Anda di halaman 1dari 32

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Pengertian dan Sumber-sumber Hukum Acara Peradilan Tun.

Pengertian Hukum Acara PTUN


Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma
hukum yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk
melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara.
Secara singkat, hukum peradilan tata usaha negara merupakan hukum yang mengatur
tentang tatacara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau
mengadili atau memutus sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau
badan perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara. Peradilan Tata Usaha
Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa tata usaha negara. Yang dimaksud “rakyat pencari keadilan”
adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing dan badan
hukum perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha Negara.

Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara


Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara
pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat adanya
tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.
Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-


hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.

Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum angka ke-1 UU
no. 5 Th 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya digunakan
istilah UU PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara
sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara
pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan
hukum perdata) sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara).
Sumber-sumber Hukum Acara PTUN

Sumber Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain :

1. Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;


2. Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2004);
3. Undang- Undang  No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan
dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan
Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
Tentang Kekuasaan Kehakiman.);
4. Undang-Undang  No. 3 Tahun 2009  Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari
Undang-Undang No 14 Tahun 1985, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
Tentang Mahkamah Agung);
5. Yurisprudensi;
6. Praktek Administrasi Negara sebagai hukum kebiasaan;
7. Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Kasus Peradilan tata usaha negara 
(dalam Ruang Lingkup Acara PTUN).

Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir
4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan
pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan
TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. 

Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha negara
subyek hukumnya terdiri dari :

1. Pihak Penggugat
Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha
Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah
(Pasal 53 ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun
1986).Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut
pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga
hukum publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi,
Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.Jadi, orang atau badan hukum
perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung  (pemangku) hak-hak dan
kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standing untuk
mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN
dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan


gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.Di
dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat
bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan
prosedur penerbitan Keputusan TUNyang ditujukan kepada instansi Pemerintah
yang bersangkutan.Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN
tentang Pencabutan Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi
Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah
bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap
pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya.
2. Pihak Tergugat
Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata (Pasal 1 butir 6 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986).Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 ).Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan
yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di luar
kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam
pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian
“urusan pemerintah“.

Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua


peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.Apa yang dimaksud dengan
Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini
menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah sepanjang Badan atau
Pejabat TUN tersebut “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan”.  Sehingga
tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis
untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan
berupa kegiatan urusan pemerintahan.

Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah pengertian Badan atau Pejabat TUN
menjadi tidak terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan
eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa
saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk menjalankan fungsi
pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap
Keputusan TUN yang dikeluarkannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan
obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar
wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat


menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:
1. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala
eksekutif;
2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan,
melaksanakan suatu urusan pemerintahan;
3. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan
pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
3. Pihak Ketiga yang berkepentingan
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik
atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas
prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan
bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang
bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83);
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan
selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga
tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan
putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa
tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1).

4. Pemberian Kuasa
Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang
kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan
sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan
sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa
khusus. 

Dengan pemberian surat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-
tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas
nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di
persidangan bisa dilakukan secara lisan. Pemberian kuasa bisa dilakukan oleh
pihak tergugat ataupun penggugat. (Pemberian kekuasaan terhadap kedua
belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN.
 
5. Hakim
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata
dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang
bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim
anggota. Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh
prosedur pemeriksaan dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara
TUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal
99 ayat 1).

C. OBYEK PTUN (Keputusan TUN)


Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan
kepada isinya, yang berisi
kejelasan tentang:

1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;


2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah
memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN).
Penjelasan obyek Ptun (keputusan) sebagai berikut :
1. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah
satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN
sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau
Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang
dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu
dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan
pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi
demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat
TUN. 

Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan


mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif
ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas
pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja,
akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan
kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta,
dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai
subjek di Peradilan tun.
 
2. Berisi tindakan Hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah
salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang
demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan
hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan
mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah
ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka
tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum,
artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
 
3. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan
yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum,
yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang
juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986). Jadi dalam mengeluarkan keputusan harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
 
4. Bersifat konkret 
diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai
Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang
Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Brigadir
Rikosebagai Anggota Polri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut
dapat dilihat dengan kasat mata.
 
5. Bersifat individual
diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum,
tetapi kepada pihak tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang
dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan
namanya dalam keputusan tersebut.
 
6. Bersifat final
diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya
keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.
 
7. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila
tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan
karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum,
Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam
hubungan-hubungan hukum yang telah ada.

Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut
:

1. Syarat Materiil :
1. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
2. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka
pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan
dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur)
membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam
peraturan dasar tersebut ;
4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan
dasar.
2. Syarat Formil :
1. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan yang berhubungan dengan cara dibuatnya
keputusan, harus dipenuhi ;
2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
3. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan dilakukannya
keputusan, harus dipenuhi ;
4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu
tidak boleh dilewati.

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa tidak termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;


2. Keputusan tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia; 
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.

Dengan demikian, maka keputusan-keputusan tersebut diatas tidak dapat dijadikan


obyek sengketa yang menjadi kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha
Negara. Pembatasan ini diadakan, oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang
karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini (Penjelasan Pasal 2 Undang-
undang Nomo 9 Tahun 2004).
D. Asas-Asas dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa Asas hukum merupakan jantungnya peraturan
hukum, dikarenakan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan
lahirnya peraturan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo menambahakan bahwa dengan
adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka
hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. 

Asas hukum yang terdapat di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
negara adalah:

1. Asas praduga rechtmatig. Asas ini menyatakan setiap tindakan pemerintahan


selalu dianggap rechtmatig atau tidak menunda pelaksanaan keputusan tata
usaha negara yang disengketakan dan harus dijalankan dalam hal keputusan
yang sudah dibuat sampai ada pembatalan oleh pengadilan berwenang.Dengan
asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat (pasal 67 ayat (1) (4) UU PTUN).
2. Asas para pihak harus didengar. Maksudnya para pihak mempunyai kedudukan
yang sama dan harus diperlakukan dan di perhatikan secara adil. Hakim tidak
dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah
satu pihak saja.  (audi et alteram partem).
3. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari
segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun
tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan
pengadilan. (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
4. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Maksudnya sederhana dalam hukum acara, waktu yang relatif cepat dalam
waktu dan murah dalam biaya ringan.
5. Asas hakim aktif (dominus litis) maksudnya ada rapat permusyawarahan untuk
menentukan gugatan dapat diterima atau tidak yg disertai pertimbangan-
pertimbangan, pemeriksaan persiapan untuk memeriksa kejelasan gugatan,
hakim dapat memeritahkan tergugat memberikan info-info yang dibutuhkan
penggugat.
Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa
hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan
tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-
pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk
mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu
untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). 
Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses
persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN
mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk
mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang
diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai
pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu
(Pasal 85 UU PTUN).
6. Asas sidang terbuka untuk umum. Maksudnya asas ini membawa konsekuensi
bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbukan untuk umum. (pasal 70 UU PTUN).
7. Asas peradilan berjenjang. Maksudnya Jenjang peradilan dimulai dari tingkat
yang terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah
Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya Asas ini, maka kesalahan dalam
putusan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi ke MA. Sedangkan
keputusan yang mempunyai kekuatan Hukum tetap dapat diajukan upaya
permohonan peninjauan kembali kepada MA.
8. Asas Obyektifitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun
telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara
hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan
sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya
(Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).    
9. Asas Pembuktian Bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini
berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 UU 5/1986,
kemudian dibatasi dengan ketentuan pada pasal 100 uu no 5/1986.
10.Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat ( erga
omnes ) , Sengkata TUN adalah sengketa diranah hukum public, yang tentu
akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa
namun berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja. 
11.Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas
ini menempatkan pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha
Negara sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif. Penyelesaian
melalui upaya administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih
menunjukkan penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai
mufakat, maka barulah penyelesaian melalui PTUN dilakukan.
E. Perbedaan antara Hukum Acara Tun dan Hukum Acara Perdata

NO TINJAUAN DARI HUKUM ACARA PERDATA HUKUM ACARA PTUN


SISI

1 Objek gugatan hukum acara perdata adalah Obyek gugatan atau pangkal


perbuatan melawan hukum sengketa TUN adalah KTUN
dan wanprestasi yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat TUN yang
mengandung perbuatan
melawan hukum yang
dilakukan oleh penguasa

2 Kedudukan para para pihak sesama individu, Dalam TUN menempatkan


Pihak sesama badan hukum seseorang atau badan hukum
perdata, atau antara perdata sebagai pihak
individu dengan suatu badan penggugat dan badan atau
hukum perdata pejabat TUN sebagai pihak
tergugat

3 Gugat Rekonvensi Dalam hukum acara Di dalam hukum acara PTUN


perdatadikenal dengan tidak mungkin dikenal
istilah gugat rekonvensi adanya gugat rekonvensi,
(gugat balik) yaitu gugatan karena dalam gugat
yang diajukan oleh tergugat rekonvensi berarti
terhadap penggugat dalam kedudukan para pihak
sengketa yang sedang semula menjadi balik.
berjalan antara mereka Kedudukan para pihak dalam
hukum acara PTUN tidak
berubah-ubah. Penggugat
tetap merupakan individu
atau badan hukum perdata,
sedangkan tergugat tetap
merupakan badan atau
pejabat TUN. Dan yang
menjadi obyek gugatan
dalam hukum acara PTUN
juga tidak berubah,tetap
KTUN, tidak boleh yang lain

4 Tenggang waktu tenggang waktu mengajukan Dalam hukum acara TUN


pengajuan gugatan, yang pengajuan gugatan dapat di
gugatan mengakibatkan gugatan lakukan hanya dalam
daluwarsa tidak begitu tegas tenggang waktu 90
dibanding dengan hukum (Sembilan puluh) hari, yang
acara PTUN. Dalam hukum dihitung sejak saat
acara perdata, memang diterimanya atau
dapat saja terjadi gugatan diumumkannya keputusan
dianggap daluwarsa, tetapi TUN. Apabila gugatan
daluwarsa gugatan itu tersebut diajukan setelah
dikarenakan kelalaian lewat 90 hari, maka
penggugat. Dalam acara pengadilan tidak akan
perdata relative lebih lama menerima gugatan
dan setiap masalah berbeda
tenggang waktunya

5 Tuntutan dalam Dalam hukum acara hanya dikenal satu macam


gugatan perdatatuntutan pokok tuntutan pokok yang berupa
selalu disertai tuntutan tuntutan agar KTUN yang di
pengganti gugat itu dinyatakan batal
atau tidak sah atau tuntutan
KTUN yang dimohonkan oleh
penggugat dikeluarkan oleh
tergugat. Sedangkan
tuntutan tambahan yang
diperbolehkan hanya berupa
ganti kerugian atau
rehabilitasi

6 Rapat prosedur ini tidak dikenal Prosedur ini pada dasarnya


permusyawaratan dalamhukum acara perdata memberikan wewenang
kepada kepala ketua
pengadilan sebelum pokok
sengketanya diperiksa
memutuskan dengan suatu
penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan-
pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan oleh
penggugat tidak diterima
atau tidak berdasar

7 Pemeriksaan tidak dikenal dalam hukum Hukum PTUN mengenal


persiapan acara perdata pemeriksaan persiapan.
Pemeriksaan persiapan juga
dilakukan oleh hakim
sebelum pemerisaan pokok
sengketa dimulai

8 Putusan verstek Putusan verstek di kenal di dalam hukum acara PTUN


dalmhukum acara tidak dikenal dengan
perdata dan boleh putusan verstek, karena
dijatuhkan pada hari sidang badan atau pejabat TUN
pertama, apabila tergugat yang digugat itu tidak
tidak datang setelah mungkin tidak diketahui
dipanggil dengan patut kedudukannya

9 Pemeriksaan tidak acara PTUN dikenal dengan


acara cepat dikenal dalam hukum acara pemeriksaan acara cepat
perdata apabila terdapat
kepentingan penggugat yang
cukup mendesak

10 Sistem hukum Dalam hukum acara Dalam hukum acara PTUN


pembuktian perdatadilakukan dalam dilakukan dalam rangka
rangka memperoleh memperoleh kebenaran
kebenaran formal materiil

11 Sifat Erga Hukum acara hukum acara PTUN, putusan


Omnesnya perdataputusannya berlaku pengadilan yang telah
putusan bagi pihak yang berpekara berkukuatan hukum tetap
pengadilan saja yang terkait dalam mengandung sifat erga
perkara tersebut omne, artinya berlaku untuk
siapa saja dan tidak hanya
terbatas berlakunya bagi
pihak-pihak yang berperkara

12 Hakim Ad Hoc Hakim Ad Hoc tidak dikenal Hakim Ad Hoc diatur dalam
dalam hukum acara perdata pasal 135 UU PTUN. Apabila
memerlukan keahlian
khusus, maka ketua
pengadilan dapat menunjuk
seseorang hakim ad Hoc
sebagai anggota majelis

F. Kompetensi dalam Acara Ptun


Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara
dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif
berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai
dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan
pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,materi atau pokok
sengketa.

1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah
hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan
berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang
bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum
yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal
6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan TUN sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009 menyatakan :
1. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota;
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pada saat ini
Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN
Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN
meliputi beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah
hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN Jakarta yang
meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya
sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau
Kalimantan, Jawa Barat dan DKI. 

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau


tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan
Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9
tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:
1. Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat;
2. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum
Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan
dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi
tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan;
4. Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha
Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat;
5. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar
negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta;
6. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat
kedudukan tergugat.
2. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan
untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok
sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang diterbitkan
oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. 

Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil


(material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing
merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung Kompetensi
absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009
tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yang menyebutkan : ” Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum
Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku” 

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan


Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut,
persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN
meliputi :
1. Penetapan tertulis dan dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
2. Berisi tindakan hukum TUN dan Berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. Bersifat Konkrit,Individual dam Final dan juga menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Ketiga persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek
sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi ketiga persyaratan
tersebut.
Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam
ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak
mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu
merupakan kewajibannya. Dalam praktek keputusan-keputusan badan/Pejabat TUN
yang berpontesi menimbulkan sengketa TUN, yaitu antara lain :

1. Keputusan tentang perizinan dan Keputusan tentang kepegawaian;


2. Keputusan tentang status hukum, Hak dan Kewajiban.

G. Alur atau Proses persidangan dalam Acara Ptun


”PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA”

1. Upaya Administratif
Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, menentukan bahwa:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan
melalui upaya administratif yang tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Dari uraian pasal tersebut maka dapat dipahami bahwa ada dua pilihan
yang dapat dilakukan apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Pihak Penggugat wajib atau harus menempuh upaya administratif
terlebih dahulu jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut diberikan
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara.
2. Pihak Penggugat dapat langsung menempuh upaya peradilan jika
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN
yang disengketakan tersebut tidak diberikan wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
2. Proses berpekara di Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai
berikut :
1. 1. Pemeriksaan Pendahuluan
1. 1. Pemeriksaan administrasi  di Kepaniteraan
Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan
tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah
didaftar serta mendapat nomor register yaitu setelah
Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan
membayar uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004 tidak menentukan secara tegas pengaturan tentang
penelitian segi administrasi terhadap gugatan yang telah masuk
dan didaftarkan dalam register perkara di Pengadilan, akan tetapi
dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986 jo
UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, “Syarat-syarat
gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahukan dan
diperingatkan”Dalam Surat Edaran MA No.2/1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5
Tahun1986 diatur mengenai Penelitian Administrasi :
1. Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian
administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda Perkara sesuai pembagian tugas yang diberikan. 
2. Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera
dibubuhi stempel dan tanggal pada sudut kiri atas halaman
pertama yang menunjuk mengenai :
1. Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan.
2. Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan
pendaftaran nomor perkaranya setelah membayar
panjar biaya perkara.
3. Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada).
4. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel, karena
hal tersebut tidak disyaratkan oleh UU.
5. Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan antara
perkara tingkat banding dan perkara yang diajukan ke
PTTUN sebagai instansi tingkat pertama (vide Pasal 51 ayat
3 UU No. 5 Tahun1986).
6. Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN
harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya
walaupun mungkin kotanya berbeda.Misalnya: Pengadilan
Tata Usaha Negara Surabaya Jalan … No…  di Sidoarjo Kode
Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan dengan
penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19
Tahun1960, Keppres No. 52 tahun 1990.
7. a. Identitas Penggugat harus dicantumkan secara lengkap
dalam surat gugatan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 56 UU No. 5 Tahun1986.
b. Untuk memudahkan penanganan kasus-kasus dan demi
keseragaman model surat      gugatan harus disebutkan
terlebih dahulu nama dari pihak Penggugat pribadi (in
person) dan baru disebutkan nama kuasa yang
mendampingi, sehingga dalam register perkara akan
tampak jelas siapa pihak-pihak yang berperkara
senyatanya.
c. Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal
tentang bentuk dan isi gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak
menyangkut segi materiil gugatan. Namun dalam  tahap ini
Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya
dan dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yang
dianggap perlu. Sekalipun demikian,  Panitera tidak berhak
menolak pendaftaran perkara tersebut dengan dalih apapun
juga yang berkaitan dengan materi gugatan.
8. Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding
dimasukkan dalam register setelah yang bersangkutan
membayar uang muka atau panjar biaya perkara yang
ditaksir oleh panitera sesuai Pasal 59 sekurang-kurangnya
sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Dalam
perkara yang diajukan melalui pos, panitera harus memberi
tahu tentang pembayaran uang muka kepada penggugat
dengan diberi waktu paling lama 6 (enam) bulan bagi 
Penggugat itu untuk memenuhi dan kemudian diterima di
Kepaniteraan Pengadilan, terhitung sejak dikirimkannya
surat pemberitahuan tersebut dan uang muka biaya perkara
belum diterima di Kepaniteraan, maka perkara Penggugat
tidak akan didaftar. Walaupun gugatan yang dikirim melalui
pos selama masih belum dipenuhi pembayaran uang muka
biaya perkara dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi
kalau sudah jelas merupakan surat gugatan, maka harus
tetap disimpan di Kepaniteraan Muda Bidang Perkara dan
harus dicatat dalam Buku Bantu Register dengan mendasar
pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, agar dengan
demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak
terlampaui.
9. Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN
dimana ia akan mendaftarkan gugatannya, maka tentang
pembayaran uang muka biaya perkara dapat ditempuh
dengan cara. 
10.Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN mana
gugatan diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Ongkos kirim ditanggung penggugat di luar panjar biaya
perkara.
11.Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN dimana
ia mendaftarkan gugatannya.
12.a. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk
Surat Kuasa Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat
Kuasa Khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan
(waarmerking) oleh pejabat yang berwenang.
b. Surat Kuasa Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu
dilegalisir.
c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi
tetapi dimungkinkan pula adanya kuasa insidentil.
d. Surat kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan
PTUN.
2. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah
suatu perkara didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor
perkara, oleh staf kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih
dahulu sebelum diajukan kepada Ketua Pengadilan, dengan bentuk
formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut :  
3. Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju sendiri ataukah
diwakili oleh Kuasa. 
4. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek gugatan tersebut
termasuk dalam pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur Pasal 1
angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. 
5. Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut
memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986.
(Setelah keluarnya UU No. 9 Tahun 2004 alasan gugatan mendasarkan
pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU No. 9 Tahn 2004).
6. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan
Keputusan TUN saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi.

Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, Panitera atau staf Kepaniteraan dapat
memberikan catatan atas gugatan tersebut, untuk disampaikan kepada Ketua
Pengadilan untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur Dismissal. 

1. 2. Dismissal Prosedur oleh Ketua PTUN (Pasal 62 UU No.5/1986)


Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa
prosses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak
dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara singkat dalam
rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim
sebagai reporteur (raportir). Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan
berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum
menentukan penetapan disimisal apabila dipandang perlu.Ketua Pengadilan
berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
1. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan;
2. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh   penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan
diperingatkan;
3. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
4. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan TUN yang digugat;
5. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka
kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut. Hal ini
dalam praktek tidak pernah dilakukan karena adanya perbaikan gugatan dalam
pemeriksaan persiapan.Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan
panitera/wakil panitera (wakil ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal
dalam hal ketua berhalangan).
Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat
tidak diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum
hari persidangan ditentukan terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak untuk
didengar keterangannya.Berdasarkan Surat MA.RI No.222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14
Oktober 1993 Perihal:Juklak bahwa agar ketua pengadilan tidak terlalu mudah
menggunakan Pasal 62  tersebut kecuali mengenai Pasal 62 ayat 1 huruf :

1. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang 


pengadilan. Pengertian “pokok gugatan” ialah fakta yang dijadikan dasar
gugatan atas dasar fakta tersebut penggugat mendalilkan adanya suatu
hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya.
(Penjelasan Pasal 62 ayat 1 huruf a UU No5 Tahun 1986).
2. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.Terhadap
penetapan dismissal dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan. Proses perlawanan
dilakukan secara singkat, serta setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan maupun
Tergugat/Terlawan didengar dalam persidangan tersebut.Berdasarkan Surat
MARI No. 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak, diatur
mengenai Prosedur perlawanan - Pemeriksaan terhadap perlawanan atas
penetapan dismissal (Pasal 62 ayat 3 sd. 6 UU No.5/1986) tidak perlu sampai
memeriksa materi gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli,
dsb.

Sedangkan penetapan dismissal harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum:

1. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi


pengucapan putusannya harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.
2. Terhadap perlawanan yang dinyatakan benar maka dimulailah pemeriksaan
terhadap pokok perkaranya mulai dengan pemeriksaan persiapan dan
seterusnya.
3. Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan
yang memeriksa gugatan perlawanan tersebut tetapi dengan penetapan Ketua
Pengadilan. Jadi tidak dengan secara otomatis. Dalam hal perlawanan tersebut
dibenarkan oleh Pengadilan maka penetapan dismissal itu gugur demi hukum
dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara
biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya
hukum. Baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Apabila pihak
Pelawan mengajukan permohonan banding atau upaya hukum lainnya, maka
Panitera berkewajiban membuat akte penolakan banding atau upaya hukum
lainnya. 

1. 3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No.5/1986).


Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan
pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu
yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan tersebut diserahkan kearifan dan
kebijaksanaan ketua majelis. 

Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk


menyempurnakan gugatan dan atau tergugat untuk dimintai keterangan/
penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara
terpisah. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam
sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula
dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa toga. 

Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk
oleh ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua
majelis. Maksud Pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada Badan/Pejabat
TUN yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan
dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu. Dalam
pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986
dan Surat Edaran (SEMA No. 2 Tahun1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI
No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/
X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224
/Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak).  Majelis Hakim
berwenang untuk :
1. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan
dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga
puluh hari.
2. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang
bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan
seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data
yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa
penggugat dan Badan atau Pejabat TUN kedudukannya tidak sama. Dapat
pula melakukan acara mendengarkan keterangan-keterangan dari
Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja yang
dipandang perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang
dianggap perlu oleh hakim.
 Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada
dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk
kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia ajukan.
Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang bersangkutan tentu
tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak
disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang
bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan TUN yang sedang
disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin” tersebut ditampung semua
kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut
ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
 Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat
yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan
sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara pemeriksaan
persiapan.
 Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan TUN”
apabila ternyata tidak diperlukan. • 
 Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat. 
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus dilaksanakan
lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan
pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.Kalau
gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah sempurna maka tidak perlu diadakan
perbaikan gugatan. •  

Majelis Hakim juga harus menyarankan kepada penggugat untuk memperbaiki petitum
gugatan yang sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 53 tentang petitum gugatan dan
dalam Pasal 97 ayat 7 tentang putusan pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi
amar putusan adalah sebagai berikut  :

1. Mengabulkan gugatan penggugat.


2. Menyatakan batal keputusan TUN yang disengketakan yang dikeluarkan oleh
nama intansi atau nama Badan/Pejabat TUN tanggal… Nomor….perihal….atau
menyatakan tidak sah keputusan TUN yang disengketakan yang dikeluarkan
oleh nama instansi atau nama Badan/Pejabat TUN, tanggal ….nomor…
perihal…).

Selanjutnya diikuti amar berupa mewajibkan atau memerintahkan Tergugat untuk


mencabut Keputusan TUN yang disengketakan. Untuk itu didalam praktek masih
adanya putusan yang sifatnya deklaratoir(Menyatakan batal atau tidak sah saja) ,
tidak diikuti amar selanjutnya berupa :

Mewajibkan atau Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN yang


disengketakan. Tenggang waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase
pemeriksaan persiapan, janganlah diterapkan secara ketat sesuai bunyi penjelasan
Pasal 63 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari tersebut tidak bersifat
memaksa maka hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja
menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru
satu kali diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat
3 UU No. 5 Tahun1986).

Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan persiapan.
Setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk persidangan.  

1. 2.  Pemeriksaan Persidangan (Pokok Perkara) 


1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban
dari tergugatPasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan
sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang
memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat
jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawabannya”. Dalam prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan
gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat tergugat sudah
mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan
dari tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya
diserahkan salinannya kepada penggugat.
2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
Jawaban yang diajukan oleh Tergugat dapat berupa alternatif, sebagai
berikut:
1. Eksepsi saja, yang dapat berupa:
1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan (Pasal 77
ayat (1)). Eksepsi ini sebenarnya dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan dan meskipun tidak ada eksepsi
tersebut, apabila hakim mengetahui karena jabatannya,
wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan;
2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77
ayat (2)). Eksepsi ini diajukan sebelum disampaikan
jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus
diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
2. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan (Pasal
77 ayat (3)). Eksepsi ini hanya dapat diputus bersama-sama
dengan pokok sengketa.
1. Jawaban pokok sengketa dan eksepsi, atau
2. Jawaban pokok sengketa saja.
3. Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)
Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan
tanggapan terhadap jawaban yang telah diajukan oleh tergugat.
Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat mengubah
alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik
diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan
salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
4. Duplik (Pasal 75 ayat 2 UUNo.5/1986)
Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memberikan
tanggapan terhadap replik yang telah diajukan oleh penggugat.
Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik tergugat juga diberikan
kesempatan untuk mengubah alasan yang mendasari jawabannya,
asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan
penggugat (Pasal 75 ayat (2)). 
Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan
salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada
penggugat. Setelah tergugat mengajukan duplik, kemudian Hakim
Ketua Sidang menetapkan hari sidang untuk memberikan
kesempatan kepada penggugat dan tergugat mengajukan alat-alat
bukti.
5. Pembuktian (Pasal 100 UU No.5/1986)
1. 1. Surat
Surat terbagi atas :
1. Akta,adalah surat yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.
Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
1. Akta otentik
2. Akta dibawah tangan
2. Bukan akta
Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa
surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :
1. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh
atau dihadapan seorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan
berwenang membuat surat ini dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
2. Akta otentik ada dua macam, yaitu :
1. Akta yang dibuat oleh pejabat
(AmbtelijkAkten)
2. Akta yang dibuat dihadapan pejabat
(Partij Akten)
3. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat
dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk dapat
dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya
4. Surat-surat lain yang bukan akta.
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa
membantah keaslian alat bukti surat yang
diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat
melakukan pemeriksaan terhadap bantahan
itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. 
Apabila dalam pemeriksaan persidangan
ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada
pada badan atau pejabat TUN, maka hakim
dapat memerintahkan badan atau pejabat
TUN tersebut untuk segera menyediakan alat
bukti tersebut. Masing-masing alat bukti yang
berupa surat atau tulisan itu mempunyai
bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri
dan hakim yang akan menentukan bobot atau
nilai pembuktian tersebut.

Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya.
Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya
apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini,
hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai
bahan perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka
tindasan, foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti
yang asli.
1. 2. Keterangan ahli
Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang
hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah


pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat
menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan
baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji
menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103
UPTUN). 

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu


persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di
bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang
komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat
digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar
sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat
sebagai ahli.

1. 3 . Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau
keadaan tersebut.Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan
kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat
menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di
dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN
sebagai berikut :
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang
bersengketa
2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah
bercerai
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
4. Orang sakit ingatan.
Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak
pula mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan
salah satu pihak
2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya
diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim
dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum
melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu. Dan apabila seorang saksi
dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan
pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai
juru bahasa. 

Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut


agama dan kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah
pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia
wajib datang sendiri di persidangan. Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat
perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu
diantaranya, adalah :

1. Keterangan saksi 
1. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk
mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau
dialami sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama
melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu.
2. Keterangan ahli
1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk
mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu
peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai
dengan keahliannya.

1. 4. Pengakuan para pihak


“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu
perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau
sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”.Menurut pasal 105 UU
No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang
diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh
wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti
yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. 

Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu
benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar
persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar persidangan merupakan alat
bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti
tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti
permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak
menerimanya.

1. 5. Pengetahuan hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya. Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat
juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim
dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para
pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak
yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus
perkara.

1. 6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat 1 UU No.5/1986)


Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata
Usaha Negara sudah selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat
yang terakhir berupa kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan
mengenai sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan tergugat, yang
intinya adalah sebagai berikut:
1. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh
tergugat agar dinyatakan batal atau tidak sah.
2. Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan
adalah sah.

1. 7. Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)


Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua
Sidang menyatakan sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan
musyawarah untuk mengambil putusan (Pasal 97 ayat (2)). Putusan harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat (1)), artinya
siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan yang diucapkan. Sebagai
akibat dari putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang terbuka untuk
umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasai
108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.
Jika terdapat perbedaan antara putusan yang diucapkan dengan putusan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis, maka yang sah adalah putusan yang
diucapkan (Sudikno Mertokusumo, 1988: 168). Hal ini juga sesuai dengan Pasal
20 UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua putusan Pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.

Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat dapat


menentukan sikap sebagai berikut: 
1. Menerima putusan pengadilan;
2. Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, jika yang
menjatuhkan putusan adalah pengadilan tata usaha negara (pasal 122)
3. Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, jika yang
menjatuhkan putusan adalah pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai
pengadilan tingkat pertama (pasal 51 ayat (4)).
4. Pikir-pikir dalam tenggang waktu 14 hari setelah diberitahukan secara
sah putusan pengadilan, apakah menerima putusan pengadilan atau
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.
1. Pembacaan Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)
1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum;
2. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir
pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah
Hakim Ketua sidang salinan putusan ini disampaikan
dengansurattercatat kepada yang bersangkutan;
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) akibat putusan pengadilan tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
2. Materi Muatan Putusan (Pasal 109 UU No.5/1986)
1. Kepala Putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;
2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau
tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan
hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu
diperiksa;
5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama
panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak
hadirnya para pihak.

1. Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 UU No.5/1986)


1. Gugatan ditolak;
2. Gugatan dikabulkan;
3. Gugatan tidak diterima;
4. Gugatan gugur.
2. Amar tambahan dalam putusan peraturan Tun (Pasal 97 ayat 8 & 9 UU
No.5/1986)
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan TUN. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas
berupa:
1. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan;
2. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan
keputusan Tata Usaha Negara yang baru;
3. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
3. Cara Pengambilan Putusan (Pasal 97 ayat 3, 4, dan 5 UU No.5/1986)
1. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim
Ketua Majelis merupakan hasil Permufakatan Bulat, kecuali jika
setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
permufakatan bulat Putusan diambil dengan suara terbanyak;
2. Apabila Musyawarah Majelis Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda
sampai musyawarah majelis berikutnya;
3. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil
suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang
menentukan.
4. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa TUN
Jangka waktu penyelesaian sengketa TUN adalah maksimal 6 bulan (SEMA No.
03 Tahun 1998 Tertanggal 10 September 1998). Apabila penyelesaian lebih dari 
6 bulan Hakim/Majelis  Hakim melaporkan kepada Mahkamah Agung (MA)
disertai alasan-alasan.
5. Minutasi Putusan (Pasal 109 ayat 3 UU No.5/1986)
Putusan harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera/Panitera
Pengganti yang turut bersidang  selambat-lambatnya 30 hari sesudah Putusan
diucapkan.
6. Pelaksanaan Putusan (Pasal 116 UU No.51/2009)
1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengansurattercatat oleh panitera
pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambat – lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja;
2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata
usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum
lagi;
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar
pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan
tersebut;
4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan/atau sanksi administratif;
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada mediamassacetak setempat
oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3);
6. Di samping diumumkan pada mediamassacetak setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi
untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan
fungsi pengawasan;
7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan
tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi
administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai