonomi, sosial, dan kesehatan yang lambat laun akan menurunkan kualitas
pembangunan manusia. Angka kemiskinan sudah barang tentu akan meningkat ketika
masyarakat kehilangan harta benda dan akses sosial.
Pelayanan sosial dan atau perlindungan sosial penanggulangan bencana yang secara
menyeluruh dikaitkan dengan siklus menejemen bencana, yaitu tahap pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat (emergensi/relief), rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk
menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kesiapsiagaan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan
pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Tahap taggap darurat adalah adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan menyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Rehabilitasi adalah perbaikan
dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah paska bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.

Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan


pada wilayah paska bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah paska bencana. Kebutuhan dasar dalam kerangka pengembangan
manusia (human development) untuk peningkatan kapasitas dan keberfungsian individu pada
saat bencana harus terpenuhi, pasalnya komunitas tidak berdaya dan tidak mampu mengatasi
persoalan tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan dasar yang harus terpenuhi yaitu, nutrisi,
pelayanan kesehatan, pedidikan, dan perumahan.

Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dan proses memberikan wewenang lebih
luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan,
menyediakan kesempaan untuk ikut bagian dan memiliki kewenangan dalam proses pegambilan
keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan menejemen bencana. Tujuannya adalah
memecahkan persoalan dengan lebih baik dengan mempertimbangkan kontribusi dan peran
komunitas. Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah dengan cara
kebih baik, dengan memberikan kontribusi sehingga implementsi kegiatan berjalan lebih efektif,
efisien, dan berkelanjutan. Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan
pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan.

Secara sederhana pengelompokan stakeholder dikelompokan menjadi aktor dalam dan


aktor dalam. Aktor dalam merujuk pada para individu, organisasi, dan pemangku kepentingan
yang berada dalam komunitas, seperti karangtaruna dan seluruh anggota komunitas yang
tercakup di dalam organisasi komunitas untuk pengelolaan bencana (Community Based Disaster
Management). Aktor luar merujuk pada sector-sektor dan lembaga-lembaga yang terletak di luar
komunitas dan ingin mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas mereka dalam
mengelola bencana, seperti departemen dan lembaga pemerintah, LSM, PBB, sektor swasta dan
lembaga luar lainnya

Tujuan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara sesungguhnya mengantisipasi dampak bencana sosial. Bencana sosial dapat diartikan
sebagai bencana yang ditimbulkan oleh faktor manusia. Seperti konflik bersenjata, penggusuran,
terorisme, dan lain sebagainya. Disebut becana sosial karea disebabkan oleh perilaku atau ulah
manusia, baik dalam pengelolaan lingkungan, perebuatan sumber daya, permasalahan ras dan
kepentingan lainnya yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidaksesuaian.

Menurut Edi Suharto yang mengutip Spicker:1995 dan Thompson:2005 menerangkan


bahwa tradisi kebijakan sosial pemerintah di Negara-negara maju mencakup ketetapan atau
regulasi mengenai lima bidang pelayanan sosial, yaitu, jaminan sosial, pelayanan perumahan,
kesehatan, pendidikan dan pelayanan atau perawatan personal.[13] Pemerintah Republik
Indonesia melalui UU No. 24 Tahun 2007 sebagai wujud kewajiban negara (state obligation)
dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Perwujudan pemenuhan hak sosial tersebut terdapat
dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam keadaan paska bencana. Selain itu guna
melindungi warga negara dari ancaman dampak bencana alam ataupun bencana sosial melalui
upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.
Kelima pelayanan sosial yang dicakup oleh undang-undang tersebut serentak dilakukan
ketika terjadi bencana, tujuannya adalah masyarakat yang terkena dampak bencana dapat cepat
pulih dari kondisi terpuruk kepada kondisi normal bahkan lebih baik dari sebelumnya. Program
bantuan sosial (social assistance) diberikan kepada keluarga dan individu yang mengalai
kerugian fisik, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota keluarga. Misalnya jatah hidup (living
cost) pada keluarga korban gempa bumi Yogyakarta tahun lalu yang besarnya Rp. 90.000 selama
tiga bulan. Pada keyataannya tidak terbukti secara pasti, hanya diberikan satu kali dan itupun
pembagiannya belum merata, di sebagian wilayah Bantul besaran yang diterima warga ada yang
mencapai angka 260 ribu perkepala keluarga sementara dibagian wilayah yang lain rata-rata
hanya menerima 90 ribu rupiah, adapula mereka yang sama sekali tidak mendapatkannya.

