Anda di halaman 1dari 17

Politik Hukum Pembangunan Melalui Penguatan Legislasi RPJMN Sebagai

Produk Undang-Undang

Politik Hukum

Oleh:

Tenri Wulan Aris


18912075
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perebutan kursi ketua Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR) telah
menjadi isu politik ini cukup mendapatkan sorotan publik akhir-akhir ini. Wacana
ini mengemuka pasca dilakukannya rekonsiliasi antara Jokowi Widodo dengan
Prabowo Subianto yang mana salah satu pembahasan dalam rekonsiliasi adalah
mengenai jabatan pimpinan MPR. Tentu saja terjadinya perebutan kursi pimpinan
MPR buka tanpa alasan (agenda setting), mengingat secara konstitusional posisi
ketua MPR saat ini tidak sestrategis dan sekuat dulu dibandingakn dengan posisi
ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) oleh karena itu terdapat agenda setting
dibalik perebutan kursi ketua MPR saat ini, hal itu pun diungkapankan secara
terang-terang oleh beberapa pengurus dan pimpinan partai politik (parpol)
pemenang pemilu.1 Agenda setting tersebut adalah wacana dilakukannya
amendemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945), dimana salah satu poin penting amendemen adalah
menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).2

Jika mengikuti pemberitaan diberbagai media sejak beberapa tahun yang


lalu sebenarnya telah ada wacana untuk menghidupkan kembali GBHN yang
mencuat sejak tahun 2016 pada saat dilaksanakan Rapat Kerja Nasional Partai
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada tahun 2016 yang ingin
mendorong re-eksistensi GBHN. Selain itu, partai Golongan Karya (Golkar)
ditahun yang sama pun menyuarkan hal yang sama, yaitu perlu adanya GBHN
sebagai acuan pembangunan nasional, hal itu disampaikan pada Rapimnas Golkar
dan dipertegaskan kembali pada pelaksanaan Musyawarah Nasional Luar Biasa
(MUNASLUB) partai Golkar. Dalam sidang tahunan MPR 2016 pun melalui
1
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/pv0zk0377, diakses pada 1 agustus 2019
2
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) disini mencakup dua pengertian, yaitu garis besar
haluan negara dalam arti luas dan dalam arti sempit. GBHN dalam arti sempit adalah GBHN sebagaimana
selalu ditetapkan setiap 5 tahunan yang dijadikan pedoman bagi Presiden untuk melaksanakan tugas-tugas
pembangunan lima tahunan. Sedangkan dalam arti luas adalah segala arahan bagi haluan negara yang
diperlukan selain naskah GBHN itu. GBHN ditetapkan oleh MPR. Baca Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitualisme, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 258.
ketua MPR Zulkifli Hasan diserukan kembali pemberlakuan GBHN. Menurut
Zulkifli Hasan, pentingnya untuk menghidupkan GBHN karena GBHN
merupakan haluan pembangunan negara serta yang akan menjadi rambu agar
negeri ini tak mudah goyah oleh pergulatan global dan asing oleh karena itu,
Indonesia memerlukan haluan penyelenggaraan negara yang akan menjadi
pedoman dasar (guiding principles) dan arahan dasar (directive principles). Selain
itu, sejak reformasi tidak ada kesinambungan dalam pembangunan nasional antara
masing-masing rezim. Hal itu disebabkan karena pembangunan dilakukan sesuai
selera pribadi penguasan, setiap pergantian presiden maka fokus pembangunan
pun akan berganti. Dengan GBHN diharapkan, ada haluan, ada arah jangka
panjang yang akan dicapai. Siapa pun presiden yang berkuasa, garis haluannya
harus sama.3 Olehnya itu membahas terkait dengan isu sistem/haluan
pembangunan nasional menjadi penting mengingat saat ini pemerintahan
Indonesia sejatinya telah memiliki sistem/haluan pembangunan nasional, yaitu
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang instrumen hukumnya
diatur melalui UU No. 25 Tahun 2004.4 Dengan demikian, ketika sistem hukum
saat ini telah mengakomodir terkait dengan sistem/haluan pembangunan nasional
dalam artian tidak terjadi kekosongan maka wacana untuk menghidupkan kembali
GBHN perlu ditinjau kembali.

B. Rumusan Masalah

Melalui tulisan inilah penulis ingin membahas isu hukum tersebut, ada dua
isu hukum yang ingin penulis jawab melalui karya tulis ini. Pertama, bagaimana
politik hukum pembangunan Kedua,bagaimana penguatan politik hukum RPJM
melalui produk undang-undang?

3
https://news.detik.com/berita/d-3054750/mpr-terus-serukan-semangat-hidupkan-kembali-gbhn,
diakses pada 1 agustus 2019
4
Berdasarkan ketentuan pasal 1 UU SPPN, secara eksplisit menyatakan bahwa SPPN adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Pembangunan

Praktik politik hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam


praktik bernegara. Dalam sistem ketatanegaraan istilah politik hukum
merupakan pengertian dari legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah yang meliputi: pertama, pembangunan hukum
yang bertkaitan dengan materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Menurut
Mahfud MD politik hukum adalah:5

“legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggatian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”

Dalam politik hukum konfigurasi sistem politik sangat mempengaruhi


sifat produk hukumnya. Sistem politik yang demokrastis, dengan ciri-ciri: (i)
Parpol dan Parlemen kuat; (ii) Lembaga eksekutif netral; (iii) Pers bebas, maka
akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif dimana
pembuatan hukum secara partisipatif, muatan hukumnya aspiratif, dan rincian
isinya limitatif. Sementara jika sistem politiknya bersifat otoriter, dengan ciri-
ciri: (i) Parpol dan Parlemen lemah; (ii) Lembaga eksekutif intervionis; (iii)
Pers terpasung, dengan ciri yang otoriter maka akan menghasil produk hukum
yang ortodoks dimana pembuatannya sentralistik-dominatif, muatanya
positivistik, dan isinya open interpretative.6

Merujuk pada pandangan Mahfud MD tentang politik tersebut maka


politik hukum pembangunan nasional adalah upaya seluruh komponen bangsa
dalam rangka mencapai tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik

5
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Ke-6, Jakarta: Rajawali Pers, 2014,
hlm. 1.
6
Ibid, hlm. 7
Indonesia (NKRI) melalui pembuatan hukum baru maupun dengan penggatian
hukum lama yang mengatur mengenai pembangunan nasional. Arah tujuan
bangsa Indonesia secara expressive verbis terdapat di dalam pembukaan UUD
Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa arah tujuan nasional bangsa
Indonesia, yaitu: “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Sebagai negara yang masih dalam taraf berkembang tentu Indonesia


memerlukan suatu arah pembangunan yang jelas dan konkret untuk
mewujudkan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat
Indonesia serta menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih berkembang
lagi. Perencanaan pembangunan di Indonesia merupakan suatu keniscayaan
yang mutlak keberadaanya karena tanpa diawali suatu perencanaan maka tidak
akan mungkin adanya suatu konsep pembangunan yang sesuai dengan apa
yang telah diharapkan. Itu artinya perencanaan pembangunan adalah kunci dari
manajemen dalam mengelola pembangunan di suatu negara terkait dalam
menentukan tindakan yang akurat dan tepat di masa depan melalui urutan skala
prioritas dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.7 Perencanaan
pembangunan adalah suatu proses yang berkesinambungan dari waktu ke
waktu dengan melibatkan kebijaksanaan (policy) dari pembuat keputusan
berdasarkan sumber daya yang tersedia dan disusun secara sistematis.8 Dengan
demikian, keberadaan politik hukum pembangunan sangat dibutuh oleh suatu
negara terutama bagi negara yang menegakan supermasi hukum hal ini pun
berkaitan dengan konsepsi negara hukum eropa kontinenal menjadikan
perundang-undangan merupakan dasar bagi penyelenggaraan negara.

7
Vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
8
Budhi Setianingsih, dkk, Efektivitas Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
(Simrenda) (Studi Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang), Jurnal, Jurusan
Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang, hlm 1932-1933.
Menelisik sejarah perencanaan pembangunan nasional di Indonesia
sebelum reformasi dimuat dalam GBHN yang dituangkan dalam instrumen
ketetapan MPR sebagai instrumen hukum perencanaan pembangunan nasional.
Dengan demikian, TAP MPRS yang memuat tentang rencana pembangunan
nasional tersebut menjadi dasar hukum pelaksanaan rencana pembangunan di
masa orde lama dan orde baru. Poin penting dari GBHN adalah instrumen
hukumnya diatur melalui ketetapan MPR yang saat itu kedudukan MPR masih
menjadi lembaga tertinggi negara.9 Tentu dalam perspektif ketatanegaraan
kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mempunyai implikasi yang
besar terhadap setiap produk hukum yang dikeluarkannya. Dalam hal GBHN
implikasinya, GBHN sebagai haluan perencanaan pembangunan nasional akan
secara konsisten di jalankan oleh presiden serta alat-alat kelengkapannya,
karena jika presiden melakuan pembangunan nasional tanpa berpedoman pada
GBHN maka konsekuensi logisnya presiden bisa di impeachment oleh MPR.
Dengan demikian asumsinya pembangunan nasional akan berjalan dengan
baik, serta akan ada kesinambungan pembangunan antara pusat dan daerah.

Sejak proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945


sampai saat ini, ikhtiar untuk membangun dan menciptakan pemerintahan
yang demokratis dan stabil telah menjadi agenda utama dalam penataan sistem
ketatanegaraan Indonesia, sehingga amandemen UUD Tahun 1945 adalah
bagian penting untuk mewujudkan ikhtiar tersebut. 10 Salah satu implikasi dari
amendemen UUD Tahun 1945 adalah hadirnya konsep negara hukum
demokratis (democratische rechtsstaat). Salah satu perubahan besar dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia adalah bergantinya supremasi MPR menjadi

9
Ni’matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Neggara Dalam Teori Dan Praktik Di
Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2016, hln. 56-57.
10
Firdaus, Constitutional Engineering Desain Stabilitas Pemerintahan Demokrasi &
Sistem Kepartaian, Bandung: PENERBIT YRAMA WIDYA, 2015, hlm. 2.
supremasi rakyat.11 Akibatnya salah satu kewenangan MPR dalam hal
menyusun dan menetapkan GBHN pun dihilangkan.

Politik hukum pembangunan pada prinsipnya dimaksudkan untuk


membentuk suatu produk hukum yang mengatur tentang perencanaan arah
tujuan bangsa Indonesia yang terdapat di dalam pembukaan UUD Tahun 1945
yang mengamanatkan bahwa arah tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu:
“untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial”. Dengan suatu produk hukum pembangunan yang
berkarakteristik responsif sehingga pembangunan nasional dibuat dan
diprioritaskan berdasarkan kebutuhan bangsa Indonesia.

B. Penguatan Politik Hukum RPJMN Melalui Produk Undang-Undang

Pasca reformasi dan setelah dilakukannya amendemen ketiga UUD


1945 sistem perencanaan pembangunan nasional diubah baik nomenklatur
maupun intrumen hukumnya, perencanaan pembangunan nasional
nomenklaturnya diubah menjadi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) yang instrumen hukumnya diatur melalui UU Nomor 25 Tahun 2004.
Melalui SPPN kemudian dirumuskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN), yaitu dokumen perencanaan pembangunan nasioal untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang intrumen hukumnya diatur oleh UU
Nomor 17 Tahun 2007. Selain RPJPN, dirumuskan juga Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yaitu dokumen
perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun yang
instrumen hukumnya diatur melalui peraturan presiden (perpres), dan
dirumuskan pula Rencana Pembangunan Tahunan Nasional yang disebut

11
Konsep negara hukum demokratis lahir dari adanya ketentuan perubahaan pasal 1 ayat
(2) dan (3) UUD Tahun 1945. Ketentuan pasal 1 ayat (2) berbunyi: “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Sebelum perubahan kedaulatan berada
sepenuhnya di tangan MPR sehingga sistem ketatanegaraan indonesia menganut supermasi MPR
dimana MPR berhak memilih presiden dan wakil presiden.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yaitu dokumen perencanaan nasional untuk
periode 1 (satu) tahun.12

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3 UU SPPN, secara eksplisit


menyatakan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Pada
ketentuan pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa:

1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya


pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam
bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.

2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program


Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang
memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program
Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan
dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup
gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
Tahapan perencanaan pembangunan nasional dalam SPPN meliputi:
(a) penyusunan rencana; (b) penetapan rencana; (c) pengendalian pelaksanaan
rencana; dan (d) evaluasi pelaksanaan rencana. Untuk proses penyusunan dan
penetapan RPJPN dilakukan melalui penyiapan rancangan awal rencana
pembangunan oleh menteri, dan menteri menyelenggarakan musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) Jangka Panjang Nasional
dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya periode
RPJPN yang sedang berjalan, menteri menyusun rancangan akhir RPJPN
berdasarkan hasil Musrenbang.kemudian RPJPN ditetapkan dengan UU.13
Sementara untuk penyusunan dan penentapan RPJMN dilakukan melalui:

(a) penyiapan rancangan awal rencana pembangunan dilakukan oleh Menteri


dengan menggunakan rancangan Renstra-KL; penyiapan rancangan
rencana Menteri menyusun rancangan RPJMN dengan menggunakan
12
Vide Pasal 1 UU Nomor. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
13
Vide pasal 8-13 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Renstra-KL yang telah disiapkan oleh Pimpinan Kementerian/Lembaga
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada
rancangan awal RPJMN;
(b) musyawarah perencanaan pembangunan Menteri menyelenggarakan
Musrenbang Jangka Menengah Nasional dilaksanakan paling lambat 2
(dua) bulan setelah presiden dilantik;
(c) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.Menteri menyusun
rancangan akhir RPJM Nasional berdasarkan hasil Musrenbang Jangka
Menengah Nasional. RPJM Nasional ditetapkan dengan Peraturan
Presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.14

Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan suatu


rancangan yang lengkap dan siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat)
langkah. Langkah pertama, adalah penyiapan rancangan rencana
pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Kedua,
masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja
dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah
disiapkan. Ketiga, melibatkan masyarakat (stakeholders) dan mensinergikan
rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan
melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Keempat, penyusunan
rancangan akhir rencana pembangunan.15

Dilihat dari isi materinya, SPPN dan GBHN memiliki kemiripan,


namun UU SPPN lebih visioner dibandingkan dengan GBHN, serta hanya
memuat hal-hal umum yang mendasar, dengan demikian UU SPPN tersebut
tidak membatasi pemerintah dalam melakukan pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan, artinya mampu memberikan keleluasaan yang cukup bagi
penyusunan rancangan jangka panjang, rancangan jangka menengah, dan
rancangan jangka pendek. Secara komprehensif dapat dilihat dalam UU
RPJPN sebagai penjabaran dari SPPN, RPJPN dijabarkan lagi dalam RPJMN,
dan RPJMN dijabarkan lagi dalam RKP. Jika dilakukan komparasi antara
14
Vide pasal 14-19 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
15
Lihat penjelasan umum UU SPPN mengenai proses perencanaan pembangunan
instrumen hukum GBHN dan instrumen hukum SPPN justru akan
menunjukan bahwa SPPN lebih progresif dan visioner dibandingkan dengan
GBHN. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa pendekatan sebagai berikut:

Pertama, jika dilakukan penafsiran secara sistematik terhadap norma


hukum yang mengatur terkait dengan SPPN maka yang menjadi titik lemah
SPPN adalah terletak pada instrumen hukum RPJMN yang dibuat
berdasarkan perpres sehingga pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa
RPJMN itu bersifat presiden sentris benar adanya, inilah pokok permasalahan
yang terdapat dalam sistem perencanaan pembangunan nasional melalui
SPPN. Karena RPJMN sebagai instrumen hukum acuan pembangunan
nasional untuk jangka waktu lima tahun yang salah satu materinya utamanya
adalah penjabaran dari visi, misi, dan program presiden, kemudian diatur
melalui perpres maka tentu dalam pembahasan tidak melibatkan lembaga
lainnya terutama DPR, inilah salah satu persoalan dalam pembangunan
nasional saat ini. Berbeda dengan GBHN yang diatur melalui ketetapan MPR
maka menjadi konsekuensi bagi MPR untuk membahas dan mengontrol
pelaksanaan GBHN tersebut bahkan MPR bisa melakukan ngimpeacment
terhadap presiden jika tidak menjalankan GBHN.

Kedua, secara teoritik kedudukan UU dan Perpres dalam tata urutan


peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan teori Hans Kelsen mengenai
stufenbau des recht atau The hierarchy of law yang menjelaskan bahwa
kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum
yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Untuk lebih
memahami teori Stufenbau des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran
Kelsen yang lain yaitu Reine Rechtslehre atau The pure theory of law (teori
mumi tentang hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain "command of the
sovereign" kehendak yang berkuasa.16 Adanya tata urutan atau hierarki
peraturan perundang-undangan dalam suatu tata hukum itu sejalan dengan

16
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, FH UII Press,Yogyakarta,
2004, him. 203.
apa yang dikemukakan Hans Kelsen, sebagai hierarchy of norms (stufenbau
des recht). Kelsen menyatakan:17

