Anda di halaman 1dari 28

Lembar Jawaban UTS Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum

Universitas Kadiri
Nama : Almuhaimin Sobah
NIM : 19120117
Mata Kuliah : Sejarah Hukum
Prodi : S-2 Hukum
Makalah tentang Sejarah Hukum
Terdiri dari:
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Pembahasan
3.1 Uraian Teori yang menjadi acuan rumusan masalah
3.2 Menjawab rumusan masalah
4. Penutup
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
5. Daftar Pustaka

Note :
Kertas A4 || line and paragraph spacing 1,5 || Times New Roman (12) || footnote (kutipan)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah

Dalam setiap sudut dalam kehidupan ini pasti terkait dengan yang namanya hukum,

dimana merupakan sebuah sistem yang dibuat oleh manusia untuk membatasi tingkah laku

manusia agar dapat bisa terkontrol. Hukum juga merupakan alat yang dapat digunakan untuk

menegakan dan mencari keadilan. Oleh sebab itu setiap masyarakat berhak untuk memperoleh

pembelaan di depan hukum sehingga bisa diartikan hukum merupakan ketentuan atau peraturan

tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi

bagi yang melanggarnya. Dengan demikian perlu adanya kita mempelajari awal sejarah

berdirinya Hukum terutama yang berlaku di Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan utama

Penulis dalam membuat makalah ini. Dengan motivasi tesebut tersebut diatas Penulis ingin

mengetahui secara rinci awal terbentuknya hukum di negara Indonesia sejak periode penjajahan

bangsa Eropa hingga masa sekarang. Sehingga dengan tersusunnya makalah ini,akan menjadi

materi yang penting untuk memperjelas secara runtun dan sistematis bagaimana awal

terbentuknya suatu hukum di Indonesia yang terjadi secara evolutif.

B. Rumusan Masalah

Kajian permasalahan dalam makalah ini adalah yang pertama bagaimana konsep awal

hukum di Indonesia terbentuk dan berdiri dengan tahap – tahap evolusi lahirnya hukum –

hukum baru yang menggantikan hukum sebelumnya dalam setiap periode selanjutnya yang

kedua bagaimana mekanisme pelaksanaan hukum tersebut berjalan dan berlaku di sendi sendi

kehidupan masyarakat dalam setiap periode masa lampau hingga saat ini.
BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum membicarakan lebih jauh perihal sejarah hukum di Indonesia, terlebih dahulu Penulis

memberikan deskripsi tentang sejarah itu sendiri yang mana Penulis mencoba mengkutip pengertian

sejarah menurut para ahli, salah satunya adalah Ibnu Khaldun (1332–1406) yang mana menurutnya,

Sejarah didefisinikan sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang

terjadi pada watak/sifat masyarakat itu. Selain itu menurut R Moh Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu

Sejarah Indonesia, sejarah merupakan ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian

dan atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita. Dengan demikian, sejarah dapat diartikan sebagai

suatu pengungkapan dari kejadian dana atau peristiwa dari kejadian masa lalu.

Sehingga dengan adanya definisi tentang sejarah di atas, Penulis mendapat kesimpulan bahwa

sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan da asal-usul

sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda

karena dibatasi oleh perbedaan waktu.

Pemikiran tentang sejarah hukum pertama kali dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny

menyebutkan “Das Recht Wird Nicht Genacht Ist Ist Undwird Mit Dem Volke” yang artinya hukum itu

tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Sehingga hukum dilihat sebagai

suatu bagian yang tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, oleh karenanya hukum berubah menurut

waktu dan tempatnya. Dan apabila dikatakan hukum itu itu terus tumbuh maka dapat diartikan bahwa

sistem hukum yang sekarang senantiasa berhubungan dengan sistem hukum di masa lalu yang terlebih

dahulu terbentuk dan berlaku.

Sedangkan Sir Henry James Summer Maine (Pelopor Sejarah Hukum Inggris) berpendapat

bahwa “Hukum berkembang dari bentuk Statuta (Undang-Undang) ke bentuk kontrak (Perjanjian).

Hukum ada karena adanya kontrak-kontrak antar masyarakat (dari masyarakat sederhana ke masyarakat
modern). Dalam masyarakat modern, hukum dibuat secara sukarela oleh masyarakat dalam bentuk

kontrak-kontrak atau kesepakatan-kesepakatan antar masyarakat.

1. Teori Sejarah Hukum

Munculnya teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan jaman yang terus berkembang,

karena teori hukum hadir sebagai selah satu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum

yang terjadi pada suatu masa.

Dalam perkembangannya, teori hukum memiliki berbagai macam aliran, dari aliran teokrasi,

madzhab hukum alam dan aliran positifisme sampai aliran hukum sejarah yang masing- masing

mempunyai pandangan perspektif masing-masing. Pada makalah ini Penulis akan menguraikan

tentang kajian teori sejarah hukum yang dikemukakan oleh para ahli antara lain sebagai berikut:

a. Friedrich Carl Von Savigny (1770-1861)

Savigny adalah seorang yuridis (ahli hukum) Jerman yang sukses membuat Jerman tidak

mengkodifikasi hukum perdata selama hampir 100 tahun. Savigny menganggap bahwa hukum

kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan

berkembang bersama masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat

banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki “Volksgeist” jiwa rakyat. Savigny berpendapat

bahwa semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan dari pembentukan

undang-undang. Penggagas teori ini melihat hukum sebagai entitas yang organis namun

dinamis. Hukum menurut teori ini dipandang sebagai suatu yang natural, tidak dibuat,

melainkan hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang

statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di

masyarakat.
b. Puchta (1798-1846)

Puchta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang

bersangkutan. Hukum menurut Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa adat istiadat (2)

melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan

melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisir dalam negara. Negara mengesahkan

hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum

dalam negara sedemikian rupa sehingga pada akhirnya tidak ada ruang lagi bagi sumber-sumber

hukum yang lain yang dapat dipraktekkan dalam adat istiadat bangsa dan diolah oleh ahli-ahli

hukum kecuali hukum yang dibentuk oleh negara itu sendiri.

c. Henry Summer Maine (1822-1888)

Maine memiliki predikat sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah satu

penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga

hukum yang ada dan terbentuk pada masyarakat sederhana dan msyarakat yang telah maju.

Maine melakukan penelitian tersebut dengan dasar pendekatan sejarah. Kesimpulan dari

penelitian Maine kembali memperkuat pemikiran Von Savigny yang membuktikan adanya

evolusi pada berbagai masyarakat dari masa ke masa.

2. Kegunaan Sejarah Hukum

Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong pengetahuan yang masih muda dan belum

banyak dikenal bahkan di kalangan pakar hukum sendiri sehingga pertumbuhan dan

perkembangannya belum menggembirakan. Salah satu penyebab hal itu terjadi karena belum

disadarinya nilai penting disiplin ilmu baru ini dalam menunjang dan memahami ilmu pengetahuan

hukum, khususnya hukum positif.


Menurut John Gilisen dan Frist Gorle, ada beberapa kegunaan dalam mempelajari sejarah

hukum antara lain:

a. Sejarah Hukum mengajarkan bahwa hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak

(Hukum Amerika, Hukum Indonesia, Hukum Belgia dan sebagainya), melainkan hukum juga

berubah dalam lintasan waktu

b. Dengan mempelajari sejarah hukum, kita dapat mengerti tentang norma-norma hukum yang

berlaku dewasa ini.

c. Merupakan suatu acuan dan pegangan bagi kaum yuridis untuk mengenal budaya dan pranata

hukum

d. Memahami bahwa dari sejarah diketahui bahwa hal ikhwal tujuan hukum dari masa

perkembangannya adalah semata-mata sebagai perlindungan hak asasi manusia terhadap

perbuatan semena-menaatau tidak sesuai dengan mestinya.

3. Sejarah Hukum di Indonesia

a. Masa Penjajahan Bangsa Eropa sampai dengan Tahun 1942

(1) Pada Masa Penjajahan Belanda Pertama

Pengaruh kuat hukum di Indonesia sangat kuat pada saat ketika dijajah Belanda yang

terjadi selama kurun waktu 350 tahun yang secara massif menjadikan Hukum Belanda

sebagai hukum yang memiliki cengkeraman yang kuat terhadap sistem hukum di Indonesia

yang akhirnya menggeser berlakunya hukum asli (hukum adat) yang pada waktu itu sudah

ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat di Indonesia, Momen penting pada masa

penjajahan Belanda periode ini adalah dengan diawali dari kedatangan Bangsa Belanda ke

wilayah Indonesia dengan mendirikan perkumpulan dagang De Verenigde Oost Indische

Compagnie (selanjutnya disingkat V.O.C) yang saat itu dikenal dengan sebutan Kompeni

oleh kalangan Bumi Putera (bangsa Indonesia). Seiring waktu berjalan perkembangan

V.O.C
yang awalnya hanya menduduki beberapa kota seperti Ambon, Jayakarta (yang kemudian

disebut Batavia dan sekarang bernama Jakarta), Surabaya, Tuban dan Makasar kemudian

memperluas wilayahnya.hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian

perluasan wilayah kekuasaan V.O.C mempengaruhi perkembangan hukum V.O.C di

wilayah kekuasaannya. Namun pada tahun 1978, V.O.C mengalami pailit akibat dari adanya

korupsi dan perdagangan gelap oleh pegawai-pegawainya. Hal itu disebabkan karena

adanya mekanisme manajemen V.O.C yang sangat buruk pada masa itu. Dikemukakan

bahwa sejak awal berdiri, pegawai V.O.C diperbolehkan mengadakan marshandel, yaitu

berdagang barang-barang rontokan milik V.O.C seperti kopi, rempah-rempah, dan

sebagainya. Namun seiring waktu berjalan kebijaksanaan marshandel tersebut menjadi

berubah persentasenya yang semula hanya sekian persen meningkat tajam yang

menyebabkan adanya kerugian. Faktor lain bangkrutnya V.O.C adalah adanya sistem

kepegawaian yang buruk dalam organisasi. Perekrutan pegawai V.O.C tidak didasarkan

pada kompetensi pegawai itu sendiri namun berdasarkan sistem kekeluargaan dan juga

diperparah maraknya praktek suap di kala itu. Sementara itu di Eropa sendiri terjadi

pergolakan yang dipicu oleh adanya aliran-aliran baru di bidang ekonomi, sosial dan politik

yang mencapainya puncaknya dalam Revolusi Industri di Perancis, Keadaan ini dikenal

dengan semboyan liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan) dan fraternite (persaudaraan)

yang diinsipirasi dari ajaran Trias Politica dari Montesquiew dan J.J Rousseau melalui

ajarannya yang dikenal dengan nama kedaulatan rakyat yang akhirnya menggoncangkan

sendi-sendi pemerintahan raja-raja yang absolut, sehingga sejumlah negara kerajaan

termasuk Belanda berubah menjadi kerajaan konstitusional.

Dengan era jatuhnya V.O.C. pada tahun 1978, maka seluruh hutang-hutang dan kekayaan

V.O.C beralih kepada Kerajaan Belanda yang semula bentuk negara dari Republiek der

Verenigde Zeven Provinciean menjadi de Bataafscvhe Republiek yang berada di bawah


kekuasaan Lodewijk Napoleon, adik Kaisar terkenal Perancis, Napoleon Bonaparte. Setelah

Napoleon Bonaparte jatuh, Negeri Belanda di bawah kekuasaan Raja Willem van Oranje,

seorang keturunan dari pemberontak penjajahan Spanyol. Dan Raja atau Ratu Belanda

sekarang merupakan keturunan dari Willem van Oranje.

