Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai Negara yang berkembang, Indonesia saat ini sedang membangun berbagai
sarana infra struktur yang akan menunjang keberlangsungan Negara akibat dari
globalisasi,misalnya di sektor perekonomian, dimana sejalan dengan isu global yang tidak
dapat dielakan lagi, Negara kita tidak dapat menutup mata begitu saja terhadap damapak
perkembangan ekonomi dunia. Berdasarkan pemahaman tentang ekonomi politik, Globalisasi
merupakan proses perubahan organisasi dari fungsi kapitalisme yang di tandai dengan
munculnya integrasi pasar dan perusahaan – perusahaan transnasional dan tertinggalnya
institusi supranasional.
Dengan adanya hal ini akan di mungkinan pemerintah melakukan langkah antisipasi
dengan menigkatkan sarana ataupun prasarana yang dapat menunjang Negara Indonesia
dalam persaingan Intenasional, Dan langkah kongkrit yang dilakukan pemerintah dewasa ini
yaitu, dengan peningkatan sarana pendidikan, kesehatan, lapangan kerja ataupun yang
lainnya,namun di dalam penerapannya langkah ini seringkali mendapat suatu bantu
pengganjal yang menghambat kinerja tersebut, tiadalain yaitu pengambilan dana, penggunaan
lahan, Serta ijin dari masyarakat yang sering menimbulkan berbagai polemic dan sengketa
atas suatu langkah kebijakan pemerintah dalam peningkatan kualitas yang cenderung
merugikan masyarakat yang bersangkutan.
Atas dasar ini, maka di butuhkan suatu upaya hukum yang menangani sengketa yang
timbul dari langkah antiasipasi pemerintah akan Globalisasi ini, yang penerapan
kebijakannnya merugikan individu ataupun masyarakat, upaya hukum yang dimaksud yaitu
upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 Undang-Undang Nomer 9 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara ( PTUN ), berkait dengan penanganan sengketa masyarakat, sehingga dapat
menjamin kesejatraan Serta kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Adanya upaya
administratife ini adalah merupakan bagian dari suatu system administrasi, karena upaya
administratife merupakan kombinasi atau komponen khusus yang berkenaan dengan
Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) , yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan
memelihara keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan seseorang dengan
masyarakatat atau kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan rukun antara pemerintah
dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan
UUD 1945.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana peran serta Peradilan Tata Usaha Negara dalam sengketa kenegaraan ?
2. Apa kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani sengketa
kenegaraan ?
3. Bagaimana langkah-langkah penyelesaian sengketa dalam Peradilan Tata Usaha
Negara ?

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1


1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui peran serta Peradilan Tata Usaha Negara dalam sengketa kenegaraan
2. Mengetahui kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani sengketa
kenegaraan
3. Mengetahui langkah-langakah penyelesaian sengketa dalam Peradilan Tata Usaha
Negara

1.3 Manfaat Penulisan


1. Memperoleh gambaran dan menambah khasanah pengetahuan tentang penanganan
sengketa Negara dalam penerepan fungsi dari lembaga Peradila Tata Usaha Negara
2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan mahasiswa untuk
melakukan penulisan selanjutnya.
3. Dapat membantu masyarakat untuk memberika pemahaman tentang peran lembaga
Peradilan Tata Usaha Negara dalam penanganan sengketa kenegaraan

1.4 Metode Penulisan


Metode yang kami gunakan dalam makalah ini yaitu metode kajian pustaka
dan Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder dimana data sekunder
diperoleh dari studi pustaka mengenai teori-teori yang berkaitan dengan tema.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 2


