Anda di halaman 1dari 5

Tugas 2

Tuton Sistem Politik Indonesia / ISIP 4213

Oleh :

Nama : Putri Ramadhona Sri Utami

Nim : 031152585
LEMBAGA YUDIKATIF DI INDONESIA
1.      Definisi dan Fungsi Lembaga Yudikatif
Lembaga yudikatif adalah cabang pemerintah yang diberdayakan untuk memutuskan
persengketaan hukum. Salah satu karakteristik dari lermbaga yudikatif dalam sistem
demokrasi liberal adalah bahwa lembaga tersebut bersifat sangat independen dan aktor non
politik.
Mengenai fungsi yudikatif menurut Austin Ranney, lembaga yudikatif memiliki
sejumlah fungsi, yaitu :
1.      Fungsi kehakiman yang sepesial (Judicial Review).,
2.      Penegakan hukum, dan
3.      Menyelesaikan sengketa.
Fungsi dan efek dari Judicial Review ialah memberikan atau menolak persetujuan
kehakiman pada suatu undang undang yang disahkan mayoritas dalam lembaga legislatif dan
disetujui lembaga eksekutif. Tak bisa disangkal bahwa hakim-hakim terutama hakim
pengadilan tertinggi lebih berpengetahuan dalam bidang hukum daripada anggota legislatif
dan eksekutif.
Rostow berpendapat dalam tulisannya Judicial review adalah tindakan tidak demokratis.
2.      Lembaga Yudikatif di Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru
Berbicara mengenai lembaga yudikatif, tidak akan lepas dari Judicial review. Usulan
pertama kali perlunya judicial review bagi Mahkamah Agung pernah di singgung oleh
Muhammad Yamin di PPKI, walaupun usulan ini di tentang keras oleh Soepomo.
Selanjutnya, ide untuk menguji undang-undang pernah di singgung kembali oleh Sri
Soemantri pada tahun 1968 di semarang. Setelah itu, pada tahun 1970, pemerintah dan DPR
mengesahkan UU No.14 tahun 1970 tentang pokok pokok kekuasaaan kehakiman. Dalam
UU tersebut hak menguji di atur dalam pasal 26, khususnya pada ayat 1 yang berbunyi
“Mahkamah agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan
dari tingkat yang lebih rendah dan undang undang, atas alasan pertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi”.
Setelah UU no,14 tahun 1970 selanjutnya masalah pengujian undang undang diatur
kembali dalam UU no.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kemudian, Mahkamah
Agung menerbitkan peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1993 tentang hak uji materil
yang di sempurnakan dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun1999.
Menurut Jimly Asshiddiqie, hak uji judicial review merupakan upaya hukum pengujian
oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang di tetapkan oleh cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip check and balances,
bedasarkan sistem pemisahan kekuasaan Negara, sedangkan menurut Bagir Manan ketua
Mahkamah Agung mengatakan bahwa sembarang orang dapat mengajukan hak uji materil,
untuk menguji peraturan perundang undangan di bawah undang undang, harus jelas
kepentingan orang yang berkaitan, apakah mereka merasa di rugikan secara langsung atau
tidak akibat peraturan yang di terbitkan.
Hak menguji UU terdiri dari dua jenis:
1.      Hak menguji formil
2.      Hak menguji materil
Yang di maksud hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu
produk legislative terjelma melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana telah di tentukan
atau dia atur dalam peraturan perundangan yang berlaku atau tidak. Adapaun yang di maksud
uji materil adalah suatu wewenang untuk menyelediki dan kemudian menilai apakah suatu
peraturan perundanga isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya, serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Titik tolak dari uji materil ini adalah bahwa setiap peraturan perundang undangan yang
berlakukan harus sesuai dengan kaidah tata urutan peraturan perundangan.
Dimasa Orde Baru, tata urutan peraturan perundang undangan diatur diatur dalam
ketetapan MPRS nomor XX / MPRS / 1966 tentang memorandum DPR Gotong Royong
(GR) mengenai Sumber Tata Hukum Republik Indonesia. Di Masa Reformasi, tata urutan
peraturan perundang undangan ini diubah dalam Ketetapan MPR nomor III / MPR / 2000
tenteng Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan-Perundang Undangan.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dari keadilan berdasarakan pancasila demi
terselenggaranya hukum RI.
UU No.19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim pasal 19 “ demi
kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang
mendesak, presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan”. Didalam
penjelasan umum UU ini dinyatakan bahwa Trias Politika tidak mempunyai tempat sama
sekali dalam Hukum Nasional Indonesia karena kita tidak berada dalam revolusi dan
dikatakan selanjutnya bahwa pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang.
UU No.14 tahun 1970 pada dasarnya mengukuhkan kenyataan dualisme kekuasaan
kehakiman rezim politik demokrasi terpimpin karena pada suatu sisi tetap memberikan
kepada pemerintah (Departemen kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen Hamkam)
kekuasaan judicial untuk mengurus masalah masalah administrasi, keorganisasian dan
keuangan dalam dalam pihak lain memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan
mengurus masalah-masalah teknis yuridis. Dulisme semacam ini membawa konsekuensi
bahwa hakim sebagai pegawai departemen merupakan aparatur pemerintahan (birokrasi)
yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab pula untuk melaksanakan program-program
pemerintah. Lembaga yudikatif harus independen seperti yang tercantum dalam UU No.14
1970 pasal 4 ayat 3, menyatakan bahwa “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam
UUD”.
TAP MPR no III / MPR / 1978, dalam pasal 2 ayat 1 menyebutkan “Mahkamah Agung
adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.
Berdasarkan ketetapan MPR Nomor III / MPR / 2000 pada pasal 5 ayat 2 disebutkan
bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang”. Berdasrkan ketentuan ini jelas MPR memberi kewenangan kepada MA
untuk melakuakn pengujian undang undang secara materil.
Dengan dikeluarkannya UU nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pada
tanggal 16 januari 2004 maka UU No 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan UU
No.35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.14 tahun 1970, dan UU No. 35 Tahun 1999
dirubah lagi dengan UU No 4 tahun 2004, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakuakan oleh Mahkamah Agung dan pengadilan berada dibawahnya, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
meliputi peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kekuasan kehakiman menurut naskah asli UUD 1945 dilakuakn oleh Mahkamah Agung,
setelah amandemen kekuasaan kehakiman ini dilakuakan selain oleh Mahkamah Agung juga
dilakuakan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan amandemen UUD 1945 posisi hakim agung
menjadi lebih kuat karena mekanisme pengangkatan hakim agung diatur sedemikian rupa
dengan melibatkan tiga lembaga yaitu DPR, presiden dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisal
ini merupakan lembaga baru yang memnag sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang
terkait dengan pengangkatan hakim agung serta menegakan kehormatan, keluhuran, martabat
dan prilaku hakim. Anggota komisi yudisial ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden
dengan persetujuan DPR.

http://syah8400.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai