Disusun Oleh:
Raka Tri Portuna
02011281419245
Dosen Pengampu:
Laurel Heydir, S.H., M.A
Lusi Apriyani, SH., LL.M
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Dan juga saya berterima kasih pada
Bapak Laurel Heydir, S.H., M.A dan Ibu Lusi Apriyani, SH., LL.M selaku Dosen mata
kuliah Ilmu Perundang-undangan yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita tentang bagaimana dalam pembentukan undang-undang di negara kita
ini. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Manfaat
D. Kajian Pustaka
11
16
21
26
A. Pembahasan
26
B. Kesimpulan
28
DAFTAR PUSTAKA
29
Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu pengetahuan perundang-undangan akhir-akhir ini sangat populer terutama untuk
Pendahuluan
Pendahuluan
hidup dalam masyarakat, melainkan memberikan bentuk bagi tindakan politik yang
menentukan arah perkembangan nilai-nilai tersebut.
Dalam uraian diatas maka dalam kesempatan ini penulis akan membuat suatu Proses
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Apa itu Proses, menurut menurut kamus besar
Bahasa Indonesia Pengertian proses adalah rangkaian suatu tindakan. Jadi proses
pembentukan undang-undang adalah rangkaian tindakan dalam membentuk suatu peraturan
perundang-undangan. Rangkaian bagaimana sesuatu peraturan tersebut dilakukan dan
pastilah terdapat tata cara dalam melaksanakanya.
B.
Perumusan Masalah
Dari judul diatas terdapat perumusan masalah diantaranya:
C.
Manfaat
D.
Kajian Pustaka
hukum.
Menurut
pendapat
Peter
Badura,
dalam
pengertian
teknis
Pendahuluan
Pendahuluan
Pendahuluan
2.
Pendahuluan
b.
c.
Pendahuluan
dicabut.
d.
e.
f.
g.
Pembentukan Undang-Undang
BAB II
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
A.
pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh
negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undangundang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.
Lawrence M. Friedman mengemukakan untuk memahami sistem hukum dapat dilihat
dari unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri, yakni:
sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).8
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa untuk mempermudahkan pemahaman tentang
sistem hukum, dapat dilakukan dengan:
mengambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur
hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin.
Budaya hukum adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan mesin itu
serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Satu saja komponen pendukung
tidak berfungsi maka niscaya sistem mengalami disfunction (kepincangan).
Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, khusunya pada masa Orde Baru,
dengan memodifikasi serta memasukan unsur lain dalam pembangunan hukum, kompenen
sistem hukum yang dikemukakan Friedman juga menjadi acuan. Pada Seminar Hukum
Nasional Keenam yang diselengarakan oleh Badan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun
8
Pembentukan Undang-Undang
10
1994, ditetapkan adanya empat kelompok atau aspek pembahasan utama dalam pembangunan
hukum di Indonesia, yaitu:
1. Budaya hukum, dengan rincian pembahasan tentang pengembangan sistem filsafat
hukum nasional, pembinaan kesadaran, dan perilaku budaya hukum nasional, penigkatan
sumber daya manusia dibidang hukum melalui pendidikan dan pelatihan hukum.
2. Materi Hukum, dengan uraian subtema tentang, pengembangangan hukum tertulis
peraruran perundangan-undangan Indonesia, pengembangan yurisprudensi tetap, serta
pengembangan hukum kebiasaan.
3. Lembaga dan Aparatur Hukum, dengan uraian subtema terdiri dari, pengembangan dan
penataan kembalihubungan antar lembaga-lembaga hukum di bidang penegakan hukum,
pembinaan hubungan antar lembaga-lembaga hukum dan pelayanan hukum, serta kerja
sama negara/ organisasi internasional.
4. Pengembangan Sarana dan Prasarana Hukum, dengan Sub-Subtema, peningkatan fungsi
dan peranan kepustakaan hukum, pembinaan sistem dokumentasi dan informasi hukum,
serta moderenisasi sarana dan prasarana hukum.
Adanya pemahaman mengenai perngertian dari sistem hukum, dan kaitanya dengan
peroses pembentukan undang-undang, diharapkan akan berpengaruh pada ditempatkanya
pembentukan undang-undang, sebagai bagian utama proses berjalanya sistem hukum. Akan
tetapi, pengembangan substansi hukum melalui pembentukan, juga amat tergantung pada
pengembangan sistem kelembagaan hukum atau struktur hukum yang ada. Selain itu,
keberhasilan dan berkembangnya sistem hukum juga akan sangat ditentukan oleh budaya
hukum yang ada.9
Ibid, Hal.36
Pembentukan Undang-Undang
B.
11
1. Kepala Surat
Kepala surat adalah bentuk formal penulisan atau format kertas pengesahan
suatu undang-undang. Dari segi formatnya itu, Undang-Undang Republik Indonesia
selama ini mempunyai kepala surat yang didahului oleh lambang Bintang di antara
lingkaran Padi dan Kapas disertai dengan kata-kata Presiden Republik Indonesia.
Dengan kepala surat yang demikian, berarti lembaga yang menerbitkan UndangUndang Republik Indonesia adalah Presiden. Kerangka undang-undang terdiri atas:
a.
Judul;
b. Pembukaan;
c. Batang tubuh;
d. Penutup;
e. Penjelasan; dan
f. Lampiran.
Setiap undang-undang harus dirumuskan dengan judul tertentu. Dalam
rumusan judul itu dimuat kete-rangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, penetapan, atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan. Dalam
praktik di berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri atas judul
panjang (long title) dan judul singkat (short title). Akan tetapi, dalam praktik di
Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat pendek. Yang
penting judul tersebut mencerminkan substansi undang-undang bersangkutan.10
10
Pembentukan Undang-Undang
12
b. Pembukaan (Preambule)
Judul dan panjangnya judul seringkali dipakai pula sebagai pengganti
pembukaan (preambule). Jika naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya
dimulai dengan preambule atau pembukaan, maka naskah undang-undang biasa
dirumuskan tanpa pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu dirumuskan, seperti
dalam undang-undang yang bersifat khusus atau dalam undang-undang dasar, maka
pada pokoknya pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek,
maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan.
.
3.
Konsideran
Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya,
berkaitan dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang
terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur
oleh undang-undang itu. Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat
filosofis, sosiologis, politis, dan landasan juridis, serta landasan yang bersifat
administratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis, politis, dan
juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan administratif
dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap undang-undang.
Sedangkan landasan administratif tidak mutlak harus selalu ada. Dicantumkan tidaknya
landasan administratif itu tergantung kepada kebutuhan. Bahkan, kadang-kadang landasan filosofis juga tidak dibutuhkan secara mutlak
5.
Landasan Filosofis
Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan
(ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan
Pembentukan Undang-Undang
13
6.
7.
Pembentukan Undang-Undang
14
yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau sub-bab
utama (the main section). Ketentuan pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan sebagai
provisio yang dibedakan dari ke-tentuan pada umumnya yang dalam bahasa Inggeris
disebut provision. Kata provision ini dalam bahasa Indonesia biasanya kita
terjemahkan dengan keten-tuan, sedangkan provisio dapat saja kita terjemahkan
dengan istilah ketentuan khusus atau kita sebut provi-sio saja. Pada prinsipnya,
ketentuan yang disebut provi-sio tersebut merupakan suatu kualifikasi tertentu
terhadap norma hukum yang bersifat umum yang terda-pat dalam suatu seksi atau subbab undang-undang.
8.
Ketentuan Tambahan
Ketentuan Tambahan (Additional Provisions) atau Ketentuan Lain-Lain
adalah ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi pokok yang hendak
diatur dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tambahan ini ditempatkan dalam
bab yang tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan sebelum Ke-tentuan
Peralihan dan Ketentuan Penutup. Sesuai de-ngan kebutuhan, kadang-kadang ketentuan
tambahan ini dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup. Namun, pada umumnya,
ketentuan tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab Ketentuan Tambahan
sebelum Bab Ketentuan Peralihan. Dinamakan sebagai ketentuan tambahan (additional
provisions) karena isinya memang bukan substansi yang bersifat utama atau pokok,
melainkan hanya menyangkut hal-hal lain yang seharusnya menjadi materi undangundang lain.
Pembentukan Undang-Undang
9.
15
Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang
berfungsi mengatasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat
peralihan normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Ketentuan peralihan ini
memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Apabila diperlukan penulisan ketentuan peralih-an itu dituangkan dalam bab yang
tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan sebelum ketentuan penutup. Jika tidak
diperlukan bab yang tersendiri, maka ketentuan peralihan itu biasanya ditempatkan
sebagai ketentuan terakhir sebelum pasal yang memuat keten-tuan penutup.
Pembentukan Undang-Undang
16
11. Lampiran
Peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran. Lampiranlampiran itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam hal peraturan perundang-undangan
memerlukan lampiran, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam batang tubuh
disertai pernyataan yang menegaskan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir
lampiran, harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/
menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.11
C.
1.
11
a.
Pengayoman,
b.
Kemanusian,
c.
Kebangsaan,
Pembentukan Undang-Undang
d.
Kekeluargaan,
e.
Kenusantaraan,
f.
g.
Keadilan,
h.
i.
j.
17
Pembentukan Undang-Undang
18
4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang.
Bahwa
setiap
Materi
Muatan
Peraturan
Perundang-undangan
harus
12
Pembentukan Undang-Undang
2.
19
Bahasa Undang-Undang
Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada kaidahkaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan
kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda
bacanya. Namun, disamping itu, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak
yang tersendiri. Bahasa peraturan mempunyai ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan
dan kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaat-asasan dalam penggunaan
kata-kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan, para perancang
biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang singkat, tegas, jelas, dan
mudah dimengerti oleh khalayak.
Dalam menyusun kalimat perumusan ketentuan peraturan perundangundangan, para perancang yang baik akan selalu berusaha menghindari penggunaan
kata-kata atau frasa yang artinya kurang menentu, konteksnya yang kurang jelas, atau
malah akan menimbulkan kebingungan. Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undangundang atau peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa
sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Untuk memperluas pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui oleh
umum tanpa membuat definisi baru, para perancang biasanya menggunakan kata
meliputi atau termasuk (includes) yang akan mencakup pengertian objek-objek
yang disebut sesudahnya. Sebaliknya, untuk mempersempit pengertian, biasanya
digunakan kata tidak meliputi atau tidak termasuk (does not include).
Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau
frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan sehari-hari.
Dengan demikian, rumusan bahasa undang-undang dan peraturan lainnya tidak
Pembentukan Undang-Undang
20
Pembentukan Undang-Undang
21
D.
1.
Perencanaan Undang-Undang
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas
program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional yang integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di
bawah UU. Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:
a.
b.
c.
Perintah UU lainya;
d.
e.
f.
g.
h.
13
Pembentukan Undang-Undang
b.
c.
22
2. Penyusunan Undang-Undang
Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari
perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya penyiapan
RUU yang diajukan oleh Presiden atau DPR.
Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus
disertai Naskah Akademik. UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan
dalam pengajuan sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:
a.
APBN;
b.
c.
Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan Naskah Akademik yang
tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik
yang sama, baik dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi
yang akan diatur.
Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan
teknik penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU yang
diajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Badan
Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden yang
14
Pembentukan Undang-Undang
penyiapanya
dilakukan
nonkementerian
sesuai
oleh
dengan
menteri
lingkup
atau
pimpinan
tugas
tanggung
lembaga
23
pemerintahan
jawabnya,
dilakukan
Otonomi daerah;
b.
c.
d.
Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; dan
e.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat
I (Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang
membidangi materi muatan RUU tersebut.16
15
16
Ibid, Hal.32-34
Ibid, Hal.41
Pembentukan Undang-Undang
24
5. Pengundangan
Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Penempatan peraturan perundang-undangan didalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh peraturan
perundang-undangan an sich. Sementara penjelasan peraturan perundang-undangan yang
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan perundang-undangan
yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia.
Untuk
melaksanakan
pengundangan
peraturan
perundangan-undangan
17
Ibid, Hal.45-50
dalam
Pembentukan Undang-Undang
25
6. Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk memberikan
informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan
mengenai Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan
agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU
tersebut atau memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut
dilakukan melalui media elektroknik dan/atau media cetak.
Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya
kewenagan pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh
DPR dan pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan
bersama oleh DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.
Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/Badan
Legislasi DPR. Sementara penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh
instansi pemrakarsa.
Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan
UU yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan
secarara bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka
penyebarluasan UU tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.18
18
Ibid, Hal 52
Penutup
26
BAB III
PENUTUP
A.
Pembahasan
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya
Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945
Pasal5 Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR",
Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2 "Setiap
RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" . dalam tahapan
pembentukan peraturan perundangan haruslah meninjau dari segi aspek dan bagaimana
proses dan tahapan pembentukan peraturan itu dapat dijalankan . Undang-undang juga harus
memiliki asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan , khususnya dalam ranah
keindonesiaan, terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas
Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi; dan Asas-asas lainya. Proses pembentukan
undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tempat
undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara
komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.
Di Indonesia sendiri dalam proses dan tahapan pembentukan undang-undang dapat
ditinjau mulai dari bentuk undang-undang itu sendiri yang terdiri dari: kepala surat,
pembukaan, konsideren, landasan filosofis, ketentuan umum, ketentuan khusus, ketentuan
tambahan, ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan lampiran. Dari bentuk undang-undang
tersebut merupakan isi dari undang-undang itu sendiri sebagaimana undang-undang itu
dibentuk.
Materi muatan dan bahasa undang-undang dalam peraturan perundang-undangan
juga sangat mempengaruhi dalam pembentukan undang-undang, karena materi muatan berisi
Penutup
27
Mempersiapkan
Rancangan
Undang-Undang,
Rancangan
Peraturan
Penutup
28
5. Tahap Pengundangan
Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,
pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan Perundang-undangan.
B.
Kesimpulan
1. Pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum dikarenakan:
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Dalam
pembentukan undang-undang harus diketahui sistem hukum apa yang dipakai oleh
negara terssebut.
Pembentukan undang-undang mengalami ketidak jelasan arti dan penjabarannya
dalam perumusan pembuatannya, sistemtika yang tidak baik dan bahasa yang
sukar dimengerti.
Politik sering melakukan intervensi atas pembuatan undang-undang dan
pelaksanaan hukum.
2. Proses pembentukan undang-undang dibagi menjadi dua yakni:
Atas inisiatif Presiden yang prosesnya dimulai dari perencanaan melalui
prolegnas, pembahasan ditingkat pemerintah, pembahasan ditingkat Dewan
Perwakilan Rakyat, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbagai
media.
Atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang prosenya dimulai dari perencanaan
melalui prakarsa Dewan Perwakiilan Rakyat dengan persetujuan Presiden,
pembahasan, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbaga media.
29
DAFTAR PUSTAKA