“the legal order,… is therefore not a system of norms coordinated to each


other, standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy
of different levels of norms

Menurut teori hierarki, bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-


jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), artinya
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, begitulah seterusnya sampai
pada suatu titik norma yang tidak dapat lagi ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat final yaitu norma dasar (Grundnorm).18

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) telah
mengatur terkait hierarki norma tersebut, adalah:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dengan adanya hirerarki norma tersebut dalam sistem hukum


Indonesia menyebabkan jenis, materi, dan lembaga pembuat pada setiap
tingkatan norma pun berbeda, hal ini tentu memberikan konsekuensi hukum
yang berbeda. Sama halnya dengan pengaturan mengenai RPJMN jika
17
Rosjidi Ranggawidjaja dan Indra Perwira, Perkembangan Hak Menguji Material di
Indonesia, Cetakan Pertama, Cita Bhakti Akademika, Bandung, 1996, hlm. 5.
18
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Russel & Russel, New York, 1945,
Hlm. 113.
diatur melalui Perpres dan melalui UU akan memberikan implikasi yang
berbeda.

UU secara hierarkis memiliki kedudukan yang lebih tinggi


dibandingkan dengan perpres. UU (gezets, wet,law) merupakan bentuk
peraturan perundang-undangan legislator (legislator act), tetapi materi UU
dibentuk bersama DPR dan Presiden.19 Hal ini sesuai dengan ketentuan
pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Adapun materi muatan dari UU yang diatur dalam
pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, berisi:

a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945;


b. Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
c. Pengeshan perjanjian internasional tertentu;
d. Tindak lanjut atas putusan MK dan/atau;
e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Sementara peraturan presiden adalah peraturan yang dibuat oleh


presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan negara. Peraturan presiden
dibentuk untuk menindaklanjuti pengaturan lebih lanjut atas perintah
undang-undang, peraturan, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. pemerintah baik secara tegas
maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.20

Menurut Jimly Asshiddiqie, salah satu problematika hukum yang


terdapat dalam perpres adalah apabila perpres tersebut bersifat pengaturan
dan mandiri mengandung muatan materi yang tidak tertentu lingkupnya,
karena hal tersebut bisa menyebabkan keberadaan perpres ini akan
membuka peluang bagi presiden untuk menyalahgunakan kekuasaannya
(abuse of power). Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi praktik tersebut
maka perlu adanya mekanisme pembatasan, sebagai berikut:21
19
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Hlm. 95.
20
Vide pasal 13 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
21
Jimly asshiddiqie, op.cit, hlm. 222.
a. Adanya perintah oleh peraturan yang lebih tinggi harus terpenuhi;
b. Perintah dimaksud tidak harus bersifat tegas dalam arti langsung
menyebutkan bentuk hukum penuangan norma hukum yang perlu
diatur, asal perintah pengaturan itu tetap ada;
c. Dalam hal perintah dimaksud memang sama sekali tidak ada, maka
perpres itu dapat dikeluarkan untuk maksud mengatur hal-hal yang.
Pertama, benar-benar bersifat teknis administrasi pemerintah.
Kedua, dan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan internal
penyelenggaraan ketentuan UU dan PP.

Berdasarkan konstruksi argumentasi diatas maka menunjukan sudah


seyogianya RPJMN harus diatur melalui instrumen hukum UU bukan
Perpres untuk mengoptimalkan pembangunan nasional, dengan alasan
sebagai berikut:

Jika melihat desain sistem perencanaan pembangunan nasional mulai


dari SPPN sampai pada RPJMN sudah sangat baik dan visioner hanya saja
kelemahannya muncul dari instrumen hukum RPJMN yang ditetapkan
dengan perpres padahal RPJPN ditetapkan melalui instrumen UU, hal ini
menunjukan bahwa proses pembahasan dan penetapan RPJPN melibatkan
Presiden atau pemerintah dengan DPR, sementara untuk peraturan lainnya
seperti perpres tidak memerlukan keterlibatan DPR.22 Berbeda dengan
RPJMN yang ditetapkan dengan perpres menyebabkan pembahasan dan
penetapannya bersifat presiden sentries, selain karena tidak melibatkan DPR
juga tidak bisa melakukan pengawasan secara efektif. Fungsi pengawasan
yang melekat pada DPR adalah fungsi untuk mengawasi pelaksanaan
undang-undang yang dijalan oleh pemerintah, selain itu pelaksanaan APBN
serta pengelolaan keuangan negara.23 Hal yang perlu disoroti juga bahwa
RPJMN merupakan penjabaran dari visi. misi, dan program presiden terpilih
tetapi tetap berpedoman pada RPJPN. Oleh karena itu, ketika RPJPN
22
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, Dan Materi Muatan,
Yogyakarta: Kanisius, 1998, Hlm. 236.
23
Pasal 20A Undang-Undang Dasar Tahun 1945
ditetapkan dnegan instrumen UU maka RPJMN juga menggunakan
instrumen yang sama. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya
ketidaksinkronnya pembangunan untuk periode lima tahunan mengingat
setiap presiden terpilih mempunyai visi, misi, dan program kerja yang
berbeda. Dengan demikian, butuh adanya pembahasan dan pengawasan
ketat terhadap RPJMN bersama dengan DPR sehingga terciptanya prinsip
check and balance. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya politik hukum pada
instrumen RPJMN dengan merubah instrumen RPJMN dari perpres menjadi
produk UU.

Dengan demikian, desain sistem perencanaan pembangunan nasional


mulai produk hukum UU sebagai instrumen hukum dari RPJMN maka
dalam pembahasan RPJMN tidaknya melibatkan Presiden atau pemerintah
tetapi juga melibatkan keberadaan DPR. Sehingga proses pembangunan
nasional tidak berdasarkan prinsip suka-suka presiden tetapi berdasarkan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat Indonesia. Dengan demikian akan
tercapainya suatu pembentuk hukum yang resposif karena pembuatan
hukum tersebut berdasarkan aspirasi dan adanya partisipatif oleh lembaga
perwakilan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Politik hukum pembanguan merupakan hal yang esensial dalam konsep
negara hukum Indonesia karena hal ini berkaitan dengan garis kebijakan politik
hukum mengenai pembangunan nasional sebagai upaya seluruh komponen bangsa
dalam rangka mencapai tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) melalui pembuatan hukum baru maupun dengan penggatian hukum lama
yang mengatur mengenai pembangunan nasional. Arah tujuan bangsa Indonesia
secara expressive verbis terdapat di dalam pembukaan UUD Tahun 1945. Dengan
adanya politik hukum pembangunan yang baik maka tentu akan menghasilkan
suatu produk hukum yang responsif.

Desain sistem perencanaan pembangunan nasional mulai dari SPPN


sampai pada RPJMN sudah sangat baik dan visioner hanya saja kelemahannya
muncul dari instrumen hukum RPJMN yang ditetapkan dengan perpres padahal
RPJPN ditetapkan melalui instrumen UU, hal ini menunjukan bahwa proses
pembahasan dan penetapan RPJPN melibatkan Presiden atau pemerintah dengan
DPR, sementara untuk peraturan lainnya seperti perpres tidak memerlukan
keterlibatan. Oleh karena itu sebagai upaya untuk memperkuat dan memperbaiki
pembangunan nasional maka produk RPJM kedepannya harus diatur dalam
bentuk produk UU bukan lagi dalam bentuk perpres karena tidak tepat jika
persoalan pembangunan nasional dibuat dengan produk hukum yang sentralistik
dan dominatif oleh lembaga eksekutif saja akan menghasilkan produk hukum
ortodoks.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, FH UII


Press,Yogyakarta, 2004,
Budhi Setianingsih, dkk, Efektivitas Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
(Simrenda) (Studi Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota
Malang), Jurnal, Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Brawijaya, Malang.

Firdaus, Constitutional Engineering Desain Stabilitas Pemerintahan


Demokrasi & Sistem Kepartaian, Bandung: PENERBIT YRAMA WIDYA, 2015.

Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Russel & Russel, New
York, 1945.

https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/pv0zk0377, diakses pada 1


agustus 2019

https://news.detik.com/berita/d-3054750/mpr-terus-serukan-semangat-hidupkan-
kembali-gbhn, diakses pada 1 agustus 2019

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,


hlm. 258.

_______, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, Dan Materi


Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Ni’matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Neggara Dalam Teori


Dan Praktik Di Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2016.

Rosjidi Ranggawidjaja dan Indra Perwira, Perkembangan Hak Menguji


Material di Indonesia, Cetakan Pertama, Cita Bhakti Akademika, Bandung,
1996.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencaan Pembangunan
Nasional
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 - 2019

Anda mungkin juga menyukai