Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENGAMPUAN (CURATELE)
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata

Disusun Oleh:
AHMAD SAHRONI
NIM : A.131.16.0167

UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2017
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jika kita berbicara masalah sejarah maka tidak terlepas dari pembahasan masyarakat
serta interaksi di dalamnya. Masyarakat sebagai salah-satu obyek sejarah tentulah
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Masyarakat menurut ilmu sosiologi
sebagaimana yang dijelaskan oleh Mujenah, S.H. dalam sebuah diskusi kelas terdiri
dari kumpulan manusia yang membentuk satu-kesatuan karena adanya kepentingan dan
tujuan yang sama kemudian berinteraksi satu sama lain.

Karena manusia itu banyak maka bermacam-macam interaksi dilakukan. Karena


bermacam-macam interaksi maka memungkinkan terjadinya bentrok interaksi atau
kepentingan. Oleh karena itu manusia tentunya memerlukan suatu aturan agar interaksi
itu berjalan lancar dan terhindar dari bentrok kepentingan. Seperangkat aturan yang
dibutuhkan manusia untuk menjaga agar tidak terjadi bentrok kepentingan itu sering
kali kita sebut norma atau tatatertib atau lebih popular lagi dalam kajian ilmu
pengetahuan yang lebih kompleks disebut hukum. Manusia sangat membutuhkan
hukum untuk mengatur kehidupannya.

Menurut aliran sosiologi yang dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich, dan Max
Weber, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah
gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan
lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkambangan hukum
merupakan cermin dari perkembangan masyarakat.[1]

Salah satu bentuk interaksi manusia adalah perkawinan kemudian dari perkawinan akan
membentuk keluarga dan dari keluarga terbentuklah masyarakat. Karena hukum
merupakan gejala masyarakat sebagaimana dijelaskan oleh aliran sosiologi maka dari
perkawinan timbullah hukum yang disebut hukum perkawinan, karena dari perkawinan
ini terbentuk keluarga maka dalam hal yang lebih luas terciptalah hukum keluarga yang
mengatur hubungan hukum yang terjadi dalam lingkup keluarga. Seperti yang
digambarkan oleh Prof Subekti (menggunakan istilah ‘Hukum Kekeluargaan’) adalah
hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan.[2] Dengan singkat Prof Khoiruddin Nasution mengatakan di dalam
bukunya, Hukum Keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar anggota
keluarga. Maksud keluarga dari pengertian ini terbatas pada keluarga pokok (nuclear
family), yaitu: bapak, ibu, dan anak/anak-anak, baik ketika masih dalam satu rumah
tangga maupun setelah terjadi perpisahan, entah karena meninggal ataupun
perceraian.[3]

B. PEMBAHASAN

1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia

Waktu terus berjalan dan zaman terus berkembang, kotraksi didalam masyarakat
semakin berkembang dan semakin kompleks, begitu juga hukum keluarga, seiring
perkembangan masyarakat hukum keluarga juga berkembang. Karena waktu yang
begitu lama dan kontraksi masyarakat terus berkembang sehingga hukum keluarga
menjadi banyak dan semakin kompleks juga akibat penyesuaian terhadap
perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, maka terciptalah banyak hukum
keluarga. Dalam hal ini dibahas sebatas mengenai sejarah hukum keluarga di Indonesia.

Didalam sejarah, Berdasarkan kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), hukum


keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum keluarga prakemerdekaan dan
hukum keluarga pascakemerdekaan. Hukum keluarga prakemerdekaan dibagi dua yaitu
hukum keluarga prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan
(kolonial). Dan hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum
keluarga awal kemerdekaan, hukum keluarga sesudah tahun 1950, dan terbentuknya
undang-undang perkawinan baru, [4] dalam redaksi yang berbeda Prof. Khoiruddin
Nasution membagi dengan sebutan Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.[5]
Sehingga secara keseluruhan dibagi dalam lima bagian, berikut uraiannya:

a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial


Hukum Keluarga Prakolonial juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan.
Sebagaimana Ali Sodiqin membagi periode perkembangan Hukum Islam Indonesia
dengan menyebutkan Masa Kerajaan Islam (Abad XII-XVII M).[6]

Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya
masyarkat. Hukum tidak bisa terlepas dari budaya masyarakat dan agama. Seperti yang
dijelaskan dalam beberapa literatur, jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa,
masyarakat Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti hukum adat dan
Hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya, telah dikenal oleh
masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam datang. Setelah Islam datang terjadi
akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Sebuah proses yang wajib ketika
datangnya kebudayaan baru. Setelah Islam datang, kemudian terjadi adaptasi serta
adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya
ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan
budaya baru (perpaduan antara tradisi lokal dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan
di beberapa daerah seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan
ungkapan yang terkenal “hukum adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan
kitabullah (Al-Qur’an).[7]

Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan Hukum Islam sebelum datangnya penjajah
hingga datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala
itu, seperti lembaga tahkim, kemudian ahlu al–hall wa al–aqd dalam bentuk Peradilan
Adat, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan
Serambi atau juga Peradilan Masjid dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam
kemudian menjadi Peradilan Agama hingga sekarang. Seperti pada Kerajaan Mataram
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X menulis secara singkat, bahwa Peradilan
Serambi (disingkat PS) telah ada sejak zaman Sultan Agung. Struktur Organisasi PS
diketuai oleh Hakim dan dibantu empat orang ulama, yang dinamakan Pathok Nagari.
Selain PS ada juga Peradilan Perdata yang disebut Nawala Pradata Dalam. Bukti lebih
lanjut seperti adanya Statuta Batavia 1642 kemudian dipergunakannya kitab Muharrar
dan Pepakem Cirebon[8] serta peraturan-peraturan lain didaerah lain.

Hal diatas telah menunjukkan pengaruh kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum
perdata, terutama dalam bidang hukum perkawinan[9] atau kekeluargaan.
b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial

Zaman kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke Indonesia,


mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang.

Masuknya bangsa Eropa berawal dari kedatangan kompi pedagang Portugis ke


Indonesia dengan tujuan memperoleh rempah-rempah untuk di jual di perdagangan
internasional. Masuknya Portugis diikuti oleh kompi-kompi pedagang Belanda dan
seterusnya. Masuknya kompi-kompi pedagang ini sangat menentukan nasib Bangsa
Indonesia dalam perkembangan selanjutnya. Berawal dari masuknya Portugis dan
Belanda sangat mempengarugi konstruksi sosial yang ada, hal ini tidak serta merta
diterima oleh penduduk masyarakat setempat buktinya dapat terlihat dari penolakan
yang berujung menjadi perlawanan dari penduduk asli. Lambat laun para penjajah
(dalam hal ini adalah Belanda) berhasil menduduki Indonesia dan membuat penduduk
asli tak berdaya. Awal kedatangan Belanda ke Indonesia hingga terbentuknya VOC
tidak terlalu mempengaruhi kondisi hukum yang ada. Namun perubahan terjadi ketika
daerah jajahan diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Terjadi rekonstruksi bidang
hukum yang serius. Semula Hukum Islam diterima dan dijadikan dasar hukum secara
keseluruhan (receptio in complexu) namun situasi terbalik ketika diambil alih oleh
Pemerintah Belanda menjadi berlaku sebagian (hanya yang diresepsi oleh hukum adat
atau teori receptio). Kondisi ini memberikan keperihatinan bagi Hukum Islam dan
penerapannya. Dalam perkembangan selanjutnya Pemerintah Belanda menerapkan
hukum yang baru bagi negeri jajahan yaitu diterapkannya hukum Barat (termanifestasi
dalam BW Hinda-Belanda).

Belanda sebagai penjajah terlama memberikan pengaruh yang cukup besar bagi sistem
kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum,[10] karena secara filosofis dinyatakan
bahwa perubahan social menghendaki hukum juga berubah sesuai tuntutan perubahan
social[11] yang terjadi. Dalam pemaparan yang lebih dalam dapat diungkap melalui
pertikaian antara dua teori tentang keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, yaitu teori
receptio in complexu dan teori receptio. Teori receptio in complexu ini ditandai dari
sikap minus (tiada intervensi) penjajah terhadap Hukum Islam, teori ini dikemukakan
oleh Lodewejik Willem Christian van den Berg (1845-1927). Melalui kantor dagang
Belanda (VOC), dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi
pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi
orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang
merupakan legislasi Hukum Islam pertama di Indonesia.[12]

Sebagai tambahan, pada masa penjajahan Belanda, perkawinan diatur dalam beberapa
peraturan menurut golongannya. Pertama, bagi orang-orang Eropa berlaku Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Kedua, bagi orang-orang
Tionghoa, secara umum juga berlaku Burgelijk Wetboek dengan sedikit pengecualian,
yakni hal-hal yang berhubungan dengan pencatatan jiwa dan acara sebelum
perkawinan. Ketiga bagi golongan Arab dan Timur Asing yang bukan Tionghoa
berlaku hukum adat mereka. Keempat, bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat
mereka, ditambah untuk orang Kristen berlaku Undang-undang Perkawinan Kristen
Jawa dan Ambon (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java, Minahasa an
Amboina (HOCI)) berdasarkan stbl. No. 74 Tahun 1993. Kelima, bagi orang yang tidak
menggunakan salah satunya berlaku peraturan Perkawinan Campuran.[13]

c. Hukum Keluarga Awal Kemerdekaan Hingga Berakhirnya Orde Lama

Pembagian ini mengkombinasikan pembagian menurut Prof Abdulkadir Muhammad


dan Prof Khoiruddin Nasution yakni mulai dari awal kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 hingga Tahun 1966 (berakhirnya Orde Lama seiring dengan turunnya
Soekarno). Dalam masa ini Indonesia mengalami babak baru, babak kemerdekaan.
Pada masa ini baik pemerintah maupun masyarakat disibukkan dengan usaha mengisi
kemerdekaan yang baru saja diraih sehingga perhatian pada hukum perkawinan kurang
diperhatikan. Adapun untuk menjaga kekosongan hukum (vacuum racht) masih
diadopsi hukum yang ada pada zaman kolonial Belanda misalnya BW. Namun bukan
berarti perhatian pemerintah terhadap hukum perkawinan/keluarga tidak ada. Setahun
setelah kemerdekaan dikeluarkan peraturan perundangan yang mengatur mengenai
perkawinan terutama perkawinan yaitu UU No. 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak,
dan Rujuk. Walaupun telah ada UU tersebut namun jangkauan berlakunya masih
terbatas yaitu hanya untuk wilayah Jawa dan Madura, hingga dikeluarkan UU No. 32
Tahun 1954 sebagai perluasan jangkauan dari UU No. 22 Tahun 1946.
Menurut Wasit Aulawi, dari pasal-pasal yang ada, secara ekplisit UU No. 22 Tahun
1946 hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya
menyangkut hukum acara, bukan materi hukum perkawinan.[14] Pada masa berlakunya
Undang-undang ini (UU No. 22 Tahun 1946) masih terkekang dengan teori receptio.
Teori receptio ini membatasi kewenangan peradilan agama dan menghambat
perkembangan hukum keluarga Islam dan agama Islam pada khususnya,[15] hingga
runtuhnya Orde Lama dan digantikan Orde Baru.

d. Hukum Keluarga Masa Orde Baru

Masa ini dimulai dari lengsernya Soekarno dari kursi jabatan kepresidenan hingga
runtuhnya pemerintahan Soeharto yaitu jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. Pada
masa inilah mulai nampak klimaks dari pembicaraan hukm keluarga sebagai warisan
orde sebelumnya. Terbukti pada tahun 1974 terbentuk Undang-undang tentang keluarga
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ini tidak lain dari hasil perjuangan
sebelumnya dalam membuat rancangan undang-undang tentang perkawinan. Undang-
undang ini (UU No. 1 Tahun 1974) merupakan Undang-undang tentang perkawinan
pertama yang terbentuk pada masa Orde Baru.

Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan
pelaksana. Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1975.
Kedua Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga Petunjuk
Mahkamah Agung R.I.[16]

Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan: (1) Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini
merupakan pelaksanaan secara epektif dari undang-undang No. 1 Tahun 1974. Bagi
Umat Islam diatur dalam Peraturan Menag No. 3 Tahun 1075 dan No. 4 Tahun 1975,
kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990. Bagi yang beragama
selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221a Tahun 1975, tanggal 1
Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan
Sipil.[17]
Kemudian Pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur Izin Perkawiann dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan pada tanggal 21 April 1983.
Selanjutnya disusul lagi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tantang Peradilan
Agama.

Kemudian pada tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun
1983. Kemudian satu tahun sesudahnya berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam
mengenai perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.[18]

Inilah sejarah panjang mengenai perjalanan peraturan perundang undangan khususnya


menegenai perkawinan selama masa Orde Baru. Adapun paparan mengenai landasan
historis penyususan dan perdebatan yang muncul ketika itu dapat dilihat dari refensi
yang tertuang dalam footnote terutama bukunya Prof Khoiruddin Nasution.[19]

e. Hukum Keluarga Masa Reformasi Sampai Sekarang

Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia mengalami sejarah baru. Kondisi ini
menimbulkan banyak perubahan terutama dalam hal penegakan hukum dan Hak Asasi
Manusia. Misalnya munculnya Mahkamah Konstitusi dan berdirinya KPK. Ini semua
dalam hal penegakan hukum agar menuju Indonesia yang lebih baik. Telah 14 tahun
usia reformasi namun masih bisa dikatakan bahwa perubahan dalam hukum
perkawinan/keluarga masih tidak ada, yang ada adalah perluasan kompetensi bagi
pengadilan agama yang tertuang dalam UU No. 3 tahun 2006. Baru-baru tahun 2012
terjadi wacana menarik mengenai UU No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 43 pasal 1 yang
berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunyadan keluarga ibunya” tidak memeliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasrkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya sehingga ayat tersebut
harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.”[20]
2. Hubungan Darah dalam Keluarga

Ada dua hal yang perlu dibedakan dalam subbab ini yaitu hubungan keluarga dan
hubungan darah. Menurut Abdulkadir Muhammad, hubungan keluarga dan hubungan
darah adalah dua konsep yang berbeda. Hubungan keluarga adalah hubungan dalam
kehidupan keluarga yang terjadi karena ikatan perkawinan dan karena ikatan hubungan
darah. Sedang hubungan darah adalah pertalian darah antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain karena berasal dari leluhur yang sama (tunggal leluhur).[21] Adapun
mengenai dekat-jauhnya hubungan darah dapat dinyatakan dalam istilah atau sebutan
dalam hubungan keluarga.[22] Istilah atau sebutan yang dimaksud disini misalnya
sebutan bagi orang yang melahirkan kita adalah ibu, yang melahirkan ibu/bapak adalah
nenek dan seterusnya. Adapun untuk mengukur dekat-jauhnya hubungan darah dapat
dihitung dengan jumlah kelahiran, setiap kelahiran disebut derjat (tingkat)[23] dan tiap
kelahiran dihitung satu tingkat.

Adapun yang perlu dijabarkan disini adalah arti penting hubungan darah. Hubungan
darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan dan perwalian.[24]
Misalnya dalam hal perkawinan hubungan darah dapat menjadi penghalang
perkawinan. Kemudian dalam hal pewarisan dapat menjadi urutan dan prioriatas ahli
waris, misalnya tidak mungkin seorang cucu memperoleh warisan dari kakeknya jika
ayahnya masih hidup. Kemudian dalam hal perwalian menentukan urutan perioritas
menjadi wali, misalnya jika tidak ada hubungan satu tingkat maka digantikan dengan
hubungan dua tingkat dan seterusnya.

3. Hubungan Darah dan Garis Keturunan

Hal yang perlu ditekankan disini mengenai garis keturunan. Ada tiga macam garis
keturunan yaitu garis keturunan dari pihak ayah, dari pihak ibu dan dari keduanya.

Adapun hubungan darah yang mengutamakan garis ayah disebut patrilineal, bias dari
garis ini adalah kedudukan suami lebih utama dari kedudukan isteri sehingga tidak
jarang peran perempuan pasif dan cenderung disubordinasikan. Berbeda dengan garis
keturunan ibu yang disebut dengan matrilineal peran isteri lebih utama dibanding peran
suami atau setidaknya sejajar. Adapun garis keturunan yang mengambil dari pihak ayah
dan pihak ibu disebut parental atau bilateral, suami dan isteri memiliki kedudukan yang
berimbang dan tidak ada yang lebih utama ataupun superior. Lebih jauh lagi bahwa
hubungan suami isteri adalah hubungan mitra, sejajar dan saling membutuhkan dan
saling mengisi.[25]

Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab dalam subbab ini yaitu; UU Perkawinan (UU
No. 1 Tahun 1974) menganut sistem yang mana? Bagaimana dengan BW? Pertama,
menurut Abdulkadir Muhammad bahwa Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun
1974) menganut sistem parental (bilateral) dalam hubungan keluarga. Hal ini dapat
dibuktikan dari beberapa pasal seperti pasal 45 ayat (1) bahwa “Kedua orang tua wajib
memelihara danmendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.”

Kemudian pasal 47 ayat (1) “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.“ Pasal 35 ayat (1) “Harta
benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Kemudian pasal 51 (2) “Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau
orang lain yang sudahdewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.” [26]

Jelas sekali dari beberapa pasal diatas dapat dipahami bahwa UU No. 1 Tahun 1974
menganut hubungan garis keturunan dari ayah dan ibu. Kemudian dipertegas lagi sesuai
putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak Luar Kawin. Setelah
menguji materiil UU No. 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1) menghasilkan perubahan cara
baca menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.”[27] Sampai disini tentang Undang-undang perkawinan sudah jelas.

Selanjutnya adalah mengenai BW sebenarnya menganut sistem parental (bilateral)


namun sayangnya masih tampak mengutamakan peran bapak. Hal ini dapat dilihat dari
perbandingan beberpa pasal berikut.
Pasal 298 yang berbunyi “Setiap anak, berapapun juga umurnya, wajib menghormati
dan menghargai orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka yang masih dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan
wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut
besarnya pendapat mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
mereka itu. Bagi yang sudah dewasa berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Bagian 3 bab ini.”[28]

Pasal 299 yang berbunyi “Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa
tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut
tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.”

Bandingkan dengan pasal selnjutnya ayitu pasal 300 yang berbunyi “ Kecuali jika
teradi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja
dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam
keadaan tidak mungkin melakukan kekuasaan oran tua, kekuasaan itu dilakukan oleh
ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau
tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorag wali sesuai dengan
pasal 359.”[29]

Dari pasal-pasal itu dapat dilihat peran bapak dan ibu akan menjadi terpisah jika terjadi
perpisahan meja atau ranjang dalam hal ini diartikan perceraian. Peran bapak
nampaknya lebih dahulu dari peran ibu terlihat dari pasal 300. Kemudian ibu akan
menjadi wali jika dalam sang bapak dalam kondisi tertentu, misalnya si bapak tidak
mungkin melaksanakan kekuasaan orang tua atau tidak mampu lagi atau tidak memiliki
kuasa, hal ini nampaknya terjadi karena konsepsi masyarakat pada masa itu.

4. Kekuasaan Orang Tua

Adapun yang akan diuraikan dalam pembahasan subbab ini adalah sebatas kekuasaan
orang tua kepada anak. Tidak membahas mengenai hak dan kewajiban antara suami-
isteri. Mengenai kekuasaan orang tua diatur dalam KUH Perdata buku I title XIV pasal
298-329 dan dalam UU Perkawinan pasal 45-49.
Selanjutnya pembagian dalam subbab ini mengacu pada buku Titik Triwulan Tatik.

Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak

Mengacu ke pasal 299 KUH Perdata yang bebunyi “Selama perkawinan orang tuanya,
setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan orang tuanya sejauh kedua
orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.” Dari pasal ini
dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut.
Pertama, Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah
saja. Ini artinya KUH Perdata tidak mengakui atau tidak membebani dari salah satu
pihak melainkan keduanya selama perkawinan masih utuh/berlangsung atau selama
tidak dicabut kekuasaannya terhadap anaknya. Kedua, jika perkawinan itu bubar atau
jika kekuasaan orang tua itu dicabut karena hal tertentu maka kekuasaan itu akan
berakhir. Ketiga, jika berakhir karena perpisahan, Pengadilan Negeri dengan
mendengar dan memanggil dengan sah orang tua dan keluarga sedarah dan semenda
anak-anak yang masih dibawah umur, akan memetapkan siapa dari kedua orang tua itu
yang akan melakukan kekuasaan orang tua atas diri tiap-tiap anak, hal ini sesuai dengan
pasal 246 KUH Perdata. Jika kedua orang tua tidak mampu karena kondisi tertentu,
demi kebaikan si anak pengadilan sesuai dengan tugas dan kewajibannya akan
mengangkat seorang wali untuk menjalankan kekuasaan orang tua yang tidak
memungkinkan itu. Jadi dalam kondisi ini anak berada di bawah perwalian meskipun
orang tuanya tidak buabar. Dan Keempat, jika anak telah dewasa dan kondisi anak
tersebut normal maka kekuasaan orang tua berakhir karena si anak telah dewasa dan
cakap hukum. Dewasa dimaksud disini adlah telah berusia 21 tahun penuh atau telah
kawin.

Mengacu pasal 298 (1) KUH Perdata dan pasal 45 (1) UU Perkawinan maka orang tua
mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-
baiknya. Dan ketika kekuasaannya dicabut bukan berarti kewajibannya juga bebas,
melainkan tetap ada menurut pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anak tersebut.

Kekuasaan orang tua terhadap kekayaan si anak


Adapun mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekayaan anak diatur dalam pasal 307-
318 KUH Perdata dan pasal 48 UU Perkawinan. Kekuasaan orang tua terhadap
kekayaan anak meliputi: (1) mengurus harta kekayaan si anak [pasal 307 BW]; (2)
bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan [308 BW];
(3)tidak memindah-tangankan harta kekayaan si anak tanpa ijin si anak atau pengadilan
[309 BW jo pasal 48 UUP].[30] Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua
dalam kekuasaannya terhadap harta si anak yaitu: mengurus, bertanggung jawab atas
harta dan hasilnya, dan tidak memindahkan-tangankan harta kekayaan si anak kecuali
dalam hal darurat karena kepentingan si anak menghendaki.[31]

5. Perwalian

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada di
bawah kekuasan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur
oleh undang-undang. Anak yang berda di bawah perwalian adalah: (1) anak sah yang
kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagi orang tua; (2) Anak sah yang
kedua orang tuanya bercerai; (3) anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk
kind).[32] Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH Perdata pasal 331 sampai
dengan pasal 344 dan pasal 50 sampai pasal 54 Undang-undang Perkawinan dan juga
dalam KHI. Adapun asas-asas perwalian sebagia berikut:

a. Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid)

Asas ini menghendaki wali hanya satu orang, tidak boleh lebih. Namun ini tidak
mutlak, atrtinya ada pengecualian yaitu: (1) bagi perwalian yang dilakukan oleh ibu
sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi maka suaminya menjadi wali
peserta (pasal 51 BW)[33]; (2) jika dirasa perlu dilakukan penunjukan seorang wali
untuk mengurus harta kekayaan yang berada di luar negeri, hal ini berdasarkan pasal
361 BW

b.Asas kesepakatan/persetujuan dari keluarga


Pengangkatan wali menurut asas ini melalui kesepakatan keluarga. Hakim akan
mengangkat seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga
sedarah, atau semenda. Hal ini berarti meminta kesepakatan dari pihak keluarga yang
ada, jika memang tidak ada keluarga maka tidak perlu. Adapun jika ada setelah
dipanggil namun tidak datang dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUHP.

Pasal 354 KUH Perdata menentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan
sendirinya menjadi wali.[34] Selain itu perwalian akan terjadi dengan adanya
penunjukan dengan surat wasiat (testamen) atau akte khusus, hal ini dapat dipahami
dari pasal 355 (1) BW. Kemudian perwalian ditentukan oleh hakim. Inilah pemaparan
singkat yang mengatur mengenai terjadinya perwalian. Selanjutnya adalah berakhirnya
perwalian, perwalian akan berkhir jika si anak telah dewasa, si anak meninggal dunia,
timbulnya kembali kekuasaan orang tua, dan pengesahan anak luar kawin. Terkait
dalam hubungan dengan tugas wali ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya
perwalian misalnya: (1) wali meninggal dunia; (2) wali dipecat atau dicabut dari
perwalian (Pasal 380 KUH Perdata).

6. Pengampuan

Dalam KUH Perdata, Pengampuan diatur dalam pasal 433 sampai dengan pasal 462.
Pengampuan hakikatnya merupakan bentuk khusus dari perwalian, yaitu diperuntukkan
bagi orang dewasa tetapi berhubung dengan suatu hal (keadaan mental atau fisik
tidak/kurang sempurna) ia tidak dapat bertindak dengan leluasa.[35] Adapun alasan
pengampuan dapat dilihat dalam BW pasal 433 sampai pasal 434 misalnya dungu, gila,
mata gelap/buta, boros, lemah akal pikiran, merasa tidak cakap mengurus kepentingan
sendiri dengan baik. Kemudian yang perlu dipaparkan disini adalah berakhirnya
pengampuan. Dalam bukunya Titik Triwulan Tutik sebagai yaitu secara absolut,
curandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebab-sebab dan
alasan-alasan di bawah pengampuan telah hapus, dan secara relatif, curator meninggal,
curator dipecat.

Ketentuan hukum mengenai pengampuan atau curatele atau custady (Inggris) atau
interdiction (Perancis), terdapat dalam pasal 433 sampai dengan pasa1462 B.W
Jika dengan perlunakan (handlichting) pasal 419 B.W, seorang anak yang masih
minderjarig memperoleh kedudukan yang sama dengan orang yang sudah meerderjarig,
maka dengan pengampuan (curatele), seseorang yang sudah meerderjarig karena
keadaan-keadaan mental dan fisiknya dianggap tidak atau kurang sempurna, diberi
kedudukan yang sama dengan seorang anak yang masih minderjarig.
Lembaga pengampuan sudah dikenal sejak zaman Romawi. Dalam Undang-undang
Duabelas Meja dari zaman itu, orang yang sakit ingatan (furiosus) dan juga orang-orang
pemboros (prodigus),''yang menyalahgunakan kecakapan berbuat (bekwaamheid)nya,
yang karena perbuatan-perbuatannya dapat membahayakan harta kekayaannya, maka
untuk kepentingannya sendiri ada orang lain yang mengaturnya, sehingga ia harus
berada di bawah pengampuan.

a. Alasan-alasan Pengampuan
Menurut UU ada 3 alasan utk pengampuan, yaitu karena : (Psl. 433 s/d 434 BW)
1. keborosan (verkwisting);
2. Lemah akal budinya (zwakheid van vennogen) misalnya, imbisil atau debisil;
3. Kekurangan daya berpikir : sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onno zelheid),
dan dungu disertai sering mengamuk (razernij)

b. Penetapan Pengampuan
Psl 436 B.W. menegaskan bahwa yg berwenang menetapkan pengampuan, ialah
Pengadilan Negeri yg daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang akan
berada di bawah pengampuan.
Orang-orang yang berhak mengajukan pengampuan, ialah:
1. Bagi yang boros.
Setiap anggota keluarga sedarah dan sanak keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat ke-4 dan/istri atau suaminya.
2. Bagi yang lemah akal budinya.
Pihak ybs merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri;
3. Bagi yang kekurangan daya pikir.
a. setiap anggota keluarga sedarah dan istri atau suami.
b. jaksa, dalam hal curandus tidak mempunyai istri atau suami ataupun keluarga
sedarah di wilayah Indonesia.

Dalam hal anak dungu disertai sering mengamuk/razernij, jaksa wajib memintakan
pengampuan bila belum ada yang memintakannya.
Dalam hal dungu/onnozelheid atau sakit ingatan/krankzinnigheid, jaksa dapat (tidak
wajib) memintakan pengampuan, jika ybs tidak mempunyai keluarga sedarah di
wilayah Indonesia.

c. Acara di muka pengadilan (pasal 437 sampai dengan 445 bw


1. Dalam hal kekurangan daya berpikir (onnozelheid krankzinnigheid dan razemij) dan
keborosan.
Permohonannya harus secara jelas menyebutkan fakta2 yang menyatakan adanya
krankzinnigheid, onnozelheid, razernij atau adanya keborosan. Permohonan tsb harus
disertai dengan alat2 bukti dan jika ada harus menampilkan saksi-saksinya. Jika fakta2
yang dibutuhkan cukup penting untuk menetapkan adanya pengampuan, maka
Pengadilan wajib mendengar keluarga sedarah dan semenda. Setelah itu, Pengadilan
akan mendengar orang yg dimintakan pengampuan itu. Jika orang ybs tidak mampu
berpindah tempat, maka pemeriksaan dilakukan di rumahnya oleh seorang atau lebih
hakim yang diangkat untuk keperluan itu, disertai oleh panitera dan harus dihadiri pula
oleh jaksa.
Setelah permohonan diajukan, jika memang ada alasan untuk pengampuan tsb,
Pengadilan akan mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan
harta kekayaan curandus (orang yang diampu) itu.
Kemudian, Pengadilan memberikan keputusan yang harus diucapkan dalam sidang
terbuka setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan setelah ada
konklusi dari jaksa.
Atas keputusan Pengadilan, yg berkepentingan diperkenankan naik banding.
Pengadilan Tinggi berwenang untuk mendengar sendiri orang yang dimintakan
pengampuan tsb, jika ada alasan.
2. Dalam hal lemah akal budinya
Acara : dapat dikatakan sama dengan yang diuraikan di atas dengan beberapa
perkecualian. Dalam acara ini tidak diperlukan fakta2 yang menunjukkan adanya
kelemahan akal budinya & tidak perlu diajukan bukti2nya. Suami atau istri pemohon
harus didengar, dmk pula anak2nya. Keterangan saksi2, dmk pula pemanggilan pihak2,
tidak dilakukan dan Pengadilan segera memutus setelah mendengar konklusi dari jaksa.

d. Daya laku dan akibat pengampuan (werking en gevolgen der curatele)


Pengampuan itu mulai berlaku sejak hari keputusan atau ketetapan pengadilan yang
diucapkan. Dengan diletakkannya seseorang di bawah curatele, maka orang tsb
mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang minderjarig, dalam arti
dinyatakan menjadi tidak cakap berbuat hukum dan semua perbuatan yang
dilakukannya dapat dinyatakan batal, jika yang menjadi curandus itu, oleh karena ia
krankzinnig.
Bagi seorang curandus karena keborosan, maka ketidak cakapannya berbuat hanya
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan saja.
Sedangkan untuk perbuatan2 hukum lainnya, misalnya perkawinan, itu tetap sah.
Terhadap seorang curandus yang lemah akal budinya timbul keragu-raguan, apakah ia
harus disamakan dengan seorang curandus karena kekurangan daya berpikir ataukah
dengan seorang curandus karena keborosan?
Scholten condong untuk menyamakan kedudukan seorang curandus karena lemah akal
budinya itu dengan seorang curandus karena pemborosan; jadi, ia hanya tidak cakap
berbuat dlm bidang hukum harta kekayaan saja. Sebaliknya, seseorang yg kekurangan
daya berpikirnya jika melakukan perbuatan-2 hukum sebelum ia dinyatakan dibawah
pengampuan, dengan sendirinya perbuatannya dapat pula dimintakan pembatalan,
apabila ternyata sebab2 curatele itu sudah ada pada waktu perbuatan itu dilakukan; dan
jika sebelum meninggal dunia sudah diajukan pengampuan kepada Pengadilan.
Berdsrkan Psl 452 B.W curandus tidak cakap melakukan perbuatan2 hukum. Meskipun
demikian masih ada perkecualiannya, yaitu jika ybs melakukan perbuatan melanggar
hukum (onrecht matige daad pasal 1365 B.W). la hrs tetap bertanggung gugat, artinya
ia harus membayar ganti rugi untuk kerugian2 yang ditimbulkan oleh semua
kesalahannya itu.

Perbuatan-perbutan Curandus Dalam Bidang Harta Benda


Semua perbuatan hukum, baik yang bilateral maupun yang multilatral, yang dilakukan
oleh seorang curandus dpt dinyatakan batal (vernietigbaar). Sedangkan perbuatan2
hukum yang sifatnya sepihak pada umumnya batal demi hukum.
Seorang curandus yang kadang2 dapat berpikir secara normal, diperbolehkan untuk
membuat testamen. Mengenai hal ini, umum berpendapat bahwa dalam hal membuat
testamen harus ada curatornya. Mengapa? Oleh karena perbuatan membuat testamen itu
adalah perbuatan hukum sepihak, karena itu perbuatan tersebut adalah batal.
Seperti halnya dalam perwalian, dalam pengampuan juga dikenal adanya asas
"pembatasan kebebasan berbuat" oleh curandus. Misalnya :
a. dlm hal perkawinan, curandus yg karena boros atau mempunyai kebiasaan mabuk
akibat minum minuman keras. Hal yg dmk berlaku pula bagi curandus yang lemah
akal budi dan fisiknya;
b. seorang curandus yang sudah kawin dalam hal menentukan domisili harus meminta
bantuan istrinya;
c. Utk membuat perjanjian kawin juga hrs meminta bantuan curatornya;
d. dilarang untuk menjadi wali;
e. dilarang menjalankan kekuasaan orang tua;
f. tidak boleh meminta pembubaran kebersamaan harta perkawinan; g. tidak boleh
meminta pembagian harta bersama karena warisan.

e. Jabatan pengampu (curator)


Seorang curandus yg mempunyai istri atau suami, maka istri atau suaminyalah yg
diangkat sbg curator, kecuali ada alasan2 yang penting yang menyebabkan bahwa
seyogyanya orang lainlah yang diangkat sebagai curator (pasa1451 B.W).
Jika curandus mempunyai anak atau anak2 yang masih minderjarig, maka menurut
ketentuan Pasal 451 B.W, karena hukum (rechtswege) curator menjadi wali anak-anak
tersebut, jika orang tua yang lain tidak dapat melakukan kekuasaan orang tua.

f. Berakhirnya pengampuan
Berakhirnya pengampuan ada 2 macam, yaitu :
1. berakhirnya pengampuan secara absolut
2. berakhirnya pengampuan secara relatif.
1. Secara Absolut :
a. curandus meninggal dunia;
b. adanya putusan pengadilan yg menyatakan bahwa sebab2 dan alasan2 di bawah
pengampuan telah hapus.
2. Secara Relatif :
a. curator meninggal dunia;
b. curator dipecat atau dibebastugaskan;
c. suami diangkat sbg curator yg dahulunya berstatus sebagai curandus
(dahulu berada di bawah pengampuan curator krn alasan2 tertentu)
Dgn berakhirnya pengampuan, yg berarti berakhirnya tugas & kewajiban curator, hal
ini membawa serta berakhirnya tugas curator sbg pengampu pengawas.
Menurut ketentuan Pasal 141 B.W bahwa berakhirnya pengampuan harus diumumkan
sesuai dgn formalitas2 yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampuan.
Di samping itu bahwa ketentuan2 berakhirnya perwalian seluruhnya mutatis mutandis
berlaku pula berakhirnya pengampuan (Psl. 452 ayat 2 B.W ).

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Keluarga Indonesia mengalami pasang surut dalam lintasan sejarah Indonesia.
Sejarah Hukum Keluarga Indonesia dapat digambarkan dengan periodesasi sejarah
kemerdekaan dan pemerintahan Indonesia atau bisa juga dengan menggunakan teori-teori
tentang keberlakuan Hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman pracolonial dan
awal colonial hukum keluarga Indonesia berasal dari Hukum Islam dan hukum adat, dimana
pada masa ini yang berlaku adalah teori receptio in complexu. Kemudian pada masa colonial
(pemerintahan diambil alaih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda) Hukum Islam didegradasi
keberadaannya dalam masyarakat dan diganti dengan peraturan yang dikeluarkan oleh
colonial Belanda sehingga pada masa ini Hukum Islam khususnya Hukum Keluarga
mengalami desakan dan penyempitan, adapun teori yang digunakan oleh pemerintahan
colonial untuk menyokong politik hukum ini adalah dengan mengemukakan teori receptio
(Hukum Islam yang berlaku adalah Hukum Islam yang diterima oleh Hukum Adat).
Kemudian setelah Indonesia merdeka terlihat upaya dalam menghilangkan bekas-bekas teori
receptio yang dikemukakan oleh colonial misalnya dengan adanya teori receptio exit dari
Hazairin, sehingga seiring bertambahnya usia kemerdekaan, Hukum Keluarga mulai
mendapat perhatian serius masyarakat Indonesia. Terbukti dengan terbentuknya Undang-
Undang No. 22 Tahun 1946 kemudian diperluas wilayah berlakunya dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 1954 dan pada akhirnya Undang-Undang Perkawianan No. 1 Tahun 1974
terbentuk setelah mengalami perjalanan yang panjang. Kemudian diiringi dengan PP No. 9
Tahun 1975, disusul PMA No. 3 Tahun 1975, PMA No. 4 Tahun 1975, Peraturan Mendagri
No. 221a Tahun 1975, PP No. 10 Tahun 1983, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989.
Kemudian pada tahun 1991 terjadi unifikasi Hukum Keluarga Islam yang menghasilakan
Kompilasi Hukum Islam yang diundangkan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991. Inilah
sederetan bukti eksistensi perhatian masyarakat terhadap Hukum Keluarga Indonesia dalam
lintasan sejarah. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah Hukum Keluaraga
Indonesia, bahwa terjadi formatisasi Hukum Islam dengan upaya mentransformasikan
Hukum Islam (khususnya Hukum Keluarga) ke dalam aturan perundangan. Terbukti dengan
lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dengan ketentuan ini berarti terjadi
perubahan hukum dari yang rasial-etnis (pada masa kolonial) kepada hukum yang berdasar
agama.

Adapun mengenai hubungan darah yang perlu dijabarkan disini adalah arti penting hubungan
darah. Hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan dan
perwalian. Misalnya dalam hal perkawinan hubungan darah dapat menjadi penghalang
perkawinan. Kemudian dalam hal pewarisan dapat menjadi urutan dan prioriatas ahli waris,
misalnya tidak mungkin seorang cucu memperoleh warisan dari kakeknya jika ayahnya
masih hidup. Kemudian dalam hal perwalian menentukan urutan perioritas menjadi wali,
misalnya jika tidak ada hubungan satu tingkat maka digantikan dengan hubungan dua tingkat
dan seterusnya.

UU No. 1 Tahun 1974 menganut hubungan kekerabatan/garis keturunan dari ayah dan ibu.
Hal ini dipertegas lagi dengan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak
Luar Kawin. Adapun BW sebenarnya menganut sistem parental (bilateral) namun sayangnya
masih tampak mengutamakan peran bapak.
B. Saran
Adapun mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak dimulai sejak anak itu dilahirkan dan
bahkan ketika dalam kandungan apabila kepentingannya menghendaki. Kekuasaan orang tua
akan berakhir ketika si anak telah dewasa dan cakap hukum, kekuasaan orang tua dicabut,
atau terjadi perpisahan antara suami dan isteri. Kekuasaan orang tua asli dilaksanakan oleh
orang tuanya sendiri yang masih terikat perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum
dewasa. Kemudian perwalian dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibunya
atau bapaknya yang tidak dalam ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak-anak
yang belum dewasa. Sedangkan Pengampuan merupakan pemeliharaan atau bimbingan yang
dilaksanakan oleh kurator (yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang-
orang dewasa karena dinyatakan tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Cetakan Revisi), Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2010.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXI., Jakarta: PT Intermasa, 1987.

Muhammad Soddiq & Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Jakarta:
Pradnya Paramita, 2008.

Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2010.

________, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum


Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status
Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa,
2009.

________, Hukum Perkawian 1: Edisi Revisi, Yogyakarta: ACAdeMIA dan Tazzafa, 2005.

Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
Yogyakarta: Beranda, 2012.

Titik Truwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta:


Sinar Grafika, 2006.

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar KAwin Pasca Keluarnya
Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.
Adi Wati dan Sri Indrawati, Hukum Perdata (Block Book), Denpasar: FH-Udayana, 2008.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Terbitan Pustaka Mahardika.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

[1] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2008), hlm. 9.

[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXI., (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hlm. 16.

[3] Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam
Indonesia, (Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2010), hlm. 8.

[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya
Bakti, cetakan revisi 2010), hlm. 60-64.

[5] Baca Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan
Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan
Materi. & Status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta:
ACAdeMIA & Tazzafa, 2009), hlm. 30-95.

[6] Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Impementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Beranda, 2012), hlm. 181.

[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 57.

[8] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. &
Status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam), hlm. 16-20.

[9] Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Impementasinya di Indonesia,
hlm. 182.
[10] Ali Sodikin, Ibid, hlm. 188.

[11] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 59.

[12] Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1993), dalam Ali Sodikin, Ibid, hlm. 189.

[13] Zaini Ahmad Noeh, “Lima tahun Undang-Undang Peradilan Agama…,” hlm. 19-20
dalam Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. &
Status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA &
Tazzafa, 2009), hlm. 28-29.

[14] Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, hlm. 57-58 dalam
Khoiruddin Nasution, “Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan …,” hlm. 32.

[15] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 61.

[16] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. &
Status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA &
Tazzafa, 2009), hlm. 48.

[17] Ibid.

[18] Ibid. Hlm. 49.

[19] Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di
Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status Perempuan Dalam
Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009).
[20] Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak
Luar Kawin dalam D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), hlm. 217.

[21] Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 69-70.

[22] Ibid.

[23] Pahami Pasal 290-297KUH Perdata.

[24] Adi Wati dan Sri Indrawati, Hukum Perdata, (Denpasar: FH-Udayana, 2008), hlm. 13.

[25] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, ( ACAdeMIA & Tazzafa, 2005), hlm 53.

[26] Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

[27] Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak
Luar Kawin dalam D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, hlm. 217.

[28] Kitab Undang-undang Hukum Perdata

[29] Ibid.

[30] Titik Sriwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sitem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hlm. 82

[31] Pasal 48 UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)

[32] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 52-53.

[33] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 88.
[34] Ibid.

[35] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian Menurut KUH
Perdata, Jakarta Bina Aksara, hlm. 93. Dalam Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam
Sistem Hukum Nasional.

Anda mungkin juga menyukai