Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH POLITIK HUKUM

Peranan Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional Indonesia

Nama : LANGCING

NPM : B2A022025

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BENGKULU
FAKUTAS HUKUM
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-

Nya, terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kita bisa

menyelesaikan makalah mata kuliah “Politik Hukum”. Shalawat serta salam kita

sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan

pedoman hidup yaitu Al-Qur’an serta sunnah untuk keselamatan umatnya di dunia

ini.

Makalah ini dibuat karena merupakan salah satu tugas mata kuliah Politik

Hukum diprogram studi Magister Hukum pada Universitas Bengkulu. Selanjutnya

saya mengucapkan terima kasih yang kepada Bapak Sirman Dahwal S.H.,M.H.

selaku dosen pembimbing mata kuliah Politik Hukum dan kepada segenap pihak yang

sudah memberikan bimbingan serta arahan selama proses penulisan makalah ini.

Saya menyadari jika terdapat banyak kekurangan didalam penulisan makalah

ini, maka dari itu saya mengharapkan sebuah kritik dan saran yang membangun dari

para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, Okober 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Nilai – nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, digali dan bersumber dari

agama, kebudayaan serta adat – istiadat yang terdapat di negara Indonesia. Oleh

karena itu, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum harus dijadikan dasar

dan pedoman untuk menentukan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional

Indonesia. Namun demikian, harus diakui bahwa dari dahulu sampai sekarang banyak

pihak – pihak yang mencoba mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik

(political will) dan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional

Indonesia agar tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan

kenyataan tersebut, diharapkan agar kerangka pemikiran dalam karya ilmiah

(makalah) ini dapat dijadikan refleksi yang bertujuan untuk mengembalikan

kedudukan dan fungsi Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik hukum

dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.

Pada saat ini bangsa Indonesia ada di persimpangan jalan (crossroad) yang sangat

menentukan masa depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Dalam pengertian ini, apakah pemerintah dapat menjalankan peranan politik

hukumnya sebagai suatu political will untuk membangun hukum nasional yang

berwawasan nusantara dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai perekat untuk
mempertahankan keutuhan rakyat Indonesia sebagai suatu nation. Oleh karena pada

masa sekarang ini, faktanya masih terdapat produk hukum dan peraturan perundang

– undangan yang yang membahayakan disintegrasi bangsa tetapi sengaja

dipertahankan oleh pemerintah meskipun keberlakuannya bersifat inkonstitusional.

Termasuk adanya pola – pola kebijakan pemerintah dalam melaksanakan peranan

politik hukumnya, yang dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia dan

bertentangan dengan nilai – nilai hukum.

Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum

Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, sebagai penjabaran dari Garis – Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004, sama sekali tidak memberikan arah dan tujuan

yang jelas mengenai pembangunan hukum nasional. Propenas hanya memberi

gambaran mengenai upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang

Baik. Secara umum, dalam Propenas dinyatakan “Menegakkan hukum secara

konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,

supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia perlu didukung dengan

mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa

dan pihak mana pun, dan upaya menyelenggarakan proses peradilan secara cepat,

mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap

menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran”.

Latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan diatas fakta yuridis (das sollen)

dan fakta riil (das sein) yang menjadi rujukan untuk menganalisa masalah /

pembahasan masalah dalam makalah ini, yaitu:


1.    Fakta Yuridis (das sollen), yaitu:

-       Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.

-       Pancasila.

-       Undang – Undang Dasar 1945.

-       Teori Hukum Hans Kelsen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai

kelakukan yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi

tingkatannya”.

-       Teori Hukum W. Zevenbergen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai

kekuatan yuridis, jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang telah

ditetapkan”.

-       Teori Hukum J.H.A. Logemann, yang menyatakan: “Kaedah hukum mengikat

secara yuridis, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi

dengan akibatnya”.

2.    Fakta Riil (das`sein), yaitu:

Banyak faktor – faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peranan politik

hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia.


B. Rumusan Masalah

1. Apa Peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk

membentuk sistem hukum ideal yang dicita - citakan?

2. Apa Faktor – faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam

pembangunan hukum nasional Indonesia?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia

untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita - citakan.

Ensiklopedi Umum menjelaskan bahwa ius constitutum merupakan hukum

yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat. Dengan perkataan lain, ius

constitutum adalah hukum positif suatu negara. Sedangkan “ius constituendum

adalah hukum yang dicita – citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum

menjadi kaidah berbentuk undang – undang atau peraturan lain (Ensiklopedi Umum:

1977)”1

Sedangkan Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan, “Hukum positif dengan

nama asing disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum,

yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita – citakan supaya memberi akibat

peristiwa – peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”2

Pembangunan hukum nasional yang ideal sesuai dengan ekspektasi

masyarakat sangat penting dan mendesak untuk segera diimplementasikan karena

sampai saat ini masih banyak peraturan perundang – undangan yang dirasakan sudah

1 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni, 1980) Halaman 5.
2 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto.. Ibid. Halaman 6.
tidak sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk peraturan perundang – undangan

produk kolonial Belanda. Selain itu, banyak pula peraturan perundang – undangan

sebagai suatu kaidah hukum tidak mempunyai keberlakuan secara yuridis oleh

karena bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Sehingga dalam pelaksanaannya, peraturan perundang – undangan

tersebut menimbulkan polemik pro – kontra dan bahkan sering dimanipulasi

kelompok – kelompok tertentu sebagai alat pembenaran untuk melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum.

Efektivitas keberlakuan hukum (peraturan perundang – undangan) bukanlah

masalah yang berdiri sendiri, melainkan erat hubungannya dengan masalah – masalah

kemasyarakatan lainnya, terutama masalah ;pembangunan karakter bangsa Indonesia.

Oleh karena itu pembangunan hukum nasional tidak mungkin dipisahkan dari

perkembangan masyarakat Indonesia, atau dengan perkataan lain pembangunan

hukum nasional tidak mungkin dipisahkan dari pembangunan bangsa. Dalam

kerangka berpikir demikian maka dapat dikemukakan asumsi ilmiah bahwa

pembangunan hukum termasuk proses penegakkan hukum harus dikembangkan

secara positif dan kreatif untuk kemajuan di bidang hukum yang digerakkan secara

serasi, terarah untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat pada hukum.

Strategi pembangunan hukum harus didasarkan pada semangat kebangsaan

(nasionalisme) dan mengarah pada konsep pembangunan sosial kemasyarakatan


yang menyeluruh (komprehensif) dan utuh sebagai satu kesatuan (integral). Dasar

politik hukum yang demikian akan menjadi landasan yang kuat dan memainkan

peranan yang positif terhadap pembangunan hukum nasional sebagai suatu sistem

hukum ideal yang dicita – citakan. Kaidah – kaidah hukum dalam bentuk peraturan

perundang – undangan akan dirasakan tidak hanya sebagai sesuatu yang harus

dipatuhi / ditaati, melainkan akan menjadi bagian dari nilai tata kehidupan

masyarakat, sehingga masyarakat merasa wajib untuk menegakkannya.

Disamping semangat kebangsaan sebagai dasar strategi pembangunan hukum

nasional, politik hukum pemerintah harus pula memperhatikan asas – asas hukum

juniversal tetapi tetap becorak pada identitas bangsa Indonesia. Indentitas bangsa

Indonesia tersebuta adalah Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) dan

sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, peranan politik hukum

pemerintah sangat menentukan arah dan corak dari pembangunan hukum nasional

untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita – citakan.

Pemerintah harus dapat memainkan peranan politik hukumnya sebagai

pelopor perubahan (agent of change) dalam rangka pembangunan hukum nasional

untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita – citakan. Sistem hukum yang

demikian adalah tatanan hukum yang dapat menjamin tercapainya cita – cita bangsa

Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945,

yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi


dan keadilan sosial. Berkaitan dengan cita – cita luhur tersebut, asas negara Indonesia

yang berdasarkan hukum, harus tetap menjadi semangat yang dinamis dan positif.

Politik hukum sebagai suatu kebijakan pemerintah, mencakup juga

pelaksanaan tertib hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat

di Indonesia. Sehingga, apabila peranan politik hukum demikian dapat dijalankann

maka hukum akan merupakan alat penting yang luwes agar tercapai suasana

kehidupan masyarakat Indonesia yang tertib oleh karena hukum ditaati / dipatuhi atas

dasar kesadaran karena hukum dianggap sebagai suatu budaya. Oleh karena itu,

peranan politik hukum tidak boleh menggunakan analytical jurisprudensce, yaitu

analisis dari prinsip – prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis

maupun aspek etis termasuk aspek sosio – kemasyarakatan.

Politik hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional berkenaan juga

dengan pembangunan kesadaran hukum masyarakat. “Faham tentang kesadaran

hukum sebetulnya berkisar pada fikiran – fikiran yang menganggap bahwa kesadaran

dalam diri warga – warga masyarakat suatu faktor yang menentukan bagi sahnya

hukum”3

Pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan filosofi fundamental yang

menyataka, “Merupakan suatu keadaan yang dicita – citakan atau dikehendaki, bahwa

ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran

warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis”.4

3 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni, 1979) Halaman 28.
4 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Ibid. Halaman 28.
Pembangunan hukum nasional dalam kenyataannya tidak hanya sebatas

melakukan perubahan – perubahan terhadap peraturan – peraturan yang telah ada,

akan tetapi malahan termasuk mengganti secara keseluruhan peraturan perundang –

undangan yang dianggap sudang usang dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman

(out of date). Dalam konteks pembangunan hukum termasuk pembaharuan hukum,

maka hukum tidak boleh memberikan keadaan statis atau mempertahankan status

quo dari suatu keadaan atau peristiwa. Hukum merupakan sarana yang penting dalam

masyarakat sehingga harus dikembangkan agar dapat memberi ruang gerak bagi

perubahan masyarakat. Tidak sebaliknya, mempertahankan status quo atau nilai –

nilai yang tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat.

Adanya hubungan timbal balik (causalitas) antara pembangunan hukum dan

pembangunan masyarakat sebagai suatu fenomena dalam politik hukum sangat

penting mendapat kajian dan penjabaran (uitwerking) secara mendalam agar tujuan

pembentukkan hukum ideal yang dicita – citakan dapat tercapai. Hal tersebut

didasarkan pada pendapat bahwa hukum merupakan sarana pembagaruan dan

pembangunan masyarakat. Hukum sebagai alat / sarana pembaharuan masyarakat

mirip dengan konsepsi law as a tool of social engineering yang di negara barat

dipopulerkan oleh aliran Pragmatic Legal Realism.

Berbicara mengenai pembangunan hukum nasional dan hukum sebagai sarana

pembangunan maka yang menjadi pemikiran fundamental (basic thinking) adalah


bahwa hukum positif nasional (ius contitutum) yang akan dijadikan sebagai sarana

pembaharuan masyarakat, justeru memerlukan pembaharuan dan pembangunan agar

menjadi alat yang ideal untuk memperbaharui prilaku dan pola – pola interaksi

kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hukum sebagai sarana / alat pembaharuan

atau pembangunan masyarakat pada hakekatnya berorientasi pada anggapan –

anggapan, yaitu;

1) adanya sikap tindak yang teratur (ajeg) dalam masyarakat atau adanya

ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan masyarakat dipandang

sebagai seuatu yang bersifat mutlak (absolut),

2) hukum dalam arti kidah / norma dapat berfungsi sebagai sarana pengendali

sosial (social control) kegiatan manusia / masyarakat dalam interaksi antara yang satu

dengan yang lain.

Kaidah yang merupakan sumber hukum positif (staatsfundamentalnorm) dalam

negara Indonesia adalah Pancasila. Berkaitan dengan itu Kaelan M.S. berpendapat

bahwa, “Pancasila merupakan cita – cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta

sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam

pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam

kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus

merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi – materi dalam suatu

produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai

dengan perkembangan zaman, perkembangan iptek serta perkembangan aspirasi


masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai – nilai Pancasila) harus senantiasa tetap.

Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada situasi vacum”5

Agar dapat dibentuk sistem hukum ideal sesuai dengan ekspektasi (yang dicita –

citakan) masyarakat, maka dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional ,

kiranya sangat relevan pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang

mengatakan bahwa sejak diundangkan peraturan perundang – undangan tersebut

harus memenuhi beberapa syarat prosedural, yaitu:

a.    Syarat keterbukaan yaitu bahwa sidang – sidang di Dewan Perwakilan Rakyat dan

perikelakukan anggota eksekutif dalam pembuatan undang – undang diumumkan,

dengan harapan akan adanya tanggapan warga masyarakat yang berminat.

b.    Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul – usul (tertulis)

kepada penguasa. Cara – caranya, antara lain:

1. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghindari suatu

pembicaraan penting yang menyangkut suatu peraturan di bidang tertentu.

2. Suatu Departemen mengundang organisasi – organisasi tertentu untuk memberikan

usul – usul tentang rancangan undang – undang tertentu.

3. Acara dengar pendapat (hearing) di Dewan Perwakilan rakyat.

5 Kaelan. M.S. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta (Penerbit:Paradigma, 2008) Halaman 244.


4.      Pembentukan komisi – komisi penasehat yang terdiri dari tokoh – tokoh dan

ahli – ahli terkemuka.6

Sedangkan berkaitan dengan ide pembangunan hukum nasional untuk

membentuk sistem hukum ideal sesuai yang dicita – citakan, menurut Soerjono

Soekanto bahwa dalam rangka penyempurnaan pembinaan (pembangunan) hukum,

maka paling sedikit perlu diperhatikan syarat – syarat sebagai berikut:

1. Hukum tidak merupakan aturan – aturan yang bersifat ad hoc, akan tetapi merupakan

aturan – aturan umum dan tetap;

2. Hukum tadi harus diketahui dan jelas bagi para warga masyarakat yang kepentingan

– kepentingannya diatur oleh hukum tersebut;

3. Dihindari penerapan peraturan – peraturan yang bersifat retroaktif (= berlaku surut);

4. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum;

5. Tidak ada peraturan – peraturan yang saling bertentangan, baik mengenai satu bidang

kehidupan tertentu, maupun untuk pelbagai bidang kehidupan (= konsisten);

6. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan para warga masyarakat untuk

mematuhi hukum tersebut;

7. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya dan seringnya frekwensi perubahan – perubahan

pada hukum, oleh karena warga – warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan

pedoman bagi kegiatan – kegiatannya;

8. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut;
6 Purnadi Purbacaraka Soerjono Soekanto. Perundang – Undangan dan Yurisprudensi.
Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti, 1993) Halaman 11 – 12.
9. Hukum mempunyai landasan yuridis, filosofis maupun sosiologis;

10. Perlu diusahakan agar hukum tersebut diberi bentuk tertulis.7

Disamping pendapat Soerjono Soekanto tersebut diatas, apabila dihubungkan

dengan keanekaragaman (diversity) bangsa Indonesia yang terjewantah dalam

kebudayaan, adat – istiadat, suku, agama dan kepecayaan, serta Indonesia sebagai

negara kepulauan (archipelago) maka agar tercipta sistem hukum nasional yang

ideal, menjadi sangat relevan apabila peranan politik hukum (rechtpolitiek) dalam

pembangunan hukum nasional secara representatif harus didasarkan pada:

a. Pencerminan dari kehendak untuk mewujudnyatakan cita – cita bangsa Indonesia

sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar i945 sebagai

tertib hukum tertinggi, yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

b. Orientasi landasan yuridis yang tetap berpedoman pada Pancasila sebagai sumber

dari segala sumber hukum.

c. Penetapan Bhineka Tunggal Ika sebagai asas hukum.

d. Pengimplementasian asas non diskriminatif.

e. Pengimplementasian nilai – nilai pembaharuan dan pelestarian (azas welvaarstaat)

yang bersifat tahan lama (duurzaamheid).

7 Soerjono Soekanto. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni,
1979) Halaman 27.
Sesuai dengan semangat perjuangan, nilai – nilai kemanusiaan dan

kebangsaan serta cita – cita – cita luhur bangsa Indonesia yang terkandung dalam

Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 maka pembangunan hukum nasional

hendaknya harus mencerminkan sifat; gotong royong, kekeluargaan, toleransi, anti

kolonialisme, imperialisme dan feodalisme, serta berwawasan nusantara.

Mengenai pembangunan hukum yang berwawasan nusantara ini, Mochtar

Kusumaatmadja mengatakan,”Membangun hukum berdasarkan wawasan nusantara

berarti membangun hukum nasional dengan memadukan tujuan membangun hukum

nasional yang satu atau menyatukan dengan memperhatikan keanekaragaman budaya

dari penduduk yang mendiami suatu negara kepulauan. Pedoman yang dapat

digunakan dalam membangun hukum nasional adalah untuk mengusahakan kesatuan

apabila mungkin, membolehkan keanekaragaman bila keadaan menghendakinya,

tetapi bagaimanapun juga mengutamakan kepastian (Unity whenever possible,

diversity where desireable, but above all certainty)”8

B.    Faktor – faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah

dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.

8 Mochtar Kusumaatmadja. Konsep – Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung (Penerbit: PT.
Alumni, 2006) Halaman 188.
Suatu fakta yang lazim bahwa kaidah – kaidah hukum dalam bentuk peraturan

perundang – undangan yang dirancang, disusun dan diformulasikan oleh pemerintah

adakalanya tidak sesuai dengan kepentingan – kepentingan dan nilai – nilai yang

diharapkan oleh masyarakat sebagai suatu pedoman atau patokan interaksi sosial.

Akibat ketidaksesuain tersebut, kadang – kadang timbul ketegangan dan gerakan –

gerakan protes dari kelompok – kelompok masyarakat. Bahkan sering terjadi

kecenderungan bahwa sebagai efek domino dari ketegangan dan gerakan – gerakan

protes tersebut, terjadi gesekan atau konflik di kalangan masyarakat akar rumput

(grass root).

Peranan politik hukum sebagai sarana transformasi struktur dan kultur masyarakat

harus dilakukan dengan kebijakan – kebijakan yang terarah dan terukur. Menurut

C.F.G. Sunaryati Hartono,”Tranformasi struktur dan kultur masyarakat dapat

ditempuh melalui berbagai cara dan tindakan sebagai berikut”:

1.     Masyarakat dibiarkan berkembang secara alami tanpa ada campur tangan dari

pihak manapun. Cara ini biasanya memakan waktu yang sangat lama, kadang –

kadang sampai beberapa abad.

2.     Perubahan masyarakat secara mendadak dan cepat (revolusioner). Transformasi

masyarakat melalui cara ini sering kali terjadi sebagai akibat peristiwa berdarah

yang bertujuan menggantikan pimpinan negara ataupun asas – asas pemerintahan

secara tiba – tiba. Kelemahan dari cara revolusioner ini ialah bahwa besar

kemungkinannya masyarakat akan mengalami set back karena perubahan itu terjadi
secara mendadak. Karena itu, diabad ke - 20 ini lebih banyak ditempuh cara yang

lebih evolusioner, yaitu:

3.    Perubahan masyarakat yang direncanakan dan diarahkan supaya perubahan

masyarakat terjadi secara bertahap dan wajar (evolusioner)”9

Sehungan dengan pendapat C.F.G. Sunaryati Hartono tersebut, peranan politik

hukum pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah untuk

melakukan pembangunan hukum nasional dengan merencanakan dan mengarahkan

perubahan masyarakat secara bertahap dan wajar (evolusioner). Pertimbangan

konsepsi yang demikian didasarkan pada kultural masyarakat indonesia yang sangat

variatif. Oleh karena, apabila perubahan masyarakat dibiarkan secara alami maka

mungkin mengakibatkan terjadinya perkembangan ke arah yang tidak diinginkan atau

bahkan dapat mengakibatkan kemunduran dan kegagalan dalam kebijakan

pembangunan hukum nasional.

Pada azasnya prosedur pembentukan hukum nasional Indonesia menganut civil

law system atau sistem eropa kontinental. Dalam hal yang demikian, kaidah – kaidah

hukum dirumuskan dan diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang –

undangan terlebih dahulu oleh para pembentuk undang – undang (law makers) baru

kemudian diberlakukan dalam masyarakat setelah dimuat dalam Lembaran Negara

dan diumumkan melalui Berita Negara. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan

9 C.F.G. Sunaryati Hartono. Bhineka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan
Hukum Nasional. Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti, 2006) Halaman 26 – 27.
common law system atau sistem anglo saxon, dimana hukum dibuat atas dasar

kebiasaan – kebiasaan dan pola – pola pergaulan hidup masyarakat sehari – hari.

Dalam hal ini, oleh karena tata cara pembentukan hukum atau peraturan

perundang - undangan Indonesia menganut civil law system atau sistem eropa

kontinental maka dalam proses pembentukan hukum tersebut terdapat faktor – faktor

yang dapat mempengaruhi politik hukum pemerintah untuk membentuk hukum yang

dicita – citakan (ius constituendum) yang ideal bagi masyarakat Indonesia. Faktor –

faktor tersebut dapat diidentifikasi antara lain, adanya penetrasi kepentingan negara –

negara maju, kepentingan politik pemerintah, dan kebudayaan masyarakat.

Kenyataan tersebut menyebabkan kebijakan pembangunan hukum nasional untuk

membentuk sistem hukum ideal yang dicita – citakan tidak sesuai dengan harapan

masyarakat.

1. Penetrasi kepentingan negara – negara maju;

Harus diakui bahwa pengaruh negara – negara asing terutama negara – negara

maju dapat mendominasi peranan politik hukum pemerintah dalam membangun

hukum nasional Indonesia. Penetrasi (pressure) tersebut biasanya dikaitkan dengan

bantuan di bidang ekonomi, keuangan (fiskal), peralatan tempur dan kerjasama

militer dan sebagainya. Dalam hal demikian tersebut, terjadi tawar – menawar

(bargaining position) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara maju

yang menyangkut kebijakan bidang hukum yang akan diberlakukan di Indonesia.


Kondisi – kondisi yang ditentukan sejak Konsensus Washington (1980) telah

mendorong perubahan berbagai kebijakan di seluruh negara termasuk prilaku pejabat

publik di negara berkembang. Negara berkembang seperti Indonesia berusaha

mematuhi dan melaksanakan konsensus tersebut bukan hanya di bidang perdagangan

internasional tetapi juga dalam sektor lainnya seperti keamanan, ketertiban dan

penegakkan hukum (kamtibgakkum). Prilaku negara – negara maju telah memasuki

bidang kamtibgakkum melalui berbagai prosedur dalam pembentukan peraturan

perundang – undangan nasional di negara – negara berkembang termasuk Indonesia.

Masih jelas dalam ingatan kita ketika awal reformasi 1998, IMF telah memaksakan

pemberlakuan Undang – Undang Kepailitan dalam versi IMF.

Prilaku hipokrit negara – negara maju yang telah memasuki bidang seperti

keamanan, ketertiban dan penegakkan hukum (kamtibgakkum) melalui berbagai

prosedur dalam pembentukan peraturan perundang – undangan nasional, jelas

merupakan bentuk penetrasi untuk memaksakan kepentingan – kepentingan tertentu.

Sikap hipokrit negara – negara maju sudah terbukti dalam pembentukan undang –

undang tindak pidana suap (bribery) dan tindak pidana pencucian uang. Oleh karena

itu, peranan politik hukum pemerintah dalam menerbitkan produk perundang –

undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat harus dikaji secara mendalam

dari berbagai aspek. Harus dilihat aspek kemanfaatan terbesar untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat dengan konsep analisis ekonomi terhadap pembentukan hukum

(utilitarianisme). Konsep ekonomi dalam pembentukan hukum (undang – undang)


bertumpu pada tiga prinsip yaitu maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi (Cooter

dan Ullen).

2. Kepentingan politik pemerintah;

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sering menggunakan hegemoninya

dengan cara mempengaruhi rakyat / masyarakat dan pihak – pihak lain menurut

kehendak dan tujuan politiknya. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara

merupakan pihak yang memerintah (The ruler), sedangkan rakyat / masyarakat yang

berada dalam lingkup kekuasaan pemerintah merupakan pihak yang diperintah (The

ruled). “Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk

mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang

yang mempunyai kekuasaan itu”10

Sedangkan Robert M. MacIver memberikan batasan makna mengenai kekuasaan,

yaitu “Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku

orang lain, baik secara langsung dengan memberikan perintah, maupun secara tidak

langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Social power

is the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by

the manipulation of available means)”11

10 Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2000) Halaman 35.
11 Miriam Budiardjo. Ibid. Halaman 35.
Pengambilan keputusan (decision making) dalam menjalankan peranan politik

hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional sering kali dipengaruhi

kepentingan – kepentingan yang diusung diajukan oleh partai politik tertentu.

Terutama kepentingan – kepentingan yang diusung atau diajukan oleh kelompok –

kelompok penekan (preassure group) yang tergabung dalam koalisi partai.

Kepentingan politik pemerintah sering kali dijadikan alasan dan pertimbangan untuk

membentuk suatu peraturan perundang – undangan. Tidak jarang kepentingan politik

tersebut bertentangan dengan syarat – syarat ideal yang harus dipenuhi untuk sahnya

keberlakuan suatu hukum atau peraturan perundang – undangan, yaitu keberlakuan

secara yuridis, keberlakuan secara filosofis dan keberlakuan secara sosiologis.

Padahal Soerjono Soekanto secara elementer mengatakan, “Masyarakat luas

secara sadar maupun tidak sadar akan beranggapan, bahwa hukum akan

berwibawa, apabila hukum tadi berlaku secara yuridis, filosofis dan sosiologis.

Pertama – tama artinya adalah, bahwa hukum tadi diperlakukan sesuai dengan

syarat – syarat yuridis. Kedua hal itu berarti, bahwa hukum tadi adalah sesuai

dengan pandangan hidup atau falsafah hidup dari masyarakat yang bersangkutan.

Dan yang terakhir, hukum tadi memang secara nyata dapat diperlakukan dan benar

– benar berlaku dalam masyarakat”12.

12 Soerjono Soekanto. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung


(Penerbit: Alumni, 1979) Halaman 69.
Sebagai contoh konkrit adanya kepentingan politik pemerintah dalam

pembentukan peraturan perundang – undangan yaitu dengan diundangkannya

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Menteri Agama

Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah / Wakil

Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan

Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Substansi / materi

dari Peraturan Bersama Menteri tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai – nilai

hukum yang terkandung di dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 sebagai

tertib hukum yang tertinggi, jiwa dan semangat Pancasila sebagai sumber dari segala

sumber hukum, Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar

(grundnorm) dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

Sebagai contoh konkrit adanya kepentingan politik pemerintah dalam

pembentukan peraturan perundang – undangan yaitu dengan diundangkannya

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Menteri Agama

Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah / Wakil

Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan

Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Substansi / materi

dari Peraturan Bersama Menteri tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai – nilai

hukum yang terkandung di dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 sebagai

tertib hukum yang tertinggi, jiwa dan semangat Pancasila sebagai sumber dari segala

sumber hukum, Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar
(grundnorm) dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan / merefleksikan

kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta

mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara

yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang

Dasar 1945.

2. Pedoman politik pemerintah Hindia Belanda di Indonesia pada waktu

dahulu didasarkan pada Wet op de staatsinrichting van Ned – Indie,

khususnya yang termaktub dalam pasal 131 jo. pasal 163 Indische

Staatsregeling Stb. 1854 (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement).

3. Landasan atau dasar – dasar pokok kebijakan hukum nasional pada era

Orde Baru, tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia (TAP MPR RI) IV / 1973 Tentang Garis – Garis Besar

Haluan Negara (GBHN), serta juga dirumuskan dalam REPELITA II

BAB 27 Tentang Hukum.

4. Pada era Reformasi sekarang ini, sama sekali tidak ada konsep yang jelas

mengenai pedoman arah dan tujuan pembangunan hukum nasional.

Bahkan terdapat kecenderungan adanya peraturan perundang – undangan

produk lembaga eksekutif (pemerintah) dan lembaga legeslatif (Dewan

Perwakilan Rakyat) yang tidak mencerminkan semangat reflormasi dan

nilai – nilai demokrasi yang bersifat universal.


5. Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum

Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, sebagai penjabaran dari Garis –

Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004, sama sekali tidak

memberikan arah dan tujuan yang jelas mengenai pembangunan hukum

nasional. Propenas hanya memberi gambaran secara umum mengenai

upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang Baik.

6. Agar program pembangunan hukum nasional Indonesia dapat mencapai

sasaran maka politik hukum pemerintah harus memperhatikan stabilitas

dalam segala bidang yang berhubungan dengan kepentingan nasional dan

internasional yang diselaraskan dengan unsur – unsur agama, kebudayaan

dan adat – istiadat masyarakat Indonesia, sehingga kepentingan –

kepentingan pokok warga masyarakat terpenuhi.

7. Peranan politik hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional

yang ideal sesuai dengan ekspektasi masyarakat sangat penting dan

mendesak untuk segera diimplementasikan karena sampai saat ini masih

banyak peraturan perundang – undangan yang dirasakan sudah tidak

sesuai dengan perkembangan jaman, dan terdapat pula peraturan

perundang – undangan yang keberlakukannya bertentangan secara yuridis,

filosofis, dan sosiologis.

B. Saran

1. Peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum

nasional harus diarahkan dan dapat mengakomodir jiwa, semangat dan


nilai – nilai luhur dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber

hukum, serta harus b erorientasi pada cita – cita bangsa Indonesia yang

termaktub dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.

2. Pembangunan hukum nasional yang berkaitan dengan pembentukan

peraturan perundang – undangan harus bersifat non – diskriminatif,

mempertimbangkan hak – hak mendasar (fundamental rights) serta

kepentingan – kepentingan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

3. Konsentrasi peranan politik hukum pemerintah dewasa ini sebaiknya

lebih diarahkan kepada pembangunan hukum nasional yang

berwawasan nusantara, menumbuh-kembangkan semangat kebangsaan

(nasionalisme), mencegah timbulnya konflik horosontal dan bahaya

disintegrasi bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, H. Bahan Kuliah Politik Hukum. Jakarta (Universitas Jayabaya) Tahun
2012.
Budiardjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia
Pustaka Utama) Tahun 2000.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR – RI )
IV / 1973 Tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara.
M.S., Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta (Penerbit:Paradigma) Tahun 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep – Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung
(Penerbit: PT. Alumni) Tahun 2006.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni) Tahun 1979Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni) Tahun 1980.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Perundang – Undangan dan Yurisprudensi.
Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun 1993.
.
Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni) Tahun 1979
Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta (Penerbit: PT. Intermasa) Tahun
1994.
Sunaryati Hartono, C.F.G. Bhineka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi
Pembangunan Hukum Nasional. Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun
2006.

Anda mungkin juga menyukai