Anda di halaman 1dari 19

Tahapan -Tahapan Penanganan Perkara Di Persidangan :

 Pembacaan GUGATAN (Pasal 74 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Pemeriksaan Sengketa Dimulai Dengan Membacakan isi Gugatan dan Surat yang Memuat Jawabannya Oleh
Hakim Ketua Sidang, dan Jika Tidak Ada Surat Jawaban, Pihak Tergugat Diberi Kesempatan Untuk Mengajukan
Jawabannya.

 Pembacaan JAWABAN (Pasal 74 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Pemeriksaan Sengketa Dimulai Dengan Membacakan isi Gugatan dan Surat yang Memuat Jawabannya Oleh
Hakim Ketua Sidang, dan Jika Tidak Ada Surat Jawaban, Pihak Tergugat Diberi Kesempatan Untuk Mengajukan
Jawabannya.

 R E P L I K (Pasal 75 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Penggugat Dapat Mengubah Alasan yang Mendasari Gugatan Hanya Sampai Dengan Replik, Asal Disertai
Alasan yang Cukup Serta Tidak Merugikan Kepentingan Tergugat, dan Hal Tersebut Harus Disaksikan Oeh
Hakim.

 D U P L I K (Pasal 75 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Tergugat Dapat Mengubah Alasan yang Mendasari Jawabannya Hanya Sampai Dengan Duplik, Asal Disertai
Alasan yang Cukup Serta Tidak Merugikan Kepentingan Penggugat dan Hal Tersebut Harus Dipertimbangkan
Dengan Seksama Oleh Hakim.

 PEMBUKTIAN (Pasal 100 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Yang Dapat Dijadikan Alat Bukti Dalam Persidangan Adalah Sebagai Berikut :

1. Surat atau Tulisan;


2. Keterangan Ahli;
3. Keterangan Saksi;
4. Pengakuan Para Pihak;
5. Pengetahuan Hakim.

 KESIMPULAN (Pasal 97 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Dalam Hal Pemeriksaan Sengketa Sudah Diselesaikan, Kedua Belah Pihak Diberi Kesempatan Untuk
Mengemukakan Pendapat yang Terakhir Berupa Kesimpulan Masing – Masing.

 P U T U S A N (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Pembacaan PUTUSAN (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)


(1) Putusan Pengadilan Harus Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum;

(2) Apabila Salah Satu Pihak atau Kedua Belah Pihak Tidak Hadir Pada Waktu Putusan Pengadilan Diucapkan,
Atas Perintah Hakim Ketua Sidang Salinan Putusan itu Disampaikan Dengan Surat Tercatat Kepada yang
Bersangkutan;
(3) Tidak Dipenuhinya Ketentuan Sebagaimana Dimaksud Dalam Ayat (1) Berakibat Putusan Pengadilan Tidak
Sah dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum.
Materi Muatan Putusan (Pasal 109 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

 Kepala Putusan Yang Berbunyi : ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA” ;
 Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat Kediaman, atau Tempat Kedudukan Para Pihak Yang
Bersengketa ;
 Ringkasan Gugatan dan Jawaban Tergugat Yang Jelas ;
 Pertimbangan dan Penilaian Setiap Bukti Yang Diajukan dan Hal Yang Terjadi Dalam Persidangan
Selama Sengketa Itu Diperiksa ;
 Alasan Hukum Yang Menjadi Dasar Putusan ;
 Amar Putusan Tentang Sengketa Dan Biaya Perkara ;
 Hari, Tanggal Putusan, Nama Hakim Yang Memutus, Nama Panitera, Serta Keterangan Tentang Hadir
atau Tidak Hadirnya Para Pihak.

Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)

 Gugatan Ditolak;
 Gugatan Dikabulkan;
 Gugatan Tidak Diterima;
 Gugatan Gugur.

A. Pengertian dan Sumber-sumber Hukum Acara Peradilan Tun.

Pengertian Hukum Acara PTUN


Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur tata cara orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk melaksanakan dan
mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara. Secara singkat, hukum peradilan tata
usaha negara merupakan hukum yang mengatur tentang tatacara bersengketa di Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau mengadili atau memutus
sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau badan perdata dengan pejabat atau badan
tata usaha negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Yang dimaksud “rakyat pencari
keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing dan badan hukum
perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha Negara.

Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara


Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga
negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan pemerintah yang
dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
adalah:

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama
dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum angka ke-1 UU no. 5 Th 1986 tetang
Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya digunakan istilah UU PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari
Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul
antara pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan hukum perdata)
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara).

Sumber-sumber Hukum Acara PTUN


Sumber Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain :

1. Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;


2. Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan dari Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah menjadi Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004);
3. Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan dari Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.);
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No 14
Tahun 1985, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung);
5. Yurisprudensi;
6. Praktek Administrasi Negara sebagai hukum kebiasaan;
7. Doktrin atau pendapat para ahli hukum.
B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Kasus Peradilan tata usaha negara
(dalam Ruang Lingkup Acara PTUN).
Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan TUN,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha negara subyek hukumnya terdiri
dari :

1. Pihak Penggugat

Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setiap
subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat
maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun
1986).Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata
berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan
hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.Jadi, orang atau badan hukum
perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung (pemangku) hak-hak dan kewajiban, sehingga atas
dasar itu mempunyai legal standing untuk mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu
Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan gugatannya sepanjang
dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat
TUN dapat menjadi Penggugat bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam
mempermasalahkan prosedur penerbitan Keputusan TUNyang ditujukan kepada instansi Pemerintah
yang bersangkutan.Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan Surat
Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan
TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap
pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya.

2. Pihak Tergugat

Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata
(Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ).Yang dimaksud dengan “urusan
pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di
luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan
legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian “urusan pemerintah“.

Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang


bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.Apa yang
dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini
menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut
“berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan
urusan pemerintahan”. Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk
memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan
pemerintahan.

Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah pengertian Badan atau Pejabat TUN menjadi tidak
terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan eksekutif yang dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk
menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap
Keputusan TUN yang dikeluarkannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan obyek sengketa di
Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak
Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:

1. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif;
2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan;
3. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan;
4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
3. Pihak Ketiga yang berkepentingan
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak
lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan
permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara,
dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan
salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83);
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu
pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan
perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang
mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1).

4. Pemberian Kuasa

Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang kuasa atau beberapa
orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian
surat kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat
kuasa khusus.

Dengan pemberian surat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan
pemberian kuasa yang dilakukan di persidangan bisa dilakukan secara lisan. Pemberian kuasa bisa
dilakukan oleh pihak tergugat ataupun penggugat. (Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak
menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN.

5. Hakim
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata dilakukan dengan hakim
majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang
lagi bertindak selaku hakim anggota. Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh
prosedur pemeriksaan dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara TUN hal ini dapat
dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1).

C. OBYEK PTUN (Keputusan TUN)


Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada isinya,
yang berisi kejelasan tentang:

1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;


2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria
diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Penjelasan obyek Ptun (keputusan) sebagai berikut :

1. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis
pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang
urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat
TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha
negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi
yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga
apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu
pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi
demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.

Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat
bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa
dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan
pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan
legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai
Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peradilan tun.

2. Berisi tindakan Hukum TUN

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari
keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan
hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau
menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan
kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu
harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum
TUN.

3. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan

yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh
Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta
semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat
daerah yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986). Jadi dalam mengeluarkan keputusan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4. Bersifat konkret

diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau
dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin
Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat
Brigadir Rikosebagai Anggota Polri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat
dengan kasat mata.

5. Bersifat individual

diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi kepada pihak
tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap
individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut.

6. Bersifat final

diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari
instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.

7. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang
telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan
hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan
karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis
harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada.

Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :

1. Syarat Materiil :
1. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
2. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan
pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini
ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut ;
4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
2. Syarat Formil :
1. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan
yang berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan, harus dipenuhi ;
2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
3. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan dilakukannya keputusan, harus
dipenuhi ;
4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya
keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati.

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;


2. Keputusan tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Dengan demikian, maka keputusan-keputusan tersebut diatas tidak dapat dijadikan obyek sengketa yang
menjadi kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan, oleh karena ada
beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini (Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomo
9 Tahun 2004).

D. Asas-Asas dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa Asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, dikarenakan
merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum
itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan
lahirnya peraturan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo menambahakan bahwa dengan adanya asas hukum,
hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu
mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.

Asas hukum yang terdapat di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
negara adalah:

1. Asas praduga rechtmatig. Asas ini menyatakan setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap
rechtmatig atau tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang disengketakan dan
harus dijalankan dalam hal keputusan yang sudah dibuat sampai ada pembatalan oleh pengadilan
berwenang.Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat (pasal 67 ayat (1) (4) UU PTUN).
2. Asas para pihak harus didengar. Maksudnya para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus
diperlakukan dan di perhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti,
keterangan atau penjelasan salah satu pihak saja. (audi et alteram partem).
3. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur
tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk
mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
4. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maksudnya sederhana dalam
hukum acara, waktu yang relatif cepat dalam waktu dan murah dalam biaya ringan.
5. Asas hakim aktif (dominus litis) maksudnya ada rapat permusyawarahan untuk menentukan gugatan
dapat diterima atau tidak yg disertai pertimbangan-pertimbangan, pemeriksaan persiapan untuk
memeriksa kejelasan gugatan, hakim dapat memeritahkan tergugat memberikan info-info yang
dibutuhkan penggugat.
Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat
permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk
mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya
(Pasal 63 UU PTUN).
Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna
memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas.
Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data
yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat
itu untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
6. Asas sidang terbuka untuk umum. Maksudnya asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbukan
untuk umum. (pasal 70 UU PTUN).
7. Asas peradilan berjenjang. Maksudnya Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan
puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya Asas ini, maka kesalahan dalam putusan
yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi ke
MA. Sedangkan keputusan yang mempunyai kekuatan Hukum tetap dapat diajukan upaya permohonan
peninjauan kembali kepada MA.
8. Asas Obyektifitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga
atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat
hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan
sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan
langsung atau tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
9. Asas Pembuktian Bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan
ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 UU 5/1986, kemudian dibatasi dengan ketentuan
pada pasal 100 uu no 5/1986.
10. Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat ( erga omnes ) , Sengkata TUN
adalah sengketa diranah hukum public, yang tentu akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan mengikat tidak hanya para pihak yang
bersengketa namun berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja.
11. Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan
pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara sedapat mungkin terlebih dahulu
diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif.
Penyelesaian melalui upaya administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih menunjukkan
penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian
melalui PTUN dilakukan.

E. Perbedaan antara Hukum Acara Tun dan Hukum Acara Perdata

NO TINJAUAN DARI SISI HUKUM ACARA PERDATA HUKUM ACARA PTUN

1 Objek gugatan hukum acara perdata adalah perbuatan Obyek gugatan atau pangkal sengketa
melawan hukum dan wanprestasi TUN adalah KTUN yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat TUN yang
mengandung perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh penguasa

2 Kedudukan para para pihak sesama individu, sesama Dalam TUN menempatkan seseorang
Pihak badan hukum perdata, atau antara atau badan hukum perdata sebagai
individu dengan suatu badan hukum pihak penggugat dan badan atau
perdata pejabat TUN sebagai pihak tergugat

3 Gugat Rekonvensi Dalam hukum acara perdatadikenal Di dalam hukum acara PTUN tidak
dengan istilah gugat rekonvensi (gugat mungkin dikenal adanya gugat
balik) yaitu gugatan yang diajukan oleh rekonvensi, karena dalam gugat
tergugat terhadap penggugat dalam rekonvensi berarti kedudukan para
sengketa yang sedang berjalan antara pihak semula menjadi balik.
mereka Kedudukan para pihak dalam hukum
acara PTUN tidak berubah-ubah.
Penggugat tetap merupakan individu
atau badan hukum perdata, sedangkan
tergugat tetap merupakan badan atau
pejabat TUN. Dan yang menjadi obyek
gugatan dalam hukum acara PTUN juga
tidak berubah,tetap KTUN, tidak boleh
yang lain

4 Tenggang waktu tenggang waktu mengajukan gugatan, Dalam hukum acara TUN pengajuan
pengajuan gugatan yang mengakibatkan gugatan gugatan dapat di lakukan hanya dalam
daluwarsa tidak begitu tegas dibanding tenggang waktu 90 (Sembilan puluh)
dengan hukum acara PTUN. hari, yang dihitung sejak saat
Dalam hukum acara perdata, memang diterimanya atau diumumkannya
dapat saja terjadi gugatan dianggap keputusan TUN. Apabila gugatan
daluwarsa, tetapi daluwarsa gugatan tersebut diajukan setelah lewat 90
itu dikarenakan kelalaian penggugat. hari, maka pengadilan tidak akan
Dalam acara perdata relative lebih menerima gugatan
lama dan setiap masalah berbeda
tenggang waktunya

5 Tuntutan dalam Dalam hukum acara perdatatuntutan hanya dikenal satu macam tuntutan
gugatan pokok selalu disertai tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN
pengganti yang di gugat itu dinyatakan batal atau
tidak sah atau tuntutan KTUN yang
dimohonkan oleh penggugat
dikeluarkan oleh tergugat. Sedangkan
tuntutan tambahan yang diperbolehkan
hanya berupa ganti kerugian atau
rehabilitasi

6 Rapat prosedur ini tidak dikenal dalamhukum Prosedur ini pada dasarnya
permusyawaratan acara perdata memberikan wewenang kepada kepala
ketua pengadilan sebelum pokok
sengketanya diperiksa memutuskan
dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-
pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan oleh penggugat tidak diterima
atau tidak berdasar

7 Pemeriksaan tidak dikenal dalam hukum acara Hukum PTUN mengenal pemeriksaan
persiapan perdata persiapan. Pemeriksaan persiapan juga
dilakukan oleh hakim sebelum
pemerisaan pokok sengketa dimulai
8 Putusan verstek Putusan verstek di kenal dalmhukum di dalam hukum acara PTUN tidak
acara perdata dan boleh dijatuhkan dikenal dengan putusan verstek,
pada hari sidang pertama, apabila karena badan atau pejabat TUN yang
tergugat tidak datang setelah dipanggil digugat itu tidak mungkin tidak
dengan patut diketahui kedudukannya

9 Pemeriksaan acara tidak acara PTUN dikenal dengan


cepat dikenal dalam hukum acara perdata pemeriksaan acara cepat apabila
terdapat kepentingan penggugat yang
cukup mendesak

10 Sistem hukum Dalam hukum acara perdatadilakukan Dalam hukum acara PTUN dilakukan
pembuktian dalam rangka memperoleh kebenaran dalam rangka memperoleh kebenaran
formal materiil

11 Sifat Erga Omnesnya Hukum acara perdataputusannya hukum acara PTUN, putusan
putusan pengadilan berlaku bagi pihak yang berpekara saja pengadilan yang telah berkukuatan
yang terkait dalam perkara tersebut hukum tetap mengandung sifat erga
omne, artinya berlaku untuk siapa saja
dan tidak hanya terbatas berlakunya
bagi pihak-pihak yang berperkara

12 Hakim Ad Hoc Hakim Ad Hoc tidak dikenal Hakim Ad Hoc diatur dalam pasal 135
dalam hukum acara perdata UU PTUN. Apabila memerlukan
keahlian khusus, maka ketua
pengadilan dapat menunjuk seseorang
hakim ad Hoc sebagai anggota majelis

F. Kompetensi dalam Acara Ptun

Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan
untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah
kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,materi atau pokok sengketa.

1. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa
apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah
hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun
1986 tentang peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No 51
Tahun 2009 menyatakan :

1. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah


hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota;
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi. Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru
terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu
PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi
beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa
provinsi, seperti PTUN Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota
Jakarta Raya sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau
Kalimantan, Jawa Barat dan DKI.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para
pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54 UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:
1. Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat;
2. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang
daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya
diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan;
4. Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat;
5. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di Jakarta;
6. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

2. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu
perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang diterbitkan
oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun
penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun
2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menyebutkan : ” Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No.
51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan
hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit,
individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan
TUN meliputi :

1. Penetapan tertulis dan dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;


2. Berisi tindakan hukum TUN dan Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Bersifat Konkrit,Individual dam Final dan juga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.

Ketiga persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan
TUN, keputusan TUN harus memenuhi ketiga persyaratan tersebut.
Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pasal 3 UU
Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan
kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Dalam praktek keputusan-keputusan badan/Pejabat
TUN yang berpontesi menimbulkan sengketa TUN, yaitu antara lain :

1. Keputusan tentang perizinan dan Keputusan tentang kepegawaian;


2. Keputusan tentang status hukum, Hak dan Kewajiban.

G. Alur atau Proses persidangan dalam Acara Ptun


”PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA”

1. Upaya Administratif

Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, menentukan bahwa:

1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif
sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.

Dari uraian pasal tersebut maka dapat dipahami bahwa ada dua pilihan yang dapat dilakukan
apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Pihak Penggugat wajib atau harus menempuh upaya administratif terlebih dahulu
jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang
disengketakan tersebut diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara.
2. Pihak Penggugat dapat langsung menempuh upaya peradilan jika Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut
tidak diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
2. Proses berpekara di Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai berikut :
1. 1. Pemeriksaan Pendahuluan
1. 1. Pemeriksaan administrasi di Kepaniteraan

Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap pertama


untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor
register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan
membayar uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak
menentukan secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi terhadap
gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di Pengadilan,
akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No.
9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, “Syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diberitahukan dan diperingatkan”Dalam Surat Edaran MA No.2/1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur
mengenai Penelitian Administrasi :

1. Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian administrasi adalah


Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara sesuai pembagian tugas
yang diberikan.
2. Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera dibubuhi stempel
dan tanggal pada sudut kiri atas halaman pertama yang menunjuk
mengenai :
1. Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan.
2. Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan pendaftaran nomor
perkaranya setelah membayar panjar biaya perkara.
3. Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada).
4. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel, karena hal tersebut
tidak disyaratkan oleh UU.
5. Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan antara perkara tingkat
banding dan perkara yang diajukan ke PTTUN sebagai instansi tingkat
pertama (vide Pasal 51 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986).
6. Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN harus ditulis secara
lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotanya
berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan … No… di
Sidoarjo Kode Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan
yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960, Keppres No. 52 tahun
1990.
7. a. Identitas Penggugat harus dicantumkan secara lengkap dalam surat
gugatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 56 UU No. 5 Tahun1986.
b. Untuk memudahkan penanganan kasus-kasus dan demi keseragaman
model surat gugatan harus disebutkan terlebih dahulu nama dari pihak
Penggugat pribadi (in person) dan baru disebutkan nama kuasa yang
mendampingi, sehingga dalam register perkara akan tampak jelas siapa
pihak-pihak yang berperkara senyatanya.
c. Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal tentang bentuk
dan isi gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak menyangkut segi materiil gugatan.
Namun dalam tahap ini Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk
seperlunya dan dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yang
dianggap perlu. Sekalipun demikian, Panitera tidak berhak menolak
pendaftaran perkara tersebut dengan dalih apapun juga yang berkaitan
dengan materi gugatan.
8. Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding dimasukkan dalam
register setelah yang bersangkutan membayar uang muka atau panjar biaya
perkara yang ditaksir oleh panitera sesuai Pasal 59 sekurang-kurangnya
sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Dalam perkara yang
diajukan melalui pos, panitera harus memberi tahu tentang pembayaran
uang muka kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 (enam)
bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhi dan kemudian diterima di
Kepaniteraan Pengadilan, terhitung sejak dikirimkannya surat
pemberitahuan tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima di
Kepaniteraan, maka perkara Penggugat tidak akan didaftar. Walaupun
gugatan yang dikirim melalui pos selama masih belum dipenuhi pembayaran
uang muka biaya perkara dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi kalau
sudah jelas merupakan surat gugatan, maka harus tetap disimpan di
Kepaniteraan Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Bantu
Register dengan mendasar pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, agar
dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak
terlampaui.
9. Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN dimana ia akan
mendaftarkan gugatannya, maka tentang pembayaran uang muka biaya
perkara dapat ditempuh dengan cara.
10. Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN mana gugatan
diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Ongkos kirim ditanggung
penggugat di luar panjar biaya perkara.
11. Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN dimana ia
mendaftarkan gugatannya.
12. a. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk Surat Kuasa
Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa Khusus yang diberi cap
jempol haruslah dikuatkan (waarmerking) oleh pejabat yang berwenang.
b. Surat Kuasa Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir.
c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi
dimungkinkan pula adanya kuasa insidentil.
d. Surat kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan PTUN.
2. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah suatu perkara
didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor perkara, oleh staf kepaniteraan
dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada Ketua Pengadilan,
dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut :
3. Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh Kuasa.
4. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek gugatan tersebut termasuk dalam
pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986.
5. Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut memenuhi unsur
Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986. (Setelah keluarnya UU No. 9 Tahun
2004 alasan gugatan mendasarkan pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU No. 9 Tahn 2004).
6. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan Keputusan TUN saja,
ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, Panitera atau staf Kepaniteraan dapat memberikan catatan
atas gugatan tersebut, untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur
Dismissal.

1. 2. Dismissal Prosedur oleh Ketua PTUN (Pasal 62 UU No.5/1986)

Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa prosses untuk meneliti
apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal,
dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang
hakim sebagai reporteur (raportir). Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil
dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang
perlu.Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak
berdasar, dalam hal :

1. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;


2. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat
sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
3. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
4. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang
digugat;
5. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan
dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut. Hal ini dalam praktek tidak pernah dilakukan karena
adanya perbaikan gugatan dalam pemeriksaan persiapan.Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan
panitera/wakil panitera (wakil ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua
berhalangan).

Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat tidak diterima atau tidak
berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan terlebih dahulu
memanggil kedua belah pihak untuk didengar keterangannya.Berdasarkan Surat MA.RI No.222/Td.TUN/X/1993
tanggal 14 Oktober 1993 Perihal:Juklak bahwa agar ketua pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal
62 tersebut kecuali mengenai Pasal 62 ayat 1 huruf :

1. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan. Pengertian “pokok
gugatan” ialah fakta yang dijadikan dasar gugatan atas dasar fakta tersebut penggugat mendalilkan
adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya. (Penjelasan
Pasal 62 ayat 1 huruf a UU No5 Tahun 1986).
2. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.Terhadap penetapan dismissal dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
diucapkan. Proses perlawanan dilakukan secara singkat, serta setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan
maupun Tergugat/Terlawan didengar dalam persidangan tersebut.Berdasarkan Surat MARI No.
224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak, diatur mengenai Prosedur perlawanan -
Pemeriksaan terhadap perlawanan atas penetapan dismissal (Pasal 62 ayat 3 sd. 6 UU No.5/1986)
tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli,
dsb.

Sedangkan penetapan dismissal harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum:

1. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi pengucapan putusannya
harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2. Terhadap perlawanan yang dinyatakan benar maka dimulailah pemeriksaan terhadap pokok
perkaranya mulai dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.
3. Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa gugatan
perlawanan tersebut tetapi dengan penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak dengan secara otomatis.
Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka penetapan dismissal itu gugur demi
hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap
putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. Baik upaya hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa. Apabila pihak Pelawan mengajukan permohonan banding atau upaya
hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat akte penolakan banding atau upaya hukum
lainnya.

1. 3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No.5/1986).

Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk
mematangkan perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan tersebut
diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis.

Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatan
dan atau tergugat untuk dimintai keterangan/ penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak
selalu harus didengar secara terpisah. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam
sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan di dalam
kamar kerja hakim tanpa toga.

Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua majelis
sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis. Maksud Pasal 63 ayat (2) b tidak
terbatas hanya kepada Badan/Pejabat TUN yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang
bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu. Dalam pemeriksaan
persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986 dan Surat Edaran (SEMA No. 2
Tahun1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat
MARI No. 223/Td.TUN/ X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224
/Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak). Majelis Hakim berwenang untuk :

1. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi
dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.
2. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, demi
lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi
dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau
data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa penggugat dan Badan
atau Pejabat TUN kedudukannya tidak sama. Dapat pula melakukan acara mendengarkan
keterangan-keterangan dari Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja
yang dipandang perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu oleh
hakim.

 Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan penggugat.
Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada
gugatan yang ia ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang bersangkutan tentu
tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim
dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan
TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin” tersebut ditampung semua kemungkinan,
termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
 Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Dalam
hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus
dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
 Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan TUN” apabila ternyata tidak
diperlukan. •
 Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat. Majelis Hakim dalam
melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota
yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk
penetapan.Kalau gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah sempurna maka tidak perlu diadakan
perbaikan gugatan. •

Majelis Hakim juga harus menyarankan kepada penggugat untuk memperbaiki petitum gugatan yang sesuai
dengan maksud ketentuan Pasal 53 tentang petitum gugatan dan dalam Pasal 97 ayat 7 tentang putusan
pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi amar putusan adalah sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan penggugat.


2. Menyatakan batal keputusan TUN yang disengketakan yang dikeluarkan oleh nama intansi atau nama
Badan/Pejabat TUN tanggal… Nomor….perihal….atau menyatakan tidak sah keputusan TUN yang
disengketakan yang dikeluarkan oleh nama instansi atau nama Badan/Pejabat TUN, tanggal
….nomor…perihal…).
Selanjutnya diikuti amar berupa mewajibkan atau memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN
yang disengketakan. Untuk itu didalam praktek masih adanya putusan yang sifatnya deklaratoir(Menyatakan
batal atau tidak sah saja) , tidak diikuti amar selanjutnya berupa :

Mewajibkan atau Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN yang disengketakan. Tenggang
waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase pemeriksaan persiapan, janganlah diterapkan secara ketat
sesuai bunyi penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari tersebut tidak bersifat
memaksa maka hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa gugatan
penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru satu kali diberi kesempatan untuk memperbaiki
gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986).

Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan persiapan. Setelah ditunjuk Hakim
tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk persidangan.

1. 2. Pemeriksaan Persidangan (Pokok Perkara)


1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)

Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugatPasal 74
ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan
dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat
jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam
prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat
tergugat sudah mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan dari
tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya diserahkan salinannya kepada
penggugat.

2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)

Jawaban yang diajukan oleh Tergugat dapat berupa alternatif, sebagai berikut:

1. Eksepsi saja, yang dapat berupa:


1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan (Pasal 77 ayat (1)). Eksepsi
ini sebenarnya dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan dan
meskipun tidak ada eksepsi tersebut, apabila hakim mengetahui karena
jabatannya, wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan;
2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77 ayat (2)). Eksepsi
ini diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi
tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
2. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan (Pasal 77 ayat (3)).
Eksepsi ini hanya dapat diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.
1. Jawaban pokok sengketa dan eksepsi, atau
2. Jawaban pokok sengketa saja.
3. Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)

Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap


jawaban yang telah diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik,
atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat
mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta
tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh penggugat kepada
Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada
tergugat.

4. Duplik (Pasal 75 ayat 2 UUNo.5/1986)

Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap replik


yang telah diajukan oleh penggugat. Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik
tergugat juga diberikan kesempatan untuk mengubah alasan yang mendasari
jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan
penggugat (Pasal 75 ayat (2)).
Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh
Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada penggugat. Setelah tergugat mengajukan
duplik, kemudian Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang untuk memberikan
kesempatan kepada penggugat dan tergugat mengajukan alat-alat bukti.

5. Pembuktian (Pasal 100 UU No.5/1986)


1. 1. Surat

Surat terbagi atas :

1. Akta,adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat


peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
1. Akta otentik
2. Akta dibawah tangan
2. Bukan akta

Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai


alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :

1. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan


seorang pejabat umum, yang menurut peraturan
perundang-undangan berwenang membuat surat ini
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
2. Akta otentik ada dua macam, yaitu :
1. Akta yang dibuat oleh pejabat (AmbtelijkAkten)
2. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij
Akten)
3. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda
tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan
maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya
4. Surat-surat lain yang bukan akta.
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah
keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan,
maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap
bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya.
Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat
bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN,
maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat
TUN tersebut untuk segera menyediakan alat bukti
tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa surat
atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian
sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot
atau nilai pembuktian tersebut.

Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, foto copy, dan
salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai
dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan
aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan,
foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.

1. 2. Keterangan ahli

Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah pendapat orang yang
diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu
pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang
ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah
atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN).

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang
tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli
di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru
taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai
saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.

1. 3 . Keterangan saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai
bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk
memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi
saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai
saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :

1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
4. Orang sakit ingatan.
Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan
diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang
yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih
dahulu. Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan
pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa.

Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan
kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut
tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan. Sehubungan dengan uraian
di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya,
adalah :

1. Keterangan saksi
1. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan
tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar
dan menyaksikan peritiwa itu.
2. Keterangan ahli
1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan
berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.

1. 4. Pengakuan para pihak

“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia
mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh
pihak lawan”.Menurut pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali,
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di
depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara
khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan
pengakuan itu.

Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun
belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar persidangan
merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau
bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim
untuk menerima atau tidak menerimanya.

1. 5. Pengetahuan hakim

Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada
pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan
disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para
pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar
persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.

1. 6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat 1 UU No.5/1986)

Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara sudah
selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan
tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut:

1. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat agar
dinyatakan batal atau tidak sah.
2. Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah.

1. 7. Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)

Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan
sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil putusan (Pasal
97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat (1)),
artinya siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan yang diucapkan. Sebagai akibat dari
putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam
bentuk tertulis.

Jika terdapat perbedaan antara putusan yang diucapkan dengan putusan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis, maka yang sah adalah putusan yang diucapkan (Sudikno Mertokusumo, 1988: 168). Hal
ini juga sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua putusan
Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.

Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat dapat menentukan sikap sebagai
berikut:

1. Menerima putusan pengadilan;


2. Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, jika yang menjatuhkan putusan
adalah pengadilan tata usaha negara (pasal 122)
3. Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, jika yang menjatuhkan putusan
adalah pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat pertama (pasal 51
ayat (4)).
4. Pikir-pikir dalam tenggang waktu 14 hari setelah diberitahukan secara sah putusan
pengadilan, apakah menerima putusan pengadilan atau mengajukan permohonan
pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.
1. Pembacaan Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)
1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
2. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu
putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua sidang salinan
putusan ini disampaikan dengansurattercatat kepada yang bersangkutan;
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akibat
putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Materi Muatan Putusan (Pasal 109 UU No.5/1986)
1. Kepala Putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA;
2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa;
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

1. Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 UU No.5/1986)


1. Gugatan ditolak;
2. Gugatan dikabulkan;
3. Gugatan tidak diterima;
4. Gugatan gugur.
2. Amar tambahan dalam putusan peraturan Tun (Pasal 97 ayat 8 & 9 UU No.5/1986)
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban
yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN. Kewajiban
sebagaimana dimaksud di atas berupa:
1. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan;
2. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan Tata Usaha
Negara yang baru;
3. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
3. Cara Pengambilan Putusan (Pasal 97 ayat 3, 4, dan 5 UU No.5/1986)
1. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil Permufakatan Bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat Putusan diambil dengan
suara terbanyak;
2. Apabila Musyawarah Majelis Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis
berikutnya;
3. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak,
maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
4. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa TUN
Jangka waktu penyelesaian sengketa TUN adalah maksimal 6 bulan (SEMA No. 03 Tahun 1998
Tertanggal 10 September 1998). Apabila penyelesaian lebih dari 6 bulan Hakim/Majelis Hakim
melaporkan kepada Mahkamah Agung (MA) disertai alasan-alasan.
5. Minutasi Putusan (Pasal 109 ayat 3 UU No.5/1986)
Putusan harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera/Panitera Pengganti yang turut
bersidang selambat-lambatnya 30 hari sesudah Putusan diucapkan.
6. Pelaksanaan Putusan (Pasal 116 UU No.51/2009)
1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengansurattercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah
ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat – lambatnya dalam
waktu 14 (empat belas) hari kerja;
2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif;
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diumumkan pada mediamassacetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
6. Di samping diumumkan pada mediamassacetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan
putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan;
7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan
perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai