0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
100 tayangan6 halaman
Teks tersebut membahas tentang reformasi kepegawaian negara dan pelaksanaan otonomi daerah. Reformasi kepegawaian dipandang penting untuk meningkatkan kualitas birokrasi, namun upaya yang dilakukan pemerintah belum berhasil karena masih dipengaruhi kepentingan politik. Pelaksanaan otonomi daerah bergantung pada kemampuan keuangan daerah, tetapi sumber pendapatan daerah masih tergantung bantuan pusat.
Teks tersebut membahas tentang reformasi kepegawaian negara dan pelaksanaan otonomi daerah. Reformasi kepegawaian dipandang penting untuk meningkatkan kualitas birokrasi, namun upaya yang dilakukan pemerintah belum berhasil karena masih dipengaruhi kepentingan politik. Pelaksanaan otonomi daerah bergantung pada kemampuan keuangan daerah, tetapi sumber pendapatan daerah masih tergantung bantuan pusat.
Teks tersebut membahas tentang reformasi kepegawaian negara dan pelaksanaan otonomi daerah. Reformasi kepegawaian dipandang penting untuk meningkatkan kualitas birokrasi, namun upaya yang dilakukan pemerintah belum berhasil karena masih dipengaruhi kepentingan politik. Pelaksanaan otonomi daerah bergantung pada kemampuan keuangan daerah, tetapi sumber pendapatan daerah masih tergantung bantuan pusat.
Kode/Nama Mata Kuliah : IPEM4214/SISTEMPEMERINTAHANDAERAH
Kode/Nama UPBJJ : 20 / BANDAR LAMPUNG
Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA 1. Kualitas kepegawaian berkorelasi dengan kualitas birokrasi di suatu negara di mana reformasi kepegawaian adalah prasyarat mutlak untuk menjamin terselenggaranya manajemen tata pemerintahan yang profesional. Pemerintah Indonesia memanfaatkan momentum reformasi pada tahun 1999 dengan menetapkan Undang-Undang No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan sentral yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi dan dampak yang luas dalam kehidupan bernegara. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Oleh karenanya reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting (Prasojo, 2007): (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies). Rekrutmen pegawai masih dipandang seakan-akan menjadi kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa job analysis sebagai persyaratan untuk menentukan job requirement masih belum dimiliki oleh pemerintah. Pernyataan ini turut diperkuat oleh Naqib (2000) yang menyebutkan bahwa faktor dominan sebagai penyebab kinerja pegawai negeri sipil tidak efektif dan belum memberikan kontribusi yang optimal khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, bahkan terkesan menjadi pengangguran terselubung adalah karena kebijakan rekrutmen pegawai di instansi pemerintah tidak berdasarkan perencanaan tenaga kerja tetapi lebih didasarkan pada faktor kepentingan politik dan kekuasaan (Herman, 2006). Keadaan ini diperburuk dengan adanya faktor KKN tanpa perhitungan dan pertimbangan kemampuan dan keahlian. Pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan publik. Tidak mengherankan jika kompetensi birokrat masih belum memadai, prosedur pelayanan masih berbelitbelit, dan harga pelayanan publik masih tidak transparan. Hal ini tidak lepas penataan kepegawaian negara yang tidak pernah dilakukan secara sungguh. Dapat dikatakan, reformasi kepegawaian negara merupakan agenda terpenting dalam reformasi birokrasi secara keseluruhan. Reformasi kepegawaian merupakan sub sistem dari reformasi birokrasi sehingga berhasil tidaknya reformasi kepegawaian akan menentukan kualitas birokrasi yang sedang berjalan. Reformasi kepegawaian yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak tahun 1999 sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas PNS. Langkah reformasi birokrasi ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, karena pada dasarnya perubahan sistem harus dibarengi dengan perubahan pola pikir dan pola budaya aparatur negara yang nota bene belum memiliki kultur sebagai pemberi layanan. Secara objektif, reformasi yang dilakukan pada tataran rekruitmen, pelatihan, promosi, kompensasi hingga pemberhentian masih terkendala banyak hal yang sebagian besar terkait dengan kekuasaan dan kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. Ironisnya, reformasi kepegawaian dipandang identik dengan perbaikan remunerasi semata. Profesionalisme pegawai sebagai outcome yang diharapkan dari pelaksanaan reformasi justru tidak terwujud. Maka dari itu, perlu adanya langkah berani dari pihak pemerintah dengan mengesampingkan kepentingan- kepentingan politik. 2. Otonomi memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengatur daerahnya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan bisa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pembangunan, dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah, dimana sebelumnya pembangunan yang dirasakan masyarakat masih bersifat sentralistik. Karenanya, keberhasilan pelaksanaan otonomi tidak terlepas dari kemampuan keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan keuangan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, mengetahui kendalayang dihadapi dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah, dan mengetahui upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2014 pasal 1 ayat (6) Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasil atau tidaknya untuk menciptakan kemandirian daerah yang selama ini selalu didambakan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga otonomi daerah diharapkan bisa menjadi cara terbaik dalam mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah dibandingkan dengan sistem pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin besarnya ketimpangan antar daerah. Berkaitan dengan uraian diatas, Halim (2004:187) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi yaitu: (1). Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. (2). Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu daerah otonom harus mampu mengelola keuangan daerahnya baik penerimaan maupun pengeluarannya, dimana penerimaan yang diperoleh daerah kemudian dialokasikan sebagai pembiayaan dan belanja daerahnya. Artinya agar suatu daerah mampu melaksanakan otonomi dan desentralisai seutuhnya maka PAD seharusnya menjadi basis utama pendapatan daerah dibandingkan dengan danatransfer dari pusat dan propinsi.Kemampuan suatu daerah dalam menjalankan roda pemerintahan terletak pada kemampuan keuangan daerah, yang artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Kaho (2007:283):“Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat ekonomi suatu daerah.” Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan daerah, maka keuangan merupakan suatu faktor yang sangat penting karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang bisa dilaksanakan tanpa adanya dukungan dana. Sehingga dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah, ketergantungan kepada bantuan pemerintah pusat harus dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan dikuranginya ketergantungan kepada pemerintah pusat maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan akan menjadi sumber keuangan terbesar dalam membiayai pengeluaran pemerintah daerah.“Faktor keuangan merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Salah satu ciri Daerah Otonom adalah terletak pada kemampuan self supportingnya dalam bidang keuangan” (Kaho, 2007:68).Pendapat tersebut menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangannya sendiri guna membiayai kebutuhan daerah tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik itu tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Sebagai unsur penyelenggara, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah sehingga kedudukan DPRD dan Kepala Daerah sama-sama sebagai penyelenggara pemerintah daerah, bukan lembaga yang berdiri sendiri sebagaimana DPR dan Presiden yang biasa disebut trias politika atau kekuasaan legislatif dan eksekutif. Fungsi DRPD Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 94 dan Pasal 149 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, meliputi “pembentukan peraturan daerah, anggaran, dan pengawasan”. Sedangkan tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 101 dan Pasal 154 meliputi membentuk Perda bersama kepala daerah, membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda tentang APBD yang diajukan oleh kepala daerah, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD, memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian (untuk DPRD Provinsi), mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (untuk DPRD Kabupaten/Kota), memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah, dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara umum dalam peraturan tersebut terdapat kesamaan fungsi, tugas dan wewenang serta hak DPRD tingkat provinsi dan DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Perbedaannya hanya terkait mengajuan usul pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah saja. Tetapi secara khusus perbedaannya yaitu terkait kewenangan pemerintahan daerah masing-masing yaitu kewenangan provinsi atau kewenangan kabupaten/kota sebagaimana telah dibagi berdasarkan pembagian urusan kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota yang tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut. Selain Undang-Undang 23 Tahun 2014 terdapat peraturan lainnya yang mengatur mengenai DPRD yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang sering disebut dengan Undang-Undang MD3. Secara substansi tidak ada perbedaan dalam undang- undang tersebut atau dengan kata lain undang-undang tersebut justru saling menguatkan.