Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : EKO SULISTIAWATI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 031367927

Kode/Nama Mata Kuliah : ADPU4410/KEBIJAKANPUBLIK

Kode/Nama UPBJJ : 20 / BANDAR LAMPUNG

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Pandemic covid masih melanda Indonesia sampai saat ini. Sehingga
pemerintah berusaha meringankan beban masyarakat yang terpapar
dengan memberikan bantuan social. Bantuan sosial yang disiapkan oleh
pemerintah dalam upaya menyelamatkan perekonomian masyarakat
melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berbentuk bantuan
tunai, sembako, permodalan UMKM, hingga diskon tarif listrik yang
disalurkan mulai April hingga Desember 2020. Persoalan utama yang
sering muncul saat bantuan sosial akan diberikan oleh pemerintah adalah
persoalan keakuratan data, pembaharuan data dan waktu penyaluran yang
sering tidak tepat, baik dari segi sasaran ataupun waktu. Tetapi, sampai
kepemimpinan Presiden Joko Widodo, persoalan pembaharuan data terus
menjadi polemik, bukan saja polemik dalam pemerintahan pusat dan
pemerintah daerah saja tetapi juga polemik di antara masyarakat. Masih
banyak masyarakat yang tidak layak menerima namun mendapatkan
bantuan sosial bahkan masyarakat yang dinilai lebih berhak
mendapatkannya hanya bisa menonton dan mengeluh karena program
tersebut tidak sampai pada mereka. Berdasarkan hasil survei nasional
terkait bantuan sosial ini adalah dari 1.235 responden terdapat sebanyak
96% responden yang mengetahui bantuan sosial berupa pembagian bahan
kebutuhan pokok (sembako), PKH dan BLT (Bantuan Langsung Tunai)
untuk warga yang kurang mampu. Sebanyak 49% responden menyatakan
program bantuan tersebut kurang/tidak tepat sasaran, dan sebanyak 37%
responden menyatakan program bantuan sudah tepat sasaran
(saifulmujani. com, 12 Mei 2020). Hasil penelitian lain menunjukkan
bahwa bantuan sosial belum menjangkau semua masyarakat yang rentan.
Basis data yang digunakan dalam bantuan sosial hanya mencakup 40%
masyarakat miskin (CSIS Commentaries, 15 April 2020)
(bdt.tnp2k.go.id). Ini berarti data masyarakat yang terdampak pandemi
Covid-19 belum termasuk pekerja informal, pekerja yang diPHK, dan
masyarakat UMKM. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan RI,
hingga 31 Juli 2020, lebih dari 3,5 juta pekerja terdampak Covid-19, di
mana 1.132.117 orang pekerja formal yang dirumahkan, 383.645 orang
diPHK, dan sebanyak 630.905 pekerja informal terdampak. Terkait hal ini,
pemerintah perlu memberikan program khusus untuk membantu
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang terdampak tersebut dan
keluarganya. Pembaharuan data dan ketelitian/sinkronisasi pemerintah
pusat dan pemerintah daerah merupakan sebuah keniscayaan. Pemerintah
Pusat diharapkan memberikan kepercayaan dan melakukan koordinasi
yang baik dengan pemerintah daerah, serta melibatkan lembaga-lembaga
pengawas dan mengontrol untuk meminimalisir kesalahan. Penyatuan data
yang baik bukan saja mengintegrasikan dan mensinkronkannya, tetapi
pembaharuan data sesuai dengan keadaan terkini dan laporan petugas di
lapangan/daerah juga harus direspons dengan cepat dan tepat oleh
pemerintah pusat. Berdasarkan beberapa penelitian, ada masyarakat yang
mengembalikan bantuan sosial karena merasa mampu berdiri sendiri, dan
memutuskan untuk keluar dari program bantuan, dengan alasan ada orang
lain yang lebih berhak atas bantuan tersebut. Kesadaran seperti ini tentu
saja dapat terbangun melalui komunikasi yang baik antara masyarakat
penerima bantuan dan para pendamping program. Persoalan utama
pemberian program bantuan sosial, terutama di saat terjadi bencana alam
dan pandemi, salah satunya adalah masalah data. Diharapkan data
masyarakat yang layak dibantu dan memiliki potensi untuk dibantu harus
selalu diperbaharui, sehingga terjadinya kesalahan penerima bantuan
sosial dapat diminimalisir. Masyarakat semestinya mendapatkan
kemudahan untuk melaporkan situasi diri dan keluarganya jika mereka
terdampak dan memerlukan bantuan sosial. Oleh karenanya, pemerintah
harus mempertimbangkan mekanisme pelaporan tersebut. Komisi VIII
DPR RI diharapkan mendesak kementerian/lembaga terkait untuk
melakukan koordinasi dan memperbaharui data masyarakat miskin (yang
memang harus mendapat bantuan) dan masyarakat hampir miskin (mereka
yang mudah masuk ke jurang kemiskinan jika ada bencana tertentu).

2. Agenda setting adalah proses dimana masalah dan solusi alternatif


mendapatkan atau kehilangan perhatian publik dan elit. Persaingan
kelompok kepentingan untuk menetapkan agenda adalah ketat karena
tidak ada masyarakat atau lembaga-lembaga politik memiliki kapasitas
untuk membahas semua alternatif yang mungkin untuk semua
kemungkinan masalah yang timbul pada satu waktu. Oleh karena itu
kelompok harus berjuang untuk mendapatkan masalah mereka
ditempatkan di antara semua isu-isu lain atau untuk mempersiapkan waktu
ketika krisis membuat masalah mereka lebih cenderung untuk menempati
ruang lebih menonjol dalam agenda. Ada beberapa tingkatan dalam
agenda, agenda semesta (agenda universe), systemic agenda, institutional
agenda, dan decision agenda. Tingkat terbesar dari agenda adalah agenda
semesta (agenda universe), yang berisi semua ide-ide yang mungkin bisa
dibawa dan dibahas dalam suatu masyarakat atau sistem politik. Cobb dan
Elder mengatakan bahwa "agenda sistemik terdiri dari semua
permasalahan yang sering dirasakan oleh anggota komunitas politik untuk
menarik perhatian publik dan memperole keterlibatan yurisdiksi yang sah
dari otoritas pemerintah yang ada." Batas antara agenda sistemik dan
agenda semesta merupakan batas "yurisdiksi yang sah dari otoritas
pemerintah yang ada" (Cobb dan Elder 1983, 85). Kemampuan kelompok
(bertindak secara tunggal atau, lebih sering, dalam koalisi dengan
kelompok lain) untuk mempengaruhi kebijakan bukan hanya fungsi yang
membuat argumen yang paling persuasif, baik dari perspektif retoris atau
empiris. Kita tahu secara intuitif bahwa beberapa kelompok akan lebih
kuat daripada yang lain, dalam arti bahwa mereka lebih mampu untuk
mempengaruhi hasil dari perdebatan kebijakan. Ketika kita berpikir
tentang kekuasaan, kita mungkin awalnya berpikir tentang bagaimana
orang-orang, pemerintah, dan kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat
dapat memaksa orang untuk melakukan hal-hal, bertentangan dengan
keinginan mereka. Dalam sebuah artikel klasik di Amerika Ulasan Ilmu
Politik, Peter Bachrach dan Morton Baratz berpendapat bahwa bentuk
kekuasaan (kemampuan aktor A menyebabkan aktor B untuk melakukan
sesuatu) adalah salah satu dari dua wajah kekuasaan. Wajah lain adalah
kemampuan untuk menjaga seseorang dari melakukan apa yang dia ingin
lakukan, bukannya kekuatan koersif, wajah kedua adalah kekuatan
memblokir. Pada model kekuasaan pertama, A berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhi B, bahkan jika B tidak
menyukai keputusan atau konsekuensinya. Ini adalah semacam kekuasaan
yang kita lihat dalam rezim otoriter atau totaliter, tapi kita juga dapat
melihat semacam ini kekuasaan di Amerika Serikat dan negara-negara
demokrasi lainnya, karena ada banyak kelompok yang memiliki daya yang
sangat kecil untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat atas nama
mereka atau bahkan terhadap kepentingan mereka. Tahanan, misalnya,
memiliki sedikit kekuasaan untuk mempengaruhi kondisi hukuman dan
penahanan mereka, sementara anak-anak tidak bisa banyak berbicara
dalam kebijakan yang dibuat atas nama mereka atau kepentingan mereka,
seperti kebijakan yang mempengaruhi pendidikan atau peradilan anak. Ini
bukan untuk mengatakan bahwa orang lain dan kelompok tidak berbicara
untuk narapidana atau anak di bawah umur. Tapi juru bicara tersebut
bekerja atas nama kelompok yang baik dibangun sebagai "tidak berdaya"
atau "menyimpang" (Schneider dan Ingram 1993).

3. Jawaban :

a) Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Atgas


menyampaikan laporan terkait pembahasan Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021. Sebanyak 33
Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam daftar Prolegnas
Prioritas 2021 yang disampaikannya dalam Rapat Paripurna ke-15
Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2020-2021 di Gedung DPR
RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/3/2021). Selanjutnya Baleg DPR
menyerahkan penetapan Prolegnas tersebut kepada rapat paripurna
sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Selaku pimpinan sidang,
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad kemudian menanyakan
pada seluruh anggota dewan yang hadir terkait persetujuan laporan
Baleg untuk penetapan Prolegnas RUU 2021. "Apakah bisa kita
setujui?" tanya Dasco dan dijawab “Setuju” oleh Anggota DPR
yang hadir secara fisik dan virtual. Fraksi Partai Demokrat diwakili
oleh Anggota Komisi XI DPR RI Marwan Cik Hasan
menyampaikan catatan, bahwa pada prinsipnya pihaknya
mengapresiasi kerja keras Baleg dan Alat Kelengkapan Dewan
(AKD) serta pemerintah terkait penyusunan Prolegnas Prioritas
2021. Pihaknya menyadari bahwa tentu tidak semua aspirasi dan
harapan keinginan terkait pembahasan RUU pada Prolegnas Tahun
2021 bisa diselesaikan. Meski demikian, Fraksi Partai Demokrat
mendukung secara penuh seluruh undang-undang yang langsung
bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat seperti RUU tentang
Pengawasan Obat dan Makanan, RUU tentang Wabah, RUU
tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Perlindungan Data
Pribadi, RUU Perubahan tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua, serta undang-undang lainnya yang sangat dibutuhkan bagi
masyarakat saat ini. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu
berbagai model proses kebijakan, agenda setting, dan perumusan
kebijakan.

b) Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu


model 'teknokratis' dan model 'politik'. Model teknokratis
menjelaskan perubahan kebijakan sebagai hasil dari para
pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan
beradaptasi dengan kondisi baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka
belajar dari pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil evaluasi
kebijakan. Inovasi kebijakan, jika ada, adalah produk dari
pembuatan kebijakan di mana kebijakan dipandang sebagai
hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan
adalah sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut.
Sementara, model politik, pada dasarnya berusaha untuk
menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat dari perubahan
dalam konfigurasi kepentingan yang dominan. Meskipun
demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda
kebijakan, menegaskan kepada kita bahwa ada 'jendela kebijakan'
dan 'kesempatan untuk tindakan' (Kingdon, 1983), dan tidak selalu
berarti bahwa hanya itu permasalahan yang ada di lapangan.
Dalam analisis kebijakan, "masalah" merupakan konstruksi
analitik, namun dalam politik "masalah" adalah konstruksi politik.
Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah yang
teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam
politik apa yang diakui atau disahkan sebagai "masalah" adalah
produk dari proses politik. Oleh karena itu, walau pun ada banyak
masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya masuk ke dalam
agenda kebijakan. Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam
agenda kebijakan? Ada berbagai cara. Pertama, masalah tersebut
harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi
harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke
dalam agenda masyarakat (public agenda). Masalah bisa bergerak
menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda kebijakan
dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media
dapat sangat efektif dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya,
media juga dapat menjaga masalah dari agenda kebijakan dengan
memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi
melalui proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu,
masalah juga bisa masuk melalui dorongan kelompok kepentingan
dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media
(Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where
has it been? Where is it going?, Communication Yearbook, 11,
1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat
bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong
masalah masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam bidang
kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah. Namun, agenda
setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus
menarik perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya
salah satu institusi pemerintah) untuk dapat masuk ke dalam proses
kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda publik'
dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan
kemudian menjadi rumusan kebijakan, sampai akhirnya menjadi
sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun
memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam
agenda bergeser dengan cepat dan digantikan oleh isu-isu lain yang
lebih mendesak terutama di saat krisis.

4. Jawaban :

a) Kebijakan dan peraturan daerah dibuat atas dasar tujuan-tujuan


tertentu yang ingin dicapai yang dilandaskan pada pedoman atau
standar norma yang digariskan oleh pemerintah. Perda sebagai
instrumen penyelenggaraan kekuasaan pemerintah daerah harus
mempunyai karakter yang menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak masyarakat. Karakter pengaturannya pun harus
bersifat progresif, artinya pengaturan tetap harus memahami
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pilihan model formulasi
kebijakan cukup banyak. Thomas R. Dye dalam bukunya
Understanding Public Policy (1995) sebagaimana dikutip oleh
Leo3 menjabarkan setidaknya terdapat sembilan model formulasi
kebijakan, yaitu: model sistem, model elite, model institusional,
model kelompok, model proses, model rasional, model
inkremental, model pilihan publik, dan model teori permainan.
Dari sembilan model tersebut, model elite dan model pilihan
publik menjadi sampel perbedaan yang sangat timpang. Dalam
model elite tergambar jelas bagaimana kebijakan yang dihasilkan
hampir dapat dipastikan akan berwarna kepentingan elite-elite
yang berkuasa dibandingkan dengan kebutuhan dan tuntutan
publik. Karena pada dasarnya ketika para elite merumuskan
kebijakan, maka kebijakan-kebijakan yang berusaha untuk
mempertahankan kekuasaannya, kebijakan yang menguntungkan
dirinya, hingga kebijakan yang berusaha meminggirkan partisipasi
publik akan lebih banyak muncul.4 Adapun model pilihan publik,
menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
haruslah kebijakan yang memang berbasis pada public choices
(pilihan publik yang mayoritas). Dari kedua model formulasi
kebijakan tersebut, pilihan yang lebih tepat adalah model pilihan
publik. Model ini menjabarkan pelibatan masyarakat dalam
penyusunan kebijakan publik dengan membuka kesempatan yang
luas. Disatu sisi dapat terlihat dalam keseharian, keinginan
masyarakat untuk melibatkan diri semakin menguat seiring
semakin meningkatnya kesadaran dan kemampuan untuk
bertumbuh, berdaya, dan berkembang menjadi civil society.
Masyarakat semakin paham akan hak dan kewajiban mereka dalam
pengelolaan persoalan-persoalan publik. Penyusunan kebijakan
publik yang dimaksud disini termasuk kebijakan publik ditingkat
daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Perda yang
merupakan produk kebijakan yang sangat penting ditingkat daerah
haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh pemangku
kepentingannya. Masyarakat sebagai pemangku kepentingan Perda
hendaknya dapat diberi kesempatan untuk ikut menentukan arah
dan substansi kebijakan selama tidak bertentangan dengan
kebijakan umum ditingkat nasional dan sejalan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

b) Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses


dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu
masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya
bahwa tindakan pemerintah yang sah. Mendukung. Dukungan
untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan
niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota
mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses
ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. Kebijakan publik
yang efektif adalah kebijakan publik yang di samping memenuhi
maksud baik pemerintah untuk menyejahterakan warganya juga
memiliki akseptabilitas yang tinggi dari warga. Di sinilah peran
dari psikologi kebijakan publik, yakni (1) psikologi membantu para
penyusun kebijakan publik untuk mempertimbangkan secara
sesama bukan hanya analisis untung-rugi melainkan
keberterimaan, kepuasan, dan kesejahteraan warga atas sebuah
kebijakan publik, (2) psikologi membantu proses politik yang
dijalankan pihak-pihak yang menghasilkan kebijakan publik agar
dapat melakukan pengelolaan konflik dan kepentingan secara
manusiawi, (3) psikologi membantu pemerintah untuk memberikan
pengaruh-pengaruh edukatif dan sosial agar warga merasa aman
dan nyaman di samping dapat menerima logika kebijakan yang
telah diambil, serta (4) psikologi dapat digunakan sebagai metode
persuasi agar warga memiliki perasaan kewargaan (sense of
citizenship), tidak mudah terkena kelelahan dalam partisipasi
politik meskipun mengalami kekecewaan, bahkan mampu
menawarkan masukan dan konsultasi kepada pemerintah untuk
penyusunan kebijakan publik.

Anda mungkin juga menyukai