Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : MARZULIRIZAL.

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030025139.

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4213/Sistem Politik Indonesia

Kode/Nama UPBJJ : 20 / UPBJJ BANDAR LAMPUNG.

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia,
kini dikenal adanya 3 badang yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut.
Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Kekuasaan Negara yang absolut (mutlak) yahng menguasain seluruh bidang kehidupan negara
sentalistik dalam satu kekuasaan akan melahhirkan hasil yang tidak efektif dan efisien bahkan
cenderung menyimpang dari konstitusi dan peraturan yang berlaku. Untuk itu kenyataan ini
mendorong para filosof untuk mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar
merata dan tidak menumpuk pada satu orang atau institusi kekuasaan saja. Pemikiran yang
dilahirkan oleh para filosof tersebut adalah salah satunya berupa teori Trias Politica. Teori ini
menyatakan bahwa kekuasaan negara perlu dilakukan pemisahan dalam 3 bagian yaitu
kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Pemisahan ini ditujukan untuk menciptakan
efekstivitas dan evisiensi serta transparansi pelaksanaan kekuasaan dalam negara sehingga
tujuan nasional suatu negara dapat terwujud dengan maksimal.Khusus mengenai Yudikatif
adalah fungsi untuk mengadili penyelewengan peraturan yang telah dibuat oleh Legislatif dan
dilaksanakan oleh Eksekutif. Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengalami rotasi pergantian
kekuasaan. Ini ditandai dengan adanya masa kekuasaan yang dikenal dengan 3 masa, yaitu
masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Reformasi. Disetiap masa memiliki ciri khas
kekuasaan yang berbeda-beda. Dari perbedaan setiap masa, dapat dilihat cara dalam
menerapkan kekuasaannya terhadap lembaga-lembaga yang terdapat pada masa itu.
Kekuasaan Yudikatif mungkin juga berbeda peranannya dalam setiap adanya 3 masa
kekuasaan tersebut.

2. Otonomi daerah dan umumnya diikuti dengan kebijakan fiskal sebagai instrumen yang
mendukung pemerintah daerah dalam pelayanan publik melalui transfer dana ke daerah.23
Selanjutnya, desentralisasi fiskal harus dimanfaatkan serius oleh pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan pembangunan, mendukung pertumbuhan ekonomi baik di tingkat lokal
(daerah) maupun nasional. Hal yang harus diketahui bahwa desentralisasi fiskal dalam era
otonomi daerah diIndonesia yaitu desentralisasi fiskal dalam sisi pengeluaran (expenditure)
dibiayai terutama dana transfer daerah. Dengan demikian, desentralisasi fiskal sebagai esensi
dari otonomi pengelolaaan fiskal harus diorientasikan pada kebebasan untuk membelanjakan
dana sesuai dengan prioritas dan kebutuan masing-masing pemerintah daerah.
hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam dimensi sistem kekuasaan negera ternyata
masih bersifat ambigu.Negara dalam pemikiran Held diposisikan sebagai arena pergulatan
sosial yang dimanifestasikan dalam bentuk organisasi, administrasi dan kebijakan-kebijakan
yang didihasilkan. Sedangkan, menurut Burns, dkk bahwa ciri khas negara sering
menampakkan perjuangan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih sesuai merupakan
kenyataan yang tidak terhindarkan.
Walaupun proyek sentralisasi telah diimplementasikan sejak lama, tetapi pada dasarnya
teritori sub-nasional (provinsi) tetap memelihatkan kekenyalan dalam mempertahankan
ekspresi organisasi sosial-ekonomi dan budaya masing-masing, melawan upaya
homogenisasi.
Pola pembagian kekuasaan dan tangung jawab pun ketika konsep desentralisasi
diimplementasikan maka tidak bisa bersifat statis. Pergeseran kekuasaan dan tanggung jawab
bisa berubah bentuk karena ada perubahan orientasi kearah sentralisasi atau desentralisasi. Hal
ini diperkuat dengan pelbagai hasil studi bahwa konflik bukan satu-satunya sarana yang bisa
digunakan dlaam proses pergumulan kekuasaan tesebut tetapi bisa juga menggunakan moda
bargaining dan negosiasi.

3. Kebijakan negara dalam menghadapi terorisme sangat berbeda pada periode Era Orde Baru
dengan Reformasi. Pada masa Orde Baru, pendekatan penanggulangan terorisme
mengutamakan peran TNI sebagai alat negara. UU yang digunakan adalah undang-undang
subversif, sedangkan pada masa orde baru menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003. UU itu merupakan pengembangan dari kebijakan negara dalam bentuk Perppu Nomor 2
Tahun 2002.
Pada masa Orde Lama, pendekatan penanggulangan terorisme lebih banyak menggunakan
pendekatan keamanan dan kemiliteran. Pada masa ini, Negara sedang dalam upaya
pembentukan rezim dan pertahanan diri dari ancaman penjajahan yang berusaha untuk
kembali ke Indonesia.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sekarang Tentara Nasional Indonesia (TNI)
memegang peranan yang sangat dominan dalam bidang pertahanan maupun keamanan dalam
negeri. Peranan militer juga meliputi upaya untuk menjaga keutuhan bangsa dan kedaulatan,
termasuk mengatasi berbagai usaha pemberontakan dan terorisme di dalam negeri. Pada masa
Orde Baru, di mana ABRI menjadi kekuatan politik utama dan pimpinannya menjadi
pemimpin politik, pendekatan penanggulangan terorisme sedikit bergeser. Kekuatan militer
masih menjadi ujung tombak dalam bidang pertahanan maupun keamanan dalam negeri.
Namun, pendekatan sekuriti dalam upaya penanggulangan terorisme ini mengutamakan
kemampuan intelijen sebagai ujung tombak (Yunanto, dkk, 2014). Sementara pada Era
Reformasi yang ditandai dengan demokratisasi, kebijakan terorisme menekankan pada
penegakan hukum karena terorisme dikaitkan dengan tindakan pelanggaran hukum pidana,
meskipun terorisme dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 disebutkan bahwa pemberantasan
tindak pidana terorisme merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk
memperkuat ketertiban dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum
dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras,
maupun antar-golongan.
Dilihat dari pernyataan yang tertera di pasal ini, peran serta masyarakat menjadi sangat
penting karena titik tolak diundangkannya upaya penanggulangan terorisme akan selalu
bermuara pada terjaminnya kehidupan dan keamanan masyarakat Indonesia secara
menyeluruh, tanpa terkecuali.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 juga menyebutkan bahwa setiap orang yang
dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana
terorisme, akan dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lambat 15
(lima belas) tahun.
Dari isi pasal ini bisa dilihat bahwa masyarakat memang tidak bisa hanya diam ketika melihat
ada upaya-upaya jahat yang akan dilakukan. Peran masyarakat untuk berani dan mau
melaporkan menjadi sangat diperlukan, sebab aksi teror tidak bisa dilepaskan dari interaksi
dan sosialisasi pelaku teror pada masyarakat tempat ia tinggal.

Anda mungkin juga menyukai