Pelayanan perumahan pada masa tanggap darurat disediakan dalam bentuk posko-posko
pengungsian dalam bentuk tenda atau gedung yang dianggap aman. Pada tahap rehabilitasi
disediakan tempat tinggal sementara (temporary shelter) dari bahan bambu dan terpal plastik.
Pada tahap rekonstruksi, pemerintah menyediakan dana rekonstruksi (dakon) bagi korban dengan
tiga kriteria; rumah roboh atau rusak berat sebesar Rp.15.000.000,-, rumah rusak sedang Rp.
4.000.000,-, dan rumah rusak ringan Rp.1.000.000,- melalui skema kelompok masyarakat
(pokmas), penggantian lahan tempat tinggal dan usaha bagi korban luapan lumpur (Lapindo) di
Sidoarjo.

Pelayanan kesehatan gratis untuk korban luka-luka dijamin selama masa rehabilitasi dan
penyembuhan. Begitu pula dengan pendidikan gratis bagi anak korban bencana gempa bumi di
Yogyakarta selama satu semester. Pelayanan perseorangan terutama penderita gangguan fisik
dan mental juga disediakan beberapa bulan paska gempa maupun perlindungan pada kelompok
rentan; perempuan, anak, manula, dan kaum difable.

Sasaran kebijakan (target group) dari kebijakan ini adalah seluruh warga negara yang
terkena dampak bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial. Tanpa memperhitungkan
kontribusi pada negara, mereka berhak mendapat pelayanan sosial dalam kondisi
ketidakberdayaan dan ketidakberfungsian individu dan institusi. Kebijakan ini termasuk dalam
kategori instrument wajib (compulsory Instrumen) atau instrument instruksi atau tindakan
langsung ke sasaran baik individu maupun perusahaan. Instrument intruksi yang ada berbentuk
regulasi yang dimaksudkan membatasi perilaku individu, masyarakat, dan perusahaan baik
perusahaan swasta maupun perusahaan publik. Regulasi juga dapat berbentuk penentan standar,
prosedur perijinan, larangan perilaku tertentu, dan perintah untuk melakukan tindakan.Regulasi
penanggulangan bencana kiranya tepat dikategorikan sebagai perintah untuk melakukan
tindakan.

Dari segi anggaran, perubahan radikal yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut
adalah merubah anggaran bencana dari dana tak tersangka yang aksesnya sangat terbatas menjadi
masuk dalam salah satu item pos anggaran baik APBN dan APBD. Hal ini dirasakan penting
berlandaskan paradigma bahwa bencana dapat menghambat proses pembangunan, tentunya
apabila tidak diantisipasi akan lebih banyak anggaran untuk membiayai kerugaian yang dialami
pemerintah dan masyarakat.

Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, ada empat stakeholder yang terlibat dalam
penanggulangan bencana yang terdapat di dalam UU No.24 Tahun 2007. yaitu Pemerintah dalam
hal ini Badan Nasional Penaggulangan Bencana, Pemerintah daerah dalam hal ini Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, lembaga usaha, dan lembaga internasional da lembaga asing
nonpemerintah. Dua pemangku kepentingan pertama merupakan bentuk
tanggungjawab/kewajiban pemerintah dalam melindungi dan menyediakan layanan pada
warganya, sedangkan dua pemangku kepentingan terakhir adalah wujud partisipasi dan
kemitraan yang digalang oleh pemerintah untuk menanggulangi bencana. Namun pemerintah
pusat tetap mempunyai wewenang dan tanggungjawab besar dalam memutuskan dan
melaksanakan undang-undang ini, seperti memutuskan tidakan yang dilakukan waktu bencana
terjadi, penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, penentuan kebijakan kerja
sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak
internasional lain, dan sebagainya.

Pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana yang baru ditetapkan pada 26 April


2007 memang masih belum terlihat secara nyata dari segi hasil dan capaian-capaiannya. Sebagai
kebijakan yang menyelaaskan dan menyempurnakan kebijakan sebelumnya yang bersifat ad hoc.
Pelaksanaan penanggulangan bencana masih terlihat pada upaya tanggap darurat ketika terjadi
bencana, seperti di Bengkulu dan Dompu. Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan terjadi ketika
Gunung Kelud meletus di Kediri dan Blitar, Jawa Timur dengan memindahkan penduduk di
kawasan rawan bencana 1 an 2 ke tempat pengungsian yang lebih aman.
Walaupun demikian, penanggulangan bencana di kawasan Kelud, yaitu Kabupaten Kediri
dan Blitar belum memadai. Selain tidak fokus, program-program yang dibuat setiap tahun lebih
banyak berbentuk respon daripada pengurangan risiko. Misalnya, kegiatan monitoring daerah
rawan bencana. Selain itu, program daerah baru sebatas penguatan institusi penanggulangan
bencana. Anggaran yang dialokasikan hanya Rp 270.706.600. Jumlah itu jauh lebih kecil
daripada pembiayaan pembangunan jaringan listrik dan prasarana objek wisata Kelud.
Anggarannya sembilan kali lipat lebih besar atau senilai Rp 2.496.374.200.

Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seringkali


tidak diiringi dengan pengalihan tanggung jawab pelayanan dan perlindungan kepada rakyat.
Akibatnya pada saat bahaya terjadi, tanggapan pemerintah daerah cenderung lambat dan
seringkali mengharapkan tanggapan langsung dari pemerintah pusat. Di lain pihak, pada saat
bencana, kurangnya koordinasi antar tataran pemerintahan menghambat pemberian tanggapan
yang cepat, optimal, dan efektif.

Sebelum ditetapkannya UU No.24 Tahun 2007 Tentang Penaggulangan Bencana,


pemerintah melalui Bappenas telah menyusun dokumen Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Risiko Becana. Tujuan penyusunan rencana aksi ini adalah untuk mendukung perumusan
kebijakan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana, sehingga
sasaran dokumen ini lebih pada pengendalian kegiatan yang berkelanjutan, terarah dan terpadu.
Saat ini, di beberapa daerah sedang giat untuk menyusun rencana aksi daerah pengurangan risiko
bencana.

Sejauh ini belum terdapat aturan atau regulasi pendukung untuk pelaksanaan yang lebih
bersifat teknis. Misalnya Kepres pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan
Kepres yang mengatur keterlibatan lembaga internasioal dan lembaga asing non-pemerintah
yang diamanatkan undang-undang. Jika aturan pendukung tersebut tidak segera dibentuk, maka
kemungkinan besar pelaksanaan di lapangan akan terhambat, tidak terkoordinasi dengan baik,
dan kendala teknis lainnya akan muncul.

Sebagai negara rawan bencana, Indonesia sangat terlambat dalam mengantisipasi dan
menangani dampak bencana. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterlambatan pemerintah
mengeluarkan regulasi berbentuk undang-undang yang mengatur penanggulangan bencana
secara berkelanjutan atau berkesinambungan. Sebelumnya, regulasi hanya bersifat ad hoc
sehingga penanganan bencana dijalankan parsial dan tidak terkoordininasi dengan baik sesuai
siklus menejemen bencana.

Namun, dengan hadirnya undang-undang bencana dapat mengobati rasa haus masyarakat
sipil yang menambakan penanganan bencana secara integratif. Pasalnya, telah terjadi beberapa
perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana, diantaranya paradigma linear ke siklus,
dari responsif ke pengelolaan, dari karikatif ke pemberdayaan, dan dari mengelola dampak ke
mereduksi risiko.

Anda mungkin juga menyukai