Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Disusun Oleh:
Raka Tri Portuna
02011281419245

Dosen Pengampu:
Laurel Heydir, S.H., M.A
Lusi Apriyani, SH., LL.M

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Dan juga saya berterima kasih pada
Bapak Laurel Heydir, S.H., M.A dan Ibu Lusi Apriyani, SH., LL.M selaku Dosen mata
kuliah Ilmu Perundang-undangan yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita tentang bagaimana dalam pembentukan undang-undang di negara kita
ini. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Indralaya, 05 Nopember 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Manfaat

D. Kajian Pustaka

1. Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang

2. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik

3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

BAB II PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

A. Undang-Undang dan Sistem Hukum

B. Bentuk Undang-Undang (Struktur Naskah)

11

C. Materi Muatan dan Bahasa Undang-Undang

16

D. Prosedur Pembentukan Undang-Undang

21

BAB III PENUTUP

26

A. Pembahasan

26

B. Kesimpulan

28

DAFTAR PUSTAKA

29

Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Ilmu pengetahuan perundang-undangan akhir-akhir ini sangat populer terutama untuk

membuat suatu perundang-undangan yang baru. Ilmu pengetahuan perundang-undangan


dikembangkan di Eropa Barat di negara-negara yang berbahasa Jerman dan Belanda.1
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan
bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali
berlakunya Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat; (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan;
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah
(diamendemen) dengan empat kali perubahan. UUD 1945 sebelum perubahan tidak
menjelaskan tentang pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya
menegaskan bahwa Presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan DPR, Sementara itu mengenai proses pembentukan undang-undang hanya


menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya.
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat
pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasas 1945, sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk
melakukan reformasi di bidang hukum.
Perubahan UUD1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan
urusan pemerintahan, akibatnya berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan
1

Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998), hal.2

Pendahuluan

pembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut.


Tidak hanya mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan
tetapi juga mengbah kekuasaan membentuk undang-undang dari semula yang dipegang
presiden beralih menjadi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga, penataan
pelaksanaan fungsinya akan memiliki pengaruh terhadap kualitas pembentukan undangundang di Indonesia. Langkah-langkah ke arah pembentukan undang-undang yang
berkualitas, sebagai bagian dari ikhtiar untuk mendukung reformasi hukum, telah di
implementasikan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Upaya perbaikan tersebut
menyangkut proses pembentukanya (Formal), maupun substansi yang diatur (Materil).
Langkah ini dapat memberikan jaminan, bahwa undang-undang yang dibentuk mampu
menampung berbagai kebutuhan dan perubahan yang cepat, dalam pelaksanaan
pembangunan.
Undang-undang merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar pelaksanaan
dari keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. legal policy yang dituangkan
dalam undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang membuat kebijaksanaan
yang hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru..2
Didalam negara yang berdasarkan atas hukum moderen (verzorgingsstaat), tujuan
utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodipikasi bagi normanorma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan
utama pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modipikasi atau perubahan
dalam kehidupan masyarakat.3
Saat ini undang-undang memberikan bentuk yuridis terhadap campur tangan sosial
yang dilakukan oleh pembentuknya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Undangundang kini tidak lagi terutama berfungsi memberi bentuk kristalisasi kepada nilai-nilai yang
2

Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada(2010), hal.1
3
Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998), hal.2

Pendahuluan

hidup dalam masyarakat, melainkan memberikan bentuk bagi tindakan politik yang
menentukan arah perkembangan nilai-nilai tersebut.
Dalam uraian diatas maka dalam kesempatan ini penulis akan membuat suatu Proses
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Apa itu Proses, menurut menurut kamus besar
Bahasa Indonesia Pengertian proses adalah rangkaian suatu tindakan. Jadi proses
pembentukan undang-undang adalah rangkaian tindakan dalam membentuk suatu peraturan
perundang-undangan. Rangkaian bagaimana sesuatu peraturan tersebut dilakukan dan
pastilah terdapat tata cara dalam melaksanakanya.

B.

Perumusan Masalah
Dari judul diatas terdapat perumusan masalah diantaranya:

A. Mengapa dalam pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum?


B. Bagaimana proses pembentukan undang-undang?

C.

Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui proses pembentukan undang-undang di indonesia.


2. Mahasiwa dapat mengetahui, Mengapa undang-undang mempunyai dasar hukum.

D.

Kajian Pustaka

1. Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang


Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintah,
yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, dan adanya kepastian
dalam

hukum.

Menurut

pendapat

Peter

Badura,

dalam

pengertian

teknis

ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama oleh

Pendahuluan

Dewan Perwakilan Rakyat dengan presiden, dalam penyelengaraan pemerintahan


negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan pertama).
Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan
dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling. Kata wettelijke berarti
sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan
dengan undang-undang dan bukan dengan undang. Sehubung dengan kata dasar
undang-undang, maka terjemahan wettelijke regeling ialah peraturan perundangundangan.
Menurut Otto, dkk., teori tentang pembentukan undang-undang (legislative
theories) memungkinkan untuk mengenali faktor relevan yang mengaruhi kualitas
hukum (the legal quality) dan substansi undang-undang (the content of the law).
Teori-teori tersebut meliputi:
1. The synoptic policy-phases theory;
2. The agenda-building theory;
3. The elite ideology theory;
4. The bureau-politics theory or organisational politics theory;
5. The four rationalities.
Diantara kelima macam teori pembentukan undang-undang tersebut, the
agenda building theory kiranya sesuai-memiliki kesamaan- dengan situasi dan
kondisi pembentukan hukum di indonesia, yang pada umumnya memiliki karakteristik
a bottom up approach.
Dengan demikian teori tersebut mengandung persamaan unsur-unsur dengan proses
pembentukan undang-undang di Indonesia.
Landasan pembentukan undang-undang menurut Jimly Asshiddiqe, harus
dilihat dari sisi tekhnis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan undang-

Pendahuluan

undang haruslah tergambar dalam konsiderens suatu undang-undang. Dalam


konsiderens suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang baik, yang
menjadi landasan keberlakuan undang-undang tersebut.4
Undang-Undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau
unsur pemerintahan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai
rancangan Undang-Undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai
otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk
menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi
sesuatu. Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif
(misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas di
antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamandemen (diubah) sebelum
akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama
pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang
memiliki kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator
(pembuat undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan
formal untuk menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat
bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang telah ditetapkan oleh hukum perundangundangan.
Undang-undang secara formil jelas berbeda dari rancangan undang-undang.
Pembatas antara suatu rancangan undang-undang dan undang-undang adalah tindakan
pengesahan formil berupa pengundangan un-dang-undang itu dalam Lembaran
Negara. Sejak undang-undang itu diundangkan, maka naskahnya resmi disebut sebagai
undang-undang. Akan tetapi, sebelum naskah yang bersangkutan resmi disahkan oleh
4

Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada(2010), Hal.25

Pendahuluan

Presiden dan kemudian diundangkan sebagaimana mestinya da lam Lembaran Negara,


maka naskah rancangan itu masih tetap disebut sebagai rancangan undang-undang.
Tentu saja dapat dibedakan antara rancangan un-dang-undang yang belum dibahas
bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-undang yang sedang
dalam proses pembahasan bersama oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan
rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh DPR
bersama dengan pemerintah, yaitu yang sudah disahkan secara materiel dalam rapat
paripurna DPR-RI sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden atas rancangan undang-- undang yang bersangkutan.5

2.

Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik


Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut
Van Der Vlies, banyak memengaruhi rumusan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004
(yang sekarang telah di amandemen) ke UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perumusan mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang patut menurut Van Der Vlies dalam bukunya yang berjudul Het Wtsbegrip en
beginselen van behoorlijke regelgeving dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu asas
formal dan asas materiil.
1) Asas-asas formal meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011), hal. 41

Pendahuluan

e. Asas consensus (het beginsel van consensus);


a) Asas-asas material yang meliputi:
a. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginselvan duidelijke
termonologie en duidelijke systemtiek);
b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaaheid);
c. Asas perlakuan yang sama dalam hokum (hetrechtsgelijkeheidsbeginsel)
d. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel);
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (hetbeginsel van de
individuale rechtbedeling).
Sedangkan A.Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang patut, khususnya dalam ranah keindonesiaan,
terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas
Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi; dan Asas-asas lainya.6

3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan


Ketentuan UU PPP mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
terdiri atas:
a.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis
Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.

b.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);

c.

Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang- Undang


(Perpu)

Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998), hal. 196-197

Pendahuluan

a) Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 .
b) Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa,
dengan ketentuan: Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan
yang berikut, DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
mengadakan perubahan, dan

Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus

dicabut.
d.

Peraturan Pemerintah (PP)


Peraturan Pemerintah (PP) dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan
perintah undang-undang.

e.

Peraturan Presiden (Perpres)


Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden
untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan.

f.

Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi); dan

g.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda kabupaten/Kota).7

UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Psl. 7

Pembentukan Undang-Undang

BAB II

PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

A.

Undang-Undang dan Sistem Hukum


Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses

pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh
negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undangundang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.
Lawrence M. Friedman mengemukakan untuk memahami sistem hukum dapat dilihat
dari unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri, yakni:
sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).8
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa untuk mempermudahkan pemahaman tentang
sistem hukum, dapat dilakukan dengan:
mengambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur
hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin.
Budaya hukum adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan mesin itu
serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Satu saja komponen pendukung
tidak berfungsi maka niscaya sistem mengalami disfunction (kepincangan).
Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, khusunya pada masa Orde Baru,
dengan memodifikasi serta memasukan unsur lain dalam pembangunan hukum, kompenen
sistem hukum yang dikemukakan Friedman juga menjadi acuan. Pada Seminar Hukum
Nasional Keenam yang diselengarakan oleh Badan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun
8

Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada(2010), Hal.31

Pembentukan Undang-Undang

10

1994, ditetapkan adanya empat kelompok atau aspek pembahasan utama dalam pembangunan
hukum di Indonesia, yaitu:
1. Budaya hukum, dengan rincian pembahasan tentang pengembangan sistem filsafat
hukum nasional, pembinaan kesadaran, dan perilaku budaya hukum nasional, penigkatan
sumber daya manusia dibidang hukum melalui pendidikan dan pelatihan hukum.
2. Materi Hukum, dengan uraian subtema tentang, pengembangangan hukum tertulis
peraruran perundangan-undangan Indonesia, pengembangan yurisprudensi tetap, serta
pengembangan hukum kebiasaan.
3. Lembaga dan Aparatur Hukum, dengan uraian subtema terdiri dari, pengembangan dan
penataan kembalihubungan antar lembaga-lembaga hukum di bidang penegakan hukum,
pembinaan hubungan antar lembaga-lembaga hukum dan pelayanan hukum, serta kerja
sama negara/ organisasi internasional.
4. Pengembangan Sarana dan Prasarana Hukum, dengan Sub-Subtema, peningkatan fungsi
dan peranan kepustakaan hukum, pembinaan sistem dokumentasi dan informasi hukum,
serta moderenisasi sarana dan prasarana hukum.
Adanya pemahaman mengenai perngertian dari sistem hukum, dan kaitanya dengan
peroses pembentukan undang-undang, diharapkan akan berpengaruh pada ditempatkanya
pembentukan undang-undang, sebagai bagian utama proses berjalanya sistem hukum. Akan
tetapi, pengembangan substansi hukum melalui pembentukan, juga amat tergantung pada
pengembangan sistem kelembagaan hukum atau struktur hukum yang ada. Selain itu,
keberhasilan dan berkembangnya sistem hukum juga akan sangat ditentukan oleh budaya
hukum yang ada.9

Ibid, Hal.36

Pembentukan Undang-Undang

B.

11

Bentuk Undang-Undang (Struktur Naskah)

1. Kepala Surat
Kepala surat adalah bentuk formal penulisan atau format kertas pengesahan
suatu undang-undang. Dari segi formatnya itu, Undang-Undang Republik Indonesia
selama ini mempunyai kepala surat yang didahului oleh lambang Bintang di antara
lingkaran Padi dan Kapas disertai dengan kata-kata Presiden Republik Indonesia.
Dengan kepala surat yang demikian, berarti lembaga yang menerbitkan UndangUndang Republik Indonesia adalah Presiden. Kerangka undang-undang terdiri atas:
a.