Dengan pembubaran V.O.C yang resmi tarcatat pada tanggal 1 Januari 1800, maka

Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda (Nederlansce Indie) otomatis berada di

bawah perintah langsung Pemerintah Belanda. Pada momen inilah yang sangat membawa

pengaruh besar terhadap sistem hukum di Indonesia masa sekarang karena pada era ini

sistem kekuasaan pada negara jajahan Belanda yang terpusat menyebabkan segala sistem

pemerintahan Belanda diterapkan di wilayah Hindia Belanda termasuk sistem Hukum.

Lahirnya gagasan-gagasan yang cukup penting adalah adanya lembaga legislatif, yudikatif

dan eksekutif yang hingga kini digunakan.

Setelah berlakunya sistem Sentralisasi pada tanah jajahan Kerajaan Belanda, maka Raja

Belanda menunjuk W.H Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Pengangkatan

Daendels menandai suatu jaman baru di Indonesia, khususnya Pulau Jawa dalam artian,

penguasa asing mulai melakukan campur tangan dalam mengurus penduduk Indonesia.

Daendels terkenal sebagai pendiri sistem administrasi modern pada pemerintahan di dalam

negeri yang teratur di Hindia Belanda. Jika pada jaman V.O.C para Raja dan kepala

tradisional terikat pada Contracten van Verband, maka pada pemerintahan Daendels diganti

dengan Acten van Aanstelling (akta-akta pengangkatan). Pada dasarnya, Daendels mencoba

memperbaharui sistem administrasi dan pemerintahan dengan modernisasi lapisan atau

struktur pemerintahan yang berlaku di Eropa khusus bagi apparat dari golongan bangsa

Eropa, sementara itu bagi para penguasa Bumi Putera (kaum pribumi) ditempatkan di bawah

kekuasaannya yang dpusatkan di Batavia.


Meskipun Daendels cukup banyak mengintroduksi gagasan hukum Barat Hindia

Belanda namun hal ini belum cukup mengatasi berbagai masalah hukum yang diwariskan

oleh V.O.C. terutama manipulasi dan inefisiensi dalam pengelolaan keuangan Negara. Di

samping itu gaya kepemimpinan Daendels yang sedikit otoriter dan masuknya kekuasaan

Inggris menjadi kendala bagi upaya perubahan yang dilakukan Daendels di Hindia Belanda.

Masa pemerintahan Daendels berakhir setelah Inggris menguasai Belanda, dengan demikian

negara jajahan Belanda termasuk Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Inggris.

(2) Pada Masa Penjajahan Inggris

Setelah Indonesia sebagai daerah jajahan oleh Pemerintah Belanda, diserahlan kepada

Inggris, maka Pemerintah Inggris memberikan perintah kepada Gunernur Jenderal di India,

Thomas Stamford Raffles untuk memimpin Pemerintah di Indonesia. Pada masa

interregnum Inggris, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles mencoba menerapkan

sistem ekploitasi yang baru yaitu sistem Landrent dengan alasan bahwa sistem yang

digunakan pada masa

V.O.C. dan Kerajaan Belanda adalah sistem yang kuno dan kolot. Masa pemerintahan

Thomas Raffless merupakan tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan pemerintah

colonial di Indonesia. Raffles menerapkan 3 aturan pokok selama pemerntahannya di

Indonesia yaitu:

(a) Menghapus sistem verplichte leveranties (penyerahan wajib) dan herendiensten (sistem

kerja paksa)

(b) Pemerintah melaksanakan pengawasan secara langsung terhadap tanah dan memungut

hasilnya secara langsung dari rakyat tanpa perantara penguasa pribumi/bupati.

(c) Menyewakan tanah kepada rakyat (land rent system)

Sistem baru land-rent system yang dirancang Raffles tersebut sebagi pajak individual

yang dibayar oleh setiap petani dalam bentuk uang, sedangkan pemerintah hanya
berkewajiban merangsang petani agar menanam ekspor yang paling menguntungkan. Pada

hakekatnya di satu pihak Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan

berusaha tanpa adanya unsur paksaan seperti yangterdapat dalam sistem yang diterapkan

V.O.C.. Sementara di sisi lain, sistem landrent ini dianggap akan dapat menjamin arus

pendapatan negara yang mantap, Dalam sistem landrent ditekankan bahwa

Pemerintah/Negara adalah pemilik tanah dan rakyat hanya sebagai penggarap atau penyewa

yang memiliki kewajiban membayar sewa atau pajak atas tanah yang dikelola oleh rakyat.

Sebagian besar perubahan sistem dan kebijakan politik colonial yang dibuat oleh Raffles

tersebutnya pada akhirnya kandas atau dihapus sebelum waktu berlakunya habis. Sebagian

besar dari kegagalan-kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh adanya perbedaan yang

besar antara idealism liberal dan kondisi sosio kultural dari masyarakat tradisional Jawa.

Karena masyarakat JAwa sebagai bagian dari feodalisme kerajaan pada masa sebelumnya

sudah terbiasa memberikan upeti kepada penguasa, sehingga mereka tidak siap menerima

sistem baru (landrent) yang diterapkan oleh pemerintahan Inggris. Rakyat Indonesia yang

menguasai tanah seperti sawah, tegalan atau tempat pemukiman dianggap tidak memiliki

tanah-tanah, karena tanah-tanah tersebut adalah menjadi milik negara Inggris. Seluruh tanah

di Indonesia adalah milik Kerajaan Inggris, sedangkan rakyat hanya sekedar sebagai

penyewa tanah saja. Dengan demikian rakyat yang menguasai tanah-tanah tersebut harus

membayar rent (sewa) kepada Pemerintah. Sistem demikian dapat dipastikan menimbulkan

penolakan dan gejolak di tengah rakyat, sehingga mereka tidak melaksanakan sistem

tersebut dengan sepenuh hati

Pada jaman Raffles, juga ditiadakan hukuman mati dengan menusuk keris dan

membakar orang yang dijatuhi hukuman pidana mati seperti yang berlaku pada masa

sebelumnya, baik menurut Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Barat.
Jika pada masa penjajahan Belanda dibawah kekuasaan Daendels membentuk Korp Pamong

Praja Bumiputera dan Korp Pamong Praja Eropa dianggap sebagai defeodalisasi dalam

pemerintahan, maka defeodalisasi tersebut dilanjutkan oleh Raffles sehingga kedudukan

Korp Pamong Praja Eropa dan Bumi Putera makin kuat, dengan demikian terjadinya

perbedaan kelas-kelas sosial di masyarakat semakin nampak dan kuat sebagai akibat

diteruskannya kebijakan pembentukan Korps Pamong Praja Eropa dan Korps Pamong Praja

Bumiputera (lokal).

(3) Pada Masa Penjajahan Belanda Kedua

Pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah Inggris telah berakhir masa pendudukannya

di Indonesia oleh Conventie London. Hampir seluruh wilayah nusantara dikembalikan

kepada Belanda. Hindia Belanada (Indonesia) kemudian diperintah kembali oleh

Pemerintah Belanda di bawah kekuasaan pusat yang lebih lengkap dan sentralistis. Tidak

hanya pulau Jawa saja, tetapi seluruh kepulauan di luar Pulau Jawa yang doserahkan kepada

Pemerintah Belanda juga dibawah kekuasaan pusat pemerintahan di Batavia. Pemusatan

pemerintahan di Batavia tersebut akhirnya menjadi tonggak pertama menuju ke Kesatuan

Nasional Bangsa Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Setelah Indonesia diserahkan Inggris kepada pemerintah

Belanda, terlihat adanya keragu- raguan Pemerintah Belanda dalam memimpin rakyat

Indonesia, terutama pemberlakuan kembali hukum Belanda di negara jajahannya yaitu

Indonesia karena pengaruh pemerintahan sebelumnya yaitu Pemerintah Inggris terhadap

perkembangan dan pemberlakuan hukum di

Indonesia.

Oleh karena itulah maka Pemerintah Belanda melakukan review terhadap pemberlakuan

kembali hukum Belanda di Indonesia, diantaranya yang menjadi permasalahan adalah

pertama penerapan sistem hukum Nederland yang merupakan hukum tertulis yang
diterapkan
di Indonesia yang notabene mayoritas hukumnya tidak dalam bentuk tertulis namun tetap

dipatuhi oleh mayoritas rakyat. Masalah kedua adalah adanya perbedaan sosial kultur di

masyarakat Belanda yang menganggap bahwa kedudukan semua orang adalah sama baik

hak dan kewajibannya sama sedangkan di masyarakat Indonesia terdapat perbedaan kelas

sosial berdasarlan kelas bangsawan dan kelas rakyat biasa. Yang mana prinsip persamaan

hak dan kewajiban di depan hukum (equality before the law) yang berlaku di masyarakat

Eropa tersebut jika diterapkan di masyarakat Indonesia kala itu pasti akan menimbulkan

gejolak dan penolakan terutama dari kalangan bangsawan kerajaan yang berada pada strata

sosial lebih tinggi dibanding rakyat jelata. Masalah ketiga adalah sejauh mana hukum

Nederland dapat atau tidaknya diterapkan kepada bangsa Belanda yang ada di Indonesia dan

juga terhadap rakyat Indonesia yang mempunyai hukum asli (hukum Adat) yang jauh

berbeda, belum juga polemik penerapan hukum tersebut apakah juga diterapkan kepada

penduduk yang bukan orang Bumi Putera seperti orang Tionghoa, Timur Asing dan

Keturunan Arab yang sudah ada di Indonesia.

Pada masa ini, selain masalah tersebut diatas, Pemerintah Belanda dihadapkan pada

terjadinya perang Diponegoro di wilayah Jawa Tengah dan disusul dengan perang Padri

wilayah Sumatera Barat. Sedangkan di negaranya sendiri juga terjadi perang saudara yang

mengakibatkan pecahnya Kerajaan Belanda menjadi Kerajaan Belanda dan Kerajaan Belgia.

Peperangan tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga pada tahun 1830, Badan

Usaha penggantu V.O.C. yaitu Nederlandsche Handels Maatschappij atau biasa disebut

factoriij (badan semi pemerintah) mengadakan sistem kerja paksa dan tanam paksa

(cultuurestelsel) guna membiayai perang yang terjadi di Belanda selain untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan di Hindia Belanda sendiri. Penerapan sistem cultuurstelsel

ini ternyata berhasil dan memberikan hasil yang sangat berlimpah kepada Pemerintah

Belanda. Di sisi lain, rakyat Indonesia sangat menderita karena tidak dapat menikmati hasil

tanamnya.
Sementara itu Revolusi Perancis yang mengajarkan liberalisme dan persamaan hak

antara seluruh rakyat makin meluas di benua Eropa dan juga semakin bergemanya tuntutan-

tuntutan penghilangan sistem monopoli perdagangan menyebabkan semakin meluasnya

pengaruh revolusi tersebut hingga terasa di Indonesia. Dengan demikian muncul adanya

tuntutan rakyat agar sitem ekploitasi terhadap rakyat melalui sistem cuulturstelsel segera

diakhiri karena menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.

Di era ini, Ilmu Pengetahuan Hukum di Eropa mulai berkembang pesat dengan hasil

yang dicapai adalah terbentuknya Kodifikasi Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau

B.W), Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel atau W.v.K), Hukum Pidana (Wetboek

van Strafrecht atau W.v.S), Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana yang

diberlakukan Nederland sebelum tahun 1840. Sehingga pada waktu itu juga dinyatakan

berlakunya kodifikasi hukum tersebut diatas di Indonesia berdasarkan asas konkordansi

namun hanya berlaku hanya untuk bangsa Eropa. Sementara itu, Algemene Bepalingen van

Wetgeving /A.B. (ketentuan-ketentuan umum mengenai peraturan perundang-undangan)

diberlakukan sebagai peraturan untuk mengatur penggolongan penduduk serta yang berlaku

bagi tiap golongan penduduk di Indonesia.

Pada tahun 1940, Negeri Belanda diduduki oleh Jerman, sehingga setelah perang

Pasifik, akhirnya Hindia Belanda enyaerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang

dansaejak saat itu berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia. Selanjutnya

pemerintahan di Indonesia dijalankan oleh Jepang.


b. Masa Tahun 1942 – 1945 (Periode Penjajahan Jepang)

Setelah Pemerintah Belanda di Indonesia ditaklukkan oleh Balatentara Jepang, maka

terjadi peralihan kekuasaan atas wilayah Indonesia dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah

(militer) Jepang. Untuk memudahkan penguasaan wilayah Indonesia, Jepang membagi wilayah

menjadi tiga bagian, yaitu (1) Jawa dan Madura (2) Sumatera (3) Indonesia bagian Timur.

Dalam bidang hukum, balatentara Jepang memberlakukan Undang-Undang Balatentara Jepang

(Osamu Sirei) pada Tahun 1942. Osamu Sirei ini merupakan dasar bagi transisi pemberlakukan

hukum sebelumnya kepada hukum baru di bawah pemerintahan balatentara Jepang.

Di dalah Osamu Sirei terdapat suatu maklumat yang menyatakan bahwa: “seluruh

wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta semua peraturan yang selama

ini berlaku tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan peraturan-peraturan

militer Jepang” Osamu Sirei diterbitkan disamping sebagai dasar bagi pemberlakuan hukum

dari pemerintahan lama kepada pemerintahan baru, juga bertujuan untuk menghindari

kekosongan hukum (vacuum of law) akibar terjadinya pergantian kekuasaan.

Dari sisi perkembangan hukum, tidak ada perombakan hukum yang sangat berarti

karena masa pendudukan Jepang yang relatif singkat yaitu 3,5 Tahun. Selain faktor waktu yang

singkat, Pemerintah militer Jepang pada waktu itu hanya berorientasi pada pemenangan perang

melawan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, sehingga Jepang tidak sempat meluangkan

waktu dan perhatian untuk memikirkan pembangunan hukum dan ekonomi bagi peningktana

kesejahteraan rakyat di Indonesia. Hal ini membuat rakyat Indonesia makin sengsara ketika

berada di bawah penjajahan balatentara Jepang.


Dalam perkembangan hukum di masa pendudukan Jepang, telah diterbitkan beberapa

kebijakan baru yang isinya hanya meneruskan kebijakan sebelumnya yaitu:

1. Kitab Undang-Undang dan peraturan perundangan di bidang hukum Perdata yang semula

hanya berlaku bagi Golongan Eropa saja kemudian diberlakukan juga bagi etnis lain seperti

Orang Cina (Tionghoa) yang berada di Indonesia.

2. Hukum Adat dinyatakan berlaku bagi orang Pribumi

3. Peraturan perundang-undangan di bidang hukum Pidana ditambahkan dengan peraturan

hukum militer Jepang diberlakukan kepada semua golongan penduduk tanpa kecuali

4. Penghapusan dualism di bidang peradilan, sehingga hanya terdapat satu sistem dan lembaga

peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk di Indonesia

5. Dilakukannya penyatuan lembaga (Officieren van Justitie) yang sebelumnya berbeda antara

golongan bangsa Eropa dan golongan Bumiputera kemudian dilembur menjadi satu lembaga

kejaksaan (Kensatku Kyoku) yang diorganisisr dalam suatu sistem peradilan tiga tingkat.

Pada masa pendudukan Jepang inilah mulai adanya peningkatan rasa Nasionalisme di

tengah- tengah rakyat Indonesia untuk berusaha meraih kemerdekaan. Hal ini ditandai dengan

beberapa organisasi pemuda dan organisasi lain yang bermunculan dan berjuang untuk meraih

kemerdekaan. Semangat para pemuda Indonesia semakin menguat dengan adanya janji-janji

Pemerintah Militer Jepang bahwa jika perang Asia Timur Raya telah selesai maka Indonesia

akan diberikan hak kemerdekaannya.

Dengan adanya janji-janji Pemerintah Militer Jepang tersebut, para tokoh-tokoh

perjuangan Indonesia telah menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan jika Indonesia

kelak merdeka. Namun sebelum janji kemerdekaan tersebut diberikan oleh Jepang, ternyata

Pemerintah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dengan adanya tragedi penjatuhan bom atom

di kota Hiroshima dan Nagasaki, Pasca tragedi bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki

tersebut telah
menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Momen ini tak disia-siakan oleh para tokoh

pemuda Indonesia, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta, Indonesia

memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan

tersebut merupakan tonggak sejarah awal bagi lahirnya negara Indonesia dengan pemerintahan

dan hukum yang baru.

c. Masa Tahun 1945 –1950 (Periode Jaman Kemerdekaan)

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,

terjadi revolusi di bidang hukum, yang mana perubahan pemberlakuan hukum dari sistem

hukum kolonial kepada sistem hukum Nasional dengan ditandai disyahkannya UUD 1945.

Berlakunya UUD 1945 disebut sebagai dasar sistem hukum negara (staats fundamental norm)

yaitu dasar dari tata hukum nasional yang berisi norma-norma yang mengatur proses

pembentukan dan kompetensi dai organ-organ legislative, eksekutif dan yudikatif. UUD 1945

juga sebagai dokumen nasional yang berisi perjanjian dan komitmen luhur yang memuat

kesepakatan di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia mulai dari politik, hukum kebudayaan,

pendidikan, ekonomi, sosial dan aspek fundamental lainnya yang menjadi tujuan bernegara.

UUD 1945 juga dikatakan sebagai suatu bukti kelahiran dari sebuah negara baru dan juga

sebagai piagam di mata dunia internasional untuk memperoleh pengakuan atas lahirnya sebuah

negara baru dan sebagai syarat untuk menjadi anggota PBB.

Agar tidak terjadi kekosongan hukum di negara Republik Indonesia yang baru lahir

tersebut, maka diterbitkan suatu ketentuan peralihan dalam Pasal II Aturan Peraturan Peralihan

UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan yang ada sebelumnya dan badan-badan

negara tetap dinyatakan berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut ketentuan UUD

1945 dan sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa bangsa Indonesia dan Pancasila sebagai

dasar dan ideologi negara.


Salah satu alasan untuk sementara tetap mempertahankan berlakunya produk hukum

kolonial adalah karena hukum asli rakyat (hukum adat) masih bersifat pluralistis dan tidak

tertulis, sedangkan hukum kolonial dianggap telah memenuhi unsur hukum modern yakni

bentuknya tertulis dan beberapa sudah terkodifikasi kedalam Kitab Undang-Undang (Wetboek).

Disamping itu juga untuk menghindari pemberlakuan hukum adat lain yang dominan yang

dapat menimbulkan perpecahan didalam negara.

d. Masa Tahun 1950 – 1966 (Periode Jaman Orde Lama)

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno terjadi dinamika perkembangan hukum

yang sangat pesat. Sejarah mencatat pada masa ini terjadi perubahan bentuk negara dari negara

kesatuan menjadi negara federal dan kemudian kembali lagi menjadi negara kesatuan.

Demikian juga Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia mengalami pergantian

sebanyak tiga kali, mulai dari UUD 1945 yang kemudian diganti Konstitusi RIS 1949, lalu

berubah menjadi dengan UUD Sementara 1950 dan akhrinya dengan Dekrit Presiden tanggal 5

Juli 1959 kembali lagi ke UUD 1945 sampai sekarang,

Kita ketahui bersama bahwa UUD 1945 pada awal dibentuk dan disahkan oleh PPKI

dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Hal ini dapat diketahui dari pidato

Presiden Soekarno pada saat pemberlakua UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Tuan-tuan

tentu mengerti ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar

Kilat. Bahwa barangkali boleh dikatakan pula inilah Revolutiegrondwet. Nanti kita membuat

Undang- Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh

Tuan-Tuan, kita hari ini bias selesai dangan Undang-Undang Dasar ini…”

Namun seiring berjalannya waktu, sifat kesementaraan berlakunya UUD 1945 perlahan-

lahan berkurang oleh kanyataan bahwa UUD 1945 ternyata mampu bertahan dan dapat

mengiringi proses revolusi kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga sekarang ini. Oleh
kare itulah kemudian Revolutiegrondwet tidak lagi dimaknai sebagai UUD yang bersifat

sementara, akan tetapi sudah berkembang menjadi makna yang sesungguhnya yaitu sebagai

undang-undang yang berkarakter revolusi Indonesia.

Pada masa ini, meski bangsa Indonesia sudah merdeka, namun masih banyak

menghadapi gangguan dan cobaan salah satunya revolusi cicik dengan ingin kembalinya

Penjajah Belanda ke Indonesia. Disamping itu, di tengah Bangsa Indonesa sendiri terjadi

perbedaan pandangan antara pemimpin bangsa dengan para tokoh-tokoh bangsa Indonesia

sehingga timbul perbedaan mengani arah pembangunan hukum dan penataan kelembagaan

negara. Sehingga pada saat itu dibentuklah Konstitusi RIS Tahun 1949 yang menghasilkan

perubahan bentuk negara kesatuan (NKRI) menjadi bentuk negara federa atau serikat (Republik

Indonesia Serikat) yang berlaku hanya 8 bulan kemudian diganti dengan UUD Sementara 1950

yang berlaku sampai dengan Tahun 1959.

Dengan bentuk negara federal atau serikat dan bentuk pemerintahan parlementer

ternyata tidak cocok bagi bangsa Indonesia yang sejak awal menganut sistem kesatuan,

kebersamaan dan permusyawaratan. Pada masa pemerintahan Parlementer menjadikan roda

pemerintahan menjadi tidak efektif karena terjadinya instabilitas politik dan pemerintahan yang

disebabkan oleh sistem pemerintahan itu sendiri, dimana terjadi kabinet yang sering berganti

dan jatuh bangun akibat serangan pihak parlemen (DPR) melalui mosi tidak percaya. Sehingga

pada tanggal 5 Juli 1959 terjadi peristiwa penting yang menetukan sistem ketatanegaraan

bangsa Indonesia dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang isinya memberlakukan kembali

UUD 1945 yang terus berlaku sampai sekarang.

Di momen pemberlakuan kembali UUD 1945 ini pula telah menjadi awal sejarah

modifikasi hukum di Indonesia, seperti diketahui dengan diundangkannya Undang-Undang

Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengakhiri masa dualisme hukum di bidang

pertanahan. UUP Agraria ini menghapus berlakunya produk hukum agrariaan kolonial salah
satunya agrarische Wet yang di dalamnya terdapat ketentuan Domein Verklaring yang sangat

merugikan rakyat.

Berikutnya adalah diberlakukannya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman pada

Tahun 1961 yang dijadikan dasar dalam mengatur lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman

di Indonesia. Hanya saja ada beberapa masalah dalam penerapan undang-undang kehakiman ini

karena menempatkan kekuasaan kehakiman masih berada di bawah kekuasaan eksekutif yang

menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mandiri. Di dalam Undang-Undang ini memuat

ketentuan diperbolehkannya intervensi eksekutif yakni Presiden atas yudikatif untuk ikut

campur dalam proses peradilan demi kepentigan revolusi. Padahal ketentuan yang termuat

dalam Undang-Undang KEhakiman ini jelas bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam

UUD 1945 yang membagi kekuasaan menjadi 3m yaitu eksekutif, yudikatif dan legislative yang

mana kekuasaan yudikatif adalah merdeka dan mandiri, bebas dari campur tangan dan

intervensi kekuasaan manapun termsuk Kepala Negara, Karen ahal itu melanggar konstitusi.

Salah satu produk hukum yang penting dalam era ini adalah, dikeluarkannya Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang isinya agar para hakim dalam mengadili

suatu perkara agar dihimbau untuk menganulir beberapa pasal tertentu dalam Burgerlijk

Wetboek karena dinilai tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.

e. Masa Tahun 1966 – GBHN 1999 (Periode Jaman Orde Baru)

Pada Tahun 1965 terjadi gejolak politik di tengah-tengah Bangsa Indonesia yang

berkaitan adanya perebutan kekuasaan antara Presidek Soekarno dengan kelompok lain yakni

Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncak dari peristiwa ini adalah terjadinya pemberontakan

Partai Komunis Indonesi (PKI) pada tanggal 30 September 1965 yang menewaskan pahlawan

Revolusi dan berlanjut diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR Sementara pada Tahun 1966

yang melengserkan kekuasaan Presiden Soekarno dan menunjuk Jenderal Soharto sebagai
Pejabat Presiden yang kemudian dikukuhkan menjadi Presiden Republik Indonesia setelah

masa kepemimpinan Soekarno.

Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan masa Orde Baru, terdapat salah

satu kebijakan penting yaitu melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan

melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pada masa Orde Baru ini, terjadi masa dimana

hukum bukan lagi sebagai kekuasaan namun sebagai konstruksi pembangunan negara guna

tercapainya cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Hukum untuk pembangunan tersebut

diterapkan dengan mengacu pandangan Roscou Pound yakni “law as a a toll of social

engineering” (hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat) dan disempurnakan oleh

Mochtar Kusumaatmadja yang menurut pandangan Mochtar bahwa hukum dapat berfungsi

sebagai sarana pembangunan (law as a toll od development).

Pada tahun 1973 tersusunlah materi pembangunan hukum pada Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) yang isinya bahwa pembangunan hukum diperuntukkan bagi

terbentuknya sistem hukum nasional Indonesia yang mengadopsi hukum asli dengan menerima

materi dan unsur dari hukum asing. Selama masa Orde Baru, hukum materiil yang berlaku

masih tetap menggunakan produk hukum kolonial. Kitab Undang_Undang Hukum Perdata,

Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih tetap

berlaku dan belum dilakukan pembaharuan.

Pada masa Orde Baru kembali terjadi dualisme hukum di bidang kehakiman, yakni para

hakim diatur oleh dua lembaga (Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung) sehingga tidak

bebas dan mandiri dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Seringkali hakim diintervensi

oleh penguasa ketika mengadii suatu perkara yang melibatkan Pemerintah, baik dalam perkara

perdata maupun pidana. Penegakan hukum dilaksanakan secara represif, yakni hanya untuk

melindungi kepentingan penguasa. Segala perbuatan yang mengganggu dan merongrong

wibawa Pemerintah akan ditindak tegas secara represif dengan menggunakan produk hukum

yang sudah usang.


Hukum dijadikan saran untuk mempertahankan kekuasaan agar tidak diganggu oleh kelompok

lain yang mencoba melakukan pembaharuan. Sehingga pada masa Orde Baru, tidak ada

pembaharuan di bidang penegakan hukum, demokratisasi dan pemerintahan. Dengan terjadinya

kekuasaan yang represif seperti ini, keberadaan hukum tidak menjamin tegaknya keadilan,

apalagi keadilan subtanstif sehingga menimbulkan praktek penyalahgunaan kekuasaan,

pelanggaran HAM dan tidakan koruptif di semua lini pemerintahan. Akibat penyelenggaraan

negara dan penegakan hukum yang represif dan koruptif tersebut maka terjadi gejolak di dalam

negara, dimana puncak gejolak tersebut munculnya gerakan reformasi untuk menurunkan rezim

Orde Baru era kepemimpinan Presiden Soeharto yang akhirnya berhasil dilengserkan pada

bulan Mei 1998.

f. Masa 1999 – Sekarang (Periode Jaman Orde Reformasi)

Setelah berkuasa selama kurang lebih 30 Tahun, akhirnya rezim Soeharto jatuh setelah

adanya aksi reformasi yang dilakukan segenap komponen bangsa yang dimotori oleh para

mahasiswa dan aktifis pro demokrasi. Aksi tersebut berhasil memaksa Presiden Soeharto

mundur dari kursi Presiden dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada B.J Habibie yang

waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Agenda reformasi pertama yang dilakukan B.J

Habibie adalah melakukan amandemen UUD 1945 melalui Sidang Istimewa MPR Tahun 1998

yang menghasilkan agenda ketatanegaraan yaitu melakukan pemilihan umum pada tahun 1999

untuk memilih pada wakil rakyat (anggota Dewan Perwakilan Rakyat). Dsari hasil Pemilu 1999

tersebut kemudian dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru yang diketuai oleh

Amien Rais selau salah satu took dalam gerakan reformasi pada tanggal 1998 yang berhasil

melengserkan Presiden Soeharto. Pada Tahun 1999 Pemilihan Presiden masih dilakukan oleh

MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden yang dipilih waktu itu adalah Abdurrahman

Wahid yang menggandeng Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Terpilih. Upaya
penataan sistem dan lembaga ketatanegaraan dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid

namun gebrakan yang dilakukan oelh Presideng dinilai terlalu radikal sehingga menimbukan

resistensi di kalangan anggota DPR dan MPR kala itu. Sehingga pada akhirnya Presiden diseret

ke siding Istimewa MPR karena diduga terlibat dalam kasus dana budget Bulog dan Hibah dari

Brunei yang berujung pada pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR yang

kemudian diantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Dari forum Sidang Istimewa MPR tersebut

diangkat Hamsah Haz sebagai Wakil Presiden hingga menjabat sampai pada Tahun 2004.

Pada masa Presiden Megawati dilakukan penataan terhadap sistem ketatanegaraan dan

kelembagaan negara di Indonesia. Penataan sistem ketatanegaraan yang sangat penting adalah

merombak sistem pemilihan Presiden dari pemiliah oleh MPR menjadi pemilihan secara

langsung oleh Rakyat. Oleh karena itulah pada tahun 2004 dilakukan pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden pertama kali di Indonesia. Dari Pemilu Presiden pertama tersebut kemudian

terpilih Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden

periode 2004 – 2009. Model pemilihan secara langsung ini juga kemudian diterapkan pada

pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) sesuai Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2008 bahwa pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat

seperti hanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Reformasi kelembagaan juga dilakukan dengan adanya pembentukan beberapa lembaga

di bidang kehakiman yaitu di samping Mahkamah Agung dibentuk pula Mahkamah Konstitusi

yang diberi kewenangan mengadili perkara-perkar terkait dengan masalah konstitusi khususnya

mengenai uji materiil atas undang-undang terhadap Undang Undang Dasar 1945. Di samping

itu Mahkamah Konstitusi juga diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan

umum. Di samping Mahkamah Konstitusi, juga dibentuk lembaga negara khusus yang bertugas

mengawasi para hakim yaitu Komisi Judisial.


Reformasi hukum di bidang kekuasaan kehakiman telah menjadikan sstem unifikasi

kekuasaan kehakiman yang berada pada satu tangan yaitu Mahkamah Agung sehingga

memciptakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, bebas dari intervensi kekuasaan lainnya.

Seiring dengan waktu kemudian dilakukan perombakan terhadap nama Departemen Kehakiman

menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan kemudia diubah menjadi

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang digunakan hingga sekarang.

Restrukturisasi kelambagaan juga dilakukan dengan menempatkan MPR bukan lagi

sebagai lembaga tertinggi negara namun sebagai lembaga tinggi negara yang sama

kedudukannnya dengan DPR, Presiden dan BPK. Reduksi kelembagaan negara juga dilakukan

dengan menghapus Dewan Pertimbangan Agung (DPA) guna efisiensi penyelenggaraan negara

Selanjutnya pada tahun 2014, tampuk kepemimpinan negara berganti diemban oleh Ir.

Joko Widodo. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini terlihat adanya peningkatan

konsistensi dalam penegakan hukum. Salah satu contoh adalahadanya gebrakan tindakan tegas

terhadap tindak pidana illegal fishing yang dilakukan dengan penenggelaman terhadap kapal

ikan yang tertangkap mencuri ikan di wilayah NKRI. Konsistensi lain adalah dilaksanakan

hukum pidana eksekusi terhadap terpidana mati yang sebelumnya belum pernah dilakukan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perjalanan panjang bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga masa sekarang ternyata turut

serta secara dominan menyumbang dan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan sistem

hukum yang ada di negara Indonesia, Baik dalam bentuk produk hukumnya maupun konsruksi

kelembagaan hukum yang ada dan berdiri di dalamnya. Hal itu terbukti dengan sangat lekatnya

produk-produk hukum kolonial yang secara eksis dan konsisten masih berlaku dalam sistem

ketatanegaraan dan hukum di negara Indonesia. Karena produk kolonial masa lampau yang sudah

mengakar kuat ini sedikit banyak memberikan peran bagi sulitnya penetrasi yang oleh para tokoh-

tokoh hukum yang ada saat ini untuk melaksanakan perombakan dalam semua komponen produk

hukum masa lampau seperti halnya polemik upaya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

yang terjadi dan viral baru-baru ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat yang mana KUHP

merupakan produk murni masa lampau yang sudah berakar kuat dalam ideologi hukum Indonesia

yang menurut Penulis sudah layaknya disesuaikan dengan kondisi perkembangan jaman sekarang.

Namun dengan seiringnya waktu berjalan perlu kita memahami dan kembali berpijak pada salah

satu teori hukum bahwa Hukum bersifat Statis dan juga Hukum Bersifat Dinamis. Yang artinya

bahwa Hukum bersifat Statis dimana hukum merupakan norma dan kaidah peraturan yang berlaku

di masyarakat yang harus tetap ditegakkan tanpa memandang tempat dan kondisi jaman dan faktor

lainnya apapun. Namun juga Hukum Bersifat Dinamis dimana hukum merupakan perwujudan

pranata sosial yang penciptaannya bertujuan memberikan solusi atas kondisi jaman pada masa itu

yang selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat yang ada saat ini.
B. Saran

Dalam penyusunan makalah tentang sejarah hukum ini, Penulis mencoba memahami secara urut

tentang masa lahirnya sebuah tatanan hukum pada sebuah negara dari awal hingga masa sekarang.

Dengan hasil pemahaman sejarah perkembangan hukum Indonesia diatas, Penulis memiliki

beberapa saran tentang materi diatas. Yang pertama adalah besar harapan Penulis agar produk-

produk hukum yang saat ini berlaku memerlukan perbaikan yang bersifat kontinyu dan serius dari

para aparatur hukum di Indonesia demi terciptanya sistem hukum yang kuat dan sesuai dengan

kondisi dan tuntutan perkembangan jaman di era modern saat ini.

Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan jauh dari

kesempurnaa. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber

Penulis akan memperbaiki makalah tersebut . Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta sarannya

mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

Demikianlah Materi pembahasan kali ini ,Semoga artikel ini dapat bermanfaat serta dapat

menambah pengetahuan kita semua.


BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Ali. R. Mohammad. 2012. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta. LKIS Printing Cemerlang

Murhaini, Suriansyah. 2017. Hukum dan Sejarah Hukum. Yogyakarta: Laksbang

M.Manullang, E Fernando. 2016. Selayang Pandang Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai