Anda di halaman 1dari 4

Essay

Mengenai Perbuatan-Perbuatan Pemerintah Yang Tidak Patut Dilakukan


I. Pendahuluan
Kita sering melihat atau mengalami perilaku atau perbuatan pejabat
pemerintah di kantornya yang dilakukan secara berliku-
liku,lamban,kaku,dibuat-buat agar lambat,licin,curang,tipu
muslihat,menjengkelkan dan merugikan. Ada pula yang menyebutnya
sebagai mismanagement (salah urus) atau wanbeleid (salah kebijakan).
Dalam Bahasa Prancis,dipergunakan kata chicana yang berasal dari chicaner
yang secara harfiah diartikan sebagai mencari alas an. Apabila perbuatan
chicane dipandang sebagai kelambatan,liku-liku dan tipuan dalam
melakukan pekerjaan,chicane sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pejabat
yang bersangkutan menghayati dan mengamalkan etika pemerintahan jika
pejabat tersebut menyadari bahwa perbuatan chicane adalah perbuatan yang
tercela dan tidak patut. Meskipun demikian,chicane masih saja
terjadi,bahkan dilakukan dengan penuh kesadaran karena chicane memang
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan merugikan
pihak lain. Terjadinya chicane menunjukkan adanya kelemahan berlakunya
etika,khususnya etika pemerintahan,serta menunjukkan berjangkitnya
penyakit “cacat etika pemerintahan” yang jika tidak segera diatasi bisa
menjadi kronis.

II. Pembahasan
Perbuatan Pemerintah
Adanya norma,aturan,kebiasaan,atau etika dalam masyarakat merupakan
hal yang logis karena manusai hidup bermasyarakat dan membentuk
masyarakat justru untuk menciptakan ketertiban agar dapat memenuhi
kebutuhannya dengan sebaik-baiknya melalui saling membantu dan bekerja
sama dengan manusia lain. Perbuatan dan perilaku yang dilakukan berulang-
ulang tanpa perubahan disebut kebiasaan. Kebiasaan yang berlaku dari tahun
ke tahun,bahkan dari abad ke abad dan turun-temurun dari generasi ke
generasi di sebut adat. Aturan yang dibuat oleh perangkat atau pejabat yang
berwenang disebut hukum. Oleh karena dibuat oleh pemerintah,hukum dapat
dipaksakan agar dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Perbuatan yang
baik,perbuatan yang etis,perbuatan yang wajib dan yang seharusnya
dilakukan adalah perbuatan yang sesuai dengan kebiasaan,adat,aturan,atau
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam buku berjudul Bestuurskunde,van Poelje menampilkan filsafat
Heymans dan Bavinck,filsuf Belanda. Heymans dari aliran monism psikis
menyatakan bahwa norma etika berlaku mutlak. Ia mengatakan bahwa
keharusan untuk berbuat susila melebihi keharusan lainnya. Maksudnya,jika
suatu cara tertentu di akui sebagai perbuatan susila yang baik,itu berarti
orang seharusnya berbuat demikian,sedangkan tuntutan
kenikmatan,kegunaan,dan keindahan hanya dapat dipenuhi jika tuntutan
tersebut tidak bertentangan dengan susila. Pengakuan atas hal dimaksud
terlepas dari kesadaran alami manusia dan semua teori etik telah berusaha
meyakinkan menurut cara masing-masing.
Pandangan yang mengatakan bahwa keharusan susila merupakan
keharusan absolut. Selain dari kebenaran dan keadilan,dengan sendirinya dan
terlepas dari segala akibat,hal itu sangat jelas sehingga teori etika yang
menyangkal pandangan tersebut tidak lagi merupakan teori etika. Kejelasan
ini sama besar dan sama jenisnya dengan aksioma logika dan matematika.
Namun ada pandangan lain yang berpendapat tidak mutlak berlakunya etika
dalam masyarakat serta dimana dan kapanpun. Akan tetapi,mengenai
penilaian terhadap norma etika serta penilaian terhadap berbagai perbuatan
dan tingkah laku,penilaian itu dipengaruhi waktu,tempat,dan suasana serta
dipengaruhi kemakmuran atau kemiskinan masyarakat pada waktu perang
atau damai dan lain sebagainya. Pandangan ini dikemukakan oleh filsuf lain
yang juga dari negeri Belanda,yaitu Bavinck. Ia mengungkapkan , “Harapan
yang sering diucapkan bahwa dengan tidak adanya dasar agama atau asas-
asas susila akan tetap tidak terganggu. Jelas tidak semuanya terpenuhi sebab
perselisihan makin besar,bahkan begitu rupa sehingga mengenai satu
perintah susila pun tidak ada kesamaan pendapat,misalnya tentang
wibawa,hidup,pernikahan,milik,tentang sumber dan dasar,metode ,serta
kriterium perasaannya jauh berbeda.
Pandangan dan sikap yang berlaku di negara kita sejak 17 Agustus
1945,yang menjadi dasar,pokok,dan pangkal bertolak dari semua dan segala
bentuk perbuatan pemerintah adalah Pancasila. Dengan demikian,norma
etika yang kita miliki ialah etika pemerintahan berdasarkan Pancasila. Secara
ringkas dan sederhana,dapat kita katakana bahwa setiap perbuatan
pemerintahan harus mangadung kelima sila dari Pancasila. Pancasila yang
telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara,seperti tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan telah diterima dan ditetapkan
pula sebagai landasan tindak,tingkah laku,dan perbuatan setiap mausia
Indonesia adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia serta merupakan kepribadian
dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Coba kita perhatikan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh
ketidaksamaan pangkal bertolak. Tampak lebih jelas didalam politik
daripada di dalam pemerintahan. Tidak menjadi masalah apakah politik
diartikan sebagai seni kenegaraan,yaitu menerapkan ajaran negara kepada
keadaan dan hubungan yang ada atau politik diartikan sebagai kepentingan
negara sebagai syarat untuk mencapai kemakmuran negara atau pengertian
lainnya. Di dalam pemerintahan,akan terdapat jauh lebih sedikit
pertentangan daripada dalam politik,yaitu pertentangan antara :
1) Apa yang dituntut oleh kepentingan nasional atau pada tahap tertinggi
serta
2) Apa yang harus diperhatikan dalam memenuhi etika yang bersifat ketat
sebagaimana aturan tersebut berlaku bagi setiap orang dalam hidup
sehari-hari.
Lalu siapa yang disebut pemerintah itu ? Pemerintah adalah suatu
badan,perangkat,atau Lembaga belaka yang hanya bergerak jika digerakkan
oleh manusia yang disebut pejabat. Dengan kata lain,perbuatan pemerintah
dilakukan oleh pejabat pemerintah. Pejabatlah yang mempertimbangkan
,merencanakan, mengambil keputusan, melaksanakan,dan menilai apa yang
telah dilaksanakan. Apakah perbuatan itu baik atau tidak baik ? Menyimpang
atau lurus ? Apakah tepat pada jalan yang telah ditentukan ? Apakah
perbuatan tersebut bersifat etik atau merupakan perbuatan yang seharusnya
dilakukan ? orang berkata bahwa pelaksanaan pemerintahan atau perbuatan
pemerintah itu tergantung dari the man behind the gun.
Berdasarkan hal tersebut,setiap pejabat pemerintah selalu berada dalam tiga
macam kedudukan,yaitu :
1) Sebagai individu engan segala sifatnya
2) Sebagai pegawai negeri yang perbuatannya dibatasi oleh etika
jabatan,serta
3) Sebagai perangkat pemerintah yang perbuatannya harus sesuai dengan
etika pemerintahan.
Nilai etika pemerintahan sangat erat dengan perkembangan etika jabatan
atau etika pegawai negeri. Adalah suatu kenyataan bahwa di negara kita
telah tumbuh etika untuk masing-masing jabatan dan profesi,misalnya etika
bagi para dokter,pengajar,insinyur,anggota DPR/DPRD dan DPD serta
petugas penyelenggara pemilu. Selain untuk pegawai negeri,terdapat pula
etika non pegawai negeri seperti etika bagi para wartawan,pengacara dan
dokter. Khusus bagi pegawai negeri,etika jabatan dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 1974,Peraturan Pemerintah nomor 30
Tahun 1980 (Peraturan disiplin PNS) , Peraturan Pemerintah nomor 42
Tahun 2004 (Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS) serta Peraturan
Pemerintah nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS. Para politikus di
DPR,DPRD,dan DPD mengatur kode etiknya dalam peraturan tata tertib.
Bahkan,untuk menegakkan kode atik itu,mereka membentuk badan
kehormatan. Namun,hingga saat ini,RUU etika penyelenggara negara dan
RUU penegakan etika apparat negara belum disahkan menjadi UU.
Etika pemerintah mempunyai tumpeng tindih luas dengan etika jabatan.
Kiranya dapat dimengerti karena yang melaksanakan perbuatan
pemerintahan adalah para pejabat pemerintah sebagaimana telah diterangkan
di muka. Adanya tumpeng tindih yang luas menyebabkan sulitnya
membedakan kedua macam etika tersebut.
Pemerintah Republik Indonesia berpendirian bahwa pejabat di pandang
tidak cakap untuk memegang jabatannya jika tingkah laku dan perbuatannya
bertentangan dengan kehormatan yang patut diharapkan dari seorang pejabat
pemerintah atau berlawanan dengan kehormatan korps pegawai negeri
biarpun tingkah laku dimaksud dilakukannya diluar kota dan di luar jam
kerja. Bahkan pemerintah bersikap lebih jauh lagi,jika ada alas an yang
cukup untuk pemecatan,misalnya terkenal sebagai penjudi,suka
memperkosa,sering nikah cerai,serta melakukan perbuatan keji,memalukan
dan tercela,pejabat tersebut dapat dipecat dari jabatannya. Hukuman atas
pelanggaran kode etik atau lebih tepat lagi atas disiplin pegawai negeri
tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan
Pasal 15 PP Nomor 42 Tahun 2004.
III. Kesimpulan

Perangkat pemerintah yang perbuatannya harus sesuai dengan etika


pemerintahan. Kiranya dapat dimengerti karena yang melaksanakan
perbuatan pemerintahan adalah para pejabat pemerintah sebagaimana telah
diterangkan di muka. Adanya tumpeng tindih yang luas menyebabkan
sulitnya membedakan kedua macam etika tersebut. Pemerintah Republik
Indonesia berpendirian bahwa pejabat di pandang tidak cakap untuk
memegang jabatannya jika tingkah laku dan perbuatannya bertentangan
dengan kehormatan yang patut diharapkan dari seorang pejabat pemerintah
atau berlawanan dengan kehormatan korps pegawai negeri biarpun tingkah
laku dimaksud dilakukannya diluar kota dan di luar jam kerja.

Bahkan pemerintah bersikap lebih jauh lagi,jika ada alas an yang cukup
untuk pemecatan,misalnya terkenal sebagai penjudi,suka memperkosa,sering
nikah cerai,serta melakukan perbuatan keji,memalukan dan tercela,pejabat
tersebut dapat dipecat dari jabatannya.

IV. Referensi
IPEM4430/Modul 5

Anda mungkin juga menyukai