Judul;

b. Pembukaan;
c. Batang tubuh;
d. Penutup;
e. Penjelasan; dan
f. Lampiran.
Setiap undang-undang harus dirumuskan dengan judul tertentu. Dalam
rumusan judul itu dimuat kete-rangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, penetapan, atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan. Dalam
praktik di berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri atas judul
panjang (long title) dan judul singkat (short title). Akan tetapi, dalam praktik di
Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat pendek. Yang
penting judul tersebut mencerminkan substansi undang-undang bersangkutan.10

10

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011), hal. 159

Pembentukan Undang-Undang

12

b. Pembukaan (Preambule)
Judul dan panjangnya judul seringkali dipakai pula sebagai pengganti
pembukaan (preambule). Jika naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya
dimulai dengan preambule atau pembukaan, maka naskah undang-undang biasa
dirumuskan tanpa pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu dirumuskan, seperti
dalam undang-undang yang bersifat khusus atau dalam undang-undang dasar, maka
pada pokoknya pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek,
maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan.
.
3.

Konsideran
Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya,
berkaitan dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang
terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur
oleh undang-undang itu. Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat
filosofis, sosiologis, politis, dan landasan juridis, serta landasan yang bersifat
administratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis, politis, dan
juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan administratif
dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap undang-undang.
Sedangkan landasan administratif tidak mutlak harus selalu ada. Dicantumkan tidaknya
landasan administratif itu tergantung kepada kebutuhan. Bahkan, kadang-kadang landasan filosofis juga tidak dibutuhkan secara mutlak

5.

Landasan Filosofis
Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan
(ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan

Pembentukan Undang-Undang

13

bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat


digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai
luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui
pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Karena itu, cita- cita
filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita
filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan itu sendiri.

6.

Ketentuan Umum (Interpretation Clause)


Dalam praktik di Indonesia, Definition Clause atau Interpretation Clause
biasanya disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan demikian, seharusnya, isi
yang terkandung di dalamnya tidak hanya terbatas kepada pengertian-pengertian
operasional istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini.
Dalam istilah Ketentuan Umum seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat
umum, seperti pengantar, pembukaan, atau preambule undang-undang. Akan tetapi,
telah menjadi kelaziman atau kebiasaan sejak dulu bahwa setiap undang-undang selalu
didahului oleh Ketentuan Umum yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang
dipakai dalam un-dang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian, fungsi ketentuan
umum ini persis seperti definition clause atau interpretation clause yang dikenal di
berbagai negara lain.

7.

Ketentuan Khusus atau Provisio


Di antara ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang, kadang-kadang
terdapat ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan dimaksud biasa dirumuskan secara
khusus dan berbeda daripada substansi pokok materi undang-undang yang bersifat
umum. Pasal-pasal khusus itu biasanya dirumuskan dalam seksi atau sub-bab tersendiri

Pembentukan Undang-Undang

14

yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau sub-bab
utama (the main section). Ketentuan pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan sebagai
provisio yang dibedakan dari ke-tentuan pada umumnya yang dalam bahasa Inggeris
disebut provision. Kata provision ini dalam bahasa Indonesia biasanya kita
terjemahkan dengan keten-tuan, sedangkan provisio dapat saja kita terjemahkan
dengan istilah ketentuan khusus atau kita sebut provi-sio saja. Pada prinsipnya,
ketentuan yang disebut provi-sio tersebut merupakan suatu kualifikasi tertentu
terhadap norma hukum yang bersifat umum yang terda-pat dalam suatu seksi atau subbab undang-undang.

8.

Ketentuan Tambahan
Ketentuan Tambahan (Additional Provisions) atau Ketentuan Lain-Lain
adalah ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi pokok yang hendak
diatur dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tambahan ini ditempatkan dalam
bab yang tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan sebelum Ke-tentuan
Peralihan dan Ketentuan Penutup. Sesuai de-ngan kebutuhan, kadang-kadang ketentuan
tambahan ini dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup. Namun, pada umumnya,
ketentuan tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab Ketentuan Tambahan
sebelum Bab Ketentuan Peralihan. Dinamakan sebagai ketentuan tambahan (additional
provisions) karena isinya memang bukan substansi yang bersifat utama atau pokok,
melainkan hanya menyangkut hal-hal lain yang seharusnya menjadi materi undangundang lain.

Pembentukan Undang-Undang

9.

15

Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang
berfungsi mengatasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat
peralihan normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Ketentuan peralihan ini
memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Apabila diperlukan penulisan ketentuan peralih-an itu dituangkan dalam bab yang
tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan sebelum ketentuan penutup. Jika tidak
diperlukan bab yang tersendiri, maka ketentuan peralihan itu biasanya ditempatkan
sebagai ketentuan terakhir sebelum pasal yang memuat keten-tuan penutup.

10. Ketentuan Penutup


Ketentuan Penutup berbeda dari Kalimat Penutup. Dalam undang-undang,
yang biasanya dirumuskan sebagai Ketentuan Penutup adalah ketentuan yang
berkenaan dengan pernyataan mulai berlakunya undang-undang atau mulai pelaksanaan
suatu ketentuan undang-undang. Ketentuan penutup dalam suatu undang-undang dapat
memuat ketentuan pelaksanaan yang bersifat eksekutif atau legislatif. Yang bersifat
eksekutif, misal-nya, menunjuk pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk
melakukan sesuatu perbuatan hukum, atau untuk mengeluarkan dan mencabut
perizinan, lisensi, atau konsesi, pengangkatan dan memberhentikan pegawai, dan lain
sebagainya. Sedangkan yang bersifat legislatif, misalnya, memberi wewenang untuk
membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut (delegation of rule-making power) dari apa
yang diatur dalam peraturan undang-undang yang bersangkutan.

Pembentukan Undang-Undang

16

11. Lampiran
Peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran. Lampiranlampiran itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam hal peraturan perundang-undangan
memerlukan lampiran, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam batang tubuh
disertai pernyataan yang menegaskan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir
lampiran, harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.11

C.
1.

Materi Muatan dan Bahasa Undang-Undang


Materi Muatan
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011
sebagai berikut: Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas

11

a.

Pengayoman,

b.

Kemanusian,

c.

Kebangsaan,

Ibid, Hal. 167-197

Pembentukan Undang-Undang

d.

Kekeluargaan,

e.

Kenusantaraan,

f.

Bhinneka tunggal ika,

g.

Keadilan,

h.

Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,

i.

Ketertiban dan kepastian hukum dan atau

j.

Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

17

Sedangkan ayat (2), UU No.12 Tahun 2011


menyatakan Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan
peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1)
sebagai berikut:
1. Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
2. Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
3. Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.

Pembentukan Undang-Undang

18

4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang.
Bahwa

setiap

Materi

Muatan

Peraturan

Perundang-undangan

harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan


individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.12

12

UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Psl. 7

Pembentukan Undang-Undang

2.

19

Bahasa Undang-Undang
Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada kaidahkaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan
kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda
bacanya. Namun, disamping itu, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak
yang tersendiri. Bahasa peraturan mempunyai ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan
dan kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaat-asasan dalam penggunaan
kata-kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan, para perancang
biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang singkat, tegas, jelas, dan
mudah dimengerti oleh khalayak.
Dalam menyusun kalimat perumusan ketentuan peraturan perundangundangan, para perancang yang baik akan selalu berusaha menghindari penggunaan
kata-kata atau frasa yang artinya kurang menentu, konteksnya yang kurang jelas, atau
malah akan menimbulkan kebingungan. Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undangundang atau peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa
sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Untuk memperluas pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui oleh
umum tanpa membuat definisi baru, para perancang biasanya menggunakan kata
meliputi atau termasuk (includes) yang akan mencakup pengertian objek-objek
yang disebut sesudahnya. Sebaliknya, untuk mempersempit pengertian, biasanya
digunakan kata tidak meliputi atau tidak termasuk (does not include).
Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau
frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan sehari-hari.
Dengan demikian, rumusan bahasa undang-undang dan peraturan lainnya tidak

Pembentukan Undang-Undang

20

menggunakan kata-kata yang sama sekali bertentangan dengan pengetahuan umum.