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pemahaman Tentang Sengketa


Dalam arti sempit sengketa merupakan perselisihan, namun dalam kamus besar
bahasa Indonesia sengketa berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi
atau pertentangan antar orang-orang,kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi terhadap
suatu objek permasalahan.Senada dengan itu Winardi mengemukakan bahwa sengketa
merupakan pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelomok-
kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara suatu dengan yang lainnya ( Winardi,
Buku Bahasa Indonesia, Tahun 2000 )
Dalam Peradilan Tata Usaha Negara sendiri, sengketa dapat di bedakan menjadi 2
yaitu sengketa interen dan sengketa ekstren. Sengketa interen atau sengketa antar administasi
Negara terjadi di dalam lingkungan administrasi Negara ( TUN ) itu sendiri, baik yang terjadi
dalam satu dapartemen, maupun sengketa yang terjadi antar dapartemen. Perbuatan
administrasi Negara ( TUN ) dapat di kelompokan ke dalam 3 macam perbuatan, yakni;
mengeluarkan keputusan, mengeluarkan paraturan perundang-undangan dan melakukan
perbuatan material.Dalam melakukan perbutan tersebut badan atau pejabat dari Peradilan
Tata Usaha Negara tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan
melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan
tersebut.Kerugian yang ditimbulkan inilah yang mengakibatkan adanya sengketa dalam
Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian sengketa interen adalah manyangkut
persoalan kewenangan pejabat Tata Usaha Negara yang di sengketakan dalam suatu
dapartemen atau kewenangan dapartemen terhadap dapartemen yang lain yang di sebabkan
tumpang tindihnya kewenangan sihingga menimbulkan kekaburan kewenangan . Sengketa ini
juga dapat disebut sebgai hukum antar wewenang.
Sengketa eksteren atau sengeta yang dilakukan anatar administrasi Negara dengan
rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antar administrasi Negara
dengan rakyat sebagai subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan
administarasi murni yang mensyaratkan ada seminimalnya dua pihak dan sekurang-
kurangnya salah satu pihak harus administrasi Negara, yang mencangkup administrasi
Negara di tingkat daerah maupun administrasi Negara pusat yang ada di daerah.
Yang manjadi pangkal sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah
keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 3


2.2 Pemahama Tentang Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN )

 Pengertian
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Yang dimaksud “rakyat pencari
keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing dan
badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha Negara.

 Tujuan
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara
pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat adanya
tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan
pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum angka ke-1 UU
no. 5 Th 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya digunakan istilah UU
PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah
sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan hukum perdata) sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara.

 Tugas Pokok

1. Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara


pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), dengan berpedoman
pada Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor : 9 Tahun
2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan, serta petunjuk-petunjuk dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia (Buku Simplemen Buku I, Buku II, SEMA,
gPERMA, dll).
2. Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) yang berwenang.
3. Peningkatan kualitas dan profesionalisme Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta (PTUN Jakarta), seiring peningkatan integritas moral dan karakter sesuai
Kode Etik dan Tri Prasetya Hakim Indonesia, guna tercipta dan dilahirkannya
putusan-putusan yang dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum dan keadilan,
serta memenuhi harapan para pencari keadilan (justiciabelen).
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Peradilan guna
meningkatan dan memantapkan martabat dan wibawa Aparatur dan Lembaga
Peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, sesuai tuntutan
Undang-Undang Dasar 1945.
5. Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sesuai Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5
Maret 1993 tentang Organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
PERADILAN TATA USAHA NEGARA 4
6. Membina Calon Hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan
administrasi Peradilan Tata Usaha Negara agar menjadi Hakim yang profesional.

 Sejarah Terbentuknya Peradilan Tata Negara


Jika ditelusuri, sebanarnya telah banyak upaya yang dilakukan agar terwujud suatu
Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya-upaya yang
mendukung ke arah terwujudnya Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah
dimulai sejak periode pra 1986, misalnya adanya Rancangan Undang-Undang (RUU)
Wiryono Prodjodikoro, yang merintis lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan
Administrasi Negara sejak tahun 1949. Rancangan Undang-Undang Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional (RUU LPHN) Gaya Lama. RUU Usul Inisiatif DPR dan RUU LPHN Gaya
Baru semuanya bertujuan untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara. Namun beberapa
RUU yang te lah diupayakan tersebut tidak diteruskan ke DPR untuk diadakan pembahasan.
Barangkali yang menjadi sebabnya adalah belum adanya kemauan politik dari pemerintah
pada waktu itu.
RUU tentang Peradilan Tata Usaha yang pernah diajukan dan dibahas oleh DPR yaitu
RUU Th 1982, namun No 14 Th 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kahakiman. Sebagai pelaksana, sudah barang tentu RUU ini harus sesuai dengan UU
pokoknya. Karena itu, pemerintah beranggapan judulnya tidak bisa lain dari yang telah
ditetapkan dalam UU pokoknya. Namun usul DPR tersebut telah diakomodasi dalam batang
tubuhnya yang menyebutkan bahwa UU Peradilan Admistrasi Negara. Pasal 10 UU No. 14
Tahun 1970 yang terakhir telah direvisi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan
Kehakiman menentukan adanya 4 lingkungan peradilan yaitu :

1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara

Masing-masing lingkungan peradilan memiliki wewenang mengadili badan–badan


peradilan tingkat pertama dan banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung RI.
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 UU No. 14 Th 1970 Jo. UU No. 4 Th 2004, maka
telah melalui proses panjang pada tanggal 29 Desember 1986 dibentuk UU No. 5 Th 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344). Setelah sempat
ditidurkan selama 5 tahun sejak diundangkan, UU No. 5 Th 1986 baru diterapkan secara
efektif setelah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Th 1991 tentang penerapan UU No. 5
Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1991 No. 8) pada tanggal 14 Januari
1991. Yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi dibidang hukum, telah disahkan UU
No. 9 Th 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Th 1986. Demikian secara ringkas sejarah
lahirnya UU PERATUN.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 5


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peran Serta Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Kenegaraan

Segketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara.
Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melakukan fungsi
penyelenggaran urusan pemerintah ( eksekutif ) baik di pemerintah pusat atau di pemerintah
daerah, Tata Usaha ini dilakukan oleh fungsionaris yaitu pegawai negri yang menjabat
sebagai fungsi tertentu seperti Mentri, Direktur Jendral, Direktur, Kepala Inspektur Keungan
dan lain sebagainya.
Peradilan Tata Usaha Negara juga menerapkan peraturuan umum yang abstarak yang
terdapat dalam undang-undang pada kasus tertentu, di mana seperti pengadilan yang lain,
peradila Tata Usaha Ini, mengusahakan suatu keadilan yang seadil-adilnya bagi sekelompok
atau seseorang yang bersengketa.Maksud peradilan dalam hal ini adalah memberikan
keadilan kepada para pihak dan dengan demikian menghilangkan sengketa. Sengketa
merupakan suatu yang menganggu masyarakat, menggangu ketentraman masyarakat dan
mengganggu tata tertib masyarakat, sehingga keseimbangan masyarakat tergoncang
karenanya. Sengketa antara kedua pihak sukar di tangani tanpa bantuan dari pihak ke tiga,
pihak penengah yang netral/tidak berpihak, dan tidak berat sebelah.Maka oleh sebab itu pihak
penengah harus di atas para pihak dan tidak terpengaruh oleh siapapun, lebih-lebih oleh pihak
yang bersengketa.
Tidak sampai disana peran Serta Peradila Tata Negara juga sebagai pilar dalam
mencari keadilan dalam suatu sengketa, dimana sesuai dengan tujuan di bentukya perdilan
ini, peradilan Tata Usaha Negara memberikan sarana bagi masyarakat atau pengugat yang
biasanya seorang yang mendapatkan kerugian akibat keijakan yang di tetapkan pemerintah,
untuk di beri bantuan agar gugatannya dapat secara resmi terealisasi yang bisanya berbentuk
tulisan dan perlu di ketahui juga Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap
badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang harus di tunjukan kepada Peradilan Tata Usaha
Negara, sesuai wilayah dan atributnya, Penggugat menuntut agar Keputusan Tata Usaha
Negara dinyatakan batal atau ditiadakan.
Tentu setap orang yang merasa di rugikan atas kebijakan yang di ambil pemerintah di
bebaskan mengambil langkah Serta menggunakan saluruan hukum yang tersedia untuk
mencari keadilan, namun karena dalam masyarakat Indonesia berlaku sifat kekeluargaan
yang erat, maka sebelum suatu sengketa di seselesaikan dalam Peradilan Tata Usaha Negara,
maka terlebih dahulu di beri kesempatan kepada pihak untuk menyelesaikan sengketanya
melalui upaya administratip yang sudah tersedia baik berdasarkan undang-undang maupun
berdasrkan peraturan lainnya.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 6


Ada dua bentuk cara menyelesaikan sengketa yaitu :
1. Keberatan
2. Banding Administratip
Contoh dalam bidang perpajakan, orang dapat menyelesaikan sengketa perpajakan,
pertama-tama dengan pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan surat ketetapan melalui
surat keberatan, dan bila belum puas, wajib pajak dapat mencoba mnyelesaikan sengketa
melalui “banding administratip” di muka majelis pertimbangan pajak, baru bila melalui dua
saluran ini belum juga dicapai suatu keputusan yang memuaskan, dapat di gunkan peradilan
Administratip. Jadi kesimpulannya peran Serta Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan sebagai awal kita dalam melangkah dalam mengugat suatu kebijakan pemrintah
yang kadangkala kebijakan itu dapat merugikan masyarakat.

3.2 Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menangani Sengketa


Kenegaraan
Kewenangan peradilan Tata Usaha Negara juga bisa di sebut dengan kewenangan
absolut yaitu menyangkut kewenangan badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutuskan suatu perkara. Sebagaimana di ketahui berdasarkan pasal 10 UU No.14/1970
kita mengenal 4 lingkungan peradilan yakni, peradila umum, peradilan militer, peradilan
agama dan peradilan tata usaha Negara. Diantara 4 peradilan ini masing-masing mempunyai
kompetensi mengadili yang berbeda-beda.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekusaan kehakiman.
Secara konstitusional dan legal formal, ketentuan ini di tegaskan dalm pasal 24 ayat (2)
perubahan ketiga UUD 1945 yang kemudian di tindak lanjuti oleh pasal 2 UU No 4 Thn 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sebagai salah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,
kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) menurut UU PTUN 1986
adalah memeriksa, memutuskan, dan menyelsaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa
Tata Usaha Negara ( TUN ) dirumuskan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antar orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha
Negara baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya putusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan praturan perundang-undangan yang
berlaku.Sementara wewenang Tata Usaha Negara ( TUN ), merupakan suatu ketetapan
tertulis yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan UU yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.Selain itu wewenang Tata Usaha
Negara yang bersifat fiktif dan negatif juga masuk dalam pengertian wewenang Tata Usaha
Negara ( walau bukan merupakan penetapan tertulis ), sehingga dapat menjadi objek sengketa
Tata Usaha Negara.
Penerapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan
yang berlaku oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.Badan atau pejabat Tata Usaha
Negara adalah badan atau pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang
bersifat eksekutif. Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara pada suatu perbuatan hukum Badan atau pejabat Tata Usaha
Nagara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkrit artinya objek yang
diputuskan dalam Kompetensi tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 7


ditentukan.Bersifat individual berarti wewenang Tata Usaha Negara ditunjukan untuk umum,
tetapi tentu baik alamat maupun hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah di definitifkan
dan karenanya Kompetensi Tata Usaha Negara dapat menimbulkan hukum.
Dilihat dari penjelasan di atas Kompetensi Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan
objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara adalah sangat luas. Namun apabila dilihat
dari pembatasan yang di berikan UU PTUN 2004 junto UU PTUN 1986 wewenang Tata
Usaha Negara yang dapat di jadikan objek sengketa Tata Usaha Negara adalah terbatas.
Dikecualikan atau tidak termasuk dalam pengertian wewenang Tata Usaha Negara apabila :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupkan pengaturan yang bersifat umum
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasrakan ketentuan kitab Udang-
Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undagan lain yang bersifat hukum perdata
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemerikasaan badan
Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum , baik di pusat ataupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum
Dalam kaitannya dengan nomer (7) diatas, dalam UU PTUN tidak ada pernyataan
tegas apakah KTUN yang dikeuarkan selama proses pemilu seperti penetapan (KTUN)
Daftar pemilu tetap (DPT) menjadi objek sengketa TUN yang dapat di gugat ke Peradialan
Tata Usaha Negara oleh warga masyarakat yang kepentingn hukumnya dirugikan dengan
keputusan DPT tersebut.Namun secara eksplisit dapat dipahami bahwa titik tekannya adalah
KTUN mengenai hasil pemilu, sehingga KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu pada
dasarnya merupakan kometensi PTUN dan dapat di gugat oleh pihak-pihak yang merasa
dirugikan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Demikian pula dikeluarkan dari kompetensi
absolut Peradilan Tata Usaha Negara dengan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengekata Tata Usaha Negara tertentu dalam
hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : Dalam waktu perang, keadaan kacau,
keadaan bencana alam atau keadaan yang luar biasa membahayakan, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan perturan UU yang berlaku.
Rumusan atau batasan-batasan mengenai kepentingan umum tidak di jelaskan dalam
UU Peradilan Tata Usaha Negara , sehinga dalam implementasinya sangat ditentukan oleh
penafsiran dan kepentingan penyelenggaraan Negara yang secara sepihak ditentukan oleh
pemerintah.Bila dikaitkan dengan peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2006 Tentang
perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menyebutkan sejumlah kegiatan
yang berkait, yang dikatagorikan sebagai kepentingan umum, sehingga semua KTUN yang
dikeluarkan untuk menyelenggarakan kepentingan umum tersebut tidak dapat dijadikan objek
sengketa Tata Usaha Negara atau tidak dapat di gugat ke Peradilan Tata Usaha Negara .
Sejumlah kegiatan dimaksud adalah baik pembangunan untuk kepentingan umum
yang dilaksanakan Pemerintah maupun oleh Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki
atau akan dimiliki pemerintah atau pemerintah daerah meliputi :

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 8


1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah,di rauang atas tanah, ataupun
di ruang bawah tanah ), saluran air minum/air bersih seluruh pembuangan air dan
senitasi
2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan perairan lainnya
3. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal
4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar
dan lain-lain
5. Tempat pembuangan samapah
6. Cagar alam dan Cagar budaya
7. Pembangkit, transmisi dn distribusi tenaga listrik
Dari penjelasan di atas bahwa wewenang Peradilan Tata Usaha Negara sangat
terbatas, Walaupun UU PTUN secara eksplisit menyatakan bahwa PTUN berwenang
memerikas, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, namun terdapat
pembatas-pembatas baik dalam UU PTUN maupun , PP 65 Tahun 2006 terhadap KTUN
yang dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara .Dengan demikian KTUN yang
dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara dalam Peradilan Tata Usaha Negara
menurut pengertian pasal 1 angka 3 UU PTUN 1986 berikut penjelasannya ditambah KTUN
menurut pasal 3 kemudian di kurangi dengan KTUN yang dimaksud pasal 2 dan 49 UU
PTUN 2004. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kompetensi absolut PTUN untuk
memeriksa, memutus dan menyelesikan sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat
dikeluarknnya KTUN sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 3 dan pasal 3 dengan
pengecualian-pengecualian yang ditentukan dalam pasal 2 dan pasal 49 UU PTUN.

3.3 Langkah-Langkah Penyelesaian Sengketa Dalam Peradilan Tata Usaha Negara


Terdapat 3 langkah dalam menyelesaikan gugatan di dalam Peradilan Tata Usaha
Negara ( PTUN ) yaitu : penerimaan, pemeriksaan dan penyelesain gugatan

1. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN


UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan
Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang
akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokok-
pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:

a. Penerimaan Perkara
Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya,
kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai
dengan ketentuan Pasal 54. Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada
Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan..Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa
Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 9


kediaman Penggugat. Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada
di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.. Ayat (6) Apabila Tergugat
berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada
Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.

b. Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara


Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan
apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56
UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekurang lengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat
menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang
telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah
lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara
yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM
(Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:
1. Biaya Kepaniteraan
2. Biaya Materai
3. Biaya Saksi
4. Biaya Saksi Ahli
5. Biaya Alih Bahasa
6. Biaya Pemeriksaan Setempat
7. Biaya lain untuk Penebusan Perkara
Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Subbagian
Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut. Atas dasar SKUM
tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian Kepaniteraan
Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi
pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian
didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.
Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian
dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan
kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.Selanjutnya berkas
perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua Pengadilan
untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun
apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat,
beracara cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.

2. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN


Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus
melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan
yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada
3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat
dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:

Tahap I
Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang
ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut
Tahap II
Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua
memeriksa gugatan tersebut antara lain:
i. Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal.
Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 10


Ketua dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan
tersebut tidak
ii. Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan
Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat
mengeluarkan penetapan.
iii. Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan
mengeluarkan Penetapan
iv. Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk
diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.
v. Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan
sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.

Tahap III
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan
Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.

Tahap IV
Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis
menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan
yang terbuka untuk umum.
Proses pemeriksaan di muka Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksudkan untuk
menguji apakah dugaan bahwa KTUN yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak.
Gugatan sifatnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya KTUN yang digugat
tersebut, selama hal itu belum diputuskan oleh pengadilan maka KTUN itu harus dianggap
menurut hukum. Hal ini dikarenakan Hukum Tata Usaha Negara mengenal asaspraduga
rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid) = praesumptio instae causa terhadap semua
tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk KTUN yang telah
dikeluarkan (Suparto Wijoyo, 1997: 54).

3. PENYELESAIAN PERKARA
Saat berkas gugatan masuk dalam meja persidangan, maka sengketa tersebut akan
melalu beberapa tahapan-tahapan pokok, yaitu:
1. Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugat.
Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi
gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada
surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam
prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat
tergugat sudah mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan dari
tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya diserahkan salinannya kepada
penggugat.
2. Tahapan Pangajuan Replik
Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap jawaban yang
telah diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari
gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat.
Replik diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim
Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
3. Tahapan Pengajuan Duplik

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 11


Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap replik yang telah
diajukan oleh penggugat. Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik tergugat juga diberikan
kesempatan untuk mengubah alasan yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat (2)). Duplik diserahkan
oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang
diserahkan kepada penggugat
4. Tahapan pengajuan Alat Bukti
Pada tahap pengajuan alat-alat bukti, baik penggugat maupun tergugat sama-sama
mengajukan alat-alat bukti yang terbatas berupa:
a. Surat atau tulisan (Pasal 100 ayat (1) huruf a);
b. Keterangan ahli (Pasal 100 ayat (1) huruf b); dan
c. Keterangan saksi (Pasal 100 ayat (1) huruf c)
5. Tahapan Kesimpulan
Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara
sudah selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha
Negara antara penggugat dengan tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut:
a) Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat agar
dinyatakan batal atau tidak sah.
b) Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah.
6. Tahap Penjatuhan Putusan
Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang
menyatakan sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk
mengambil putusan (Pasal 97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umum (Pasal 108 ayat (1)), artinya siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan
yang diucapkan. Sebagai akibat dari putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang
terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
(Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.(gus
nanda)

Secara garis besar dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal dua Jenis putusan,
yaitu:
a. Putusan yang bukan putusan akhir
Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum
pemeriksaan sengketa TUN dinyatakan selesai, yang ditujukan untuk memungkinkan atau
mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa TUN di sidang pengadilan. Mengenai
putusan yang bukan putusan akhir ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan pasal, misalnya:

i. Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: ”Putusan Pengadilan yang bukan putusan
akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri
melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang”.
ii. Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan
putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan
putusan akhir”.

Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, yang termasuk putusan yang bukan putusan akhir,
misalnya:
a) Putusan Hakim Ketua Sidang yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat
untuk datang menhadap sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah
diwakili oleh seorang kuasa (Pasal 58);

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 12


b) Putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau seseorang
yang pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa (Pasal 91 ayat (1)
dan Pasal 92 ayat (1));
c) Putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli atas
permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugatatau karena jabatannya
(Pasal 103 ayat (1));
d) Putusan Hakim Ketua Sidang mengenai beban pembuktian (Pasal 107).

b. Putusan akhir
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan
sengketa TUN selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (7), diketahui bahwa putusan akhir dapat
berupa:

1. Gugatan ditolak
Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa KTUN yang
menimbulkan sengketa TUN adalah KTUN yang tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.
2. Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan bahwa KTUN
yang menimbulkan sengketa TUN adalah KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam
hal gugatan dikabulkan maka dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:
 pencabutan KTUN yang bersangkutan, atau
 pencabutan KTUN bersangkutan dan penerbitan KTUN yang baru, atau
 penerbitan KTUN baru.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh
Tergugat tersebut dapat disertai pembebanan ganti kerugian. Disamping pembebanan
ganti kerugian terhadap gugatan dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian dapat juga
disertai rehabilitasi atau kompensasi.
 Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata
atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.
 Rehabilitasi adalah memulihkan hak penggugat dalam kemapuan dan kedudukan, harkat
dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada putusan mengenai
KTUN yang disengketakan.
 Kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang berdasarkan keputusan Pengadilan Tata
Usaha Negara akibat dari rehabilitasi tidak dapat atau tidak sempurna dijalankan oleh
Badan Tata Usaha Negara.
3. Gugatan tidak dapat diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa syarat-
syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh penggugat.
4. Gugatan gugur
Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena penggugat
tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut atau
penggugat telah meninggal dunia.Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau
tergugat dapat menentukan sikap sebagai berikut:
a. Menerima putusan pengadilan;
b. Menolak Putusan

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 13


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Yang dimaksud “rakyat
pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing dan
badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha Negara.Umumnya
tugas dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai pilar Serta sebagai penyedia sarana
masyarakat atau badan instansi lainnya yang merasa dirugikan atas kebijakan pemerintah
terhadap suatu hal.
Dalam menangani sengketa, Kewenangan peradilan Tata Usaha Negara bisa di sebut
dengan kewenangan absolut yaitu menyangkut kewenangan badan peradilan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara, namun kewenangan ini juga di batasi
oleh UU PTUN maupun , PP 65 Tahun 2006 terhadap KTUN yang dapat dijadikan objek
sengketa Tata Usaha Negara, sehingga umumnya wewenang dari Peradilan Tata Usaha
Negara sangat terbatas.Dan dalam menyelesaikan suatu gugatan, Terdapat 3 langkah yang
secara sistematis harus di lalui oleh penggugat yaitu: penerimaan, pemeriksaan dan
penyelesain gugatan, dalam tiga langkah ini di upayakan bahwa guagatan yang di terima di
Peradilan Tata Usaha Negara merupkan suatu gugatan yang sah dan sesuai dengan UU PTUN
yang berlaku Serta dalam mengambil keputusannya dapat sesuai dengan UU yang berlaku
dan seadil-adilnya bagi kedua pihak yang berasngkutan terhadap gugatan tersebut.

4.2 Saran

Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran dan


kesejateran rakyat, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih
ditingkatkan, mengingat saat ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang begitu
menjadi sorotan masyarakat, padahal penyelewengan-penyelewengan yang di lakukan oleh
aparat pemerintah sering terjadi sehingga banyak sekali terdapat sengketa di kalangan
masyarakat akibat dari dibuatnya kebijakan yang sewena-wena yang notabenya hal itu
merugikan masyarakat itu sendiri, Dan di harapkan pula pada pemerintah, agar menjalankan
kewajiban sebagai agen dalam membuat suatu kebijakan agar bersih dan jujur sehingga dapat
mengurangi suatu bentuk persengketaan kebijakan, sehingga tidak menggoyahkan kedamaian
masyarakat Serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah itu sendiri.

PERADILAN TATA USAHA NEGARA 14

Anda mungkin juga menyukai