Juga harus dihindarkan penggunaan satu kata atau istilah yang mempunyai arti berbedabeda di satu tempat dengan tempat yang lain dalam satu undang-undang. Demikian pula
harus dihindari penggunaan kata atau istilah yang berbeda-beda untuk pengertian yang
sama dalam satu undang-undang.
Suatu istilah atau kata yang disebut berulang-ulang dalam undang-undang
yang sama, maka dianjurkan agar memuat kata atau istilah tersebut dalam ketentuan
umum atau pasal yang memuat pengertian kata dan istilah-istilah. Untuk efisiensi
perumusan, pengulangan frasa yang panjang dapat disingkat, yaitu setelah penyebutan
frasa itu untuk pertama kali ditambah perkataan yang selanjutnya disebut .............
Dalam perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundangundangan seringkali kita harus menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing.
Dalam hal demikian, para perancang yang baik harus berusaha menghindari istilahistilah asing tersebut. Jika memang hal itu terpaksa dilakukan, maka penggunaan kata
atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan dalam penjelasan, bukan dalam
perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan. Pertama, dituliskan dulu istilah bahasa
Indonesianya, baru setelah itu bahasa asingnya yang ditempatkan dalam kurung.
Misalnya, penghinaan terhadap peradilan (contempt of court), dan sebagainya.
Untuk istilah-istilah atau frasa dari bahasa asing yang sudah diserap dalam
praktik bahasa Indonesia, maka penyerapan kata atau frasa asing yang telah disesuaikan
ejaannya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat saja digunakan dalam perumusan
ketentuan undang-undang dan peraturan lainnya. Penggunaan kata asing yang telah
disesuaikan tersebut dapat dilakukan apabila kata-kata, istilah, atau frasa itu memang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.

mempunyai konotasi yang cocok;

Pembentukan Undang-Undang

21

b. lebih singkat daripada padanannya yang ada dalam bahasa Indonesia;


c. mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah dicapainya kesepakatan pengertian; atau
e. lebih mudah dipahami daripada padanannya dalam bahasa Indonesia.13

D.

Prosedur Pembentukan Undang-Undang

1.

Perencanaan Undang-Undang
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas
program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional yang integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di
bawah UU. Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:
a.

Perintah UUD NKRI Tahun 1945;

b.

Perintah Ketetapan MPR;

c.

Perintah UU lainya;

d.

Sistem perencanaan pembangunan nasional;

e.

Rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f.

Rencana pembangunan jangka menegah;

g.

Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;

h.

Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.


Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan

keterkaitanya dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang diatur dan


keterkaitanya dengan peraturan perundang-undang lainya merupakan keterangan
mengenai konsep RUU yang meliputi:
a.

13

Latar belakang dan tujuan penyusunan;

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011), Hal. 245

Pembentukan Undang-Undang

b.

Sasaran yang ingin diwujudkan;

c.

Jangkawan dan arah peraturan.14

22

2. Penyusunan Undang-Undang
Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari
perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya penyiapan
RUU yang diajukan oleh Presiden atau DPR.
Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus
disertai Naskah Akademik. UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan
dalam pengajuan sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:
a.

APBN;

b.

Penetapan Perpu; atau

c.

Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai dengan keterangan


yang memuat pokok pikiran dan meteri muatan yang diatur.

Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan Naskah Akademik yang
tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik
yang sama, baik dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi
yang akan diatur.
Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan
teknik penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU yang
diajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Badan
Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden yang
14

Yani, Ahmad, Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, Jakarta: Konstitusi


Press (2013), Hal. 25

Pembentukan Undang-Undang

penyiapanya

dilakukan

nonkementerian

sesuai

oleh
dengan

menteri
lingkup

atau

pimpinan

tugas

tanggung

lembaga

23

pemerintahan

jawabnya,

dilakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Menteri Hukum


dan HAM. Ketentuan mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi RUU didalam Pasal 46 dan 47 UU PPP diatur lebih jelas, tersetruktur, dan
masing-masing terintegrasi didalam peraturan DPR maupun Perpres tentang tata cara
mempersiapkan RUU.15

3. Pembahasan Rancangan Undang-Undang


Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa pembahasan RUU
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi
Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945, yakni Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Adapun pelibatan
atau keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU hanya dilakukan apabila RUU yang
dibahas berkaitan dengan:
a.

Otonomi daerah;

b.

Hubungan pusat dan daerah;

c.

Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah;

d.

Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; dan

e.

Perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat
I (Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang
membidangi materi muatan RUU tersebut.16

15
16

Ibid, Hal.32-34
Ibid, Hal.41

Pembentukan Undang-Undang

24

4. Pengesahan Rancangan Undang-Undang


Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk disahkan menjadi
UU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7 (tujuh) hari
dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan
RUU kelembaran resmi Presdiden sampai dengan penandatangan pengesahan UU oleh
Presiden dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) oleh Mentri Hukum dan HAM.

5. Pengundangan
Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Penempatan peraturan perundang-undangan didalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh peraturan
perundang-undangan an sich. Sementara penjelasan peraturan perundang-undangan yang
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan perundang-undangan
yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia.
Untuk

melaksanakan

pengundangan

peraturan

perundangan-undangan

Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.17

17

Ibid, Hal.45-50

dalam

Pembentukan Undang-Undang

25

6. Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk memberikan
informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan
mengenai Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan
agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU
tersebut atau memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut
dilakukan melalui media elektroknik dan/atau media cetak.
Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya
kewenagan pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh
DPR dan pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan
bersama oleh DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.
Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/Badan
Legislasi DPR. Sementara penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh
instansi pemrakarsa.
Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan
UU yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan
secarara bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka
penyebarluasan UU tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.18

18

Ibid, Hal 52

Penutup

26

BAB III
PENUTUP

A.

Pembahasan
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya

Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945
Pasal5 Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR",
Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2 "Setiap
RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" . dalam tahapan
pembentukan peraturan perundangan haruslah meninjau dari segi aspek dan bagaimana
proses dan tahapan pembentukan peraturan itu dapat dijalankan . Undang-undang juga harus
memiliki asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan , khususnya dalam ranah
keindonesiaan, terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas
Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi; dan Asas-asas lainya. Proses pembentukan
undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tempat
undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara
komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.
Di Indonesia sendiri dalam proses dan tahapan pembentukan undang-undang dapat
ditinjau mulai dari bentuk undang-undang itu sendiri yang terdiri dari: kepala surat,
pembukaan, konsideren, landasan filosofis, ketentuan umum, ketentuan khusus, ketentuan
tambahan, ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan lampiran. Dari bentuk undang-undang
tersebut merupakan isi dari undang-undang itu sendiri sebagaimana undang-undang itu
dibentuk.
Materi muatan dan bahasa undang-undang dalam peraturan perundang-undangan
juga sangat mempengaruhi dalam pembentukan undang-undang, karena materi muatan berisi

Penutup

27

perumusan norma-norma peraturan perundang-undangan yang dikonsepsikan secara umum.


Semakin tinggi kedudukan sesuatu peraturan perundang-undangan, semakin rendah
kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi
muatanya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan
peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauanya. Dan penggunaan bahasa dalam
undang-undang haruslah baik dan benar, tidak multi tafsir, tidak berlebihan, harus ada
(subyek, obyek, predikat dan keterangan), mengandung norma larangan, dan kejelasan
sanksi. Penjelasan ringkas pembentukan undang-undang:
1. Tahapan Perencanaan
Peraturan Presiden No. 61 Th 2005 tentang Tata Cara penyusunan dan Pengelolaan
program Legislasi Nasional.
2. Tahapan Penyiapan Rancangan Undang-Undang
RUU dari Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata
Cara

Mempersiapkan

Rancangan

Undang-Undang,

Rancangan

Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan peraturan Pemerintah, dan


Rancangan Peraturan Presiden.
3. Tahap Pembahasan di DPR
Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR
RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
4. Tahap Pengesahan
Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan perundang-undangan.

Penutup

28

5. Tahap Pengundangan
Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,
pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan Perundang-undangan.

B.

Kesimpulan
1. Pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum dikarenakan:
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Dalam
pembentukan undang-undang harus diketahui sistem hukum apa yang dipakai oleh
negara terssebut.
Pembentukan undang-undang mengalami ketidak jelasan arti dan penjabarannya
dalam perumusan pembuatannya, sistemtika yang tidak baik dan bahasa yang
sukar dimengerti.
Politik sering melakukan intervensi atas pembuatan undang-undang dan
pelaksanaan hukum.
2. Proses pembentukan undang-undang dibagi menjadi dua yakni:
Atas inisiatif Presiden yang prosesnya dimulai dari perencanaan melalui
prolegnas, pembahasan ditingkat pemerintah, pembahasan ditingkat Dewan
Perwakilan Rakyat, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbagai
media.
Atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang prosenya dimulai dari perencanaan
melalui prakarsa Dewan Perwakiilan Rakyat dengan persetujuan Presiden,
pembahasan, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbaga media.

29

DAFTAR PUSTAKA

Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998).


Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada(2010).
Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011).
Yani, Ahmad, Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, Jakarta:
Konstitusi Press (2013).

UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai