Anda di halaman 1dari 373

MAKALAH

SEJARAH HUKUM ROMAWI

Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H

Oleh :
Nofanti Laleno
20202108052

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,
sedangkan sejarah hukum satu aspek dari hal itu, yakni hukum. Apa yang berlaku
untuk seluruh , betapa pun juga berlaku pula untuk bagian, maksud dan tujuan
sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga dalil-dalil atau
hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan. Jadi , dengan demikian
permasalahan yang dihadapi sejarawan hukum tidak kurang ‘ impossible’ dari pada
setiap penyidik dalam bidang apa pun. Namun dengan mengutarakan bahwa
sejarawan hukum harus berikhtiar untuk melakukan penulisan sejarah secara
integral, nampaknya Van den Brink terlampau jauh jangkauannya, justru pada tahap
terakhir ia melangkahi tujuan spesifik sejarah hukum ini.1
Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti pohon,
syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history; Bahasa latin dan
Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti orang pandai.2 Bahasa
Spanyol menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa
Prancis histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche
hen yang berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif);3
Arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang kejadian, peristiwa, dan
masyarakat masa lalu. Biografi , kisah penaklukan dan kisah orang-orang
termasyhur, peristiwa tertentu yang terjadi pada setiap bangsa yang di susun oleh
bangsa tersebut, termasuk dalam kategori ini. Dalam pengertian ini , pertama, arti
sejarah adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan
dengan individu, kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah
adalah pengetahuan tentang ‘wujud’bukan tentang ‘menjadi’, keempat, sejarah
berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Dalam terminology ini,
sejarah seperti ini disebut “sejarah rawian”. 4 Sejarah hukum dari masa ke masa
menunjukkan bahwa unsur keadilan tidak pernah hadir total dalam tubuh hukum,
seperti juga unsur suara rakyat tidak pernah singgaah menetap dalam tubuh
demokrasi. Sebabnya, karena unsur keadilan dan suara rakyat tergilas oleh
terjadinya dilusi yang saling sambung-menyambung.Menurut Munir Fuady,
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari ilmu

1
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar, Bandung: Refika
Adita Utama, 2011). Hal 11
2
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
3
Ibid. hlm 2
4
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016) hlm. 3
sejarah (karenanya bukan cabang dari ilmu hukum). Yang merupakan cabang dari
ilmu hukum ) , yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi, menginterpretasi,
Menyusun dalil dan kecenderungan, dan menarik kesimpulan tertentu tentang
setiap fakta, konsep, kaidah , dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang
pernah berlaku, baik secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta
ketersentuhannya dengan bidang lain dari hukum. 5Soedjono D, menjelaskan
bahwa : “ sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan
memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan
waktu. 6Perkembangan metode dan ilmu sejarah hukum terbilang relative lambat,
karena sejarah hukum ini baru di kenal semenjak ahli sejarah hukum, yaitu Von
Savigny, mencetuskan teori Historical Jurisprudence. Keterlambatan lahir dan
perkembangan sejarah hukum disebabkan oleh beberapa factor sebagai berikut .
1. Kuatnya pengaruh ajaran hukum alam yang modern maupun klasik, dengan
mengandalkan logika, dengan mengembangkan cara berpikir bahwa seolah-
olah semua masalah hukum dapat dipecahkan dengan akal sehat menuju
satu hukum yang rasional yang dapat berlaku di mana-mana.
2. Kuatnya pengaruh paham agama dalam bidang hukum terjadi sejak dahulu
kala.
3. Kuatnya pengaruh paham positivisme dalam hukum, terutama di abad 18
dan 19 , yang mengarahkan pandangan orang tentang hukum hanya yang
terjadi pada saat itu saja, sebagaimana tertulis dalam undang-undang atau
bagaimana diperintahkan oleh penguasa.
John Gillisen dan Fritz Gorle menambahkan beberapa fungsi dari sejarah hukum,
yaitu sebagai berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak , tetapi juga
berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
2. Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti melalui
sejarah hukum
3. Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula untuk
mengetahui budaya dan pranata hukum.
4. Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip perlindungan hak
asasi manusia.
Karena berbagai fungsi dan kegunaan dari sejarah hukum seperti di atas maka
disiplin sejarah hukum sekarang telah menjadi suatu ilmu dan metode yang
dipelajari oleh banyak orang.
B. Rumusan Masalah

1) Bagaimanakah Perkembangan Sejarah Hukum Bangsa Romawi?


5
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013) hlm 1
6
Sunarmi, Sejarah Hukum hal 12
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sejarah Hukum Romawi

Hukum itu adalah suatu gejala dari masyarakat yang senantiasa bergerak,
yang berkaitan dengan gejala lainnya dalam hubungan pengaruh memengaruhi
secara timbal balik tanpa henti-hentinya, tidak ada yang ditangkapnya selain kata-
kata polos, bahwa hukum itu harus memperhatikan kebutuhan masyarakatnya. 7
Pemikiran teoritis mengenai hukum dalam masyarakat di tengah-tengah
pengalaman perubahan peradaban Eropa barat abad ke 19 adalah pemikiran-
pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi evolusionisme. Marx
sebagai salah satu pemikir evolusionis yang mengonsumsikan selalu adanya
dinamika perubahan dalam masyarakat.
Diasumsikan bahwa perubahan adalah selalu suatu perubahan transional
yang tak terelakkan sehubungan dengan adanya keniscayaan dialektika yang
kodrati, dan termanifestasi dalam sejarah dari suatu model kehidupan tertentu ke
suatu model kehidupan tertentu yang lain. Sejalan dengan perubahan itu, hukum
pun sebagai komponen sistem kehidupan akan ikut pula berubah secara fungsional8.
Jika ditinjau dari perkembangan sistem hukumnya, Negara Romawi yaitu
merupakan negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan lebih hebat dari negara-
negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem hukum yang dibuat oleh
bangsa romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan sistem hukum yang dibuat
oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Sistem hukum Romawi (yang sekuler itu )
jauh berbeda dengan sistem hukum yang dibawah oleh agama (Yahudi,
Kristen,Islma,hindu, dan Buddha), meskipun sistem hukum yang berlandaskan
agama di percaya berasal dari langit yaitu dari Tuhan yang diturunkan ke dunia
melalui rasul-rasul Tuhan.
Prestasi bangsa Romawi bahkan dalam membuat hukum jauh lebih besar
dari penjumlahan prestasi semua bangsa yang mendiami dunia saat ini. Ini memang
fantasis, bahkan lebih dari itu. Bukan hanya sector hukum yang merupakan hasil
sumbangan bangsa romawi kepada dunia yang masih berpengaruh hingga sekarang,
tetapi banyak sector kehidupan lainnya yang juga terpengaruh. Misalnya pengaruh
dari abjad Romawi, sistem hukum pemerintahan romawi dan sebagainya.
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada
bandingannya dengan sejarah hukum maupun di dunia ini. Perkembangan hukum

7
C. van Vollenhoven, Orientasi dalam hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan, 1980) hal 1
8
Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Hal 22
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut.9
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (Hakim dan Legislatif
sekaligus)
Sistem hukum Yunani dalam sejarahnya kurang menekankan fungsi dan
peran para ahli hukum, akibatnya profesi hukum, seperti advokat dan
hakim, tidak berkembang di sana. Bahkan, hakim, jadi bukan profesi
seumur hidup. Para hakim rakyat ini disebut Dikateries. Lihat saja
pengadilan terhadap Socrates di Yunani, di mana yang menjadi hakim
adalah ratusan warga negara di Athena. Sebaliknya sistem Hukum
Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat menghargai
peran dan eksistensi dari profesi hukum. Misalnya, kala itu dikenal jabatan
Preator yang merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Preator ini
sangat berperan dalam membentuk dan mengembangkan hukum di
romawi.
2. Faktor penghormatan terhdap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikatn apresiasi yang tinggi terhadap
profesi advokat. Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam
bidang hukum. Mereka ini tidak hanya mengajukan argumentasi cerdas
Ketika membela klien-kliennya, melainkan juga memberikan pendapat-
pendapatnya dalam bentuk buku-buku hukum. Cicero adalah salah satu
dan yang paling terkenal di antara advokat Romawi saat itu.
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas
sehingga memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan
wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuas
Kerjaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga
memiliki waktu yang Panjang dalam menciptakan hukum.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecehan kerjaan Romawi)
Raja Justinian mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam suatu panitia
yang bertugas untuk Menyusun Kembali hukum Romawi yang mulai
berserakan dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke
dalam satu kitab hukum yang sistematis.

6. Kebangkitan Kembali hukum Romawi


Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan Kembali hukum romawi
yang berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke 12,
di mana hukum romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian.

9
Ibid,Munir Fuady Hal 198
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan
hukum Romawi. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara
tertentu sangat berpengaruh bagi dunia hukum dengan membuat berbagai
kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di Prancis yang di dasarkan
pada Code Justinian, atau pembuatan Code Civil Jerman yang di dasarkan
pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian.
Dimasa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat negara
yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai berikut:10
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan Raja,
meskipun Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki
kewenangan sebagai panglima perang yang ditujukan oleh Comitia
Centuriata, tetapi memerlukan ratifikasi dari parlemen untuk masa jabatan
satu tahun.
2. Praetor
Preator pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Preator merupakan
semacam pejabat di Kehakiman di zaman modern, yang diangkat oleh
Comitia Centuriata. Preator bertugas mengatur masalah administrasi yang
berkenaan dengan hukum sehingga mempunyai banyak kontribusi terhadap
perkembangan hukum romawi.
3. Quaestor
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan Preator yang
dikhusukan di bidang finansial, administrasi Criminal Justice, pejabat
hukum yang penting di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SM. Sesuai namnya, censor
memiliki tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan untuk
menentukan tantang siapa saja yang mempunyai hak pilih.
5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan
anggota dari parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan
rakyat jelata (jadi tidak ada golongan bangsawan). Mereka mempunyai hak
veto di parlemen.
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerintahan yang bertugas melaksanakan
kepentingan rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi
kemudian menjadi perwakilan dari kaum bangsawan.
Hukum Romawi berkembang sangat Panjang dalam sejarah. Dalam
perkembangannya yang cukup lama tersebut, ada berbagai cara membagi tahap-
tahap perkembangan hukum Romawi. Salah satunya ialah dengan membagi
perkembangan hukum Romawi dalam tahap sebagai berikut :
1. Tahap awal hukum Romawi.

10
Ibid, Hlm 199
2. Tahap republik
3. Tahap awal imperium
4. Tahap imperium kristiani
5. Tahap Code Justinian
6. Tahap hukum Kanonik
7. Tahap kodifikasi Barbar
8. Tahap pengkajian Kembali hukum romawi
9. Tahap resepsi hukum romawi 11
Pada umumnya sejarah hukum Romawi yang sangat Panjang ini dibagi menjadi tiga
periode dengan berbagai rezim politik yang hampir sama banyaknya. Yaitu pada
periode pertama yaitu Monarki sejak 753 SM-510 SM), Periode kedua yaitu
Republik sejak 510 SM- 27 SM, kemudian pada periode ketiga yaitu Imperium sejak
27 SM- 476 M . Pada tahun 476 M merupakan kehancuran Romawi Barat, yang
ditaklukan oleh pemimpin Suku Barbar, yaitu Odoacer dari Jerman. Meskipun
begitu, Romawi timur masih tetap hidup, bahkan raja yang berjasa besar di bidang
hukum Romawi, yaitu Justinian, baru mulai memerintah Bizantium sejak tahun 527
M. Pilihan pada hukum Romawi sebagai modal, memang disebabkan oleh adanya
suatu penilaian, bahwa karya Justinianus itu sebagai pencerminan dari budaya
Romawi yang dianggap ideal. Orang-orang Romawi dengan kejeniusannya telah
membangun institusi dan akal sehatnya yang praktis dapat menghasilkan
penyelesaian yang memuaskan terhadap masalah hukum yang dihadapkan
kepadanya. Penyelesaian itu dilakukan berdasarkan hukum yang telah disusun dan
diberlakukan oleh kaisar. Karena itu ketika hukum Romawi mula-mula dipelajari
dan kemudian akan digunakan untuk menghadapi permasalahan sosial yang
berkembang, hukum tersebut diinterpretasi dan diberikan komentar oleh para
Glossator dan Comentator. Dengan dasar interpretasi dan komentar tersebut, hukum
Romawi memperoleh aktualitasnya dalam tataran praksis. Di samping itu hukum
Romawi memiliki kekuatan berlaku secara langsung sebagai perintah dari
kekaisaran Romawi ( imperium romanum).12
Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi besar
lainnya, yaitu Code Napoleon (1804 M), disamping dasar lainnya berupa kebiasaan
setempat. Untuk sekedar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon Tersebut,
beberapa prinsip hukum yang ada di dalamnya dapat disebutkan sebagai berikut;
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada
hukum yang berlaku surut.
2. Hakim yang menolak perkara dengan alas an undang-undangnya tidak
jelas, kabur, tidak cukup di atur, harus bertanggungjawab karena menolak
keadilan.
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya.
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alas an perzinahan yang
dilakukan oleh isterinya.

11
Ibid, Hal 201
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, h. 263.
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alas an perzinahan yang
dilakukan oleh suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat
tinggal Bersama mereka.
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alas
an adanya Tindakan kasar, memukul, dan melukai pasangannya oleh yang
satu terhadap yang lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah
dijatuhkan hukuman oleh pengadilan.
Selain Corpus Juris Civilis yang terkenal dan The Twelve Tables , sebenarnya di
Romawi masih banyak undang-undang lain, meskipun bukan dalam bentuk
kodifikasi.
B. Sumber- sumber Hukum Romawi
1. Periode Dini
Sekitar abad-abad VII dan VII SM Roma dikuasai oleh “ organisasi clan” dari
keluarga-keluarga besar ( gentes) yang dapat dibandingkan dengan “clan-clan”
Yunani. Kekuasaan kepala keluarga praktis tidak terbatas dan anggota-anggota
gens ini terikat oleh suatu solidaritas aktif dan pasif. Tanah, sepanjang hal tersebut
merupakan objek pemilikan tidak dapat diasingkan. Sejak awal Republik (abad V
SM) evolusi hukum Romawi dipercepat oleh peranan hukum plebeyer yang
semakin meningkat, yang kemungkinan besar adalah orang-orang asing-kaum
pedagang dan petani yang hidup di luar organisasi tradisional kaum gentes dan
kaum plebeyes tersebut telah menjurus kea rah kesamaan politik, sosial dan
keagamaan. Secara berangsur-asur kaum plebeyer ini memperoleh ha katas hukum
privat yang sama dengan yang berlaku atas kaum patrisia. Sumber hukum romawi
sebagai berikut:
1. Kebiasaan ( Mos Maiorum consuetudo)
Sebagaimana setiap hukum arkhaistis maka hukum Romawi kuno
tersebut berbasiskan kebiasaan, mos maiorum ( adat kaum leluhur) atau
Consuetudo (kebiasaan). Nampaknya disini menyangkut kebiasaan-kebiasaan
setiap clan keluarga masing-masing. Kebiasaan-kebiasaan ini antara lain
menyangkut permasalahan-permasalahan perkawinan dan nama. Dan kemudian
pada zaman republik terbentuklah pula kebiasaan-kebiasaan kota-kota, yang di
dalamnya akan dimasukan kebiasaan-kebiasaan kaum gentes dahulu.Tentang
isi hukum kebiasaan kuno ini sedikit sekali diketahui orang, satu dan lain karena
hal tersebut tidak di catat. Sampai sekarang tidak dijumpai jejak-jejak tentang
hal ini di dalam undang-undang kerajaan (leges regiae), di dalam undang-
undang dua belas prasasti, edik-edik magistrat- magistrat dan di dalam tulisan-
tulisan para yuriskonsul atau pakar-pakar hukum .13
2. Undang-undang (Lex)
Pada periode kerajaan dan pada Republik dini nampaknya tidak ada
kegiatan perundang-undangan yang terjadi. Pada saat-saat tersebut aksara

13
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle, Op.cit hlm 173
nyaris dikenal. Undang-undang kerajaan (leges regiae), yang menurut tradisi
dianggap di susun oleh raja-raja Romulus dari Numa, raja pembuat undang-
undang, terutama adalah keputusan-keputusan yang bersifat keagamaan yang
diambil alih oleh raja dalam kepastiannya selaku Pontifex Maximus (Ulama
tertinggi). Selain ritual-ritual persembahan korban hal-hal itu hanya berkaitan
dengan beberapa aturan hukum privat dan hukum pidana yang mempunyai
akibat-akibat keagamaan. Lex ini atau paling tidak Lex Publica atau undang-
undang umum adalah sebuah kata (surat) yang dikeluarkan oleh penguasa
umum yang membentuk aturan-aturan ini dipandang sebagai suatu perintah
umum rakyat atau kaum plebs, yang dirumuskan atas permintaan magistrat ( lex
est generale iussum) populi aut plebs, rogente magistrate). Hanya megistrat-
magistrat tertinggi, konsul-konsul, praetor-praetor, tribun-tribun atau diktatore-
diktatore yang boleh mengambil inisiatif untuk itu; mereka mengusulkan
sebuah naskah (rogasio) yang selalu suatu waktu tertentu digantung pada papan
pengumuman pada awal rapat kuriat-kuriat, selama abad-abad V dan IV
terutama pada rapat senturiat-senturiat dan sejak lex Hortensia tahun 287 di
dalam rapat tribun-tribun megistrat yang mengajukan rancangan undang-
undang tersebut mempertahankannya acapkali dalam bentuk yang telah
diamenir di hadapan sidang dewan. Jadi peranan megistrat di sini luar biasa
pentingnya, sedangkan 14peranan sidang-sidang juga penting, namun hanya
sebagai pelengkap. Tambahan pula pemberian persetujuan oleh senator-senator
merupakan syarat, yakni Auctoritas partum, pada awalnya hal ini
terelengaranya melalui pemberian persetujuan sebelumnya.
3. Undang- undang duabelas Prasasti
Dari semua undang-undang yang berasal dari periode Republik nampaknya
undang-undang duabelas prasasti ini yang menarik perhatian. Ia pada hakekatnya
merupakan salah satu fundamental ius civile. Dan signifikansinya pada zaman
Justianus, bahkan demikian ia telah lama diusulkan oleh sumber-sumber hukum
lain. Menurut legenda Undang-undang ini dibuat atas permintaan kaum plebeyer,
yang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan kota sebagai berikut interpretasinya oleh
kaum ulama tinggi dan yang menaruh kebenaran atas Tindakan-tindakan semena-
mena megistrat- megistrat patrisia. Pencatatan undang-undang tersebut konon telah
diserahkan kepada sepuluh orang komisaris, yakni komisi desemviri pada tahun-
tahun 451-499 SM. Naskah original yang diukir di atas duabelas prasasti , pernah
dipamerkan pada forum namun pada sekitar tahun 390 SM musnah tatkala Roma
dijarah oleh kaum Gallia.
C. Proses Pengadilan di Zaman Romawi
Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan, karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat
banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat, upaya pencari keadilan dalam membawa

14
Ibid ,hal 174
kasus-kasusnya ke pengadilan. Konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara
dalam kasus-kasus perdata ialah terhadapnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi
dalam perkara perdata, antara lain sebagai berikut;
1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan.
2. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. Penggugat bertanggungjawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke
pengadilan
4. Penggugat bertanggungjawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi) sendiri
terhadap putusan pengadilan.
5. Karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak
tahap yang harus dilalui dan diatur secara sangat rigi, yang apabila keliru
sedikit dapat menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang
harus dilakukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, maka risiko akan
semakin lebih banyak ditanggung oleh para pihak tersebut sebagai pencari
keadilan.15
Disamping itu, di zaman Romawi sudah dikenal dan berkembang profesi
Advokat. Mereka umumnya kurang berpengetahuan tentang hukum, tetapi
sangat mahir berpidato. Sebelum menjadi advokat, mereka umumnya terlebih
dahulu belajar metode berpidato yang retorik dari Yunani. Karena itu Advokat
Romawi sangat mahir berpidato dan adu argument. Yang paling terkenal di
antara mereka adalah Cicero yang memiliki pengetahuan yang sangat luas,
termasuk pengetahuannya tentang filsafat, logika, dan ilmu Politik. Selanjutnya
dari kalangan hakim yang sangat terkenal adalah Julian, sedangkan conselor
terkenal adalah Ulpian dan Papinian. Profesor yang terkenal di Romawi adalah
Quintilian, sedangkan juris terkenal adalah Gaius. 16
Para advokat boleh mengambil fee dari kliennya sebagai imbalan dari jasanya
sebagai advokat. Namun, di masa Romawi berbentuk Republik, sering juga para
advokat tidak memungut fee dari kliennya, karena umumnya mereka berasal
dari keluarga aristocrat yang kaya.
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur
tertentu yang cindering rigid. Pengadilan dibagi kedalam dua tahap yaitu tahap
hearing prelimentary dan tahap kedua yaitu proses pengadilan penuh. Tahap
hearing preliminary sebelum hakim memeriksa perkaranya di pengadilan. Pada
proses ini selain untuk mengangkat hakimnya, kedua bela pihak wajib hadir
untuk saling bertukar argument dalam hubungan dengan kasus yang
bersangkutan.
D. Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal ( The Twelve Tables)
Sebagaimana tercatat dalam sejarah hukum bahwa hukum Romawi Klasik
tertulis yang paling tua yang pernah kita temukan saat ini adalah dokumen yang

15
Op.Cit Munir Fuady, Hal 209
16
Loc.cit
dikenal dengan “ hukum dua belas pasal “ ( the twelve tables). Hukum tersebut
juga disebut dengan “ hukum dari raja ( the law of the King) yang dibuat sekitar
tahun 451-450 SM , merupakan gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan
kebiasaan yang saat itu berlaku di romawi. Karena itu tahun 450 SM dianggap tahun
lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental. Tahun 450 SM, kodifikasi di Romawi
selesai dibuat, yang terdiri atas 10 bab saja. Namun demikian, setelah didiskusikan
oleh masyarakat, timbul desakan untuk menambah jumlah bab yang ada dalam
kitab undang-undang tersebut. Akhirnya, pada tahun 449 M, tim kedua yang juga
terdiri atas 10 orang, berhasil menambah dua bab lanjutan sehingga kesemuanya
menjadi 12 bab. Karenanya, undang-undang tersebut disebut dengan kitab undang-
undang 12 bab/pasal ( The Twelve Tables), yang masing-masing bab ditulis pada
satu lempengan/prasasti.17
Menurut satu Riwayat, lempengan tembaga asli tempat ditulis The twelve
tables tersebut ikut dirumuskan Ketika the Gauls, di bawah pimpinan Brennus,
menyerang dan membakar Roma sekitar tahun 390 M, apa yang tertinggal dan dapat
dibaca oleh rakyat di kemudian hari hanyalah edisi tidak resminya, yaitu kutipan-
kutipan dari beberapa penulis, seperti dari Cicero dana Gelius.
Undang-undang 12 pasal ( The Twelve Tables) tersebut berisi hal-hal
sebagai berikut:
Table I : Prosedur Beracara di Pengadilan
Table II: Acara Pengadilan (lanjutan)
Table III: Utang piutang
Table IV : Hak-hak dari Ayah terhadap Anggota keluarga
Table V : Perwalian dan hukum Waris
Table VI : Perolehan dan Pemilikan Benda
Table VII: Hak-hak atas tanah
Table VIII : Perbuatan melawan hukum dan delik
Table IX : Hukum Publik
Table X: Hal-hal yang suci/ penguburan
Table XI : Tambahan I (tentang perkawinan)
Table XII: Tambahan II (tentang Hukum Kebiasaan/Pidana)18

17
Ibid,hal 224
18
Kempin , Frederick G. Common Law History. Vol 2, no. 2 April 1976.West Bengel, India: Sri
Mohan Mishra at Intertrade Publication Private Ltd, 1976
Mengenai kontrak, khususnya tentang kontrak utang piutang, diatur dalam
pasal III (table III) ayat 1, yang merupakan cikal bakal lembaga sandera, pengakuan
utang murni, dan eksekusi untuk pengakuan utang, seperti yang dikenal saat ini.
Cicero, seorang ahli hukum terkemuka dan negarawan Romawi, cenderung
menyamakan alam dengan akal. Menggunakan akal manusia sebagai metode untuk
dapat masuk ke dalam fenomena hukum yang transcendental. Hakikat hukum
adalah akal yang benar, yang sesuai dengan alam, ia dapat diterapkan di mana pun,
tidak berubah dan abadim ia menuntut kewajiban melalui perintahnya dan
mencegah perbuatan yang salah melalui larangannya.19
Cicero mengemukakan seorang raja hendaklah tidak menerapkan hukum
yang rusak, karena hukum yang rusak adalah kekuatan terbesar yang akan merusak
kehidupan rakyatnya. Dalam perspektif pandangan modern, hukum yang rusak
dapat disepadankan dengan hukum yang dalam pembentukannya tidak didasarkan
keutuhannya karakteristik permasalahan yang akan diaturnya, atau yang dalam
pembentukannya tidak berdasarkan pertimbangan yang komperhansif.

E. Corpus Juris Civilis


Proses pembuatan kitab undang-undang Justinian ( Code Justinian) dimulai
pada tahun 528 M, hanya beberapa bulan saja setelah Raja Justinian menduduki
singgasana raja. Karena, itu banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya sejak
jauh-jauh hari sebelum menjadi raja, Justinian sudah merencanakan untuk membuat
kodifikasi tersebut. Kemudian, disamping proyek pembuatan kodifikasi merupakan
salah satu proyek besar yang berhasil dilakukan oleh Raja Justinian, tetapi Code
Justinian inilah yang sebenarnya dan diikuti oleh negara-negara di hamper seluruh
dunia. Dalam proyek pembuatan Code Justinian ini, orang yang paling banyak
berjasa dan banyak terlibat adalah tribonian dan orang yang memegang banyak
jabatan penting, seperti consul, quaestor, serta orang yang banyak mengetahui hasil
kerja ahli hukum klasik. Justinian merupakan raja dari Kerajaan Bizanium (di
Romawi Barat), Ketika Romawi Timur telah menyerah kepada bangsa Barbar yang
datang dari jerman. Justinian memerintah Bizantium di tahun 527 M sampai tahun
565 M. Justinian merupakan raja yang besar dari Kerajaan Bizantium. Dia berhasil
membangun banyak Gedung pemerintahan dan gereja secara massal. Bahkan,
Gedung katedral St. Sophia di Konstantinopel merupakan suatu keajaiban. Dia
berhasil pula membangun sistem perdagangan Kawasan, bahkan berhasil
membangun rute perdagangan baru. 20 Namun, yang paling spektakuler adalah
keberhasilannya dalam menghimpun seluruh hukum Romawi yang berlaku sampai
saat itu, dalam bentuk kodifikasi yang dikenal dengan code Justinian, yang
sekarang, memengaruhi hamper seluruh sistem hukum di dunia ini. Sejarah juga
mencatat keberhasilan dan keteguhan hati Raja Justinian sebenarnya dikarenakan
dorongan terus-menerus dari isterinya, yaitu Theodora. Di masa Raja Justinian,

19
E. Bodenheimer, Jurisprudence: The Philosophy and Method of Law, 1974 Hlm 14-17.
20
Op.cit, Kempin , Frederick G
Code Justinian dilarang untuk ditafsirkan, apalagi diubah. Karena menurut
Justinian, menafsirkan hukum atau mengubah hukum akan menyebabkan hukum
menjadi kacau balau. Karena itu, tinggallah code Justinian seperti apa adanya, yang
banyak bagiannya sebenarnya susah dimengerti. Setelah kematian Justinian, mulai
dilakukan penafsiran yang luas, diringkaskan, bahkan diamandemen sehingga lebih
gampang dimengerti oleh banyak orang. Penyingkatan pertama secara resmi,
dilakukan di tahun 740 M yang disebut Ecloga (kalimat-kalimat pilihan). Ecloga
pada prinsipnya merupakan ringkasan bagian-bagian penting dari kodifikasi dengan
disana sini dilakukan amandemen tertentu. Corpus Juris Civilis itu terdiri atas
empat bagian sebagai berikut :
1. The Instittute.
2. The Digest
3. The Code
4. The Novels.
The institute hanya berisi teks yang merupakan pengantar saja; The Code
Merupakan kumpulan aturan Legislasi bangsa Romawi yang disusun secara
sistematis; The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat setelah selesainya
pembuatan The digest dan the code. Namun yang terpenting adalah The Digest yang
merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap dan sangat memengaruhi
perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum eropa continental,
khususnya dalam bidang-bidang seperti status personal, perbuatan melawan
hukum, kepemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah ganti rugi, dan lain-lain.
Bahkan dapat dikatakan bahwa The Digest Bersama dengan The Code inilah yang
merupakan dasar dari hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum
eropa continental sampai saat ini.
F. Peninggalan Sejarah Hukum Romawi
Hukum Romawi ternyata banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat
terbaca sampai dengan sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis
undang-undang atau dokumen hukum lainnya di atas batu marmer dan lempengan
perunggu. Tidak kurang dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di
Capitoline Hill, suatu perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah
hilang. Salah satu dokumen hukum yang masih tersimpan utuh adalah Lex Julia
Municipalis, yang dibuat pada tahun 45 SM. Lex Julia municipalis merupakan
dokumen yang berisi tentang peraturan tata kota di kota Roma, yang merupakan
model pengembangan dari model yang ada di Yunani.
Berikut ini beberapa ketentuan dari lex Julia municipalis. Lex Julia
Municipalis: peraturan lalu lintas setiap adile (petugas pelayanan publik) telah
ditugaskan oleh peraturan ini, harus bertanggungjawab untuk memperbaiki dan
menjaga agar jalan umum di semua tempat di bagian kota untuk masing-masing
bagian kota yangs ecara khusus telah ditujukan kepadanya.21

21
Munir Fuady Op.Cit , hal 233
Hak kewarganegraan masyarakat di Roma, seperti di Yunani, bukanlah
seluruh penduduk, tetapi kesatuan warga negara. Tidak setiap orang yang tinggal di
wilauyah itu adalah warga negara, tetapi hanya dia yang memiliki hak
kewarganegaraan. Warga negara ini memiliki banyak keistimewaan. Hanya dia
yang menjadi anggota Lembaga politik; hanya yang memiliki hak suara dalam
majelis rakyat romawi, menjadi tentara, hadir pada upacara-upacara keagamaan di
Roma, untuk terpilih sebagai hakim Romawi. Inilah yang disebut hak-hak public.
Hanya warga negara yang dilindungi oleh hukum Romawi, hanya dia yang
memiliki hak menikah secara legal, menjadi ayah bagi sebuah keluarga, yakni
menjadi tuan bagi isteri dan anak-anaknya, membuat wasiat, membeli atau menjual,
ini adalah hak-hak pribadi22.
Mereka yang bukan warga negara tidak hanya tidak bisa menjadi tentara
dan anggota majelis, tetapi mereka tidak bisa menikah, tidak bisa memiliki
kekuasaan absolut seorang ayah, tidak bisa memiliki kekuasaan absolut seorang
ayah, tidak bisa memiliki property secara legal, tidak bisa meminta hukum Romawi,
atau menuntut keadilan di pengadilan Romawi. Dengan demikian warga negara
merupakan aristokrasi di tengah-tengah penduduk kota lainnya. Tapi mereka tidak
sama di antara mereka sendiri. Ada perbedaan kelas, atau sebagaimana kata orang
Roma, peringkat.
Hukum suatu bangsa senantiasa merupakan hasil dari proses sosial yang
lebih besar, yang dijalani oleh suatu bangsa. Penerapan asas personalitas pada
hakikatnya telah memungkinkan hukum romawi tetap bertahan di eropa barat
kendati pun negara Romawi Barat itu sendiri telah sirna. Penduduk Eropa barat
yang telah mengalami pengaruh proses romanisasi betapapun juga menerapkan
hukum Romawi selama tiga sampai empat abad, yakni abad V sampai abad VIII,
para yuris dan hakim tetap saja mempergunakan naskah-naskah hukum romawi
klasik ini terutama karya-karya para yuriskonsul terkenal dari abad-abad II, III, dan
undang-undang yang disebut Constitusionis. 23
Hukum Romawi nampaknya tetap berevolusi, Sebagian besar melalui
kontak dengan hukum-hukum kebiasaan Germana. Hukum kemudian berbaur
dengan kebiasaan-kebiasaan local masing-masing daerah. Karena nyaris tidak
dijumpai sumber-sumber, maka Sebagian besar hukum tersebut tidak dikenal lagi.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan
hukum Romawi di zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari
berlakunya undang-undang dua belas pasal di tahun 4650 SM, Sampai dengan
terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M. Namun demikian
warisan hukum Romawi tetap dipertahankan pada abad ke 15 dengan
kumpulkannya hukum-hukum Romawi di tempat ke dalam suatu kodifikasi hukum
yang disebut dengan CORPUS JURIS CIVILIS / CODEX JUSTIANUS ROMAWI
atauyang disebut dengan ROMAN CIVIL CODE. Dilanjutkan pada abad ke 18

22
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Dunia Kuno, Indoliterasi; Yogyakarta 1912, hal 221
23
Gaudemet, J., La formation de Droit seculier et du Droit de I’ Eglise aux IVe et Ve Siecles,
Cetakan ke-2, paris 1979, Roman Law in Mediaeval Europe, Oxford, 1929
(1805) pada saat terjadi Revolusi Perancis dengan dibentuk suatu kodifikasi hukum
yang disebut dengan CODE CIVIL DES FRANCAIS/CIVIL CODE NAPOLEON
dan B.W (BURGELIJK WETBOOK). Penerapan sistem hukum tersebut di
Perancis dianggap berhasil di Eropa dan pada akhirnya diikuti olehbeberapa negara
di Eropa daratan diantaranya Jerman dan Belanda.24
Dalam sistem hukum yang disebut mazhab kontinental, hukum ditanggapi
sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan: hukum adalah undang-undang
yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional, di mana
pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan.
Hukum ialah ius atau recht.Bila suatu hukum yang konkrit, yakni undang-undang
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu sudah tidak bersifat
normatif lagi, dan sebenarnya tidak dapat disebut hukum lagi. Undang-undang
hanya hukum bila adil. Dengan kata teknis : adil merupakan unsur konstitutif segala
pengertian tentang hukum25.
Kebangkitan Kembali hukum Romawi dimulai dari Bologna (Italia) di
penghujung abad ke-11. Sejak saat itu, di Bologna berkembang universiytas-
universitas modern yang utamanya mempelajari hukum Romawi, khususnya
Romawi versi Corpus juris Civilis. Selanjutnya muncul berbagai universitas untuk
mempelajari hukum hukum Romawi di Italia.

24
C.S.T. Kansil, Et.Al. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2005).
25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Jogjakarta: Pustaka Kanisius, 1995). Hlm 71
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Romawi yang merupakan sumber dari sistem civil law telah
menempuh sejarah yang panjang untuk sampai kepada tingkat perkembangan yang
tinggi. Semua itu bermula dari penemuan Corpus Iuris Civilis. Kodifikasi itu
merupakan puncak pemikiran hukum Romawi yang sudah ratusan tahun.
Sebenarnya kodifikasi tersebut merupakan suatu kompilasi kasus-kasus yang
diselesaikan di Romawi bagian barat. Corpus Iuris Civilis tidak diundangkan di
kekaisaran Romawi Barat. Orang-orang Romawi dengan kejeniusannya dalam
membangun institusi dan akal sehatnya yang praktis dapat menghasilkan
penyelesaian yang memuaskan atas masalah-masalah hukum yang dihadapkan
kepada mereka. Penyelesaian itu diselesaikan dengan merujuk kepada hukum yang
diberlakukan oleh kekaisaran itu. Sejarah hukum Romawi menunjukkan betapa
pesatnya dan besarnya kemajuan perkembangan Hukum bangsa Romawi. Banyak
kodifikasi dan aturan yang belaku, yaitu Code Justinian pada tahun 528 M, Code
Napoleon 1804 M, The Twelve Tables atau Kitab Undang-undang 12 pasal. Dalam
hal prestasinya di bidang hukum, bangsa Romawi adalah bangsa terbesar yang tidak
bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa lain mana pun di dunia.
B. Saran
Mempelajari sejarah hukum memiliki manfaat antara lain yaitu untuk memperluas
wawasan kita tentang hukum, proses terjadinya dan perkembangan khususnya
hukum suatu bangsa tertentu. Untuk itu penting untuk lebih mendalami secara lebih
jauh tentang sejarah hukum, terutama sejarah hukum Romawi Kuno yang terkenal
dengan prestasinya di bidang hukum. Di harapkan akan banyak tulisan-tulisan yang
mengulas tentang Perkembangan Hukum Romawi di Indonesia.
Daftar Pustaka

Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Dunia Kuno, Indoliterasi; Yogyakarta 1912,


C. van Vollenhoven, Orientasi dalam hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan,
1980)
C.S.T. Kansil, Et.Al. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2005)

Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar,
Bandung: PT Refika Adita Utama, 2011).
E. Bodenheimer, Jurisprudence: The Philosophy and Method of Law, 1974
Gaudemet, J., La formation de Droit seculier et du Droit de I’ Eglise aux IVe et Ve
Siecles, Cetakan ke-2, paris 1979, Roman Law in Mediaeval Europe,
Oxford, 1929

Kempin , Frederick G. Common Law History. Vol 2, no. 2 April 1976.West Bengel,
India: Sri Mohan Mishra at Intertrade Publication Private Ltd, 1976
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013)
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016)
Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya

Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Jogjakarta: Pustaka Kanisius, 1995)


MAKALAH

SEJARAH HUKUM YUINANI

Dosen : Dr. Devy. K.G. Sondakh, S.H, M.H

Oleh :
RIANA OLYVIA HASIBUAN
20202108078

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
PERBANDINGAN SEJARAH HUKUM DI YUNANI DAN ROMAWI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki masa lalu. Masa lalu yang pantas dikenang, baik yang
menyenangkan maupun yang membuat manusia sedih dalam hidupnya. Setiap detik, menit,
jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya yang telah dilewati oleh manusia merupakan bagian
dari masa lalu. Masa lalu sering disebut dengan istilah Sejarah. Dilihat dari asal usul kata,
sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun yang artinya pohon, keturunan, asal usul
atau silsilah. Dalam bahasa Inggris (history), Bahasa Yunani (istoria), Bahasa Jerman
(geschicht).[i]
Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau
yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja yang
memerintah). Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian yang sudah
lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti mempelajari dan
menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang perorang, keluarga,
dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi: pengetahuan akan kejadian-kejadian
yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis.
Sejarah Yunani berlangsung kurang lebih seribu tahun dan berakhir dengan munculnya
agama Kristen. Oleh sebagian besar sejarawan, peradaban ini dianggap merupakan peletak
dasar bagi Peradaban Barat. Budaya Yunani merupakan pengaruh kuat bagi Kekaisaran
Romawi, yang selanjutnya meneruskan versinya ke bagian lain Eropa.
Yunani dan Roma sama-sama memiliki peninggalan berupa sistem hukum yang sangat
berharga bagi peradaban dunia.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbandingan perkembangan sejarah hukum dalam peradaban Yunani
dengan peradaban Romawi secara umum ?
II. PEMBAHASAN
Perbandingan perkembangan sejarah hukum Yunani dan Romawi dapat di Kaji dalam
Aspek-Aspek Sebagai Berikut :
1. Pemikiran Hukum
Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum masih
primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah (nomos) baik semesta
alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak adalah budak, dan sebagainya.
Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4 SM ada beberapa filosof yang mengartikan
hukum secara berbeda. Plato (427-347 SM) yang menulis buku Politeia dan Nomoi
memberikan tawaran pengertian hukum, dan hakikat hukumnya.[ii]( Abdul Ghofur
Anshori, 2006 : 11 )
Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut Plato
mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat kelompok-
kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok berbuat
dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan dalam buku Nomoi, Plato
menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum.
Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles, manusia
merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut dalam kegiatan
politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi hukum menjadi 2 (dua).
Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang mencerminkan aturan alam, Yang kedua
adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles
menjelaskan dalam bukunya tersebut bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa
keadilan, yaitu rasa yang baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang
menjelaskan tentang hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting
diberikan yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".[iii]
( Soehino, 2001 : 23 )
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh hukum asing
saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau pun hukum Semits
terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang tertulis pada masa Romawi,
orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan undang-undang tersebut karena mereka
terus-menerus mengembangkan hukumnya untuk menemukan hukum-hukum yang baru.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir metafisika,
seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat spektakuler dengan
perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak terlalu besar karena Romawi
lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis. Walaupun demikian pemikiran-pemikiran
hukum yang cukup berharga lahir pada zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum
Kodrat. Ia mengajakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio
yang murni dan oleh karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum
alam.
2. Hukum dan Pemerintahan
Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang politik dan
kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan sampai saat ini.
Mereka sudah mengenal dan mempraktikkan sistem demokrasi yang baik pada saat orang-
orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem kekuasaan yang feodal, aristokratis, dan
mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama kali di dunia ini yang mengembangkan sistem hukum
dan kenegaraan yang bersifat demokratis. Bahkan, jika dunia ini tidak pernah memiliki
orang-orang Yunani, mungkin peradaban dunia tidak semaju saat ini. Banyak bukti
menunjukkan bahwa di wilayah-wilayah dunia yang kurang mendapat pengaruh dari hukum
Yunani Romawi, peradabannya masih terbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai oleh
ajaran Buddha yang kurang mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata demokrasi
merupakan barang mewah, seperti yang terjadi di Tibet,dan Miyanmar.[iv] ( Munir Fuady,
2009 : 164 )
Namun, menurut sejarah hukum tidak begitu dikembangkan di zaman Yunani, karena
hampir tidak terdengar nama ahli hukum besar atau kitab undang-undang yang komprehensif.
Sejarah hanya meninggalkan beberapa undang-undang saja di Yunani, seperti Undang-
Undang Draco (621 SM) Undang-Undang Solon (594 SM) yang disusun di bawah pengaruh
Mesir, Undang-Undang Dura dan Undang-Undang Gortyn (450-460 SM) yang sebagian
isinya dapat terbaca sampai sekarang. Peninggalan Yunani tersebut berbeda jauh dengar
peninggalan perundang-undangan dan dokumentasi hukum dari Mesir atau Babilonia, yang
sangat banyak jumlahnya dan dapat terbaca sampai sekarang. Di samping dalam bentuk
undang-undang, hukum Yunani juga dapat terbaca dalam orasi-orasi para advokat di
pengadilan dalam membela kliennya. karena sistem peradilan Yunani memakai sistem juri,
sehingga kelihaian berorasi dari para advokat di depan pengadilan sangat diperlukan dalam
rangka meyakinkan para juri yang bukan ahli hukum dan umumnya tidak pernah belajar
hukum tersebut. Di samping sistem juri, sistem pemeriksaan saksi melalui proses eksaminasi
silang (cross examination) sudah dikenal di zaman Yunani, seperti yang pernah
dipraktikkan dalam pengadilan Socrates.[v] ( Munir Fuady, 2009 : 165)
Secara politik, orang-orang Yunani terpecah-pecah ke dalam berbagai polis-polis,
sepeti Ithaca, Attica, Sparta, Athena, dan lain-lain. Semula, sistem hukum di Yunani
berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Aria, dengan berbagai variasi di sana sini. Bahkan,
seperti terjadi di Sparta, individu dituntut untuk mengabdi secara penuh kepada masyarakat
dan negara yang umumnya dikuasai oleh kaum tentara, sehingga hak-hak individu hampir-
hampir tidak dikenal. Sebaliknya di Athena, meskipun individu harus mengalah kepada
masyarakat dan negara, tetapi hak-hak dari warga negara tetap diakui dan kepentingan
perdagangan tetap dijaga.
Dalam sistem pemerintahan di Zaman Romawi mulai dikenal dengan teori
siklus Polybius. Siklus ini menjelaskan bahwa, sistem pemerintahan akan terus bergulir
bagaikan siklus hidup yang berputar. Pemerintahan aristokrasi pada mulanya dipandang baik,
kemudian munculah pertentangan-pertentangan dan akhirnya pemerintah dan masyarakat
tidak menyukai sistem aristokrasi yang dipimpin oleh aristokrat dan berubah menjadi sistem
oligaki, begitulah seterusnya.[vi] ( Soehino, 2001: 39 )
3. Sistem Peradilan
Pengadilan di zaman Yunani dilakukan di tempat yang berbeda-beda menurut
perbedaan kasus dan juga perbedaan zaman. Misalnya di Athena, pengadilan dilangsungkan
di pasar-pasar, di Angora, di lembah Areopagus (khusus untuk kasus-kasus pembunuhan), di
lembah Pnyx, dan lain-lain.
Lembah Areopagus dipilih sebagai tempat pengadilan untuk kasus-kasus pembunuhan,
khususnya di periode-periode awal zaman Yunani. Hal itu disebabkan lembah ini terkenal
dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh Orestes. Menurut legenda, Orestes
membunuh ibunya yang melakukan perzinaan sehingga Orestes dibawa ke pengadilan. Para
penuntut umum menuntut Orestes bahwa tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas
dendam. Bahkan, dewi Athena konon menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara
dengan voting, suaranya adalah untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri
memang membebaskan Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen memorial
keadilan dan menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan ini tidak korup dan
merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan keadilan di
Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh perwakilan dari
masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep pengadilan dengan sistem juri
yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara yang punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masingmasing mewakili
sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan. Ada 10 pintu masuk ke
pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua puluh kamar, masing-masing dua
untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing 10 untuk setiap suku, di mana disimpan alat
pemberian suara dari para juri yang dipergunakan untuk memungut suara. Setiap orang yang
di atas umur 30 tahun dapat menjadi juri, asalkan mereka bukanlah debitur terhadap negara
dan mereka belum kehilangan hak-hak nya. Jika ada orang yang tidak cakap bertindak
sebagai juri, maka informasi diberikan kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika terbukti
tidak cakap, maka dia akan dikenakan hukuman badan atau hukuman denda.
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan, kasus-kasus
publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari dua pengadilan dan
terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang juri yang merupakan
kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak suara
yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan tulis,
selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih banyak, dianggap
yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka yang dimenangkan adalah
tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri memutuskan tentang jumlah suatu ganti rugi.
Ketika semua telah lengkap, juri menerima bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap sebagai
berikut : ( Munir Fuady, 2009 : 182-183 )
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap sidang
ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk memberikan jawaban
atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya, penggugat sendiri yang membawa
surat panggilan tersebut ke alamat tergugat. Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat.
Bahkan, jika tergugat merupakan orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan
meninggalkan kota itu untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap
tergugat dan membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.
b. Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan magistrat
adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang sembrono atau yang
dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat, penggugat mengajukan gugatan
dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat tidak hadir, maka akan langsung diputus
untuk menerima gugatan, kecuali di kemudian hari dapat menunjukkan alasan
ketidakhadirannya yang dapat diterima. Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini
dianggap ada dasar bagi suatu gugatan, maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu
tahap pemeriksaan pendahuluan.
c. Tahap pemeriksaan pendahuluan, pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini, terjadi tanya
jawab antara penggugat dan tergugat. Perdebatan yang sebenarnya, fakta-fakta, serta dalil-
dalil yang berkenaan dengan sengketa yang ada, diuraikan dan terlihat dengan jelas dalam
tahap ini. Penggugat mengajukan gugatan dan dalil-dalilnya, kemudian tergugat mengajukan
jawaban dengan dalil-dalilnya. Pembuktian tertulis dan pemeriksaan saksi-saksi juga terjadi
dalam tahap ini. Jadi, tahap pemeriksaan pedahuluan merupakan tahap yang cukup esensial
dalam suatu proses pemeriksaan perkara di zaman Yunani. Setelah semua bukti diperiksa dan
alat bukti tersebut disegel, magistrat dapat segera menyelesaikan sengketa yang ada atau
biasanya mengirim sengketa tersebut ke pengadilan juri. Di Athena, para juri (yang terdiri
atas orang-orang biasa) yang mendengar perkara tersebut bisa mencapai ratusan, bahkan
ribuan orang. Sebelum memberikan putusannya, juri akan mendengar pidato kedua belah
pihak. Pidato tersebut biasanya sangat memikat.
d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung suara. Suara
terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut berkenaan dengan
putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang menang dan siapa yang kalah,
juga putusan tentang besarnya ganti rugi. Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi),
menurut sistem hukum Yunani, diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan dan hanya
menyangkut dengan kepemilikan; tidak boleh menyentuh personal. Jadi, menurut sistem
hukum Yunani, pihak yang menang tidak boleh menangkap atau menjadikan budak terhadap
pihak yang kalah. Ketentuan ini membedakan hukum Yunani dengan sistem hukum Romawi
di masa-masa awal perkembangannya.

Salah satu ciri peradilan Romawi pada saat itu khususnya terkait hukum acara perdata
adalah minimnya keterlibatan negara dalam peradilan, karena masalah perdata tidak
berurusan dengan kepentingan rakyat banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang
bersangkutan. Hal ini tidak merangsang, bahkan sangat menghambat, upaya pencari keadilan
dalam membawa kasus-kasusnya ke pengadilan.[viii] ( Munir Fuady, 2009 : 209 )
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur tertentu yang
cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur pengadilan dibagi ke dalam
dua tahap, yaitu sebagai berikut :[ix] ( Munir Fuady, 2009 : 211 )
a. Tahap hearing preliminary.
b. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim memeriksa
perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan persoalan di antara para
pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena itu, kedua belah pihak wajib hadir
dalam hearing preliminary tersebut. Dalam proses hearing preliminary ini, kedua belah pihak
saling bertukar argumen dalam hubungan dengan kasus yang bersangkutan. Prosedurnya
sangat rigid sehingga salah sedikit raja dapat menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya.
Mirip seperti sistem writ dalam sistem hukum Anglo Saxon.
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan, yaitu
sebagai berikut :
a. Tindakan Sacramentum.
b. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio.
c. Tindakan Concictio.

Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai suatu kasus
yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk tindakan lain. Asal muasal
tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di antara para pihak yang bersengketa,
tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian kasusnya diputuskan dengan ordeal atau pun
bantuan supranatural. Dalam perkembangan selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi
tindakan sumpah yang disertai dengan pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang
untuk sementara dimenangkan oleh Magistrate.
Prosedur sacramentum berbeda antara gugatan berkenaan dengan benda (in rem) dan
prosedur jika gugatan berkenaan dengan pribadi (in personam). Prosedur sacramentum juga
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan persoalannya dan waktu
yang tersedia cukup untuk itu, karena proses pengadilan baru boleh dilangsungkan paling
cepat dalam waktu 30 hari setelah proses sacramentum.
Sedangkan, tindakan iudicis arbitrive postulatio, prosedur hearing preliminary dalam
bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku.
Prosedur iudicis arbitrive postulatio pada prinsipnya serupa dengan prosedur sacramentum,
tetapi lebih cepat dan sederhana. Karena, berbeda dengan prosedur sacramentum, untuk
prosedur iudicis arbitrive postulatio ini tidak memerlukan waktu tunggu sampai 30 hari untuk
bisa melanjutkan proses pengadilan, tidak ada sumpah, dan tidak ada pula kewajiban
memberikan uang jaminan. Misalnya, tindakan iudicis arbitrive postulatio ini dimungkinkan
untuk gugatan berdasarkan stipulatio (kontrak formal), pembagian warisan, dan pembagian
harta gono-gini.
4. Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini untuk
menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang satu mengancam
atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam hukum pidana misalnya
pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu tindak pidana pembunuhan.
Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana.[x] ( Munir Fuady, 2009 : 174 )

Kriteria pembunuhan yang dimaafkan termasuk di dalamnya pembunuhan secara tiba-


tiba untuk membela diri. Sedangkan, terhadap pembunuhan tanpa rencana, memang
kesalahan masih dapat dipikulkan ke pundak si pembunuh, misalnya pembunuhan dilakukan
secara tiba-tiba karena marah atau emosinya terguncang. Terhadap pembunuhan yang tanpa
rencana ini, tetap ada unsur kesalahan dari si pelaku, karenanya pelaku juga harus dihukum.
Namun, hukumannya bukan dalam bentuk hukuman mati, melainkan hanya berupa hukuman
kompensasi dalam bentuk kerja paksa sebagai budak untuk jangka waktu tertentu, biasanya
selama delapan tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, hukuman kerja paksa sebagai
budak tersebut diganti dengan hukuman kompensasi dalam bentuk uang.[xi] ( Munir Fuady,
2009 : 175 )
Pembunuhan bentuk ketiga adalah pembunuhan terencana. Menurut hukum Romawi,
suatu pembunuhan terencana tidak mungkin dimaafkan, baik oleh manusia maupun oleh
dewa-dewa, di mana hukumannya adalah hukuman mati.
Dalam hukum Romawi Hippodamus pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa, bahwa
yang dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:
a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).

Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu gugatan hukum
untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi kontrak dapat mengakibatkan
timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada gilirannya dapat menimbulkan
pelanggaran ketertiban umum atau tindakan penganiayaan dan pembunuhan, maka gugatan
dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, dalam hal ini. hukum-hukum klasik tetap hanya
berkepentingan dengan penghinaan, penganiayaan, dan pembunuhan saja. Sedangkan,
masalah kontrak yang tidak bersentuhan dengan salah satu dari tiga unsur tersebut tidak
mendapatkan tempat di pengadilan, hanya diatur dan diberikan sanksi oleh moral dan
agama.[xii] ( Munir Fuady, 2009 : 202 )
5. Hukum Perdata
Di bidang hukum perdata, sebenarnya hukum Yunani juga berkembang relatif baik. Di
samping beberapa kontrak yang telah disebutkan, banyak kontrak lain yang berhasil
ditemukan oleh sejarah hukum peninggalan zaman Yunani. Di samping itu, prinsip hukum
perkawinan dalam hukum Yunani bersifat monogami. Namun demikian, seperti dalam
kebanyakan hukum kuno, kehadiran wanita teman kumpul yang kedua, meskipun bukan
isteri, dapat ditoleransi, terutama oleh hukum kebiasaan di Yunani. Di samping itu, apa yang
disebut dengan perjanjian kawin juga dikenal dalam sistem hukum Yunani, tetapi dalam
suatu perkawinan, seperti dalam sistem hukum Romawi, isteri dianggap "dibeli" oleh
suaminya, sehingga kedudukan isteri sangat lemah dan sangat jauh di bawah kedudukan
suaminya. Hanya di Sparta yang agak sedikit berbeda, karena di sini kedudukan isteri dalam
suatu ikatan perkawinan lebih baik. Sebab, di Sparta, masalah perkawinan oleh hukum tidak
dianggap masalah personal, tetapi merupakan masalah negara dan isteri menganggap dirinya
sebagai agen dari negara. Semua orang diwajibkan kawin oleh negara dan seorang bujang tua
yang tidak kawin-kawin malahan dihukum oleh negara dan pembayaran-pembayaran tertentu
(seperti pembayaran sebagai penghargaan) tidak boleh diberikan kepada orang lajang.
Demikian hukum di Sparta.[xiii] ( Munir Fuady, 2009 : 187 )
Di Romawi kodifikasi hukum Romawi tertua yang pernah ada saat ini adalah dokumen
"Hukum Dua Belas Pasal" (The Twelve Tables) yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan
ditulis di lempengan tembaga. Hukum Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The
Law of The King)" yang merupakan gambaran bagaimana kaidah–kaidah hukum dan
kebiasaan yang saat itu berlaku di Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun
lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi
sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental, termasuk Indonesia.
Hukum Dua Belas Pasal disusun oleh suatu komisi yang terdiri atas 10 orang
(Decemviri) yang diangkat pada tahun 455 SM. Banyak materi-materi yang di atur mengenai
keperdataan seperti utang piutang, waris, perkawinan dan lainnya. Hukum keperdataan
Romawi terbilang cukup maju, pada saat itu pun telah muncul apa yang disebut sebagai
kontrak, bahkan dalam perkawinan.
Berdasarkan keseluruhan aspek tersebut dapat diketahui perkembangan hukum pada
zaman Romawi memang cukup dominan dibandingkan zaman Yunani. Perkembangan hukum
Romawi banyak ditandai dengan adanya kodifikasi-kodifikasi hukum dan terus diadopsi oleh
negara-negara sekarang seperti Jerman, Prancis, Belanda hingga menjadi suatu sistem hukum
yaitu Eropa Kontinental.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan perkembangan sejarah hukum Yunani dan Romawi dapat
disimpulkan bahwa, sejak awal peradaban hukum Yunani dan Romawi menunjukan ciri atau
sistem hukum di masa depan. Yunani dalam hal ini lebih mengutamakan kebiasaan-kebiasaan
dengan membuat sesedikit mungikn teks hukum tertulis atau kodifikasi dan Hukum Romawi
membawa sifat hukum yang legal, tertulis, Rigit dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Fuady, Munir. 2009. Sejarah Hukum. Ghlmia Indonesia. Jakarta.

Soehino. 2001. Ilmu Negara. Liberty. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung. Alumni.


MAKALAH

SEJARAH HUKUM YUNANI

Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H

Oleh :
YOSI KOROMPIS
20202108074

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti


pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history;
Bahasa latin dan Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti
orang pandai.1 Ahli sejarah Jerman, Rohlies, mengemukakan bahwa untuk
menyajikan dengan ringkat, lengkap, dan dalam garis ciri-ciri khas sejarah
sebagai ilmu pengetahuan tidak akan dijumpai. Ia mencoba menanggulangi hal
itu dengan selengkap mungkin menguraikan selengkap mungkin berbagai ciri
khassejarah secara pluri-dimensional, interdependensi data sejarah satu dengan
yang lain, aspek genetis, keterikatan waktu dan lain-lain.
Adapun makna konkret penulisan sejarah sebagai ilmu pengetahuan
baginya dapat kita temukan padanya, ialah sama halnya dengan contoh kami
pada saat membicarakan kaum marxis, yakni lebih ke arah penentuan metode-
metode maupun bentuk-bentuk penelitian sejarah. Nampaknya yang penting di
sini, ia bertolak dari anggapan bahwa sejarah membedakan diri dari ilmu-ilmu
pengetahuan alam, ialah ketidakmungkinan prinsipil dilakukannya suatu
verifikasi yang lengkap.2
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang
dari ilmu sejarah (bukan cabang dari ilmuhukum), yang mempelajari
(studying), menganalisa (analising), memverifikasi (verifiying),
menginterpretasi (interpreting), menyusun dalil (setting the clausule), dan
kecenderungan (tendention), menarik kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang
setiap fakta, konsep, kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang
pernah berlaku. Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang
mempelajari perkembangan dari asal usul sistem hukum dalam suatu
masyarakat tertentu, dan membandingkan antara hukum yang berbeda karena
dibatasi oleh perbedaan waktu. Sejarah hukum ini terutama berkait dengan
bangkitnya suatu pemikiran dalam hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-
1861).

B. Rumusan Masalah
A. Bagaimanakah Sejarah Perkembangan Sejarah Hukum Yunani?

1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2 John Gilissen, Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Adita Utama,
2009)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sejarah Hukum Yunani


Sebagaimana diketahui, Yunani terdiri atas banyak negara kota, seperti
Athena, Sparta, dan lain-lain. Karena itu, hukum di masing-masing negara kota
tersebut juga saling berbeda. Akan tetapi, yang paling maju dan sering menjadi
kiblat dari sistem hukum di berbagai megara di Yunani adalah sistem hukum yang
terdapat di negara kota Athena.
Apabila ditelusuri lebih jauh, hukum Yunani sebenarnya sangat banyak
dipengaruhi oleh hukum Yahudi dari nabi Musa, yang bila ditelusuri lagai berakar
dari sistem hukum Babilonia, bahkan hukum Sumeria. Misalnya hukum yang
berkenaan dengan perdagangan di Yunani, pada prinsipnya merupakan hukum
kebiasaan dari dunia barat yang diperkenalkan oleh Bangsa Phoenician, yang
aslinya sebenarnya berasal dari hukum Babilonia. Yunani klasik terkenal dengan
para ahli pikirnya, seperti Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM), tetapi tidak banyak mengembangkan teori hukum
sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Romawi. Disamping itu ahli piker
tersebut, Yunani juga banyak melahirkan orang-orang pintar di bidangnya masing-
masing, seperti Pericles seorang penguasa perang dan ahli perang, Herodotus
seorang ahli sejarah.
Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang
politik dan kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan
sampai saat ini . mereka sudah mengenal dan mempraktekkan sistem demokrasi
yang baik pada saat orang-orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem
kekuasaan yang feudal, aristokratis, dan mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama
kali di dunia ini yang mengembangkan sistem hukum dan kenegaraan yang bersifat
demokratis. Bahkan jika dunia ini tidak pernah memiliki orang-orang Yunani,
mungkin peradaban dunia tidak semaju saat ini.. banyak bukti menunjukkan bahwa
di wilayah-wilayah dunia yang berkurang mendapat pengaruh dari hukum Yunani-
Romawi peradabannya masih keterbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai
oleh ajaran Buddha yang kurang mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata
demokrasi merupakan barang mewah, seperti yang terjadi di Cina, Tibet,
Miyanmar, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan lain-lain. 3
Namun demikian sejarah hukum juga menunjukkan bahwa karena sector
hukum tidak begitu dikembangkan di zaman Yunani, maka hamper tidak tedengar
nama ahli hukum besar atau kitab Undang-undang yang komperhansif. Sejarah
hanya meninggalkan beberapa UU di Yunani.
Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum
masih primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah

3 Munir Fuady, Sejarah Hukum, Hlm 164


(nomos) baik semesta alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak
adalah budak, dan sebagainya. Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4
SM ada beberapa filosof yang mengartikan hukum secara berbeda. Plato (427-347
SM) yang menulis buku Politeia dan Nomoi memberikan tawaran pengertian
hukum, dan hakikat hukumnya4.
Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut
Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat
kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap
kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan
dalam buku Nomoi, Plato menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum.
Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut
Aristoteles, manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia
harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles
membagi hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang
mencerminkan aturan alam, Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang
dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut
bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang
baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang menjelaskan tentang
hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan
yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama" 5.
Tokoh Yunani setelah Plato adalah Aristoteles (384 – 322 SM)7yang juga
merupakan murid Plato. Politics, merupakan karya utama Aristoteles yang terdiri
buku I – VIII. Namun Sabine meragukan apakah memang Aristoteles menyusunnya
seperta adanya sekarang atau telah mengalami proses editing. Werner Jaeger
membagi Politics menjadi dua bagian besar. Bagian pertama terkait dengan negara
ideal, meliputi buku II berupa studi historis tentang teori-teori awal dan pemikiran
Plato serta kritik-kritiknya; buku III mengenai hakIkat (nature) negara dan
kewarganegaraan sebagai pengantar teori negara ideal; dan buku VII dan VIII yang
mengkonstruksikan negara ideal. Bagian kedua merupakan kajian terhadap negara
dalam realitas terutama demokrasi dan oligarki, penyebab kemerosotannya dan
bagaimana menjaga stabilitasnya. Bagian kedua ini meliputi buku IV , dan VI.
Karya Aristoteles menunjukkan perkembangan baru ilmu pengetahuan yang tidak
hanya harus empiris dan deskriptif, tetapi juga menghormati tujuan-tujuan etis
tertentu.6
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh
hukum asing saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau
pun hukum Semits terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang
tertulis pada masa Romawi, orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan
undang-undang tersebut karena mereka terus-menerus mengembangkan hukumnya
untuk menemukan hukum-hukum yang baru.

4 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 11
5 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 23
6 George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San

Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston, 1961) hlm 89-01


Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak
terlalu besar karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis.
Walaupun demikian pemikiran-pemikiran hukum yang cukup berharga lahir pada
zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum Kodrat. Ia mengajakan
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio yang murni dan
oleh karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum alam.
Hukum dan Pemerintahan

Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang


politik dan kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan
sampai saat ini. Mereka sudah mengenal dan mempraktikkan sistem demokrasi
yang baik pada saat orang-orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem
kekuasaan yang feodal, aristokratis, dan mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama
kali di dunia ini yang mengembangkan sistem hukum dan kenegaraan yang bersifat
demokratis. Bahkan, jika dunia ini tidak pernah memiliki orang-orang Yunani,
mungkin peradaban dunia tidak semaju saat ini. Banyak bukti menunjukkan bahwa
di wilayah-wilayah dunia yang kurang mendapat pengaruh dari hukum Yunani -
Romawi, peradabannya masih terbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai oleh
ajaran Buddha yang kurang mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata
demokrasi merupakan barang mewah, seperti yang terjadi di Tibet,dan Miyanmar. 7
Namun, menurut sejarah hukum tidak begitu dikembangkan di zaman
Yunani, karena hampir tidak terdengar nama ahli hukum besar atau kitab undang-
undang yang komprehensif. Sejarah hanya meninggalkan beberapa undang-undang
saja di Yunani, seperti Undang-Undang Draco (621 SM) Undang-Undang Solon
(594 SM) yang disusun di bawah pengaruh Mesir, Undang-Undang Dura dan
Undang-Undang Gortyn (450-460 SM) yang sebagian isinya dapat terbaca sampai
sekarang. Peninggalan Yunani tersebut berbeda jauh dengar peninggalan
perundang-undangan dan dokumentasi hukum dari Mesir atau Babilonia, yang
sangat banyak jumlahnya dan dapat terbaca sampai sekarang. Di samping dalam
bentuk undang-undang, hukum Yunani juga dapat terbaca dalam orasi-orasi para
advokat di pengadilan dalam membela kliennya. karena sistem peradilan Yunani
memakai sistem juri, sehingga kelihaian berorasi dari para advokat di depan
pengadilan sangat diperlukan dalam rangka meyakinkan para juri yang bukan ahli
hukum dan umumnya tidak pernah belajar hukum tersebut. Di samping sistem juri,
sistem pemeriksaan saksi melalui proses eksaminasi silang (cross examination)
sudah dikenal di zaman Yunani, seperti yang pernah dipraktikkan dalam
pengadilan Socrates.8
Secara politik, orang-orang Yunani terpecah-pecah ke dalam berbagai polis-
polis, sepeti Ithaca, Attica, Sparta, Athena, dan lain-lain. Semula, sistem hukum di
Yunani berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Aria, dengan berbagai variasi di
sana sini. Bahkan, seperti terjadi di Sparta, individu dituntut untuk mengabdi secara

7 Munir Fuady,Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm164


8 Ibid hlm 165
penuh kepada masyarakat dan negara yang umumnya dikuasai oleh kaum tentara,
sehingga hak-hak individu hampir-hampir tidak dikenal. Sebaliknya di Athena,
meskipun individu harus mengalah kepada masyarakat dan negara, tetapi hak-hak
dari warga negara tetap diakui dan kepentingan perdagangan tetap dijaga.
Dalam sistem pemerintahan di Zaman Romawi mulai dikenal dengan teori
siklus Polybius. Siklus ini menjelaskan bahwa, sistem pemerintahan akan terus
bergulir bagaikan siklus hidup yang berputar. Pemerintahan aristokrasi pada
mulanya dipandang baik, kemudian munculah pertentangan-pertentangan dan
akhirnya pemerintah dan masyarakat tidak menyukai sistem aristokrasi yang
dipimpin oleh aristokrat dan berubah menjadi sistem oligaki, begitulah seterusnya. 9

Perselisihan Antara Negara-negara Yunani

Perang Peloponnesia. Setlah berdirinya kerajaan Athena di kepulauan, Yunani


mendapati diri mereka terbagi antara dua liga-kota-kota maritime tunduk pada
Athena; kota-kota pedalaman tetap berada di abwah dominasi Sparta dan sekutu
kontinentalnya di satu sisi dan Athena dan rakyat maritimnya di sisi lain. Ini adalah
Perang Peloponnesia. Perang ini berlangsung dua puluh tujuh tahun sekitar 432-
404 dan Ketika berhenti, perang bangkit Kembali dengan nama lain hingga 360.
Perang tersebut merupakan peristiwa yang rumit. Mereka bertempur secara
bersamaan di darat dan di laut, di Yunani Asia, Thrace, dan Sisilia, biasanya di
beberapa titik sekaligus. Orang-orang Sparta memiliki tentara yang lebih baik dan
merusak Attica; orang Athena memiliki armada yang unggul dan mendarat di
pantai-pantai Peloponesus. Kemudian Athena mengirim pasukannya ke Sisislia di
mana pasukan tewas sampai orang terakhir(413); Lysander, seorang jendral Sparta,
mengamankan sebuah armada dari Persia dan menghancurkan armada Athena di
Asia. Sekutu Athena yang berjuang hanya di bawah paksaan meninggalkannya.
Lysander merebut Athena, menghancurkan dinding-dindingnya, dan membakar
kapal-kapalnya. Akibat perang ini , perang ini tidak menyatukan orang Yunani
menjadi satu tubuh. Tidak ada kota, Sparta lebih dari Athena, mampu memaksa
yang lain untuk patuh padanya. Mereka hanya kelelahan sendiri akibat berperang
satu sama lain. Raja Persia diuntungkan oleh Perselisihan itu. Bukan hanya kota-
kota Yunani tidak Bersatu melawan dia, tetapi s 10emua cara berurutan bersekutu
dengan dia melawan kota Yunani lainnya.

Sistem Peradilan

Pengadilan di zaman Yunani dilakukan di tempat yang berbeda-beda menurut


perbedaan kasus dan juga perbedaan zaman. Misalnya di Athena, pengadilan
dilangsungkan di pasar-pasar, di Angora, di lembah Areopagus (khusus untuk
kasus-kasus pembunuhan), di lembah Pnyx, dan lain-lain.
Lembah Areopagus dipilih sebagai tempat pengadilan untuk kasus-kasus
pembunuhan, khususnya di periode-periode awal zaman Yunani. Hal itu

9 Op.Cit Soehino,Hlm 39
10 Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno, hlm 150-154
disebabkan lembah ini terkenal dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh
Orestes. Menurut legenda, Orestes membunuh ibunya yang melakukan perzinaan
sehingga Orestes dibawa ke pengadilan. Para penuntut umum menuntut Orestes
bahwa tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas dendam. Bahkan, dewi Athena
konon menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara dengan voting, suaranya
adalah untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri memang
membebaskan Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen
memorial keadilan dan menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan
ini tidak korup dan merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan
keadilan di Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh
perwakilan dari masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep
pengadilan dengan sistem juri yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara
yang punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masing-
masing mewakili sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan.
Ada 10 pintu masuk ke pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua
puluh kamar, masing-masing dua untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing
10 untuk setiap suku, di mana disimpan alat pemberian suara dari para juri yang
dipergunakan untuk memungut suara. Setiap orang yang di atas umur 30 tahun
dapat menjadi juri, asalkan mereka bukanlah debitur terhadap negara dan mereka
belum kehilangan hak-hak nya. Jika ada orang yang tidak cakap bertindak sebagai
juri, maka informasi diberikan kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika
terbukti tidak cakap, maka dia akan dikenakan hukuman badan atau hukuman
denda.11
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan,
kasus-kasus publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari
dua pengadilan dan terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang
juri yang merupakan kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak
suara yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan
tulis, selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih
banyak, dianggap yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka
yang dimenangkan adalah tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri
memutuskan tentang jumlah suatu ganti rugi. Ketika semua telah lengkap, juri
menerima bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap
sebagai berikut :
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap
sidang ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk
memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya,
penggugat sendiri yang membawa surat panggilan tersebut ke alamat tergugat.
Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat. Bahkan, jika tergugat merupakan
orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan meninggalkan kota itu

11 Munir Fuady , Op.Cit hlm 177


untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap tergugat dan
membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.
b. Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan
magistrat adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang
sembrono atau yang dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat,
penggugat mengajukan gugatan dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat
tidak hadir, maka akan langsung diputus untuk menerima gugatan, kecuali di
kemudian hari dapat menunjukkan alasan ketidakhadirannya yang dapat diterima.
Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini dianggap ada dasar bagi suatu
gugatan, maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu tahap pemeriksaan
pendahuluan.
c. Tahap pemeriksaan pendahuluan, pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini, terjadi
tanya jawab antara penggugat dan tergugat. Perdebatan yang sebenarnya, fakta-
fakta, serta dalil-dalil yang berkenaan dengan sengketa yang ada, diuraikan dan
terlihat dengan jelas dalam tahap ini. Penggugat mengajukan gugatan dan dalil-
dalilnya, kemudian tergugat mengajukan jawaban dengan dalil-dalilnya.
Pembuktian tertulis dan pemeriksaan saksi-saksi juga terjadi dalam tahap ini. Jadi,
tahap pemeriksaan pedahuluan merupakan tahap yang cukup esensial dalam suatu
proses pemeriksaan perkara di zaman Yunani. Setelah semua bukti diperiksa dan
alat bukti tersebut disegel, magistrat dapat segera menyelesaikan sengketa yang ada
atau biasanya mengirim sengketa tersebut ke pengadilan juri. Di Athena, para juri
(yang terdiri atas orang-orang biasa) yang mendengar perkara tersebut bisa
mencapai ratusan, bahkan ribuan orang. Sebelum memberikan putusannya, juri
akan mendengar pidato kedua belah pihak. Pidato tersebut biasanya sangat
memikat.
d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung suara.
Suara terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut
berkenaan dengan putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang
menang dan siapa yang kalah, juga putusan tentang besarnya ganti rugi.
Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi), menurut sistem hukum Yunani,
diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan dan hanya menyangkut dengan
kepemilikan; tidak boleh menyentuh personal. 12
Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini
untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang
satu mengancam atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam
hukum pidana misalnya pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu
tindak pidana pembunuhan. Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke
dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana13

12 Ibid, hlm 182-183


13 Ibid,hlm 174
Kriteria pembunuhan yang dimaafkan termasuk di dalamnya pembunuhan secara
tibatiba untuk membela diri. Sedangkan, terhadap pembunuhan tanpa rencana,
memang kesalahan masih dapat dipikulkan ke pundak si pembunuh, misalnya
pembunuhandilakukan secara tiba-tiba karena marah atau emosinya terguncang.
Terhadappembunuhan yang tanpa rencana ini, tetap ada unsur kesalahan dari si
pelaku, karenanya pelaku juga harus dihukum. Namun, hukumannya bukan dalam
bentuk hukuman mati, melainkan hanya berupa hukuman kompensasi dalam bentuk
kerja paksa sebagai budak untuk jangka waktu tertentu, biasanya selama delapan
tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, hukuman kerja paksa sebagai budak
tersebut diganti dengan hukuman kompensasi dalam bentuk uang 14.

Pembunuhan bentuk ketiga adalah pembunuhan terencana. Menurut hukum

Romawi, suatu pembunuhan terencana tidak mungkin dimaafkan, baik oleh

manusia maupun oleh dewa-dewa, di mana hukumannya adalah hukuman mati.

Dalam hukum Romawi Hippodamus pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa,

bahwa yang dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:

a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).

Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu


gugatan hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi
kontrak dapat mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada
gilirannya dapat menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan
penganiayaan dan pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi,
dalam hal ini. hukum-hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan
penghinaan, penganiayaan, dan pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak
yang tidak bersentuhan dengan salah satu dari tiga unsur tersebut tidak
mendapatkan tempat di pengadilan, hanya diatur dan diberikan sanksi oleh moral
dan agama15.
Praktek kehidupan masyarakat Yunani kuno dalam negara kota (city state)
telah menunjukkan struktur sebuah negara dengan berbagai bentuknya sebelum
muncul tokoh-tokoh pemikir kenegaraan. Sistem pemerintahan di Athena telah
memungkinkan masalah kenegaraan menjadi diskusi publik dalam keseharian
masyarakatnya. Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan negara-negara modern
saat ini, namun negara kota Yunani kuno telah menunjukkan struktur pemerintahan
negara berdasarkan kondisi masyarakat pada saat itu 16

14 Ibid, hlm 175


15 Ibid, hlm 202
16 Muchmad Ali Safa’at, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Sejarah-Singkat-Pemikiran-

Negara.pdf di akses pada 7 desember 2020


Masyarakat pada masa itu dibagi menjadi tiga kelas utama, yaitu budak
(slaves), orang asing (foreign or metic), dan warga negara (citizens). Budak
dan orang asing tidak dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan politik. Status
kewarganegaraan diperoleh karena ikatan darah dari masing-masing suku atau
kelompok (parishes).17
Yunani kuno telah melahirkan banyak tokoh pemikir mulai dari abad enam
sebelum masehi. Pusat perkembangan pemikiran semula berada di wilayah Asia
kecil dan semenanjung Balkan. Tempat inilah yang melahirkan tokoh-tokoh mulai
dari Thales, Anaximandros hingga Demokritos. Pusat perkembangan pemikiran di
Yunani baru bergeser ke daratan setelah kota-kota Yunani mengalami masa
keemasan di bawah Pericles pada tahun 461 – 429 SM. Pada masa kejayaan inilah
muncul kaum sophis, seperti Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodikos,yang
merupakan masa antara sebelum kelahiran filsafat klasik.
Hukum Perdata

Di bidang hukum perdata, sebenarnya hukum Yunani juga berkembang relatif


baik. Di samping beberapa kontrak yang telah disebutkan, banyak kontrak lain yang
berhasil ditemukan oleh sejarah hukum peninggalan zaman Yunani. Di samping itu,
prinsip hukum perkawinan dalam hukum Yunani bersifat monogami. Namun
demikian, seperti dalam kebanyakan hukum kuno, kehadiran wanita teman kumpul
yang kedua, meskipun bukan isteri, dapat ditoleransi, terutama oleh hukum
kebiasaan di Yunani. Di samping itu, apa yang disebut dengan perjanjian kawin
juga dikenal dalam sistem hukum Yunani, tetapi dalam suatu perkawinan, seperti
dalam sistem hukum Romawi, isteri dianggap "dibeli" oleh suaminya, sehingga
kedudukan isteri sangat lemah dan sangat jauh di bawah kedudukan suaminya.
Hanya di Sparta yang agak sedikit berbeda, karena di sini kedudukan isteri dalam
suatu ikatan perkawinan lebih baik. Sebab, di Sparta, masalah perkawinan oleh
hukum tidak dianggap masalah personal, tetapi merupakan masalah negara dan
isteri menganggap dirinya sebagai agen dari negara. Semua orang diwajibkan kawin
oleh negara dan seorang bujang tua yang tidak kawin-kawin malahan dihukum oleh
negara dan pembayaran-pembayaran tertentu (seperti pembayaran sebagai
penghargaan) tidak boleh diberikan kepada orang lajang. Demikian hukum di
Sparta.18

Sumber-sumber Historis Hukum Yunani


Negara-negara kota Yunani ini tidak banyak meninggalkan naskah-naskah
hukum, nyaris tidak ada undang-undang maupun catatan-catatan tentang kebiasaan-
kebiasaan. Hanya hukum athenalah yang relative dikenal, dari negara-negara kota
nyaris tidak ada dokumen-dokumen sejarah yang dikemukakan Kembali yang dapat
memberikan kepada kita informasi tentang evolusi hukum tersebut.
Sajak-sajak epos Homerus (Ilias dan Odysseia) mengajari kita mengenal
semacam peradaban suku-suku yang berasal dari abad-abad XII dan X SM,
solidaritas keluarga-keluarga masih sangat berpengaruh saat itu. Hukum Athena
17 George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San
Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston, 1961), hal. 4 – 6
18 Op.Cit Munir Fuady, hlm 187
yang berasal dari Zaman klasik abad-abad VI dan III SM dapat dijabarkan dari
sejumlah dokumen-dokumen historis dan filosofis dari pleidoi-pleidoi
Demosthenes dan Isaios abad IV SM dan terutama dari inskripsi-inskripsi yuridis,
yang merupakan sumber terpenting pengetahuan tentang hukum Yunani. Di luar
Athena telah di temukan dua buah apa yang dikenal dengan naskah-naskah undang-
undang, yang satu di Gortyn, yang lain di Dura. Kodeks Gortyn adalah suatu
inskripsi piagam yang Panjang yang ditemukan Kembali di pulau Kreta pada tahun
1884. Nampaknya piagam ini berasal dari tahun-tahun 480-260 SM dan
mengandung sejumlah besar aturan-aturan hukum yang menyangkut hukum privat.
Perkawinan, hak milik, hukum waris, adopsi, dan lain-lain. Undang-undang Dura
ditemukan di kota ini, yang terletakk di daerah Eufrat, pada tahun 1922 dan
merupakan Salinan naskah yang berasal dari abad IV SM. 19

Hukum Yunani dalam Berbagai Undang-Undang dan Kodifikasi


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada era yang bersamaan, di tiga
ujung dunia yang berbeda, ada tiga orang besar pembawa hukum ke dunia, yaitu
menes di Mesir, Minos di Crete (Yunani), dan Manu di India. Di samping namanya
yang mirip-mirip, ketiganya menganggap binatang sapi sebagai hewan suci dan
memakai gambar sapi sebagai lambangnya.
Kitab undang-undang Draco merupakan salah satu undang-undang yang
pernah berlaku di Yunani Kuno. Salah satu prestasi besar dari kitab Undang-
Undang Draco di Yunani mulai berlaku sekitar tahun 620 SM adalah penolakan
terhadap kekuasaan, sehingga hukuman terhadap kejahtan tidak lagi hanya
tergantung pada kehendak kaum bangsawan tersebut. Namun demikian, kitab
undang-undang Draco ini belum sampai membuat suatu perombakan besar terhadap
hukum yang berlaku di Yunani saat itu. Bahkan, dalam banyak hal, kitab undang-
undang Draco hanyalah mempertahankan aturan-aturan hukum tertulis yang sedang
berlaku. Di samping itu, selain itu dari membatasi kekuasaan para bangsawan, kitab
undang-undang Draco juga menyediakan aturan yang lebih fleksibel dan
membentuk suatu peradilan dengan sistem 50 hakim yang disebut dengan Ephetae,
yang akan memutuskan sesuai hukum yang berlaku. Kemudian, solon seorang ahli
hukum, negarawan dan pujangga di zaman Yunani kuno pernah membuat hukum
yang berlaku di Yunani yang tertulis dalam Undang-undang Solon. Solon sangat
mendukung ide demokrasi dan menentang pemerintahan tangan besi/tirani di
Yunani. Dari beberpa peninggalannya dalam bentuk puisi, dapat diketahui
sebenarnya solon sangat gigih dalam mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi,
seperti terbaca dalam beberapa kutipan berikut:
“ kehancuran negara Yunani tidak terjadi karena kematian Zeus atau melalui
kehendak dari dewa-dewa. Namun yang dapat menghancurkan negara adalah
penduduknya sendiri dan para pemimpin yang berhati rusak dan kekuasaan akan

19 Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar, Bandung: PT
Refika Adita Utama, 2011). Hlm 1550
materi. Padahal mereka akan menderita karena kelakuan mereka merusak
tersebut.”20
Undang-undang Solon di Yunani Kuno banyak melakukan perubahan-
perubahan terhdap sistem hukum yang berlaku di Yunani saat itu. Bahkan, Sebagian
dari perubahan tersebut bersifat radikal. Meskipun begitu, pendampingan dengan
undang-undang Solon, masih berlaku juga hukum kebiasaan Yunani yang tidak
tertulis. Perubahan- perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang Solon, antara
lain sebagai berikut:
1. Undang-undang Solon banyak berpihak kepada masyarakat kelas bawah
2. Undang-undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris
dan hukum keluarga
3. Undang-undang Solon tidak bersifat sacral/ketuhanan, tetapi murni hasil
perenungan akal manusia
4. Undang-undang Solon merupakan hasil konsesus dari masyarakat luas.
Sehingga undang-undang ini merupakan undang-undang yang paling dapat
diterima oleh masyarakat Yunani. 21
Tenntang ketentuan Undang-Undang Solon yang berpihak kepada masyarakat kelas
kebawah, misalnya seperti terlihat dalam ketentuan berikut:
1. Dihapusnya ketentuan mengenai eksekusi debitur oleh kreditur, di mana
debitur tersebut berubah status menjadi budak belian sehingga banyak yang
diperjualbelikan, bahkan sampai ke luar negerei. Undang-undang Solon
dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dapat dijadikan
budak hanya karena tidak dapat membayar utang-utangnya.
2. Diubahnya sistem mata uang sehingga utang-utang menjadi terdeduksi
sampai 25%.
3. Utang dengan bunga tinggi (riba) dilarang oleh Undang-undang.
4. Meskipun jabatan publik tertentu hanya dapat dipegang oleh golongan
masyarakat tinggi, tetapi umumnhya terbuka bagi semua golongan
masyarakat. Misalnya golongan buruh (thetes) memiliki hak-hak politik
meskipun mereka tidak dapat memegang jabatan eksekutif di pemerintahan.
5. Dilakukan pembagian golongan manusia secara berbeda dengan pembagian
sebelumnya, sehingga menentukan pula besarnya pajak yang harus dibayar.
Undang- undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris dan
hukum kelurga. Misalnya kekuasaan seorang ayah terhdapa anak yang ada dalam
hukum sebelumnya sangat besar, dikurangi oleh Undang-undang Solon. Bahkan,
dalam Undang-undang Solon, antara ayah dan anak dianggap menduduki posisi
sebagai pihak yang independen.
Disamping itu, Undang-undang Solon merombak hukum waris sebelumnya
yang membagi harta warisan berlandaskan kepada penampilannya yang baik pada
acara ritual penguburan. Undang-undang Solon juga mengatur bahwa seorang anak
laki-laki yang sah tidak dapat dikesampingkan untuk mendapatkan warisan dari
orang tuanya. Pelaksanaan wasiat tidak boleh bertentangan dengan hukum tentang
perlindungan dan hak yang sama antara anak laki-laki dari pewaris. Disamping itu,

20 Munir Fuady, Sejarah Hukum Op.Cit hal 186


21 Loc.Cit
jika seorang ayah meninggal dengan hanya meninggalkan seorang atau lebih anak
perempuan, maka harta seluruhnya jatuh kepada anak-anak perempuan tersebut.
Namun dalam hal ini dengan persetujuan anak-anak perempuannya, ayahnya dapat
memberikan atau mewasiatkan hartanya kepada saudara-saudara dekat lainnya,
atau mewasiatkan agar saudara-saudara dekatnya mengawini anak perempuan yang
ditinggalkannyha itu22.
Banyak perubahan hukum dilakukan Ketika dibuat undang-undang Solon.
Hal ini sebenarnya merupakan salah satu factor yang mengantarkan Athena menjadi
suatu negara kota besar, kuat dan maju. Bahkan, ketentuan hukum di Athena diikuti
pula oleh negara-negara kota lain di sekitarnya. Karena itu, tidaklah mengherankan
jika Solon, yang hidup di sekitar tahun 600 SM di Athena dipandang oleh bangsa
Yunani sebagai pembuat dan perombak hukum terbesar di sepanjang sejarah
mereka.
Namun demikian, untuk mendapatkan suatu sistem hukum yang terbilang
maju, sebenarnya masih banyak yang harus dilakukan oleh orang-orang Yunani, di
samping hanya memiliki perundang-undangan Solon tersebut. Sebab, hukum di
Yunani saat itu sangat beraneka ragam, tanpa suatu klasifikasi dan sistematisasi
yang jelas. Disamping banyak juga kaidah hukum saat itu hanya semata-mata
mengantungkan para pemegang kekuasaan atau hanya untuk menjawab kebutuhab
sesaat, bukan kebutuhan masyarakat jangka Panjang. Walaupun begitu, di masa
berlakunya undang-undang solon banyak undang-undang tertulis yang dibuat dan
semuanya terbuka untuk dibaca oleh umum. Ketika itu, begitu sebuah perundang-
undangan dibuat dan berlaku , maka undang-undang tersebut langsung ditulis di
atas tembaga atau kayu, agar dapat dibaca oleh rakyat.

Namun saat itu sebenarnya lebih banyak lagi hukum tertulis yang berlaku
yang berupa hukum kebiasaan setempat. Bahlan meskipun perundang-undangan
Solon telah banyak mengatur tentang berbagai hal tentang hukum, setelah itu tidak
ada lagi usaha-usaha dalam sejarah Yunani untuk merumuskan kaidah hukum yang
sistematis atau membuat sebuah kodifikasi.
Inilah yang membedakan dengan sejarah hukum Romawi. Bagi orang-orang
Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan merupakan suatu
masalah yang bergengsi. Hukum direduksi hanya pada masalah procedural semata.

22 Ibid, hal hlm 187


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan perkembangan sejarah hukum Yunani dapat
disimpulkan bahwa, sejak awal peradaban hukum Yunani menunjukan ciri atau
sistem hukum di masa depan. Yunani dalam hal ini lebih mengutamakan kebiasaan-
kebiasaan dengan membuat sesedikit mungikn teks hukum tertulis atau kodifikasi
Bagi orang-orang Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan
merupakan suatu masalah yang bergengsi. Namun demikian sejarah hukum juga
menunjukkan bahwa karena sektor hukum tidak begitu dikembangkan di zaman
Yunani, maka hamper tidak tedengar nama ahli hukum besar atau kitab Undang-
undang yang komperhansif. Sejarah hanya meninggalkan beberapa UU di Yunani
seperti UU Draco (621 SM), UU Solon (594 SM) yang di susun dibawah pengaruh
Mesir, UU Dura sekitar abad ke 4 dan UU Gortyn (450-460 SM ).

B. Saran
Mempelajari sejarah hukum tentunya memberikan pengetahuan tentang
Hukum yang berlaku dan berkembang di masa lalu. Jika melihat sejarah hukum
Yunani Tentunya begitu banyak aturan hukum yang di berlakukan pada masaa
Yunani Kuno .untuk itu diharapkan ada banyak buku-buku mamupun penulisan
jurnal yang membahas secara mendalam mengenai sejarah hukum Yunani.

Daftar Pustaka

Arif, Muhamad. 2011 Pengantar kajian sejarah, Bandung: Yrama Widya.


Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2006
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno , Indoliterasi,Yogyakarta,2016
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar,
Bandung: PT Refika Adita Utama, 2011).
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-
Chicago-San Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston,
1961),
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005)
Sudarsono, Sejarah Hukum, Rineka Cipta, 2004
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016)
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001
Munir Fuady,Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009
Soeroso, R 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Muchmad Ali Safa’at, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Sejarah-Singkat-
Pemikiran-Negara.pdf di akses pada 7 desember 2020
TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH SEJARAH HUKUM

SEJARAH CORPUS JURIS CIVILIS SEBAGAI DASAR


PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL

Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah metodologi penelitian hukum
Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H.

Oleh :
FAJAR TRI KUSUMA AJI
20202108033

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem Hukum Eropa Kontinental merupakan salah satu sistem hukum


sistem hukum yang dianggap tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.1
Dimana apabila dilihat dari bentuk sistem hukum di dunia, terdapat 5 (lima) sistem
hukum yang telah diberlakukan dan dikenal di dunia sebagaimana telah dikutip dari
artikel dalam website tirto.id disebutkan2 yaitu sistem hukum Civil Law atau
Hukum Sipil atau Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Common Law, Sistem
Hukum Customary Law atau Hukum Adat, Religious Law atau Hukum Agama,
Mixed Law atau Hukum Campuran.

Sistem hukum Eropa Kontinental, sebagaimana asal kata dari penamaannya


merupakan sistem hukum yang berkembang di negara-negara Eropa daratan dan
sering disebut sebagai “Civil Law” yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang
berlaku di kekaisaran romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI
sebelum masehi.3 Sehingga sistem Civil Law ini juga dikenal sebagai sistem hukum
Romano-Germania.4 Hal inilah yang kemudian menyangkut-pautkan peradaban
Romawi dengan asal mula dari lahirnya sistem hukum eropa kontinental.

Sebagaimana diketahui bahwa peradaban Romawi dapat dibagi ke dalam


fase: (1) kerajaan, (2) republik, dan (3) imperium. Apa yang menjadi sumber hukum
Romawi di masing-masing fase tersebut berbeda satu sama lain.5 Kemudian
kegemilangan hukum Romawi bermula dari munculnya undang-undang besar,
yaitu Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) yang mulai berlaku
pada tahun 450 SM. Namun The Twelves Tables sendiri masih diragukan

1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. VIII, Citra Aditya Bahkti, Bandung, 2014, hlm. 246
2
Abdul Hadi, Mengenal Sistem Hukum di Berbagai Belahan Dunia, https://tirto.id/mengenal-
sistem-hukum-di-berbagai-belahan-dunia-ezyL (diakses pada 11 Desember 2020, pukul 19.42 wita)
3
Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Indhillco, Jakarta, 1997.hlm.73
4
Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 32
5
Andrew Borkowski, Textbook on Roman Law, Blackstone Press Limited, London, Inggris, 1997,
hlm. 28

2
keorisinalitasnya yang lahir dari peradaban Romawi sebagaimana yang dinyatakan
Fritz Schulz bahwa Peninggalan hukum Romawi di tahap-tahap awal tidak
diketahui, bahkan tidak dapat dipastikan apakah aturan Dua Belas Pasal merupakan
hukum Romawi atau pun hukum Yunani, meskipun pengaruh dari hukum Yunani
terhadapnya tidak dapat disangkal. Di era setelah peraturan Dua Belas Pasal, dapat
diketahui adanya hukum Romawi dan ilmu hukum yang mulai berkembang di abad
terakhir dari periode Republik, di mana matang di masa Hadrian, tetapi sebenarnya
masih sangat mentah.6

Oleh sebab itu, Para pakar hukum menyebut bahwa sistem hukum Eropa
Kontinental atau Civil Law tidak sepenuhnya merupakan adopsi dari hukum
Romawi. Alan Watson lebih cenderung sepakat dengan asumsi bahwa civil law
merupakan karya besar Justinian I, melalui Kode Justinian, Corpus Juris Civilis,7
yang diterbitkan pada 529 M saat ia memimpin Byzantium. Dimana “Civil Law”
ini terkodifikasikan dalam Corpus Juris Civilis yang dibuat pada jaman Kaisar
Justianus dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia.8

Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dimana mempunyai tiga


karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada presiden sehingga
undang- undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan
bersifat inkuisitorial.9 Dimana dalam perkembangannya telah digunakan banyak
negara di dunia dan bahkan pengaruhnya tidak dapat dipisahkan dari seluruh sistem
hukum yang digunakan oleh negara-negara di dunia, bahkan hingga saat ini.

Atas dasar uraian tersebut, maka menarik untuk diangkat sebagai suatu
penulisan agar mengetahui asal mula dari sistem hukum eropa kontinental yang
lahir di peradaban Romawi melalui Corpus Juris Civilis. Oleh sebab itu, maka
penulis berkeinginan untuk melakukan penulisan berupa makalah yang berjudul :

6
Fritz Schulz, History of Roman Legal Science, At. The Claderon Press, Oxford, Inggris, 1946, hlm.5
7
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Alvaber, 2010, hlm.117.
8
Wiliam Tetlet, Common Law versus Civil Law: Codified and Uncodified, Law Dapartement of
Columbia College, 1999, hlm. 60.
9
Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs, Vol.11, No.1,
Januari-Juni 2015. hlm.36

3
“SEJARAH CORPUS JURIS CIVILIS SEBAGAI DASAR
PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka penulis
merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu :
“Bagaimanakah sejarah Corpus Juris Civilis serta Perkembangan Sistem
Hukum Eropa Kontinental?”

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Corpus Juris Civilis


Justinian merupakan raja yang besar dari Kerajaan Bizantium yang
memerintah di tahun 527 M sampai tahun 565 M. Dia berhasil membangun gedung
Katedral St. Sophia di Konstantinopel yang merupakan suatu keajaiban dan berhasil
membangun sistem perdagangan Kawasan, rute perdagangan baru serta paling
spektakuler adalah keberhasilannya menghimpun seluruh hukum Romawi sampai
saat itu, dalam bentuk kodifikasi yang dikenal dengan Code Justinian, yang
sekarang memengaruhi hampir seluruh sistem hukum di dunia ini.10 Penemuan
Justinianus semakin mendapat tempat pada masa pencerahan dan rasionalisme
(abad XV-XVII M).11
Kodifikasi tersebut merupakan puncak pemikiran hukum Romawi yang
sudah ratusan tahun. Sebenarnya kodifikasi tersebut merupakan suatu kompilasi
kasus-kasus yang diselesaikan di Romawi bagian barat.12 Orang-orang Romawi
dengan kejeniusannya dalam membangun institusi dan akal sehatnya yang praktis
dapat menghasilkan penyelesaian yang memuaskan atas masalah-masalah hukum
yang dihadapkan kepada mereka. Penyelesaian itu diselesaikan dengan merujuk
kepada hukum yang diberlakukan oleh kekaisaran itu. Termasuk di dalamnya
merujuk pada Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelves Tables) yang
berlaku sebelum adanya Code Justinian tersebut.

Proses pembuatan kitab Undang-Undang Justinian (Code Justinian) dimulai


pada tahun 528 M, hanya beberapa bulan saja setelah Raja Justinian menduduki
singgasana raja. Karena itu, banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya sejak

10
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2017, hlm. 230.
11
Nisrina Mutiara Dewi, Hasanudin dan Hidayatulloh, Laporan Hasil Penelitian Terapan Kajian
Strategis Nasional : Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Dan Hukum Islam
Tentang Keadaan Memaksa Di Lembaga Keuangan Syariah (Studi Di Indonesia, Malaysia, Dan
Brunei Darussalam), Pusat Penelitian Danpenerbitan (PUSLITPEN) LP2M UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2020, hlm.28
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011,
hlm.224

5
jauh-jauh hari sebelum menjadi raja, Justinian sudah merencanakan untuk membuat
kodifikasi tersebut. Kemudian, di samping proyek pembuatan kodifikasi
merupakan salah satu proyek besar yang berhasil dilakukan oleh Raja Justinian,
tetapi Code Justinian inilah yang sebenarnya mengantarkan sistem hukum Romawi
dikenal dan diikuti oleh negara di hampir seluruh dunia.

Dalam proyek pembuatan Code Justinian ini, orang yang paling banyak
berjasa dan banyak terlibat adalah tribonian dan orang yang memegang banyak
jabatan penting, seperti consul, quaestor, serta orang yang banyak mengetahui hasil
kerja ahli hukum klasik.

Di samping itu, sejarah juga mencatat bahwa keberhasilan dan keteguhan


hati Raja Justinian sebenarnya dikarenakan dorongan terus-menerus dari istrinya,
yaitu Theodora. Perkawinan antara Theodora dan Raja Justinian dianggap sebagai
suatu skandal oleh orang-orang istana dan kaum bangsawan, berhubung latar
belakang Theodora sebagai artis dan pelacur. Pengaruh Theodora terhadap Raja
Justinian luar biasa besar, bahkan dalam tahun 532 M, Raja Justinian hampir
menyerah dan melarikan diri dalam pemberontakan serius yang dikenal dengan
“Pemberontakan Nika” Dalam pemberontakan tersebut, Theodora
mempertahankan raja untuk tidak melarikan diri sehingga para pemberontakan
tersebut, Theodora mempertahankan raja untuk tidak melarikan diri sehingga para
pemberontak berhasil dilumpuhkan. Karena itu, tanpa Theodora, kekuasaan Raja
Justinian di Bizantium tidak akan lama bertahan dan karya besar yang berbentuk
Code Justinian tidak aka nada dalam sejarah hukum. Selanjutnya, tanpa Code
Justinian, wajah hukum di dunia saat ini tidaklah seperti yang kita lihat sekarang.

Di masa Raja Justinian, Code Justinian dilarang untuk ditafsirkan, apalagi


diubah. Karena menurut Justinian, menafsirkan hukum atau mengubah hukum akan
menyebabkan hukum menjadi kacau balau. Karena itu, tinggallah Code Justinian
seperti apa adanya, yang banyak bagiannya sebenarnya susah dimengerti. Satu hal
yang boleh dilakukan terhadap Code Justinian adalah menafsirkannya.

6
Setelah kematian Justinian, mulai dilakukan penafsiran yang luas,
diringkaskan, bahkan diamandemen sehingga lebih gampang dimengerti oleh
banyak orang, Penyingkatan yang pertama secara resmi, dilakukan di tahun 740 M
yang disebut Ecloga (Kalimat-kalimat Pilihan). Ecloga pada prinsipnya merupakan
ringkasan bagian-bagian penting dari kodifikasi dengan disana sini dilakukan
amandemen tertentu. Dengan kehadiran Ecloga ini, diharapkan agar yang dapat
membaca dan memahami Code Justinian bukan hanya segelintir kecil orang
tertentu saja, melainkan dapat dibaca oleh banyak orang.

Selanjutnya dibuat berbagai terjemahan, penyederhanaan, peringkasan atau


kompilasi terhadap Code Justinian ini. Kompilasi yang paling berpengaruh adalah
yang dilakukan oleh Basil I, tetapi kemudian diselesaikan oleh anaknya, yaitu
Leodan Wise pada tahun 890 M. Hasil dari kompilasi hukum Justinian ini disebut
Basilica, artinya Buku Raja (Imperial Books).

Buku Basilica ini merupakan perumusan Kembali ke dalam Bahasa Yunani


secara lebih sistematis dan lebih up to date dari Code Justinian, yang diterbitkan
menjadi satu kitab yang terdiri atas 60 buku. Dengan buku Basilica ini, Corpus
Juris Civilis (nama lain dari Code Justinian) menjadi relatif gampang dimengerti
oleh banyak orang dan sangat berperan dalam mengembangkan hukum Romawi ke
seantero dunia. Corpus Juris Civilis itu sendiri terdiri atas empat bagian sebagai
berikut.13

1. The Institute.
The Institute hanya berisi teks yang merupakan pengantar saja.

2. The Digest.
The Digest merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap dan
sangat memengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, khususnya dalam bidang-bidang seperti status personal, perbuatan

13
Munir Fuady, Op.cit., halaman 232-233

7
melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah ganti rugi, dan lain-
lain.

3. The Code.
The Code merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang disusun
secara sistematis. Dimana bersama The Digest inilah yang merupakan dasar dari
hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum Eropa Kontinental sampai
saat ini.

4. The Novels.
Sedangkan The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat setelah
selesainya pembuatan The Digest dan The Code.

Hukum Romawi sebagaimana terdapat dalam Corpus Juris Civilis terus saja
berkembang, kecuali beberapa bangsa Arab, Slavia dan Lombardia. Bahkan setelah
jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia barat terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang
saling terpecah-pecah, hukum Romawi tetap diberlakukan oleh para penakluk dari
bangsa Germania, disamping berlakunya hukum kanonik (gerejawi).14

B. Perkembangan Sistem Hukum Eropa Kontinental


Sistem Hukum Eropa Kontinental atau Civil Law dan sering disebut Hukum
Romawi-Jerman dibentuk di Benua Eropa dan muncul pada abad ke 13 (tiga belas).
Kita mengetahui, bahwa abad 14 (empat belas) hingga 17 (tujuh belas) disebut
dengan sebagai Masa Kebangunan Kembali atau Renaisance. Dimana pada kurun
sejarah itu orang dibangkitkan kegairahannya untuk mempelajari kembali
kebudayaan kuno, yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Abad 12 (kedua belas)
dan 13 (tiga belas) merupakan masa-masa penggodogan sistem hukum Romawi-
Jerman. Pada masa-masa ini tentu kita belum dapat berbicara mengenai kehadiran
sistem hukum tersebut sebagai suatu bangunan yang penuh dan lengkap.
Kebangunan pengkajian hukum Romawi juga terjadi di dalam lingkungan
universitas. Bahan dasar untuk pengajaran hukum terdiri dari hukum Romawi dan

14
Zulkarnain Ibrahim, Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia, ALSA Indonesia Law Journal.
Academic Compilation 2016 Alsa Indonesia, Edisi 17 Maret 2016. No. 4. hlm. 59

8
hukum Gereja (Cannon Law). Di sini dialami juga suatu evolusi. Para glossator
mencoba untuk memberi arti kepada Codex Justinianus, yaitu kumpulan aturan
yang dihimpun pada masa kaisar Justinianus. Kemudian datang giliran para post
glossator pada abad 14 (empat belas). Mereka ini melakukan suatu gerakan
penjernihan terhadap hukum Romawi dan banyak membuang hakhal yang mereka
anggap tidak pada tempatnya lagi. Dengan demikian mereka telah menempatkan
hukum Romawi ke dalam konteks perkembangan masyarakat pada masa itu. Dilihat
dari hukum Romawi itu sendiri, maka gerakan itu telah merusak hukum tersebut.
Oleh para post-glossator hukum Romawi dipakai untuk menghadapi
perkembangan masyarakat yang baru sama sekali. Cara mereka menyajikan
karyanya adalah sistematis dan ini sangat berbeda dengan hukum aslinya yang
kasuistik.15
Kemudian ketika negara-negara di Benua Eropa mulai mempunyai
pemerintahan sendiri, hukum Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum
nasional masing-masing negara. Dimana Napoleon Bonaparte di Prancis dengan
membuat Code Napoleon-nya di tahun 1804 dan Jerman dengan Civil Code-nya di
tahun 1896.16 Selanjutnya disebabkan adanya kolonialisme oleh negara-negara di
Benua Eropa, maka menyebarlah sistem hukum ini dibeberapa negara. Sehingga
sampai dengan saat ini sistem hukum ini diberlakukan dibanyak negara Eropa dan
Jajahannya antara lain yaitu Perancis, Jerma, Italia, Swiss, Austria, Negara-negara
Amerika Latin, Turki, beberapa Negara Arab, Afrika Utara, dan Madagaskar. 17
Selain itu juga Angola, Argentina, Arménia, Austria, Belgium, Bosnia and
Herzegovina, Belanda, Indonesia, dan masih banyak lagi.

Sistem hukum Eropa Kontinental menggunakan kitab undang-undang atau


undang-undang sebagai sumber hukum utamanya.18 Sekalipun bersumber pada
hukum yang tertulis dalam undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif,

15
Satjipto Rahardjo, Op.Cit., halaman 246
16
Mupied Madridista, Sistem Hukum Civil Law dan Common Law,
http://mupiedmadridista.blogspot.com/2011/11/system hukum-civil-law-dan-commonlaw.html
(diakses pada tanggal 01 November 2020 pada pukul 00.47 wita)
17
Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, Cavendish Publishing Limited, London-
Sydney, 1999, hlm. 37.
18
Munir Fuady, loc.cit.

9
dalam beberapa Negara penganut sistem hukum ini, putusan-putusan kadang juga
dijadikan sebagai rujukan sumber hukum meskipun hanya sebagai pelengkap dari
apa yang telah ada dalam undang-undang. Perubahan dan perkembangan hukum
dalam sistem hukum Eropa Kontinental pada prinsipnya sangat bergantung pada
parlemen. Hal ini yang kemudian menjadikan hukum yang ada pada Negara-negara
penganut sistem hukum Eropa Kontinental tidak lepas dari unsur politis yang kuat
meskipun juga menjadi lebih teoritis, koheren, dan terstruktur.19

Dalam sistem Civil law, prinsip utama yang menjadi dasar sistem ini adalah
hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang
berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematika di dalam kodifikasi atau
kompilasi tertentu.20 Dimana Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem
Hukum Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan
tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut
mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian
hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum
manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis.
Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak
dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum.
Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam
batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya
mengikat para pihak yang berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata).21

Karakteristik kedua pada sistem Civil Law tidak dapat dilepaskan dari
ajaran pemisahan kekusaan yang mengilhami terjadinya Revolusi Perancis.
Menurut Paul Scolten, bahwa maksud sesungguhnya pengorganisasian organ-organ
negara Belanda adalah adanya pemisahan antara kekuasaan pembuatan undang-
undang, kekuasaan peradilan, dan sistem kasasi adalah tidak dimungkinkannya

19
Ibid, halaman 34
20
Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum. PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 91.
21
Dedi Soemardi, loc.it.

10
kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya. Penganut sistem Civil
Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa
perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu. Yang menjadi pegangan hakim
adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang.22

Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law adalah apa yang oleh
Lawrence Friedman disebut sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam
peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan yang besar dalam
mengarahkan dan memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan
cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam
sistem hukum Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari
peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme
dan kejujuran hakim.23

Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil
Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan
yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-
lembaga yudisial maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut.
Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum
Civil Law adalah peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil
law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi
tertulis.24

Dalam perkembangannya, sistem hukum ini mengenal pembagian hukum


publik dan hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum
yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-
hubungan antara masyarakat dan negara (sama dengan hukum publik di sistem
hukum Anglo-Saxon). Hukum Privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang

22
Jeremias Lemek, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum Di
Indonesia,
Galang Press, Jakarta, 2007, hlm. 45.
23
Ibid, halaman 45.
24
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1981,
hlm. 27-31

11
mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan
hidup demi hidupnya.25

Dengan perkembangan dunia modern saat ini, hukum sipil (civil lay
system), yang sejak awal menjadi sumber hukum utama di Eropa dna negara-negara
maju kemudian mengalami persinggungan yang beragam. Ada yang disingkirkan,
diresepsi, diadopsi atau diambil sebagian untuk kemudian disesuaikan dengan
kondisi negara masing-masing.26 Bahkan beberapa negara yang awalnya banyak
dipengaruhi civil law system, justru mulai membuka diri untuk mengkombinasi
dengan dengan berbagai sistem hukum yang ada, semisal mengambil unsur-unsur
common law dan islamic law.

25
Ibid.
26
Op.cit., halaman 117-121.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Corpus Juris Civilis atau dikenal juga Code Justinian menjadi mahakarya
di bidang hukum dari Kaisar Justinian yang memerintah Kerajaan Bizantium dari
tahun 527 M sampai tahun 565 M. Dimana Corpus Juris Civilis itu sendiri terdiri
atas empat bagian yaitu The Institute yang hanya berisi teks dan merupakan
pengantar saja, The Digest yang merupakan kumpulan aturan hukum yang paling
lengkap, The Code merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang
disusun secara sistematis serta The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat
setelah selesainya pembuatan The Digest dan The Code.

The Digest bersama The Code inilah yang merupakan dasar dari hukum
Romawi dan sangat memengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem
hukum Eropa Kontinental sampai saat ini khususnya dalam bidang-bidang seperti
status personal, perbuatan melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak,
masalah ganti rugi, dan lain-lain. Sehingga Corpus Juris Civilis atau Code Justinian
dianggap juga sebagai awal mula sistem hukum Civil Law lahir.

Sistem hukum Civil Lawa atau disebut sistem hukum Romawi-Jerman,


dalam perkembangannya muncul pada abad ke 13 (tiga belas) Masehi. Kita
mengetahui, bahwa abad 14 (empat belas) Masehi hingga 17 (tujuh belas) Masehi
disebut dengan sebagai Masa Kebangunan Kembali atau Renaisance. Dimana pada
kurun sejarah itu orang dibangkitkan kegairahannya untuk mempelajari kembali
kebudayaan kuno, yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Kemudian ketika
negara-negara di Benua Eropa mulai mempunyai pemerintahan sendiri, hukum
Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara
hingga menyebar dan mempengaruhi sistem hukum negara-negara di seluruh dunia
hingga saat ini.

13
B. SARAN
Sistem Hukum Eropa Kontinental atau Civil Law atau Romawi-Jerman
sebagaimana telah diuraikan telah mempengaruhi seluruh sistem hukum yang ada
di negara-negara seluruh dunia. Dimana dalam perkembangannya, sistem
kodifikasi hukum dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi pembentukan
sistem hukum nasional yang seyogyanya dirubah sedemikian rupa sehingga selaras
dengan kultur sosial masyarakat Indonesia untuk mengumpulkan peraturan yang
saling bertentangan dan tumpang tindih.

14
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anwar, Yesmil & Adang. 2008. Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone
Press Limited.
De Cruz, Peter, 1999, Comparative Law in a Changing World, London-Sydney:
Cavendish Publishing Limited,
Fuady, Munir, 2007, Perbandingan Ilmu Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama.
___________, 2017, Sejarah Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia.
Lemek, Jeremias, 2007, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap
Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Galang Press.
Lukito, Ratno, 2010, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Alvaber.
Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Mutiara Dewi, Nisrina, Hasanudin dan Hidayatulloh, 2020, Laporan Hasil
Penelitian Terapan Kajian Strategis Nasional : Perbandingan
Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Dan Hukum Islam Tentang
Keadaan Memaksa Di Lembaga Keuangan Syariah (Studi Di
Indonesia, Malaysia, Dan Brunei Darussalam), Jakarta : Pusat
Penelitian Danpenerbitan (PUSLITPEN) LP2M UIN Syarif
Hidayatullah.
Rahardjo, Satjipto, 2014, Ilmu Hukum, Cet. VIII, Bandung : Citra Aditya Bahkti.
Soemardi, Dedi, 1997, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Indhillco.
Schulz, Fritz, 1946, History of Roman Legal Science, Oxford, Inggris : At. The
Claderon Press.
Tetlet, Wiliam, 1999, Common Law versus Civil Law: Codified and Uncodified,
New York, USA : Law Dapartement of Columbia College,
Wignjodipoero, Soerojo, 1981, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta :
Gunung Agung.

15
JURNAL

Nurhardianto, Fajar. 2015. Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal
TAPIs, Volume 11, No.1, hlm.36
Ibrahim, Zulkarnain. 2016. Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia. ALSA
Indonesia Law Journal. Academic Compilation 2016 Alsa Indonesia, Edisi
17 Maret 2016. No. 4. hlm. 59

WEBSITE (INTERNET)

Hadi, Abdul. 2020. Mengenal Sistem Hukum di Berbagai Belahan Dunia.


https://tirto.id/mengenal-sistem-hukum-di-berbagai-belahan-dunia-ezyL.
diakses pada 11 Desember 2020, pukul 19.42 wita

Mupied Madridista. 2011. Sistem Hukum Civil Law dan Common Law.
http://mupiedmadridista.blogspot.com/2011/11/system-hukum-civil-law-
dan-commonlaw.html. diakses pada tanggal 01 November 2020 pada pukul
00.47 wita

16
SEJARAH HUKUM ROMAWI

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum


Dosen Dr. Devy Sondakh, S.H, M.H

Oleh
Jessica V. Semboeng
NIM. 20202108014

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Romawi merupakan negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan


lebih hebat dari negara-negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem
hukum yang dibuat oleh bangsa Romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan
sistem hukum yang dibuat oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Sistem hukum
Romawi (yang sekuler itu) jauh berbeda dengan sistem hukum yang dibawa oleh
agama (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha), meskipun sistem hukum yang
berlandasan agama dipercaya berasal dari langit (dari Tuhan) yang diturunkan ke
dunia melalui rasul-rasul Tuhan. Malahan, prestasi bangsa Romawi dalam membuat
hukum jauh lebih besar dari penjumlahan prestasi semua bangsa yang mendiami
dunia saat ini. Ini memang fantastis, bahkan lebih dari itu. Bukan hanya sektor
hukum yang merupakan hasil sumbangan bangsa Romawi kepada dunia yang masih
berpengaruh hingga sekarang, tetapi banyak sektor kehidupan lainnya yang juga
terpengaruh. Misalnya pengaruh dari abjad Romawi, sistem pemerintahan Romawi,
dan sebagainya.1
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan sistem dan kaidah hukumnya. Meskipun sudah
ribuan tahun, sampai sekarang masih banyak pengaruh hukum Romawi di dunia
ini, terlebih lagi bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental.2
Namun untuk mencapai keadilan dalam hukum dan keselarasannya serta
kedamaian dan kesejahteraan yang tentunya diharapkan dan didambakan semua
bangsa, meski begitu sampai sekarang masih didapati kekurangan dalam sistem
hukum maupun penerapannya dan praktik di kenyataan, termasuk di zaman
Romawi sekalipun.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengambil judul
“Sejarah Hukum Romawi” sebagai bahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perjalanan sejarah hukum Romawi ?


2. Bagaimana proses pengadilan di zaman Romawi serta peninggalan bangsa
Romawi ?

1
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 197-198
2
Ibid. Hal. 201
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjalanan Sejarah Hukum Romawi

Negara Romawi dapat dibagi ke dalam tiga tahap berikut ini.


1. Periode Monarki (753 SM-510 SM)
2. Periode Republik (510 SM-27 SM).
3. Periode Imperium (27 SM-476 M). Tahun 476 M merupakan tahun kehancuran
Romawi Barat (dengan raja terakhir adalah Romulus Agustus), yang ditaklukkan
oleh pemimpin Suku Barbar, yaitu Odoacer (dari Jerman). Meskipun begitu,
Romawi Timur masih tetap hidup, bahkan raja yang berjasa besar di bidang
hukum Romawi, yaitu Justinian, baru mulai memerintah Bizantium Sejak tahun
527 M.3
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada
bandingannya dengan sejarah hukum manapun di dunia ini. Perkembangan hukum
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut.
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (hakim dan legislatif sekaligus)
Sistem hukum Yunani dalam sejarahnya kurang menekankan fungsi dan peran para
ahli hukum, akibatnya profesi hukum, seperti advokat dan hakim, tidak berkembang
di sana. Bahkan, hakim hanya terdiri atas orang-orang biasa yang dikumpulkan
untuk diminta menjadi hakim, jadi bukan profesi seumur hidup. Para hakim rakyat
ini disebut Dikateries. Lihat saja pengadilan terhadap Socrates di Yunani, di mana
yang menjadi hakim adalah ratusan warga negara di Athena. Sebaliknya, sistem
hukum Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat menghargai
peran dan eksistensi dari profesi hukum. Misalnya, kala itu dikenal jabatan Praetor
yang merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Praetor sangat berperan dalam
membentuk dan mengembangkan hukum di Romawi.
2. Faktor penghormatan terhadap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikan appresiasi yang tinggi terhadap profesi
advokat. Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam bidang hukum
Mereka ini tidak hanya mengajukan argumentasi cerdas ketika membela klien-
kliennya, melainkan juga memberikan pendapat-pendapatnya dalam bentuk buku-
buku hukum. Cicero adalah salah satu dan yang paling terkenal di antar advokat
Romawi saat itu.

3
Ibid. Hal. 201
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga
memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga memiliki
waktu yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi saja berkuasa
sampai kurang lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan Romawi, yaitu
Konstantinopel, malahan bisa survive lebih kurang 1000 tahun lagi setelah
keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis mereka menguasai dunia selama dua
milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)
Raja Justinian, pada tahun 529 M, mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam
suatu panitia yang bertugas untuk menyusun kembali hukum Romawi yang mulai
berserakan dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke dalam satu
kitab hukum yang sistematis. Panitia yang diketuai oleh ahli hukum yang bernama
Tribonian itu, menghasilkan suatu kitab hukum yang cukup komprehensif yang
disebut dengan Code Justinian (Corpus Juris Civilis) yang berisi Digest (terdiri atas
50 jilid) dan Institutes. Tidak terbayangkan kedigdayaan hukum Romawi menjadi
sehebat itu, tanpa pekerjaan besar yang merupakan kompilasi hukum oleh Raja
Justinian tersebut.
6. Kebangkitan kembali hukum Romawi
Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan kembali hukum Romawi yang
berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke-12, di mana hukum
Romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian ditafsirkan dan dikembangkan
kembali oleh para Glossator dan Commentators.
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan hukum
Romawi.
Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu sangat berpengaruh
bagi dunia hukum dengan membuat berbagai kodifikasi, seperti pembuatan Code
Napoleon di Prancis yang didasarkan pada Code Justinian, atau pem buatan Code
Civil Jerman yang didasarkan pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian. 4

Hukum Romawi berkembang sangat panjang dalam sejarah. Dalam


perkembangan yang cukup lama tersebut, ada berbagai cara membagi tahap-tahap
perkembangan hukum Romawi. Salah satunya ialah dengan membagi
perkembangan hukum Romawi ke dalam tahap-tahap sebagai berikut.

4
Ibid. Hal. 198-199
1. Tahap awal hukum Romawi.
2. Tahap republik
3. Tahap awal imperium
4. Tahap imperium kristiani
5. Tahap Code Justinian.
6. Tahap hukum Kanonik.
7. Tahap kodifikasi Barbar.
8. Tahap pengkajian kembali hukum Romawi.
9. Tahap resepsi hukum Romawi. 5

Sebagaimana diketahui bahwa zaman Romawi dapat dibagi ke dalam fase:


(1) kerajaan, (2) republik, dan (3) imperium. Apa yang menjadi sumber hukum
Romawi di masing-masing fase tersebut berbeda satu sama lain. Sumber-sumber
hukum Romawi di zaman tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sumber hukum di era kerajaan
a. lus Non Scriptum (hukum tidak tertulis); dan
b. Leges Regiae (keputusan raja).
2. Sumber hukum di era republik
a. Legislasi, yaitu terdiri atas The Twelve Tables, hukum ciptaan Assemblies, dan
hukum ciptaan Senate. Terdapat berbagai macam Assemblies, dengan tugas dan
kewenangan yang berbeda, antara lain: (1) Comitia Centuriata (telah berhasil
membuat The Twelve Tables). (3) Comitia Curiata (komisi tertua yang memiliki
sedikit kewenangan legislasi) (4) Comitia Tributa (mewakili suku-suku di
Romawi), (5) Concilium Plebis (komisi untuk kaum miskin yang paling sering
membuat peraturan).
b. Edicts buatan Magistrates.
c. Interpretatio (merupakan penafsiran resmi terhadap undang-undang).
d. Pekerjaan para ahli hukum, seperti pemberian nasihat hukum atau pendapat
hukum. Beberapa ahli hukum terkenal di era republik antara lain: (1) Sextus Aelius
(menjadi konsul sejak tahun 198 SM); (2) Quintus Mucius Scaevola (pernah
memiliki berbagai jabatan, seperti menjadi Tribune tahun 106 SM, Praetor tahun
98 SM, Consul sejak tahun 95 SM, gubernur Asia sejak tahun 94 SM, dan menjadi

5
Lee, Guy Carleton. 1900. Historical Jurisprudence. New York, USA: The MacMil-Ian Company.
Hal. 187 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hal. 201
Pontiff sejak tahun 89 SM, akhirnya ia dibunuh pada tahun 82 SM); (3) Aquilius
Gallus (menjadi Praetor pada tahun 66 SM); dan (4) Servius Sulpicius Rufus
(merupakan advokat terkenal yang menjadi Praetor sejak tahun 65 SM dan Consul
sejak tahun 51 SM).
3. Sumber hukum di era imperium
a. Legislasi, yaitu terdiri atas sumber hukum yang dibuat oleh: (1) Republican
Assemblies, (2) Senate, (3) Raja, (4) Edicta (yang diisukan oleh raja bersama
dengan magistrates pilihan), (5) Decreta (putusan raja sebagai penguasa yudikatif
dalam memberikan putusan-putusan pengadilan), (6) Mandata (yang merupakan
putusan raja terhadap pegawai di kerajaan, para gubernur. dan lain-lain), dan (7)
Rescripta (yang merupakan jawaban tertulis dari raja terhadap segala pertanyaan
yang ditujukan kepadanya).
b. Edicts dari Magistrates
c. Sumber hukum yang dibuat oleh ahli hukum dalam bentuk: (1) nasihat hukum,
(2) pengajaran hukum dan (3) penulisan hukum. Beberapa nama ahli hukum
terkenal saat itu adalah: 1) Labeo; 2) Sabinus; 3) Julian; 4) Pomponius; 5) Gaius
Papinius; 6) Paul; 7) Ulpian; 8) Modestinus.6

Di masa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat
negara yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai berikut.
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan raja, meski
pun Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki kewenangan terhadap
semua aspek pemerintahan dan hukum. Mereka juga memiliki kewenangan sebagai
panglima perang yang ditunjuk oleh Comitia Centuriata, tetapi memerlukan
ratifikasi dari Parlemen untuk masa jabatan satu tahun.
2. Praetor
Praetor pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Praetor merupakan semacam
pejabat di Kementerian Kehakiman di zaman modern, yang diangkat oleh Comitia
Centuriata. Praetor bertugas untuk mengatur masalah administrasi yang berkenaan
dengan hukum sehingga mempunyai banyak kontribusi terhadap perkembangan
hukum Romawi.
3. Quaestor

6
Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press Limited.
Hal. 28 Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 203-
205
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan praetor yang dikhususkan
Quaestor di bidang finansial, administrasi criminal justice, pejabat hukum yang
penting menigatu di parlemen, dan sebagainya.

4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SMP. Sesuai namanya, censor
memiliki tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan untuk
menentukan tentang siapa saja yang mempunyai hak pilih.
5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan anggota dari
Parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan rakyat jelata (jadi
tidak termasuk golongan bangsawan). Mereka mempunyai lak veto di parlemen.
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerintahan yang bertugas melaksanakan kepentingan
rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi kemudian menjadi
perwakilan dari kaum bangsawan. Misalnya, mereka mengurus kecukupan
penyediaan dan penyaluran air dan makanan, penyediaan jalan-jalan umum, dan
sebagainya.7

Permulaan langkah kaum Romawi dalam membuat hukum yang menjadi


tonggak sejarah kelahiran sistem hukum Eropa Kontinental adalah ketika Romawi
membuat dan memberlakukan Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve
Tables) pada tahun 450 SM, meskipun hukum kebiasaan Romawi sebenarnya sudah
ada sejak kelahiran negara Romawi yang diperkirakan sekitar tahun 753 SM. 8
Substansi dari Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi dari generasi ke generasi,
selama kurang lebih 2000 tahun berkuasa di đunia. Kerajaan Konstantinopel
(Bizantium) merupakan pecahan Kerajaan Romawi yang berakhir pada tahun 1436
M, ketika mereka ditaklukkan oleh bangsa Turki. Sebagaimana diketahui, Romawi
terpecah menjadi dua pada tahun 29 SM. yaitu satu menjadi
Konstatinopel/Bizantium (di sekitar Istanbul sekarang), sedangkan satunya lagi
menjadi Romawi yang berada di sekitar kota Roma/Vatikan sekarang, yang mulai
hancur ketika dijajah oleh bangsa Barbar dari Daerah Utara.
Setelah hukum Romawi dikembangkan oleh bangsa Romawi sendiri selama
lebih 2000 tahun, kemudian hukum tersebut dikembangkan lagi oleh Nessa-bangsa
lain yang telah menerapkan hukum Romawi dan terus berkembang sampai saat ini
dalam bentuk tradisi hukum Eropa Kontinental, atau yang disebut dengan sebutan

7
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 199-200
8
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 19
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 202
tradisi hukum Civil Law. Sampai sejauh ini, sistem hukum Romawi melalui tradisi
hukum Eropa Kontinental ini hanya mendapatkan rival yang sebenarnya tidak
sebanding (terutama jika dibandingkan dengan usianya) yaitu tradisi hukum Anglo
Saxon atau sering disebut pula hukum Common Law.9
Kemudian, satu set hukum yang disebut dengan Lex Aquilia berlaku di
Romawi yang sebenarnya merupakan penerapan kaidah-kaidah hukum yang ada
sebelumnya, termasuk hukum dalam The Twelve Tables. Untuk sekadar
mendapatkan gambaran bagaimana hukum dalam Lex Aquilia ini, dapat dilihat
dalam chapter pertamanya yang mengatur sebagai berikut.
Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau
gadis hamba sahaya milik orang lain, atau binatang ternak berkaki empat milik
orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai
tertinggi yang dimiliki oleh properti tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut
menjadi berlipat dua jika pihak tergugat menolak tanggung jawabnya. 10 (Justinian,
1979: 71).

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, kodifikasi hukum Romawi tertua yang


pernah sampai ke tangan kita saat ini adalah dokumen “Hukum Dua Belas Pasal”
(The Twelve Tables) yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan ditulis di
lempengan tembaga. Hukum Twelve Tables disebut juga “Hukum dari Raja” (The
Law of The King) yang merupakan gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan
kebiasaan yang saat itu berlaku di Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggap
tahun lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum Dua Belas Pasal telah
menjadi basis bagi sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental, termasuk Indonesia.
Hukum Dua Belas Pasal disusun oleh suatu komisi yang terdiri atas 10 orang
(Decemviri) yang diangkat pada tahun 455 SM. Menurut satu riwayat, lempengan
tembaga asli tempat ditulis Hukum Dua Belas Pasal tersebut sudah musnah ketika
The Gauls menyerang dan membakar Roma pada tahun 387 SM.
Seperti yang dikatakan oleh Hippodamus pada abad ke-5 SM bahwa yang
dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:
1. Penghinaan (insult);
2. Penganiayaan (injury);
3. Pembunuhan (homocide).
Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu
gugatan hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi
kontrak dapat mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada

9
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 203
10
Justinian. 1985. The Digest of Roman Law. Terjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
C.F.Kolbert. New York, USA: Viking Penguin Inc. Hal. 71
gilirannya dapat menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan
penganiayaan dan pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi,
dalam hal hukum-hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan penghinaan,
penganiayaan, dan pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak yang tidak
bersentuhan dengan salah satu dari tiga unsur tersebut tidak mendapatkan tempat di
pengadilan, hanya diatur dan diberikan sanksi oleh moral dan agama.
Namun demikian, mengingat adanya akibat berupa pelanggaran ketertiban
umum dari wanprestasi suatu kontrak, maka kontrak kemudian diatur oleh hukum
Banyak hukum kontrak yang telah diatur dalam berbagai undang-undang di
berbagai negara. Namun, lebih banyak lagi yang belum mendapat pengaturannya
dalam perundang-undangan, tetapi berlaku sebagai kebiasaan atau sesuai dengan
kata sepakat di antara kedua belah pihak berdasarkan prinsip “kebebasan
berkontrak”
Ternyata, di dalam setiap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dari dahulu
sampai sekarang, kontrak harus mengandung unsur Pacta Sunt Servanda yang
mempunyai arti: janji itu mengikat. 11
Bidang hukum kontrak juga merupakan bidang hukum yang sangat
berkembang di zaman Romawi. Di masa Romawi, kontrak dikenal dengan istilah
“nexus”. Di samping itu, dikenal pula obligation dan pact (convention). Pact atau
Convention merupakan perjanjian di antara dua pihak atau lebih. Manakala kepada
Pact atau Comention diberikan suatu Obligation (kewajiban), maka pact atau
convention tersebut baru menjadi kontrak. Obligation sendiri terdiri atas dua
bentuk, yaitu kontrak dan wrong/delict.12
Praktik hukum kontrak muncul dalam sejarah hukum Romawi pada saat yang
berlainan. Misalnya, lahirnya kontrak-kontrak pada masa-masa berikut ini.
1. Sistem kontrak dengan deposit (depositum) sudah ada pada abad ke-5 SM. Dalam
Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Tivelve Tables). jika para pihak tidak
menepati untuk menyerahkan barang yang dijanjikan, maka deposit (panjar)
harus dikembalikan sebesar dua kali lipat: suatu hukum yang masih berlaku di
banyak tempat saat ini.
2. Kontrak loan untuk konsumsi (mutuum) sudah ada pada abad ke-3 SM. Mutuum
bermula dari pinjaman barang konsumsi, semisal pinjam gandum dari tetangga
yang akan dibayar pada saat musim panen gandum nantinya.
3. Kontrak barter (permutatio) muncul beberapa abad setelah muncul kontrak loan
untuk konsumsi.
4. Kontrak jual beli telah ada sejak abad ke-2 SM. Sebab, uang koin baru digunakan
di Romawi pada sekitar tahun 275 SM.

11
Ibid. Hal. 201-202
12
Maine, Sir Henry Summer. 1986. Ancient Law. USA: Dorset Press. Hal. 268 dalam Fuady, Munir.
2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 205
5. Kontrak sewa muncul pada abad ke-2 SM.
6. Kontrak untuk berbuat sesuatu untuk orang lain secara cuma-cuma (contract of
mandate) atau yang dikenal dengan istilah mandatum, muncul sebelum tahun
123 SM.13
Di samping kontrak-kontrak seperti di atas, pada zaman Romawi masih
banyak terdapat jenis-jenis kontrak lainnya, misalnya sudah dikenal kontrak gadai
yang disebut “pignus”. Pignus ini sudah dianggap dapat menjadi gugatan
berdasarkan kontrak (wanprestasi) sejak abad pertama sebelum masehi. Demikian
juga di Romawi sudah dikenal pignus yang memiliki objek barang-barang tidak
bergerak, di mana menurut hukum barang tersebut tidak perlu diserahkan kepada
kreditor. Jadi, semacam hipotek yang saat ini sudah berlaku di mana-mana.
Mengenai kontrak standar juga sudah dikenal dalam hukum Romawi, di mana
yang sangat banyak digunakan adalah kontrak standar yang disebut Societas
(partnership). Umumnya, partnership dibuat antara orang-orang yang mempunyai
hubungan pertemanan atau hubungan kekeluargaan. Sedangkan banyak partnership
yang paling tua dalam sejarah hukum Romawi adalah apa yang disebut dengan
“ercto non cito”; yang menyatakan bahwa jika salah seorang meninggal dunia,
maka ahli warisnya masing-masing segera menjadi partner terhadap harta orang
meninggal tersebut.
Tentang intervensi pihak lain ke dalam hubungan kontrak yang dianggap
sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dasar-dasarnya juga sudah ditemukan
dalam hukum Romawi Klasik. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum
Romawi juga meninggalkan beberapa jenis kontrak, dengan model yang diambil
dari kontrak Yunani. Sebagaimana diketahui pula, Yunani sudah lebih dahulu
berkembang di bidang perdagangan dan seni dari bangsa Romawi. 14
Berikut ini contoh dari bagian sebuah kontrak untuk membangun pintu
gerbang di dinding yang berbatasan dengan Kota Puteolis tersebut, yang dilakukan
dengan berdasarkan kepada peraturan kota tahun 105 SM, antara lain berbunyi
sebagai berikut.

Kontrak untuk Membuat Pintu Gerbang


(Tanggal)
Dalam tahun ke-19 sejak pendirian Colony, di bawah kekuasaan Magistrate
Numerius Fufidius Bin Numerius, dan Marcus Pullius dan Consul Publius Rutilius
dan Gnaeus Mallius.

13
Watson, Alan. The Evolution of Law. Baltimore, Maryland, USA: The Johns Hopkins University
Press. Hal. 7 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia
Indonesia. Hal. 205
14
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 206
Berkenaan dengan pekerjaan publik, Undang-Undang No.2
(Subjek)
Pemberitahuan tentang pembuatan dinding pengadilan di depan Kuil Sarapis
Menyeberang Jalan
(Spesifikasi)
Di Pengadilan Menyeberang Jalan, di mana sekarang berdiri dinding dekat jalan. Di
dinding tersebut di bagian tengahnya harus dibangun sebuah pintu gerbang yang
berukuran tingginya 6 kaki dan lebarnya 7 kaki. Di kedua belah pintu harus dibuat
dua buah pilar, di mana dia ha us membuatnya di sebelah yang menuju ke proyek
laun, sebesar 3 kaki panjangnya dan 11/4 kaki tebalnya.
(Tenggang Waktu)
Tenggang waktu untuk menyelesaikan pekerjaan adalah tanggal satu November
yang akan datang.
(Pembayaran)
Waktu pembayaran uang: Setengah harus dibayar segera setelah ditandatanganinya
perjanjian yang dijamin dengan tanah. Sisanya dibayar setelah selesai dan serah
terima pekerjaan.
(Tanda tangan)
Blossius Bin Quintus yang bertanggung jawab terhadap kontrak untuk 1500
sesterces dan menawarkan jaminan untuk jumlah tersebut.
(Guarantor)
Q. Fuficius Bin Quintus.
Cn. Tetteius Bin Quintus.
C. Granius Bin Gaius.
Ti. Crassicius.15

Di awal era perkembangan hukum Romawi, suatu aturan hukum dikenal


dalam beberapa bentuk sebagai berikut.
1. Leges Regiae
Leges Regiae merupakan suatu aturan umum dengan mengambil corak Undang-
Undang Dua Belas Pasal.
2. Instruksi

15
Ibid. Hal. 206-207
Ini merupakan instruksi untuk melaksanakan hukum yang dilakukan baik oleh para
pendeta atau pun oleh orang biasa.
3. Formula instruksi lisan
Formula instruksi lisan untuk menjalankan tugas-tugas suci yang biasanya
dikombinasikan dengan instruksi yang bersifat seremonial
4. Responsa atau Decreta
Responsa atau Decreta merupakan pendapat atau jawaban terhadap permasalahan
yang berkenaan dengan perbuatan yang sakral. 16

Dapat dikatakan bahwa kegemilangan hukum Romawi bermula dari


munculnya undang-undang besar, yaitu Undang-Undang Dua Belas Pasal (The
Twelve Tables) yang mulai berlaku pada tahun 450 SM dan diakhiri oleh kodifikasi
terbesar sepanjang sejarah hukum, yaitu Code Justinian yang disebut dengan
Corpus Juris Civilis yang berlaku sejak tahun 529 M. Corpus Juris Civilis sendiri
merupakan buku untuk para pelajar, the institute, dan the digest atau pandects, yang
terdiri atas 55 jilid.
Sistematika Corpus Iuris Civilis adalah sebagai berikut ini
Buku I : kaidah-kaidah umum;
Buku II : masyarakat Tuhan;
Buku III : pengajaran gereja;
Buku IV : jabatan suci gereja;
Buku V : harta benda sementara dari gereja;
Buku VI : sanksi-sanksi di Gereja;
Buku VII : prosedur.17
Corpus Iuris Civilis (the body of civil law) adalah kodifikasi hukum perdata
yang dibuat di abad ke-6 di bawah pemerintahan Kaisar Justinianus (482/483-565),
Kaisar Romawi (Bizantinium), yang terdiri dari;
1. Digestae atau Pandectae yang merupakan himpunan tulisan-tulisan
hukum para ahli hukum.
2. Institutiones semacam buku pelajaran untuk mahasiswa hukum yang
sebagian besar dikutip dari tulisan Gaius.

16
Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the Clarendon Press.
Hal. 16 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hal. 207
17
https://www.uta45jakarta.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Bahan-Ajar-Sejarah-Hukum.pdf
diakses pada 12 Desember 2020.
3. Codex merupakan himpunan peraturan-peraturan dari kaisar-kaisar
sebelumnya.
4. Novellae yang ditambahkan kemudian dan berisi hukum-hukum baru
sesudah selesainya tiga bagian pertama di tahun 534. 18
Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi
besar lainnya, yaitu Code Napoleon (1804 M), di samping dasar lainnya berupa
kebiasaan setempat. Untuk sekadar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon
tersebut, beberapa prinsip hukum yang ada di dalamnya dapat disebutkan sebagai
berikut.
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada hukum
berlaku surut.
2. Hakim yang menolak perkara dengan alasan undang-undangnya tidak jelas,
kabur, atau tidak cukup diatur, harus bertanggung jawab karena menolak keadilan.
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya.
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alasan perzinaan yang dilakukan
oleh isterinya.
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alasan perzinaan yang dilakukan
oleh suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat tinggal bersama mereka.
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alasan
adanya tindakan kasar, memukul, atau melukai pasangannya oleh yang satu
terhadap yang lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah dijatuhkan
hukuman oleh pengadilan.19
Selain Corpus Juris Civilis yang terkenal dan The Twelve Tables (tahun 450
SM), sebenarnya di Romawi masih banyak undang-undang lain, meskipun bukan
dalam bentuk kodifikasi.

B. Proses Pengadilan di Zaman Romawi


Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan, karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat
banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat upaya pencari keadilan dalam membawa
kasus-kasusnya ke pengadilan. Konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara
dalam kasus-kasus perdata ialah terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi
dalam perkara perdata, antara lain sebagai berikut:
1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan.

18
Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi. Hal. 12
19
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 208
2. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke pengadilan
4. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi) sendiri
terhadap putusan pengadilan.
5. Karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak tahap
yang harus dilalui dan diatur secara sangat rigid, yang apabila keliru sedikit dapat
menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang harus dilakukan sendiri
oleh para pihak yang berperkara, maka risikio akan semakin lebih banyak
ditanggung oleh para pihak tersebut sebagai pencari keadilan. 20

Di samping itu, di zaman Romawi sudah dikenal dan berkembang profesi


advokat. Mereka umumnya kurang berpengetahuan tentang hukum, tetapi sangat
mahir berpidato. Sebelum menjadi advokat, mereka umumnya terlebih dahulu
belajar metode berpidato yang retorik dari Yunani. Karena itu, para advokat
Romawi sangat mahir berpidato dan adu argumen. Yang paling terkenal di antara
mereka adalah Cicero yang memiliki pengetahuan yang sangat luas, termasuk
pengetahuannya tentang filsafat, logika, dan ilmu politik.
Para advokat boleh mengambil fee dari kliennya sebagai imbalan dari jasa-
jasanya sebagai advokat. Namun di masa Romawi berbentuk republik, sering juga
para advokat tidak memungut fee dari kliennya, karena umumnya mereka berasal
dari keluarga aristokrat yang kaya. Bahkan, sejak tahun 204 SM, ada larangan
formal bagi advokat untuk mengutip fee, tetapi larangan ini kemudian dibatalkan di
masa Claudius, di mana ditukar dengan aturan tentang penetapan maksimum fee
yang pasti jumlahnya.
Kenapa hukum Romawi mengarahkan agar para advokad memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma atau dilakukan pembatasan besarnya fee? hal ini
disebabkan hal-hal berikut.
1. Seperti telah disebutkan bahwa para advokat umumnya berasal dari keluarga
aristokrat yang kaya-raya
2. Karena membela orang dianggap merupakan tugas dari setiap warga negara.
3. Karena membela orang di pengadilan merupakan salah satu langkah untuk
menjadi politikus
4. Karena menjadi advokat merupakan cara untuk memperoleh keberuntungan.

20
Ibid. Hal. 208-209
Riwayat korupsi atau mafia peradilan sudah sangat lama ada dalam sejarah
hukum, termasuk dalam sejarah hukum Romawi, karena memang korupsi dan
mafia peradilan merupakan penyakit bawaan dari suatu sistem hukum. Bahkan,
dalam praktik peradilan Romawi, korupsi dan mafia peradilan sangat merajalela.
Umumnya yang memenangkan perkara adalah pihak yang banyak uangnya.
Keadilan sangat mudah dibeli di zaman Romawi, meskipun sistem, kaidah, dan
logika hukum tertulisnya sangat baik. 21
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur
tertentu yang cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur
pengadilan dibagi ke dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap hearing preliminary
2. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim
memeriksa perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan dalam menyelesaikan
persoalan di antara para pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena
itu, kedua belah pihak wajib hadir dalam hearing preliminary tersebut. Dalam
proses hearing preliminary ini, kedua belah pihak saling beradu argumen dalam
hubungan dengan kasus yang bersangkutan. Prosedurnya sangat rigid sehingga
salah sedikit saja dapat menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya. Mirip seperti
sistem writ dalam sistem hukum Anglo Saxon.
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan,
yaitu sebagai berikut.
1. Tindakan Sacramentum
2. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio
3. Tindakan Concictio.
Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai
suatu kasus yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk
tindakan lain. Asal muasal tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di
antara para pihak yang bersengketa, tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian
kasusnya diputuskan dengan ordeal atau pun bantuan supranatural. Dalam
perkembangan selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi tindakan sumpah yang
disertai dengan pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang untuk sementara
dimenangkan oleh Magistrate. Prosedur sacramentum berbeda antara gugatan
berkenaan dengan benda (in rem) dan prosedur jika gugatan berkenaan dengan
pribadi (in personam). Prosedur sacramentum juga memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk menyelesaikan persoaloannya dan waktu yang tersedia
cukup untuk itu, karena proses pengadilan baru boleh dilangsungkan paling cepat
dalam waktu 30 hari setelah proses sacramentum.

21
Ibid. Hal. 209-210
Sedangkan, berkenaan dengan tindakan iudicis arbitrive postuliatio, prosedur
hearing preliminary dalam bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh
undang-undang yang berlaku.
Ada lagi tindakan yang dapat dilakukan dalam proses hearing preliminary,
yaitu tindakan yang disebut dengan condictio. Tindakan condictio juga lebih
sederhana dari tindakan sacramentum dan dilakukan tanpa sumpah, tetapi banyak
formalitas seperti yang berlaku untuk tindakan sacramento.22
Penunjukan hakum merupakan tahap terakhir dalam proses hearing
preliminary. Ada beberapa model penunjukan hakim yang berlaku dalam sistem
hukum Romawi, yang umumnya tergantung pada jenis kasus tersebut. Model-
model penunjukan hakim tersebut adalah sebagai berikut.
1. Penunjukan hakim tunggal dari orang biasa (lay judge).
2. Penunjukan beberapa hakim dari orang biasa.
3. Penunjukan centumviri (seratus orang) dari orang biasa.
4. Penunjukan decemviri (sepuluh orang) dari orang biasa.
5. Penunjukan recuperatores (orang biasa yang dipilih oleh magistrate)23
Tentang bagaimana nuansa proses pengadilan di zaman Romawi ini, ada
baiknya disimak proses pengadilan yang berlaku terhadap Nabi Isa (Yesus).
Yesus ditangkap di Yerusalem dan dituntut oleh penuntut umum di Roma,
yaitu Pontius Pilatus, dan dijatuhi hukuman mati, tetapi dengan cara dipaku di
tangan dan kakinya di kayu salib di Bukit Golgota tempatnya dan ditinggalkan situ.
Sebelum dijatuhi putusan tersebut, Yesus ditanyai beberapa pertanyaan oleh
Pontius Pilatus atas tuduhan yang dituduhkan banyak orang tersebut, namun Ia
hanya diam tidak memberi jawab apapun. 24
Kemudian, berkat tulisan (surat) dari advokat Pliny Muda kita dapat
mengetahui seluk beluk pengadilan di Romawi. Pliny Muda yang nama lengkapnya
adalah Caius Plinius Caecilius Secundus adalah ponakan dan anak angkat dari Pliny
Tua. Pliny Muda dipersiapkan dan dilatih untuk menjadi orator dibawah bimbingan
guru pidato terkenal, yaitu Quintilian. Penampilannya yang pertama sebagai
advokat terjadi pada tahun 80 M, ketika dia baru berumur 18 tahun. Kelak dia
menjadi salah seorang advokat yang terkenal di Romawi. Pliny Muda menulis
beberapa surat yang ditujukan kepada teman-temannya yang banyak berisi tentang
kasus yang ditanganinya.

22
Ibid. Hal. 211-212
23
Borkowski, Andrew. 1994. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press Limited.
Hal. 69 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal.
24
Alkitab. Matius 26-27, Markus 14-15, Lukas 22-23, Yohanes 18-19.
Kasus-kasus yang diceritakannya itu sebagian terjadi ketika Romawi di
bawah kekuasaan Raja Domitian, beberapa ketika Romawi di bawah pemerintahan
Raja Nerva (96-97 M), dan sebagiannya lagi ketika Romawi di bawah pemerintahan
Trajan (98-117 M).25
Sebagaimana diketahui, pembunuhan merupakan suatu kejahatan serius yang
dikutuk dalam masyarakat mana pun dan seprimitif apa pun hukumnya. Hukuman
terhadap kejahatan pembunuhan biasanya hukuman mati. Menyadari beratnya
hukuman terhadap pembunuhan, timbul usaha-usaha dari penjahat untuk
melakukan pengelakan terhadap hukuman, bahkan pengelakan terhadap
penangkapan oleh yang berwajib. Usaha-usaha seperti ini sangat sering terdengar
dalam masyarakat mana pun. Karena itu, dalam sejarah berkali-kali terbukti bahwa
membuktikan pembunuhan di pengadilan bukanlah perkara gampang, apalagi di
masa lalu, di mana belum ada sistem pembuktian yang canggih, semacam
pemeriksaan sidik jari, anjing pelacak, pemeriksaan darah dan DNA, otopsi korban
pembunuhan, dan lain-lain.26
Dalam alinea pembukaan dokumen The Twelve Tables ada gambaran
pengaturan hukum yaitu sebagai berikut.
Jika seorang dipanggil secara sah ke pengadilan, tetapi tidak datang, maka
dengarlah para saksi dan biarkan penggugat bertindak. Jika tergugat menolak
datang, maka penggugat dapat memaksanya. Jika tergugat sakit atau terlalu tua,
maka penggugat dapat menyediakan alat pengangkutan baginya. Jika tergugat
tidak mau penerima tawaran alat pengangkutan tersebut, maka penggugat tidak
perlu menyediakan alat pengangkutan. 27

Salah satu dokumen hukum yang masih tersimpan utuh adalah Lex Julia
Municipalis, yang dibuat pada tahun 45 SM. Lex Julia Municipalis merupakan
dokumen yang berisi tentang peraturan tata kota di kota Roma, yang merupakan
model pengembangan dari model yang ada di Yunani. Berikut ini beberapa
ketentuan dari Lex Julia Municipalis. (John Henry Wigmore, 1936:383)

Lex Julia Municipalis: Peraturan Lalu Lintas


Setiap aedile (petugas pelayanan publik) telah ditugaskan oleh peraturan ini,
harus bertanggung jawab untuk memperbaiki dan menjaga agar jalan umum di
semua tempat di setiap bagian kota untuk masing-masing bagian kota yang secara
khusus telah ditunjukkan kepadanya.
Jalan yang terletak di antara kuil sakral atau gedung publik atau gedung
swasta merupakan tugas dari petugas pelayanan publik yang bertugas di bagian
kota tersebut untuk menjaga setengah dari jalan tersebut.

25
Ibid. Hal. 213
26
Ibid. Hal. 215
27
Ibid. Hal. 225
Jika penjagaan tugas telah ditugaskan kepada kontraktor oleh peraturan ini,
maka petugas pelayanan publik yang relevan juga mempunyai tugas yang sama,
jika kontrak pemeliharaan jalan tersebut dipercayakan kepada pemborong urban…
Kereta barang hanya boleh masuk kota di waktu malam yang harus ditarik
oleh sapi atau kuda dan kembali harus secara kosong. Jika kereta barang masih
berada dalam kota Roma setelah matahari terbit keesokan harinya, maka
kepadanya berlaku ketentuan dalam peraturan ini. 28

Sebagai negara yang sistem hukumnya sudah relatif maju, tentu pembuatan
kontrak sehari-hari sudah banyak dilakukan oleh masyarakatnya. Untuk
mendapatkan gambaran tentang kontrak-kontrak yang dibuat di masa Romawi
tersebut, berikut ini contoh kontrak tentang jual beli budak, yaitu sebagai berikut.
Terhadap Agoronami dari... dari Sarapion, anak angkat dari Zoilus bin Apion,
saya bersumpah atas nama Raja Caesar Titus Aelius Hadrianus Antoninus
Augustus Pius bahwa saya telah menjual kepada Agathodaemon, manusia merdeka
dari Heraclidses dan Sarapion yang dipanggil Dorion. Anak kedua dari Sarapion
yang berasal dari kota yang sama dan budak kelahiran di rumah, yaitu Didymus,
merupakan milik saya karena warisan dari ayah angkat saya, yang merupakan
paman saya dan sekarang telah meninggal dunia. Budak ini bebas dari segala celaan
dan bebas dari epilepsi serta leprosi. Saya selanjutnya bersumpah bahwa dia adalah
milik saya dan tidak sedang dalam jaminan utang atau jaminan apapun. Saya
memberikan harga 1300 uang perak, karena itu saya menggaransi transaksi ini.
Saya akan baik-baik saja jika saya bersumpah kepada yang sebenar-benar
terjadi, tetapi akan sebaliknya jika saya bersumpah palsu.29

Selain itu, kontrak perkawinan antara suami atau calon suami dengan isteri
atau calon isteri juga sudah banyak terjadi di zaman Romawi. Berikut ini sebuah
contoh dari kontrak perkawinan dimaksud.
Kepada Protarchus dari Thermion binti Apion, dengan walinya yaitu
Apollonius bin Chaereas, dan dari Apollonius bin Ptolemaeus. Thermion dan
Apollonius bin Ptolemaeus telah bersetuju bahwa mereka hidup bersama untuk
sama-sama menempuh rumah tangga dan Apollonius bin Ptolemaeus tersebut
mengakui bahwa dia telah menerima dari Thermion pemberian sebagai hadiah
perkawinan sepasang anting-anting emas yang beratnya tiga perempat dan perak
drachmae; dan dari sekarang Apollonius bin Ptolemeus harus memberikan kepada
Thermion sebagai isterinya semua kebutuhan dan pakaian yang pantas dan tidak
boleh memperlakukannya semena-mena, tidak boleh juga menyakitinya atau

28
Ibid. Hal. 233
29
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 267
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 234
mencari isteri lain. Atau dia dapat langsung mengambil hadiah perkawinan satu
setengah kali, dengan hak eksekusi baik terhadap orangnya yaitu Apollonius bin
Ptolemaeus, maupun terhadap semua harta bendanya seolah-olah seperti kekuatan
suatu putusan hukum, dan Thermeon harus melaksanakan kewajibannya terhadap
suaminya secara hidup bersama, dan tidak boleh merusak atau mengabaikan rumah
bersamanya juga tidak boleh berhubungan dengan laki-laki lain, atau jika isterinya
tersebut bersalah, maka melalui putusan pengadilan, dapat diambil hadiah
perkawinan. Dan sebagai tambahan, pihak yang telah melakukan kesalahan
berkewajiban pula membayar denda. Tahun ke-17 dari raja Caesar.30

Di samping itu, putusan pengadilan tertulis di Romawi juga pernah ditemukan


oleh sejarah hukum. Berikut ini sebuah contoh rekaman putusan pengadilan dalam
kasus perdata yang ditemukan di dekat Genoa dan ditulis di atas lempengan
perunggu, pada tahun 117 SM. Putusan pengadilan ini berkenaan dengan selisih
batas wilayah antara dua suku local. (John Henry Wigmore, 1936:389).

Putusan Genoa, 117 SM


Quintus dan Marcus Minutius Bin Quintus dari klan Rufus memiliki
yurisdiksi antara Genoese dan Viturians. Dengan kehadirannya, telah
dicapai suatu putusan terhadap masalah tersebut dengan memiliki ha katas
tanah dan batas-batasnya yang telah ditentukan. Telah diambil suatu
putusan sesuai resolusi dari Senat, pada Ides dari December, dengan
konsulatnya adalah Lucius Cecilius bin Quintus dan Quintus Mucius Bin
Quintus, dengan putusan sebagai berikut:
“Tanah pertanian di Castellus dari Vinturii Langenses adalah hak
milik pribadi dari Viturians beserta keturunannya dan tidak terkena pajak.”
Batas-batasnya adalah sebagai berikut:
Dimulai dari mulut Sungai Manicelo sampai pada tempat pertemuan
dengan Sungai Ede, disana ada batu tanda pembatas, terus di sepanjang
Sungai sampai bertemu Sungai Lemur; karena itu, disepanjang Sungai
Lamuri sampai ke Sungai Cumberanea; karena itu, disepanjang tepi Sungai
Cumberanea terus ke Lembah Captiema; dan karena itu, di sana ada dua
batu pembatas di jalan Pastumia dan satunya lagi di luar jalan. Dari batu
pembatas di luar jalan, lurus ke Manicelo; ke pembatas di Sungai Ede yang
tadi telah disebutkan.”
Tanah berikut ini diputuskan menjadi tanah public. Viturii dari
Castellus Langascus memiliki kepemilikan dan hak kenikmatan yang sah.
Untuk tanah ini, Vinturii Langenses harus membayar sebanyak 400 veiturii

30
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 58
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 234-
235
per tahun sebagai sewa dari kantor bendahara Genoa. Jika mereka gagal
membayar jumlah tersebut dan melunasi kepada Genoese dengan cara-cara
yang lain yang dapat diterima dan asalkan Genoese bukan merupakan
penyebab penundaan. Langense terikat untuk menyerahkan setiap tahunnya
kepada kantor perbendaharaan Genoa bagian yang ke dua puluh dari
gandum yang dihasilkan di atas tanah tersebut dan bagian keenam dari
anggur.
Berkenaan dengan Viturii yang bersengketa dengan Genoese, diadili
dan dijatuhi hukuman karena melakukan penganiayaan. Jika setiap dari
mereka masih dalam penjara untuk tuduhan tindak pidana tersebut,
diputuskan bahwa mereka harus segera dibebaskan dengan syarat mereka
tidak lagi membuat perluasan dari Meadowland di luar area yang telah
dikuasainya di musimpanas yang lalu.
(Tanda Tangan)
Marcus Meticanius Bin Metico (Representatif dari Genoa).
Plaucus Bin Pelion Bin Pelius (Representatif dari Viturii). 31

Peninggalan Sejarah Hukum Romawi


Hukum Romawi ternyata banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat
terbaca sampai sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis undang-
undang atau dokumen hukum lainnya diatas batu marmer dan lempengan perunggu.
Tidak kurang dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di Capitoline
Hill, suatu perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah hilang.
Hukum Romawi sebagaimana terdapat dalam Corpus Juris Civilis terus saja
berlaku dan berkembang, kecuali beberapa abad di masa invasi dari bangsa Arab,
Slavia, dan Lombardia.
Bahkan, setelah jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia Barat yang terdapat
kerajaan-kerajaan kecil yang saling terpecah-pecah, hukum Romawi tetap
diberlakukan, bahkan tetap diberlakukan oleh para penakluk dari bangsa Germania,
disamping berlakunya hukum kanonik (grejawi).
Memang, dengan jatuhnya Kerajaan Romawi, penggunaan Corpus Juris
Civilis juga semakin meredup. Para penakluk disamping membawa hukumnya yang
merupakan hukum Germania, memberlakukan pula hukum Romawi, tetapi dalam
versi yang kurang jelimet dan lebih kasar pengaturannya, khususnya yang
diberlakukan di Semenanjung Italia. Akibatnya, hukum Romawi yang asli (bukan
dari Corpus Juris Civilis) yang bercampur dengan hukum Germania kemudian
berlaku di Italia, Prancis Selatan, dan Semenanjung Iberia. Namun, sejarah

31 Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal.
menunjukkan bahwa hukum Romawi campuran Germania, yang dianggap hukum
Romawi yang vulgar dan bar-bar, dikemudian hari tidak diikuti lagi dalam
pembuatan-pembuatan kodifikasi sehingga hanya tinggal dalam sejarah.
Disamping itu, pada abad pertengahan, hukum kebiasaan bangsa Germania
yang mulai ditulis pada abad ke-5 M sedikit banyaknya memengaruhi
perkembangan sistem hukum Eropa Kontinental, seperti dalam bidang hukum harta
perkawinan dan hukum waris. Hanya saja, pengaruh dari hukum bangsa Germania
ini kemudian meredup karena sifatnya yang sangat simpel (lay character) dan
hukum acara yang kasar, seperti penggunaan mistik dalam bentuk ordeal misalnya.
Hukum-hukum seperti bidang kepemilikan modern dan hukum dagang, ternyata
juga tidak berasal dari hukum Romawi, tetapi merupakan hukum yang tercipta pada
abad pertengahan.
Kemudian datang masa kebangkitan kembali hukum Romawi yang terjadi di
abad ke-11 Masehi, dengan munculnya kembali keinginan dari para ahli hukum,
setelah bersusah payah memberlakukan instrument-instrumen hukum peninggalan
zaman Romawi Klasik dan karya cipta ahli hukum zaman Bizantium, untuk
kembali memberlakukan hukum Romawi, dan kemudian memberlakukan kembali
Corpus Juris Civilis. Proses ini dikenal dalam sejarah hukum sebagai proses
kebangkitan kembali (revival) dari hukum Romawi. Kebangkitan kembali hukum
Romawi ini dimulai dari Bologna (Italia) dipenghujung abad ke -11. sejak, saat itu,
di Bologna berkembang Universitas modern (yang terkenal adalah University of
Bologna) yang utamanya mempelajari hukum Romawi, khususnya hukum Romawi
versi Corpus Juris Civilis. Selanjutnya muncul berbagai universitas untuk
mempelajari hukum Romawi di Italia, dimana mahasiswanya datang dari berbagai
Negara Eropa. Di universitas-universitas tersebut kemudian terbentuk kelompok-
kelompok ahli hukum yang disebut dengan Glossator dan Commentator. Mereka
banyak mengarang buku-buku hukum. Glossator adalah generasi pertama dari
universitas Bologna yang mencoba menafsirkan kembali hukum Romawi yang
sudah banyak tidak dimengerti lagi oleh orang-orang saat itu. Sedangkan,
Commentator datang dikemudian hari (abad ke-13 Masehi), yang juga menafsirkan
hukum Romawi. Bortolus dikenal sebagai Commentator terhebat saat itu. Setelah
tamat belajar dari universitas di Italia tersebut, para mahasiswanya kembali ke
negerinya masing-masing dan mereka mendirikan universitas-universitas, serta
mengajarkan hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis sesuai versi Glossator dan
Commentator. Akhirnya, hukum Romawi yang bertaburan bahasa Latin itu
menyebar ke berbagai Negara di Eropa, bahkan termasuk ke Negara-negara yang
berlaku sistem Common law. Hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis, Glossator
dan Commentator ini kemudian disebut dengan istilah “jus commune”.
Mengapa di zaman kebangkitan kembali Romawi, versi Corpus Juris Civilis
yang dipilih? Hal ini dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut (John Henry
Merryman, 1953:10)
(1) Konsep Imperium Romawi Suci (Holy Roman Empire) sangat kuat bergema
dizaman itu. Dalam hal ini, Raja Justinian dianggap sebagai raja suci Romawi
dengan Corpus Juris Civilis sebagai legislasi imperiumnya.
(2) Pengakuan dari banyak ahli hukum bahwa Corpus Juris Civilis merupakan kitab
hukum yang sangat berkualitas, berbeda jauh jika dibandingkan dengan hukum dari
bangsa penjajah Romawi, yaitu hukum Germania, yang terkesan masih sangat kasar
dan barbar.
Namun pada abad ke-16 dan 17, pusat-pusat pendidikan hukum telah
berpindah ke Prancis dan Belanda. Dalam hal ini, metode-metode yang dilakukan
oleh Commentator di Italia (Bologna) telah diganti dengan metode yang
dikembangkan oleh kaum The Humanists di Prancis atau aliran hukum alam
modern di Belanda.
Kaum Humanist menggunakan teknik sejarah dan philology dalam
mempelajari hukum Romawi sehingga hukum Romawi sebagaimana yang terdapat
dalam Corpus Juris Civilis dianggap sebagai bahan sejarah semata-mata.
Sedangkan, di negeri Belanda, para ahli hukum mengembangkan sistem hukum
secara sistematis sebagai suatu hukum alam yang berlaku universal.
Disamping itu, di abad pertengahan, hukum Kanonik (grejawi) juga berlaku
di Eropa, terutama setelah jatuhnya kerajaan Romawi dan sebelum kebangkitan
kembali hukum Romawi pada abad ke-11. Karena hukum Kanonik merupakan
hukum agama, tentu saja hukum ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, dalam
hal ini agama Kristen.
Setelah berlakunya hukum Romawi yang berlandaskan kepada prinsip-
prinsip agama Kristen di zaman pertengahan, kemudian hukum Romawi versi Code
Justinian atau bahkan versi sebelum Code Justinian, terus berkembang melanglang
buana ke seluruh penjuru dunia, yang banyak dari kaidah hukumnya terus berlaku
sampai sekarang di seluruh pelosok dunia dan kemungkinan akan terus berlaku
untuk jangka waktu yang lama di masa yang akan datang. Suatu kehebatan yang
tidak pernah dapat tertandingi dalam sejarah hukum, yang mungkin oleh orang-
orang Romawi sendiri tidak pernah membayangkan kehebatan tersebut. 32

32
Ibid. Hal. 237-245
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hal prestasinya dibidang hukum, bangsa Romawi adalah bangsa
terbesar yang tidak bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa lain mana pun di dunia,
bahkan tidak bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa yang hidup di zaman modern
sekalipun.
Sedemikian hebatnya keperkasaan orang-orang Romawi di bidang hukum,
sampai sekarang pun tidak ada Negara di dunia ini yang hukumnya tidak terkena
pengaruh hukum Romawi, baik hukum di negara yang berlaku sistem hukum Anglo
Saxon, sistem hukum Sosialis, sistem hukum Islam, Hindu, Buddha, apalagi di
negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental. Keperkasaan bangsa
Romawi dalam membuat hukum memang sudah menjadi legenda.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan
hukum Romawi di Zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari
berlakunya Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) di tahun 450 SM,
sampai dengan terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M,
dengan para ahli hukum Romawi seperti Ulpianus, Papianianus, dan Gaius. Namun,
setelah lebih kurang 1000 tahun perkembangan ilmu, teori, doktrin, dan kaidah ilmu
hukum Romawi, hukum Romawi masih mengepak sayapnya dan berlakunya
semakin meluas ke berbagai Negara, terutama hukum Romawi versi Justinian yang
terdapat dalam Corpus Juris Civilis, yang berisi banyak perbedaan dengan aturan
hukum klasik yang sebelumnya telah berlaku di Romawi. Corpus Juris Civilis itu
sendiri merupakan kompilasi aturan hukum yang dibuat atas arahan dari Raja
Bizantium, yaitu Justinian di abad 6 M, yakni di masa setelah jatuhnya kekuasaan
dari barat (Western Empire).

B. Saran

Meski kodifikasi hukum berasal dari bangsa Romawi masih bisa digunakan
sampai sekarang ini, hanya perlu sedikit penyesuaian dengan perkembangan zaman
yakni dengan masa sekarang inipun. Namun tetap namanya produk hukum bangsa
lain tentunya akan beda dengan produk sendiri yang memang mencerminkan
kehidupan bangsa sendiri dan menyesuaikan keadaan bangsa atau rakyat di negara
tersebut. Sehingga adakala baiknya, negara yang masih menyesuaikan
menggunakan kodifikasi hukum bangsa lain, dalam hal ini dari bangsa Romawi,
seperti Indonesia sampai saat ini, sudah bisa membuat kodifikasi hukum-nya
sendiri. Misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada di
Indonesia dan yang baru saja Rancangan KHUPidana yang dibuat DPR.
DAFTAR PUSTAKA

Alkitab

Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi.

Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone


Press Limited.

Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.

Justinian. 1985. The Digest of Roman Law. Terjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh C.F.Kolbert. New York, USA: Viking Penguin Inc.

Lee, Guy Carleton. 1900. Historical Jurisprudence. New York, USA: The
MacMil-Ian Company.

Maine, Sir Henry Summer. 1986. Ancient Law. USA: Dorset Press.

Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the
Clarendon Press.

Watson, Alan. The Evolution of Law. Baltimore, Maryland, USA: The Johns
Hopkins University Press.

Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths


Limited.

Sumber lainnya:

https://www.uta45jakarta.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Bahan-Ajar-Sejarah-
Hukum.pdf diakses pada 12 Desember 2020.
”SISTEM HUKUM HINDU DAN SEJARAH HUKUM INDIA”

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Hukum

Oleh :
JOICE AMELIA USSU
NIM. 20202108051

DOSEN :
Dr. DEVY K. G. SONDAKH, SH., MH.

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCA SARJANA
MANADO
2020
A. Kaedah dan Budaya Hukum India

Hukum yang terdapat dalam ajaran-ajaran Hindu mempunyai Riwayat yang


sangat panjang, yang tidak kalah hebatnya dengan hukum dalam sejarah Barat atau
Timur Tengah. Hukum Hindu berkembang seiring dengan berkembangnya
peradaban India yang agraris di sepanjang Sungai Gangga dan Sungai Indus.

Sudah lama ada kebudayaan di lembah Sungai Indus, dengan kota


terkenalnya bernama Mahenjodaro dan Harappa. Kota-kota di lembah sungai Indus
ini sudah ada paling tidak di sekitar tahun 2500 SM. Karena itu, sejarah kebudayaan
lembah Indus ini bersamaan waktunya dengan kebudayaan Sumeria/Babilonia, dan
kedigdayaan raja-raja Firaun di Mesir. Bahkan, ada kemungkinan antara
kebudayaan lembah Indus dengan kebudayaan Sumeria saling kontak. Misalnya,
dengan ditemukannya fakta bahwa disain segel dari lembah Indus yang banyak
ditemukan di sekitar Euphrates dan Tigris sekarang, tempat di mana dahulunya
berdiri Kerajaan Babilonia/Sumeria.

The excavation of Ur, … a unearthed several hundred cylindrical seals in use


on thousands of legal documents, … The presence of similar seals in the Indus
Valley civilization and at Bahrein are causing a total reappraisal of the extent of
international commerce, negotiable instruments and the like at a period between
4000 and 5000 years ago (C.G. Weeramantry,1982:56)

Meskipun begitu, tentang kebenaran adanya kontak antar peradaban tersebut


masih perlu diteliti lebih lanjut, mengingat masing-masing peradaban letaknya
sangat berjauhan dan sistem transportasi kala itu masih sangat sederhana.

Kemudian, sekitar tahun 2000 SM sampai 1500 SM, bangsa Arya (Indo
Eropa) yang masih kurang berperadaban dan semi nomaden, menyerbu lembah
Indus. Bangsa Arya ini menyerbu ke Timur sampai ke India dan ke Barat, kemudian
ke Eropa. Diperkirakan, bangsa Arya ini berasal dari daerah sekitar Asia
Tengah/India Tengah atau Rusia Selatan. Namun, kedatangan bangsa Arya ini
terjadi pada saat Hukum India yang berlandaskan hukum Hindu sudah cukup
berkembang. Hukum India yang berlandaskan Agama Hindu tersebut bersumber
dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab suci Veda, termasuk Rigveda, Vedanta
dan Bhagavadgita.

Bangsa Arya bukanlah satu-satunya bangsa yang pernah menyerbu,


menjajah, dan mendiami India. Beberapa ras yang pernah berimigrasi ke India
antara lain sebagai berikut :
Ras Indo-Arya : Mulai tahun 2000 SM
Ras Persia : Tahun 500 SM
Ras Yunani : Tahun 325 SM
Ras Turki : Tahun 100-1400 M
Ras Mongol : Tahun 1400-1750 M
Ras Inggris : Mulai tahun 1750.

Kemudian, tahun 1903 ditemukan kembali Arthasastra di India yang


merupakan kumpulan ketentuan tentang hukum dan pemerintahan yang ditulis oleh
Kautilya, seorang Perdana Menteri dari Chandragupta Maurya. Kautilya hidup
sezaman dengan Aristoteles, bahkan pendapat mereka berdua tentang hakikat dan
fungsi negara pada dasarnya banyak yang sama.

Karena itu, secara filosofis, pemikiran di India jauh lebih tua dari yang ada di
Yunani atau Cina, termasuk pemikiran tentang hukum. Bahkan, Bahasa Sansekerta
yang merupakan Bahasa untuk menulis Kitab Veda dan merupakan Bahasa suci
dari Agama Hindu, merupakan Bahasa Indo-Eropa yang tertua dalam sejarah.

Di samping itu, India juga merupakan tempat asal suatu ajaran yang lain
tentang kehidupan, termasuk tentang hukum, yaitu ajaran Budha. Ajaran ini banyak
dianut sampai sekarang di berbagai wilayah Asia Timur, seperti Cina, Jepang,
Tibet, Vietnam, Burma, Korea, dan lain-lain. Ajaran Buddha yang dibawa oleh
Sidharta Gautama di sekitar abad ke-6 SM ini sebernanya merupakan protes
terhadap kekakuan ajaran Hindu saat ini. Kini ajaran Buddha yang kemudian
dikembangkan juga oleh para pemimpin Buddha yang lain, telah mempunyai satu
kaidah hukum untuk mengatur umatnya.
Hukum Hindu sangat dipengaruhi oleh hukum dari bangsa Arya yang datang
dari Asia Tengah sekitar tahun 1000 SM, dengan membawa hukum dan
memberlakukannya di India.
Hukum Hindu kemudian berkembang pesat, meskipun dalam
perkembangannya masih berakar sangat kuat pada hukum tradisionalnya. Sampai
kemudian, dengan dijajahnya India dan sekitarnya oleh orang-orang Inggris, hukum
Hindu terserap ke dalam system hukum Anglo Saxon yang dibawa bangsa Inggris.
Meskipun hukum Hindu di India banyak dipengaruhi oleh berbagai system hukum
yang dibawa oleh para penjajah, seperti oleh bangsa Indo-Arya, Persia, Turki,
Yunani, dan Mongolia, tetapi hukum dari penjajah Inggrislah yang sangat
berpengaruh sampai sekarang.

Namun demikian, dalam bidang-bidang hukum tertentu, Hukum Hindu


sangat kuat bertahan, seperti dalam hukum keluarga atau hukum perkawinan.
Dalam bidang hukum keluarga misalnya, pengaruh Hukum Hindu terlihat dalam
kaidah-kaidah hukum sebagai berikut. (John Gilissen, et al, 2005: 61)
1. Dibolehkan poligami;
2. Kewajiban janda untuk melanjutkan perkawinan dengan kakak laki-laki
mendiang suaminya (leviraatshuwelyk/kawin ipar);
3. Atau kewajiban janda mengikuti suaminya ke dalam kematian;
4. Penyerahan anak laki-laki dari anak perempuan kepada ayah dari perempuan
tersebut yang tidak memiliki anak laki-laki;
5. Adanya harta milik Bersama keluarga dengan tidak memasukkan hak anak
perempuan.

Intisari dari Hukum Hindu adalah apa yang disebut dengan istilah “darma”,
yang berarti keseluruhan kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Namun begitu, sebagai suatu hukum yang agamis, hukum
Hindu dianggap sebagai perintah Tuhan, meskipun bukan Tuhan tunggal yang
berasal dari langit sebagaimana yang dipercaya oleh Kaum Yahudi, Kristen,
maupun Islam. Sebagaimana diketahui, dalam tradisi agama Hindu tidak memiliki
nabi atau rasul tunggal, meskipun mengenal beberapa manusia pilihan di dunia
yang melaluinya diturunkan Wahyu (sruti), yang merupakan isi kitab suci Weda.
Karena hukum Hindu dipercaya berasal dari Tuhan, maka menjadi kurang fleksibel
karena tidak gampang diubah-ubah oleh manusia, tetapi unsur kepastian hukumnya
lebih terjamin. Namun begitu, dalam sistem hukum Hindu, bahkan yang tradisional
sekalipun sudah mengenal dan mengakui kaidah-kaidah hukum kebiasaan mereka
sendiri yang disebut dengan smriti, yang selalu diingat oleh kaum arif dan bijaksana
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Untuk memecahkan
kekakuan hukum Hindu, kebiasaan sering juga diakui sebagai hukum positif,
bahkan dapat mengalahkan hukum tertulis, sebagaimana yang pernah diputuskan
oleh pengadilan Anglo India tahun 1868 (John Gilisen, et al, 2005: 89). Putusan
pengadilan tersebut didasarkan pada Code Manu, Pasal 108, yang berbunyi :
“Acarah paramo dharman strutyuktah smarta eva ca tasmad asmin sada
yukto nityam syad atmavan driyah.”
(Kebiasaan merupakan hukum tertinggi, seperti juga tertulis dalam sruti dan
smriti. Oleh karena itu, harus senantiasa ada kewaspadaan; drija selalu
memerhatikan keselamatan jiwa).

Hukum Hindu didasarkan kepada konsep “dharma” yang merupakan


keseluruhan pandangan hidup yang didasarkan atas faktor moral, agama, dan
kebiasaan untuk mengetahui yang benar dan adil. Dharma ini ditelaah secara ilmiah
dan analitikal dalam smriti yang ditulis dalam dharmasastra. Orang yang terlibat
dalam pengaturan kehidupan manusia disebut dengan dharmista. Karena itu,
hukum Hindu terdiri atas (1) sruti, yang merupakan tulis dan undang-undang yang
ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, dan (2) smriti, yang merupakan tulisan yang
ditulis berdasarkan kepada pengalaman manusia.

Seperti juga hukum yang berlandaskan kepada agama lainnya, hukum Hindu
tidak luput dari sekte-sekte, yaitu sebagai berikut. (CG Weeramantry, 1982: 21)
1. Sekte Vaishnavas, sebagai lawan dari Sekte Saivas.
2. Sekte Dayabhaga di bagian Benggala.
3. Sekte Mitakshara, yang terdiri di subsekte Benares, sekte Bombay dan sekte
Madras.
Dalam sejarah hukum India, di samping peninggalannya yang sangat
spektakuler, yaitu Code Manu, masih ada peninggalan sejarah hukum lain yang
ditulis dalam Bahasa Sanskerta yang ditulis di atas batu, lempengan tembaga,
bahkan lempengan emas.

Jalannya persidangan menurut hukum Hindu harus dengan sepengetahuan


raja (royal justice), dimana akan dijalankan oleh orang-orangnya raja yang dibantu
oleh beberapa orang Brahmana. Suatu gugatan atau tuduhan umumnya terdiri atas
empat bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Tahap pengajuan gugatan atau tuduhan;
2. Tahap jawaban;
3. Tahap pemeriksaan;
4. Tahap putusan hakim.

Pihak penggugat atau penuduh harus membuktikan gugatan atau tuduhannya,


sedangkan pihak tergugat atau tertuduh harus membuktikan pembelaannya. Pihak
yang akan mengajukan saksi sebagai alat bukti, diharuskan mengajukan saksinya
dalam waktu maksimum 30 hari. Jika tidak dapat dihadirkan, maka dia akan kalah
perkara.

Alat bukti terbagi ke dalam dua bagian, yaitu alat bukti suci/keagamaan dan
alat bukti kemanusiaan. Alat bukti kemanusiaan tersebut terbagi ke dalam tiga
bagian, yaitu bukti saksi, tulisan dan petunjuk. Masing-masing alat bukti memiliki
bobot pembuktian yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut :
1. Alat bukti saksi memiliki dua belas jenis, masing-masing dengan bobot yang
berbeda-beda;
2. Alat bukti suci/keagamaan (devine test) memiliki bobot 9;
3. Alat bukti tulisan memiliki bobot 10;
4. Alat bukti petunjuk memiliki bobot 2.

Banyak pujian dari para pengamat yang ditujukan terhadap pelaksanaan


hukum dan keadilan di India yang dilaksanakan sesuai dengan hukum Hindu.
Kebijakan-kebijakan dalam kehidupan, hukum dan kenegaraan sebagaimana
yang terdapat dalam hukum India Klasik merupakan pantulan dari apa yang sering
disebut dengan sikap bangsa timur yang bijak itu.

B. Hukum Hindu dalam Kitab Undang-Undang Manu

Ajaran hukum Hindu tertulis dalam banyak kitab suci (darma), lebih kurang
100 buah yang masih dijumpai sekarang. Namun, yang palin terkenal dan
komprehensif adalah apa yang disebut dengan Manusmr’ti (ingatan Manu), yang
kemudian dikenal dengan Code Manu. Konon menurut Riwayat, Manu sendiri
merupakan seorang keturunan Brahma yang maha bijaksana dan berhasil
memahami tujuan hidup yang hakiki dari manusia di bumi ini. Manu merupakan
pembuat hukum legendaris yang tiada taranya di dunia ini, yang hidup di sekitar
tahun 3000 SM, meskipun ada juga Riwayat yang menyebutkan bahwa Manu hidup
di sekitar tahun 1500 SM.

Code Manu diperkirakan ditulis kembali antara tahun 200 SM dan tahun 200
M, terdiri atas 12 buku yang berisi kurang lebih 5400 ayat. Meskipun begitu, tidak
semua Pasal dalam Code Manu berisi ketentuan hukum. Kaidah-kaidah hukum
dalam Code Manu meliputi berbagai bidang hukum, seperti hukum keluarga,
hukum perkawinan, hukum benda, hukum acara, hukum pidana, perbuatan
melawan hukum dan lain-lain sebagainya. Aturan-aturan hukum dalam Code Manu
ini bersifat komprehensif, teknis dan tersusun secara sistematis dan logis sehingga
Code Manu ini sangat mengagumkan untuk ukuran saat itu.

Dalam tradisi Hindu, hukum disebut dengan “darma” yang secara harfiah
berarti “kewajiban” yang terbilang maju menurut ukuran zamannya. Meskipun
begitu, seperti umumnya hukum di zaman dahulu, masih banyak kaidah hukum
Hindu dalam Code Manu yang masih bersifat hukum primitif, antara lain :
• Hukum yang didasarkan kepada takhayul;
• Pembagian manusia pada empat kasta dengan hak dan kedudukan yang lebih
tinggi bagi orang-orang dari kasta yang lebih tinggi;
• Pelaksanaan hukuman mati yang kejam;
• Hukuman pidana yang bersifat mutilasi, seperti hukum potong tangan, potong
kaki, potong telinga, pembuktian dengan sumpah pemutus, pemberlakuan
hukum ordeal, dan lain-lain.

Beberapa prinsip hukum dalam Code Manu tersebut adalah sebagai berikut.
(Wikimedia Foundations Inc., 1998: 1).
1. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
2. Hukum tentang Orang
3. Hukum Perkawinan
4. Hukum Waris
5. Hukum Kekayaan
6. Hukum Agraria
7. Hukum Perikatan dan Utang Piutang
8. Hukum Pidana
9. Tindak Pidana Pencurian
10. Tindak Pidana Kesusilaan
11. Hukum Acara
12. Tentang Pidana Perusakan
13. Tentang Perlindungan Konsumen
14. Tentang Hukuman
15. Tentang Pajak, Bea dan Cukai

Dari pengaturan dalam Code Manu seperti diatas, terlihat dengan jelas bahwa
kitab undang-undang yang dibuat di Timur (dalam hal ini India) ternyata tidak kalah
hebatnya, malahan lebih baik, lebih komprehensif dan lebih sistematis
dibandingkan dengan berbagai kitab undang-undang yang dibuat di daerah lain,
seperti Babilonia, Mesir atau Yunani pada saat yang bersamaan. Hal ini juga
membuktikan bahwa sejarah hukum berhasil mempresentasikan dengan jelas
tentang tingkat kreativitas dan penghayatan terhadap hukum, keadilan dan
kebenaran dari masing-masing bangsa di dunia ini, di sebelah mana pun dari dunia
ini bangsa tersebut berdiam.
MAKALAH SEJARAH HUKUM

PERBANDINGAN SEJARAH HUKUM DI YUNANI DAN ROMAWI


Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H

OLEH:

IMANUEL ARUNG TIKU

20202108012

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PROGRAM PASCASARJANA MANADO 2020


PERBANDINGAN SEJARAH HUKUM DI YUNANI DAN
ROMAWI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki masa lalu. Masa lalu yang pantas dikenang, baik
yang menyenangkan maupun yang membuat manusia sedih dalam hidupnya. Setiap
detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya yang telah dilewati oleh manusia
merupakan bagian dari masa lalu. Masa lalu sering disebut dengan istilah Sejarah.
Dilihat dari asal usul kata, sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun yang
artinya pohon, keturunan, asal usul atau silsilah. Dalam bahasa Inggris (history),
Bahasa Yunani (istoria), Bahasa Jerman (geschicht). 1
Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau
yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja
yang memerintah). Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian
yang sudah lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti
mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh
orang perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi:
pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara
berpikir secara historis.
Sejarah Yunani berlangsung kurang lebih seribu tahun dan berakhir dengan
munculnya agama Kristen. Oleh sebagian besar sejarawan, peradaban ini dianggap
merupakan peletak dasar bagi Peradaban Barat. Budaya Yunani merupakan pengaruh

1
Pengertian Sejarah, Jumat, 29 Februari
2008, http://mustwiebagoes.blogspot.com/2008/02/pengertian-sejarah.html, diakses pada tanggal 2
Januari 2012.
kuat bagi Kekaisaran Romawi, yang selanjutnya meneruskan versinya ke bagian lain
Eropa.
Yunani dan Roma sama-sama memiliki peninggalan berupa sistem hukum yang
sangat berharga bagi peradaban dunia.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbandingan perkembangan sejarah hukum dalam
peradaban Yunani dengan peradaban Romawi secara umum ?

II. PEMBAHASAN
Perbandingan perkembangan sejarah hukum Yunani dan Romawi dapat di Kaji
dalam Aspek-Aspek Sebagai Berikut :

1. Pemikiran Hukum
Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum masih
primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah (nomos) baik
semesta alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak adalah budak, dan
sebagainya. Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4 SM ada beberapa
filosof yang mengartikan hukum secara berbeda. Plato (427-347 SM) yang menulis
buku Politeia dan Nomoi memberikan tawaran pengertian hukum, dan hakikat
hukumnya.2 Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut
Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat
kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap
kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan
dalam buku Nomoi, Plato menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum.

2
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 11
Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles,
manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut
dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi
hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang
mencerminkan aturan alam, Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang
dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut
bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang
baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang menjelaskan tentang
hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan
yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".3
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh hukum
asing saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau pun
hukum Semits terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang tertulis
pada masa Romawi, orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan undang-
undang tersebut karena mereka terus-menerus mengembangkan hukumnya untuk
menemukan hukum-hukum yang baru.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak
terlalu besar karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis.
Walaupun demikian pemikiran-pemikiran hukum yang cukup berharga lahir pada
zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum Kodrat. Ia mengajakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio yang murni dan oleh
karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum alam.
2. Hukum dan Pemerintahan

3
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 23
Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang politik
dan kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan sampai
saat ini. Mereka sudah mengenal dan mempraktikkan sistem demokrasi yang baik
pada saat orang-orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem kekuasaan yang
feodal, aristokratis, dan mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama kali di dunia ini yang
mengembangkan sistem hukum dan kenegaraan yang bersifat demokratis. Bahkan,
jika dunia ini tidak pernah memiliki orang-orang Yunani, mungkin peradaban dunia
tidak semaju saat ini. Banyak bukti menunjukkan bahwa di wilayah-wilayah dunia
yang kurang mendapat pengaruh dari hukum Yunani Romawi, peradabannya masih
terbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai oleh ajaran Buddha yang kurang
mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata demokrasi merupakan barang
mewah, seperti yang terjadi di Tibet,dan Miyanmar.4
Namun, menurut sejarah hukum tidak begitu dikembangkan di zaman Yunani,
karena hampir tidak terdengar nama ahli hukum besar atau kitab undang-undang yang
komprehensif. Sejarah hanya meninggalkan beberapa undang-undang saja di Yunani,
seperti Undang-Undang Draco (621 SM) Undang-Undang Solon (594 SM) yang
disusun di bawah pengaruh Mesir, Undang-Undang Dura dan Undang-Undang
Gortyn (450-460 SM) yang sebagian isinya dapat terbaca sampai sekarang.
Peninggalan Yunani tersebut berbeda jauh dengar peninggalan perundang-undangan
dan dokumentasi hukum dari Mesir atau Babilonia, yang sangat banyak jumlahnya
dan dapat terbaca sampai sekarang. Di samping dalam bentuk undang-undang, hukum
Yunani juga dapat terbaca dalam orasi-orasi para advokat di pengadilan dalam
membela kliennya. karena sistem peradilan Yunani memakai sistem juri, sehingga
kelihaian berorasi dari para advokat di depan pengadilan sangat diperlukan dalam
rangka meyakinkan para juri yang bukan ahli hukum dan umumnya tidak pernah
belajar hukum tersebut. Di samping sistem juri, sistem pemeriksaan saksi melalui
proses eksaminasi silang (cross examination) sudah dikenal di zaman Yunani, seperti
yang pernah dipraktikkan dalam pengadilan Socrates.5
Secara politik, orang-orang Yunani terpecah-pecah ke dalam berbagai polis-
polis, sepeti Ithaca, Attica, Sparta, Athena, dan lain-lain. Semula, sistem hukum di
Yunani berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Aria, dengan berbagai variasi di
sana sini. Bahkan, seperti terjadi di Sparta, individu dituntut untuk mengabdi secara
penuh kepada masyarakat dan negara yang umumnya dikuasai oleh kaum tentara,

4
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 164
5
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 165
sehingga hak-hak individu hampir-hampir tidak dikenal. Sebaliknya di Athena,
meskipun individu harus mengalah kepada masyarakat dan negara, tetapi hak-hak
dari warga negara tetap diakui dan kepentingan perdagangan tetap dijaga.
Dalam sistem pemerintahan di Zaman Romawi mulai dikenal dengan teori
siklus Polybius. Siklus ini menjelaskan bahwa, sistem pemerintahan akan terus
bergulir bagaikan siklus hidup yang berputar. Pemerintahan aristokrasi pada mulanya
dipandang baik, kemudian munculah pertentangan-pertentangan dan akhirnya
pemerintah dan masyarakat tidak menyukai sistem aristokrasi yang dipimpin oleh
aristokrat dan berubah menjadi sistem oligaki, begitulah seterusnya.6
3. Sistem Peradilan
Pengadilan di zaman Yunani dilakukan di tempat yang berbeda-beda menurut
perbedaan kasus dan juga perbedaan zaman. Misalnya di Athena, pengadilan
dilangsungkan di pasar-pasar, di Angora, di lembah Areopagus (khusus untuk kasus-
kasus pembunuhan), di lembah Pnyx, dan lain-lain.
Lembah Areopagus dipilih sebagai tempat pengadilan untuk kasus-kasus
pembunuhan, khususnya di periode-periode awal zaman Yunani. Hal itu disebabkan
lembah ini terkenal dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh Orestes.
Menurut legenda, Orestes membunuh ibunya yang melakukan perzinaan sehingga
Orestes dibawa ke pengadilan. Para penuntut umum menuntut Orestes bahwa
tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas dendam. Bahkan, dewi Athena konon
menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara dengan voting, suaranya adalah
untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri memang membebaskan
Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen memorial keadilan dan
menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan ini tidak korup dan
merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan
keadilan di Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh
perwakilan dari masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep

6
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 39
pengadilan dengan sistem juri yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara yang
punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masingmasing
mewakili sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan. Ada 10 pintu
masuk ke pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua puluh kamar,
masing-masing dua untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing 10 untuk setiap
suku, di mana disimpan alat pemberian suara dari para juri yang dipergunakan untuk
memungut suara. Setiap orang yang di atas umur 30 tahun dapat menjadi juri, asalkan
mereka bukanlah debitur terhadap negara dan mereka belum kehilangan hak-hak nya.
Jika ada orang yang tidak cakap bertindak sebagai juri, maka informasi diberikan
kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika terbukti tidak cakap, maka dia akan
dikenakan hukuman badan atau hukuman denda.
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan, kasus-
kasus publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari dua
pengadilan dan terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang juri
yang merupakan kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak
suara yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan
tulis, selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih
banyak, dianggap yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka yang
dimenangkan adalah tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri memutuskan
tentang jumlah suatu ganti rugi. Ketika semua telah lengkap, juri menerima
bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap
sebagai berikut :7
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap
sidang ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk
memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya,
7
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 182-183
penggugat sendiri yang membawa surat panggilan tersebut ke alamat tergugat.
Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat. Bahkan, jika tergugat merupakan
orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan meninggalkan kota itu
untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap tergugat dan
membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.

b.Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan
magistrat adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang
sembrono atau yang dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat,
penggugat mengajukan gugatan dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat
tidak hadir, maka akan langsung diputus untuk menerima gugatan, kecuali di
kemudian hari dapat menunjukkan alasan ketidakhadirannya yang dapat diterima.
Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini dianggap ada dasar bagi suatu gugatan,
maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu tahap pemeriksaan
pendahuluan.

c. Tahap pemeriksaan pendahuluan, pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini, terjadi


tanya jawab antara penggugat dan tergugat. Perdebatan yang sebenarnya, fakta-fakta,
serta dalil-dalil yang berkenaan dengan sengketa yang ada, diuraikan dan terlihat
dengan jelas dalam tahap ini. Penggugat mengajukan gugatan dan dalil-dalilnya,
kemudian tergugat mengajukan jawaban dengan dalil-dalilnya. Pembuktian tertulis
dan pemeriksaan saksi-saksi juga terjadi dalam tahap ini. Jadi, tahap pemeriksaan
pedahuluan merupakan tahap yang cukup esensial dalam suatu proses pemeriksaan
perkara di zaman Yunani. Setelah semua bukti diperiksa dan alat bukti tersebut
disegel, magistrat dapat segera menyelesaikan sengketa yang ada atau biasanya
mengirim sengketa tersebut ke pengadilan juri. Di Athena, para juri (yang terdiri atas
orang-orang biasa) yang mendengar perkara tersebut bisa mencapai ratusan, bahkan
ribuan orang. Sebelum memberikan putusannya, juri akan mendengar pidato kedua
belah pihak. Pidato tersebut biasanya sangat memikat.

d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung
suara. Suara terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut
berkenaan dengan putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang menang
dan siapa yang kalah, juga putusan tentang besarnya ganti rugi. Pelaksanaan putusan
pengadilan (eksekusi), menurut sistem hukum Yunani, diserahkan kepada para pihak
yang bersangkutan dan hanya menyangkut dengan kepemilikan; tidak boleh
menyentuh personal. Jadi, menurut sistem hukum Yunani, pihak yang menang tidak
boleh menangkap atau menjadikan budak terhadap pihak yang kalah. Ketentuan ini
membedakan hukum Yunani dengan sistem hukum Romawi di masa-masa awal
perkembangannya.
Salah satu ciri peradilan Romawi pada saat itu khususnya terkait hukum acara
perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam peradilan, karena masalah
perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat banyak sehingga dianggap hanya
masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak merangsang, bahkan sangat
menghambat, upaya pencari keadilan dalam membawa kasus-kasusnya ke
pengadilan.8
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur
tertentu yang cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur
pengadilan dibagi ke dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut :9
a. Tahap hearing preliminary.
b. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim memeriksa
perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan persoalan di antara
para pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena itu, kedua belah pihak
wajib hadir dalam hearing preliminary tersebut. Dalam proses hearing preliminary
ini, kedua belah pihak saling bertukar argumen dalam hubungan dengan kasus yang
bersangkutan. Prosedurnya sangat rigid sehingga salah sedikit raja dapat
menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya. Mirip seperti sistem writ dalam sistem
hukum Anglo Saxon.
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan,
yaitu sebagai berikut :
a. Tindakan Sacramentum.
b. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio.
c. Tindakan Concictio.

Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai suatu


kasus yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk tindakan lain.

8
Munir Fuady, ibid, hlm. 209
9
Munir Fuady, ibid, hlm. 211
Asal muasal tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di antara para pihak
yang bersengketa, tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian kasusnya
diputuskan dengan ordeal atau pun bantuan supranatural. Dalam perkembangan
selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi tindakan sumpah yang disertai dengan
pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang untuk sementara dimenangkan
oleh Magistrate.
Prosedur sacramentum berbeda antara gugatan berkenaan dengan benda (in
rem) dan prosedur jika gugatan berkenaan dengan pribadi (in personam). Prosedur
sacramentum juga memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan
persoalannya dan waktu yang tersedia cukup untuk itu, karena proses pengadilan baru
boleh dilangsungkan paling cepat dalam waktu 30 hari setelah proses sacramentum.
Sedangkan, tindakan iudicis arbitrive postulatio, prosedur hearing
preliminary dalam bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh undang-
undang yang berlaku. Prosedur iudicis arbitrive postulatio pada prinsipnya serupa
dengan prosedur sacramentum, tetapi lebih cepat dan sederhana. Karena, berbeda
dengan prosedur sacramentum, untuk prosedur iudicis arbitrive postulatio ini tidak
memerlukan waktu tunggu sampai 30 hari untuk bisa melanjutkan proses pengadilan,
tidak ada sumpah, dan tidak ada pula kewajiban memberikan uang jaminan.
Misalnya, tindakan iudicis arbitrive postulatio ini dimungkinkan untuk gugatan
berdasarkan stipulatio (kontrak formal), pembagian warisan, dan pembagian harta
gono-gini.
4. Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini
untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang
satu mengancam atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam
hukum pidana misalnya pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu
tindak pidana pembunuhan. Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke
dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana.10

Kriteria pembunuhan yang dimaafkan termasuk di dalamnya pembunuhan


secara tiba-tiba untuk membela diri. Sedangkan, terhadap pembunuhan tanpa rencana,
memang kesalahan masih dapat dipikulkan ke pundak si pembunuh, misalnya
pembunuhan dilakukan secara tiba-tiba karena marah atau emosinya terguncang.
Terhadap pembunuhan yang tanpa rencana ini, tetap ada unsur kesalahan dari si
pelaku, karenanya pelaku juga harus dihukum. Namun, hukumannya bukan dalam
bentuk hukuman mati, melainkan hanya berupa hukuman kompensasi dalam bentuk
kerja paksa sebagai budak untuk jangka waktu tertentu, biasanya selama delapan
tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, hukuman kerja paksa sebagai budak
tersebut diganti dengan hukuman kompensasi dalam bentuk uang.11 Pembunuhan
bentuk ketiga adalah pembunuhan terencana. Menurut hukum Romawi, suatu
pembunuhan terencana tidak mungkin dimaafkan, baik oleh manusia maupun oleh
dewa-dewa, di mana hukumannya adalah hukuman mati.
Dalam hukum Romawi Hippodamus pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa,
bahwa yang dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:
a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).

Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu gugatan
hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi kontrak dapat
mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada gilirannya dapat
menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan penganiayaan dan
pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, dalam hal ini.

10
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 174
11
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 187
hukum-hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan penghinaan, penganiayaan,
dan pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak yang tidak bersentuhan dengan
salah satu dari tiga unsur tersebut tidak mendapatkan tempat di pengadilan, hanya
diatur dan diberikan sanksi oleh moral dan agama.12
5. Hukum Perdata
Di bidang hukum perdata, sebenarnya hukum Yunani juga berkembang relatif
baik. Di samping beberapa kontrak yang telah disebutkan, banyak kontrak lain yang
berhasil ditemukan oleh sejarah hukum peninggalan zaman Yunani. Di samping itu,
prinsip hukum perkawinan dalam hukum Yunani bersifat monogami. Namun
demikian, seperti dalam kebanyakan hukum kuno, kehadiran wanita teman kumpul
yang kedua, meskipun bukan isteri, dapat ditoleransi, terutama oleh hukum kebiasaan
di Yunani. Di samping itu, apa yang disebut dengan perjanjian kawin juga dikenal
dalam sistem hukum Yunani, tetapi dalam suatu perkawinan, seperti dalam sistem
hukum13 Romawi, isteri dianggap "dibeli" oleh suaminya, sehingga kedudukan isteri
sangat lemah dan sangat jauh di bawah kedudukan suaminya. Hanya di Sparta yang
agak sedikit berbeda, karena di sini kedudukan isteri dalam suatu ikatan perkawinan
lebih baik. Sebab, di Sparta, masalah perkawinan oleh hukum tidak dianggap masalah
personal, tetapi merupakan masalah negara dan isteri menganggap dirinya sebagai
agen dari negara. Semua orang diwajibkan kawin oleh negara dan seorang bujang tua
yang tidak kawin-kawin malahan dihukum oleh negara dan pembayaran-pembayaran
tertentu (seperti pembayaran sebagai penghargaan) tidak boleh diberikan kepada
orang lajang. Demikian hukum di Sparta.Di Romawi kodifikasi hukum Romawi
tertua yang pernah ada saat ini adalah dokumen "Hukum Dua Belas Pasal" (The
Twelve Tables) yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan ditulis di lempengan
tembaga. Hukum Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The Law of The
King)" yang merupakan gambaran bagaimana kaidah–kaidah hukum dan kebiasaan

12
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 175
13
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hal 202
yang saat itu berlaku di Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun lahirnya
sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi
sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum
Eropa Kontinental, termasuk Indonesia.
Hukum Dua Belas Pasal disusun oleh suatu komisi yang terdiri atas 10 orang
(Decemviri) yang diangkat pada tahun 455 SM. Banyak materi-materi yang di atur
mengenai keperdataan seperti utang piutang, waris, perkawinan dan lainnya. Hukum
keperdataan Romawi terbilang cukup maju, pada saat itu pun telah muncul apa yang
disebut sebagai kontrak, bahkan dalam perkawinan.
Berdasarkan keseluruhan aspek tersebut dapat diketahui perkembangan hukum
pada zaman Romawi memang cukup dominan dibandingkan zaman Yunani.
Perkembangan hukum Romawi banyak ditandai dengan adanya kodifikasi-kodifikasi
hukum dan terus diadopsi oleh negara-negara sekarang seperti Jerman, Prancis,
Belanda hingga menjadi suatu sistem hukum yaitu Eropa Kontinental.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam buku tersebut Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan
bahwa dalam negara terdapat kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan
keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan
tempat dan tugasnya. Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang mencerminkan
aturan alam, Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh
manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut bahwa
pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang baik dan
pantas bagi orang yang hidup bersama.Slogan yang menjelaskan tentang hakikat
keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan yang sama,
kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir metafisika,
seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi san¬gat spektakuler
dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak terlalu besar
karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis. Di samping itu, apa
yang disebut dengan perjanjian kawin juga dikenal dalam sistem hukum Yunani,
tetapi dalam suatu perkawinan, seperti dalam sistem hukum Romawi, isteri dianggap
"dibeli" oleh suaminya, sehingga kedudukan isteri sangat lemah dan sangat jauh di
bawah kedudukan suaminya.
Demikian hukum di Sparta.Di Romawi kodifikasi hukum Romawi tertua yang
pernah ada saat ini adalah dokumen "Hukum Dua Belas Pasal" (The Twelve Tables)
yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan ditulis di lem¬pengan tembaga. Hukum
Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The Law of The King)" yang
merupakan gambaran bagaimana kaidah–kaidah hukum dan kebiasaan yang saat itu
berlaku di Romawi. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi sistem hukum
yang dipraktikkan di negara-negara yang men¬ganut sistem hukum Eropa
Kontinental, termasuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Fuady, Munir. 2009. Sejarah Hukum. Ghlmia Indonesia. Jakarta.

Soehino. 2001. Ilmu Negara. Liberty. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung. Alumni.


SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ROMAWI

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum


Dosen Dr. Devy K.G Sondakh , SH. MH

Oleh:

Aldareza Gielliery Gabriele Runtukahu


20202108001

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mendefinisikan “Sejarah”, kiranya agak sulit, karena banyak


pendekatan etimologi yang dapat digunakan. Pendekatan tersebut menghasilkan
pengertian yang hampir sama. Dilihat dari etimologi asal kata, sejarah dalam bahasa
Latin adalah “Historis”. Dalam bahasa Jerman disebut “Geschichte” yang berasal dari
kata geschehen, berarti “sesuatu yang terjadi”. Istilah “Historie” menyatakan
kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia 1. Dalam bahasa Spanyol
menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa Prancis
histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche hen yang
berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif) 2
Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat dari kejadian-kejadian yaitu suatu
penyajian kejadian-kejadian tersebut, juga merupakan suatu buku yang berisi riwayat
suatu bangsa, masyarakat atau kelompok sosial tertentu. 3Memang banyak arti yang
diberikan untuk mendefinisikan sejarah, tetapi kiranya tidak boleh lupa bahwa apa
yang diungkapkan dalam penelitian mengandung unsur-unsur : (a) pencatatan
(penulisan) dari hasil penelitian, (b) kejadian-kejadian penting (factual) masa lalu, (c)
kebenaran nyata (konkret).4
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari
ilmu sejarah (bukan cabang dari ilmu hukum), yang mempelajari (studying),
menganalisa (analising), memverifikasi (verifiying), menginterpretasi (interpreting),

1 R. Abdoel Djamal, Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta : Rajawali Press, 1984). hlm 6
2 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005). hlm. 2
3 Abintoro Prakoso. Sejarah Hukum. (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2019). hlm 2
4 R. Abdoel Djamal. Loc.Cit.
menyusun dalil (setting the clausule), dan kecenderungan (tendention), menarik
kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang setiap fakta, konsep, kaidah, dan aturan
yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku.5 Baik yang secara kronologis
dan sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan apa yang terjadi di
masa kini, baik seperti yang terdapat dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan,
terutama penekananya atas karakteristik keunikan fakta dan norma tersebut, sehingga
dapat menemukan gejala, dalil, dan perkembangan hukum di masa yang lalu yang
dapat memberikan wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya, dalam
mengartikan dan memahami hukum yang berlaku saat ini. 6

Tujuan mempelajari sejarah hukum untuk mengetahui bagaimana proses dari


terbentuknya hukum yang sekarang ini berlaku berlaku di suatu masyarakat, sehingga
dapat mengetahui arah dan tujuan mengapa hukum itu dibuat. Mempelajari sejarah
hukum memang bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly, bahwa dengan
mempelajari sejarah, sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri
yang jauh: ia meluaskan penglihatan, memperbesar pandangan hidup kita. Juga
dengan membuat perjalanan di negeri-negeri asing, sejarah mengenalkan kita dengan
keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada yang biasa kita kenal dan Sejarah
Hukum 13 dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini terdapat pada kita
bukanlah satu satunya yang mungkin. 7 Seperti halnya mempelajari setiap bidang ilmu
maka mempelajari sejarah hukum akan menghasilkan keuntungan. Salah satu
keuntungan tersebut adalah bahwa pengetahuan kita mengenai suatu sistem lembaga
atau pengaturan hukum tertentu menjadi lebih mendalam dan diperkaya.8

B. Rumusan Masalah:

Bagaimanakah sejarah perkembangan hukum romawi?

5 Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009). hlm 1.


6 Ibid.
7 Sudarsono, Sejarah Hukum. hlm 254.
8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. hlm 315.
BAB II

PEMBAHASAN

Hukum Romawi Dalam Sejarah

Ditinjau dari sejarah hukumnya, Negara Romawi merupakan negara terhebat


dalam sejarah hukum, bahkan lebih hebat dari negara-negara modern saat ini. Bila
kita berbicara objektif, sistem hukum yang dibuat oleh bangsa Romawi jauh lebih
hebat dibandingkan dengan sistem hukum yang dibuat oleh bangsa-bangsa lain di
dunia ini. Sistem hukum Romawi (yang sekuler itu) jauh berbeda dengan sistem
hukum yang dibawa oleh agama (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha),
meskipun sistem hukum yang berlandasan agama dipercaya berasal dari langit (dari
Tuhan) yang diturunkan ke dunia melalui rasul-rasul Tuhan. Malahan, prestasi bangsa
Romawi dalam membuat hukum jauh lebih besar dari penjumlahan prestasi semua
bangsa yang mendiami dunia saat ini. Ini memang fantastis, bahkan lebih dari itu.
Bukan hanya sektor hukum yang merupakan hasil sumbangan bangsa Romawi
kepada dunia yang masih berpengaruh hingga sekarang, tetapi banyak sektor
kehidupan lainnya yang juga terpengaruh. Misalnya pengaruh dari abjad Romawi,
sistem pemerintahan Romawi, dan sebagainya. 9

“Who is the good man?The attribute of the good man


include serving awitness, acting as a guarantor, and settling
cases as a judge.”

Siapakah orang yang baik itu? Atribut dari orang yang


baik antara lain menjadi saksi di pengadilan, bertindak selaku
garantor, dan menyelesaikan kasus-kasus hukum seperti yang
dilakukan oleh hakim.

9 Munir Fuady. Op.cit., hlm. 197.


Horace: penyair Romawi
(Dikutip dari Andrew Borkowski, 1997 : 63)

. Yunani. Dan lebih sibuk dengan manyusun kenegaraan, organisasi dan


peraturan-peraturan yang bersifat praktis saja, karena begitu luasnya wilayah
Romawi. Oleh karena orang-orang Romawi tidak banyak waktu untuk berfikir dan
menulis sebagaimana halnya orang-orang Yunani, maka orang-orang Romawi tidak
banyak meninggalkan tulisan-tulisan mengenai kenegaraan dan hukum, sebab mereka
sibuk menyusun kenegaraannya yang begitu luas daerahnya, sehingga mereka lebih
mengutamakan kepada pembentukan organisasi-organisasi sehingga dan peraturan-
peraturan yang bersifat praktis yang dapat meliputi dan mengatur persoalan-persoalan
kenegaraannya. Sebab itulah maka sifatnya menjadi berbeda, di mana sifat bangsa
Yunani selaku ahli pikir sedangkan sifat bangsa Romawi selaku ahli praktek, yaitu
menjalankan dan mempraktekan segala sesuatu yang timbul dan hidup dalam alam
pikirannya.10

Memang sejarah hukum pada khususnya, maupun sejarah pada


umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi suatu
bangsa. Sebagaimana dikatakan oleh Soedjatmoko (1968) :
“...history instruction is an important means of training gogg
citizens of developing love and loyality for noes country; it is
essensial to a young country like Indonesia for the nation
building in which its people are all engaged”.

Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada


bandingannya dengan sejarah hukum manapun di dunia ini. Perkembangan hukum

10Yoyon Darusman Dan Bambang Wiyono, Teori Dan Sejarah Perkembangan Hukum. (Tangerang
Selatan: Unpam Press 2019) hlm. 46.
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut:11

1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (hakim dan legislatif sekaligus)


Sistem hukum Yunani dalam sejarahnya kurang menekankan fungsi dan peran
para ahli hukum, akibatnya profesi hukum, seperti advokat dan hakim, tidak
berkembang di sana. Bahkan, hakim hanya terdiri atas orang-orang biasa yang
dikumpulkan untuk diminta menjadi hakim, jadi bukan profesi seumur hidup.
Para hakim rakyat ini disebut Dikateries. Lihat saja pengadilan terhadap
Socrates di Yunani, di mana yang menjadi hakim adalah ratusan warga negara
di Athena. Sebaliknya, sistem hukum Romawi dalam sejarahnya sangat
berbeda. Mereka sangat menghargai peran dan eksistensi dari profesi hukum.
Praetor yang merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Praetor sangat
berperan dalam membentuk dan mengembangkan hukum di Romawi.
2. Faktor penghormatan terhadap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikan appresiasi yang tinggi terhadap profesi
advokat. Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam bidang hukum
Mereka ini tidak hanya mengajukan argumentasi cerdas ketika membela klien
kliennya, melainkan juga memberikan pendapat-pendapatnya dalam ben
buku-buku hukum. Cicero adalah salah satu dan yang paling terkenal di antar
advokat Romawi saat itu.
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga
memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga
memiliki waktu yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi
saja berkuasa sampai kurang lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan
Romawi, yaitu Konstantinopel, malahan bisa survive lebih kurang 1000 tahun
lagi setelah keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis mereka menguasai dunia
selama dua milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)
Raja Justinian, pada tahun 529 M, mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam
suatu panitia yang bertugas untuk menyusun kembali hukum Romawi yang
mulai berserakan dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke

11 Munir Fuady. Op.cit., hlm. 198-199.


dalam satu kitab hukum yang sistematis. Panitia yang diketuai oleh ahli
hukum yang bernama Tribonian itu, menghasilkan suatu kitab hukum yang
cukup komprehensif yang disebut dengan Code Justinian (Corpus Juris
Civilis) yang berisi Digest (terdiri atas 50 jilid) dan Institutes. Tidak
terbayangkan kedigdayaan hukum Romawi menjadi sehebat itu, tanpa
pekerjaan besar yang merupakan kompilasi hukum oleh Raja Justinian
tersebut.
6. Kebangkitan kembali hukum Romawi
Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan kembali hukum Romawi
yang berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke-12, di
mana hukum Romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian ditafsirkan
dan dikembangkan kembali oleh para Glossator dan Commentators.
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan
hukum Romawi. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu
sangat berpengaruh bagi dunia hukum dengan membuat berbagai kodifikasi,
seperti pembuatan Code Napoleon di Prancis yang didasarkan pada Code
Justinian, atau pem buatan Code Civil Jerman yang didasarkan pada hukum
Romawi sebelum era Code Justinian.

Betapa pentingnya sejarah bagi suatu masyarakat, juga pernah ditegaskan oleh
Barzan dan Graaf, yaitu12:

“For a whole society to lose its sense of history would be


tantamount to giving up its civilization, we live end are moved
by historical ideas and images, and our national existence goes
on by reproducing them.”

Mempelajari dan memahami sejarah hukum sangat penting.


Sejarah hukum merupakan suatu ilmu kenyataan (yang
merupakan cabang-cabang ilmu hukum).

12 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hlm.320.


Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan sistem dan kaidah hukumnya. Meskipun sudah
ribuan tahun, sampai sekarang masih banyak pengaruh hukum Romawi di dunia ini,
terlebih lagi bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Hukum Romawi berkembang sangat panjang dalam sejarah. Dalam perkembangan
yang cukup lama tersebut, ada berbagai cara membagi tahap-tahap perkembangan
hukum Romawi. Salah satunya ialah dengan membagi perkembangan hukum
Romawi ke dalam tahap-tahap sebagai berikut. (Guy Carleton Lee, 1900:187): 13

1. Tahap awal hukum Romawi.


2. Tahap republic.
3. Tahap awal imperium.
4. Tahap imperium kristiani.
5. Tahap Code Justinian.
6. Tahap hukum Kanonik.
7. Tahap kodifikasi Barbar.
8. Tahap pengkajian kembali hukum Romawi.
9. Tahap resepsi hukum Romawi.
Di samping itu, negara Romawi dapat dibagi ke dalam tiga tahap berikut ini

1. Periode Monarki (753 SM-510 SM).


2. Periode Republik (510 SM-27 SM).
3. Periode Imperium (27 SM-476 M).

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, kodifikasi hukum Romawi tertua yang


pernah sampai ke tangan kita saat ini adalah dokumen "Hukum Dua Belas Pasal"
(The Twelve Tables) yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan ditulis di lem pengan
tembaga. Hukum Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The Law of The
King)" yang merupakan gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan
yang saat itu berlaku di Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggan tahun lahirnya
sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi
sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum
Eropa Kontinental, termasuk Indonesia. Substansi dari Kitab Undang-Undang Dua
Belas Pasal tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi
dari generasi ke generasi, selama kurang lebih 2000 tahun berkuasa di đunia.

13 Guy Carleton Lee. Historical Jurisprudence. (New York, USA: The MacMillan Company, 1900).
Kerajaan Konstantinopel (Bizantium) merupakan pecahan Kerajaan Romawi yang
berakhir pada tahun 1436 M. Kemudian hukum tersebut dikembangkan lagi oleh
Nessa-bangsa lain yang telah menerapkan hukum Romawi dan terus berkembang
sampai saat ini dalam bentuk tradisi hukum Eropa Kontinental, atau yang disebut
dengan sebutan tradisi hukum Civil Law. Kemudian, satu set hukum yang disebut
dengan Lex Aquilia berlaku di Romawi yang sebenarnya merupakan penerapan
kaidah-kaidah hukum yang ada sebelumnya, termasuk hukum dalam The Twelve
Tables.14 Untuk sekadar mendapatkan gambaran bagaimana hukum dalam Lex
Aquilia ini, dapat dilihat dalam chapter pertamanya yang mengatur sebagai berikut:

“Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak


belian atau gadis hamba sahaya milik orang lain, atau binatang ternak
berkaki empat milik orang lain, maka pembunuhnya harus membayar
kepada pemiliknya sebesar nilai tertinggi yang dimiliki oleh properti
tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi berlipat dua jika pihak
tergugat menolak tanggung jawabnya.” (Justinian, 1979: 71).

Sebagaimana diketahui bahwa zaman Romawi dapat dibagi ke dalam fase: (1)
kerajaan, (2) republik, dan (3) imperium. Apa yang menjadi sumber hukum Romawi
di masing-masing fase tersebut berbeda satu sama lain. Sumber-sumber hukum
Romawi di zaman tersebut adalah sebagai berikut:15

• Sumber hukum di era kerajaan Ketika Romawi di masa kerajaan.


lus Non Scriptum (hukum tidak tertulis); dan
Leges Regiae (keputusan raja)
• Sumber hukum di era republik Kemudian, ketika Romawi di masa republik
Legislasi
Edicts buatan Magistrates
Interpretatio
Pekerjaan para ahli hukum
• Sumber hukum di era imperium Sumber hukum di era imperium Romawi
Legislasi
Edicts dari Magistrates
Sumber hukum yang dibuat oleh ahli hukum dalam bentuk: (1) nasihat
hukum, (2) pengajaran hukum dan (3) penulisan hukum.

14 Ibid. hlm. 201-202.


15 Andrew Borkowski. Textbook On Roman Law. London,Inggris: Blackstone Press Limited, 1997.
Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) yang mulai berlaku
pada tahun 450 SM dan diakhiri oleh kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum,
yaitu Code Justinian yang disebut dengan Corpus Juris Civilis yang berlaku sejak
tahun 529 M. Corpus Juris Civilis sendiri merupakan buku untuk para pelajar, the
institute, dan the digest atau pandects, yang terdiri atas 55 jilid. Corpus Juris Civilis
merupakan kompilasi aturan hukum yang dibuat atas arahan Raja Justinian berupa
kodifikasi hukum yang bersumber dari keputusan dan maklumat raja-raja sebelumnya
dengan tambahan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi
pada saat itu. Corpus Juris Civilis terdiri atas beberapa bagian, yaitu:16
a) Institute. Sebuah risalah sistematis berupa buku ajar kecil yang dimaksudkan
untuk pengantar bagi mereka yang baru belajar hukum.
b) Digest atau Pandect Digest atau Pandect adalah bagian terpenting dari Corpus
Juris Civilis. Bagian ini berisi kompilasi dari beberapa pendapat juris Romawi
yang telah disunting, disusun berdasarkan judul atau kategori yang diambil
dari zaman klasik sampai dengan abad ke-3 M.
c) Code. Kumpulan aturan hukum termasuk maklumat dan keputusan mulai dari
zaman Hadrian yang disusun secara kronologis dalam masing-masing judul
agar bisa dilacak evolusi dari sebuah konsep, di mana fakta-fakta dalam
sebuah perkara dibedakan dari fakta-fakta yang serupa dalam kasus
sebelumnya.
d) The Novels. Kumpulan aturan yang dibuat oleh Justinian sendiri, didasarkan
pada koleksi pribadi, dan mulai disebarluaskan antara tahun 553 dan 544 M.

Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi


besar lainnya, yaitu Code Napoleon (1804 M), di samping dasar lainnya berupa
kebiasaan setempat. Untuk sekadar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon

16Peter De Cruz. Comparative Law in a Changing Word. London-Sydney: Cavendish Publishing


Limited,1999.
tersebut, beberapa prinsip hukum yang ada di dalamnya dapat disebutkan sebagai
berikut:17
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada hukum
berlaku surut.
2. Hakim yang menolak perkara dengan alasan undang-undangnya tidak jelas,
kabur, atau tidak cukup diatur, harus bertanggung jawab karena menolak
keadilan,
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alasan perzinaan yang
dilakukan oleh isterinya.
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alasan perzinaan yang
dilakukan oleh suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat tinggal
bersama mereka.
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alasan
adanya tindakan kasar, memukul, atau melukai pasangannya oleh yang satu
terhadap yang lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah dijatuhkan
hukuman oleh pengadilan.

Selain Corpus Juris Civilis yang terkenal dan The Twelve Tables (tahun 450 SM),
sebenarnya di Romawi masih banyak undang-undang lainnya, yang terus menerus
diperbaiki atau dibuat yang baru. Setelah tahun Masehi masih banyak aturan hukum
yang dibuat di masa Romawi, termasuk tentunya Code Justinian yang sangat terkenal
dan berpengaruh dan ini menjadi bukti sejarah bahwa memang bangsa Romawi
merupakan bangsa yang besar dalam penciptaan hukum, bahkan merupakan bangsa
terbesar di sepanjang sejarah dunia ini. 18

Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables)

“Nothing is known about any earlier Roman jurisprudence: it


can not even be determined how far the twelve tables
themselves were Greek or Roman work, though a strong Greek

17 Munir Fuady. Op.Cit., hlm. 208.


18 Ibid. hlm. 223.
influence is undeniable. In the period following the Twelve
Tables the Roman Jurisprudence we know so well, the
jurisprudence which reach adolescence in the last century of
the Republic and maturity in the age of Hadrian, was still in its
infancy.”(Fritz Schulz, 1953:5) 19

(Peninggalan hukum Romawi di tahap-tahap awal tidak


diketahui, bahkan tidak dapat dipastikan apakah aturan Dua
Belas Pasal merupakan hukum Romawi atau pun hukum
Yunani, meskipun pengaruh dari hukum Yunani terhadapnya
tidak dapat disangkal. Di era setelah peraturan Dua Belas
Pasal, dapat diketahui adanya hukum Romawi dan ilmu hukum
yang mulai berkembang di abad terakhir dari periode Republik,
di mana matang di masa Hadrian, tetapi sebenarnya masih
sangat mentah).

Dalam sejarah hukum, hukum Romawi Klasik tertulis yang paling tua yang
telah ditemukan saat ini adalah “Hukum Dua Belas Pasal” (The Twelve Tables) atau
“Hukum dari Raja” (The Law of The King) yang ditulis di atas 12 tablet tembaga,
meskipun ada riwayat yang mengatakan bahwa undang-undang tersebut ditulis di atas
tablet gading. Dimana dibuat sekitar tahun 451-450 SM yang merupakan gambaran
bagaimana kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan yang saat itu berlaku di Romawi.
Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental
yang dipraktikkan di negara-negara, termasuk Indonesia.

Sebelum era The Twelve Tables, tidak banyak peninggalan hukum Romawi
yang dapat ditemukan oleh sejarah hukum. Bahkan, sampai sekarang masih ada yang
mempertanyakan apakah yang ditulis dalam The Twelve Tables itu hukum Romawi
yang sedang berlaku atau hukun Yunani? setidak-tidaknya pengaruh dari hukum
Yunani terhadap materi dari The Twele Tables sangat besar.

Undang-Undang 12 Pasal (The Twelve Tubles) tersebut berisi hal-hal sebagai


berikut:

19 Fritz Schulz. History Of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At The Clarendon Press,1946
TABLE I : Prosedur Beracara di Pengadilan,

TABLE II : Acara Pengadilan (Lanjutan).

TABLE III : Utang Piutang.

TABLE IV : Hak-hak dari Ayah (Paterfamilias) terhadap Anggota Keluarga

TABLE V : Perwalian dan Hukum Waris.

TABLE VI : Perolehan dan Pemilikan Benda.

TABLE VII : Hak-hak Atas Tanah.

TABLE VIII : Perbuatan Melawan Hukum dan Delik.

TABLE IX : Hukum Publik.

TABLE X : Hal-hal yang Suci/Penguburan.

TABLE XI : Tambahan I (Tentang Perkawinan).

TABLE XII : Tambahan II (Tentang Hukum Kebiasaan/Pidana).

Proses Pengadilan di Zaman Romawi

Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan. karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat banyak
sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat upaya pencari keadilan dalam membawa
kasus-kasusnya ke pengadilan. konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara dalam
kasus-kasus perdata ialah terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi dalam
perkara perdata, antara lain sebagai berikut:

1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan.\


2. penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. penggugat bertanggung jawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke
pengadilan
4. penggugat bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi) sendiri
terhadap putusan pengadilan.
karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak tahap yang
harus dilalui dan diatur secara sangat rigid, yang apabila keliru sedikit dapat
menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang harus dilakukan sendiri
oleh para pihak yang berperkara, maka risikio akan semakin lebih banyak ditanggung
oleh para pihak tersebut sebagai pencari keadilan. 20

Hukum Romawi banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat terbaca


sampai sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis undang-undang atau
dokumen hukum lainnya diatas batu marmer dan lempengan perunggu. Tidak kurang
dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di Capitoline Hill, suatu
perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah hilang. Salah satu dokumen
hukum yang masih tersimpan utuh adalah Lex Julia Municipalis, yang dibuat pada
tahun 45 SM. Lex Julia Municipalis merupakan dokumen yang berisi tentang
peraturan tata kota di kota Roma, yang merupakan model pengembangan dari model
yang ada di Yunani. Berikut ini ada salah satu ketentuan dari Lex Julia Municipalis.
(John Henry Wigmore, 1936: 383):21

Lex Julia Municipalis: Peraturan Lalu Lintas


Setiap aedile (petugas pelayan public) telah ditugaskan oleh
peraturan ini, harus bertanggung jawab untuk memperbaiki dan
menjaga agar jalan umum di semua tempat di setiap bagian kota untuk
masing-masing bagian kota yang secara khusus telah ditunjukkan
kepadanya.

20Munir Fuady. Op.cit. hlm. 209


21John Henry Wigmore. A Kaleidoscope Of Justice. Washington DC, USA: Washington Law Book
Company, 1941
Jalan yang terletak di antara kuil sacral atau gedung public atau
gedung swasta merupakan tugas dari petugas pelayanan public yang
bertugas di bagian kota tersebut untuk menjaga setengah dari jalan
tersebut.
Jika penjagaan tugas telah ditugaskan kepada kontraktor oleh
peraturan ini, maka petugas pelayanan public yang relevan juga
mempunyai tugas yang sama, jika kontrak pemeliharaan jalan tersebut
dipercayakan kepada pemborong urban…
Kereta barang hanya boleh masuk kota di waktu malam yang harus
ditarik oleh sapi atau kuda dan kembali harus secara kosong. Jika
kereta barang masih berada dalam kota Roma setelah mata hari terbit
keesokan harinya, maka kepadanya berlaku ketentuan dalam peraturan
ini.22

Sebagai Negara yang sistem hukumnya sudah relative maju, tentu pembuatan
kontrak sehari-hari sudah banyak dilakukan oleh masyarakatnya. Selain itu, kontrak
perkawinan antara suami atau calon suami dengan isteri atau calon isteri juga sudah
banyak terjadi di zaman Romawi. Di samping itu, putusan pengadilan tertulis di
Romawi juga pernah ditemukan oleh sejarah hukum. Rekaman putusan pengadilan
dalam kasus perdata yang ditemukan di dekat Genoa dan ditulis di atas lempengan
perunggu, pada tahun 117 SM. Putusan pengadilan ini berkenaan dengan selisih batas
wilayah antara dua suku local. 23

22 C.G. Weeramantry. An Invitation To The Law. Australia : Butterworths Pty Limited, 1982.
23 Ibid
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan:

Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan


bahwa Negara Romawi merupakan Negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan
lebih hebat dari Negara-negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem
hukum yang dibuat oleh bangsa Romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan
sistem hukum yang dibuat oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Mengingat bahwa
kegemilangan hukum Romawi bermula dari munculnya undang-undang besar yaitu
Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) yang ditulis diatas 12 tablet
tembaga, meskipun ada juga riwayat yang mengatakan Undang-undang tersebut
ditulis diatas tablet gading. Dan mulai berlaku pada tahun 450 SM dan diakhiri oleh
kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum, yaitu Code Justinian yang disebut
dengan Corpus Juris Civilis yang berlaku sejak tahun 529 M.

Saran:

Saran yang dapat dikemukakan berkenaan dengan makalah ini yaitu untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan pengetahuan yang lebih luas lagi
disarankan untuk membaca lebih referensi-referensi lain lagi mengenai sejarah
perkembangan hukum Romawi.
Daftar Pustaka

Borkowski, Andrew. Textbook On Roman Law. London,Inggris: Blackstone Press


Limited, 1997.

Darusman, Yoyon dan Wiyono, Bambang. Teori Dan Sejarah Perkembangan


Hukum. Tangerang Selatan : UNPAM Press, 2019.

Djamal, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta : Rajawali


Press, 1984.

Fuady, Munir. Sejarah Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bandung : PT Bentang Pustaka, 2005.

Lee, Guy Carleton. Historical Jurisprudence. New York, USA : The MacMillan
Company, 1900.

Peter, De Cruz, Comparative Law in a Changing Word, London-Sydney: Cavendish


Publishing Limited,1999.

Prakoso, Abintoro. Sejarah Hukum. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2019.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014.

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

Sudarsono. Sejarah Hukum. Rineka Cipta, 2004.

Weeramantry, C.G. An Invitation To The Law. Australia : Butterworths Pty Limited,


1982
MAKALAH
SEJARAH HUKUM ROMAWI

Oleh:

Nama: Peacecilia Nonny Suhantri


NIM: 20202108020

Dosen: Dr. Devy K. G. Sondakh, S.H, M.H

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PROGRAM PASCASARJANA

MANADO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dilihat dari etimologi asal kata, sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti
terjadi, syajarah berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa
inggris history; Bahasa latin dan Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau
istor berarti orang pandai.1 Dalam bahasa Jerman disebut “Geschichte” yang
berasal dari kata geschehen, berarti “sesuatu yang terjadi”. Istilah “Historie”
menyatakan kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia. Di kawasan
orang-orang berbahasa Melayu termasuk Indonesia, secara sederhana kata sejarah
diartikan sebagai suatu cerita dari kejadian masa lalu yang dikenal dengan sebutan
legenda, babad, kisah, hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu
tanpa bukti-bukti sebagai hasil suatu penelitian. 2
Umumnya cerita itu dijadikan dongeng yang turun temurun. Di samping itu,
sejarah dapat diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian-kejadian masa
lalu. Ada yang mengartikan sejarah merupakan penulisan sistematik dari
gejalagejala tertentu yang mempunyai pengaruh pada suatu bangsa atau kelompok
sosial tertentu dengan penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala itu.
Sebagai ilmu sosial, sejarah meneliti pengalaman manusia dengan usaha
mengungkapkan kebenarannya tentang manusia dan masyarakat. Memang banyak
arti yang diberikan untuk mendefinisikan sejarah, tetapi kiranya tidak boleh lupa
bahwa apa yang diungkapkan dalam penelitian mengandung unsur unsur :
(a) pencatatan (penulisan) dari hasil penelitian,
(b) kejadian-kejadian penting (factual) masa lalu,
(c) kebenaran nyata (konkret).
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari
ilmu sejarah (bukan cabang dari ilmu hukum), yang mempelajari (studying),
menganalisa (analising), memverifikasi (verifiying), menginterpretasi
(interpreting), menyusun dalil (setting the clausule), dan kecenderungan
(tendention), menarik kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang setiap fakta,
konsep, kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku.3
Baik yang secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta

1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2 R. Abdoel Djamal, Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta : Rajawali Press,
1984). Hlm 6
3 Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009).Hlm 1
ketersentuhannya dengan apa yang terjadi di masa kini, baik seperti yang terdapat
dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan, terutama penekananya atas
karakteristik keunikan fakta dan norma tersebut, sehingga dapat menemukan gejala,
dalil, dan perkembangan hukum di masa yang lalu yang dapat memberikan
wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya, dalam mengartikan dan
memahami hukum yang berlaku saat ini.
Soedjono D, menjelaskan bahwa, sejarah hukum adalah salah satu bidang
studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam
suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda
karena dibatasi oleh perbedaan waktu. 4
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dari asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
membandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah hukum ini terutama berkait dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam
hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-1861). Dalam studi sejarah hukum
ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang
bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-
masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa sistem hukum itu tumbuh, maka
yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang
dengan yang lalu. Apalagi dapat diterima bahwa hukum sekarang berasal dari yang
sebelumnya atau hukum pada masa-masa lampau, maka hal itu berarti, bahwa
hukum yang sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa
lampau (Soedjono Dirdjosisworo).5
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,
sedangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dalam hal itu, yakni hukum. Apa yang
berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, serta maksud dan
tujuan sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga “dalil-dalil
atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan”. Jadi, dengan demikian
permasalahan yang dihadapi sejarawan hukum tidak kurang “imposible” daripada
setiap penyelidik dalam bidang apapun. Namun dengan mengutarakan bahwa
sejarawan hukum harus berikhtiar untuk melakukan penulisan sejarah secara
integral, nampaknya Van den Brink terlampau jauh jangkauannya. Justru pada
tahap terakhir ia melangkahi tujuan spesifik sejarah hukum ini. Sudah barang tentu
bahwa sejarawan hukum harus memberikan sumbangsihnya kepada penulisan
secara terpadu. Bahkan sumbangsih tersebut teramat penting, mengingat peran yang

4 Sunarmi, Sejarah Hukum, , (Prenademedia Group, 2016), hlm 12


5 R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Hlm 321
begitu besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hukum
manusia.6
Sejarah hukum juga mempelajari proses terjadi dan pelaksanan sejarah di
masa lalu serta perkembangannya dan keterkaitannya dengan apa yang terjadi di
masa kini, baik seperti yang terdapat dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan,
terutama penekanannya atas karateristik keunikan fakta dan norma tersebut
sehingga dapat menemukan gejala, dalil, dan perkembangan hukum di masa lalu
yang dapat memberikan wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya,
dalam mengartikan dan memahami hukum yang berlaku saat ini.
Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu akan sangat berguna
untuk dapat memahami dan menjelaskan kehidupan manusia yang terjadi pada saat
ini. Bahkan, peristiwa sejarah pada masa lalu dapat digunakan sebagai cerminan
guna menempuh kehidupan masa yang akan datang. Kesadaran untuk mengkaji
peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu guna mengantisipasi peristiwa pada
saat ini dan pula masa mendatang, seperti itulah yang akan membentuk kesadaran
sejarah. Sampai di sini dapat digaris bawahi bahwa sejarah sangat berguna untuk
mengembangkan kesadaran sejarah . 7
Pengetahuan tentang sejarah hukum adalah pengetahuan yang sangat
bermanfaat untuk menerangkan berbagai macam peristiwa yang terjadi. Negara
Romawi merupakan negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan lebih hebat dari
negara-negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem hukum yang
dibuat oleh bangsa Romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan sistem hukum
yang dibuat oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut, penulis tertarik ingin membahas mengenai Sejarah Hukum Romawi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perjalanan Sejarah Hukum Romawi?

6 John Gilissen & Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Adita
Utama, 2009). Hlm 11
7 Kuntowijoya, Op.cit, hlm 12
Bab II

Pembahasan

A. Perjalananan Sejarah Hukum Romawi

Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum berasal dari
Bangsa Romawi. Bangsa Romawi dianggap mempunyai hukum yang paling baik
dan sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di
negara-negara lain.
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada
bandingannya dengan sejarah hukum manapun di dunia ini. Perkembangan hukum
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut8:
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (hakim dan legislatif
sekaligus)
Sistem hukum Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat
menghargai peran dan eksistensi dari profesi hukum. Praetor yang
merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Praetor sangat berperan
dalam membentuk dan mengembangkan hukum di Romawi.
2. Faktor penghormatan terhadap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikan appresiasi yang tinggi terhadap profesi
advokat. Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam bidang
hukum Mereka ini tidak hanya mengajukan argumentasi cerdas ketika
membela klien kliennya, melainkan juga memberikan pendapat-
pendapatnya dalam ben buku-buku hukum. Cicero adalah salah satu dan
yang paling terkenal di antar advokat Romawi saat itu.
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga
memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga
memiliki waktu yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi
saja berkuasa sampai kurang lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan
Romawi, yaitu Konstantinopel, malahan bisa bertahan lebih kurang 1000
tahun lagi setelah keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis mereka menguasai
dunia selama dua milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)

8 Munir Fuady, Op.Cit, hlm 198


Raja Justinian, pada tahun 529 M, mengumpulkan sejumlah ahli hukum
dalam suatu panitia yang bertugas untuk menyusun kembali hukum Romawi
yang mulai berserakan dalam berbagai undang-undang dan buku-buku
hukum, ke dalam satu kitab hukum yang sistematis. Panitia yang diketuai
oleh ahli hukum yang bernama Tribonian itu, menghasilkan suatu kitab
hukum yang cukup komprehensif yang disebut dengan Code Justinian
(Corpus Juris Civilis) yang berisi Digest (terdiri atas 50 jilid) dan Institutes.
Tidak terbayangkan kedigdayaan hukum Romawi menjadi sehebat itu,
tanpa pekerjaan besar yang merupakan kompilasi hukum oleh Raja Justinian
tersebut.
6. Kebangkitan kembali hukum Romawi
Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan kembali hukum Romawi
yang berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke-12,
di mana hukum Romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian
ditafsirkan dan dikembangkan kembali oleh para Glossator dan
Commentators.
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan
hukum Romawi. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara
tertentu sangat berpengaruh bagi dunia hukum dengan membuat berbagai
kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di Prancis yang didasarkan
pada Code Justinian, atau pem buatan Code Civil Jerman yang didasarkan
pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian.
Era pemikiran zaman Romawi terbagi ke dalam empat masa9 :
a. Masa Kerajaan.
Yaitu : masa “Koningschap” atau kerajaan yang menjadi pemimpin negara
merupakan seorang raja, sehingga bentuk negara merupakan “Monarche”.
Masa itu tidak begitu penting dalam pertaliannya dengan isi kedaulatan
rakyat, pun masa tersebut bersifat legend.
b. Masa Republik.
Yaitu : masa di mana pemerintahan dipimpin oleh konsul-konsul yang
menyelenggarakan dan menjalankan pemerintahan demi kepentingan
umum. Biasanya pemerintahan itu dipegang dan dijalankan oleh 2 (dua)
orang konsul.
c. Masa Prinsipat.
Yaitu : masa “Principat”, ini dimulai dengan masa Caesar, meski pada
waktu itu para Principes atau raja-raja Romawi belum mempunyai
kewibawaan (gerag) namun mereka itu pada hakekatnya merupakan orang
yang memerintah secara mutlak. Kemutlakan ini didasarkan kepada “Caesar

9 Syachran Basyah, Rangkuman Perkuliahan Ilmu Negara. (Bandung : Alumni, 1990). Hlm
112
Ismus” adanya perwakilan yang menghisap dari pihak Caesar terhadap
kedaulatan rakyat. Karena itu hal tersebut dinamakan pula “Absorptieve
Representation”. Dan untuk keperluan orang Romawi mencari dasar-dasar
atau landasan-landasan hukumnya agar supaya segala tindakan raja itu yang
menyeleweng dari kedaulatan rakyat dapat dibenarkan dan dihalalkan.
d. Masa Dominat
Yaitu masa para kaisar telah terang-terangan dan tanpa malu-malu lagi
menjadi raja mutlak, bertindak sewenang-wenang memperkosa hukum dan
menginjak-injak perikemanusiaan. Hal mana terlihat ada manusia yang
dibakar hidup-hidup atau diadukan dengan manusia lagi, para gladiator atau
dengan binatang buas seperti singa di arena terbuka untuk umum dan
ditonton sebagai bahan hiburan oleh kaesar dan para pengikutnya sambil
minum-minum anggur, makan makanan yang lezat, sedangkan rakyat
Romawi masa itu sedang menderita kelaparan.
Di masa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat
negara yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai
berikut10:
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan raja,
meski pun Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki
kewenangan terhadap semua aspek pemerintahan dan hukum. Mereka juga
memiliki kewenangan sebagai panglima perang yang ditunjuk oleh Comitia
Centuriata, tetapi memerlukan ratifikasi dari Parlemen untuk masa jabatan
satu tahun.
2. Praetor
Praetor pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Praetor merupakan
semacam pejabat di Kementerian Kehakiman di zaman modern, yang
diangkat oleh Comitia Centuriata. Praetor bertugas untuk mengatur masalah
administrasi yang berkenaan dengan hukum sehingga mempunyai banyak
kontribusi terhadap perkembangan hukum Romawi.
3. Quaestor
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan praetor yang
dikhususkan Quaestor di bidang finansial, administrasi criminal justice,
pejabat hukum yang penting menigatu di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SMP. Sesuai namanya, censor
Censor memiliki tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan
untuk menentukan tentang siapa saja yang mempunyai hak pilih.

10 Munir Fuady, Op.Cit, hlm 199


5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan
anggota dari Parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan
rakyat jelata (jadi tidak termasuk golongan bangsawan). Mereka
mempunyai lak veto di parlemen
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerin tahan yang bertugas melaksanakan
kepentingan rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi
ke mudian menjadi perwakilan dari kaum bangsawan. Misalnya, mereka
mengurus kecukupan penyediaan dan penyaluran air dan makanan,
penyediaan jalan-jalan umum, dan sebagainya.
Pada umumnya sejarah hukum Romawi yang sangat Panjang ini dibagi
menjadi tiga periode dengan berbagai rezim politik yang hampir sama banyaknya.
Yaitu pada periode pertama yaitu Monarki sejak 753 SM-510 SM), Periode kedua
yaitu Republik sejak 510 SM- 27 SM, kemudian pada periode ketiga yaitu
Imperium sejak 27 SM- 476 M . Pada tahun 476 M merupakan kehancuran Romawi
Barat, yang ditaklukan oleh pemimpin Suku Barbar, yaitu Odoacer dari Jerman.
Meskipun begitu, Romawi timur masih tetap hidup, bahkan raja yang berjasa besar
di bidang hukum Romawi, yaitu Justinian, baru mulai memerintah Bizantium sejak
tahun 527 M.
Pilihan pada hukum Romawi sebagai modal, memang disebabkan oleh
adanya suatu penilaian, bahwa karya Justinianus itu sebagai pencerminan dari
budaya Romawi yang dianggap ideal. Orang-orang Romawi dengan kejeniusannya
telah membangun institusi dan akal sehatnya yang praktis dapat menghasilkan
penyelesaian yang memuaskan terhadap masalah hukum yang dihadapkan
kepadanya. Penyelesaian itu dilakukan berdasarkan hukum yang telah disusun dan
diberlakukan oleh kaisar. Karena itu ketika hukum Romawi mula-mula dipelajari
dan kemudian akan digunakan untuk menghadapi permasalahan sosial yang
berkembang, hukum tersebut diinterpretasi dan diberikan komentar oleh para
Glossator dan Comentator. Dengan dasar interpretasi dan komentar tersebut,
hukum Romawi memperoleh aktualitasnya dalam tataran praksis. Di samping itu
hukum Romawi memiliki kekuatan berlaku secara langsung sebagai perintah dari
kekaisaran Romawi ( imperium romanum).11
Pada masa Pra-Kekaisaran, peradaban umumnya ada lebih kasar. Ini
adalah akibat dari menyerapnya "hellenisme" ke seluruh kekaisaran. Demikianlah
di samping bahasa Latin juga bahasa Yunani (Greka) merupakan bahasa orang
cerdik dari Asia sampai Samudera Atlantik. Namun ada satu hal yang asli dari
Romawi, yaitu hukumnya. Undang-undang Romawi berlaku di semua bagian dari

11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008, hlm 267
kekaisaran. Terutama Kaisar Hadrianus (± 125) yang telah menyuruh menyusun
Kitab Undang-undang dan memajukan kesatuan peradilan.
Pada wafatnya Theodosius tahun 395 Kekaisaran dibagi antara dua
puteranya, dan begitulah jadinya Kekairan Romawi I Timur atau Byzantium dan
Kekaisaran Romawi I Barat. Pada tahun 476 seorang Jerman yang bernama
Odoaker, menurunkan Kaisar Romawi Barat yang terakhir dari tahta. Tamatnya
Sejarah Lama merupakan permulaan Abad Pertengahan.
Peradaban Greka-Romawi tidak lenyap. Pada permulaan Abad
Pertengahan, Kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium sangat maju.
Kekuatannya kemudian menjadi lemah karena perang dengan orang-orang
Persia Baru yang membangun suatu kerajaan besar di Asia.
Istilah hukum Romawi meliputi sistem hukum Romawi. Perkembangan
hukum Romawi telah berlangsung selama ribuan tahun - dari Leges Duodecim
Tabularum tahun 439 SM hingga Corpus Juris Civilis (528–35 AD) yang
diperintahkan oleh Kaisar Justinianus I. Undang-undang Justinianus berlaku di
Romawi Timur (331–1453), dan juga menjadi dasar hukum di Eropa, bahkan
hingga ke Ethiopia, Jepang, dan bekas koloni negara-negara Eropa.

B. Proses Pengadilan di Zaman Romawi

Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan. Karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat
banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat upaya pencari keadilan dalam membawa
kasus-kasusnya ke pengadilan. Konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara
dalam kasus-kasus perdata ialah terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi
dalam perkara perdata, antara lain sebagai berikut12:
1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan.\
2. penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. penggugat bertanggung jawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke
pengadilan
4. penggugat bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi)
sendiri terhadap putusan pengadilan.
5. karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak
tahap yang harus dilalui dan diatur secara sangat rigid, yang apabila keliru
sedikit dapat menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang

12 Munir Fuady, Op.Cit, hlm 209


harus dilakukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, maka risikio akan
semakin lebih banyak ditanggung oleh para pihak tersebut sebagai pencari
keadilan.
Di samping itu, di zaman Romawi sudah dikenal dan berkembang profesi
advokat. mereka umumnya kurang berpengetahuan tenbtang hukum, tetapi sangat
mahir berpidato. sebelum menjadi advokat, mereka umumnya terlebih dahulu
belajar metode berpidato yang retorik dari Yunani. karena itu, para advokat
Romawi sangat mahir berpidato dan adu argumen. yang paling terkenal di antara
mereka adalah Cicero yang memiliki pengetahuan yang sangat luas, termasuk
pengetahuannya tentang filsafat, logika, dan ilmu politik. 13

C. Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal (Twelve Tables)

Permulaan langkah kaum Romawi dalam membuat hukum yang menjadi


tonggak sejarah kelahiran sistem hukum Eropa Kontinental adalah ketika Romawi
membuat dan memberlakukan Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve
Tables) pada tahun 450 SM, meskipun hukum kebiasaan Romawi sebenarnya sudah
ada sejak kelahiran negara Romawi yang diperkirakan sekitar tahun 753 SM.14
Dalam sejarah hukum, hukum Romawi Klasik tertulis yang paling tua yang telah
ditemukan saat ini adalah “Hukum Dua Belas Pasal” (The Twelve Tables) atau
“Hukum dari Raja” (The Law of The King) yang ditulis di atas 12 tablet tembaga,
meskipun ada riwayat yang mengatakan bahwa undang-undang tersebut ditulis di
atas tablet gading. Dimana dibuat sekitar tahun 451-450 SM yang merupakan
gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan yang saat itu berlaku di
Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun lahirnya sistem hukum Eropa
Kontinental yang dipraktikkan di negara-negara, termasuk Indonesia. 15
Pada tahun 450 SM, kodifikasi di Romawi selesai dibuat, yang terdiri atas
10 bab saja. Namun demikian, setelah didiskusikan oleh masyarakat, timbul
desakan untuk menambah jumlah bab yang ada dalam kitab undang-undang
tersebut. Akhirnya, pada tahun 449 M, tim kedua yang juga terdiri atas 10 orang,
berhasil menambah dua bab lanjutan sehingga kesemuanya menjadi 12 bab.
Karenanya, undang-undang tersebut disebut dengan Kitab Undang-Undang 12
Bab/Pasal (The Twelve Tables), yang masing-masing bab ditulis pada satu
lempengan/prasasti.
Menurut satu riwayat, lempengan tembaga asli tempat ditulis The Twelve
Tables tersebut ikut dimusnahkan ketika The Gauls, di bawah pimpinan Brennus,

13 Loc.Cit
14 Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited.
Hal. 19
15 Munir Fuady, Op.Cit, hlm 223
menyerang dan membakar Roma sekitar tahun 390 M. Apa yang tertinggal dan
dapat dibaca oleh rakyat di kemudian hari hanyalah edisi tidak resminya, yaitu
kutipan-kutipan dari beberapa penulis, seperti dari Cicero dan Gelius, ditambah
dengan komentar dari beberapa ahli hukum lain, seperti dari Gaius dan Labeo. Atau
dapat pula diketahui dari peninggalan lama yang lain, seperti dalam Resolusi Senat
tahun 86 SM.
Undang-Undang 12 Pasal (The Twelve Tubles) tersebut berisi hal-hal
sebagai berikut16 :
TABLE I : Prosedur Beracara di Pengadilan,
TABLE II : Acara Pengadilan (Lanjutan).
TABLE III : Utang Piutang.
TABLE IV : Hak-hak dari Ayah (Paterfamilias) terhadap Anggota Keluarga
TABLE V : Perwalian dan Hukum Waris.
TABLE VI : Perolehan dan Pemilikan Benda.
TABLE VII : Hak-hak Atas Tanah.
TABLE VIII : Perbuatan Melawan Hukum dan Delik.
TABLE IX : Hukum Publik.
TABLE X: Hal-hal yang Suci/Penguburan.
TABLE XI Tambahan I (Tentang Perkawinan).
TABLE XII: Tambahan II (Tentang Hukum Kebiasaan/Pidana).

D. Corpus Juris Civilis

Justinian merupakan raja yang besar Kerajaan Bizantium yang


memerintah di tahun 527 M sampai tahun 565 M. Dia berhasil membangun
gedung Katedral St. Sophia di Konstantinopel yang merupakan suatu keajaiban
dan berhasil membangun sistem perdagangan Kawasan, rute perdagangan baru
serta paling spektakuler adalah keberhasilannya menghimpun seluruh hukum
Romawi sampai saat itu, dalam bentuk kodifikasi yang dikenal dengan Code
Justinian, yang sekarang memengaruhi hampir seluruh sistem hukum di dunia ini.
Proses pembuatan kitab Undang-Undang Justinian (Code Justinian)
dimulai pada tahun 528 M, hanya beberapa bulan saja setelah Raja Justinian
menduduki singgasana raja. Karena itu, banyak yang berpendapat bahwa
sebenarnya sejak jauh-jauh hari sebelum menjadi raja, Justinian sudah
merencanakan untuk membuat kodifikasi tersebut. Kemudian, di samping proyek
pembuatan kodifikasi merupakan salah satu proyek besar yang berhasil dilakukan
oleh Raja Justinian, tetapi Code Justinian inilah yang sebenarnya mengantarkan
sistem hukum Romawi dikenal dan diikuti oleh negara di hampir seluruh dunia.

16 Ibid, hlm 225


Dalam proyek pembuatan Code Justinian ini, orang yang paling banyak
berjasa dan banyak terlibat adalah tribonian dan orang yang memegang banyak
jabatan penting, seperti consul, quaestor, serta orang yang banyak mengetahui
hasil kerja ahli hukum klasik.
Di masa Raja Justinian, Code Justinian dilarang untuk ditafsirkan, apalagi
diubah. Karena menurut Justinian, menafsirkan hukum atau mengubah hukum
akan menyebabkan hukum menjadi kacau balau. Karena itu, tinggallah Code
Justinian seperti apa adanya, yang banyak bagiannya sebenarnya susah
dimengerti. Satu hal yang boleh dilakukan terhadap Code Justinian adalah
menafsirkannya.
Setelah kematian Justinian, mulai dilakukan penafsiran yang luas,
diringkaskan, bahkan diamandemen sehingga lebih gampang dimengerti oleh
banyak orang, Penyingkatan yang pertama secara resmi, dilakukan di tahun 740
M yang disebut Ecloga (Kalimat-kalimat Pilihan). Ecloga pada prinsipnya
merupakan ringkasan bagian-bagian penting dari kodifikasi dengan disana sini
dilakukan amandemen tertentu. Dengan kehadiran Ecloga ini, diharapkan agar
yang dapat membaca dan memahami Code Justinian bukan hanya segelintir kecil
orang tertentu saja, melainkan dapat dibaca oleh banyak orang. 17
Buku Basilica ini merupakan perumusan Kembali ke dalam Bahasa
Yunani secara lebih sistematis dan lebih up to date dari Code Justinian, yang
diterbitkan menjadi satu kitab yang terdiri atas 60 buku. Dengan buku Basilica
ini, Corpus Juris Civilis (nama lain dari Code Justinian) menjadi relatif gampang
dimengerti oleh banyak orang dan sangat berperan dalam mengembangkan hukum
Romawi ke seantero dunia. Corpus Juris Civilis itu sendiri terdiri atas empat
bagian sebagai berikut:
1. The Institute.
The Institute hanya berisi teks yang merupakan pengantar saja.
2. The Digest.
The Digest merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap dan sangat
memengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, khususnya dalam bidang-bidang seperti status personal, perbuatan
melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah ganti rugi, dan
lain-lain.
3. The Code.
The Code merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang disusun
secara sistematis. Dimana bersama The Digest inilah yang merupakan dasar dari
hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum Eropa Kontinental
sampai saat ini.
4. The Novels.

17 Ibid, hlm 232


Sedangkan The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat setelah selesainya
pembuatan The Digest dan The Code

E. Peninggalan Sejarah Hukum Romawi

Hukum Romawi banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat terbaca


sampai sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis undang-undang
atau dokumen hukum lainnya diatas batu marmer dan lempengan perunggu. Tidak
kurang dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di Capitoline Hill,
suatu perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah hilang.
Salah satu dokumen hukum yang masih tersimpan utuh adalah Lex Julia
Municipalis, yang dibuat pada tahun 45 SM. Lex Julia Municipalis merupakan
dokumen yang berisi tentang peraturan tata kota di kota Roma, yang merupakan
model pengembangan dari model yang ada di Yunani. Berikut ini beberapa
ketentuan dari lex Julia Municipalis.18
Hukum Romawi adalah sistem hukum Roma kuno, termasuk perkembangan
hukum yang mencakup lebih dari seribu tahun yurisprudensi, dari Dua Belas Tabel
(c. 449 SM), ke Corpus Juris Civilis (AD 529) yang diperintahkan oleh Kaisar
Romawi Timur Justinian I. Hukum Romawi membentuk kerangka dasar untuk
hukum perdata, sistem hukum yang paling banyak digunakan saat ini, dan istilahnya
kadang-kadang digunakan secara sinonim. Pentingnya sejarah hukum Romawi
tercermin dari penggunaan terminologi hukum Latin secara terus menerus dalam
banyak sistem hukum yang dipengaruhi olehnya, termasuk hukum umum.
Setelah pembubaran Kekaisaran Romawi Barat, hukum Romawi tetap
berlaku di Kekaisaran Romawi Timur. Dari abad ke-7 dan seterusnya, bahasa
hukum di Timur adalah bahasa Yunani.
Hukum Romawi juga melambangkan sistem hukum yang diterapkan di
sebagian besar Eropa Barat hingga akhir abad ke-18. Di Jerman, praktek hukum
Romawi tetap berlaku lebih lama di bawah Kekaisaran Romawi Suci (963–1806).
Hukum Romawi dengan demikian berfungsi sebagai dasar untuk praktik hukum di
seluruh Eropa kontinental Barat, serta di sebagian besar bekas koloni negara-negara
Eropa, termasuk Amerika Latin, dan juga di Ethiopia. Bahasa Inggris dan hukum
umum Anglo-Amerika juga dipengaruhi oleh hukum Romawi, terutama dalam
glosarium hukum Laten mereka (misalnya, menatap decisis, culpa dalam
contrahendo, pacta sunt servanda). Eropa Timur juga dipengaruhi oleh
yurisprudensi Corpus Juris Civilis , terutama di negara-negara seperti Rumania
abad pertengahan Wallachia, Moldavia, dan beberapa provinsi / wilayah sejarah
abad pertengahan lainnya) yang menciptakan sistem baru, campuran hukum

18 Ibid, hlm 233


Romawi dan lokal. Juga, hukum Eropa Timur dipengaruhi oleh "Hukum Petani"
dari sistem hukum Bizantium Abad Pertengahan.
Hukum Roma dari kompilasi legendaris Justinian I hingga paruh pertama
abad keenam. Proses perkembangannya adalah periode negara kota kecil sampai
abad ke-3 SM (seperti dua belas tabel ), ketika Roma berkembang menjadi negara
komersial utama dan ketika pengaruh hukum sipil dibatasi oleh Kode Sipil,
Kehormatan Hukum dll. Paruh kedua juga disebut periode klasik), pembagian
timur-barat kekaisaran akhir abad ketiga, pembentukan tirani, setelah kemunduran
hukum, periode pembusukan dibagi menjadi tiga tahap. Praktek hukum Romawi
Justinian I menyampaikan seluruh gambaran hukum Romawi pada puncak waktu,
terutama abad pertengahan dan zaman modern sebagai landasan pengembangan
hukum privat Barat di Eropa Barat. Meskipun sering kontras dengan metode
Jerman, hukum Romawi adalah hukum kota, hukum pedagang, ditandai dengan
penekanan pada individu dan kepemilikan dan transaksi mereka.
Hukum Romawi yang dikenal juga dengan istilah Civil Law atau Hukum
Sipil. Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal
dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam corpus juris civilis Justinian dan
tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia.
Civil Law mula-mula merupakan sistem hukum Eropa benua atau daratan.
Kemudian dianut oleh banyak negara di dunia melalui suatu proses penyebaran
tertentu, sehingga negara-negara penganutnya dimasukkan ke dalam kelompok
Civil Law System. Model Civil Law System adalah hukum Romawi-Jerman dan
hukum Gerejani yang mengalami evolusi sejak Eropa memasuki zaman Renaisance
pada akhir abad XI atau abad XII, dan terus berlangsung sampai zaman Modern.
Ketika itu, tumbuh semangat untuk mempelajari kebudayaan Yunani dan Romawi
yang dianggap memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Dalam bidang hukum
dipelajarilah hukum Romawi sebagai hukum materiilnya yang telah dihimpun oleh
Justinianus ketika berkuasa menjadi Kaesar Romawi, dan hukum Gerejani, atau
hukum Kanonik, sebagai hukum formilnya. Hukum yang merupakan pencerminan
perkembangan politik, ekonomi, dan kehidupan sosial yang tinggi, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat yang maju secara ekonomis dan budaya.19
Universitas memberikan kontribusi besar dalam evolusi hukum yang
bermodalkan hukum Romawi dengan konsep dan sistem kaidah atau rule yang
memberikan kerangka sebagai pedoman dalam membuat putusan dan
menyelesaikan sengketa. Kaidah-kaidah itu merupakan produk dari para penulis
doktrinal yang melakukan sistematisasi keputusan-keputusan hakim dalam soal-
soal konkrit dan melakukan ekstraksi kaidah dari bahan terdekat dalam kehidupan
sehari-hari. Karena itu, kaidah-kaidah itu tidak bersifat konkrit, melainkan bersifat

19 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 263


abstrak yang dalam perumusannya mengandung generalklausen atau principes
generaux. Hal ini dimaksudkan agar penggunaannya dalam memutus atau
menyelesaikan kasus konkrit, hakim dapat memberikan isi keadilan kepadanya.
Jadi, hakim mewujudkan keadilan yang menjadi tujuan hukum di dalam putusannya
terhadap kasus konkrit yang terkandung di dalam hukum.20
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan
tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu
imperium, yaitu Imperium Romawi. Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan
antara Ius Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat)
menunjukkan hukum yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale).
Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia sedangkan
Ius naturale (hukum alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa
Romawi terhadap hukum pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris
Civilis, pada masa Kaisar Justinianus. Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata
yang kemudian diterima dalam hukum internasional seperti occupation, servitut,
bona fides, pacta sunt servanda.
Perancis adalah negara yang melakukan kodifikasi terhadap hukum
Romawi. Kaisar Napoleon pada tahun 1800-an membentuk suatu panitia yaitu
Portalis, Trochet, Bigot de Preameneu dan Malleville yang ditugaskan untuk
membuat rancangan kodifikasi. Sumber bahan kodifikasi adalah hukum Romawi.
Dalam menerapkan hukum Romawi yang terkodifikasi, Prancis tidak hanya
memakai satu hukum tetapi juga menggunakan kebiasaan lokal atau yang lebih
dikenal dengan istilah customary law ( hukum kebiasaan). Sehingga menyebabkan
terjadinya dualisme sumber hukum yang harus ditaati oleh penduduk Prancis ketika
itu. Walaupun dua hukum yang diterapkan, namun sistem hukum Romawi memiliki
kultur yang kuat untuk diterapkan.
Dalam mempelajari dan menyelidik hukum Romawi, bangsa-bangsa Eropa,
seperti Perancis, Belanda, Jerman, Inggris mempelajarinya melalui 4 cara, yaitu :
▪ Secara Teoritis;
▪ Secara Praktis;
▪ Secara Ilmiah; dan
▪ Secara Tata Hukum.
Secara teoritis (theoritische Receptie), yaitu mempelajari hukum Romawi
sebagai Ilmu Pengetahuan, dalam arti setelah mahasiswa dari negara yang
bersangkutan mempelajari dan memperdalam hukum Romawi kemudian di bawa
kenegaranya untuk dikembangkan lebih lanjut, baik dalam kedudukan dia sebagai
pegawai di pengadilan ataupun badan-badan pemerintah lainnya.

20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm 241


Secara praktis (praktiche Receptie) karena menganggap hukum Romawi ini
lebih tinggi tingkatnya dari hukum manapun di dunia, bangsa-bangsa Eropa Barat
mempelajarinya dan melaksanakan atau menggunakan Hukum Romawi ini dalam
kehidupannya sehari-hari dalam negaranya.
Secara Ilmiah (Wetenschappetyk Receptie), Hukum Romawi yang telah
dipejari oleh para mahasiswa hukum dikembangkan lebih lanjut di negara asalnya
melalui perkuliahan-perkuliahan di perguruan tinggi. Hal ini karena tidak sedikit
mahasiswa yang telah mempelajari hukum tersebut setelah kembali ke negaranya
bekerja sebagai dosen.
Secara Tata Hukum (Positiefrechttelyke Receptie), di mana setelah
Perguruan-Perguruan Tinggi di Jerman dan Perancis, dan negara-negara tersebut
dalam membuat dan melaksanakan Undang-undang selalu mengambil dasar dari
hukum Romawi dijadikan Hukum Positif dalam negaranya masing-masing, wa;au
demikian tentu saja penerimaan hukum ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi
negara-negara tersebut.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan
hukum Romawi di zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari
berlakunya undang-undang dua belas pasal di tahun 4650 SM, Sampai dengan
terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M. Namun demikian
warisan hukum Romawi tetap dipertahankan pada abad ke 15 dengan
dikumpulkannya hukum-hukum Romawi di tempat ke dalam suatu kodifikasi
hukum yang disebut dengan Corpus Juris Civilis / Codex Justianus atau yang
disebut dengan Roman Civil Code. Penerapan sistem hukum tersebut di Perancis
dianggap berhasil di Eropa dan pada akhirnya diikuti oleh beberapa negara di Eropa
daratan diantaranya Jerman dan Belanda. 21
Pada masa pemerintahan Yulius Caesar berkuasa di Eropa Barat yang sejak
waktu itu hukum Romawi diberlakukan di Perancis walaupun bercampur dengan
hukum asli yang sudah ada sebelum orang Romawi menguasai Galis (Perancis).
Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai pada masa pemerintahan Louis XV
yaitu dengan diawalinya usaha kearah adanya kesatuan hukum yang kemudian
menghasilkan suatu kodifikasi yang diberi nama “Code Civil Des Francois” pada
21 Maret 1804 yang kemudian pada 1807 diundangkan kembali menjadi “Code
Napoleon”.22

21 C.S.T. Kansil, Et.Al. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2005).


22 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Cet. IX, (Bandung: Sumur Bandung,
1983), hlm. 9
Bab III
Penutup

A. Kesimpulan

Hukum Romawi adalah sistem hukum Roma kuno, termasuk


perkembangan hukum yang mencakup lebih dari seribu tahun yurisprudensi, dari
Dua Belas Tabel (c. 449 SM), ke Corpus Juris Civilis (AD 529) yang diperintahkan
oleh Kaisar Romawi Timur Justinian I. Hukum Romawi membentuk kerangka
dasar untuk hukum perdata, sistem hukum yang paling banyak digunakan saat ini,
dan istilahnya kadang-kadang digunakan secara sinonim. Pentingnya sejarah
hukum Romawi tercermin dari penggunaan terminologi hukum Latin secara terus
menerus dalam banyak sistem hukum yang dipengaruhi olehnya, termasuk hukum
umum. Hukum Romawi juga melambangkan sistem hukum yang diterapkan di
sebagian besar Eropa Barat hingga akhir abad ke-18. Di Jerman, praktek hukum
Romawi tetap berlaku lebih lama di bawah Kekaisaran Romawi Suci (963–1806).
Hukum Romawi dengan demikian berfungsi sebagai dasar untuk praktik hukum di
seluruh Eropa kontinental Barat, serta di sebagian besar bekas koloni negara-negara
Eropa, termasuk Amerika Latin, dan juga di Ethiopia. Bahasa Inggris dan hukum
umum Anglo-Amerika juga dipengaruhi oleh hukum Romawi, terutama dalam
glosarium hukum Laten. Eropa Timur juga dipengaruhi oleh yurisprudensi Corpus
Juris Civilis, terutama di negara-negara seperti Rumania abad pertengahan
(Wallachia, Moldavia, dan beberapa provinsi / wilayah sejarah abad pertengahan
lainnya) yang menciptakan sistem baru, campuran hukum Romawi dan lokal.

B. Saran

Dengan mempelajari sejarah hukum Romawi, kita dapat lebih mendalami


dan memahami tentang perjalanan hukum di dunia. Sejarah hukum Romawi
terkenal karena prestasinya di bidang hukum maka penting untuk memperluas
pengetahuan kita dengan membaca lebih banyak buku dan artikel mengenai sejarah
hukum Romawi.
Daftar Pustaka

Basyah, Syachran. Rangkuman Perkuliahan Ilmu Negara. (Bandung : Alumni,


1990)
Djamal, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta : Rajawali
Press, 1984)
Fuady, Munir. Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009)
Gilissen, John & Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika
Adita Utama, 2009)
Kansil, C.S.T. Et.Al. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2005).
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005)
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008
Projodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perdata, Cet. IX, (Bandung: Sumur
Bandung, 1983)
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Hlm 321
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016)
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum
Weeramantry, C.G. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited,
1982
MAKALAH
SEJARAH SISTEM HUKUM MESIR KUNO

Disusun oleh:

Nama : SENATOR BORIS PANJAITAN, S.H


NIM : 20202108060
Mata Kuliah : Sejarah Hukum
Dosen : Dr. Devy K. G. Sondakh, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... I

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3

2.1 Budaya Hukum Mesir Kuno ........................................................................... 3

2.2 Peninggalan Sejarah Hukum Mesir Kuno ....................................................... 6

2.3 Proses Pengadilan di Mesir Kuno ................................................................... 7

2.4 Hukum Berdasarkan Konsep Ma’at ................................................................ 9

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 12

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 13


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban Mesir Kuno berkembang melalui ketaatan yang tinggi pada
tradisi dan sistem hukum mereka juga mengikuti paradigma yang sama. Beragam
bentuk undang-undang dan larangan legal bahkan sudah diterapkan bangsa Mesir
sedini Periode Pra-Dinasti (Predynastic Period, sekitar 6000 sampai kira-kira 3150
SM) dan bakal terus berlanjut serta berkembang hingga Mesir dianeksasi Roma
pada 30 Masehi. Hukum bangsa Mesir didasarkan pada nilai budaya sentral yang
disebut ma’at (harmoni) dan telah dibakukan sebagai kaidah oleh para dewa
semenjak awal penciptaan semesta. Untuk mencapai kedamaian dengan diri
sendiri, masyarakat sekitar, hingga akhirnya para dewa, individu hanya perlu
menegakkan prilaku tenggang rasa, peduli sesama dan keadilan dalam menjalani
hidup sesuai dengan ma’at.1
Sayangnya, manusia terbukti tidak selamanya bisa bersikap baik hati atau
peduli sesama, bahkan sejarah juga sudah menggambarkan betapa susahnya mereka
berlaku adil; karenanya, hukum diciptakan sebagai landasan untuk memandu
manusia pada jalan kearifan. Mengingat (nilai) hukum dilandaskan begitu
sederhanya pada sebuah prinsip keilahian, serta menyadari bahwa ketaatan pada
prinsip tersebut jelas-jelas menguntungkan semua pihak, para pelanggar hukum
biasanya menerima siksaan berat. Dan terlepas dari kenyataan jelas ada beberapa
kasus kelonggaran yang diberikan terhadap terdakwa kriminal, perspektif hukum
yang berlaku saat itu adalah orang dianggap bersalah terlebih dahulu hingga
terbukti sebaliknya. Pandangan ini didasarkan alasan tidak mungkin orang
menerima tuduhan atau dakwaan jika mereka tidak terlebih dahulu melakukan
suatu kesalahan.
Hukum pada masa Mesir Kuno berfungsi laiknya di negara manapun pada
masa kini: seperangkat aturan disusun oleh mereka yang dianggap pakar dalam
bidang ini untuk selanjutnya disepakati bersama sebagai aturan hukum, juga ada
sistem peradilan yang menimbang bukti-bukti pelanggaran terhadap aturan

1
https://www.ancient.eu/trans/id/1-16346/hukum-mesir-kuno/ diakses pada tanggal 14 Desember
2020 Pukul 21.00 Wita
1
tersebut, dan satuan kepolisian yang bertugas menegakkan serta menyeret para
pelanggar aturan ke meja hijau.
Hingga saat ini, tidak atau belum ditemukan kaitan yang menghubungkan
kaidah (code) hukum bangsa Mesir dengan beragam dokumen (legal) bangsa
Mesopotamia seperti Hukum Ur-Nammu (Code of Ur-Nammu) atau Hukum
Hammurabi (Hammurabi’s Code). Namun kaitan ini bisa sangat mungkin terjadi
mengingat preseden dalam mengambil putusan sidang mengacu pada kasus yang
terjadi dalam kurun Periode Dinasti Awal (Early Dynastic Period, sekitar 3150
sampai sekitar 2613 SM) sebagaimana bukti penggunaan preseden tersebut pada
tahun-tahun awal dari masa Kerajaan Tua (Old Kingdom, sekitar 2613-2181 SM).
Preseden hukum ini bakal terus digunakan dalam pengambilan putusan legal
selama masa Kerajaan Tengah (Middle Kingdom, 2040-1782 SM) dan seterusnya
sepanjang sisa kesejarahan Mesir (Kuno).
Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik menulis makalah dengan
judul “SEJARAH SISTEM HUKUM MESIR KUNO”.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana tentang sejarah sistem hukum mesir kuno?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui sejarah sistem hukum mesir kuno.
2. Tujuan Subyektif
Untuk memenuhi tugas individual sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh nilai lulus pada Mata Kuliah Sejarah Hukum dalam Program
Studi S-2 Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Samratulangi Tahun
Akademik 2020/2021.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Hukum Mesir Kuno
Sebagai salah satu negara besar tertua di dunia, Mesir memiliki sejarah yang
panjang dan komprehensif tentang sejarah hukum. Sejarah hukum di Mesir kuno
diperkirakan sudah dimulai sejak abad 40 SM, keperkasaan raja-raja Mesir baru
berhenti setelah Mesir ditaklukkan oleh raja dari kekaisaran Romawi dalam
pertempuran teluk Actium pada tahun 31 SM. Hukum Mesir sendiri akhirnya pudar
dan digantikan oleh beberapa system hukum, termasuk hukum Yunani, dipengaruhi
juga oleh hukum Romawi, Hukum Islam dan kemudian Hukum Prancis.
Meskipun menghulangnya hukum mesir di abad 3 SM, setelah kurang lebih
40 abad perjalanan dalam kemegahannya, proses keruntuhan kedigdayaan hukum
Mesir sebenarnya sudah mulai terlihat beberapa abad sebelumnya, sejak 8 SM
hukum Mesir dapat dikata mulai meredup, hal tersebut dikarenakan berbagai
peristiwa sebagaimana berikut:
1. Perang saudara yang berkecamuk di Mesir;
2. Penaklukan Mesir oleh bangsa Assyria;
3. Penaklukan Mesir oleh bangsa Persia;
4. Penaklukan Mesir oleh bangsa Yunani;
5. Penaklukan Mesir oleh Raja Caesar dari Romawi.2
Setelah kurang lebih 4000 tahun berkuasa, mesir kemudian hanya menjadi
sebuah provinsi dari Roma, sengan raja terakhirnya seorang ratu terkenal, yaitu
Cleopatra (68-30SM). Ratu Cleopatra pernah membunuh saudara laki-lakinya
tahun 44 SM, tetapi kematian Cleopatra sendiri juga tragis, yaitu bunuh diri pada
tahun 30 SM. Kemudian, selama 7 abad Mesir berada di bawah control Romawi
dan Bizantium. Bersamaan dengan tumbangnya kerjaan Mesir, pengaruh
hukumnya sedikit demi sedikit menghilang dan mulai digantikan dengan system
hukum para penjajah, yaitu system hukum Romawi sampai kemudian ditaklukkan
oleh orang-orang Arab yang membawa hukum Islam, sebelum datang orang-orang
Prancis yang melakukan kodifikasi hukum Prancis.3

2
Munir Fuady, 2013, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 101
3
Ibid., hlm.102
3
Dalam sejarah hukum Mesir Kuno, Undang Undang tertua yang pernah
diketahui sekarang adalah Undang Undang yang berlaku setidak-tidaknya pada
tahun 4240 SM, sedangkan Raja Firaun pembuat Undang Undang yang pertama
yang tercatat dalam sejarah Mesir Kuno adalah Raja Menes (hidup di sekitar tahun
3400 SM), Raja Menes (3400 SM), yang juga dikenal dengan julukan “Narmer”.
Raja Menes memerintah Mesir selama kutrang lebih 62 tahun. Ia berhasil
mempersatukan kedua wilayah Mesir tersebut dalam suatu kerajaan sehingga dapat
memberlakukan Hukum Thot kepada seluruh penduduk negeri. Thot adalah dewa
local untuk daerah Delta.4
Raja Menes berhasil mempersatukan Mesir dan juga membuat hukum
tertulis yang bagus, Raja Menes ini dilambangkan dengan seekor sapi jantan,
di mana sapi dianggap binatang suci, karena Raja Menes berhasil mempersatukan
Mesir Atas dan Mesir Bawah, maka Firaun Menes menyebutkan dirinya sebagai
“Raja Utara dan Selatan Mesir”. Kebersatuan Mesir memberi arti yang sangat
penting bagi Kerjaan Mesir. Dengan persatuannya itu, Mesir yang semula jauh
tertinggal kebudayaannya dari Sumeria, yang dimana sekarang terletak di Irak.
Dalam beberapa abad kebudayaan mereka bisa dikata sudah sama, bahkan dapat
dikata jauh melebihi kebudayaan Sumeria dan menjadi pusat kebudayaan termaju
di dunia saat itu, termasuk majunya hukum dan pemerintahannya.
Mesir terdiri atas 42 provinsi, yang bersatu sejak Raja Menes. Mesir dibagi
ke dalam Mesir Atas dan Mesir Bawah. Hukum yang berlaku di Mesir dijalankan
oleh suatu pengadilan yang menerapkan hukum yang bernuansa keadilan yang
tidak memihak, berdasarkan konsep-konsep dari dewi keadilan yang bernama
Ma’at. Pengadilan berjalan dengan fair danterekam dengan baik, yang direkam oleh
juru-juru tulis/panitera handal, diantaranya yang palin terkenal adalah Amenhotep
bin Hapu yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung di Mesir.
Menurut sistem hukum Mesir Kuno, hukuman pidana terhadap para pelaku
kejahatan umumnya bersifat mutilasi, sepeti potong hidung, potong tangan, dan

4
Bunson, 1991, M. The Encyclopedia of Ancient Egypt, Gramercy Books, hlm.133

4
anggota badan lainnya. Di samping itu, dikenal pula hukuman yang lebih ringan,
seperti hukuman pembuangan dari masyarakat setempat dan hukuman pemukulan,
hukuman mati sering dipraktekkan di Mesir tetapi harus dengan persetujuan dari
Raja Firaun.
Jenis-jenis hukuman yang dijatuhkan tergantung kepada jenis kejahatan
yang dilakukan, tergantung pula kepada peranan dari pelaku dalam tindak criminal
yang bersangkutan. Ketika mesir dibawah pemerintahan Ramses III (1200 SM),
terdapat beberapa jenis tindakan kejahatan dengan penjatuhan hukuman yang
berbeda-beda. Contohnya tindakan makar, jika pelakunya adalah pelaku utama
maka hukumannya adalah hukuman mati yang dieksekusi, namun jika tegolong
dalam kelompok kedua, yaitu turut serta atau turut membantu melakukan kejahatan
tersebut, maka ancaman hukumannya adalah hukuman mati dengan jalan bunuh
diri. Sedangkan terhadap pelaku dalam kelompok ketiga, yaitu yang
keterlibatannya lebih ringan, hukumannya adalah potong hidung, potong tangan
dan lain-lain.5
Berikut adalah peninggalan sejarah hukum dari Mesir Kuno dalam dokumen
pengadilan dari Ramses III, yang menyebutkan hukuman mati dengan jalan bunuh
diri, antara lain terbaca sebagai berikut:
“Orang-orang berikut ini dutuduh melakukan kosnpirasi dengan pelaku
utama. Mereka diperiksa di pengadilan khusus; mereka diadili dan
diputuskan bersalah; mereka dibenarkan untuk mati melalui tangannya
sendiri di pengadilan; dan mereka memang melakukannya, karenanya tidak
dieksekusi”.
Dibidang hukum substantive, sudah mengalami perkembangan, seperti hukum
perdata, perkawinan, hukum kontrak, dan lain-lain. Bahkan hukum perburuhan
sudah sangat berkembang saat itu. Meskipun buruh masih dalam suasana kerja
dengan nuansa perbudakan, namun system upah, perumahan karyawan, maslaah
cuti kerja, bahkan pemogokan buruh sudah dikenal di Mesir Kuno pada saat itu.
Pemogokan pertama di dunia adalah pemogokan buruh yang terjadi di Mesir,
sekitar tahun 1170 SM, dalam rangka menuntut pembayaran upah secara penuh

5
Lewis, J. E. 2003, The Mammoth Book of Eyewitness Ancient Egypt. Running Press, hlm. 78
5
oleh para buruh.
Hukum secara umum sangat terkait dengan kebudayaan suatu bangsa,
karena itu hukum di negara Mesir Kuno berkembang seiring dengan perkembangan
kebudayaannya, minimal sejak 4000 tahun sebelum Masehi. Meskipun begitu,
proses peradilan yang sudah tersusun rapi telah ada sejak Mesir diperintah oleh
dinasti keempat (2900 SM- 2750 SM). Dalam hal ini, raja mesir memerintah sesuai
ketentuan hukum yang dianggap utusan Tuhan di bumi, yaitu Matahari Osiris.
Dalam masa ini, ketua hakim selalu dijabat oleh Menteri Utama dari raja. Karena
itu, antara fungsi peradilan dan fungsi pemerintahan tidak dipisah dengan tegas.
Para pegawai departemen pemerintahan juga bertindak sebagai hakim Ketua
Mahkamah Agung sebenarnya merupakan orangnya raja yang sehari-hari berada
dalam istana sebagai Deputi Raja Firaun.
B. Peninggalan Sejarah Hukum Mesir Kuno

Hukum Mesir Kuno sangat bersifat religius, hukum dipandang berasal dari
Tuhan dan dilaksanakan oleh penegak hukum atas supervisi dari raja, yang diyakini
sebagai utusan atau wakil Tuhan di bumi. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum
Mesir Kuno didasarkan atas aturan yang dibuat oleh Raja dan dengan mengikuti
precedent, yakni putusan-putusan pengadilan sebelumnya terhadap kasus-kasus
serupa.
1. Suatu dokumen hukum yang merupakan surat wasiat dari Mery yang dibuat
sekitar tahun 1800 SM di kota Lahun, pada akhir masa kerjajaan
pertengahan.
2. Beberapa dokumen hukum yang dibuat oleh para pegawai dari makan para
raja yang merupakan penduduk dari Deir el-Medina, di sekitar tahun 1200
SM, dokumen tersebut berisi:
a. tentang hak alimony yang dipertahankan oleh seorang laki-laki;
b. tentang persengketaan mengenai penyewaan seekor keledai;
c. tentang sanjungan kepada dewa-dewa yang berisi sabda dari Amenhotep
I;
d. jaminan dari seorang ayah terhadap anak gadisnya bahwa anak gadinya
tidak akan dibiarkan hidup tanpa rumah.
Disamping itu, menurut hukum Mesir Kuno, kedudukan wanita dan laki-
6
laki di Mesir sama derajatnya. Diwaktu yang bersamaan pada saat itu, hukum
di negara-negara lain masih memberikan tempat yang lebih tinggi kepada laki-laki
daripada wanita. Kedudukan wanita yang sederajat dengan laki-laki menyebabkan
wanita dapat melakukan perbuatan hukum, termauk untuk menceraikan suaminya.
Beberapa prinsip hukum yang berlaku di Mesir di masa dinasti ke 12, abad 18 SM
ialah sebagai berikut:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan,
Seorang penguasa dalam memutuskan perkara harus sesuai dengan
kenyataan yang terjadi, seperti ungkapan berikut “Sebab, yang
menyebabkan hal tersebut adalah air dan angin, sehingga terjadi kerugian.
Jadi tidak ada yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.”
2. Prinisp tidak boleh menolak perkara
Bagi seorang penguasa, dalam memeriksa perkara harus memberikan
putusannya. Buat penguasa, apapun masalahnya, harus mengambil
keputusan sesuai dengan peraturan untuk menjawab pihak yang
mengajukan tuduhan. Hakim yang memeriksa perkara tidak boleh
mengatakan bahwa ini bukan wewenangnya.
C. Proses Pengadilan di Mesir Kuno
Hakim di masa mesir Kuno sangat diharapkan untuk selalu berbuat baik dan
adil bagi rakyat Mesir. Kehendak agar pengadilan memutus sesuai kebenaran dan
keadilan terlihat pula dalam sebuah instruksi dari Raja Thutmose III kepada
Rekhmire, ketika dia diangkat sebagai ketua Mahkamah Agung, yang antara lain
berbunyi sebagai berikut:
Aturan hukum diletakkan ke pundak ketua hakim, Rekhmire. Para petugas
dibawa keruang pengadilan; raja memerintahkan agar ketua Mahkamah
Agung, Rekhmire, hadir dalam pengangkatannya itu.
Raja mengatakan: “Perhatian mereka-mereka dalam ruangan sidang
pengadilan. Berhati-hatilah terhadap setiap tindakan. Dukunglah semua
orang dalam kerajaan. Sebagai Ketua Mahkamah Agung, dia tidak boleh
hanya memandang terhadap para pegawai pengadilan dan
councilor….Merupakan kemungkaran kepada Tuhan untuk mempraktikkan
keberpihakan. Kamu harus bertindak sama untuk semua orang; harus
7
memperlakukan sama antara orang dikenal dengan yang tidak dikenal; dan
mereka yang dekat sama dengan mereka yang jauh.6
Proses persidangan memberi kesempatan pertama sekali kepada penggugat
untuk menggugat secara tertulis, dimulai dengan tuduhan, dilanjutkan dengan
fakta- fakta, dan kemudian menunjukkan berapa besar kerugian yang diderita.
Setelah menerima dokumen gugatan dari penggungat, selanjutnya giliran tergugat
untuk menjawab secara tertulis setiap poin dari gugatan, dengan mengatakan bahwa
apakah tergugat melakukan atau tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya,
atau dia melakukannya, tetapi itu bukan suatu kesalahan, ataupun bila dia
melakukannya, hukuman atau ganti rugi tidak sebesar yang digugat.
Proses selanjutnya adalah replik dari penggugat dan duplik dari tergugat.
Kemudian tugas dari majelis hakim yang terdiri atas 30 orang untuk mendiskusikan
kasus dan putusan di antara mereka, meskipun jalannya sidang pengadilan bersifat
formal, namun jasa advokat tidak dipakai. Karena orang-orang Mesir percaya
bahwa kelancaran pidato dari advokat akan mengaburkan isu-isu hukum yang
sebenarnya. Kepandaian berbicara, daya pesona dari penyampaian informasi, air
mata dari tersangka, hal hal seperti itu dapat memengaruhi agar orang-orang
mengabaikakn aturan hukum yang sebenarnya sudah jelas, di sampingkan
mengabaikan standar kebenaran.
Orang-orang Mesir percaya jika para pihak mengajukan sendiri perkaranya
secara tertulis, maka fakta seperti apa adanya saja yang akan menjadi pertimbangan,
sehingga putusan yang lebih tepat dapat diambil. Proses acara pengadilan pidana
untuk suatu pembelaan secara “tidak bersalah” seperti yang dikenal dalam mesir
dengan istilah “benar dan adol” (true and just).
Sejarah hukum mencatat bahwa masyarakat Mesir dibagi ke dalam
beberapa kelas masyarakat sebagai berikut :
1. Golongan masyarakat petani;
2. Fellah, yaitu golongan masyarakat pekerja;
3. Golongan Bangsawan.
Dalam sebuah kasus hukum, yang terjadi di dinasti ke-9 atau 10 dari

6
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 107
8
kerajaan Mesir Klasik (sekitar tahun 2700 SM), terlihat bagaimana susah payahnya
perjuangan seorang manusia kelas petani untuk memperoleh keadilan hukum yang
berlaku saat itu, meskipun dia berhasil memenangkan perkaranya. Petani tersebut
melawan orang dari kelas bangsawan yang sangat licik. Memang, dalam sejarah
hukum, sering kali terjadi pergelutan antara orang rendah yang baik dan benar
melawan orang kuat, tetapi licik, yang menyalahgunakan sector hukum untuk
menjastifikasi kelicikannya itu.
D. Hukum Berdasarkan Konsep Ma’at
Dasar dari hukum Mesir Kuno yang sangat penting adalah konsep hukum
yang disebut dengan Ma’at. Ma’at merupakan dewi keadilan bagi bangsa Mesir
Kuno. Karena itu, Ma’at merupakan personifikasi hukum, keadilan, dan kebenaran
yang dilambangkan oleh seorang dewi yang memegang tongkat mahkota (scepture)
di sebelah tangannya, sedang di tangan yang lain memegang lambang kehidupan
(ankh). Kadang-kadang, digambarkan pula dewi ini memiliki saya dan berbulu
seperti burung.
Karena ma’at merupakan konsep tentang hukum, keadilan, dan kebenaran,
maka rakyat mesir percaya bahwa tanpa Ma’at, dunia ini akan binasa. Karena hal
tersebut, terhadap raja-raja Mesir sering juga disebut sebagai “Matahari Ma’at”
(Sun of Maat) atau “keadilan” (Justice). Kata Ma’at sendiri dalam bahasa Mesir
berarti “langsung” (straight) atau “benar” (true), karena itu berarti “adil” (just)
sedangkan dalam Bahasa Yunani “Kanon”, yang berarti “aturan yang langsung”,
karena itu berarti “hukum”. Atau dalam bahasa Latin: “rectum” yang berarti:
“langsung”, karena itu berarti: “benar” atau pun dalam bahasa Itali “diritto” yang
berarti “langsung” (straight), “benar” (right) dan “hukum” (law).
Konsep Ma’at dapat dengan jelas terbaca dalam naskah deklarasi Rekhti
Merti Fent Ma’at dan dalam naskah berupa 22 affirmasi negative yang tertera dalam
The Papyrus of Ani, yang sebagaimana berikut:
DEKLARASI REKHTI MERTI FENT MA’AT
1. Saya telah mencegah orang melakukan kejahatan;
2. Saya tidak telah melakukan ketidkadilan terhadap kemanusiaan;
3. Saya tidak telah menyakiti binatang;
4. Saya tidak melakukan kejahatan di tempat ma’at;
9
5. Saya bukan penjahat;
6. Saya tidak telah berbuat secara jahat;
7. Setiap hari saya tidak telah berbuat yang melebihi dari pekerjaan yang
seharusnya saya lakukan;
8. Saya telah tidak menyebut nama saya pada perahu putar mahkota;
9. Saya tidak telah menyepelekan Tuhan;
10. Saya tidak telah bersifat kikir;
11. Saya tidak telah menyebabkan penderitaan;
12. Saya tidak telah melakukan yang buruk terhadap Tuhan;
13. Saya tidak telah menyebabkan tuan menyakiti budaknya;
14. Saya tidak telah menyebabkan timbulnya rsa sakit;
15. Saya tidak telah menangis;
16. Saya tidak telah membunuh;
17. Saya tidak telah menyuruh membunuh;
18. Saya tidak telah menyakiti/merugikan manusia;
19. Saya tidak telah mengambil barang apapun di candi-candi;
20. Saya tidak telah mencuri apapund ari dewi-dewi;
21. Saya tidak telah menawarkan suatu kematian;
22. Saya tidak telah berzina;
23. Saya tidak telah merusak diri saya sendiri;
24. Saya tidak telah menambah atau mengurangi penawaran;
25. Saya tidak telah mencuri dari kebun;
26. Saya tidak telah menginjak padang rumput;
27. Saya tidak telah menambah berat dari timbangan;
28. Saya tidak telah mengurangi berat dari timbangan;
29. Saya tidak telah mengambil susu dari mulut bayi;
30. Saya tidak telah mengusir ternak dari padang rumputnya;
31. Saya tidak telah menangkap burung yang dipelihara oleh dewa-dewi;
32. Saya tidak telah mangail ikan dengan umpan dari badan ikan;
33. Saya tidak telah membalikkan air pada musim air;
34. Saya tidak telah memotong potongan tertentu dalam air yang mengalir;

10
35. Saya tidak telah memadamkan api pada saat dia harus menyala.7
Deklarasi Rekhti Merti Fent Ma’at tersebut yang sebenarnya merupakan
prinsip-prinsip moral dan hukum dalam berbuat yang baik dan membedakan mana
yang baik dan mana yang tercela, kemudian tetap menjadi jiwa dan roh dari
pengaturan hukum di Mesir selama berabad-abad.

7
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 115
11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah hukum di Mesir berawal dari terbentuknya komunitas-komunitas
di desa-desa sebagai kerajaan-kerajaan kecil dengan pemerintahan desa. Desa itu
disebut nomen. Dari desa-desa kecil berkembanglah menjadi kota yang kemudian
disatukan menjadi kerajaan Mesir Hilir dan Mesir Hulu. Proses tersebut berawal
dari tahun 4000 SM namun pada tahun 3400 SM seorang penguasa bernama Menes
mempersatukan kedua kerajaan tersebut menjadi satu kerjaan Mesir yang besar.
Sistem hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang bertanggung
jawab membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga hukum dan
ketentraman, sebuah konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno sebagai.
Meskipun belum ada undang-undang hukum yang ditemukan, dokumen pengadilan
menunjukkan bahwa hukum di Mesir Kuno dibuat berdasarkan pandangan umum
tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta menekankan cara untuk membuat
kesepakatan dan menyelesaikan konflik. Menurut sistem hukum Mesir Kuno,
hukuman pidana terhadap para pelaku kejahatan umumnya bersifat mutilasi, sepeti
potong hidung, potong tangan, dan anggota badan lainnya. Di samping itu, dikenal
pula hukuman yang lebih ringan, seperti hukuman pembuangan dari masyarakat
setempat dan hukuman pemukulan, hukuman mati sering dipraktekkan di Mesir
tetapi harus dengan persetujuan dari Raja Firaun. Dalam proses pengadilannya
terdapat dewan sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru,
bertanggung jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan kecil. Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya
pembunuhan, transaksi tanah dalam jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan
kepada Kenbet Besar yang dipimpin oleh wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat
diharapkan mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa
mereka mengatakan yang sebenarnya.

12
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013.
Bunson, M. The Encyclopedia of Ancient Egypt. Gramercy Books, 1991.
David, R. Handbook to Life in Ancient Egypt. Oxford University Press,
2007.
Lewis, J. E. The Mammoth Book of Eyewitness Ancient Egypt. Running
Press, 2003.
Shaw, I. The Oxford History of Ancient Egypt. Oxford University Press,
2006.
Van De Mieroop, M. A History of Ancient Egypt. Wiley-Blackwell, 2010.
Wilkinson, R. H. The Complete Gods and Goddesses of Ancient Egypt.
Thames & Hudson, 2007.

B. Jurnal, Internet dan Sumber lain:


https://www.ancient.eu/trans/id/1-16346/hukum-mesir-kuno/ diakses pada
tanggal 14 Desember 2020 Pukul 21.00 Wita

13
SEJARAH HUKUM PIDANA NORWEGIA

TUGAS

SEJARAH HUKUM

Dosen

Dr.DEVY.K.G.SONDAKH,S.H.,M.H.

Oleh:

Nama: NATALIA J.P RUNKAT

NIM : 20202108073

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di dunia ini secara garis besar terdapat empat sistem hukum yaitu civil law
system, common law system, islamic law system, dan socialist law system. Antara
negara di dalam satu sistem hukum bisa saja berbeda, apalagi dengan negara yang
berasal dari sistem hukum yang berbeda. Contohnya Indonesia dan Norwegia,
walaupun sama-sama merupakan negara civil law system, akan tetapi antara
Indonesia dan Norwegia memiliki perbedaan. Mengenai KUHP Norwegia, menurut
Johannes Andeneas, KUHP Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun
1905 ini merupakan KUHP paling modern di Eropa pada saat diundangkannya.1
Masalah asas legalitas atau legality principle berbeda pada tiap-tiap negara yang
berarti berbeda pula di setiap sistem hukum yang ada. Atau juga mengenai lembaga
penegak hukum dan para aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana (di
dalam proses acara pidana) atau the law enforcement agencies and other actors/
institution in the criminal procedure juga berbeda tiap negara.
Saat ini masalah legality principle merupakan masalah yang terkadang menjadi
permasalahan yang menarik, karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) setiap negara memang mengatur mengenai hal tersebut. Akan tetapi terdapat
banyak perdebatan-perdebatan terutama mengenai non retroactivity (undang-undang
tidak boleh berlaku surut) dan no analogy (tidak boleh analogi). Asas legalitas ini
bahasa latinnya adalah “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang
dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya.”2 Asas ini melindungi

1
Barda Nawawi Arief, 2008, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 140.
2
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 39-40.
dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin
keamanan individu dengan informasi yang boleh dan apa yang dilarang.3
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan
secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas
(retroactivity), lex certa, dan analogi4Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof
H Haveman, though it might be said that not every aspect is that strong on its own,
the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.
1. Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan
pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-
undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang
dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai
perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai
tindak pidana.
2. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang
(legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang
disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan
asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus
mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta),
sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang
dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya

3
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas,
(Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 113.
4
5 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, tersedia
padahttp://www.prakarsarakyat.org/download/Perundangundangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%2
0KUHP%201.pdf, diakses pada 14 Mei 2011.
penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku

3. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang
(legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang
disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan
asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus
mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta),
sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang
dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya
penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku
4. Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut
(retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan,
yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas
dasar undangundang yang berlaku surut
5. Analogi
Asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat
dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang
untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang
tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara
penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis,
penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan
penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap
suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana,
diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga
kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya

Selain itu mengenai the law enforcement agencies and other actors/ institution
in the criminal procedure juga menarik karena dalam negara-negara masing-masing
mempunyai lembaga penegak hukum beserta aparat penegak hukum yang berbeda-
beda baik fungsi maupun kewenangannya dengan proses peradilan pidana yang
berbeda-beda pula. Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak yang
terlibat dalam proses peradilan pidana. Jika kita lihat pihak-pihak dalam acara pidana
adalah terdakwa atau tersangka, penuntut umum, penyidik dan penyelidik, penasihat
hukum dan hakim.5
Ini berarti ada beberapa lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan. Kepolisian merupakan lembaga penegak hukum yang berwenang
melakukan proses penyidikan dan penyelidika. Sedangkan Kejaksaan adalah lembaga
penegak hukum yang berwenang melakukan penuntutan, dan Pengadilan adalah
lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan pemeriksaan
pengadilan.Namun dalam hal ini yang akan dibahas adalah terbatas mengenai
pengadilan.

B. PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang dibahas adalah:
1. Bagaimanakah Sejarah hukum pidana di Norwegia ?

5
Andi Hamzah, Op.Cit hal. 64
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengaturan Hukum Pidana Asas Legalitas (Legality Principle) di Norwegia
Di Penal Code Norwegia, mengenai asas legalitas atau legality principle ini
diatur dalam Pasal 3 Aturan Umum (General Provisions) yang mengatur mengenai
Introductory Provisions (Ketentuan Pengantar). Adapun hal ini nampak pada bunyi
ketentuan Pasal 3 alinea kesatu. Di mana Pasal 3 alinea kesatu berbunyi:
If the criminal legislation has been amended in the period following the
commission of an act, the penal provisions in force at the time of its commission
shall be applicable to the act unless otherwise provided.6
(apabila undang-undang pidana telah diubah dalam tenggang waktu antara
dilakukannya perbuatan dengan pemeriksaan pengadilan, maka
ketentuanketentuan pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan itulah
yang diterapkan, kecuali ditentukan sebaliknya)
Selanjutnya juga nampak pada Pasal 3 alinea kedua. Di mana Pasal 3 alinea
kedua ini berbunyi: “The penal provisions in force at the time a particular issue is
decided shall be applicable when they lead to a decision more favourable to the
person charged than the provisions in force at the time of commission of the act.
However, in the case of an appeal, interlocutory appeal, or a petition for reopening
a case, no account shall be taken of provisions that come into force only after the
decision occasioning the appeal, interlocutory appeal, or petition for reopening the
case, has been made.”7(Aturan-aturan pidana yang berlaku pada saat putusan dalam
suatu perkara tertentu diterapkan apabila peratuan itu lebih menguntungkan bagi
terdakwa daripada aturan-aturan pidana yang berlaku pada saat pidana itu dilakukan.
Akan tetapi peraturan-peraturan pidana yang berlaku setelah putusan pengadilan,

6
The General Penal Code of Norwey, tersedia pada http://www. legislationline.org
/download/action/download/id/1690/file/c428fe3723f10dcbcf983ed59145.h tm/preview, diakses pada 16 Mei
2011.
7
Ibid.
tidak dapat diterapkan dalam putusan itu dimintakan banding atau dimintakan
pemeriksaan ulang).
Dari ketentuan Pasal 3 terlihat bahwa pada prinsipnya undang-undang yang
berlaku adalah undang-undang pada saat delik itu dilakukan atau saat delik itu terjadi,
hal ini nampak dari bunyi Pasal 3 tersebut “…, the penal provisions in force at the
time of its commission shall be applicable to the act...” Namun, berdasarkan ketentuan
pada Pasal 3 yakni yang terdapat pada alinea kedua, dikatakan bahwa apabila pada
saat putusan yang dijatuhkan ada undang-undang baru, maka undang-undang baru
itulah yang diterapkan apabila undang-undang baru itu lebih menguntungkan
daripada undang-undang lama, hal ini nampak dari bunyi Pasal 3 tersebut “The penal
provisions in force at the time a particular issue is decided shall be applicable when
they lead to a decision more favourable to the person charged than the provisions in
force at the time of commission of the act ………….”
Sehingga nampak bahwa dari Pasal 3 KUHP Norwegia menganut asas legalitas
(legality principle) yang dalam hal ini terutama menganut asas lex temporis delicti
atau Jadi, apabila kita lihat dari bunyi Pasal dalam KUHP Indonesia dan KUHP
Norwegia (Penal Code Norwegia) maka nampak bahwa prinsip memberlakukan
artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik
terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu
undang-undang pidana secara surut
Jadi, apabila kita lihat dari bunyi Pasal dalam KUHP Indonesia dan KUHP
Norwegia (Penal Code Norwegia) maka nampak bahwa prinsip memberlakukan
undang-undang yang lebih menguntungkan di Norwegia ini mirip dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia. Namun demikian prinsip tersebut di Norwegia
berlakunya lebih terbatas dibandingkan dengan di Indonesia. Dalam praktek
yurisprudensi di Indonesia, prinsip mendahulukan undang-undang yang lebih
menguntungkan itu dapat juga dapat diterapkan pada tingkat banding maupun tingkat
kasasi. Sedangkan di Norwegia tidak demikian. Menurut KUHP Norwegia yang
berbunyi: “…, no account shall be taken of provisions that come into force only after
the decision occasioning the appeal, interlocutory appeal, or petition for reopening
the case, has been made.” Di mana undang-undang baru tidak dapat diterapkan di
tingkat banding atau pada pemeriksaan ulang. Yang berarti di Norwegia ini berarti
apabila setelah putusan tingkat pertama ada undang-undang baru, maka undang-
undang baru itu tidak dapat diterapkan pada tingkat banding atau pemeriksaan ulang
walaupun undang-undang baru itu lebih menguntungkan.
Jadi, bisa dikatakan bahwa KUHP Norwegia nampaknya lebih mengutamakan
undang-undang yang lama, atau undang-undang yang berlaku pada saat delik terjadi.
Sedangkan undang-undang baru hanya dapat berlaku apabila:
a. Undang-undang baru itu berlaku sebelum putusan pengadilan dijatuhkan
b. Pengaturan Mengenai The Law Enforcement Agencies And Other Actors/
Institution In The Criminal Procedure di Indonesia dan Norwegia Undang-
undang itu lebih menguntungkan daripada undang-undang lama.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah Hukum pidana di Norwegia berubah ditandai dengan adanya KUHP
Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun 1905 ini merupakan KUHP
paling modern di Eropa pada saat diundangkannya. Masalah asas legalitas atau
legality principle berbeda pada tiap-tiap negara yang berarti berbeda pula di setiap
sistem hukum yang ada. Hukum pidana tidak lepas dari masalah asas legalitas atau
legality principle berbeda pada tiap-tiap negara yang berarti berbeda pula di setiap
sistem hukum yang ada. Atau juga mengenai lembaga penegak hukum dan para aparat
penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana (di dalam proses acara pidana) atau
the law enforcement agencies and other actors/ institution in the criminal procedure
juga berbeda tiap negara.
B. Saran
Mempelajari Sejarah hukum pidana khususnya sejarah hukum pidana di Norwegia
membuat kita nemambah wawasan mengenai perbedaan Antara hukum pidana di
Indonesia dan hukum pidana di Norwegia, selain perbedaan terdapat persamaan
hukum pidana yang ada di Indonesia dengan di Norwegia yaotu sama-sama menganut
asas legalitas, dengan prinsip memberlakukan undang-undang yang lebih
menguntungkan di Norwegia ini mirip dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP
Indonesia. Namun demikian prinsip tersebut di Norwegia berlakunya lebih terbatas
dibandingkan dengan di Indonesia bahwa KUHP Norwegia nampaknya lebih
mengutamakan undang-undang yang lama, atau undang-undang yang berlaku pada
saat delik terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Barda Nawawi

Arief, 2008, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press.

Topo Santoso, 2011, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam dalam

Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika.

The Criminal Procedure Act of Norway, http://www.russian criminalcode.com/

PartI/SectionIII/ Chapter9.html, Chapter 2, 16 Mei 2011. The General Penal Code of

Norwey, tersedia pada http://www.legislationline.org/ download/action/

download/id/1690/file/c428fe3723f10d cbcf983ed59145.htm/preview, 16 Mei 2011.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Asas Legalitas Dalam Rancangan
KUHP, tersedia pada http://www.prakarsa

rakyat.org/download/Perundangundangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUH

P%201.pdf, 14 Mei 2011.

.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL DARI MASA KLASIK

HINGGA MASA MODEREN

Oleh : FERNANDO IMANUEL KANSIL

NIM : 20202108048

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Terdapat hubungan yang erat antara hukum internasional dengan masyarakat

internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa ”untuk menyakini adanya hukum

internasional maka harus ada pula masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis”.

Pada bagian lain dikemukakan juga bahwa ”...Hukum internasional dalam arti luas, termasuk

hukum bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu telah berusia tua. Akan tetapi

bila hukum internasional diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur hubungan antar

negara, maka sejarah hukum internasional itu baru berusia ratusan tahun...” (Kusumaatmaja,

Mochtar dan Etty R. Agoes; 2003: 25).

Pendapat serupa juga dikemukakan olej J.G. Starke bahwa pengungkapan sejarah

sistem hukum internasional harus dimulai dari masa paling awal, karena justru pada periode

kuno kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar masyarakat internasional berupa adat

istiadat. Traktat, kekebalan duta besar, peraturan perang ditemukakan sebelum lahirnya

agama Kristen di India dan Mesir Kuno. Di Cina kuno ditemukan aturan penyelesaian

melalui arbitras dan mediasi. Demikian juga di Yunani kuno dan Romawi kuno. Sedangkan

sistem hukum internasional merupakan suatu produk dari empat ratus tahun terakhir ini.

Pada mulanya berupa adat istiadat dan praktek-praktek negara Eropa moderen dalam

hubungan dan komunikasi antar mereka dan adanya bukti-bukti pengaruh dari para ahli
hukum pada abad ke enambelas, tujuhbelas dan delapan belas. Lagi pula hukum

internasional masih diwarnai oleh konsep-konsep kedaulatan nasional, kedaulatan teritorial,

konsep kesamaan penuh dan kemerdekaan negara-negara yang meskipun memperoleh

kekuatan dari teori-teori politik yang mendasari sistem ketatanegaraan Eropa moderen juga

dianut oleh negara-negara non Eropa yang baru muncul. (Starke, J.G.; 2001: 8)

Dengan demikian sejarah hukum internasional sama tuanya dengan adanya masyarakat

internasional meskipun dalam taraf tradisional yang berbeda dengan masyarakat internasional

dalam arti moderen.

Dengan mengunakan kedua pendekatan di atas, sejarah perkembangan hukum

internasional dalam pembahasan ini akan dimulai pada masa klasik, yaitu masa India kuno,

Mesir kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno; kemudian pada masa abad

pertengahan yaitu abad 15 dan 16; Masa Hukum Internasional Moderen, yaitu pada abad 17,

abad 18, abad 19, abad ke 20 dan hingga dewasa ini.

Dalam penulisan makalah ini mengunkan metode yuridis normatif dengan pendekatan

sejarah. Bahan-bahan pustaka yang dipergunkan adalah ketentuan hukum internasional yang

termuat dalam perjanjian internasional (traktat, konvensi), buku-buku hukum internasional

dan praktek pengadilan internasionl. Dari bahan-bahan tersebut kemudian diolah dan

dianalisa secara deskriftif analitis. Sehubungan dengan pengunaan metode sejarah ini,

Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar menyatakan bahwa ”Hukum internasional publik

sangat terkait dengan pemahaman sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar

proses evolusi perkembangan hukum internasional dapat diruntut secara faktual kronologis,

melaikan juga seberapa jauh kontribusi setiap zaman bagi perkembangan hukum

internasional” (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; 2006: 29).

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL DARI MASA KLASIK


HINGGA MASA MODEREN

A. Hukum Internasional Klasik

1. India Kuno

Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga hukum yang mengatur

hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan

yang mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa Dharma. Gautama Sutera dan

undang-undang Manu memuat tentang hukum kerajaan. Hukum yang mengatur hubungan

antar raja-raja pada masa itu tidak dapat dikatakan sebagai hukum internasional, karena

belum ada pemisahan dengan agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-

tulisan pada waktu itu sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan

antara raja atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak

istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan cara

berperang (Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes; op. cit.: 26)

2. Cina Kuno

Cina memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk kelompok-

kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara yang bersifat regional tributary

state. Pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu

Cu.

3. Yunani Kuno

Menurut Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum intermunicipal, yaitu

kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota, seperti

ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan perang. Kaidah-kaidah

intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga dari negara kota. Namun kaidah

intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh agama, sehingga tidak ada pemisahan yang

tegas antara hukum. Moral, keadilan, dan agama. (Starke, J.G.; op. cit: 9)
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang Yunani dan orang

bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal ketentuan perwasitan dan wakil-

wakil dagang (konsul). Sumbangan yang terpenting bagi hukum internasional adalah konsep

hukum alam, konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi.

(Ibid: 27).

4. Romawi Kuno

Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak

mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu imperium, yaitu

Imperium Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi perkembangan hukum pada

umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan hukum internasional. Pada masa Romawi

ini diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum

masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale).

Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale

(hukum alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum

pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar Justinianus.

Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima dalam hukum

internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt servanda,

Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami perkembangan

Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly Roman Empire), yang

tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang berdiri sendiri, serta adanya

struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal, yang melekat pada hierarki otoritas

yang menghambat munculnya negara-negara merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan

hukum yang mengatur hubungan antar bangsa-bangsa. (Ibid: 8-9).

A. Masa Abad Pertengahan

1. Hukum Internasional Pada Abad ke 15 dan 16


Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa kegelapan),

hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di bawah gereja. Peran

keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim kemasyarakatan di Eropa pada waktu

itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci.

Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang

bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran gereja. Selain

itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan peperangan, seperti

Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang (reprisal), Honore de

Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380. (Tontowi, Jawahir dan

Pranoto Iskandar; op. cit: 34).

Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional tidak mengalami perkembangan

yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara yang

berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia, Portugal, benih-

benih perkembangan hukum internasional mulai bermunculan. Traktat-traktat yang dibuat

oleh negara lebih bersifat mengatur peperangan, perdamaian, gencatan senjata dan

persekutuan-persekutuan.

Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi, seperti yang

dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan seiring dengan mulai

terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin dalam Buku Six Livers De la

Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan bagi pembentukan

hukum merupakan hak mutlak bagi lahirnya entitas suatu negara.

Pada akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan dalam isu-isu politik,

pertahanan dan militer. Hukum mengenai pengambilalihan wilayah berkaitan dengan

eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa ahli hukum seperti,

Fransisco De Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas Salamanca Spanyol bertujuan


untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia menulis buku Relectio de Indies, yang

menjelaskan hubungan bangsa Spantol dan Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika,

Di dalam buku itu juga dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak

hatinya, dan ius inter gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa

Eropa tetapi juga bagi semua umat manusia.

Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil

pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum perang, doktrin perang adil,

pembentukan traktat, hak-hak budak dan kebebasan di laut (Ibid: 35-36).

Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa pencerahan ilmu dan

reformasi yang merupakan revolusi keagamaan yang telah memporakporandakan belenggu

kesatuan politik dan rohani di Eropa dan menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen

pada abad pertengahan.

Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi suatu

masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang berbagai macam

persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya serangkaian kaidah untuk

mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai kata tidak terdapat kaidah-kaidah

kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib menemukan dan membuat prinsip-prinsip

yang berlaku berdasarkan nalar dan analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum

Romawi untuk dijadikan pokok bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-

preseden sejarah kuno, hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam. (Starke,

J.G. ;op. cit.: 11) Diantara penulis-penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De Groot

atau Grotius, Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus (1491-1563), Fernando

Vasgues de Menchaca (1512-1569), dan Ayala (1548-1617). Tulisan-tulisan para ahli

hukum ini yang terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum

internasional pada abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan eropa
telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan

berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan yang seragam.

Francisco Suares (1548-1617), yang menulis buku De Legibus ae Deo Legislatore

(on Laws and Good as Legislator) yang mengemukakan adanya suatu hukum atau

kaidah objektif yang harus diikuti oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka.

Ia juga meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh

umat manusia.dan gentilis.

Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas

keadaan hukum internasional moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional. .

Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace (de jure Belli ac Pacis)

tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis selanjutnya serta

mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan . Sumbangan pemikirannya bagi

perkembangan hukum internasional adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum

bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas dari hukum alam, dan

mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak negara-negara itu sendiri. Beberapa

doktrin Grotius bagi perkembangan hukum internasional moderen adalah pembedaan antara

perang adil dan tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu,

netralitas terbatas, gagasan tentang perdamaian, konferensi-konferensi periodik antara

pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut yang termuat dalam buku Mare

Liberium tahun 1609.

Samuel Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et Gentium

menyatakan bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal dan

perang sebagai alat hanya dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-

1660), penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada hukum internasional

dalam keadaan damai dari pada hukum perang. (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; op.
cit: 39).

C. Hukum Internasional Moderen

C.1 Pada abad ke 17 dan 18

Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum internasionl, oleh Jeremy

Bentham. (Ibid:34). Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum internasional itu sendiri,

yaitu adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini

sebagai akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of Westphalia yang

ditujukan untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama yang berlangsung lebih dari

30 tahun di Eropa.(Ibid: 40). Menurut Mochtar Kusumaatmaja, perdamaian Westphalia

dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional moderen dan

meletakkan dasar-dasar masyarakat moderen. Bentuk negara-negara tidak lagi berdasarkan

kerajaan tetapi didasarkan atas negara-negara nasional, serta adanya pemisahan antara gereja

dengan urusan pemerintahan. Dasar-dasar perjanjan Westphalia kemudian diperkuat lagi

dengan adanya perjanjian Utrecht, yaitu dengan menerima asas keseimbangan kekuatan

sebagai asas politik internasional (Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes; op. cit.:

30,32).

Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah

hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan dan mengurangi sedikit

mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip tersebut. (Starke, J.G. ;op. Cit.:

13). Para penulis terkemuka pada abad ke 17 dan 18 antara lain : Cornelis Van

Bynkershoek (1673-1743), yang mengemukakan pentingnya actual practice dari negara-

negara dari pada hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori tentang hak dan

kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694), mengemukakan teori mengenai

Civitas Maxima yang sebagai negara dunia meliputi negara-negara dunia. Von Martens

(1714-1767), dalam Receuil des Traites yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih
merupakan suatu kumpulan berharga hingga sekarang. Emmerich De Vattel (1714-

1767) memperkenalkan prinsip persamaan antar negara-negara.

C.2. Pada abad ke 19

Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi

perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di dalam maupun di

luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, terutama

di bidang persenjataan militer untuk perang. Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan

akan adanya sistem hukum internasional yang bersifat tegas untuk mengatur hubungan-

hubungan internasional tersebut. Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidah-

kaidah tentang perang dan netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkara-perkara

internasional melalui lembaga Arbitrase internasional. Praktek negara-negara juga mulai

terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur hubungan-hubungan antar

negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku

dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada reason dan

justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan. . (Ibid: 8) Para

ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton, menulis buku

Elements of International Law; De Martens, menulis buku yang semata-mata

didasarkan atas praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent, Kluber,

Philimore, Calvo, Fiore, Hall.

Berdirinya organiasi internasional yang menampung para ahli hukum internasional

adalam wadah the Law International Association dan Institut De Droit International. Hukum

internasional juga menjadi objek studi dalam skala yang luas dan memungkinkan penaganan

persoalan internasional secara lebih profesional.


C.3. Abad ke 20 dan Dewasa ini

Hukum internasional mengalami perkembangan yang cukup penting Pada abad ini

mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague 1899 dan 1907.

Pembentukan Permanent Court of International Justice sebagai pengadilan yudicial

internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian digantikan oleh International Court

of Justice tahun 1948 hingga sekarang. Terbentuk juga organisasi internasional yang

fungsinya menyerupai pemerintahan dunia untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat

manusia, seperti Liga Bangsa Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa. Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial

ekonomi tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebesasan fundamental

individu. Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian pada praktek-praktek

dan putusan-putusan pengadilan. (Ibid: 14-15)

Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat moderen, maka hukum internasional

dituntut agar dapat mengatur mengenai energi nuklir dan termonuklir, perdagangan

internasional. Pengangkutan internasional melalui laut, pengaturan ruang angkasa di luar

atmosfir dan di ruang kosmos, pengawasan lingkungan hidup, menetapkan rezim baru untuk

eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya alam di dasar laut di luar batas-batas

teritorial, sistim jaringan informasi dan pengamana data-data komputer serta terorisme

internasional. (Ibid: 16)

Beberapa persoalan hukum internasional yang kerap kali timbul dalam hubungan

internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian yang menimpa warga negara suatu

negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asing oleh suatu negara, persoalan

nasionalitas, pemberlakuan extrateritorial beberapa perundangan nasional, penafsiran

perjanjian internasional, serta pemberlakuan suatu perjanjian yang rumit diberlakukan

sebagian besar negara di bidang perdagangan, keuangan, pengangkutan, penerbangan, energi


nuklir. Pelanggran hukum internasional yang berakibat perang, perlucutan senjata dan

perdagangan senjata ilegal. (Ibid: 18). Berbagai persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum

internasional tetap diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam

hubungan internasional Hukum iunternasional diharapkan dapat mengatur dan memberikan

penyelesaian hukum yang tepat dan adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh negara-

negara atau pihak-pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan perundangan nasional suatu

negara, dalam suatu tatanan sistim hukum internasional yang bersifat global.

KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian-uraian pada bab pembahsan, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut

1. Hukum internasional tumbuh dan berkembang sesuai zamannya, yang diawali

pada masa klasik, seperti pada masa India kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno dan

Romawi Kuno, dalam bentuk kaidah-kaidah kebiasaan dan aturan-aturan yang

dibuat oleh suatu bangsa atau kerajaan yang mengatur hubungan diantara mereka

dalam bentuk yang masih sederhana dan bersifat terbatas untuk bidang-bidang

tertentu saja. Pada masa kelasik dan abad pertengahan, hukum internasional tidak

banyak mengalami perkembangan. Baru setelah masa itu, yaitu pada abad ke 16,

17, 18, 19, 20, dan dewasa ini, hukum internasional moderen tumbuh dan

berkembang sesuai zamannya, dari segi teori-teori, azas-azas, lembaga-lembaga

dalam hukum internasional. Demikian juga mengenai subtansi dan sifat dati

keputusan organisasi internasional serta putusan peradilan internasioal.

2. Hukum internasional pada dewasa ini berkembang sejalan dengan perkembangan-

perkembangan dalam masyarakat moderen, baik di bidang teknologi industri,

informasi, militer, ruang angkasa, lingkungan, perdagangan dan hak asasi


manusia. Ruang lingkup kerjasama internasional meliputi segala aspek kehidupan

dari masyarakat internasional moderen yang tergabung dalam organisasi global

dan regional, baik dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilateral. Peranan

organisasi internasional dan perjanjian internasional yang membentuk law

making treaties, serta keputusan-keputusan dari peradilan internasional,

kesemuanya itu menjadi faktor utama dalam pembentukan hukum internasional

moderen dalam menjawab kebutuhan penyelesaian kasus-kasus internasional

yang terjadi dewasa ini. Hukum internasional diharapkan dapat menjadi kaidah

yang tegas dalam mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat internasional

dan sekaligus menegaskan bahwa hukum internasional itu tetap ada, diakui

sebagai sistem hukum global.

DAFTAR PUSTAKA

1. Istanto, F., Sugeng Hukum Internasional, Penerbit Univ. Atmajaya, Yogyakarta, 1998
2. J.G. Starke, Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
3. Boer Mauna, Hukum Internasional Peranan, Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, 2001.
4. Kusumaatmaja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003.
5. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung,
2003
6. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama , Bandung, 2006.
SEJARAH HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA
DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP KARYA CIPTA
SINEMATOGRAFI

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Hukum

Oleh :
SEPTIYANA RAHAYU

(20202108034)

DOSEN :

Dr. DEVY .K.G. SONDAKH, S.H, M.H.

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PROGRAM PASCA SARJANA

MANADO

2020
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang membutuhkan


pemenuhan kebutuhan dalam kelangsungan hidupnya. Kebutuhan manusia
menurut tingkat kepentingannya dapat dibedakan jadi kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer pemuasannya tidak dapat ditunda,
seperti makan dan minum. Kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan
pelengkap yang pemuasannya dapat ditunda, contohnya hiburan. Kebutuhan
tersier merupakan kebutuhan merupakan kebutuhan akan kemewahan dan
pemuasannya dapat ditunda, contohnya adalah perhiasan.

Film merupakan sebuah sarana bagi manusia dalam pemenuhan


kebutuhan. Manusia membutuhkan film sebagai hiburan. Film termasuk ke
dalam kebutuhan sekunder bagi manusia, maka pemuasannya dapat ditunda.
Namun, pada perkembangannya film merupakan sesuatu yang sangat diminati
oleh masyarakat luas untuk pemenuhan kebutuhan akan hiburan. Pemenuhan
kebutuhan film sekarang bukan hal yang sulit untuk dilakukan, hal tersebut
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya yaitu dengan pergi ke
bioskop.

Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah


sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa
film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan dengan
memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem nilai, gagasan,
norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan demikian film tidak bebas nilai karena memiliki seuntai gagasan vital
dan pesan yang dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang yang
terorganisasi. Itulah sebabnya, film merupakan pranata sosial (social
institution) yang memiliki kepribadian, visi dan misi yang akan menentukan
mutu dan kelayakannya. Hal itu sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan
2

dedikasi orang-orang yang bekerja secara kolektif, kemajuan teknologi, dan


sumber daya lainnya.1

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan


berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam
pemenuhan kebutuhan manusia akan film. Kegiatan perfilman yang meliputi
pembuatan film, penyimpanan, dan penyebaran film dapat dilakukan dengan
mudah dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Manusia sebagai makhluk sosial dalam perkembangannya


menghasilkan suatu peradaban baru seiring dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi sangat berpengaruh pada berbagai bidang kehidupan manusia,
seperti dalam bidang perdagangan, pemerintahan, dan lain sebagainya.

Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik ini memiliki


dampak positif dan di samping itu pula memiliki dampak negatif. Dampak
positif dari pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik bagi
masyarakat misalnya dapat mempermudah bagi siapa saja yang melakukan
transaksi jual beli atau melakukan usaha lewat media internet sehingga dalam
hal pemasaran menjadi lebih mudah. Namun apabila hal tersebut dilakukan
dengan itikad tidak baik maka akan menjadi suatu dampak negatif. Dampak
negatif ini misalnya pelaku usaha yang ingin mendapatkan keuntungan secara
cepat namun tidak memiliki produk untuk dijual, maka pelaku usaha tersebut
cukup dengan menarik minat masyarakat pengguna internet untuk masuk ke
situs yang dia miliki dengan cara memberikan akses unduh terhadap film,
sehingga situs yang dia miliki menarik perhatian para pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dalam bentuk menempatkan iklan di dalam situs yang
sudah terkenal tersebut.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menyatakan


pada pokoknya bahwa film atau sinematografi merupakan objek yang
dilindungi oleh hak cipta. Disamping itu, Karya Sinematografi telah diatur
tersendiri (sui generis) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 Tentang

1
Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
3

Perfilman dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 yang memperbarui


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Namun demikian undang-undang
yang khusus mengatur tentang perfilman di Indonesia ini sama sekali tidak
mengatur tentang perlindungan hak cipta atas karya sinematografi. Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman difokuskan pada
pengaturan bisnis industri perfilman. Karenanya, yang diatur adalah teknis
tentang prosedur pembuatan film, persyaratan materi atau muatan sebuah film,
peredarannya, sensor film, dan persaingan usaha di bidang pembuatan, impor,
dan ekspor film.2

Film di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta


dikenal dengan Sinematografi merupakan sebuah ciptaan. Dengan demikian,
terdapat perbedaan konsep tentang karya sinematografi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dengan yang
diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Undang-Undang Hak Cipta tidak
merumuskan definisi formil dari film atau karya sinematografi. Namun dalam
Penjelasan Undang-Undang Hak Cipta disebutkan bahwa yang termasuk karya
sinematografi adalah media komunikasi massa gambar gerak (moving
images)3.

Sinematografi atau Film merupakan ciptaan yang secara otomatis


dilindungi oleh hak cipta setelah suatu ciptaan dilahirkan. Undang-Undang
Hak Cipta juga menyatakan bahwa pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta
atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak untuk
memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif terhadap ciptaannya


sehingga tidak akan ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut
tanpa izin pencipta. Hak eksklusif bagi pemegang hak cipta di antaranya
termasuk hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya.

2
Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia: Analisis Teori dan Praktik, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 159.
3
Idem, hlm. 161.
4

Perbuatan mengumumkan suatu ciptaan mencakup perbuatan yang


sangat luas. Termasuk di dalamnya pembacaan, penyiaran, pengutipan
(quotation), pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan
dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet atau dengan cara
apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. 4

Fenomena social yang terjadi belakangan ini adalah adanya


penyebaran akses unduh film yang ramai dilakukan oleh situs dalam dunia
maya yaitu penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan media elektronik.
Banyak situs di dunia maya yang memberikan suatu akses unduh terhadap
film yang telah dilindungi oleh hak cipta, dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan secara finansial baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun demikian pada kenyataannya situs-situs tersebut sampai saat


ini masih tetap dapat beroperasi dengan leluasa di dalam dunia siber
(cyberspace) dengan pengunjung yang semakin bertambah setiap harinya dan
menyebabkan kerugian yang dialami oleh para pemegang ciptaan
film/sinematografi. Sehingga, kenyataan tersebut menimbulkan ironi dalam
penegakan hukumnya karena suatu perbuatan yang telah diatur oleh Undang-
Undang namun sampai saat ini tidak ada penyelesaiannya dan seolah tidak
dapat disentuh oleh hukum.

Menanggapi adanya permasalahan tersebut, yang mana film itu sendiri


merupakan salah satu objek yang dilindungi oleh hak cipta yang diatur dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Namun, sampai saat
ini terjadi sangat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat terkait
hak cipta sinematografi tersebut yang kemudian menyebabkan permasalahan
tersebut tidak kunjung dapat diselesaikan. Sehingga, menarik untuk diteliti
lebih mendalam mengenai hal tersebut ditinjau dari sudut pandang Sejarah
Hukum Pembentukan Undang-Undang Hak Cipta Dalam Perlindungan
Terhadap Karya Cipta Sinematografi, guna menemukan apa yang
menyebabkan permasalahan sehingga undang-undang tersebut tidak efektif
dalam memberantas perbuatan pelanggaran hak cipta sinematografi.

4
Idem, hlm. 65.
5

Berdasarkan keadaan-keadaan serta masalah-masalah yang telah


dijelaskan di atas, maka Penulis berkeinginan untuk melakukan Kajian Hukum
berupa makalah yang berjudul:

“SEJARAH HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG HAK


CIPTA DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP KARYA CIPTA
SINEMATOGRAFI.”

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini bertujuan untuk


memfokuskan dan membatasi uraian penelitian pada hal-hal yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Untuk menganalisis permasalahan
di atas, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan pertanyaan
“Bagaimanakah Sejarah Hukum Pembentukan Undang-Undang Hak Cipta
dalam rangka perlindungan terhadap karya cipta sinematografi?”
6

BAB II

PEMBAHASAN

Konsep perlindungan hak cipta mulai tumbuh dengan pesat sejak


ditemukannya mesin cetak oleh J. Gutenberg pada pertengahan abad ke-15 di
Eropa. Keperluan ini timbul karena dengan mesin cetak, karya cipta
khususnya karya tulis, dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Inilah
yang awalnya menimbulkan copyright.5

Pemakaian istilah copyright di Inggris pertama kali berkembang untuk


menggambarkan perlindungan terhadap penerbit dari tindakan penggandaan
buku oleh pihak lain yang tidak mempunyai hak untuk menerbitkannya.
Perlindungan ini diberikan bukan kepada pencipta melainkan kepada pihak
penerbit. Perlindungan dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas investasi
penerbit dalam membiayai pencetakkan suatu karya.6

Setelah Inggris, berikutnya menyusul pemberian hak tertentu kepada


para pengarang di Perancis yang timbul sebagai dampak dari adanya Revolusi
Perancis. Hak cipta dalam perkembangan selanjutnya menjelma menjadi hak
eksklusif bagi pengarang, baik untuk melakukan eksploitasi secara ekonomi
maupun hak atas fasilitas-fasilitas lain yang berkenaan dengan karyanya. 7

Pemberian perlindungan hak cipta secara internasional merupakan


langkah tepat penjaminan mutu kreativitas dari pencipta. Perlindungan hak
cipta secara internasional meliputi Berner Convention, Universal Copyright
Convention, Rome Convention, dan Konvensi Roma 1961.
1) Konvensi Berner
Konvensi Bern atau Konvensi Berne, merupakan persetujuan
internasional mengenai hak cipta, pertama kali disetujui di Bern, Swiss

5 Yusran Isanaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 8.
6 Muhammad Djumhana, R. Juabaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori, dan
Praktiknya di Indonesia (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 2014), h. 48.
7 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual (Bandung: PT. Eresco,
1990), h. 7.
7

pada tahun 1886. Konvensi Bern mengikuti langkah Konvensi Paris pada
tahun 1883, yang dengan cara serupa telah menetapkan kerangka
perlindungan internasional atas jenis kekayaan intelektual lainnya, yaitu
paten, merek, dan desain industri. Sebagaimana Konvensi Paris, Konvensi
Bern membentuk suatu badan untuk mengurusi tugas administratif. Pada
tahun 1893, kedua badan tersebut bergabung menjadi Biro Internasional
Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (dikenal dengan
singkatan bahasa Prancisnya, BIRPI), di Bern.

Pada tahun 1960, BIRPI dipindah dari Bern ke Jenewa agar lebih
dekat ke PBB dan organisasi-organisasi internasional lain di kota tersebut,
dan pada tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO, Organisasi Kekayaan
Intelektual Internasional, yang sejak 1974 merupakan organisasi di bawah
PBB. Konvensi Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya
melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara
lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal
sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri.
Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala
sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis, tak peduli di mana
benda atau barang itu pertama kali diciptakan.

Namun demikian, sekadar memiliki persetujuan tentang perlakuan


yang sama tidak akan banyak gunanya apabila undang-undang hak cipta di
negara-negara anggotanya sangat berbeda satu dengan yang lainnya,
karena hal itu dapat membuat seluruh perjanjian itu sia-sia. Apa gunanya
persetujuan ini apabila buku dari seorang pengarang di sebuah negara yang
memiliki perlindungan yang baik diterbitkan di sebuah negara yang
perlindungannya buruk atau malah sama sekali tidak ada. Karena itu,
Konvensi Bern bukanlah sekadar persetujuan tentang bagaimana hak cipta
harus diatur di antara negara- negara anggotanya melainkan, yang lebih
penting lagi, Konvensi ini menetapkan serangkaian tolak ukur minimum
yang harus dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari masing-masing
negara. Hak cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak
membutuhkan pendaftaran secara eksplisit.
8

Konvensi Bern menyatakan bahwa semua karya, kecuali berupa


fotografi dan sinematografi, akan dilindungi sekurang-kurangnya selama
50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia, namun masing-masing
negara anggotanya bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka
waktu yang lebih lama, seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan
Petunjuk untuk mengharmonisasikan syarat-syarat perlindungan hak cipta
tahun 1993.

Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum


perlindungan selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk
sinematografi batas minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan
pertamanya, atau 50 tahun setelah pembuatannya apabila film itu tidak
pernah dipertunjukan dalam waktu 50 tahun sejak pembuatannya.

Konvensi Bern direvisi di Paris pada tahun 1896 dan di Berlin pada
tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914, direvisi di Romapada
tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm pada tahun 1967
dandi Paris pada tahun 1971, dan diubah pada tahun 1979. Pada Januari
2006, terdapat 160 negara anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap
yang berisi para peserta konvensi ini tersedia, disusun menurut nama
negara atau disusun menurut tanggal pemberlakuannya di negara masing-
masing. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern
memuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta
untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak
cipta, yaitu:

a) Prinsip national treatment


Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian
harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama
seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara
sendiri.
b) Prinsip automatic protection
Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara
langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (noconditional
upon compliance with any formality)
9

c) Prinsip independence of protection


Bentuk perlindungan hukum hak cipta diberikan tanpa harus
bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum Negara
asal pencipta. Konvensi Bern yang mengatur tentang
perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic,
ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1986, dan
telah beberapa kali mengalami revisi serta penyempurnaan-
penyempurnaan. Revisi pertama dilakukan di Paris pada
tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13
November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada
tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya secara berturut-turut
direvisi di Roma tanggal 2 juni 1928 dan di Brussels pada
tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juni 1967
dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971.
Anggota konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta
menutut Konvensi Bern adalah sama seperti apa yang
dirimuskan oleh Auteurswet 1912.
Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-
karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan
kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang
terpenting dalam Konvensi Bern adalah mengenai perlindungan hak cipta
yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan
diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya
perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa
sipencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam
konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan berkerjanya disamakan
dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara
peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya
terhadap warga negaranya sendiri.

Pengecualian diberikan kepada negara berkembang reserve.


Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan
ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan
10

pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan


ekonomi, sosial, atau budaya.

2) Universal Copyright Convention (UCC)


Universal Copyright Convention mulai berlaku pada tanggal 16
September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang
tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti
bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi.
Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.

Dalam hal ini kepentingan negara-negara berkembang di


perhatikan dengan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap hak
pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk kepentingan
pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.

Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa yang mengaggap


hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si pencipta pribadi, sehingga
menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli.

Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan


antara falsafah Eropa dan Amerika yang memandang hak monopoli yang
diberikan kepada si pencipta diupayakan untuk memperhatikan
kepentingan umum. Universal Copyright Convention mengganggap hak
cipta ditimbulkan karena adanya ketentuan yang memberikan hak kepada
pencipta, sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta
itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.

3) Konvensi Roma 1961.


Konvensi Roma diprakarsai oleh Bern Union, dalam rangka untuk
lebih memajukan perlindungan hak cipta di seluruh dunia, khususnya
perlindungan hukum internasional terhadap mereka yang mempunyai hak-
hak yang dikelompok dengan nama hak-hak yang berkaitan (Neighboring
Rights/Related Rights).

Tujuan diadakannya konvensi adalah menetapkan pengaturan


secara internasional perlindungan hukum tiga kelompok pemegang hak
11

cipta atas hak- hak yang berkaitan. Tiga kelompok pemegang hak cipta
dimaksud adalah:

a) Artis-artis pelaku (Performance Artist), terdiri dari musisi,


akktor, penari, dan lain-lain. Pelaku yang menunjukkan karya-
karya cipta sastra dan seni.
b) Produser-produser rekaman (Producers of Phonogram).
c) Lembaga-lembaga penyiaran8.

Sejak zaman Belanda sesungguhnya, hak cipta (auteurrecht) yang


terdapat dalam “auteurswet 1912” telah berlaku sebelum perang dunia II di
Indonesia (Hindia Belanda dahulu). Auteurswet 1912 ini adalah suatu undang-
undang Belanda yang diberlakukan di Indonesia pada tahun 1912 berdasarkan
asas konkordansi (St.1912 No 600; Undang-Undang 23 september 1912).
Dalam perjalanannya yang panjang sejak Auteurswet 1912 sampai dengan
tahun 1982. Maka, lebih dari 70 tahun Indonesia baru berhasil menciptakan
Undang-Undang Hak Cipta yang bersifat nasional, yaitu Undang-Undang No.
6 tahun 19823 tentang Hak Cipta.9 Setelah itu dirubah dengan UU No. 7
Tahun 1978, dan selanjutnya perubahan kedua dengan UU No. 12 Tahun
1997. Kemudian, UU No. 12 tahun 1997 tersebut dicabut dengan Undang-
Undang No 19 Tahun 2002. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diberlakukannya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Setelah 37 tahun merdeka, Indonesia baru memiliki UU Hak Cipta


nasional pada tahun 1982. Sebagai bagian dari upaya pembangunan hukum
nasional, penyusunan UU Hak Cipta No 6 Tahun 1982 pada dasarnya
merupakan tonggak awal era pembangunan sistem HKI nasional di Indonesia.

8 http://meganurulfitriani.files.wordpress.com/2013/05/konvensi-internasional-
mnf.pdf, 5 Oktober 2013.
9 Sophar Maru Hutagalung. Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya Dalam
Pembangunan.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 179.
12

Meski bernuansa monopoli dan berkarakter individualistik, kelahiran UU Hak


Cipta nyaris tanpa reaksi. Reaksi pro-kontra justru terjadi UU Hak Cipta
direvisi tahun 1978, yang menjadi penolakan adalah langkah kebijakan
pemerintah dalam mengembangkan sistem nasional HKI, khususnya hak cipta
yang dinilai kurang tepat dan lemah aspirasi.

Perlu dicatat bahwa kebijakan serupa itu dianggap tidak sejalan dengan
nilai-nilai dan semangat gotong royong yang telah menjadi budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan mansyarakat Indonesia. Pengembangan konsepsi
dan pengaturan hak cipta secara praagmatis dianggap tidak kondusif dan
berseberangan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pandangan-
pandangan yang sering muncul dalam seminar-seminar hak cipta ini
mendalilkan perlunya kebebasan untuk memanfaatkan ciptaan secara cuma-
cuma guna membantu pendidikan anak-anak bangsa agar pandai, cerdas dan
berbudaya. Setelah direvisi kedua kalinya pada tahun 1997, UU Hak Cipta
diganti dengan UU No. 19 Tahun 2002.10 Adapun beberapa perubahan
mengenai UU Hak Cipta adalah sebagai berikut:

1) UU NO. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta.


2) UU NO. 7 tahun 1987 tentang Perubahan UU NO.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta.
3) UU NO. 12 tahun 1997 tentang Perubahan Kedua UU NO.6 tahun
1982 sebagaimana diubah dengan UU NO.7 tahun 1987 tentang
Hak Cipta.
4) UU NO. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan
mencabut UU lama tentang Hak Cipta.
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta yang menyatakan mencabut UU NO. 19 tahun
2002 tentang Hak Cipta.
Selain diatur dalam UU maka sebagai kelengkapan pengaturan hak
ciptajuga diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan, yaitu:

10
Hendri Soelistyo, Hak kekayaan intelektual: konsepsi, opini, dan aktualisasi,. (Jakarta: Penaku,
2014), h. 61.
13

1) PP NO.14 tahun 1986 Jo PP NO.7 tahun 1989 tentang Dewan hak


Cipta

2) PP NO.1 tahun 1989 tentang penerjemahanhan dan perbanyakan


ciptaan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan.
Penelitian dan pengembangan.

3) Keppres RI NO.18 tahun 199.7 tentang pengesahan Berne


Convention forthe Protection of Literaray and Artistic works.

4) Keppres RI NO.17 tahun 1988 tentang Pengesahan persetujuan


mengenai perlindungan Hukum secara timbal balik terhadap hak
Cipta atas Rekaman Suara antara RI dengan Masyarakat Eropa.

5) Keppres RI NO.25 tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan


mengenai Perlidungan Hukum secara timbal balik terhadap hak
Cipta antar RI dengan Amerika Serikat.

6) Keppres RI NO.38 tahun 1993 tentang pengesahan persetujuan


Perlindungan Hukum secara timbal balik terhadap hak cipta antara
Rl dengan Australia.

7) Keppres RI NO.56 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan


mengenai perlindungan terhadap Hak Cipta antara RI dengan
lnggris.

8) Peraturan menteri Kehakiman Rl NO.M.01-HC.03.01 tahun 1987


tentang pendaftaran Ciptaan.

9) Keputusan menteri kehakiman Rl NO.M.04.PW.07.03 tahun 1988


tentang Penyidikan hak cipta.

10) Surat Edaran menteri kehakiman RI NO.M.01.PW 07.03 tahun


1990 tentang kewenangan menyidik Tindak Pidana Hak Cipta.

11) Surat Edaran menteri kehakiman RI NO.M.02.I:C.03.01 tahun


1991 tentang Kewajiban melampirkan NPWP dalam permohonan
pendaftaran ciptaan dan pencatatan pemindahan hak cipta terdaftar.
14

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Bahwa Sejarah Hukum Pembentukan Undang-Undang Hak Cipta
adalah karena adanya konvensi-konvensi internasional yang diselenggarakan
guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan di negeri-negeri Eropa.
Sehingga, hal tersebut kurang lebih memiliki ketidaksesuaian dengan
kebiasaan maupun norma-norma yang hidup dan berkembang di dalam tubuh
bangsa Indonesia. Sebagaimana pernah terjadi pro kontra dalam pembentukan
undang-undang tentang hak cipta adalah karena kebijakan seperti itu dianggap
tidak sejalan dengan nilai-nilai dan semangat gotong royong yang telah
menjadi budaya yang telah mengakar dalam kehidupan mansyarakat
Indonesia. Pengembangan konsepsi dan pengaturan hak cipta secara
praagmatis dianggap tidak kondusif dan berseberangan dengan upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pandangan-pandangan yang sering muncul
dalam seminar-seminar hak cipta tersebut mendalilkan perlunya kebebasan
untuk memanfaatkan ciptaan secara cuma-cuma guna membantu pendidikan
anak-anak bangsa agar pandai, cerdas dan berbudaya. Sehingga, UU Hak
Cipta menjadi tidak efektif dalam rangka melindungi karya cipta
sinematografi di Indonesia.
15

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia: Analisis Teori dan Praktik,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.
Gatot Supramono, Hak Cipta dan Apek-Aspek Hukumnya, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010.
Hendri Soelistyo, Hak kekayaan intelektual: konsepsi, opini, dan aktualisasi,
Jakarta: Penaku, 2014.

Muhammad Djumhana, R. Juabaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori,


dan Praktiknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 2014.
Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya Dalam
Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Bandung: PT.
Eresco, 1990.
Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, Hak Kekayaan Intelektual:
Memahami Prinsip Dasar, Cakupan, dan Undang-Undang yang
Berlaku, Bandung: Oase Media, 2010.
Yusran Isanaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak


Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1987 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1982 Tentang Hak Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1997 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1982 Tentang Hak Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1999 Tentang
Perfilman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik.
16

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak


Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

C. Sumber Lain

Mega Nurul Fitriani, “Konvensi Internasional”,


<http://meganurulfitriani.files.wordpress.com/2013/05/konvensi-
internasional-mnf.pdf >, [12/11/2020].
MAKALAH

”SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL”

Oleh :
CHRISTIAN EVANI SINGAL
NIM. 20202108062

DOSEN :
Dr. DEVY K. G. SONDAKH, S.H., M.H.

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCA SARJANA
MANADO
2020
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selain istilah hukum internasional, istilah hukum antarnegara (interstates


law) juga dapat dijadikan sebagai suatu istilah yang merujuk kepada pengertian
suatu aturan yang mengatur hubungan-hubungan antar negara. Dalam konteks
hukum internasional kontemporer, istilah interstates law tentu mengandung suatu
kelemahan yang terdapat pada sisi subjek hukumnya, yakni subjek hukumnya
hanya hanyalah negara-negara. saja1 Faktanya, kendatipun negara merupakan
subyek utama dalam hukum internasional, sejumlah entitas yang memiliki kapasitas
hukum internasional terbatas juga telah diakui sebagai subyek hukum internasional,
contohnya seperti organisasi-organisasi internasional.

Hukum internasional dapat diartikan sebagai “rules and norms which


regulate the conduct of states and other entities which at any time are recognized
as being endowed with international personality, for example international
organizations and individuals, in their relations with each other”.2

Sebagai suatu peraturan hukum yang cakupannya sangat luas, hukum


internasional terdiri dari prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, dan kebiasaan
internasional mengenai perilaku negar-anegara dalam konteks hubungan
internasional yang telah terikat untuk mematuhi serta melaksanakannya. Selain itu,
hukum internasional juga memuat aturan tertentu mengenai antara individu-
individu dengan subyek hukum non-negara (non-State entities) serta perangkat-
perangkat negara yang baru (new State actors).

1
Wagiman dan Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum Internasional, Sinar
Grafika, Jakarta, 2016, h. 166.
2
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Jakarta, Diadit Media,
2007, h. 176

2
Studi hukum internasional pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
konteks kedaulatan sebagai suatu monopoli yurisdiksi teritorial yang sangat
eksklusif, baik dilihat dari dimensi internal maupun eksternalnya. Istilah kedaulatan
merupakan padanan dari istilah yang dikenal di sejumlah bahasa yakni sovereignty
(Inggris), sovereinete (Prancis), dan sovranus (Italia) yang berakar dari bahasa
Latin, superanus yang berarti teratas.3

Logika yang beranjak dari pemahaman mengenai hukum internasional


merupakan hukum yang mengikat negara-negara dalam hubungannya satu dengan
yang lainnya tentu menjadi rancu apabila kedaulatan negara harus dimaknai secara
sempit dalam konsepsi tersebut. Suatu pengertian yang cukup masuk akal
memaknai kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi yang hanya terbatas pada
batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan tersebut dan berakhir di mana
kekuasaan suatu negara lain dimulai.4

Kemudian, dengan adanya batas wilayah tersebut maka akan menentukan


juga hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat
yang sedang berada dalam suatu territorial negara, harus mematuhi hukum negara
tersebut. Dalam hal ini, terdapat adagium Ubi Societas Ubi Jus, yang bermakna di
mana ada masyarakat maka tentu ada hukum. Adagium tersebut juga berlaku dalam
hubungan internasional.

Hukum internasional dalam pengertian modern hampir berumur 4 abad.


Walaupun demikian, akan tetapi akar-akarnya telah terdapat semenjak Zaman
Yunani Kuno dan Zaman Romawi. Pada zaman Yunani kuno para ahli seperti
Aristoteles, Socrates dan Plato telah mengemukakan ide-ide tentang wilayah,
masyarakat serta individu. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa sejarah hukum
internasional mencakup juga zaman Yunani kuno, sehingga diperlukan suatu kajian

3
Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer,
Rajawali Pers, Jakarta, 2016, h. 27.
4
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, 2003, h.18

3
untuk membahasnya. Oleh karena itu, makalah ini akan mengeksplorasi sejarah
hukum internasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah di uraikan di atas, maka


rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah terbentuknya hukum internasional?


2. Bagaimana perkembangan hukum internasional?

C. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
sebagia berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya hukum internasional


2. Untuk mengetahui perkembangan hukum internasional.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Hukum Internasional

Norma-norma internasional mempunyai umur yang sama tuanya dengan


umur negara serta bangsa-bangsa di dunia ini. Norma internasional adalah
seperangkat aturan yang dihasilkan dari adanya hubungan antar manusia di dunia,
baik dalam masa perang ataupun masa damai. Sebagai akibat kepatuhan sejumlah
komunitas dalam jangka waktu panjang, aturan-aturan tersebut berevoluasi menjadi
norma-norma internasional. Selanjutnya aturan-aturan tersebut menjadi suatu hal
yang permanen bagi negara-negara di dunia, sehinga setiap negara secara sukarela
mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan dan mematuhi aturan
tersebut.5

Pada awal zaman Yunani, proses pembentukan kaidah-kaidah kebiasaan


hukum internasional dimulai dari adat-istiadat serta praktik-praktik yang ditaati
oleh negara-negara dalam melakukan hubungan dengan negara lainnya. Pada saat
itu banyak muncul negara merdeka, dan diantara negara merdeka tersebut
mengadakan hubungan-huungan diplomatik satu sama lain dan hubungan dengan
dunia luar yang kemudian hal tersebut mengembangkan sejumlah kaidah kebiasaan
yang berkaitan dengan perihal-perihal diplomatik.

Dalam sejarahnya, hubungan internasional yang diatur oleh hukum


internasional telah terdapat semenjak 4.000 tahun sebelum masehi (SM). Sekitar
3.000 tahun sebelum masehi (SM), sebuah perjanjian yang dibuat antara Ennatum,
Raja Lagosh di Mesopotamia yang memenangkan suatu perang dengan sebuah
negara kota lainnya di Mesopotamia, yaitu UMMA. Meskipun pengertian negara
bagi kedua belah pihak tersebut masih sangat primitif, namun antara kedua negara
tersebut terlibat dalam peperangan dan sewaktu mengakhiri peperangan, keduan

5
Muhammad Nur Islami, Hukum Internasional dalam Perspektif Islam dan Kedaulatan
Bangsa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, h. 11

5
negara tersebut membuat suatu perjanjian damai yang mengakhiri peperangannya.
Dalam perjanjian tersebut telah disetujui adanya tapal batas yang diakui oleh kedua
belah pihak.6

Sumbangan yang paling berharga dari kebudayaan Yunani bagi


perkembangan hukum internasional adalah mengenai konsep hukum alam yaitu
hukum yang berlaku secara universal dan mutlak dimanapun juga dan yang berasal
dari ratio atau akal manusia. Konsep hukum alam ini adalah konsep yang
dikembangkan oleh ahli filsafat yang hidup dalam abad ke-3 sebelum masehi (SM),
konsep hukum alam tersebut diteruskan ke kawasan Roma, sehingga pada akhirnya
Roma memperkenalkan hukum tersebut kepada dunia.7

Ajaran hukum alam mempunyai peran krusial dalam sejarah terbentuknya


hukum internasional Ajaran hukum alam memberikan dasar-dasar bagi
pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep
kehidupan bermasyarakat internasional adalah suatu keharusan yang diinginkan
oleh rasio manusia. Ajarin hukum alam ini meletakkan dasar rasionalitas mengenai
arti pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar satu bangsa
dengan bangsa lainnya di dunia ini walaupun pada dasarnya setiap bangsa
mempunyai keturunan, cara hidup, pemikiran, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.

Selain Yunai, terdapat juga sumbangsih Romawi terhadap pembentukan


hukum internasional yang cukup berarti, akan prinsip-prinsip yang dirumuskannya
tidak banyak berkembang disebabkan negara tersebut menaklukkan hampir semua
negara lain pada waktu itu. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 City states di Italia
seperti Venice, Genoa dan Florence melakukan perkembangan terhadap praktik
pengiriman duta duta besar residen ke ibukota masing-masing yang berdampak

6
Malcolm N. Shaw, International Law, second edition, Cambridge Grotius Publications
Limited, 1986, h. 13
7
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1982,
h.25

6
pada dibuatnya prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan diplomatik
diantara meraka terutama kekebalan-kekebalan para duta besar dan stafnya.8

Berkaitan dengan hal tersebut, setiap negara mempunyai hukumnya yang


didasarkan pada ketentuan pemerintah satu negara, di samping itu ada hukum yang
ditentukan berdasarkan kesepakatan yang disetujui oleh masyarakat yang lebih
besar di mana semua atau hampir semua negara menjadi anggotanya dan hukum ini
membentuk jus gentium.

B. Perkembangan Hukum Internasional

Sejarah perkembangan Hukum Internasional terbagi ke dalam tiga periode


yaitu: periode kuno, periode klasik dan periode modern. Pada periode kuno kaidah-
kaidah perilaku yang mengatur hubungan masyarakat-masyarakat independen
dipandang perlu dan muncul dari kebiasaan yang ditaati oleh masyarakat dalam
hubungan timbal balik, seperti traktat-traktat, kekebalan para duta besar, peraturan
perang ditemukan beberapa abad sebelum lahirnya agama Kristen.9

Meningkatnya hubungan, kerjasama dan saling ketergantungan antar


negara, muncul negara-negara merdeka baru dalam jumlah yang banyak sebagai
akibat dekolonisasi, berdirinya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah
yang sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukumintern asional menjadi
lebih luas. Selanjutnya hukum internasional tidak saja mengatur hubungan antar
negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya.10

Selanjutnya perkembangan hukum internasional modern dapat dilihat dari


400 (empat ratus) tahun perkembangan kebiasaan internasional dan praktik-praktik
negara-negara di kawasan Eropa, dalam hubungan-hubungan serta komunitas-

8
Malcolm N. Shaw, International Law, second edition, Cambridge Grotius Publications
Limited, 1986, 10
9
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 1995, h.8.
10
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, h. 1.

7
komunitas diantara mereka. Pada zaman itu konsep hukum internasional ditandai
dengan konsep kedaulatan nasional, konsep kedaulatan teritorial, konsep kesamaan
penuh serta konsep kemerdekaan negara-negara. Konsep-konsep tersebut
sebenarnya dianut pada sistem ketatanegaraan negara-negara kawasan Eropa
namun akhirnya dianut juga oleh negara-negara kawasan non Eropa.

a. Zaman India Kuno

Dalam kebudayaan Indi a Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum
I i

yang mengatur hubungan antar kasta, suku bangsa dan raja-raja. Hukum
bangsabangsa pada zaman India kuno telah mengenal ketentuan-ketentuan yang
I i

mengatur kedudukan dan hak-hak istimewa seorang duta. i i

Hukum yang mengatur hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat i i

dikatakan sebagai hukum internasional, karena belum ada pemisahan dengan


i i i i i

agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu i i i

sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja


atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak
i

istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan
i i i i

cara berperang.

Selain itu juga terdapat pengaturan mengenai perjanjian-perjanjian, hak dan


i i i i i

kewajiban raja dan juga pengaturan hukum perang. Khusus dalam hukum perang,
i

diatur mengenai perbedaan antara combatan dan non combatan, juga ketentuan-
i i

ketentuan mengenai perlakuan terhadap tawanan perang dan cara melakukan


i

perang (the conduct of war).11

11
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1982,
h.25

8
b. Zaman Yunani Kuno

Pada zaman Yunani kuno, telah ada hukum intermunicipal, yai tu kai dah- i i i i i i

kaidah kebi asaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota, seperti
i i i

ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan perang. i

Kaidah-kaidah intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga dari


i i i i i i i i

negara kota. Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh i i i i i i

agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum, moral, keadilan,
i i i i

dan agama.12

Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang i i i

Yunani dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal
i i i i

ketentuan perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul). Sumbangan yang i i i

terpenting bagi hukum internasional adalah konsep hukum alam, konsep ini
i i i i i i

kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi.13


i i i i

c. Zaman Romawi Kuno

Hukum internasional sebagai suatu hukum yang mengatur tentang


i i i

hubungan antar bangsa maupun negara tidak mengalami perkembangan yang pesat i i

pada masa Romawi. Hal ini disebabkan pada masa ini masyarakat di dunia i i i i i i i i

merupakan satu imperium, yakni imperium Roma yang menguasai seluruh wilayah
i i i i i i i

di dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Walaupun demikian hukum Romawi


i i i i i i

ini sangat penting bagi perkembangan hukum internasional selanjutnya.14 Hukum


i i i i i i

Romawi telah menyumbangkan banyak azas dan konsep yang kemudian diterima
i i i i

dalam hukum internasional. i i

Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan i

tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu


i i

12
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 9
13
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 27
14
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1982,
h.27

9
imperium, yaitu Imperi um Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi
i i i I i i i i

perkembangan hukum pada umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan i i i i

hukum internasional. Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius
i i i i i i I

Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum
I i I i

yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium i I i I i

hanya dapat di kai tkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam)
i i i i I

meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum


i i i

pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar i i i i i i

Justinianus. Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima


i i i i i

dalam hukum internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt
i i i i i i

servanda.

Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami i i i i i

perkembangan Hal ini di sebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly i i i I i i i

Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang
i i i i

berdiri sendiri , serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal,
i i i i i

yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya negara-negara i i i

merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar i i

bangsa-bangsa.15

Selama abad pertengahan, terdapat 2 (dua) hal khusus yang menjadi i

penghalang evolusi suatu sistem hukum internasional yaitu:16 i i i i i

1. Kesatuan duniawi dan rohani sebagai an besar Eropa di bawah Imperi um i i i i i I i

Romawi Suci (Holy Roman Empire); dan i i i

2. Struktur feodal Eropa Barat, yang melekat pada hierarki otoritas yang i i i

tidak hanya menghambat munculnya negara-negara merdeka akan tetapi


i i

juga mencegah negara-negara pada saat itu memperoleh karakter i

kesatuan dan otoritas Negara-negara berdaulat modern i

15
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 9
16
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 1995, h. 10

10
d. Abad ke-15 dan 16

Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa i i i

kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di i i i i i

bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi i i sektor-sektor sekuler. Sistim


i i

kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang
i i i i i

berdaulat yang bersi fat feodal dan Tahta Suci. Pada masa itu muncullah konsep
i i i

perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang bertujuan untuk melakukan tindakan
i i i i

yang tidak bertentangan dengan ajaran gereja.17


i

Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional tidak mengalami


i i i i i

perkembangan yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi i i i i

negara-negara yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, i i i I i i

Venesia, Swedi a, Portugal, benih-benih perkembangan hukum internasional mulai


i i i i i i i

bermunculan. Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur i i i

peperangan, perdamai an, gencatan senjata dan persekutuan-persekutuan. i

Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi
i i i i

suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang i i i

berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya


i i

serangkai an kaidah untuk mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai


i i i

kata tidak terdapat kaidah-kaidah kebi asaan yang tetap maka para ahli hukum wajib
i i i i i i

menemukan dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan i i i i

analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok


i i i i i i i i i

bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-preseden sejarah kuno,


i i

hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam.


i i i

Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh i i

atas keadaan hukum internasional modern dan dianggap sebagai Bapak Hukum i i i i

Internasional. Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum internasional


I i i i i i i

adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa. Hukum

17
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung,
Refika Aditama , 2006, h. 39

11
bangsa-bangsa berdi ri sendiri i i i i terlepas dari hukum alam, dan mendapatkan
i

kekuatan mengikatnya dari kehendak negara-negara itu sendiri. Beberapa doktrin


i i i i i i

Grotius bagi perkembangan hukum internasional moderen adalah pembedaan


i i i i

antara perang adi l dan tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan
i i i

individu, netralitas terbatas, gagasan tentang perdamaian, konferensi -konferensi


i i i i i i i

periodik antara pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut.


i i i

Sejak saat abad 15 dan 16 itulah, perubahan dan perkembangan Hukum i

Internasional terus berlangsung sampai dengan saat ini. Dimulai pada masa
I i i i i i i

renaissance yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dengan karyakaryanya terutama


i i

di bidang hukum antar bangsa (Hukum Internasional) yang mempengaruhi


i i I i i

perkembangan dunia pada saat itu, seperti Bodin, Hugo de Groot (Grotius), i i i i i

Hobbes, Fransisco de Vi ttoria, Fransisco Suarez, JJ Rousseau, Emeri ch de Vattel,


i i i i i

Jeremy Bentham3 dan banyak lagi lainnya. Kemudian seiring dengan munculnya i i i i i

tokohtokoh dan karyanya, mulai bermunculan pula negara-negara merdeka yang i

berdaulat, dimana hal ini juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
i i i i

perubahan dan perkembangan Hukum Internasional.18 I i

e. Abad ke-17 dan 18

Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum internasionl, i i i i

oleh Jeremy Bentham.19 Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum i i i i i

internasional itu sendiri, yaitu adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan
i i i i i i i i

internasional. Pembedaan ini sebagai akibat munculnya konsep kedaulatan dari


i i i i i i i

perjanjian the Peace of Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar
i i i i i

kelompok antar agama yang berlangsung lebih dari 30 tahun di Eropa.20 i i i

18
Mahendra Putra Kurnia, Hukum Internasional (Kajian Ontologis), Risalah Hukum, Vol.
4, No. 2, Desember 2008, h.78
19
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung,
Refika Aditama , 2006, h. 34
20
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung,
Refika Aditama , 2006, h. 40

12
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peri stiwa penting dalam sejarah
i i i i i i i

hukum internasional moderen dan meletakkan dasar-dasar masyarakat moderen.


i i

Bentuk negara-negara tidak lagi berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan atas i i i i

negara-negara nasional, serta adanya pemisahan antara gereja dengan urusan i i

pemerintahan. Dasar-dasar perjanjan Westphali a kemudian diperkuat lagi dengan


i i i i i

adanya perjanjian Utrecht, yaitu dengan meneri ma asas keseimbangan kekuatan


i i i i

sebagai asas politik internasional.21


i i i i i

Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur


i i i i

hubungan antara negara-negara nasional yang berdaulat timbul di Eropa sebagai i i i i

masyarakat internasional. Lahirnya negara-negara nasional yang berdaulat dan


i i i i

telah modern adalah di tanda tangani perjanji an Westphali a yang mengakhiri i i i i i i

perang tiga puluh tahun (1618-1648) di Eropa. Perjanji an Westphalia


i i i i

melaksanakan perjanji an didasarkan pada hubungan antara negara-negara yang i i

dilepaskan dari persoalan kegerejaan dan didasarkan pada kepentingan-


i i i i

kepentingan nasional masing-masing. Masing-masing negara mempunyai


i i i i i i i

persamaan derajat.

Dalam sejarah hukum, khususnya hukum i nternasional, Perjanjian i i i

Westphalia merupakan tonggak sejarah dari lahirnya negara-negara modern


i i i

menurut hukum internasional. Latar belakang dari lahirnya perjanjian legendaris


i i i i i i

ini bukan saja disemangati oleh persoalan-persoalan keagamaan, pertentangan


i i i i

antara agama Katolik dan Protestan, tetapi lebih jauh dalam soal-soal i i i

perkembangan kenegaraan dan hubungan antara bangsa serta pengakuan


internasional.
i i

Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan i i i

kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan


i i i i i

dan mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsi p-prinsip
i i i i i i i i i i

tersebut.22

21
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, 2003, h.30
22
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 13

13
Zaman ini adalah masa kebangkitan negara-negara baru yang kuat, baik di
i i i i i

eropa maupun di luar Eropa yang ditandai dengan ekspansi peradaban eropa ke
i i i i

wilayah-wi layah luar benua, modernisasi sarana angkutan duni a, penemuan-


i i i i i

penemuan baru, dan kondisi tersebut membutukan pengaturan dalam tindakan i i i

hubungan-hubungan internasional. i i

f. Abad ke-19

Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang


i i i i

mempengaruhi perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru,


i i i i

baik di dalam maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia,
i i i i i i

penemuan-penemuan baru, terutama di bidang persenjataan militer untuk perang. i i i i

Kesemuanya itu i menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem


i i hukum
internasional yang
i i bersifat tegas untuk mengatur hubungan-hubungan
i

internasional tersebut.
i i

Pada abad ini juga mengalami perkembangan kai dah-kaidah tentang perang
i i i i i

dan netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkara-perkara internasional


i i i i i

melalui lembaga Arbi trase i i internasional. Praktek negara-negara juga mulai


i i i

terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur hubungan-hubungan


i

antar negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada i i i i

praktek yang berlaku dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak i i i

meninggalkan pada reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur
i i i i i

oleh traktat atau kebiasaan.23 i

Kemudian pada abad i ni juga didirikan organiasi internasional yang


i i i i i i i i i i

menampung para ahli hukum internasional dalam wadah the Law International i i i I i

Association dan Institut De Droit International. Hukum internasional juga menjadi


i i I i i I i i i i

objek studi dalam skala yang luas dan memungkinkan penaganan persoalan
i i

internasional secara lebih profesional.


i i i i

23
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 8

14
g. Abad ke-20

Hukum internasional mengalami perkembangan yang cukup penting Pada


i i i i

abad ini mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague
i i i i i i i

1899 dan 1907. Pembentukan Permanent Court of International Justice sebagai I i i i

pengadilan yudi cial internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian
i i i i i i i i i

digantikan oleh International Court of Justice tahun 1948 hingga sekarang.


i i I i i i

Terbentuk juga organisasi internasional yang fungsinya menyerupai pemeri ntahan i i i i i i i

dunia untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusi a, seperti Liga
i i i i i

Bangsa Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. i i i i

Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial i i i i i i

ekonomi tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebesasan


i i i

fundamental individu. Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian


i i i i i i i i

pada praktek-praktek dan putusan-putusan pengadi lan.24 i

Liga Bangsa-Bangsa di dirikan setelah Konferensi Perdamai an Pari s 1919,


i i i i i i i

tepatnya 10 Januari 1920. Liga Bangsa-Bangsa ini bertujuan untuk melucuti i i i i i

senjata, mencegah perang melalui keamanan kolektif, menyelesaikan pertentangan i i i

antar negara-negara melalui negosiasi dan diplomasi, serta memperbaiki i i i i i i i

kesejahteraan hidup. Selanjutnya Briand Kellogg Pact yang diadakan pada tanggal
i i i

27 Agustus 1928 di Paris berisi kesepakatan untuk melarang perang sebagai suatu i i i i i

cara mencapai tujuan nasional. i i

Liga Bangsa-Bangsa gagal untuk mencegah Perang Duni a II, kemudian


i i I I i

digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan pada tanggal 26 Juni


i i i i i i i

1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa bertujuan untuk menjaga perdamai an dan


i i

keamanan duni a, memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antarbangsa


i

melalui penghormatan hak asasi manusi a, membina kerjasama internasional dalam


i i i i i i

pembangunan bidang ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, menjadi pusat i i i i i

penyelarasan segala tindakan bersama terhadap Negara yang membahayakan i

24
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 14

15
perdamai an dunia, dan menyediakan bantuan kemanusiaan apabila terjadi
i i i i i i

kelaparan, bencana alam dan konflik bersenjata i

Baik LBB maupun PBB telah menambah di mensi baru pada masyarakat
i i i

internasional modern yang sangat besar artinya dalam perkembangan masyarakat


i i i

internasional yaitu fenomena organisasi atau lembaga internasional yang melintasi


i i i i i i i i i

batas-batas Negara dan mempunyai wewenang dan tugas. i

Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat modern, maka hukum


internasional
i i dituntut agar
i dapat mengatur mengenai energi nuklir dan i i i

termonuklir, perdagangan internasional. Pengangkutan internasional melalui laut,


i i i i i i

pengaturan ruang angkasa di luar atmosfir dan di ruang kosmos, pengawasan i i i

lingkungan hidup,
i i menetapkan rezim baru untuk eksplorasi dan eksploitasi i i i i

sumber-sumber daya alam di dasar laut di luar batas-batas teritorial, sistim jaringan
i i i i i i i

informasi dan pengamana data-data komputer serta terorisme internasional.25


i i i i i

Beberapa persoalan hukum internasional yang kerap kali timbul dalam i i i i

hubungan internasional antara lain adalah klai m ganti kerugian yang menimpa
i i i i i i i

warga negara suatu negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asingi i i i i

oleh suatu negara, persoalan nasionalitas, pemberlakuan extrateritori al beberapa i i i i

perundangan nasional, penafsiran perjanjian internasional, serta pemberlakuan


i i i i i

suatu perjanjian i yang rumit diberlakukan sebagian besar negara di bidang


i i i i i

perdagangan, keuangan, pengangkutan, penerbangan, energi nuklir. Pelanggran i i

hukum internasional yang berakibat perang, perlucutan senjata dan perdagangan


i i i

senjata ilegal.26
i

Berbagai persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum internasional tetap


diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam hubungan
internasional Hukum iunternasional diharapkan dapat mengatur dan memberikan
penyelesaian hukum yang tepat dan adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh
negara-negara atau pihak-pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan

25
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 16
26
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 18

16
perundangan nasional suatu negara, dalam suatu tatanan sistim hukum
internasional yang bersifat global.

Hukum Internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pada


abad 19 dan 20. Faktor Faktor penyebabnya antara lain: 27

1. Negara Negara Eropa sesudah Konggres Wina 1815 berjanji untuk


selalu memakai prinsip prinsip Hukum Internasional dalam
hubungannya satu sama lain
2. Banyak dibuat perjanjian perjanjian (Law Making Treaties) seperti di
bidang perang dan netralitas, peradilan dan arbitrasi.
3. Berkembangnya perundingan perundingan multilateral yang sering
melahirkan ketentuan ketentuan hukum yang baru. Hukum Internasional
dewasa ini tidak hanya mengatur tentang Perang dan Damai, melainkan
juga mengatur tentang ekonomi, politik budaya termasuk juga Hak
Asasi Manusia (HAM), lingkungan, dekolonisasi, teknologi dan lain
sebagainya.

27
Muhammad Nur Islami, Hukum Internasional dalam Perspektif Islam dan Kedaulatan
Bangsa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, h. 11

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah di uraikan sebagaimana di atas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejarah terbentuknya hukum internasional di mulai semenjak zaman
Yunani kuno dengan prinsip yang mendasarinya yaitu prinsip-prinsip
hukum alam. Selain itu, sejarah terbentuknya hukum internasional juga
terdapat sumbangsih dari Romawi sehingga hukum internasional dapat
dikembangkan
2. Adapun perkembangan hukum internasional dapat dilihat dari 400
(empat ratus) tahun perkembangan kebiasaan internasional dan praktik-
praktik negaranegara di kawasan Eropa. Pada abang ke-18 dilakukan
pembaharuan terhadap kaidah-kaidah hukum internasional terutama
dalam bentuk kebiasaan dan traktat, dan mengurangi sedikit mungkin
kedudukan hukum alam atau nalar, sebagai sumber dari prinsip.

B. Saran

Adapun saran dari Penulis adalah merekomendasikan kepada Pemerintah


Indonesia sebagai salah satu negara yang merupakan anggota PBB untuk terus
meratifikasi aturan-autran hukum internasional yang sejalan dengan ideologi
bangsa Indonesia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2005

J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar


Grafika, Jakarta, 1995

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,


Bandung, Refika Aditama , 2006

Mahendra Putra Kurnia, Hukum Internasional (Kajian Ontologis), Risalah


Hukum, Vol. 4, No. 2, Desember 2008

Malcolm N. Shaw, International Law, second edition, Cambridge Grotius


Publications Limited, 1986

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Jakarta, Diadit
Media, 2007

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.


Alumni, Bandung, 2003

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta,


1982

Muhammad Nur Islami, Hukum Internasional dalam Perspektif Islam dan


Kedaulatan Bangsa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014

Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional


Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, 2016

Wagiman dan Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum Internasional,


Sinar Grafika, Jakarta, 2016
SEJARAH HUKUM ROMAWI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Hukum


dari Dr. Devy K.G. Sondakh., S.H., M.H

Oleh
Steve Michael Massie
NIM. 20 202 10 8043

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak

mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu imperium,

yaitu Imperium Romawi. 1 Kerajaan ini adalah sebuah pemerintahan monarki di kota

Roma dan wilayah kekuasaannya. Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah

Kerajaan Romawi karena tidak ada sumber tertulis yang berasal dari zaman tersebut. 2

Kebanyakan sumber ditulis selama masa Republik dan Kekaisaran berdasarkan pada

legenda. Sejarah Kerajaan Romawi bermula sejak pendirian kota tersebut, sekitar tahun

753 SM dan berakhir setelah penggulingan kekuasaan para raja dan pendirian Republik

pada tahun 509 SM.3

Bangsa Romawi itu asalnya dari wilayah yang sekarang dikenal dengan nama

negara Italia. Peradaban bangsa Romawi kuno adalah sebuah peradaban yang berasal

dari negara Roma yang didirikan di Semenanjung Italia menjulur hingga Laut Tengah.

Tepatnya, peradaban Romawi berada di Italia di wilayah Pegunungan Apenia.

1
Arsensius. 2009. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga Masa
Moderen, Jurnal Varia Bina Civika.
2
https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kerajaan_Romawi. Diakses 12 Desember 2020.
3
Penduduk asli bangsa Romawi tinggal di bagian utara Italia, di wilayah Danau

Maggiore.4

Pemberian nama Italia sendiri bukan pemberian dari bangsa Romawi, melainkan

suku Vitali yang berasal dari wilayah Calabria. Calabria adalah bagian ujung selatan

wilayah Italia. Pada awalnya, Italia memiliki nama Vitalia yang berasal dari suku

Vitulus. Makna nama itu sendiri adalah ‘anak lembu berusia satu tahun’, dimaksudkan

karena Calabria adalah wilayah yang banyak akan lembu atau sapi. Seiring waktu,

Vitalia berubah menjadi Italy dan sekarang kita mengenalnya dengan Italia. 5

Hal yang menarik dari sejarah Romawi lainnya, kekaisaran Romawi sebenarnya

adalah dua kerajaan. Sekitar pada 284-305 Masehi, Kaisar Diocletian membagi

kekuasaan menjadi dua agar mudah dipertahankan dari berbagai ancaman kekaisaran.

Pembagian itu terdiri dari Maximianus yang memimpin kekaisaran Romawi Barat dari

Milan dan Diolektianus memimpin kekaisaran Romawi Timur dari dekat Anatolia Barat.

Hal ini adalah upaya bijak untuk mempertahankan kekaisaran Romawi yang

membentang dari Inggris hingga Teluk Persia pada kisaran 286 Masehi. 6

Persamaan dari dua pemerintahan ini adalah keduanya menerapkan monarki

absolut teokratis. Peradaban bangsa Romawi kuno berkontribusi besar akan budaya

yang beragam. Mereka juga melahirkan inovasi arsitektur yang digunakan pada

peradaban kontemporer saat ini. Bukan hanya itu, konsep demokrasi yang diterapkan di

4 https://www.superprof.co.id/blog/. Diakses 12 Desember 2020.


5 Ibid.
6 Ibid.
berbagai negara lainnya adalah hasil sejarah kekaisaran Romawi. Demokrasi

kontemporer adalah demokrasi representatif. Pemerintahan kontemporer banyak

berhutang terhadap bangsa Romawi kuno. Lebih dari itu, sejarah Romawi juga

mempengaruhi bahasa, terutama bahasa Inggris. Beberapa kata dalam bahasa Inggris

berasal dari budaya Romawi, seperti civilized yang berasal dari bahasa Romawi civitas

berarti warga negara, plebe yang dimaksudkan dalam dunia militer untuk kadet tahun

pertama yang berasal dari singkatan bahasa Romawi plebeian, dan beberapa kata seperti

senat, kaisar, gladiator yang berupa sumbangan dari budaya Romawi.

Dengan demikian, beberapa hal di atas menjadi perhatian penulis dalam

melakukan penelitian hukum. Oleh karena itu, penelitian hukum yang di tuangkan

dalam suatu karya tulis ilmiah ini, penulis tertarik mengangkat topik "Sejarah Hukum

Romawi"

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dibatasi pada persoalan

berikut, Bagaimana Sejarah terbentuknya Hukum Romawi ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah, untuk memahami sejarah

terbentuknya hukum romawi.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah, memberikan pemahaman tentang sejarah

terbentuknya Hukum Romawi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Hukum Romawi

1. Awal Kerajaan

Kerajaan Romawi bermula dari permukiman di sekitar Bukit Palatine di

sepanjang sungai Tiber di Italia Tengah. Wilayah itu subur dan bukit-bukitnya

menyediakan perlindungan sehingga tempat itu mudah dipertahankan. Hal ini ikut

berperan dalam kejayaan Roma kelak. Pada awalnya Romulus dan Remus berselisih

mengenai tempat akan didirikannya kota. Ketika Romulus sedang membangun tembok

kota, Remus mengejek dan mengganggu pekerjaannya. Puncaknya adalah ketika Remus

melewati wilayah Romulus, Remus dibunuh oleh Romulus. Menurut sumber dari Livius,

Plutarkhos, Dionysius dari Halicarnassus dan yang lainnya, kerajaan Romawi dipimpin

oleh tujuh raja dalam masa 243 tahun. 7 Ketika bangsa Galia menyerang Roma setelah

Pertempuran Allia pada 390 SM, (menurut Polybius pertempuran tersebut terjadi pada

387/386 SM) mereka menghancurkan semua catatan sejarah, sehingga tidak ada catatan

sejarah dari masa kerajaan. 8

Adapun kisah mengenai kehadiran bangsa Romawi berawal dari cerita rakyat yang

disampaikan turun-temurun secara lisan oleh nenek moyang bangsa Romawi. Mitologi

tentang Romawi itu kemudian berlanjut pada berdirinya imperium Romawi, sebagai

7 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan. Diakses 12 Desember 2020


8 Ibid.
salah satu kekuatan besar dalam sejarah manusia. 9 Terdapat dua versi cerita mengenai

kemunculan bangsa Romawi, yaitu legenda Aeneas dan legenda Remus-Romulus.

Kisah mengenai Remus dan Romulus sangat berkaitan erat dengan tiga dewa penting

masyarakat Romawi, yaitu Apollo, Mars, dan Venus. Ketiga dewa itu memiliki

pengaruh yang besar bagi masyarakat, sehingga banyak masyarakat Romawi yang

menjadi pengikut dewa-dewa tersebut. Dalam legenda, Remus dan Romulus dipercaya

sebagai anak kembar yang dilahirkan oleh Rhea Silvia, seorang putri raja yang sedang

menjalani pengasingan akibat permasalahan tertentu.

Dikisahkan bahwa Rhea Silvia tiba-tiba mengandung dan melahirkan anak kembar

di tempat pengasingannya. Ia mengaku bahwa ayah dari kedua putranya itu adalah

Dewa Mars. Tetapi raja yang memerintah saat itu tidak percaya dengan ceritanya, dan

memerintahkan untuk menghanyutkan Rhea Silvia bersama kedua putranya. Bayi

kembar yang dihanyutkan ke sungai itu kemudian ditemukan dan diselamatkan oleh

seekor serigala betina. Keduanya dalam keadaan sehat, seperti tidak kekurangan

makanan selama terhanyut di sungai. Serigala betina itu lalu membawa keduanya ke

sebuah gua. Saat itu ada seorang petani yang kebetulan melintas di depan gua tersebut

dan memutuskan untuk merawat keduanya. Ia kemudian memberi nama bayi kembar

itu Remus dan Romulus.

Diceritakan, suatu hari Remus berencana untuk mencuri. Romulus yang diajak

untuk ikut memilih menolak karena takut jika tertangkap. Tetapi Remus terus

9https://kumparan.com/potongan-nostalgia/legenda-remus-romulus-kisah-berdirinya-imperium-
romawi-1537972193342338824/full. Diakses 12 Desember 2020
memaksanya, hingga akhinya Romulus ikut serta. Keduanya berencana melakukan

pencurian domba di salah satu peternakan di kotanya. Sayangnya, mereka berdua

tertangkap dan dibawa untuk diadili di depan kerajaan. Namun ternyata, raja yang

memerintah di wilayahnya itu adalah Numitor, kakek kandung dari Remus dan Romulus.

Saat melihat rupa kedua pemuda itu, Numitor langsung menyadari bahwa mereka adalah

cucunya, yang juga pewaris sah dari tahta kerajaannya.

Setelah raja turun dari kekuasaannya, Remus dan Romulus diminta untuk

menentukan siapa yang akan menduduki tahta kerajaan. Mereka bersaing secara ketat,

hingga akhirnya terlibat dalam perang yang cukup besar. Remus berhasil dibunuh oleh

Romulus, sehingga Romulus pun berhak duduk di tahta kerajaan. Nama Romulus

kemudian dijadikan sebagai cikal bakal dari nama kota Roma.10

2. Lembaga Politik

2.1. Raja

Romawi awal adalah sebuah monarki yang dipimpin oleh seorang raja (Latin: rex).

Semua raja Romawi dipilih oleh rakyat Roma kecuali Romulus yang menjadi raja

karena dia yang mendirikan Roma. Dengan asumsi bahwa raja berdaulat penuh dan

memegang kekuasaan tertinggi negara, maka raja juga adalah sekaligus: 11

Septianingrum, Anisa. 2017. Sejarah Peradaban Dunia Kuno Empat Benua.


10

Kumparan.com. Diakses 12 Desember 2020


11 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
1. Kepala pemerintahan - memiliki kekuasaan untuk menegakkan hukum,

mengelola semua harta milik negara, dan mengawasi semua pekerjaan umum

2. Kepala Negara - mengatur hubungan dengan kerajaan lain dan menerima

duta besar.

3. Pemimpin Legislatif - merumuskan dan mengajukan undang-undang.

4. Panglima tertinggi - komandan militer Romawi dengan kekuasaan mengatur

legiun, menunjuk pemimpin militer, dan menyatakan perang.

5. Pemimpin keagamaan - mewakili Romawi dan rakyatnya di hadapan para

dewa, memiliki kendali administratif atas agama Romawi.

6. Hakim Agung - mengambil keputusan mengenai semua kasus pidana dan

perdata.12

2.2. Kepala pemerintahan

Raja diberikan kekuasan pemerintahan, kehakiman, dan militer tertinggi dengan

penggunaan imperium. Imperium dimiliki raja seumur hidupnya dan membuat raja

kebal terhadap pengadilan. Sebagai pemilik tunggal imperium di Roma pada saat itu,

raja memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi serta kekuasaan militer sebagai panglima

tertinggi seluruh legiun Romawi. Selain itu, hukum yaang menjaga warga negara dari

penyalahgunaan magistratus yang memiliki imperium, tidak ada pada masa raja. 13

12 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
13 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
Kekuasaan raja yang lainnya adalah hak untuk menunjuk atau mencalonkan pejabat

pada semua jabatan. Raja menunjuk tribunus celerum untuk bertugas sebagai tribunus

suku Ramnes di Roma sekligus sebagai komanan pengawal pribadi raja, Celeres. Raja

diharuskan menunjuk tribunus ketika mulai menjabat dan ketika akan meninggal.

Tribunus merupakan jabatan tertinggi kedua setelah raja dan juga memiliki hak untuk

memanggil rapat Majelis Curiate. Jabatan lainnya yang ditunjuk oleh raja adalah

praefectus urbi, yang bertindak sebagai penjaga kota. Ketika raja sedang berada di luar

kota, prefek memiliki semua kekuasaan dan hak raja, bahkan diberikan imperium

selama berada di dalam kota. Raja juga merupakan satu-satunya orang yang bisa

mengangkat bangsawan menjadi anggota Senat. 14

2.3. Pemimpin keagamaan

Raja memiliki hak pada auspicium atas nama Roma dan kepala augurnya, dan tidak ada

bisnis publik yang dapat dilaksanakan tanpa kehendak dewa menjadikan asupicium

penting. Orang-orang mengenal raja sebagai perantara antara manusia dengan dewa

(pontifex, "pembangun jembatan") dan dengan dimikian mereka memandang raja

dengan sangat religius. Ini menjadikan raja sebagai pemimpin agama negara. Raja bisa

mengatur kalender Romawi, dia juga menyelenggarakan semua upacara keagamaan dan

menunjuk pejabat keagaamaan yang lebih rendah. Diceritakan bahwa Romulus

14 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
merupakan pendiri jabatan augur sekaligus merupakan augur terhebat. Demikian juga

raja Numa Pompilius, yang mengembangkan dasar-dasar dogma keagamaan Romawi. 15

2.4. Pemimpin legislatif

Di bawah kepemimpinan raja, lembaga legislatif (Senat dan Majelis Curiate) hanya

memiliki sedikit kekuasaan; mereka bukanlah lembaga yang independen karena mereka

tidak memiliki hak untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah kenegaraan sesuai

kehendak mereka. Mereka hanya bisa berkumpul jika dipanggil oleh raja dan hanya

boleh mendiskusikan masalah sesuai keinginan raja. Walaupun begitu, Majelis Curiate

memiliki hak untuk meluluskan hukum yang diusulkan oleh raja, sedangan senat

berfungsi sebagai dewan kehormatan. Senat bertugas menasihati raja namun tidak bisa

mencegah tindakan raja. Satu-satunaya tindakan raja yang tidak boleh dilakukan tanpa

persetujuan Senat dan Majelis Curiate adalah menyatakan perang terhadap negara lain. 16

2.5. Hakim agung

Memiliki imeperium memjadikan raja berhak menentukan putusan dalam semua

kasus pengadilan, karena raja juga dapat berfungsi sebagai sebagai kepala keadilan

Roma. Meskipun raja bisa menunjuk pontif untuk bertugas sebagai hakim dalam

perkara-perkara kecil, raja memiliki otoritas tertinggi dalam semua kasus yang dibawa

ke hadapannya, baik perkara pidana maupun perdata. Ini menjadikan raja sangat

berkuasa baik dalam masa damai maupun dalam masa perang. Beberapa sejarawan

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
16 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
percaya bahwa keputusan raja tidak dapat diganggu gugat dan dengan dimikian tidak

dapat dilakukan banding. Namun beberapa sejarawan lainnya meyakini bahwa

permohonan banding dapat diajukan pada raja oleh kalangan bangsawan pada

pertemuan Majelis Curiate. Untuk membantu raja, sebuah dewan bertugas menasihati

raja selama persidangan, tetapi rajalah yang berhak menentukan putusan akhirnya. Raja

juga menunjuk dua detektif kriminal (Quaestores Parridici) sebagai pengawas pada

kasus-kasus pengkhianatan. Menurut Livius, Tarquinius Superbus, raja ketujuh dan

terakhir Romawi, menghakimi kasus-kasus kriminal tanpa penasihat, sehingga

menciptakan ketakutan pada orang-orang yang hendak melawannya. 17

3. Raja yang pernah memerintah

3.1. Romulus

Romulus adalah raja pertama sekaligus pendiri Roma. Romulus mendirikan Roma

di atas bukit Palatine. Setelah mendirikan Roma, Romulus mengizinkan semua laki-laki,

baik manusia bebas ataupun budak, untuk datang dan menjadi warga Roma. Untuk

menyediakan istri bagi warganya, Romulus menculik wanita-wanita kaum Sabin

sehingga kerajaan Sabin memerangi Roma. Setelah berperang dengan kaun Sabin,

Romulus berbagi gelar dengan raja Sabin, Titus Tatius. Pada masa pemerintahannya,

Roma juga berperang dengan kerajaan Fidenate dan Veii.

17 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
Romulus memilih 100 orang bangsawan untuk membentuk senat sebagai dewan

penasihat bagi raja. Setelah penggabungan dengan Sabin, Romulus menambah lagi 100

sebagai senat. Romulus membagi rakyatnya menjadi tiga puluh curiae (golongan),

dinamai berdasarkan tiga puluh wanita Sabin yang berperan dalam menghentikan

perang antara Romulus dan Titus Tatius. Pewakilan tiap Curiae berkumpul membentuk

Dewan Curiata. Setelah kematiannya pada usia 54 tahun, Romulus dipuja sebagai

Quirinus, dewa perang.

3.2. Numa Pompilius

Setelah kematian Romulus, terjadi masa interregnum selama satu tahun di mana 10

orang anggota senat terpilih memerintah sebagai interrex. Senat kemudian memilih

Numa Pompilius, seorang Sabin, untuk menjadi raja berikutnya. Dia dipilih karena

reputasinya sebagai orang yang adil dan beriman. Meskipun awalnya Numa tidak mau

menerima jabatan kerajaan, ayahnya meyakinkannya untuk menerima posisi itu sebagai

cara untuk melayani para dewa.

Masa pemerintahan Numa ditandai dengan perdamaian dan reformasi keagamaan.

Numa membangun kuil Janus dan melakukan kesepakatan damai dengan kerajaan

tetangga Roma. Numa kemudian menutup pintu kuil tersebut untuk menunjukkan

keadaan damai. Numa juga banyak menetapkan dan mendirikan jabatan keagamaan di

Roma, contohnya perawan vesta, Pontifex Maximus, Salii, flamine. Numa

mereformasi kalender Romawi dengan menambahkan

bulan Januari dan Februari sehingga totalnya menjadi 12 bulan. Numa mengatur

wilayah Roma menjadi distrik-distrik untuk menciptakan aministrasi yang lebih baik,
membagi-bagi tanah kepada para penduduk, dan membentuk serikat dagang. Tradisi

mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Numa perisai Jupiter jatuh dari langit,

dengan masa depan Roma tertulis di atasnya. Numa memerintahkan untuk membuat

sebelas salinannya, yang kemudian dipuja sebagai benda suci oleh orang

Romawi.[28] Numa memerintah selama 43 tahun dan meninggal secara alami

3.3. Tullus Hostilius

Tullus Hostilius adalah raja yang lebih suka berperang dibanding mengurusi masalah

keagamaan. Pada masa pemerintahannya, Roma memusnahkan kerajaan Alba Longa

dan mengambil seluruh penduduknya. Dia juga berperang dengan kerajaan Fidenae,

Veii, dan Sabin. Dia membangun tempat baru untuk senat, Curia Hostilia, yang

bertahan sampai 500 tahun setelah kematiannya. Dalam suatu cerita, Tullus

mengabaikan para dewa hingga akhirnya ia jatuh sakit. Tullus kemudian

memanggil Jupiter dan memohon pertolongannya namun Jupiter membakar sang raja

dengan petirnya.[32] Tullus memerintah Roma selama 31 tahun.

3.4. Ancus Marcius

Setelah kematian Tullus Hostilius yang misterius, senat Romawi memilih cucu

Numa Pompilius, Ancus Marcius, sebagai raja. Seperti kakeknya, Ancus Marcius lebih

suka perdamaian dan hanya berperang jika dia diserang. Dia melakukan kesepakatan

damai dengan kerajaan tetangga Roma dan membuat mereka bersekutu dengan Roma.

Dia banyak membangun infrastruktur, seperti penjara pertama Roma, pelabuhan, dan

pabrik garam. Dia juga membangun jembatan pertama yang melalui sungai Tiber.
Setelah memimpin selama 25 tahun, Dia meninggal secara alami seperti kakeknya,

menandai berakhirnya pemerintahan raja Latin-Sabin di Roma.

3.5. Tarquinius Priscus

Tarquinius Priscus merupakan keturunan Etruska. Setelah pindah ke Roma, dia

diadopsi oleh Ancus Marcius. Dalam masa pemerintahannya, dia memenangkan banyak

peperangan melawan kerajaan lain dan membuat Roma memperoleh banyak harta

rampasan perang.

Dia menambahkan 100 anggota dari suku Etruska ke dalam senat. Dia juga menambah

jumlah tentara menjadi 6.000 infantri dan 600 kavaleri. Dia membangun kuil

Jupiter, Circus Maximus (arena balap kereta kuda), mendirikan Forum Romawi,

mengadakan kompetisi olahraga Romawi, dan memperkenalkan lambang militer

Romawi.

Setelah menjadi raja selama 25 tahun, dia dibunuh oleh anak kandung Ancus Marcius.

3.6. Servius Tullius

Tarquinius Priscus digantikan oleh menantunya, Servius Tullius. Servius adalah raja

Roma kedua yang merupakan keturunan Etruska. Servius

mengadakan sensus penduduk pertama dan membagi-bagi penduduk Roma berdasarkan

tingkat ekonominya dan wilayah geografisnya. Dia mendirikan Dewan Centuria dan

dewan Suku. Dia membangun kuil Diana dan tembok yang mengelilingi tujuh bukit di

Roma. Dia memerintah selama 44 tahun kemudian dibunuh oleh putrinya (Tullia) dan

menantunya (Tarquinius Superbus).

3.7. Tarquinius Superbus


Tarquinius Superbus anak dari Tarquinius Priscus dan menantu Servius Tullius.

Tarquinius Superbus juga adalah orang Etruska. Tidak seperti raja-raja sebelumnya,

masa pemerintahan Tarquinius Superbus diisi dengan kekejaman dan teror sehingga

rakyat memberontak padanya. Kekuasaan Tarquinius Superbus berakhir pada 509 SM,

sekaligus menandai berakhirnya pengaruh Etruska di Romawi dan

pembentukan Republik.[35] Sementara Tarquinius Superbus melarikan diri ke kota

Tusculum dan kemudian ke Cumae, di mana ia meninggal dunia pada 496 SM.

Dalam pemilihan raja, ketika seorang raja mati, Romawi memasuki

masa interregnum. Kekuasaan tertinggi negara akan berpindah ke Senat, yang

bertanggung jawab untuk mencari raja baru. Senat akan berkumpul dan menunjuk salah

satu anggotanya sendiri (interrex) untuk bertugas selama lima hari dengan tujuan

mengusulkan raja berikutnya. Setelah lima hari, seorang interrex akan menunjuk

(dengan persetujuan Senat) Senator lain sebagai interrex. Proses ini akan terus berlanjut

sampai raja yang baru terpilih. Setelah interrex menemukan calon yang cocok, ia akan

mengusulkannya pada Senat dan Senat akan meninjau calon tersebut. Jika Senat

menyetujuinya, interrex akan memanggil Majelis Curiate untuk mengadakan sidang.

Setelah diusulkan kepada Majelis Curiate, rakyat Romawi dapat menerima atau

menolaknya. Jika diterima, raja terpilih tidak segera menjalankan tugas. Dia harus

melalui dua proses lagi sebelum mendapatkan kekuasaan penuh. Pertama, raja harus

menjalani upacara keagamaan yang dipimpin oleh seorang augur. Kedua, pemberian

kewenangan dari Majelis Curiate kepada raja terpilih. Raja ketujuh Romawi, Tarquinius

Superbus, memerintah dengan kejam. Dia menggunakan kekerasan, pembunuhan,


dan teror untuk mempertahankan kekuasaannya. Sang raja juga mencabut

banyak konstitusi yang telah ditetapkan oleh pendahulunya. Puncaknya adalah

peristiwa pemerkosaan Lucretia yang kemudian menyebabkan rakyat memberontak dan

menggulingkan kekuasaan raja. Setelah itu, Romawi menjadi sebuah republik.

4. Romawi pasca-monarki

Untuk menggantikan kepemimpinan raja, dibuatlah lembaga baru

bernama konsul. Konsul terdiri dari dua orang, dipilih untuk masa jabatan selama satu

tahun, dan konsul yang satu dapat membatalkan kebijakan konsul yang lain. Awalnya,

konsul memiliki kekuasaan seperti raja, dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan

konsul dikurangi dengan adanya hakim-hakim yang memegang wewenang tertentu.

Yang pertama muncul adalah praetor, yang membuat konsul tak lagi memiliki otoritas

yudisial. Kemudian ada censor yang mengambil alih dari konsul hak untuk

melakukan sensus. Rakyat Romawi kemudian menciptakan jabatan yang

disebut diktator. Seorang diktator memiliki wewenang penuh atas masalah-masalah

sipil dan militer. Kekuasaan diktator begitu mutlak sehingga jabatan ini hanya berlaku

pada masa-masa darurat. Walaupun tampaknya mirip dengan raja, diktator Romawi

memiliki masa jabatan yang terbatas yaitu enam bulan. Berlawanan dengan konsep

modern diktator sebagai perampas kekuasaan, diktator Romawi dipilih secara bebas,

biasanya berasal dari jajaran konsul.

Setelah menjadi republik, kekuasaan keagamaan raja diberikan kepada dua jabatan

baru: Rex Sacrorum dan Pontifex Maximus. Rex Sacrorum secara de jure adalah
pejabat agama tertinggi di Republik. Tugas utamanya adalah mengadakan pengorbanan

tahunan untuk Jupiter, sebelumnya tugas ini dilakukan oleh raja. Sedangkan pejabat

agama tertinggi secara de facto adalah Pontifex Maximus, yang memegang sebagian

besar wewenang keagamaan. Dia memiliki kekuasaan untuk menunjuk dan mengangkat

pejabat-pejabat keagamaan seperti perawan Vesta, pendeta, dan bahkan Rex Sacrorum.

Pada awal abad ke-1 SM, jabatan Rex Sacrorum dilupakan dan Pontifex Maximus

memperoleh hampir seluruh kewenangan keagamaan Romawi. 18

5. Kembalinya monarki

Dengan naiknya Gaius Julius Caesar dan anak angkatnya Gaius Julius Caesar

Octavianus (Kaisar Augustus), Romawi hampir dipimpin kembali oleh raja. Gaius

Julius Caesar terpilih sebagai Pontifex Maximus dan diktator selama seumur hidup,

yang memberinya kekuasaan lebih banyak daripada raja-raja terdahulu. Namun sebelum

berhasil mengubah Romawi, Caesar lebih dulu terbunuh pada 15 Maret 44 SM. Selama

periode antara 28 SM dan 12 SM, Augustus memperoleh konsuler kekaisaran dan

kekuasaan Tribun Rakyat, dikombinasikan dengan posisi Pontifex Maximus

dan Princeps Senatus. Semua jabatan tersebut membuat Augustus menjadi sangat

berkuasa. Augustus kemudian mendirikan Kekaisaran Romawi, ini adalah awal dari

masa Principatus. Meskipun telah menjadi kekaisaran, lembaga-lembaga republik

masih tetap ada sampai masa Dominatus. Bahkan sampai era Bizantium, kaisar akan

18 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
berbagi gelar konsul. Ada juga kepausan, yang memerintah Romawi untuk jangka

waktu tertentu, bersama dengan Negara Gereja.19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan tipe penelitian

19 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
Jenis dan tipe penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif yang intinya

menganalisis Sejarah Terbentuknya Hukum Romawi.

Menurut Soekanto dan Mamuji, penelitian hukum normatif dilakukan dengan meneliti
20
bahan pustaka atau data sekunder. Dengan demikian metode penelitian yang

digunakan dalam menganalisis bahan hukum di atas yaitu menggunakan pendekatan

penelitian hukum dari sudut yuridis normatif. Penelitian menggunakan cara kerja yang

sistematik dan terarah dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan bahan

non yuridis sekaligus sebagai pedoman untuk analisis.

B. Pendekatan Masalah

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, karena itu pendekatannya

menggunakan pendekatan normatif analisis dengan mengikuti langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Mengidentifikasi sumber hukum yang menjadi dasar rumusan masalah;

2. Mengidentifikasi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang bersumber

dari rumusan masalah;

3. Mengidentifikasi dan menginventarisasi ketentuan-ketentuan normatif

dari bahan hukum primer berdasarkan sub pokok bahasan; dan

4. Mengkaji secara komprehensif analitis bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

C. Data dan Sumber Data

20
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif:Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta. Edisi Pertama Cetakan ke Sembilan.Raja Grafindo Persada.13
Data sekunder yaitu data yang di peroleh dari hasil penelitian kepustakaan sebagai

diuraikan di bawah ini:

1. Bahan hukum primer, yaitu:

a. buku,

b. kertas kerja konperensi,

c. lokakarya,

d. seminar,

e. simposium dan seterusnya

f. laporan penelitian

g. laporan teknis

h. majalah,

i. disertasi atau tesis dan paten

2. Bahan hukum sekunder yaitu:

a. Literatur-literatur;

b. Karya ilmiah hukum;

c. Jurnal hukum dan jurnal yang lainnya;

d. Laporan hasil penelitian;

e. Informasi elektronik (internet); dan

f. Sumber kepustakaan yang lain.

3. Bahan hukum tersier, yaitu: kamus-kamus umum, kamus hukum,

ensiklopedia, dan sumber hukum yang lainnya.


D. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer merupakan bahan hukum

yang bersifat autoritarif. Mempunyai otoritas bahan-bahan primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan sekunder berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-

jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.21

E. Teknik Analisis Data

Bahan hukum primer, sekunder, tersier, informasi, dan keterangan lainnya yang relevan

dengan rumusan masalah analisis secara kualitatif dan normatif untuk mendukung

pembahasan dan penyusunan kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan.

Langkah-langkah dalam melakukan penelitian hukum ini:22

1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang

tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak

dipecahkan,

2. Pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya dipandang

mempunyai relevansi juga dengan bahan-bahan non-hukum,

21
Peter Marsuki Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. edisi pertama. Cetakan ke 2. Jakarta;
Kencana Prenada Media Group. 141.
22
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Ed.1 Cetakan ke-3. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. hlm. 170
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan

bahan-bahan yang telah dikumpulkan,

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab

isu hukum; dan

5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah

dibangun di dalam kesimpulan.

Untuk memecahkan isu hukum dari penelitian ini diperlukan sumber-sumber penelitian.

Sumber-sumber penelitian hukum berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan

hukum sekunder. Bahan-bahan hukum yang akan dikaji yaitu berupa peraturan

perundang-undangan dikumpulkan dengan cara melakukan inventarisasi dan

selanjutnya mengkaitkan isinya dengan bahan-bahan hukum berupa literatur hukum. 23

Bahan hukum yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara normatif

dengan menggunakan logika berpikir secara deduktif yaitu dengan mengumpulkan

data-data yang bersifat khusus menuju pada satu gambaran umum berdasarkan pada

aspek yuridis normatif.24

Dilihat dari sudut sifat informasi yang diberikannya, bahan/sumber primer merupakan

bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun

pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide).

Bahan/sumber primer ini mencakup: buku, kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar,

simposium dan seterusnya, laporan penelitian, laporan teknis, majalah, disertasi atau

23
Ibid.
24
Ibid.
tesis dan paten.25 Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi

buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan.26 Bahan atau sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan

informasi tentang bahan primer. Bahan/sumber sekunder ini antara lain, mencakup:

abstrak, indeks, bibliografi, penerbitan pemerintah dan bahan acuan lainnya. 27 Bahan

hukum sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi

surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen

resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Adapun bahan hukum sekunder tersebut memiliki ciri-ciri umum, sebagai berikut:28

a. Bahan hukum sekunder pada umumnya ada dalam

keadaan siap terbuat (ready-made).

b. Bentuk maupun isi bahan sekunder telah dibentuk dan

diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.

c. Bahan hukum sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau

dibatasi oleh waktu dan tempat.

Beberapa bahan berbentuk sumber primer maupun sumber sekunder sebagaimana

disebutkan di atas telah diupayakan penelusurannya dalam menunjang penelitian ini.

25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009. Hlm.29
26
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. Hlm. 140
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Op.Cit, Hlm.29.
28
I b i d, Hlm.24
Bahan-bahan berbentuk buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,

abstrak, bibliografi, penerbitan pemerintah dan bahan acuan lainnya terlihat baik pada

catatan kaki maupun pada lembaran Daftar Pustaka dari penelitian ini.

Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis bahan hukum di atas yaitu

menggunakan pendekatan penelitian hukum dari sudut yuridis normatif. Dalam

penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum

tidak diperlukan dukungan fakta-fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum. Jadi

untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum

tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah

langkah normatif. Dalam pengkajian ilmu hukum normatif digunakan metode

interpretasi untuk memaparkan atau menjelaskan hukum tersebut.

BAB IV

Daftar Pustaka
1
Arsensius. 2009. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga Masa
Moderen, Jurnal Varia Bina Civika.
1
https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kerajaan_Romawi. Diakses 12 Desember 2020.
1
1 https://www.superprof.co.id/blog/. Diakses 12 Desember 2020.
1 Ibid.
1 Ibid.
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan. Diakses 12 Desember 2020
1 Ibid.
1 https://kumparan.com/potongan-nostalgia/legenda-remus-romulus-kisah-berdirinya-imperium-

romawi-1537972193342338824/full. Diakses 12 Desember 2020


1Septianingrum, Anisa. 2017. Sejarah Peradaban Dunia Kuno Empat Benua.
Kumparan.com. Diakses 12 Desember 2020
MAKALAH
SEJARAH HUKUM ROMAWI

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum


Dosen : Dr. Devy K.G. Sondakh, S.H., M.H.

Oleh :
Rony Hotman Gunawan
NIM. 20202108055

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Romawi merupakan negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan lebih hebat
dari negara-negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem hukum yang dibuat
oleh bangsa Romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan sistem hukum yang dibuat oleh
bangsa-bangsa lain di dunia ini. Sistem hukum Romawi (yang sekuler itu) jauh berbeda
dengan sistem hukum yang dibawa oleh agama (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha),
meskipun sistem hukum yang berlandasan agama dipercaya berasal dari langit (dari Tuhan)
yang diturunkan ke dunia melalui rasul-rasul Tuhan. Malahan, prestasi bangsa Romawi dalam
membuat hukum jauh lebih besar dari penjumlahan prestasi semua bangsa yang mendiami
dunia saat ini. Ini memang fantastis, bahkan lebih dari itu. Bukan hanya sektor hukum yang
merupakan hasil sumbangan bangsa Romawi kepada dunia yang masih berpengaruh hingga
sekarang, tetapi banyak sektor kehidupan lainnya yang juga terpengaruh. Misalnya pengaruh
dari abjad Romawi, sistem pemerintahan Romawi, dan sebagainya. 1
Bangsa Romawi menganggap mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila
dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Secara praktis
(praktiche Receptie) karena menganggap hukum Romawi ini lebih tinggi tingkatnya dari
hukum manapun di dunia, bangsa-bangsa Eropa Barat mempelajarinya dan melaksanakan
atau menggunakan Hukum Romawi ini dalam kehidupannya sehari-hari dalam negaranya.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir metafisika, seperti
Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka zaman Romawi sangat spektakuler dengan
perkembangan sistem dan kaidah hukumnya. Meskipun sudah ribuan tahun, sampai sekarang
masih banyak pengaruh hukum Romawi di dunia ini, terlebih lagi bagi negara-negara yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental. 2
Peradaban bangsa Romawi kuno berkontribusi besar akan budaya yang beragam.
Mereka juga melahirkan inovasi arsitektur yang digunakan pada peradaban kontemporer saat
ini. Bukan hanya itu, konsep demokrasi yang diterapkan di berbagai negara lainnya adalah
hasil sejarah kekaisaran Romawi. Demokrasi kontemporer adalah demokrasi representatif.
Pemerintahan kontemporer banyak berhutang terhadap bangsa Romawi kuno. Lebih dari itu,
sejarah Romawi juga mempengaruhi bahasa, terutama bahasa Inggris.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengambil judul ‘Sejarah
Hukum Romawi Kuno’ sebagai bahasan makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hukum bangsa Romawi kuno?
2. Bagaimana proses pengadilan di zaman Romawi kuno?

1
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia Hal 197-198
2
Ibid. Hal. 201
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjalanan Sejarah Hukum Romawi Kuno


Sejarah menghubungkan keadaan yang lampau dengan keadaan sekarang maupun
yang akan datang atau bahwa keadaan sekarang berasal dari keadaan yang lampau, dan
keadaan sekarang menelurkan keadaan yang akan datang. Sehingga apabila dihubungkan
dengan hukum, maka dapat diterima bahwa hukum dewasa ini merupakan lanjutan/
pertumbuhan dari hukum yang lampau, sedangkan hukum yang akan datang terbentuk dari
hukum yang sekarang.3
Tidak banyak yang diketahui tentang sejarah Kerajaan Romawi karena tidak ada
sumber tertulis yang berasal dari zaman tersebut dan kebanyakan sumber ditulis berasal dari
legenda. Hal ini dikarenakan pada tahun 390 SM, bangsa Galia menyerang Roma dan
menghancurkan semua catatan sejarah, sehingga tidak ada catatan sejarah dari masa kerajaan.4
Meski terdapat tumpang tindih mengenai fakta dan legenda dalam berdirinya Kota Romawi,
namun ada beberapa tempat dan tokoh yang disebutkan dalam sejarah yang memiliki
kesamaan dengan dalam legenda.
Pada permulaan Kerajaan Romawi (abad 8 SM) peraturan Romawi hanya untuk kota
Roma (753 SM), kemudian meluas dan menjadi universal. Peraturan yang telah meluas dan
universal tersebut disebut juga dengan “ius gentium” yaitu suatu hukum yang diterima semua
bangsa sebagai dasar suatu kehidupan bersama yang beradab. 5
Sistem Pemerintahan Peradaban Romawi Kuno adalah sebagai berikut :
1. Zaman Kerajaan
Pada abad ke 8 – 7 SM, wilayah Italia Selatan dan Pantai Sicilia merupakan koloni
dari Yunani. Koloni Yunani di Italia tidak ditanggapi oleh bangsa Romawi sehingga
keduanya pun tidak pernah bersatu. Pada waktu yang hampir bersamaan, datanglah bangsa
Etrusci datang dari Asia Kecil menuju pantai barat Italia dengan kemampuan teknologi yang
lebih maju dan tidak melakukan percampuran darah dengan bangsa asli maupun bangsa
pendatang terdahulu, mereka menguasai beberapa kota di Romawi yang sudah terbentuk
sebelumnya.6
Kekuasaan Estruci merebut Kota Roma dan menjadikannya sebagai ibukota. Kota
Roma pun mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan dengan bangsa-bangsa yang
berada di sekitar Laut Tengah. Karena adanya saingan, pada tahun 535 SM Etrusci bersekutu
dengan Kartago lalu berhasil mengusir Yunani dari tanah Italia.

3
Sutandyo Wigjosoebroto. 2000/2002, Hukum, Paradigma, Metode dan dinamika Masalahnya. Jakarta: Huma
hlm.253 dalam Prof.Dr.Sunarmi. 2016. Sejarah hukum. Kencana. Jakarta. Hal 11
4
Wikipedia, “Kerajaan Romawi” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi (3 Desember 2020)
5
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Hal. 12
6
Moniarti, Rika. 2002. Sejarah Peradaban Kuno. Mitra Sarana. Bandung . Hal 38
Dalam menjalankan pemerintahan, seorang raja memegang kekuasaan yang tak
terbatas. Hal ini karena seorang raja selain menjalankan pemerintahan, juga merangkap
sebagai panglima perang dan hakim tertinggi. 7

2. Zaman Republik
Dalam kehidupan sosial, Romawi terdiri dari dua kelompok yang berpengaruh, yaitu
Patricia dan Plebeia. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas tersendiri, Patricia terdiri
dari penguasa tanah yang besar sedangkan Plebeia terdiri dari golongan masyarakat kecil dan
menengah (pedagang, seniman, petani). Walaupun jumlah Patricia sangat sedikit (8% dari
jumlah bangsa Romawi) dominasi kaum Patricia dalam pemerintahan sangat berpengaruh
sehingga republik ini disebut pula Republik kaum Patricia.
Di masa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat negara
yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai berikut.
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan raja, meski pun
Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki kewenangan terhadap semua
aspek pemerintahan dan hukum. Mereka juga memiliki kewenangan sebagai panglima
perang yang ditunjuk oleh Comitia Centuriata, tetapi memerlukan ratifikasi dari
Parlemen untuk masa jabatan satu tahun.
2. Praetor
Praetor pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Praetor merupakan semacam pejabat di
Kementerian Kehakiman di zaman modern, yang diangkat oleh Comitia Centuriata.
Praetor bertugas untuk mengatur masalah administrasi yang berkenaan dengan hukum
sehingga mempunyai banyak kontribusi terhadap perkembangan hukum Romawi.
3. Quaestor
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan praetor yang dikhususkan Quaestor
di bidang finansial, administrasi criminal justice, pejabat hukum yang penting menigatu
di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SMP. Sesuai namanya, censor memiliki
tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan untuk menentukan tentang
siapa saja yang mempunyai hak pilih.
5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan anggota dari
Parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan rakyat jelata (jadi tidak
termasuk golongan bangsawan). Mereka mempunyai lak veto di parlemen.
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerintahan yang bertugas melaksanakan kepentingan
rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi kemudian menjadi
perwakilan dari kaum bangsawan. Misalnya, mereka mengurus kecukupan penyediaan
dan penyaluran air dan makanan, penyediaan jalan-jalan umum, dan sebagainya.8
Pada tahun 64 SM muncul tiga tokoh militer yang memiliki reputasi yang besar.
Mereka adalah Pompeius, Crassus dan Yulius Caesar yang dikenal dengan nama Triumvirat
(persekutuan tiga serangkai). Ketiga orang ini, selalu berseteru dan masing-masing selalu

7
Wilujeng D. 2007. Romawi Kuno.Semarang. Alprin. Hal. 5
8
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 199-200
ingin menonjolkan dirinya dengan mengajukan sebagai konsul di Romawi. Setelah
meninggalnya Crassus dalam pertempuran di Mesopotamia, hubungan buruk antara
Pompeius dan Yulius Caesar tak terelakkan lagi. Pompeius mencoba merangkul Senat dan
menyingkirkan saingannya, namun kelihaian Yulius Caesar tak dapat dibendung bahkan
berhasil menguasai Peninsula (semenanjung Italia) dan membunuh Pompeius di Yunani.
Yulius Caesar pun menjadi pemimpin tunggal Romawi dan menjadikan dirinya sebagai
diktator seumur hidup. Banyak terjadi perubahan semasa pemerintahan Yulius Caesar,
mengurangi tugas-tugas Senat, pembaharuan administrasi, memperbaiki perpajakan,
pembuatan perumahan, memperbaiki sistem kalender matahari dan pengeringan rawa-rawa.
Ternyata, perubahan dan kesuksesan Yulius Caesar tidak mendapat sambutan hangat dari
beberapa pihak termasuk dari anak angkatnya Brutus. Tragisnya, tahun 44 SM Yulis Caesar
pun dibunuh oleh Brutus.
Kematian Yulius Caesar menimbulkan kekacauan, Senat ingin kembali menguasai
pemerintahan. Dalam kondisi negara seperti ini, para panglima Yulius Caesar membentuk
triumvirat yang baru terdiri dari Antonius, Lepidus dan Octavianus. Kekuatan ini dapat
menguasai Romawi menjadi terkendali dan membunuh Brutus sang pemberontak. Atas jasa-
jasanya ketiga panglima diberi wilayah kekuasaan, Antonius menguasai wilayah sebelah
Timur (Asia Kecil dan Mesir), Lepidus menguasai wilayah Selatan (Afrika Utara) dan
Octavianus menguasai wilayah Barat (Yunani dan Spanyol).9

3. Zaman Kekaisaran
Dilantiknya Octavianus menjadi kaisar (penguasa tunggal) menjadikan bentuk
pemerintahan Romawi menjadi kekaisaran dengan Octavianus sebagai kaisar yang pertama.
Keadaan negara pada zaman ini dinamakan Pax Romana, artinya Roma yang damai.
Octavianus memiliki kekuasaan tunggal atas Imperium Romawi yang memiliki kekuasaan
absolut. Ia tidak hanya penguasa dalam bidang pemerintahan dan politik namun juga sebagai
kepala agama. Pembaharuan pun dilakukan dengan baik, Kota Roma dilengkapi polisi dan
pemadam kebakaran, meningkatkan subsidi gandum, membangun arena olahraga, dan
membangun kuil. 10
Setelah Octavianus meninggal, kekuasaan diserahkan kepada Tiberius (14 - 37 M).
Pada masa ini timbul penyebaran agama Kristen oleh Nabi Isa (Yesus Kristus). Agama
Kristen mengajarkan monotheisme dan tidak mendewakan manusia. Karena demikian, kaum
Kristen dianggap sebagai pemberontak yang akan menjadi raja maka Yesus Kristus pun
dihukum mati dengan cara disalib dan penganutnya ditindas.
Tahun 54 – 68 M Kaisar Nero berkuasa di Romawi. Pada masa ini, sejumlah kaum
Kristen diincar dan dibunuh karena pengikut kristen makin bertambah jumlahnya. Namun
keadaan ini tidak membuat kaum Kristen menjadi gentar, dan membuahkan hasil yang baik
pada masa kekuasaan Konstantin Agung (312-337 M). Perlakuan pengejaran dan
pembunuhan kepada kaum Kristen ditiadakan, ia menyadari dengan benar nilai-nilai yang

9
Hegel, G.W.F.2005. Filsafat Sejarah. Pustaka. Yogyakarta. Hal 405
10
Moniarti, Rika. 2002. Sejarah Peradaban Kuno. Mitra Sarana. Bandung . Hal 40
terkandung dalam ajaran-ajaran Yesus Kristus. Sejak itu agama Kristen ditetapkan sebagai
agama negara.
Konstantin Agung memindahkan ibukota dari Roma ke Konstantinopel. Keputusan
ini merupakan awal yang tidak baik bagi kekuasaan Imperium Romawi. Pada tahun 400 M,
pecahlah kekuasaan Romawi menjadi dua bagian, yaitu Imperium Romawi Barat dengan
ibukota Roma dan Imperium Romawi Timur dengan ibukota Konstantinopel. Tahun 476 M
Imperium Romawi Barat hancur oleh penyerangan bangsa Jerman. Keruntuhan Romawi
Barat tidak memengaruhi keamanan Romawi Timur, bahkan sempat mengalami kejayaan
pada masa Kaisar Yusthianus tahun 527-563 M. Pada tahun 1543 Imperium Romawi Timur
hancur oleh serangan bangsa Turki.
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada bandingannya
dengan sejarah hukum manapun di dunia ini. Perkembangan hukum Romawi yang
spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (hakim dan legislatif sekaligus)
Sistem hukum Yunani dalam sejarahnya kurang menekankan fungsi dan peran para ahli
hukum, akibatnya profesi hukum, seperti advokat dan hakim, tidak berkembang di sana.
Bahkan, hakim hanya terdiri atas orang-orang biasa yang dikumpulkan untuk diminta
menjadi hakim, jadi bukan profesi seumur hidup. Para hakim rakyat ini disebut
Dikateries. Sistem hukum Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat
menghargai peran dan eksistensi dari profesi hukum. Misalnya, kala itu dikenal jabatan
Praetor yang merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Praetor sangat berperan
dalam membentuk dan mengembangkan hukum di Romawi.
2. Faktor penghormatan terhadap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikan appresiasi yang tinggi terhadap profesi advokat.
Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam bidang hukum Mereka ini tidak
hanya mengajukan argumentasi cerdas ketika membela klien- kliennya, melainkan juga
memberikan pendapat-pendapatnya dalam bentuk buku- buku hukum. Cicero adalah
salah satu dan yang paling terkenal di antar advokat Romawi saat itu
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga memerlukan
satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga memiliki waktu
yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi saja berkuasa sampai kurang
lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan Romawi, yaitu Konstantinopel, malahan
bisa survive lebih kurang 1000 tahun lagi setelah keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis
mereka menguasai dunia selama dua milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)
Raja Justinian, pada tahun 529 M, mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam suatu
panitia yang bertugas untuk menyusun kembali hukum Romawi yang mulai berserakan
dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke dalam satu kitab hukum yang
sistematis. Panitia yang diketuai oleh ahli hukum yang bernama Tribonian itu,
menghasilkan suatu kitab hukum yang cukup komprehensif yang disebut dengan Code
Justinian (Corpus Juris Civilis) yang berisi Digest (terdiri atas 50 jilid) dan Institutes.11

11
Gadjong, Agussalim Andi. 2019. Ilmu Negara. Kretakupa. Makassar. Hal 137
6. Kebangkitan kembali hukum Romawi
Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan kembali hukum Romawi yang
berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke-12, di mana hukum
Romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian ditafsirkan dan dikembangkan
kembali oleh para Glossator dan Commentators.
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan hukum
Romawi.
Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu sangat berpengaruh bagi
dunia hukum dengan membuat berbagai kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di
Prancis yang didasarkan pada Code Justinian, atau pem buatan Code Civil Jerman yang
didasarkan pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian. 12
Hukum Romawi berkembang sangat panjang dalam sejarah. Dalam perkembangan
yang cukup lama tersebut, ada berbagai cara membagi tahap-tahap perkembangan hukum
Romawi. Salah satunya ialah dengan membagi perkembangan hukum Romawi ke dalam
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap awal hukum Romawi.
2. Tahap republik
3. Tahap awal imperium
4. Tahap imperium kristiani
5. Tahap Code Justinian.
6. Tahap hukum Kanonik.
7. Tahap kodifikasi Barbar.
8. Tahap pengkajian kembali hukum Romawi.
9. Tahap resepsi hukum Romawi13
Setelah hukum Romawi dikembangkan oleh bangsa Romawi sendiri selama lebih
2000 tahun, kemudian hukum tersebut dikembangkan lagi oleh bangsa-bangsa lain yang telah
menerapkan hukum Romawi dan terus berkembang sampai saat ini dalam bentuk tradisi
hukum Eropa Kontinental, atau yang disebut dengan sebutan tradisi hukum Civil Law.
Sampai sejauh ini, sistem hukum Romawi melalui tradisi hukum Eropa Kontinental ini hanya
mendapatkan rival yang sebenarnya tidak sebanding (terutama jika dibandingkan dengan
usianya) yaitu tradisi hukum Anglo Saxon atau sering disebut pula hukum Common Law.14
Di awal era perkembangan hukum Romawi, suatu aturan hukum dikenal dalam
beberapa bentuk sebagai berikut.
1. Leges Regiae
Leges Regiae merupakan suatu aturan umum dengan mengambil corak Undang- Undang
Dua Belas Pasal.
2. Instruksi
Ini merupakan instruksi untuk melaksanakan hukum yang dilakukan baik oleh para
pendeta atau pun oleh orang biasa.
3. Formula instruksi lisan
Formula instruksi lisan untuk menjalankan tugas-tugas suci yang biasanya dikombinasikan
dengan instruksi yang bersifat seremonial
4. Responsa atau Decreta
12
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 201
13
ibid. Hal. 201
14
ibid. Hal. 203
Responsa atau Decreta merupakan pendapat atau jawaban terhadap permasalahan yang
berkenaan dengan perbuatan yang sacral. 15
Corpus Iuris Civilis (the body of civil law) adalah kodifikasi hukum perdata yang
dibuat di abad ke-6 di bawah pemerintahan Kaisar Justinianus (482/483-565), Kaisar Romawi
(Bizantinium), yang terdiri dari;
1. Digestae atau Pandectae yang merupakan himpunan tulisan-tulisan hukum para ahli
hukum;
2. Institutiones semacam buku pelajaran untuk mahasiswa hukum yang sebagian besar
dikutip dari tulisan Gaius;
3. Codex merupakan himpunan peraturan-peraturan dari kaisar-kaisar sebelumnya;
4. Novellae yang ditambahkan kemudian dan berisi hukum-hukum baru sesudah
selesainya tiga bagian pertama di tahun 534.16
Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi besar lainnya, yaitu
Code Napoleon (1804 M), di samping dasar lainnya berupa kebiasaan setempat. Untuk
sekadar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon tersebut, beberapa prinsip hukum yang ada
di dalamnya dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada hukum berlaku
surut;
2. Hakim yang menolak perkara dengan alasan undang-undangnya tidak jelas, kabur, atau
tidak cukup diatur, harus bertanggung jawab karena menolak keadilan;
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya;
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alasan perzinaan yang dilakukan oleh
isterinya;
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alasan perzinaan yang dilakukan oleh
suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat tinggal bersama mereka;
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alasan adanya
tindakan kasar, memukul, atau melukai pasangannya oleh yang satu terhadap yang
lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah dijatuhkan hukuman oleh
pengadilan. 17

B. Proses Pengadilan di Zaman Romawi


Sejarah Hukum Romawi dapat dibagi menjadi tiga sistem prosedur: bahwa
dari actiones legis, sistem formularium, dancognitio Ordinem ekstra. Periode di mana sistem
ini digunakan tumpang tindih satu sama lain dan tidak memiliki jeda yang pasti, tetapi dapat
dinyatakan bahwa sistem legislatif berlaku dari saat Tabel XII (c. 450 SM) sampai sekitar
akhir 2 abad SM, bahwa prosedur formularium terutama digunakan dari abad terakhir
Republik sampai akhir periode klasik (sekitar 200 M), dan prosedur cognitio extra ordinem
digunakan pada zaman pasca-klasik.
Selama masa republik dan hingga birokratisasi prosedur peradilan Romawi, hakim
biasanya adalah orang pribadi (iudex privatus). Hakim harus warga negara laki-laki
Romawi. Para pihak dapat menyetujui seorang hakim, atau mereka dapat menunjuk salah satu
15
Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the Clarendon Press. Hal. 16 dalam
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 207
16
Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi. Hal. 12
17
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 208
dari daftar, yang disebut album iudicum . Mereka turun daftar sampai mereka menemukan
hakim yang cocok untuk kedua belah pihak, atau jika tidak ada yang dapat ditemukan, mereka
harus mengambil yang terakhir dalam daftar.
Tidak ada yang memiliki kewajiban hukum untuk mengadili sebuah kasus. Hakim
memiliki kebebasan yang besar dalam cara dia melakukan litigasi. Dia mempertimbangkan
semua bukti dan memutuskan dengan cara yang tampaknya adil. Karena hakim bukan ahli
hukum atau teknisi hukum, dia sering berkonsultasi dengan ahli hukum tentang aspek teknis
perkara, tetapi dia tidak terikat oleh jawaban ahli hukum. Di akhir proses pengadilan, jika ada
sesuatu yang tidak jelas baginya, dia bisa menolak memberikan penilaian, dengan bersumpah
bahwa itu tidak jelas. Selain itu, ada waktu maksimum untuk mengeluarkan keputusan, yang
bergantung pada beberapa masalah teknis.
Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan dengan
hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses peradilan, karena
masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat banyak sehingga dianggap hanya
masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak merangsang, bahkan sangat menghambat
upaya pencari keadilan dalam membawa kasus-kasusnya ke pengadilan. Konsekuensi dari
minimnya keterlibatan negara dalam kasus-kasus perdata ialah terdapatnya ketentuan-
ketentuan hukum Romawi dalam perkara perdata, antara lain sebagai berikut:
1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan;
2. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk menghadap
pengadilan.
3. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke pengadilan
4. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi) sendiri terhadap
putusan pengadilan.
5. Karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak tahap yang
harus dilalui dan diatur secara sangat rigid, yang apabila keliru sedikit dapat
menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang harus dilakukan sendiri oleh
para pihak yang berperkara, maka risikio akan semakin lebih banyak ditanggung oleh
para pihak tersebut sebagai pencari keadilan. 18
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur tertentu
yang cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur pengadilan dibagi ke
dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap hearing preliminary
2. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim memeriksa
perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan dalam menyelesaikan persoalan di antara para
pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena itu, kedua belah pihak wajib hadir
dalam hearing preliminary tersebut. Dalam proses hearing preliminary ini, kedua belah pihak
saling beradu argumen dalam hubungan dengan kasus yang bersangkutan. Prosedurnya sangat
rigid sehingga salah sedikit saja dapat menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya. Mirip
seperti sistem writ dalam sistem hukum Anglo Saxon.

18
ibid. Hal. 208-209
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan, yaitu sebagai
berikut.
1. Tindakan Sacramentum
2. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio
3. Tindakan Concictio.
Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai suatu kasus
yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk tindakan lain. Asal muasal
tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di antara para pihak yang bersengketa,
tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian kasusnya diputuskan dengan ordeal atau pun
bantuan supranatural. Dalam perkembangan selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi
tindakan sumpah yang disertai dengan pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang
untuk sementara dimenangkan oleh Magistrate. Prosedur sacramentum berbeda antara
gugatan berkenaan dengan benda (in rem) dan prosedur jika gugatan berkenaan dengan
pribadi (in personam). Prosedur sacramentum juga memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menyelesaikan persoaloannya dan waktu yang tersedia cukup untuk itu, karena
proses pengadilan baru boleh dilangsungkan paling cepat dalam waktu 30 hari setelah proses
sacramentum.
Sedangkan, berkenaan dengan tindakan iudicis arbitrive postuliatio, prosedur hearing
preliminary dalam bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh undang-undang
yang berlaku. Ada lagi tindakan yang dapat dilakukan dalam proses hearing preliminary,
yaitu tindakan yang disebut dengan condictio. Tindakan condictio juga lebih sederhana dari
tindakan sacramentum dan dilakukan tanpa sumpah, tetapi banyak formalitas seperti yang
berlaku untuk tindakan sacramento.19
Penunjukan hakum merupakan tahap terakhir dalam proses hearing preliminary. Ada
beberapa model penunjukan hakim yang berlaku dalam sistem hukum Romawi, yang
umumnya tergantung pada jenis kasus tersebut. Model- model penunjukan hakim tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Penunjukan hakim tunggal dari orang biasa (lay judge).

2. Penunjukan beberapa hakim dari orang biasa.

3. Penunjukan centumviri (seratus orang) dari orang biasa.

4. Penunjukan decemviri (sepuluh orang) dari orang biasa.

5. Penunjukan recuperatores (orang biasa yang dipilih oleh magistrate)20
Sebagai negara yang sistem hukumnya sudah relatif maju, tentu pembuatan kontrak
sehari-hari sudah banyak dilakukan oleh masyarakatnya. Untuk mendapatkan gambaran
tentang kontrak-kontrak yang dibuat di masa Romawi tersebut, berikut ini contoh kontrak
tentang jual beli budak, yaitu sebagai berikut :
Terhadap Agoronami dari... dari Sarapion, anak angkat dari Zoilus bin Apion, saya
bersumpah atas nama Raja Caesar Titus Aelius Hadrianus Antoninus Augustus Pius
bahwa saya telah menjual kepada Agathodaemon, manusia merdeka dari
Heraclidses dan Sarapion yang dipanggil Dorion. Anak kedua dari Sarapion yang
berasal dari kota yang sama dan budak kelahiran di rumah, yaitu Didymus,

19
ibid. Hal. 211-212
20
Borkowski, Andrew. 1994. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press Limited. Hal. 69
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum
merupakan milik saya karena warisan dari ayah angkat saya, yang merupakan
paman saya dan sekarang telah meninggal dunia. Budak ini bebas dari segala celaan
dan bebas dari epilepsi serta leprosi. Saya selanjutnya bersumpah bahwa dia adalah
milik saya dan tidak sedang dalam jaminan utang atau jaminan apapun. Saya
memberikan harga 1300 uang perak, karena itu saya menggaransi transaksi ini.
Saya akan baik-baik saja jika saya bersumpah kepada yang sebenar-benar terjadi,
tetapi akan sebaliknya jika saya bersumpah palsu. 21
Selain itu, kontrak perkawinan antara suami atau calon suami dengan isteri atau calon isteri
juga sudah banyak terjadi di zaman Romawi. Berikut ini sebuah contoh dari kontrak
perkawinan dimaksud :
Kepada Protarchus dari Thermion binti Apion, dengan walinya yaitu Apollonius
bin Chaereas, dan dari Apollonius bin Ptolemaeus. Thermion dan Apollonius bin
Ptolemaeus telah bersetuju bahwa mereka hidup bersama untuk sama-sama
menempuh rumah tangga dan Apollonius bin Ptolemaeus tersebut mengakui bahwa
dia telah menerima dari Thermion pemberian sebagai hadiah perkawinan sepasang
anting-anting emas yang beratnya tiga perempat dan perak drachmae; dan dari
sekarang Apollonius bin Ptolemeus harus memberikan kepada Thermion sebagai
isterinya semua kebutuhan dan pakaian yang pantas dan tidak boleh
memperlakukannya semena-mena, tidak boleh juga menyakitinya atau mencari
isteri lain. Atau dia dapat langsung mengambil hadiah perkawinan satu setengah
kali, dengan hak eksekusi baik terhadap orangnya yaitu Apollonius bin Ptolemaeus,
maupun terhadap semua harta bendanya seolah-olah seperti kekuatan suatu putusan
hukum, dan Thermeon harus melaksanakan kewajibannya terhadap suaminya
secara hidup bersama, dan tidak boleh merusak atau mengabaikan rumah
bersamanya juga tidak boleh berhubungan dengan laki-laki lain, atau jika isterinya
tersebut bersalah, maka melalui putusan pengadilan, dapat diambil hadiah
perkawinan. Dan sebagai tambahan, pihak yang telah melakukan kesalahan
berkewajiban pula membayar denda. Tahun ke-17 dari raja Caesar.22
Di samping itu, putusan pengadilan tertulis di Romawi juga pernah ditemukan oleh sejarah
hukum. Berikut ini sebuah contoh rekaman putusan pengadilan dalam kasus perdata yang
ditemukan di dekat Genoa dan ditulis di atas lempengan perunggu.
Putusan Genoa, 117 SM
Quintus dan Marcus Minutius Bin Quintus dari klan Rufus memiliki yurisdiksi
antara Genoese dan Viturians. Dengan kehadirannya, telah dicapai suatu putusan
terhadap masalah tersebut dengan memiliki ha katas tanah dan batas-batasnya yang
telah ditentukan. Telah diambil suatu putusan sesuai resolusi dari Senat, pada Ides
dari December, dengan konsulatnya adalah Lucius Cecilius bin Quintus dan
Quintus Mucius Bin Quintus, dengan putusan sebagai berikut:
“Tanah pertanian di Castellus dari Vinturii Langenses adalah hak milik pribadi dari
Viturians beserta keturunannya dan tidak terkena pajak.”
Batas-batasnya adalah sebagai berikut:
Dimulai dari mulut Sungai Manicelo sampai pada tempat pertemuan dengan Sungai
Ede, disana ada batu tanda pembatas, terus di sepanjang Sungai sampai bertemu

21
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 267 dalam Fuady,
Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 234
22
ibid. Hal. 234- 235
Sungai Lemur; karena itu, disepanjang Sungai Lamuri sampai ke Sungai
Cumberanea; karena itu, disepanjang tepi Sungai Cumberanea terus ke Lembah
Captiema; dan karena itu, di sana ada dua batu pembatas di jalan Pastumia dan
satunya lagi di luar jalan. Dari batu pembatas di luar jalan, lurus ke Manicelo; ke
pembatas di Sungai Ede yang tadi telah disebutkan.”
Tanah berikut ini diputuskan menjadi tanah public. Viturii dari Castellus Langascus
memiliki kepemilikan dan hak kenikmatan yang sah. Untuk tanah ini, Vinturii
Langenses harus membayar sebanyak 400 veiturii per tahun sebagai sewa dari
kantor bendahara Genoa. Jika mereka gagal membayar jumlah tersebut dan
melunasi kepada Genoese dengan cara-cara yang lain yang dapat diterima dan
asalkan Genoese bukan merupakan penyebab penundaan. Langense terikat untuk
menyerahkan setiap tahunnya kepada kantor perbendaharaan Genoa bagian yang ke
dua puluh dari gandum yang dihasilkan di atas tanah tersebut dan bagian keenam
dari anggur.
Berkenaan dengan Viturii yang bersengketa dengan Genoese, diadili dan dijatuhi
hukuman karena melakukan penganiayaan. Jika setiap dari mereka masih dalam
penjara untuk tuduhan tindak pidana tersebut, diputuskan bahwa mereka harus
segera dibebaskan dengan syarat mereka tidak lagi membuat perluasan dari
Meadowland di luar area yang telah dikuasainya di musimpanas yang lalu.
(Tanda Tangan)
Marcus Meticanius Bin Metico (Representatif dari Genoa). Plaucus Bin Pelion Bin
Pelius (Representatif dari Viturii) 23
Hukum Romawi ternyata banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat terbaca
sampai sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis undang- undang atau
dokumen hukum lainnya diatas batu marmer dan lempengan perunggu. Tidak kurang
dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di Capitoline Hill, suatu
perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah hilang.
Hukum Romawi sebagaimana terdapat dalam Corpus Juris Civilis terus saja
berlaku dan berkembang, kecuali beberapa abad di masa invasi dari bangsa Arab,
Slavia, dan Lombardia, bahkan setelah jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia Barat yang
terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang saling terpecah-pecah, hukum Romawi tetap
diberlakukan, bahkan tetap diberlakukan oleh para penakluk dari bangsa Germania,
disamping berlakunya hukum kanonik (grejawi).
Memang, dengan jatuhnya Kerajaan Romawi, penggunaan Corpus Juris Civilis
juga semakin meredup. Para penakluk disamping membawa hukumnya yang merupakan
hukum Germania, memberlakukan pula hukum Romawi, tetapi dalam versi yang kurang
jelimet dan lebih kasar pengaturannya, khususnya yang diberlakukan di Semenanjung
Italia. Akibatnya, hukum Romawi yang asli (bukan dari Corpus Juris Civilis) yang
bercampur dengan hukum Germania kemudian berlaku di Italia, Prancis Selatan, dan
Semenanjung Iberia. Namun, sejarah menunjukkan bahwa hukum Romawi campuran
Germania, yang dianggap hukum Romawi yang vulgar dan bar-bar, dikemudian hari

23
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 236
tidak diikuti lagi dalam pembuatan-pembuatan kodifikasi sehingga hanya tinggal dalam
sejarah.
Disamping itu, pada abad pertengahan, hukum kebiasaan bangsa Germania yang
mulai ditulis pada abad ke-5 M sedikit banyaknya memengaruhi perkembangan sistem
hukum Eropa Kontinental, seperti dalam bidang hukum harta perkawinan dan hukum
waris. Hanya saja, pengaruh dari hukum bangsa Germania ini kemudian meredup
karena sifatnya yang sangat simpel (lay character) dan hukum acara yang kasar, seperti
penggunaan mistik dalam bentuk ordeal misalnya. Hukum-hukum seperti bidang
kepemilikan modern dan hukum dagang, ternyata juga tidak berasal dari hukum
Romawi, tetapi merupakan hukum yang tercipta pada abad pertengahan.
Menurut hukum Romawi, suatu pembunuhan terencana tidak mungkin
dimaafkan, baik oleh manusia maupun oleh dewa-dewa, di mana hukumannya adalah
hukuman mati. Dalam hukum Romawi Hippodamus pada abad ke-5 SM menyatakan
bahwa, bahwa yang dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:
a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).
Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu gugatan
hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi kontrak dapat
mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada gilirannya dapat
menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan penganiayaan dan
pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, dalam hal ini. hukum-
hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan penghinaan, penganiayaan, dan
pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak yang tidak bersentuhan dengan salah
satu dari tiga unsur tersebut tidak mendapatkan tempat di pengadilan, hanya diatur dan
diberikan sanksi oleh moral dan agama.24

24
ibid. Hal. 202
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Prestasinya bangsa Romawi dibidang hukum tidak bisa ditandingi oleh bangsa-
bangsa lain mana pun di dunia, bahkan tidak bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa yang
hidup di zaman modern sekalipun. Sampai sekarang pun tidak ada Negara di dunia ini
yang hukumnya tidak terkena pengaruh hukum Romawi, baik hukum di negara yang
berlaku sistem hukum Anglo Saxon, sistem hukum Sosialis, sistem hukum Islam,
Hindu, Buddha, apalagi di negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental.
Keperkasaan bangsa Romawi dalam membuat hukum memang sudah menjadi legenda.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan hukum
Romawi di Zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari berlakunya
Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) di tahun 450 SM, sampai dengan
terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M, dengan para ahli
hukum Romawi seperti Ulpianus, Papianianus, dan Gaius.

B. Saran
Bangsa Indonesia seharusnya sudah bisa membuat kodifikasi hukum-nya sendiri
seperti yang dilakukan oleh bangsa romawi kuno. agar Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada dibahas oleh Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat disegerakan untuk disahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi.
Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press
Limited.
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Justinian.
1985.
Gadjong, Agussalim Andi. 2019. Ilmu Negara. Kretakupa. Makassar
Hegel, G.W.F.2005. Filsafat Sejarah. Pustaka. Yogyakarta
Moniarti, Rika. 2002. Sejarah Peradaban Kuno. Mitra Sarana. Bandung
Prof.Dr.Sunarmi. 2016. Sejarah hukum. Kencana. Jakarta
Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the Clarendon
Press. Hal. 16
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited.
Wilujeng D. 2007. Romawi Kuno. Semarang. Alprin.

Sumber lainnya :
Wikipedia, “Kerajaan Romawi” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi (3
Desember 2020)
MAKALAH
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL

Oleh:

Nama: Zenia Rut Nelani Paath


NIM: 20202108075
Dosen: Dr. Devy K. G. Sondakh, S.H, M.H

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PROGRAM PASCASARJANA

MANADO

2020

i
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pada hakekatnya perkembangan hukum di dunia, berawal dan berlangsung
tidak terlepas dari eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. tidak mengherankan
ketika individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat selalu berkeinginan
untuk hidup bermasyarakat dan dengan sifat ketergantungan baik antara individu,
yang satu dengan yang lain maupun antara kelompok dengan individu dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri. Sifat-sifat keinginan manusia untuk
bermasyarakat dimana, sebagai mahkluk sosial yang saling membutuhkan yang
bersifat alamiah.1
Dari perilaku dan sifat-sifat manusia di atas, tidak terhindar dari naluri
kekuasaan dan keserakahan dari individu atau kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain, dengan tujuan superiotitas atau mendapatkan kedudukan yang
lebih tinggi derajatnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat kekuasaannya.
Agar terhindar dari benturan kepentingan dan sifat keserahkahan manusia
atau kelompok untuk berkuasa, di butuhkan sebuah perangkat (Hukum) untuk
mengimbangi dan menjamin hak-hak fundamental yang di miliki oleh setiap orang
agar tidak dapat di langgar atau di tindas oleh pihak yang berkuasa.
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari
ilmu sejarah (bukan cabang dari ilmu hukum), yang mempelajari (studying),
menganalisa (analising), memverifikasi (verifiying), menginterpretasi
(interpreting), menyusun dalil (setting the clausule), dan kecenderungan
(tendention), menarik kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang setiap fakta,
konsep, kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku.2
Baik yang secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta
ketersentuhannya dengan apa yang terjadi di masa kini, baik seperti yang terdapat
dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan, terutama penekananya atas
karakteristik keunikan fakta dan norma tersebut, sehingga dapat menemukan gejala,

1
Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum (Malang: UMM Pres, 2002), hlm: 11.
2
Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009).Hlm 1

1
dalil, dan perkembangan hukum di masa yang lalu yang dapat memberikan
wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya, dalam mengartikan dan
memahami hukum yang berlaku saat ini.3
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dari asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
membandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah hukum ini terutama berkait dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam
hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-1861). Dalam studi sejarah hukum
ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang
bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-
masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa sistem hukum itu tumbuh, maka
yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang
dengan yang lalu. Apalagi dapat diterima bahwa hukum sekarang berasal dari yang
sebelumnya atau hukum pada masa-masa lampau, maka hal itu berarti, bahwa
hukum yang sekarang dibentuk oleh prosesproses yang berlangsung pada masa
lampau.4
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,
sedangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dalam hal itu, yakni hukum. Apa yang
berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, serta maksud dan
tujuan sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga “dalil-dalil
atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan”. Jadi, dengan demikian
permasalahan yang dihadapi sejarawan hukum tidak kurang “imposible” daripada
setiap penyelidik dalam bidang apapun. Namun dengan mengutarakan bahwa
sejarawan hukum harus berikhtiar untuk melakukan penulisan sejarah secara
integral, nampaknya Van den Brink terlampau jauh jangkauannya. Justru pada
tahap terakhir ia melangkahi tujuan spesifik sejarah hukum ini. Sudah barang tentu
bahwa sejarawan hukum harus memberikan sumbangsihnya kepada penulisan

3
Anshori, Abdul Ghofur. "Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional." Jurnal Fakultas Hukum UII 2.2
(2008): 159-172.
4
R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Hlm 319

2
secara terpadu. Bahkan sumbangsih tersebut teramat penting, mengingat peran yang
begitu besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hukum
manusia.5
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis membuat makalah yang
berjudul Tentang Sejarah Hukum Internasional.
2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik
Hingga Masa Moderen ?

5
John Gilissen, Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Adita
Utama, 2009).

3
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga
Masa Moderen
Sejarah hukum sangat penting karena melalui sejarah hukum kita akan
mampu menjajaki berbagai aspek hukum pada masa yang lalu, hal mana akan dapat
memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-
institusi hukum yang ada. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau
merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada
masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara
ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.
Dalam hukum memang sangat sulit di temukan suatu definisi yang sunggu-
sungguh dapat memadai kenyataan. Para sarjana hukum memberikan definisi
tentang hukum terdapat perbedaan pandangan, dan menurut seleranya masing-
masing sesuai dengan objek penelitiannya. Hal ini di sebabkan masing-masing
sarjana hukum terpaku pada pandangannya sendiri. Tegasnya, para sarjana itu
terikat pada alam sekitar dan kebudayaan yang ada ataupun terikat pada situasi yang
mengelilinginya.
Van Apeldoorn, hukum adalah suatu gejalah sosial; tidak ada masyarakat
yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek dari kebudayaan
seperti agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan. 6
Oleh sebab itu berdasarkan pembahasan diatas Adapun sejarah
perkembangan hukum yang penulis dapat uraikan yaitu:
A. Hukum Klasik
1. India Kuno
Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga hukum yang
mengatur hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce,
adat kebiasaan yang mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa Dharma.
Gautama Sutera dan undang-undang Manu memuat tentang hukum kerajaan.

6
L.j Van Apeldoorn dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, PT.REVIKA Aditama,Bandung,2006,Hlm.82-83

4
Hukum yang mengatur hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat
dikatakan sebagai hukum internasional, karena belum ada pemisahan dengan
agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu
sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja
atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak
istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan
cara berperang.7
2. Cina Kuno
Cina memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk
kelompok-kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara yang
bersifat regional tributary state. Pembentukan perserikatan negara-negara
Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu.
3. Yunani Kuno
Menurut Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum intermunicipal, yaitu
kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota,
seperti ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan
perang. Kaidah-kaidah intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga
dari negara kota. Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh
agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum. Moral, keadilan,
dan agama.8
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang Yunani
dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal ketentuan
perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul). Sumbangan yang terpenting bagi
hukum adalah konsep hukum alam, konsep ini kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh orang-orang Romawi.9
4. Romawi Kuno
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan
tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu

7
Mochtar Kusumaatmaja, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003. Hlm 26.
8
Starke J.G, Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Hlm 9.
9
Ibid: 27

5
imperium, yaitu Imperium Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi
perkembangan hukum pada umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan
hukum. Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius
Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan
sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan
dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam) meliputi seluruh
penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum pada umumnya yaitu
dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar Justinianus. Konsep-
konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima dalam hukum
internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt servanda,
Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami
perkembangan Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly
Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang
berdiri sendiri, serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal,
yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya negara-negara
merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar
bangsa-bangsa. 10
B. Masa Abad Pertengahan
1.Hukum Pada Abad ke 15 dan 16
Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa
kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di
bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim
kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat
yang bersifat feodal dan Tahta Suci.
Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen,
yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran
gereja. Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan
peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang

10
Ibid: 8-9.

6
(reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380.11
Meskipun pada abad pertengahan hukum tidak mengalami perkembangan
yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara
yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia,
Portugal, benih-benih perkembangan hukum internasional mulai bermunculan.
Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur peperangan,
perdamaian, gencatan senjata dan persekutuan-persekutuan.
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi,
seperti yang dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan
seiring dengan mulai terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin
dalam Buku Six Livers De la Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan
atau kekuasaan bagi pembentukan hukum merupakan hak mutlak bagi lahirnya
entitas suatu negara.
Pada akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan dalam isu-
isu politik, pertahanan dan militer. Hukum mengenai pengambilalihan wilayah
berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa
ahli hukum seperti, Fransisco De Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas
Salamanca Spanyol bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia
menulis buku Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan bangsa Spanyol dan
Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga
dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, dan ius inter
gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa Eropa tetapi
juga bagi semua umat manusia.
Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil
pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum perang, doktrin perang adil,
pembentukan traktat, hak-hak budak dan kebebasan di laut.12
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa pencerahan
ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi keagamaan yang telah

11
Thontowi Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, Bandung, 2006. Hlm 34.
12
Ibid: 35-36

7
memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di Eropa dan
menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi
suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang
berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya
serangkaian kaidah untuk mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai
kata tidak terdapat kaidah-kaidah kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib
menemukan dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan
analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok
bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-preseden sejarah kuno,
hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam.13 Diantara penulis-
penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De Groot atau Grotius, Vittoria (1480-
1546), Belli (1502-1575), Brunus (1491-1563), Fernando Vasgues de Menchaca
(1512-1569), dan Ayala (1548-1617). Tulisan-tulisan para ahli hukum ini yang
terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional
pada abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan eropa telah
mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan
berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan yang seragam.
Francisco Suares (1548-1617), yang menulis buku De Legibus ae Deo
Legislatore (on Laws and Good as Legislator) yang mengemukakan adanya suatu
hukum atau kaidah objektif yang harus diikuti oleh negara-negara dalam hubungan
antar mereka. Ia juga meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang
meliputi seluruh umat manusia dan gentilis.
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas
keadaan hukum moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional.
Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace (de jure Belli ac
Pacis) tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis
selanjutnya serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan.
Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum adalah pembedaan antara

13
Starke J.G, Op.cit. hlm 10.

8
hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri
terlepas dari hukum alam, dan mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak
negara-negara itu sendiri. Beberapa doktrin Grotius bagi perkembangan hukum
moderen adalah pembedaan antara perang adil dan tidak adil, pengakuan atas hak-
hak dan kebebasan-kebebasan individu, netralitas terbatas, gagasan tentang
perdamaian, konferensi-konferensi periodik antara pengusa-penguasa negara serta
kebebasan di laut yang termuat dalam buku Mare Liberium tahun 1609.
Samuel Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et Gentium
menyatakan bahwa hukum dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal dan
perang sebagai alat hanya dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche
(1590-1660), penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada
hukum dalam keadaan damai dari pada hukum perang.14
C. Hukum Moderen
1. Pada abad ke 17 dan 18
Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum, oleh Jeremy
Bentham.15 Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum itu sendiri, yaitu
adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini
sebagai akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of
Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama
yang berlangsung lebih dari 30 tahun di Eropa.16 Menurut Mochtar Kusumaatmaja,
perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum
internasional moderen dan meletakkan dasar-dasar masyarakat moderen. Bentuk
negara-negara tidak lagi berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan atas negara-negara
nasional, serta adanya pemisahan antara gereja dengan urusan pemerintahan. Dasar-
dasar perjanjan Westphalia kemudian diperkuat lagi dengan adanya perjanjian
Utrecht, yaitu dengan menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik

14
Thontowi, Jawahir. "Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional." Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum
(Research Law Journal) 8.1 (2013).
15
Ibid, hlm. 34.
16
Ibid, hlm. 40

9
internasional17
Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-
kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan dan
mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip
tersebut.18 Para penulis terkemuka pada abad ke 17 dan 18 antara lain : Cornelis
Van Bynkershoek (1673-1743), yang mengemukakan pentingnya actual practice
dari negara-negara dari pada hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori
tentang hak dan kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694),
mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai negara dunia meliputi
negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam Receuil des Traites yaitu
suatu kumpulan perjanjian yang masih merupakan suatu kumpulan berharga hingga
sekarang. Emmerich De Vattel (1714-1767) memperkenalkan prinsip persamaan
antar negara-negara.
2. Pada abad ke 19
Hukum berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di dalam
maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-
penemuan baru, terutama di bidang persenjataan militer untuk perang.
Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem hukum yang
bersifat tegas untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut. Pada abad ini juga
mengalami perkembangan kaidah-kaidah tentang perang dan netralitas, serta
meningkatnya penyelesaian perkara-perkara melalui lembaga Arbitrase. Praktek
negara-negara juga mulai terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk
mengatur hubungan-hubungan antar negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih
memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku dan menyampingkan konsep
hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada reason dan justice, terutama
apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan.19 Para ahli hukum yang
terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton, menulis buku Elements of

17
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003. Hlm. 30-32.
18
Starke J.G, Op.cit. hlm 13.
19
Ibid: 8

10
International Law; De Martens, menulis buku yang semata-mata didasarkan atas
praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent, Kluber, Philimore, Calvo,
Fiore, Hall.
3. Abad ke 20 dan Dewasa ini
Hukum imengalami perkembangan yang cukup penting Pada abad ini mulai
dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague 1899 dan 1907.
Pembentukan Permanent Court of International Justice sebagai pengadilan
yudicial internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian digantikan oleh
International Court of Justice tahun 1948 hingga sekarang. Terbentuk juga
organisasi internasional yang fungsinya menyerupai pemerintahan dunia untuk
tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia, seperti Liga Bangsa Bangsa,
yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adanya perluasan
ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial ekonomi tetapi juga
mencakup perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebesasan fundamental individu.
Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian pada praktek-praktek
dan putusan-putusan pengadilan. 20
Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat moderen, maka hukum
internasional dituntut agar dapat mengatur mengenai energi nuklir dan
termonuklir, perdagangan internasional. Pengangkutan internasional melalui laut,
pengaturan ruang angkasa di luar atmosfir dan di ruang kosmos, pengawasan
lingkungan hidup, menetapkan rezim baru untuk eksplorasi dan eksploitasi
sumber-sumber daya alam di dasar laut di luar batas-batas teritorial, sistim jaringan
informasi dan pengamana data-data komputer serta terorisme internasional.21
Beberapa persoalan hukum yang kerap kali timbul dalam hubungan
internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian yang menimpa warga negara
suatu negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asing oleh suatu
negara, persoalan nasionalitas, pemberlakuan extrateritorial beberapa perundangan
nasional, penafsiran perjanjian internasional, serta pemberlakuan suatu perjanjian
yang rumit diberlakukan sebagian besar negara di bidang perdagangan, keuangan,

20
Ibid: 14-15.
21
Ibid, hlm. 16

11
pengangkutan, penerbangan, energi nuklir. Pelanggran hukum internasional yang
berakibat perang, perlucutan senjata dan perdagangan senjata ilegal.22 Berbagai
persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum internasional tetap diperlukan untuk
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam hubungan internasional Hukum
iunternasional diharapkan dapat mengatur dan memberikan penyelesaian hukum
yang tepat dan adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh negara-negara atau
pihak-pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan perundangan nasional suatu
negara, dalam suatu tatanan sistim hukum internasional yang bersifat global.23
Pekembangan hukum pada abad ini juga karena adanya pengaruh dari
peradaban Yunani, Mesir Kuno, dan Romawi Kuno yang kemudian diadaptasikan
menjadi sebuah budaya yang bernama “Renaisans”. “Renaisans” merupakan
sebuah gerakan budaya yang berkembang pada masa abad ke-14 hingga abad ke-
17, dimana paham ini berkontribusi dalam perkembangan observasi, diplomasi, dan
peningkatan ilmu pengetahuan. Renaisans dianggap mewariskan prasyarat
pemikiran independen, kritis, dan pendekatan humanistik, serta kerangka hukum
politiik dimasa depan (Shaw, 2008). Adanya perkembangan didalam hukum ini
dilihat dari adanya perkembangan di bidang politik, hukum, budaya, ideologi, dan
masih banyak lagi. Perkembangan hukum pada aspek politik dapat dilihat dari
sebelumnya adanya pengaruh penguasa duniawi dan gerejawi, yang rata-rata
menguasai beberapa aspek dalam sebuah kerajaan, seperti ekonomi, agama,
ideologi, dan kultural.24

22
Ibid, hlm. 18
23
A. Arsensius, Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga
Masa Moderen (Doctoral dissertation, Tanjungpura University).
24
Christmas, S. K., & Purwanti, E. (2020). Perkembangan Sistem Pemerintahan dan
Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi Perancis Terhadap Hukum Internasional. Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, 2(2), 222-235.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum tumbuh dan berkembang sesuai zamannya, yang diawali pada masa
klasik, seperti pada masa India kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno dan Romawi Kuno,
dalam bentuk kaidah-kaidah kebiasaan dan aturan-aturan yang dibuat oleh suatu
bangsa atau kerajaan yang mengatur hubungan diantara mereka dalam bentuk yang
masih sederhana dan bersifat terbatas untuk bidang-bidang tertentu saja. Pada masa
kelasik dan abad pertengahan, hukum tidak banyak mengalami perkembangan.
Baru setelah masa itu, yaitu pada abad ke 16, 17, 18, 19, 20, dan dewasa ini, hukum
moderen tumbuh dan berkembang sesuai zamannya, dari segi teori-teori, azas-
azas, lembaga-lembaga dalam hukum.
Saran
Untuk bisa memahami secara sistematis proses terbentuknya hukum, faktor
yang menyebabkan dsb dan memberikan tambahan pengetahuan yang berharga
untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Ghofur Anshori, "Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional." Jurnal
Fakultas Hukum UII 2.2 (2008): 159-172.
Apeldoorn L.j Van. dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, PT.REVIKA Aditama,Bandung. 2006.
Fuady, Munir. Sejarah Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Gilissen, John. Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika
Adita Utama, 2009.
J.G, Starke. Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Jawahir Thontowi. dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Refika Aditama, Bandung. 2006.
Kusumaatmaja, Mochtar. dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung, 2003.
Soeroso. R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
SP, Wasis. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: UMM Pres, 2002.
B. Jurnal
Anshori, Abdul Ghofur. "Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional." Jurnal
Fakultas Hukum UII 2.2 (2008): 159-172.
Arsensius, A. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik
Hingga Masa Moderen (Doctoral dissertation, Tanjungpura University).
Christmas, S. K., & Purwanti, E. (2020). Perkembangan Sistem Pemerintahan dan
Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi Perancis Terhadap Hukum
Internasional. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(2), 222-235.
Thontowi, Jawahir. "Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional." Pandecta: Jurnal
Penelitian Ilmu Hukum (Research Law Journal) 8.1 (2013).

14
C. Hasil Penelitian
Imam Sujono, Skripsi: Perkembangan Teori Hukum Murni Di Indonesia,
Universitas Bhayangkara Program Magister Ilmu Hukum, Tahun 2019.

15
MAKALAH

SEJARAH HUKUM CHINA KUNO

Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H

Oleh :
Chandra Julyana
20202108025

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah merupakan suatu proses dari masa lampau ke masa kini. Sejarah
adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
yang benar-benar terjadi di masa lampau. Sejarah hukum untuk dapat mengetahui
hukum pada masa kini. Sejarah hukum marupakan salah satu bidang studi hukum
yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu
masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda, karena
dibatasi waktu yang berbeda pula.
Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti pohon,
syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history; Bahasa latin dan
Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti orang pandai.1 Bahasa
Spanyol menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa
Prancis histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche
hen yang berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif);2
Sejarah hukum dari masa ke masa menunjukkan bahwa unsur keadilan tidak
pernah hadir total dalam tubuh hukum, seperti juga unsur suara rakyat tidak pernah
singgaah menetap dalam tubuh demokrasi. Sebabnya, karena unsur keadilan dan
suara rakyat tergilas oleh terjadinya dilusi yang saling sambung-menyambung.
Menurut Munir Fuady, Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang
merupakan cabang dari ilmu sejarah (karenanya bukan cabang dari ilmu hukum).
Yang merupakan cabang dari ilmu hukum ) , yang mempelajari, menganalisis,
memverifikasi, menginterpretasi, Menyusun dalil dan kecenderungan, dan menarik
kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep, kaidah , dan aturan yang
berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik secara kronologis dan
sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan bidang lain dari
hukum. 3
Soedjono D, menjelaskan bahwa : “ sejarah hukum adalah salah satu
bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum
dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang
berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. 4

1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2
Ibid. hlm 2
3
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013) hlm 1
4
Sunarmi, Sejarah Hukum hal 12
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan
waktu. 5
Jadi sejarah hukum merupakan cabang dari ilmu sejarah, bukan cabang dari
ilmu hukum. Memang, ada bagian dari ilmu hukum yang erat kaitannya dengan
sejarah, yaitu diesbut dengan Historical Jurisprudence, tetapi ini berbeda dengan
ilmu sejarah hukum. Collingwood menjelaskan bahwa sejarah akan memberikan
makna bagi kehidupan manusia karena materi sejarah itu sendiri telah
memungkinkan terjadinya dialog antar dimensi waktu, yakni dialog antara waktu
yang telah lalu, waktu sekarang, dan bahkan waktu yang akan datang yang terjadi
secara terus-menerus . dalam dialog antar waktu tersebut, masing-masing dimensi
waktu memiliki posisi strategisnya masing-masing.
Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu akan sangat berguna
untuk dapat memahami dan menjelaskan kehidupan manusia yang terjadi pada saat
ini. Bahkan, peristiwa sejarah pada masa lalu dapat digunakan sebagai cerminan
guna menempuh kehidupan masa yang akan datang. Kesadaran untuk mengkaji
peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu guna mengantisipasi peristiwa pada
saat ini dan pula masa mendatang, seperti itulah yang akan membentuk kesadaran
sejarah. Sampai di sini dapat digaris bawahu bahwa sejarah sengat berguna untuk
mengembangkan kesadaran sejarah6.
Pada hakikatnya, pengetahuan sejarah adalah pengungkapan tentang
peristiwa, khususnya tentang bagaimana terjadinya peristiwa itu, mengapa
peristiwa itu terjadi, apa pengaruhnya terhadap masyarakat . sudah barang tentu,
penjelasan tentang bagaimana dan juga mencakup apa, siapa, dan kapannya. Esensi
dari setiap pengetahuan sejarah sebenarnya hendak menerangkan bagaimana
sesuatu terjadi, dan dengan demikian dianggap telah dterangkan atau dijelaskan
peristiwa itu. Ini berarti sejarah pada hakikatnya wajib melacak perkembangan
kejadian, jadi genetiknya. Memang keinginan tahu manusia tentang segala sesuatu
artifact, socigac, dan mentifact Kembali kepada pelacakan perkembangan mulai
dari asal mulanya ( genesisnya).

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah Sejarah Hukum China Kuno ?

5
Ibid,
6
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm 12
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum China Kuno


Diasumsikan bahwa perubahan adalah selalu suatu perubahan transional
yang tak terelakkan sehubungan dengan adanya keniscayaan dialektika yang
kodrati, dan termanifestasi dalam sejarah dari suatu model kehidupan tertentu ke
suatu model kehidupan tertentu yang lain. Sejalan dengan perubahan itu, hukum
pun sebagai komponen sistem kehidupan akan ikut pula berubah secara fungsional7.
China merupakan negara yang mempunyai penduduk terbanyak di dunia,
sekitar 1 miliyar dan satu juta jiwa sebuah negara yang amat luas dengan sebuah
inti China yang besara, terletak di wilayah antara dua buah sungai besar, dan
berlangsung berabad-abad sedikit banyak telah ditaklukkan oleh Negara Cina. Di
sebelah utara Mansuria dan Mongolia, dan Sin-Kiang serta Tibet di sebelah barat.
Di bagian selatan orang-orang Cina memasuki wilayah Indo-Cina, Indonesia ,dan
jazirah Malaysia.
Hukum Cina tradisional bukan merupakan tatanan hukum keagamaan yang
ketat , hal ini nampaknya lebih merupakan suatu tatanan hukum keagamaan
terintegrasi ke dalam sebuah ajaran filsafat yakni konfusionisme. Dan berhadapan
dengan tatanan hukum filosofis ini yang telah berdiri sejak lebih dari duaribu tahun
serta serta terutama bertumpu pada pengabdian aturan-aturan hukum ritual (yang
disebut li), maka para raja telah berupaya dengan bantuan kaum legis (ahli-ahli
hukum ), memasukkan sebuah tatanan hukum, yang didasarkan atas undang-undang
yang disebut fa, terutama undang-undang pidana. Sejarah hukum Cina ini adalah
pertentngan antara dua pandangan hukum yang telah berlangsung ber abad-abad ,
antara li dan fa,8 diantara ciri-ciri khas terpenting hukum China perlu disebutkan
disni pembagian masyarakat dalam kelas-kelas, dengan aturan-aturan hidup moral
dan yuridis sendiri-sendiri dan kepentingan keluarga sebagai dasar hubungan-
hubungan dan mempunyai hak pengutamaan atau privilese. Dan kelas-kelas ini
tidak menyukai aturan-aturan hukum yang berbentuk sederhana dan hidup menurut
kewajiban-kewajiban ritual ‘li’ tersebut, sedangkan kelas-kelas rakyat tunduk pada
tatanan hukum pidana versi ‘fa’ yang ketat.
Sketsa Sejarah
Sejarah Cina membentang ke belakang sampai 30 abad SM, manakah suku-
suku bangsa Cina, yang berasal dari Mongolia, bermukim di wilayah sungai kuning
pada saat itu mereka telah mencapai taraf peradaban suku bangsa. Sekitar abad XII
SM di Cina berkembang tatanan feudal, yang di dalamnya kelas yang memperoleh

7
Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Hal 22
8
Balaz, E Engelborghs-Bertels,M.,”Chine”, di dalam Gilissen, J.(Ed), Introduction
bibiliographique, E/14 Brussel,1972 hlm 521
hak utama terdiri dari para ksatria dan kaum pelajar. Pada akhir tatanan feudal ini,
abad IV SM, hiduplah orang-orang besar yang paling mempengaruhi cara berfikir
filosofis dan agama Cina, ialah Lau-Tse, Konfusius dan Mensius.
Pada abad III mulai berkembang negara Kekaisaran Kuno; Cina menjadi
sebuah negara besar dan luas dengan sistem pemerintahan yang sentralistis, berkat
dinasti Tsj’in , dimana negara ini memperoleh namanya. Kendatipun dinasati ini
hanya berkuasa 40 tahun lamanya (265-107 SM ). Dengan berkuasanya Dinasti
T’ang (618-907 SM) Kembali bertumbuh sebuah negara Cina yang kuat dan penuh
percaya diri, semacam negara abad pertengahan, namun Kembali mengalami
kejatuhan sebagai akibat serangan-serangan baru dari luar dan pecahnya berkeping-
keping negara ini. Kesatuan politik negara ini dipulihkan oleh Dinasti Ming (1368)
dan dengan Dinasti Mansyu dari Tsing (1644-1912) pada hakikatnya Cina
mengalami imbolisme yang berkepanjangan baik di bidang ekonomi dan sosial,
maupun dalam bidang politik dan hukum kekaisaran ini ambruk pada tahun 1912.
Filosofi Cina berkembang setelah memasuki zaman Dinasti Zhou sekitar
1122-256 SM.Dinasti ini berawal dari penulisan aksara-aksara orakel di tempurung
kura-kura sampai dimulainya penulisan naskah-naskah Tionghoa Klasik.
Konfusianisme dan Taoisme mulai berkembang pada periode pertengahan Dinasti
Zhou yang dinamai periode musim semi dan musim gugur (Chunqiu) sekitar tahun
722-481 SM.9 Dinasti Qin yang didirikan oleh Qin Shi Huangdi menggusur Dinasti
Zhou dengan cepat namun sangat berpengaruh bagi masa depan China10.
Dinasti Qin juga melakukan banyak penemuan-penemuan dalam hal
pemerintahan, militer dan ekonomi. Pada bidang militer, Dinasti ini telah
mengembangkan crossbow dan membangun Tembok Besar Tiongkok untuk
menangkal serbuan yang sering terjadi dari suku-suku di sebelah utara.
Politik pemerintahan pada dinasti ini adalah bersekutu dengan negeri-negeri
yang jauh tetapi menyerang negeri-negeri yang dekat, dan strategi ini berhasil
membuat kekuasaan Dinasti Qin meluas hingga keenam negara kuat di Cina.
Perkembangan di bidang ekonomi ini menyangkut dengan perdagangan,
transportasi, dan agraris, seperti pemberlakuan sistem metrik dan uang yang
seragam di seluruh negeri, penyeragaman panjang poros roda kereta dan pedati
yang sendirinya mempengaruhi lebar jalan-jalan di seluruh kekaisaran, dan
pembangunan sistem kanal untuk mengairi sawah seluas 10.000 km
persegi.Kekaisaran dinasti ini terbilang singkat karena hanya berkisar 15 tahun
(221-206 SM), dan disebut sebagai perintis bagi datangnya zaman Han serta peletak
dasar-dasar konseptual bagi kekaisaran Tiongkok berikutnya Dinasti Han
membangkitkan kembali khasanah filsafat dan sastra Tiongkok yang telah menjadi
korban pembakaran buku pada 213 SM25.
Dinasti Han berbeda dengan Dinasti sebelumnya, mereka lebih
mengedepankan perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan menjadi pintu masuknya

9
Budiono Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok Sebuah Pengantar Komprehensif
(Yogyakarta : Jalasutra, 2010), Cet. I, hlm. 31.
10
bid.,hlm. 32-33.
Buddhisme ke Cina.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
meliputi; teknik pembuatan kertas dari bahan dasar bambu yang ditemukan oleh
Cai Lun, penemuan teknik percetakan yang menghasilkan koran pertama (Kaiyuan
Za Bao atau Buletin Istana), dan penemuan seismograf oleh Zhang Heng.
Penerjemahan manuskrip-manuskrip Buddha yang masuk Cina merupakan hal
yang luar biasa sulit. Namun dalam prakteknya, Buddha memiliki konsep yang
mirip dengan Taoisme sehingga lebih mudah berasimilasi dengan budaya lokal
walaupun persepsi keagamaannya akan berubah. Dinasti Han juga tak lepas dengan
masalah konflik berdarah, pemberontakan petani membuat pusat kekaisaran
berpindah dari barat ke timur sampai runtuh menjadi Dinasti-Dinasti kecil yang
menjadi perintis dari dinasti berikutnya.
Dinasti berikutnya dipersingkat oleh penyusun karena memiliki kemiripan
masalah yang dihadapi dan perkembangan dalam ilmu pengetahuan yang tidak
banyak, Dinasti tersebut meliputi Dinasti Tang (618-907 M), Dinasti Song (960-
1279 M), Dinasti Yuan (1279-1368 M), dan Dinasti Ming (1368-1644
M).Buddhisme berkembang lambat karena terjadi pemberangusan oleh birokrasi
pada Dinasti Tang. Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan (Wudai Shiguo,
907-960 M) merupakan masa setengah abad dimana Cina mengalami kekacauan
politik setelah Dinasti Tang runtuh.
Dinasti Song Utara berdiri sekitar tahun 960-1127 M yang sejajar dengan
bangsa Tartar Khitan yang berkuasa di tahun 907-1125 M, kemudian dilanjutkan
oleh Dinasti Song Selatan pada tahun 1127-1279 M yang sejajar dengan bangsa
Tartar Jurchen di tahun 1115-1234 M. Tahun 850 M di Dinasti Song Utara telah
ditemukan mesiu secara tidak sengaja oleh sejumlah ahli kimia, lalu pada 70 tahun
kemudian mulai digunakan oleh militer sebagai senjata dalam bentuk meriam, ‘bola
api’, roket yang merintis meriam, bom, dan roket yang kita kenal sekarang. Dinasti
Yuan adalah penerus
Dinasti sesudah Dinasti Song yang didirikan oleh Kubilai Khan, yang pada
masa ini terjadi kontak luar antara Cina dan Barat yang membawa mesiu dari Cina
ke Italia yang mendukung pembuatan meriam di Florence pada tahun 1326 M34.
Lalu terjadinya pemberontakan terhadap bangsa Han yang dilakukan oleh Kaum
Turban Merah pada tahun 1351 M35.
Pendiri dari Dinasti sesudah Yuan ialah Dinasti Ming didirikan oleh Zhu
Yuanzhang yang berasal dari Kaum Turban Merah yang membentuk kelompok lain
yang bernama Teratai Putih. Pada tahun 1356 M, Zhu Yuanzhang berhasil merebut
Kota Nanjing dan menjadikannya ibukota Kekaisaran Ming, serta mengangkat
pangkatnya menjadi Kaisar Ming Hong Wudi11
Meskipun dalam sejarahnya orang-orang Cina mirip dengan orang-orang
Yunani yang lebih banyak bersilfat ketimbang membuat hukum, tetapi kita masih
dapat menemukan beberapa kitab hukum di cina. Hukum tertulis tertua di Cina yang
pernah ditemukan oleh sejarah ialah yang dibuat pada tahun 535 SM. Kemudian, di

11
Ibid, Hlm 44
masa Dinasti Han (206 SM-220 SM) juga ada kitab hukum dan prosedur
pengadilan. Selanjutnya, masing-masing dinasti membuat hukumnya sendiri-
sendiri, yang semakin lama semakin berkembang. Misalnya Code Ch’ing yang
untuk tindak pidana pembunuhan saja, dikategorikan menjadi 20 macam dengan
ancaman hukuman yang berbeda-beda pula. Kemudian, Code tahun 1740, yang
sampai-sampai berisi sekitar 1800 buah undang-undang di dalamnya. Bahkan,
Ketika berkuasanya Maharaja Timur di tahub 1320, diundangkan sebuah kodifikasi
yang berisi tidak kurang dari 2500 pasal. Di masa Dinasti Ming sekitar tahun 1400
menteri Yung Lo juga membuat kodifikasi baru, yang kemudian menjadi asas
utama bagi Dinasti Manchu dan seterusnya, yaitu Tsing yang terkenal dengan Code
Tsing (Ta Tsing Lu Li), yang mulai berlaku sejak tahun 1650 Masehi, yang
kemudian terus berlaku sampai dengan revolusi tahun 1912. Kodifikasi Tsing Ini
terdiri atas teks aturan hukum yang disebut Lu (yang tidak boleh berubah dalam
penerapannya) dan Li, yang merupakan kumpulan dari aturan pelaksanaan dan
keputusan pengadilan yang lebih fleksibel karena dapat selalu diubah-ubah. 12
Untuk dapat menagkap nuansa dari aturan hukum tersebut, berikut ini
sebuah contoh dari aturan yang terdapat dalam Lu, dalam hal ini merupakan aturan
hukum tentang adopsi, yaitu sebagai berikut. Barang siapa mengangkat ahli waris
dan wakilnya secra tidak sah, maka harus dihukum dengan 80 kali pukulan. Jika
isteri pertama yang sudah menikah minimal 50 tahun tidak memiliki anak, maka
dibenarkan menunjuk anak laki-laki tertua dari isteri lain untuk menjadi ahli
warisnya. Namun, jika orang lain selain dari anak laki-laki tertua yang ditujuknya,
maka penunjukkan tersebut tidak sah dan bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Sebenarnya secara hakikat, inti dari pengaturan hukum di Cina tidak jauh-
jauh dari konsep Confucius tentang tradisi kehidupan yang berperikemanusiaan,
musyawarah/konsiliasi, dan informalitas, dengan menghindari legalisme yang
kaku.
Disamping itu beberpa prinsip fundamental dari sistem hukum Cina dapat
disebutkan sebagai berikut:
1. Pendekatan kepada hukum dilakukan secara kemanusiaan dan tidak
legalistik
2. Pemerintah menegakkan hukum dalam praktik dengan penuh penghayatan
kepada filsafat.
3. Hormat kepada tradisi.
4. Penekanan kepada Konsiliasi13.
Beberapa variasi dari pendektan utama sector hukum di negeri Cina klasik adalah
sebgai berikut:
1. Ajaran Confucius

12
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013) hlm 155
13
Ibid, hlm 157
Ajran Confucius terhdap hukum lebih mengedepankan pendekatan
kemanusiaan dan nonlegalistik. Bagi Confucius, mencegah kejahatan jauh
lebih baik daripada mengadilinya.14

2. Ajaran Mo Tzu ( 470-390 SM)


Bagi Mo Tzu , pendekatan terhadap hukum lebih mengedepankan kasih
saying yang terhadap individu, Mo Tzu menekankan kasih sayang yang
sama kepada manusia secara keseluruhan. Karena itu, manusia harus benar-
benar patuh kepada pemerintah dan hukum yang adil.

3. Ajaran Lao Tzu 604 SM


Lao Tzu melakukan pendekatan terhadap hukum secra reaktif (anarchistic
approach). Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang dapat
mencapai suatu harmoni, yaitu hukum yang membebaskab menusia untuk
berkreasi sendiri dengan menggunakan intuisinya, tanpa perlu dicampuri
oleh pemerintah dan negara.

4. Ajaran Shang 300 SM


Ajaran Shang, seperti terdapat dalam The Book of Lord Shang, mirip
dengan ajaran Machiavelli atau Hobbes dari Eropa atau ajaran Kautilya dari
india, yang menggunakan approach yang totaliter. Menurutnya negara harus
kuat dan harus menjalankan hukum secara tegas. Unsur moral dan kasih
sayang dalam menjalankan hukum tidak relevan.

5. Ajaran Hsiin Tzu abad ke 3atau ke 4 SM


Menurut Hsiin Tzu, suatu pemerintahan harus selalu memperhatikan suara
rakyatnya. Rakyat ibarat air dan pemerintah ibarat kapal di atasnya, di mana
air tersebut bertugas untuk tetap mempertahankan kapal agar tetap terapung.
Namun, jika pemerintah tidak memperhatikan kehendak rakyatnya, maka
air tersebut dapat menenggelamkan kapal yang bersangkutan. Pemerintah
harus dijalankan oleh orang-orang bijak yang dapat dihasilkan suatu
Pendidikan, karena memang Pendidikan bertujuan untuk menghasilkan
orang-orang bijak. Menurutnya pengadilan memiliki diskres. Kekuasaan
yang sangat luas , di mana hakim dibenarkan menafsirkan hukum secara
luas sehingga hukum dapat mencapai unsur keadilan.

6. Ajaran Han Fei Tzu abad ke 3 SM


Han Fei Tzu yang lahir sekitar tahun 280 SM merupakan anak dari keluarga
raja dari Dinasti Han . Han Fei Tzu menderita gagap bicara yang sangat
serius sehingga buah pemikirannya hanya dapat disalurkan dengan cara
menulis. Bukunya itu sejajar dan selalu disebandingkan dengan buku Prince
karya Machiavelli. Dia menganut ajaran legalisme yang fanatik sehingga

14
Loc.Cit Munir fuady
menurutnnya negara harus menjalankan aturan hukum yang tegas (strict
legalism). 15

Pengadilan dan Prosedur Hukum Cina


Seperti juga di berbagai sistem hukum lain, pengadilan dan prosedur hukum
di Cina sama dengan sistem hukum cina itu sendiri, artinya, sejak awal orang-orang
Cina mengembangkan sistem hukumnya. Mereka juga sudah Mengembangkan
seperangkat aturan hukum procedural dan sistem serta proses pengadilannya.
Tentunya aktor utama di pengadilan adalah hakim. Hakim ini diangkat oleh
raja dan diberikan gaji yang tinggi untuk menghindari terjadinya korupsi dan kolusi.
Apa yang sekarang dinamakan advokat tidak dikenal dalam sejarah hukum Cina.
Pekerjaan seperti yang dilakukan oleh advokat sekarang, dalam sejarh Cina
dilakukan oleh notaris dan semacam broker. Advokat dan konsultan hukum
berlisensi seperti yang terdapat dalam sejarah hukum Romawi, tidak dikenal dalam
sejarah hukum Cina.
Kemudian untuk menjaga agar keadilan selalu menyertai putusan hakim,
maka pengadilan tingkat banding ini diharapkan dapat mengoreksi putusan tingkat
bawah sekiranya terdapat kekeliriuan dalam memberikan putusan. Putusan
pengadilan negeri dapat disbanding ke pengadilan di tingkat provinsi, dan
selanjutnya dapat dikasasi ke Mahkamah Agung yang terletak di ibukota negara,
yaitu Beijing.
Sebagaimana yang telah dilukiskan oleh beberpa misioneris Spanyol
tentang prosedur hukum di Cina pada abad ke 16, seperti dikutip oleh Jhon Henry
Wigmore, bahwa hakim sangat diharapkan untuk memutuskan secara adil dan tidak
memihak. Karena itu , dicegah segala kemungkinan terjadinya korupsi dan kolusi
yang dilakukan dengan memberikan gaji hakim yang relative tinggi. Hakim tidak
boleh atau tidak dibenarkan untuk mengunjungi atau dikunjungi oleh para pihak
perkara. Pengumuman putusan hakim harus di tempat umum dengan dihadiri oleh
para petugas pengadilan dan diumumkan sedemikian rupa sehingga semua orang di
tempat tersebut dapat mendengarnya. Hakim duduk di kursinya dasn para petugas
pengadilan mengambil tempat di dekat pintu masuk. Petugas pengadilan ini akan
menyebut dengan teriakan keras tentang siapa-siapa yang masuk untuk mencari
keadilan. Kemudian pihak penggugat berlutut di tempat yang agak jauh dari hakim
dan mengungkapkan dengan suara keras apa yang digugatnya, atau menulis
gugatannya yang dibacakan oleh notaris. Pemerikasaan saksi juga dilakukan di
depan umum.
Putusan- putusan dari MA ini kemudian dikumpulkan dari waktu ke waktu,
yang selanjutnya terhadap putusan-putusan penting ( Leading decisions)
dikumpulkan dalam suatu buku Yurisprudensi, untuk kemudian di publikasikan
untuk dipelajari dan diikuti oleh putusan-putusan pengadilan selanjutnya.

15
Bonnichon Father Andre, Law in Communist China. The Hague, Netherland: international
Commission of Jurist, t.t
Kodifikasi Hukum Cina
Meskipun hukum Cina dapat ditelusuri sampai ke tahun 2500 SM atau 3000
SM, tetapi hukum Cina yang pertama dicatat dengan jelas adalah aturan hukum
(belum dikodifikasi) dari tahun 2500 SM, yang ditulis dalam bentuk Pictograph fase
awal. Aturan-aturan hukum atau dokumen-dokumen hukum lainnya umumnya
ditulis di atas bambu, meskipun sebagiannya ditulis di atas batu, terutama yang
dimaksudkan untuk berlaku dalam waktu yang lama.
Dari bahan sejarah hukum dapat terbaca bahwa kodifikasi Cina baru ada
sejak tahun 1200 SM. Namun, kodifikasi pertama di Cina yang dapat terbaca
sampai sekarang adalah kodifikasi yang berlaku sejak tahun 1100 SM, yaitu Code
Chow, yang dibuat oleh Tan yang merupakan saudara dari pendiri dari Dinasti
Chow. Code Chow ini dikenal dengan sebutan Chow Li (aturan Chow).
Setelah politik pembakaran buku, termasuk pembakaran buku-buku hukum
yang dilakukan sekitar abad 212 SM, praktisi sejarah hukum Cina terputus dengan
masa lalunya. Walaupun begitu, kelak ternyata masih didapatkan beberapa bacaan
hukum yang oleh orang-orang tertentu sengaja disisahkan (tidak di bakar) dan
secara diam- diam disimpan, sehingga di kemudian hari masih dapat di baca oleh
generasi berikutnya. 16
Disamping itu, setelah politik pembakaran buku di Cina, berbagai dinasti
dalam generasi selanjutnya membuat berbagai kodifikasi yang secara jelas dan
terbaca sampai sekarang.17
BERDIRINYA REPUBLIK RAKYAT CHINA
Kehidupan politik di China merupakan produk dari masa revolusi yang
panjang yang berlangsung paling tidak dari tahun 1911 sampai tahun 1949
dan meliputi tiga perombakan sistem politik secara kekerasan.18 Revolusi
pertama terjadi pada tahun 1911, menggantikan sistem kekaisaran yang telah
berlangsung selama ribuan tahun dengan sistem pemerintahan republik. Revolusi
kedua terjadi pada tahun 1928, ketika Kuomintang (KMT) berhasil membentuk dan
menguasai pemerintahan baru menggantikan pemerintahan “panglima perang”
(warlord) yang terpecah-pecah dalam masa permulaan pemerintahan Republik
China dengan sistem dominasi satu partai yang terorganisir dan terpusat. Revolusi
ketiga terjadi pada tahun 1949 dengan berdirinya Republik Rakyat China di bawah
kekuasaan Partai Komunis China.
Revolusi 1911
Ketidakpuasan bangsa China terhadap pemerintahan Dinasti Qing terus
memuncak sejak kekalahan China dalam perang candu tahun 1842. Sejak itu
banyak wilayah China yang menjadi wilayah pengaruh kekuasaanasing baik bangsa

16
Op.cit Munir Fuady hlm 161
17
Ibid, 162
18
townsend, James R., “Sistem Politik China”, dalam Mohtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews,
Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997
Eropa, Amerika maupun Jepang. Keadaan ini seolah-olah menimbulkan sistem
negara dalam negara karena pengaruh asing yang ada di wilayah-wilayah China
masing-masing memiliki hak konsesi dan hak ekstrateritorial. Secara politik dan
ekonomi kehidupan bangsa China menjadi semakin terpinggirkan akibat
ketidakmampuan pemerintah Manchu mengatasi masalah-masalah yang ada di
China. Akibatnya banyak bermunculan berbagai macam gerakan yang pada intinya
ingin menumbangkan kekuasaan Manchu dan menggantikannya dengan kekuasaan
dari bangsa China sendiri. Di antara berbagai gerakan yang bermunculan di China,
salah satu pimpinan yang terkemuka adalah Sun Yat Sen. Beliau merupakan tokoh
nasionalis China yang dilahirkan di desa Xiangshanxian di Propinsi Guangdong
pada tanggal 12 November 1866. Sun Yat Sen mendirikan organisasi Dongmenghui
yang bertujuan untuk menggusir bangsa Manchu, merebut kembali China bagi
bangsa Tionghoa, dan mendirikan suatu negara yang berbentuk republic.
Sistem kekaisaran di China berakhir setelah Sun Yat Sen mengobarkan
revolusi pada tahun 1911 dan selanjutnya bercita-cita ingin menyatukan seluruh
China dalam satu pemerintahan yang didasarkan pada San Min Chu I(Tiga Sendi
Kedaulatan Rakyat), yaitu nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi. Revolusi
nasional di bawah pengaruh Sun Yat Sen meletus di Wuchang pada tanggal 11
Oktober 1911. Pada tanggal 12 Februari 1912 Kaisar Xuantong turun tahta setelah
terjadinya Revolusi Xinhai. Sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 12 Maret 1912
berdirilah Republik China (ROC). Namun demikian kedudukan Sun Yat Sen
sebagai presiden segera digantikan oleh Yuan Shih Kai, seorang warlord(panglima
perang) yang sangat berpengaruh. Yuan segera mengangkat dirinya sebagai
presiden seumur hidup, sementara Sun Yat Sen mengundurkan diri ke Kanton dan
mendirikan Partai Kuomintang (Nasionalis).
Yuan Shih Kai berkuasa antara tahun 1911-1916. Pada tahun 1915 ketika
bertemu dengan golongan oposisi yang mengambil bagian dalam Revolusi
Republik, Yuan merasa bahwa ideologi republik lebih bertahan lama daripada
ambisi pribadi. Ia meninggalkan republik dan mengumumkan restorasi Kekaisaran
China dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sang Kaisar. Akibatnya sebagian
besar propinsi di China Selatan melepaskan diri dari kekuasaan Pemerintah Beijing.
Setelah Yuan Shih Kai mengumumkan dirinya sebagai kaisar baru China terjadi
revolusi terbuka yang dilancarkan di propinsi-propinsi China. Propinsi Yunnan
menjadi propoinsi pertama yang melancarkan revolusi dan diikuti oleh propinsi-
propinsi lainnya.19
Pada tahun 1916 Yuan Shih Kai wafat, dan meninggalkan kekacauan
terutama di wilayah China Utara karena Yuan belum menunjuk seseorang untuk
menggantikan dirinya. Akibatnya terjadi perpecahan di antara para panglima
Tentara China Utara. Masing-masing memikirkan kepentingan pribadi dan
membentuk kelompok-kelompok sendiri. Beberapa kelompok yang penting adalah
kelompok Feng Tian di bawah pimpinan Zhang Zo Lin di Manchuria, Kelompok

19
Sukisman, W.D., Sejarah Cina Kontemporer: Dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi
Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993
Zhi Li di Tian Jin di bawah pimpinan Zhao Kun dan di 16 Propinsi Hunan di bawah
pimpinan Wu Pei Hu, dan kelompok An Fu di bawah pimpinan Qi Rui.
Revolusi 1949 Setelah perang
China –Jepang berakhir pada tahun 1945 dengan kekalahan Jepang dalam
Perang Dunia II, pertikaian antara PKC dengan Kuomintang kembali memanas.
Setelah kekalahan Jepang, pemerintah Republik China segera menginstruksikan
kepada segenap jajarannya untuk mengambil alih kedudukan tentara Jepang di
seluruh pelosok wilayah China. Sementara Zhu Te, Panglima Angkatan Bersenjata
PKC mengeluarkan perintah agar sebagian Tentara Merah memasukiManchuria
dan menuntut pada pemerintah China supaya perlucutan senjata terhadap bekas
tentara pendudukan tentara Jepang di daerah yang dikuasai Partai komunis supaya
dilakukan unsur Partai Komunis. 20
Ketika itu Tentara Merah menguasai daerah pedusunan yangamat luas
sehingga menimbulkan kekhawatiran pihak Pemerintah China. Oleh karena itu
Pemerintah China meminta bantuan AS untuk membantu menyelesaikan
masalahnya di China. Presiden Truman berusaha menghindarkan perang saudara di
China dengan mengutus Jenderal George Marshall untuk bertindak sebagai
perantara bagi sengketa antara Pemerintah Nasionalis dengan Partai Komunis
China. Salah satu yang direncanakan adalah pelaksanaan peleburan tentara kedua
belah pihak menjadi satu Tentara Nasional. Namun sepeninggal Marshall
pertempuaran antara Pemerintah Nasionalis dengan PKC kembali terjadi dengan
skala yang semakin meluas. Upaya perdamaian kembali dilakukan oleh Marshall
tetapi gagal.Meski awalnya banyak mengalami kekalahan tetapi Tentara Merah
semakin dapat memperluas pengaruhnya di daerah pedesaan, melalui politik land
reformdari PKC. Tanah-tanah milik tuan tanah diambil dan menghadiahkan tanah-
tanah garapan tersebut kepada kaum tani penggarap.
Tentara Merah yang menguasai wilayah China Utara segera mengarahkan
sasarannya ke sebelah selatan Sungai Yang Tze. Selanjutnya mereka merebut
Nanking, ibu kota pemerintah Nasionalis China. Akibatnya pemerintah Nasionalis
China terpaksa harus memindahkan ibu kotanya ke Kanton. Selanjutnya Hangou,
Shanghai dan Qingdao secara berturut-turut jatuh ke tangan kaum komunis.
Setelah separo wilayah China berada di tangan kaum komunis maka Mao
Tse-tung mulai mempersiapkan pembentukan suatu Negara China sebagaimana
dicita-citakan oleh Partai Komunis. Langkah awal adalah dengan membentuk
Panitia Persiapan Majelis Permusyawaratan Politik. Panitia ini berhasil memilih 21
orang untuk menjabat sebagai Dewan Harian dengan Mao Tse-Tung sebagai ketua
dan Chou Enlai sebagai wakil ketua. Dengan strategi “desa mengepung kota”, PKC
berhasil menyingkiran Kuomintang dan pada tanggal 1 Oktober 1949
memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China (RRC) yang beribukota di
Beijing. Bendera Nasional RRC berwarna merah melambangkan revolusi dengan
empat bintang kecil-kecil berwarna kuning di bagian pojok atas yang masing-
20
Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat,Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.
masing melambangkan klas buruh, klas tani, klas borjuis kecil, klas borjuis
nasional, dan sebuah bintang besar berwarna kuning yang dilingkari empat bintang
kecil tersebut di atas, yang melambangkan kepemimpinan Partai Komunis.
Pemimpin tertinggi tentara RRC berada di tangan Zhu De, sedangkan jabatan
Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dipegang oleh Chou Enlai.21
Cina dan Tatanan-tatanan Eropa dalam Abad XIX dan Abad XX
Lama sekali Cina tertutup bagi setiap pengaruh. Kontak -kontak pertama
berasal dari zaman konsesi-konsensi internasional, yang diperbolehkan sejak tahun
1842, dan berdasrkan ketentuan bangsa-bangsa Eropa yang mana boleh menetap di
“Pelabuhan-pelabuhan traktat’ dan mendirikan pimpinannya sendiri di sana.
Beberapa pemuka-pemuka negara Cina mengalami pengaruh-pengaruh
tatanan-tatanan hukum barat melalui pergaulan mereka dengan orang-orang Eropa
melalui perdagangan dan industry. Mereka berupaya tatanan hukum mereka sendiri.
Jadi, dengan demikian kodeks Tsying ditinjau Kembali pada tahun 1910 (jadi masih
pada saat kekaisaran dianut), terutama di dalam hukuman-hukuman ditiadakan.
Jatuhnya kekaisaran dan pembentukan republic pada tahun 1912
menyuburkan perembesan tatatnan-tatanan hukum barat setelah Tsiang Kai Tsyek
mengguli kelompok-kelompok yang berhaluan kiri dari partai kuo Min Tang
selama tahun-tahun 1925-1928 telah disusun sebuah undang-undang dasar yang
bersifat sementara pada tahun 1931 dan yang definitive pada tahun 1936 maupun
sejumlah kodeks menurut pola Barat: pada tahun 1930 kodeks Hak milik, kodeks
hukum acara perdata pada tahun 1931. Sebuah kitab undang-undang hukum perdata
jerman tahun 1900 dan bahkan beberapa yang lebih baru lagi versi negara-negara
Swis, Rusia, dan Brazil.
Rezim baru Rakyat Republik Cina telah menghapus semua undang-undang
yang ada untuk melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah.
Sebaiknya telah dibentuk sebuah tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang.
Bagi orang cina hal ini merupakan kemenangan fa, pandangan-pandangan kaum
ahli hukum (legisten). Namun sekaligus ini merupakan penerapan paham
Marxisme-leninisme: kekuasaan dictator ini untuk sementara dianggap sebagai
suatu keadaan yang terpaksa ditolerir; undang-undang yang ketat dan keras ini
diberlakuan untuk menegakkan komunisme. Setelah ini terselenggara, maka
undang-undang tersebut akan dianggap berlebihan seperti halnya pandangan
konfusius dahulu22.Dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah dikeluarkan
undang-undang dalam jumlah yang besar, lazimnya menurut pola hukum soviet,
namun dengan kekhususan-kekhususan Cina. Sejak tahun 1958 terjadilah suatu
reaksi terhadap hegemoni perundang-undangan; pemerintah Cina menentang
pengaruh Rusia dan Kembali ke acara pendekatan tradisional Cina.

21
Abdullah Zakaria Gozali (et.al.), Sejarah Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur 1800-
1963, Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 2000.
22
Hunter, Alan and Kim-Kwong Chan, Protestantism in Contemporary China, Cambridge:
Cambridge University Press, 1993
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum cina tradisonal bukan merupakan tatanan hukum keagamaan yang
ketat, hal ini merupakan tatanan hukum yang terintegrasi ke dalam sebuah ajaran
filsafat yakni kongfusionisme. Sejarah Cina membentang ke belakang sampai 30
abad SM, manakah suku-suku bangsa Cina, yang berasal dari Mongolia, bermukim
di wilayah sungai kuning pada saat itu mereka telah mencapai taraf peradaban suku
bangsa. Meskipun hukum Cina dapat ditelusuri sampai ke tahun 2500 SM atau 3000
SM, tetapi hukum Cina yang pertama dicatat dengan jelas adalah aturan hukum
(belum dikodifikasi) dari tahun 2500 SM, yang ditulis dalam bentuk Pictograph fase
awal. Aturan-aturan hukum atau dokumen-dokumen hukum lainnya umumnya
ditulis di atas bambu, meskipun sebagiannya ditulis di atas batu, terutama yang
dimaksudkan untuk berlaku dalam waktu yang lama.
B. Saran
Mempelajari sejarah hukum sangat amat bermanfaat guna melihat
perkembangan hukum yang terjadi di masa lampau. Untuk itu diharapkan agar lebih
banyak literatur atau jurnal yang membahas tentang sistem hukum di China Kuno.
Daftar Pustaka

Abdullah Zakaria Gozali (et.al.), Sejarah Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia
Timur 1800-1963, Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 2000
Balaz, E Engelborghs-Bertels,M.,”Chine”, di dalam Gilissen, J.(Ed), Introduction
bibiliographique, E/14 Brussel,1972 hlm 521
Budiono Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok Sebuah Pengantar
Komprehensif (Yogyakarta : Jalasutra, 2010
Bonnichon Father Andre, Law in Communist China. The Hague, Netherland:
international Commission of Jurist, t.t

Hunter, Alan and Kim-Kwong Chan, Protestantism in Contemporary China,


Cambridge: Cambridge University Press, 1993

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005),


Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013
Sunarmi, Sejarah Hukum (Prenademedia Group, 2016)

Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika


Masalahnya,

Sukisman, W.D., Sejarah Cina Kontemporer: Dari Revolusi Nasional Melalui


Revolusi Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993

Townsend, James R., “Sistem Politik China”, dalam Mohtar Mas‟oed dan Colin
MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1997

Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan
Masyarakat,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.
MAKALAH

SEJARAH HUKUM YUNANI

Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H

Oleh :
Sumarni Larape
20202108044

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti pohon,
syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history; Bahasa latin dan
Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti orang pandai.1 Bahasa
Spanyol menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa
Prancis histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche
hen yang berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif);2
Pada hakikatnya, pengetahuan sejarah adalah pengungkapan tentang peristiwa,
khususnya tentang bagaimana terjadinya peristiwa itu, mengapa peristiwa itu terjadi, apa
pengaruhnya terhadap masyarakat . sudah barang tentu, penjelasan tentang bagaimana dan
juga mencakup apa, siapa, dan kapannya. Esensi dari setiap pengetahuan sejarah
sebenarnya hendak menerangkan bagaimana sesuatu terjadi, dan dengan demikian
dianggap telah dterangkan atau dijelaskan peristiwa itu. Ini berarti sejarah pada hakikatnya
wajib melacak perkembangan kejadian, jadi genetiknya. Memang keinginan tahu manusia
tentang segala sesuatu artifact, socigac, dan mentifact Kembali kepada pelacakan
perkembangan mulai dari asal mulanya ( genesisnya).
Sejarah adalah cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi
yang berkaitan dengan masyarakat masa lalu. Segenap peristiwa yang berkaitan dengan
masa pencatatannya disebut peristiwa hari ini, dinilai, diberitakan, dan direkam oleh koran
harian. Namun begitu masanya lewat, maka setiap peristiwa menjadi bagian sejarah.
Sejarah ini tinggal menjadi catatan belaka yang tidak dapat diulang Kembali dengan
kejadian yang sama. Dalam pengertian ini , arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang
kejadian, peristiwa, dan masyarakat masa lalu. Biografi , kisah penaklukan dan kisah orang-
orang termasyhur, peristiwa tertentu yang terjadi pada setiap bangsa yang di susun oleh
bangsa tersebut, termasuk dalam kategori ini. Dalam pengertian ini , pertama, arti sejarah
adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan dengan
individu, kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah adalah
pengetahuan tentang ‘wujud’bukan tentang ‘menjadi’, keempat, sejarah berkaitan dengan
masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Dalam terminology ini, sejarah seperti ini disebut
“sejarah rawian”. 3
Sejarah hukum memiliki beberapa fungsi dan kegunaan, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mempertajam pemahaman dan penghayatan tentang hukum yang
berlaku sekarang. Kita dapat mengetahui dan menghayati bahwa hukum

1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2
Ibid. hlm 2
3
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016) hlm. 3
yang berlaku sekarang sudah cukup baik jika dibandingkan dengan konsepsi
tentang hukum di bidang yang bersangkutan di masa lalu.
2. Untuk mempermudah para perancang dan pembuat hukum sekarang dengan
menghindari kesalahan di masa lalu serta mengambil manfaat dari
perlembangan positif dari hukum di masa lalu.
3. Untuk mengetahui makna hukum positif bagi para akademisi maupun
praktisi hukum dengan melakukan penelusuran dan penafsiran yang bersifat
sejarah.
4. Sejarah hukum dapat mengungkapkan atau setidaknya memberikan suatu
indikasi tentang dari mana hukum tertentu berasal; bagaimana posisinya
sekarang; dan hendak ke mana arah perkembangan.
5. Menurut Soerjono Soekanto, sejarah hukum juga berguna karena dapat
mengungkapkan fungsi dan efektivitas dari Lembaga-lembaga hukum tertentu. 4
Secara historis, Kuntowijoyo menyebutkan bahwa kegiatan penulisan sejarah
merupakan suatu kegiatan yang terikat dengan waktu (timebound) dan terikat oleh
kebudayaan zamannya. 5
Soejono D menjelaskan bahwa: sejarah hukum adalah salah satu bidang studi
hukum , yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu
masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi
oleh perbedaan waktu.6
John Gillisen dan Fritz Gorle menambahkan beberapa fungsi dari sejarah hukum,
yaitu sebagai berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak , tetapi juga
berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
2. Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti melalui
sejarah hukum
3. Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula untuk
mengetahui budaya dan pranata hukum.
4. Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip perlindungan hak
asasi manusia.
Karena berbagai fungsi dan kegunaan dari sejarah hukum seperti di atas maka
disiplin sejarah hukum sekarang telah menjadi suatu ilmu dan metode yang
dipelajari oleh banyak orang.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah Sejarah Hukum Yunani?

4
Ibid, hlm 7
5
Muhamad Arif, Pengantar kajian sejarah, hlm 5
6
Sudarsono, Sejarah Hukum, Hlm 261
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Yunani


Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum
masih primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah
(nomos) baik semesta alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak
adalah budak, dan sebagainya. Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4
SM ada beberapa filosof yang mengartikan hukum secara berbeda. Plato (427-347
SM) yang menulis buku Politeia dan Nomoi memberikan tawaran pengertian
hukum, dan hakikat hukumnya7.
Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut
Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat
kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap
kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan
dalam buku Nomoi, Plato menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum.
Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut
Aristoteles, manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia
harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles
membagi hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang
mencerminkan aturan alam, Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang
dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut
bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang
baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang menjelaskan tentang
hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan
yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama"8.
Tokoh Yunani setelah Plato adalah Aristoteles (384 – 322 SM)7yang juga
merupakan murid Plato. Politics, merupakan karya utama Aristoteles yang terdiri
buku I – VIII. Namun Sabine meragukan apakah memang Aristoteles menyusunnya
seperta adanya sekarang atau telah mengalami proses editing. Werner Jaeger
membagi Politics menjadi dua bagian besar. Bagian pertama terkait dengan negara
ideal, meliputi buku II berupa studi historis tentang teori-teori awal dan pemikiran
Plato serta kritik-kritiknya; buku III mengenai hakIkat (nature) negara dan
kewarganegaraan sebagai pengantar teori negara ideal; dan buku VII dan VIII yang
mengkonstruksikan negara ideal. Bagian kedua merupakan kajian terhadap negara
dalam realitas terutama demokrasi dan oligarki, penyebab kemerosotannya dan
bagaimana menjaga stabilitasnya. Bagian kedua ini meliputi buku IV , dan VI.
Karya Aristoteles menunjukkan perkembangan baru ilmu pengetahuan yang tidak

7
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 11
8
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 23
hanya harus empiris dan deskriptif, tetapi juga menghormati tujuan-tujuan etis
tertentu.9
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh
hukum asing saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau
pun hukum Semits terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang
tertulis pada masa Romawi, orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan
undang-undang tersebut karena mereka terus-menerus mengembangkan hukumnya
untuk menemukan hukum-hukum yang baru.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak
terlalu besar karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis.
Walaupun demikian pemikiran-pemikiran hukum yang cukup berharga lahir pada
zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum Kodrat. Ia mengajakan
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio yang murni dan
oleh karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum alam.
Hukum dan Pemerintahan

Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang


politik dan kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan
sampai saat ini. Mereka sudah mengenal dan mempraktikkan sistem demokrasi
yang baik pada saat orang-orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem
kekuasaan yang feodal, aristokratis, dan mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama
kali di dunia ini yang mengembangkan sistem hukum dan kenegaraan yang bersifat
demokratis. Bahkan, jika dunia ini tidak pernah memiliki orang-orang Yunani,
mungkin peradaban dunia tidak semaju saat ini. Banyak bukti menunjukkan bahwa
di wilayah-wilayah dunia yang kurang mendapat pengaruh dari hukum Yunani -
Romawi, peradabannya masih terbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai oleh
ajaran Buddha yang kurang mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata
demokrasi merupakan barang mewah, seperti yang terjadi di Tibet,dan Miyanmar.10
Namun, menurut sejarah hukum tidak begitu dikembangkan di zaman
Yunani, karena hampir tidak terdengar nama ahli hukum besar atau kitab undang-
undang yang komprehensif. Sejarah hanya meninggalkan beberapa undang-undang
saja di Yunani, seperti Undang-Undang Draco (621 SM) Undang-Undang Solon
(594 SM) yang disusun di bawah pengaruh Mesir, Undang-Undang Dura dan
Undang-Undang Gortyn (450-460 SM) yang sebagian isinya dapat terbaca sampai
sekarang. Peninggalan Yunani tersebut berbeda jauh dengar peninggalan
perundang-undangan dan dokumentasi hukum dari Mesir atau Babilonia, yang
sangat banyak jumlahnya dan dapat terbaca sampai sekarang. Di samping dalam
bentuk undang-undang, hukum Yunani juga dapat terbaca dalam orasi-orasi para
advokat di pengadilan dalam membela kliennya. karena sistem peradilan Yunani
memakai sistem juri, sehingga kelihaian berorasi dari para advokat di depan
pengadilan sangat diperlukan dalam rangka meyakinkan para juri yang bukan ahli
9
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San
Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston, 1961) hlm 89-01
10
Munir Fuady,Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm164
hukum dan umumnya tidak pernah belajar hukum tersebut. Di samping sistem juri,
sistem pemeriksaan saksi melalui proses eksaminasi silang (cross examination)
sudah dikenal di zaman Yunani, seperti yang pernah dipraktikkan dalam
pengadilan Socrates.11
Secara politik, orang-orang Yunani terpecah-pecah ke dalam berbagai polis-
polis, sepeti Ithaca, Attica, Sparta, Athena, dan lain-lain. Semula, sistem hukum di
Yunani berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Aria, dengan berbagai variasi di
sana sini. Bahkan, seperti terjadi di Sparta, individu dituntut untuk mengabdi secara
penuh kepada masyarakat dan negara yang umumnya dikuasai oleh kaum tentara,
sehingga hak-hak individu hampir-hampir tidak dikenal. Sebaliknya di Athena,
meskipun individu harus mengalah kepada masyarakat dan negara, tetapi hak-hak
dari warga negara tetap diakui dan kepentingan perdagangan tetap dijaga.
Dalam sistem pemerintahan di Zaman Romawi mulai dikenal dengan teori
siklus Polybius. Siklus ini menjelaskan bahwa, sistem pemerintahan akan terus
bergulir bagaikan siklus hidup yang berputar. Pemerintahan aristokrasi pada
mulanya dipandang baik, kemudian munculah pertentangan-pertentangan dan
akhirnya pemerintah dan masyarakat tidak menyukai sistem aristokrasi yang
dipimpin oleh aristokrat dan berubah menjadi sistem oligaki, begitulah
seterusnya.12
Sistem Peradilan

Pengadilan di zaman Yunani dilakukan di tempat yang berbeda-beda menurut


perbedaan kasus dan juga perbedaan zaman. Misalnya di Athena, pengadilan
dilangsungkan di pasar-pasar, di Angora, di lembah Areopagus (khusus untuk
kasus-kasus pembunuhan), di lembah Pnyx, dan lain-lain.
Lembah Areopagus dipilih sebagai tempat pengadilan untuk kasus-kasus
pembunuhan, khususnya di periode-periode awal zaman Yunani. Hal itu
disebabkan lembah ini terkenal dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh
Orestes. Menurut legenda, Orestes membunuh ibunya yang melakukan perzinaan
sehingga Orestes dibawa ke pengadilan. Para penuntut umum menuntut Orestes
bahwa tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas dendam. Bahkan, dewi Athena
konon menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara dengan voting, suaranya
adalah untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri memang
membebaskan Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen
memorial keadilan dan menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan
ini tidak korup dan merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan
keadilan di Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh
perwakilan dari masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep
pengadilan dengan sistem juri yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara
yang punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masing-
masing mewakili sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan.

11
Ibid hlm 165
12
Op.Cit Soehino,Hlm 39
Ada 10 pintu masuk ke pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua
puluh kamar, masing-masing dua untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing
10 untuk setiap suku, di mana disimpan alat pemberian suara dari para juri yang
dipergunakan untuk memungut suara. Setiap orang yang di atas umur 30 tahun
dapat menjadi juri, asalkan mereka bukanlah debitur terhadap negara dan mereka
belum kehilangan hak-hak nya. Jika ada orang yang tidak cakap bertindak sebagai
juri, maka informasi diberikan kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika
terbukti tidak cakap, maka dia akan dikenakan hukuman badan atau hukuman
denda.13
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan,
kasus-kasus publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari
dua pengadilan dan terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang
juri yang merupakan kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak
suara yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan
tulis, selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih
banyak, dianggap yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka
yang dimenangkan adalah tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri
memutuskan tentang jumlah suatu ganti rugi. Ketika semua telah lengkap, juri
menerima bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap
sebagai berikut :
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap
sidang ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk
memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya,
penggugat sendiri yang membawa surat panggilan tersebut ke alamat tergugat.
Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat. Bahkan, jika tergugat merupakan
orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan meninggalkan kota itu
untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap tergugat dan
membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.
b. Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan
magistrat adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang
sembrono atau yang dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat,
penggugat mengajukan gugatan dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat
tidak hadir, maka akan langsung diputus untuk menerima gugatan, kecuali di
kemudian hari dapat menunjukkan alasan ketidakhadirannya yang dapat diterima.
Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini dianggap ada dasar bagi suatu
gugatan, maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu tahap pemeriksaan
pendahuluan.
c. Tahap pemeriksaan pendahuluan, pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini, terjadi
tanya jawab antara penggugat dan tergugat. Perdebatan yang sebenarnya, fakta-
fakta, serta dalil-dalil yang berkenaan dengan sengketa yang ada, diuraikan dan
terlihat dengan jelas dalam tahap ini. Penggugat mengajukan gugatan dan dalil-
dalilnya, kemudian tergugat mengajukan jawaban dengan dalil-dalilnya.

13
Munir Fuady , Op.Cit hlm 177
Pembuktian tertulis dan pemeriksaan saksi-saksi juga terjadi dalam tahap ini. Jadi,
tahap pemeriksaan pedahuluan merupakan tahap yang cukup esensial dalam suatu
proses pemeriksaan perkara di zaman Yunani. Setelah semua bukti diperiksa dan
alat bukti tersebut disegel, magistrat dapat segera menyelesaikan sengketa yang ada
atau biasanya mengirim sengketa tersebut ke pengadilan juri. Di Athena, para juri
(yang terdiri atas orang-orang biasa) yang mendengar perkara tersebut bisa
mencapai ratusan, bahkan ribuan orang. Sebelum memberikan putusannya, juri
akan mendengar pidato kedua belah pihak. Pidato tersebut biasanya sangat
memikat.
d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung suara.
Suara terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut
berkenaan dengan putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang
menang dan siapa yang kalah, juga putusan tentang besarnya ganti rugi.
Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi), menurut sistem hukum Yunani,
diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan dan hanya menyangkut dengan
kepemilikan; tidak boleh menyentuh personal. 14
Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini
untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang
satu mengancam atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam
hukum pidana misalnya pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu
tindak pidana pembunuhan. Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke
dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana15

Kriteria pembunuhan yang dimaafkan termasuk di dalamnya pembunuhan secara


tibatiba untuk membela diri. Sedangkan, terhadap pembunuhan tanpa rencana,
memang kesalahan masih dapat dipikulkan ke pundak si pembunuh, misalnya
pembunuhandilakukan secara tiba-tiba karena marah atau emosinya terguncang.
Terhadappembunuhan yang tanpa rencana ini, tetap ada unsur kesalahan dari si
pelaku, karenanya pelaku juga harus dihukum. Namun, hukumannya bukan dalam
bentuk hukuman mati, melainkan hanya berupa hukuman kompensasi dalam bentuk
kerja paksa sebagai budak untuk jangka waktu tertentu, biasanya selama delapan
tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, hukuman kerja paksa sebagai budak
tersebut diganti dengan hukuman kompensasi dalam bentuk uang16.

14
Ibid, hlm 182-183
15
Ibid,hlm 174
16
Ibid, hlm 175
Pembunuhan bentuk ketiga adalah pembunuhan terencana. Menurut hukum

Romawi, suatu pembunuhan terencana tidak mungkin dimaafkan, baik oleh

manusia maupun oleh dewa-dewa, di mana hukumannya adalah hukuman mati.

Dalam hukum Romawi Hippodamus pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa,

bahwa yang dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:

a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).

Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu


gugatan hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi
kontrak dapat mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada
gilirannya dapat menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan
penganiayaan dan pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi,
dalam hal ini. hukum-hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan
penghinaan, penganiayaan, dan pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak
yang tidak bersentuhan dengan salah satu dari tiga unsur tersebut tidak
mendapatkan tempat di pengadilan, hanya diatur dan diberikan sanksi oleh moral
dan agama17.
Praktek kehidupan masyarakat Yunani kuno dalam negara kota (city state)
telah menunjukkan struktur sebuah negara dengan berbagai bentuknya sebelum
muncul tokoh-tokoh pemikir kenegaraan. Sistem pemerintahan di Athena telah
memungkinkan masalah kenegaraan menjadi diskusi publik dalam keseharian
masyarakatnya. Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan negara-negara modern
saat ini, namun negara kota Yunani kuno telah menunjukkan struktur pemerintahan
negara berdasarkan kondisi masyarakat pada saat itu18
Masyarakat pada masa itu dibagi menjadi tiga kelas utama, yaitu budak
(slaves), orang asing (foreign or metic), dan warga negara (citizens). Budak
dan orang asing tidak dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan politik. Status
kewarganegaraan diperoleh karena ikatan darah dari masing-masing suku atau
kelompok (parishes).19
Yunani kuno telah melahirkan banyak tokoh pemikir mulai dari abad enam
sebelum masehi. Pusat perkembangan pemikiran semula berada di wilayah Asia
kecil dan semenanjung Balkan. Tempat inilah yang melahirkan tokoh-tokoh mulai
dari Thales, Anaximandros hingga Demokritos. Pusat perkembangan pemikiran di
Yunani baru bergeser ke daratan setelah kota-kota Yunani mengalami masa

17
Ibid, hlm 202
18
Muchmad Ali Safa’at, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Sejarah-Singkat-Pemikiran-
Negara.pdf di akses pada 7 desember 2020
19
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San
Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston, 1961), hal. 4 – 6
keemasan di bawah Pericles pada tahun 461 – 429 SM. Pada masa kejayaan inilah
muncul kaum sophis, seperti Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodikos,yang
merupakan masa antara sebelum kelahiran filsafat klasik.
Hukum Perdata

Di bidang hukum perdata, sebenarnya hukum Yunani juga berkembang relatif


baik. Di samping beberapa kontrak yang telah disebutkan, banyak kontrak lain yang
berhasil ditemukan oleh sejarah hukum peninggalan zaman Yunani. Di samping itu,
prinsip hukum perkawinan dalam hukum Yunani bersifat monogami. Namun
demikian, seperti dalam kebanyakan hukum kuno, kehadiran wanita teman kumpul
yang kedua, meskipun bukan isteri, dapat ditoleransi, terutama oleh hukum
kebiasaan di Yunani. Di samping itu, apa yang disebut dengan perjanjian kawin
juga dikenal dalam sistem hukum Yunani, tetapi dalam suatu perkawinan, seperti
dalam sistem hukum Romawi, isteri dianggap "dibeli" oleh suaminya, sehingga
kedudukan isteri sangat lemah dan sangat jauh di bawah kedudukan suaminya.
Hanya di Sparta yang agak sedikit berbeda, karena di sini kedudukan isteri dalam
suatu ikatan perkawinan lebih baik. Sebab, di Sparta, masalah perkawinan oleh
hukum tidak dianggap masalah personal, tetapi merupakan masalah negara dan
isteri menganggap dirinya sebagai agen dari negara. Semua orang diwajibkan kawin
oleh negara dan seorang bujang tua yang tidak kawin-kawin malahan dihukum oleh
negara dan pembayaran-pembayaran tertentu (seperti pembayaran sebagai
penghargaan) tidak boleh diberikan kepada orang lajang. Demikian hukum di
Sparta.20

Sumber-sumber Historis Hukum Yunani


Negara-negara kota Yunani ini tidak banyak meninggalkan naskah-naskah
hukum, nyaris tidak ada undang-undang maupun catatan-catatan tentang kebiasaan-
kebiasaan. Hanya hukum athenalah yang relative dikenal, dari negara-negara kota
nyaris tidak ada dokumen-dokumen sejarah yang dikemukakan Kembali yang dapat
memberikan kepada kita informasi tentang evolusi hukum tersebut.
Sajak-sajak epos Homerus (Ilias dan Odysseia) mengajari kita mengenal
semacam peradaban suku-suku yang berasal dari abad-abad XII dan X SM,
solidaritas keluarga-keluarga masih sangat berpengaruh saat itu. Hukum Athena
yang berasal dari Zaman klasik abad-abad VI dan III SM dapat dijabarkan dari
sejumlah dokumen-dokumen historis dan filosofis dari pleidoi-pleidoi
Demosthenes dan Isaios abad IV SM dan terutama dari inskripsi-inskripsi yuridis,
yang merupakan sumber terpenting pengetahuan tentang hukum Yunani. Di luar
Athena telah di temukan dua buah apa yang dikenal dengan naskah-naskah undang-
undang, yang satu di Gortyn, yang lain di Dura. Kodeks Gortyn adalah suatu
inskripsi piagam yang Panjang yang ditemukan Kembali di pulau Kreta pada tahun
1884. Nampaknya piagam ini berasal dari tahun-tahun 480-260 SM dan
mengandung sejumlah besar aturan-aturan hukum yang menyangkut hukum privat.
Perkawinan, hak milik, hukum waris, adopsi, dan lain-lain. Undang-undang Dura

20
Op.Cit Munir Fuady, hlm 187
ditemukan di kota ini, yang terletakk di daerah Eufrat, pada tahun 1922 dan
merupakan Salinan naskah yang berasal dari abad IV SM. 21

Perselisihan Antara Negara-negara Yunani

Perang Peloponnesia. Setlah berdirinya kerajaan Athena di kepulauan, Yunani


mendapati diri mereka terbagi antara dua liga-kota-kota maritime tunduk pada
Athena; kota-kota pedalaman tetap berada di abwah dominasi Sparta dan sekutu
kontinentalnya di satu sisi dan Athena dan rakyat maritimnya di sisi lain. Ini adalah
Perang Peloponnesia. Perang ini berlangsung dua puluh tujuh tahun sekitar 432-
404 dan Ketika berhenti, perang bangkit Kembali dengan nama lain hingga 360.
Perang tersebut merupakan peristiwa yang rumit. Mereka bertempur secara
bersamaan di darat dan di laut, di Yunani Asia, Thrace, dan Sisilia, biasanya di
beberapa titik sekaligus. Orang-orang Sparta memiliki tentara yang lebih baik dan
merusak Attica; orang Athena memiliki armada yang unggul dan mendarat di
pantai-pantai Peloponesus. Kemudian Athena mengirim pasukannya ke Sisislia di
mana pasukan tewas sampai orang terakhir(413); Lysander, seorang jendral Sparta,
mengamankan sebuah armada dari Persia dan menghancurkan armada Athena di
Asia. Sekutu Athena yang berjuang hanya di bawah paksaan meninggalkannya.
Lysander merebut Athena, menghancurkan dinding-dindingnya, dan membakar
kapal-kapalnya. Akibat perang ini , perang ini tidak menyatukan orang Yunani
menjadi satu tubuh. Tidak ada kota, Sparta lebih dari Athena, mampu memaksa
yang lain untuk patuh padanya. Mereka hanya kelelahan sendiri akibat berperang
satu sama lain. Raja Persia diuntungkan oleh Perselisihan itu. Bukan hanya kota-
kota Yunani tidak Bersatu melawan dia, tetapi s22emua cara berurutan bersekutu
dengan dia melawan kota Yunani lainnya.

Hukum Yunani dalam Berbagai Undang-Undang dan Kodifikasi


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada era yang bersamaan, di tiga
ujung dunia yang berbeda, ada tiga orang besar pembawa hukum ke dunia, yaitu
menes di Mesir, Minos di Crete (Yunani), dan Manu di India. Di samping namanya
yang mirip-mirip, ketiganya menganggap binatang sapi sebagai hewan suci dan
memakai gambar sapi sebagai lambangnya.
Kitab undang-undang Draco merupakan salah satu undang-undang yang
pernah berlaku di Yunani Kuno. Salah satu prestasi besar dari kitab Undang-
Undang Draco di Yunani mulai berlaku sekitar tahun 620 SM adalah penolakan
terhadap kekuasaan, sehingga hukuman terhadap kejahtan tidak lagi hanya
tergantung pada kehendak kaum bangsawan tersebut. Namun demikian, kitab
undang-undang Draco ini belum sampai membuat suatu perombakan besar terhadap
hukum yang berlaku di Yunani saat itu. Bahkan, dalam banyak hal, kitab undang-
undang Draco hanyalah mempertahankan aturan-aturan hukum tertulis yang sedang
berlaku. Di samping itu, selain itu dari membatasi kekuasaan para bangsawan, kitab

21
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar, Bandung: PT
Refika Adita Utama, 2011). Hlm 1550
22
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno, hlm 150-154
undang-undang Draco juga menyediakan aturan yang lebih fleksibel dan
membentuk suatu peradilan dengan sistem 50 hakim yang disebut dengan Ephetae,
yang akan memutuskan sesuai hukum yang berlaku. Kemudian, solon seorang ahli
hukum, negarawan dan pujangga di zaman Yunani kuno pernah membuat hukum
yang berlaku di Yunani yang tertulis dalam Undang-undang Solon. Solon sangat
mendukung ide demokrasi dan menentang pemerintahan tangan besi/tirani di
Yunani. Dari beberpa peninggalannya dalam bentuk puisi, dapat diketahui
sebenarnya solon sangat gigih dalam mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi,
seperti terbaca dalam beberapa kutipan berikut:
“ kehancuran negara Yunani tidak terjadi karena kematian Zeus atau melalui
kehendak dari dewa-dewa. Namun yang dapat menghancurkan negara adalah
penduduknya sendiri dan para pemimpin yang berhati rusak dan kekuasaan akan
materi. Padahal mereka akan menderita karena kelakuan mereka merusak
tersebut.”23
Undang-undang Solon di Yunani Kuno banyak melakukan perubahan-
perubahan terhdap sistem hukum yang berlaku di Yunani saat itu. Bahkan, Sebagian
dari perubahan tersebut bersifat radikal. Meskipun begitu, pendampingan dengan
undang-undang Solon, masih berlaku juga hukum kebiasaan Yunani yang tidak
tertulis. Perubahan- perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang Solon, antara
lain sebagai berikut:
1. Undang-undang Solon banyak berpihak kepada masyarakat kelas bawah
2. Undang-undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris
dan hukum keluarga
3. Undang-undang Solon tidak bersifat sacral/ketuhanan, tetapi murni hasil
perenungan akal manusia
4. Undang-undang Solon merupakan hasil konsesus dari masyarakat luas.
Sehingga undang-undang ini merupakan undang-undang yang paling dapat
diterima oleh masyarakat Yunani.
Tenntang ketentuan Undang-Undang Solon yang berpihak kepada masyarakat kelas
kebawah, misalnya seperti terlihat dalam ketentuan berikut:
1. Dihapusnya ketentuan mengenai eksekusi debitur oleh kreditur, di mana
debitur tersebut berubah status menjadi budak belian sehingga banyak yang
diperjualbelikan, bahkan sampai ke luar negerei. Undang-undang Solon
dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dapat dijadikan
budak hanya karena tidak dapat membayar utang-utangnya.
2. Diubahnya sistem mata uang sehingga utang-utang menjadi terdeduksi
sampai 25%.
3. Utang dengan bunga tinggi (riba) dilarang oleh Undang-undang.
4. Meskipun jabatan publik tertentu hanya dapat dipegang oleh golongan
masyarakat tinggi, tetapi umumnhya terbuka bagi semua golongan
masyarakat. Misalnya golongan buruh (thetes) memiliki hak-hak politik
meskipun mereka tidak dapat memegang jabatan eksekutif di pemerintahan.
5. Dilakukan pembagian golongan manusia secara berbeda dengan pembagian
sebelumnya, sehingga menentukan pula besarnya pajak yang harus dibayar.

23
Munir Fuady, Sejarah Hukum Op.Cit hal 186
Undang- undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris dan
hukum kelurga. Misalnya kekuasaan seorang ayah terhdapa anak yang ada dalam
hukum sebelumnya sangat besar, dikurangi oleh Undang-undang Solon. Bahkan,
dalam Undang-undang Solon, antara ayah dan anak dianggap menduduki posisi
sebagai pihak yang independen.
Disamping itu, Undang-undang Solon merombak hukum waris sebelumnya
yang membagi harta warisan berlandaskan kepada penampilannya yang baik pada
acara ritual penguburan. Undang-undang Solon juga mengatur bahwa seorang anak
laki-laki yang sah tidak dapat dikesampingkan untuk mendapatkan warisan dari
orang tuanya. Pelaksanaan wasiat tidak boleh bertentangan dengan hukum tentang
perlindungan dan hak yang sama antara anak laki-laki dari pewaris. Disamping itu,
jika seorang ayah meninggal dengan hanya meninggalkan seorang atau lebih anak
perempuan, maka harta seluruhnya jatuh kepada anak-anak perempuan tersebut.
Namun dalam hal ini dengan persetujuan anak-anak perempuannya, ayahnya dapat
memberikan atau mewasiatkan hartanya kepada saudara-saudara dekat lainnya,
atau mewasiatkan agar saudara-saudara dekatnya mengawini anak perempuan yang
ditinggalkannyha itu24.
Banyak perubahan hukum dilakukan Ketika dibuat undang-undang Solon.
Hal ini sebenarnya merupakan salah satu factor yang mengantarkan Athena menjadi
suatu negara kota besar, kuat dan maju. Bahkan, ketentuan hukum di Athena diikuti
pula oleh negara-negara kota lain di sekitarnya. Karena itu, tidaklah mengherankan
jika Solon, yang hidup di sekitar tahun 600 SM di Athena dipandang oleh bangsa
Yunani sebagai pembuat dan perombak hukum terbesar di sepanjang sejarah
mereka.
Namun demikian, untuk mendapatkan suatu sistem hukum yang terbilang
maju, sebenarnya masih banyak yang harus dilakukan oleh orang-orang Yunani, di
samping hanya memiliki perundang-undangan Solon tersebut. Sebab, hukum di
Yunani saat itu sangat beraneka ragam, tanpa suatu klasifikasi dan sistematisasi
yang jelas. Disamping banyak juga kaidah hukum saat itu hanya semata-mata
mengantungkan para pemegang kekuasaan atau hanya untuk menjawab kebutuhab
sesaat, bukan kebutuhan masyarakat jangka Panjang. Walaupun begitu, di masa
berlakunya undang-undang solon banyak undang-undang tertulis yang dibuat dan
semuanya terbuka untuk dibaca oleh umum. Ketika itu, begitu sebuah perundang-
undangan dibuat dan berlaku , maka undang-undang tersebut langsung ditulis di
atas tembaga atau kayu, agar dapat dibaca oleh rakyat.

Namun saat itu sebenarnya lebih banyak lagi hukum tertulis yang berlaku
yang berupa hukum kebiasaan setempat. Bahlan meskipun perundang-undangan
Solon telah banyak mengatur tentang berbagai hal tentang hukum, setelah itu tidak
ada lagi usaha-usaha dalam sejarah Yunani untuk merumuskan kaidah hukum yang
sistematis atau membuat sebuah kodifikasi.
Inilah yang membedakan dengan sejarah hukum Romawi. Bagi orang-orang
Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan merupakan suatu
masalah yang bergengsi. Hukum direduksi hanya pada masalah procedural semata.

24
Ibid, hal hlm 187
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan perkembangan sejarah hukum Yunani dapat
disimpulkan bahwa, sejak awal peradaban hukum Yunani menunjukan ciri atau
sistem hukum di masa depan. Yunani dalam hal ini lebih mengutamakan kebiasaan-
kebiasaan dengan membuat sesedikit mungikn teks hukum tertulis atau kodifikasi
Bagi orang-orang Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan
merupakan suatu masalah yang bergengsi. Hukum direduksi hanya pada masalah
procedural semata. Namun demikian, untuk mendapatkan suatu sistem hukum yang
terbilang maju, sebenarnya masih banyak yang harus dilakukan oleh orang-orang
Yunani, di samping hanya memiliki perundang-undangan Solon tersebut. Sebab,
hukum di Yunani saat itu sangat beraneka ragam, tanpa suatu klasifikasi dan
sistematisasi yang jelas.

B. Saran
Mempelajari sejarah hukum tentunya memberikan pengetahuan tentang
Hukum yang berlaku dan berkembang di masa lalu. Jika melihat sejarah hukum
Yunani Tentunya begitu banyak aturan hukum yang di berlakukan pada masa itu,
untuk itu diharapkan ada banyak pembahasan secara mendalam mengenai sejarah
hukum Yunani.
Daftar Pustaka

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2006
Arif, Muhamad. 2011 Pengantar kajian sejarah, Bandung: Yrama Widya.
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno , Indoliterasi,Yogyakarta,2016
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar,
Bandung: PT Refika Adita Utama, 2011).
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-
Chicago-San Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston,
1961),
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005)
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016)
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001
Munir Fuady,Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009
Sudarsono, Sejarah Hukum, Rineka Cipta, 2004
Soeroso, R 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Muchmad Ali Safa’at, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Sejarah-Singkat-
Pemikiran-Negara.pdf di akses pada 7 desember 2020
SISTEM HUKUM HINDU DAN SEJARAH
HUKUM INDIA

Disusun Oleh:
Erlangga H. Zakaria
20202108067

PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan hukum dalam ajaran-ajaran Hindu memiliki riwayat yang
sangat panjang yang tidak kalah dengan hukum dalam sejarah Barat atau Timur
Tengah. Hukum Hindu berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban India
yang agraris di sepanjang Sungai Gangga dan Sungai Indus. Sudah lama ada
kebudayaan di lembah Sungai Indus, dengan kota terkenalnya bernama Mahenjodaro
dan Harappa. Kota-kota di lembah Sungai Indus ini sudah ada paling tidak di sekitar
Tahun 2500 SM. Karena itu, sejarah kebudayaan lembah Indus ini bersamaan
waktunya dengan kebudayaan Sumeria/Babilonia, dan kedigdayaan raja-raja Firaun di
Mesir.1
Sekitar 2000 SM sampai 1500 SM, bangsa Arya (Indo Eropa) yang masih
kurang berperadaban dan semi nomaden, menyerbu lembah Indus. bangsa arya ini
menyerbu ke Timur sampai ke India dan ke Barat, kemudian ke Eropa. Di perkirakan,
bangsa Arya ini berasal dari sekitar Asia Tengah/India Tengah atau Rusia Selatan.
Namun, kedatangan bangsa Arya ini terjadi pada saat hukum India yang berlandaskan
agama Hindu sudah cukup berkembang. Dengan datangnya bangsa Arya yang
membawa hukum mereka sendiri menyebabkan pengaruh terhadap hukum Hindu yang
kemudian di berlakukan di India.2
Tulisan-tulisan tentang agama Hindu yang paling tua terdapat dalam kitab
Weda (sekitar 1250 SM) yang terdiri atas madah-madah dan amsal-amsal dan
kemudian di susul oleh kitab Upanisyad (750-500 SM) yang berisi satu gagasan pokok,
yakni eksistensi ditandai oleh penderitaan. Manusia dibelenggu oleh karma, daya
kekuatannya yang dapat menghasilkan hadiah atau hukuman dalam eksistensi
berikutnya (reinkarnasi). Tujuan hidup ialah mencapai pembebasan (moksya) dari roda
karma itu. Pembebasan tersebut tercapai lewat pengertian.3
Ajaran agama Hindu membagi kelompok manusia kepada 4 kasta; yakni:4
1. Brahmana, yaitu kasta pendeta;
2. Ksatrya, yaitu kasta raja dan kaum bangsawan;
3. Waisya, yaitu kasta pedagang dan kaum buruh menengah;
4. Sudra, yaitu kasta petani dan buruh kecil serta kaum budak.

1
Munir Fuady, Sejarah Hukum: Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013, Hlm. 116.
2
Ibid., Hlm. 116-117.
3
C. A. Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1980, Hlm. 106.
4
Abdul Qadir Jaelani, Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia, Yayasan
Pengkajian Islam Madinah Munawarah, Jakarta, 2016, Hlm. 11-12.
Golongan di luar para pemeluk agama Hindu, dianggap tidak berkasta, yang
disebut sebagai golongan “Paria” dan dianggap golongan yang hina dan rendah.
Dari keempat kasta tersebut di atas, hanya tiga kasta, yakni Brahma, Ksatrya
dan Waisya, yang diperkenankan mempelajari Kitab Weda. Posisi kasta Brahmana
memegang peranan yang paling penting di dalam masyarakat Hindu. Hal ini
disebabkan karena hanya pendetalah yang dapat melakukan sesaji dengan upacara yang
tepat. Keselamatan seluruh masyarakat tergantung kepada sesaji dan upacara yang
tepat. Menurut kepercayaan massyarakat Hindu, hanya dengan sesaji dan upacara saja
para Dewa dapat dihubungi dan dimintai pertolongan serta berkahnya. Mengingat
betapa beratnya dan sukarnya melakukan sesaji yang tepat maka kedudukan kaum
Brahma (pendeta) dengan sendirinya menjadi terkemuka.5 Inti ajaran kaum Brahmana
yang disebut sebagai Brahanisme terkandung dalam tiga pokok bahasan yang disebut:
(1) Brahmana, yaitu penjelasan tentang upacara dan arti korban-korban yang diberikan;
(2) Aranyaka, yaitu berbagai perumpamaan; dan (3) Upanishad, berisi hasil renungan
filosofis.6
Dengan pandangan hidup yang bersistim kasta, yang dimiliki oleh agama
Hindu, maka para penganutnya cenderung merendahkan golongan masyarakat di luar
Hindu, karena ditopang oleh keyakinan bahwa golongan tersebut tak berkasta dan
mempunyai posisi yang hina dan rendah. Sikap ini yang kemudian menjadi awal
munculnya agama Budha. Agama Budha lahir sebagai reaksi atas pengaruh yang begitu
besar dari kasta Brahmana, yang merupakan kasta tertinggi di dalam agama Hindu,
yang mendorong lahirnya para pembaharu (reformer) dari golongan kasta-kasta yang
lebih rendah. Di antara reformer-reformer itu antara lain, Nataputra Wardamana yang
bergelar Mahawira (539-427 SM) pendiri agama Jania dan Sidharta Gautama (560-480
SM) pendiri agama Budha.7
Intisari dari hukum Hindu adalah apa yang disebut dengan istilah “darma”,
yang berarti keseluruhan kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Namun begitu, sebagai suatu hukum yang agamis, hukum hindu
dianggap sebagai perintah Tuhan, meskipun bukan Tuhan tunggal yang berasal dari
langit sebagaimana yang dipercaya oleh kaumYahudi, Kristen, maupun Islam.
Sebagaimana diketahui, dalam tradisi agama Hindu tidak memiliki nabi atau rasul
tunggal, meskipun mengenal beberapa manusia pilihan di dunia yang melaluinya
diturunkan wahyu (sruti), yang merupakan isi kitab suci Weda. Karena hukum Hindu
diipercaya berasal dari Tuhan, maka menjadi kurang fleksibel karena tidak gampang
diubah-ubah oleh manusia, tetapi unsur kepastian hukumnya lebih terjamin.8

5
Ibid.
6
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Depok, 2017, Hlm. 53.
7
A. G. Pringgodigdo, Ensiklopedia Umum, Kanisius, Jakarta, 1973, Hlm. 217.
8
Munir Fuady, Op. Cit., Hlm. 118.
Namun begitu, dalam sistem hukum Hindu, bahkan yang tradisional sekalipun,
sudah mengenal dan mengakui kaidah-kaidah hukum kebiasaan mereka sendiri yang
disebut dengan smriti, yang selalu diingat oleh kaum arif dan bijaksana secara turun-
temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Untuk memecahkan kekakuan hukum
Hindu, kebiasaan sering juga diakui sebagai hukum positif, bahkan dapat mengalahkan
hukum tertulis, sebagaimana yang pernah diputuskan oleh pengadilan Anglo India
tahun 1986. Putusan tersebut di dasarkan pada suatu kitab-kitab undang-undang yang
paling terkenal dan komprehensif yakni Manusmr’ti (ingatan Manu), yang dikenal
sebagai Code Manu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah yang
akan dikaji dalam tulisan ini yakni:
1. Apa saja sumber-sumber hukum dalam sistem hukum Hindu?
2. Bagaimana pengaturan hukum pidana dan hukum perdata dalam Code Manu?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber-Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Hindu
Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Yang
dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang memengaruhi terhadap
timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma
hukum.9 Menurut van Apeldoorn, ada 4 (empat) macam sumber hukum, yakni sumber
hukum historis/sejarah, sumber hukum sosiologis, sumber hukum filosofis dan sumber
hukum formal. Oleh para ahli hukum terkemuka, sumber hukum historis, sumber
hukum sosiologis, dan sumber hukum filsofis sebagaimana pendapat van Apeldoorn
dikelompokkan sebagai sumber hukum material, karena ketiga sumber hukum tersebut
merupakan materi (isi) norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat.10
Sumber Hukum Hindu adalah rujukan dasar yang digunakan dalam
pengambilan Hukum Hindu. Pokok-pokok ajaran Hindu yang diyakini dan dijadikan
sebagai rujukan dasar terdapat pada Kitab Manawa Dharmacastra. Sumber utama yang
menjelaskan mengenai sumber Hukum Hindu (Dharma) adalah kitab Weda Smrti
(Manawa Dharmasastra), yaitu sebuah buku yang memuat himpunan ajaran-ajaran dari
Bhatara Manu. Kedudukan Manawa Dharmasastra itu tetap sangat penting sejak

9
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, Hlm. 39.
10
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2014, Hlm. 87.
jaman dahulu sampai sekarang, oleh karena Manawa Dharmasastra memuat ajaran-
ajaran pokok tentang Agama Hindu, serta memuat dasar-dasar Hukum Hindu yang
kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu di
masa penyebaran Agama Hindu ke seluruh pelosok India sampai ke Indonesia. Selain
itu, Manu Smrti atau Manawa Dharmasastra adalah sebuah buku hukum yang telah
teratur secara sistematik dari bab ke bab dan dibagi atas 12 Bab atau Adhyaya. Manawa
Dharmasastra memuat delapan belas tata hukum (wyawahara) yang dapat
dikategorikan dalam bentuk Hukum Perdata Hindu, Hukum Pidana Hindu, dan
peraturan-peraturan lainnya yang bersifat mengatur secara lengkap. 11
Pengertian sumber Hukum Hindu dapat ditinjau dalam arti sejarah, sosiologis,
filsafat, dan formal, sebagai berikut :
1. Sumber Hukum Hindu dalam arti sejarah
Sumber Hukum Hindu dalam arti menurut sejarahnya adalah sumber-sumber
Hukum Hindu yang dipergunakan oleh para ahli Hindulogi untuk meninjau dan
menulis Hukum Hindu itu, terutama dalam rangka pengamatan serta peninjauan
terhadap aspek politik hukum, filosofi, sosiologi, kebudayaan dan hukumnya, sampai
kepada bentuk material yang tampak berlaku pada suatu masa dan tempat tertentu.12
Peninjauan sumber hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data-data
mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada.
Penekanan harus pada dokumen tertulis karena pengertian sejarah dan bukan sejarah
adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis
(pra sejarah), tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang di
dalam Hukum disebut acara.
Selanjutnya menurut bukti-bukti Sejarah dan dokumen tertua yang memuat
pokok-pokok Hukum Hindu, pertama-tama Hukum Hindu itu dijumpai di dalam Weda
yang disebut Sruti. Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum
pula timbul dan dikembangkan pada jaman berikutnya, dalam jaman Smerti. Dalam
jaman ini terdapat Yajur Weda, Atharwa Weda, dan Sama Weda. Kemudian
berkembang pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Adapun sumber hukum yang penting
dalam arti sejarahnya yang lain, ialah Raja Sasana yang dituangkan dalam berbagai
prasasti dan paswara-paswara, serta yang merupakan Yurisprudensi Hukum Hindu
yang telah dilembagakan oleh raja-raja pada jaman Kerajaan Hindu.13

11
I Wayan Surpha, Pengantar Hukum Hindu, Paramita, Surabaya, 2005, Hlm. 42-43.
12
Ibid., Hlm. 21.
13
Ibid., Hlm. 22-26.
Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu, periode berlakunya
hukum dibedakan menjadi empat bagian, yaitu :14
a. Jaman Krta Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Manu.
b. Jaman Treta Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Gautama.
c. Jaman Dwapara Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra)
yang ditulis oleh Samkha-likhita.
d. Jaman Kali Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Parasara.
Keempat Kitab Dharmasastra di atas, sangat penting diketahui dalam
hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu.
2. Sumber Hukum Hindu dalam arti sosiologis
Sosiologi menurut Chaldun, merupakan studi tentang masyarakat manusia
dalam pelbagai bentuknya serta sifat dan gejala-gejalanya yang dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh hukum-hukum alam. Sosiologi mempelajari ilmu
kemasyarakatan. 15 Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang
mempunyai hubungan, baik hubungan budaya, agama, bahasa, dan lain-lainnya.
Hubungan antara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan
tradisi maupun berdasarkan pengaruh-pengaruh baru yang datang kemudian.
Sosiologi tidak saja mempelajari bentuk masyarakat akan tetapi juga kebiasaan
dan moral masyarakat di dalam perkembangannya sampai kepada bentuknya yang
tertentu. Faktor sosiologis itu juga sangat besar pengaruhnya bagi sumber Hukum
Hindu. Pengamatan sosiologi tidak didasarkan pada faktor waktu, akan tetapi bentuk
tata kemasyarakatannya pada waktu itu.16
Hukum Hindu yang disebut dharma mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia yang sangat luas, yang menyebabkannya tidak mungkin memiliki kesatuan
bentuk, kecuali kesatuan azas dan ideologi. Penerapan dharma didasarkan atas azas-
azas tertentu yang disebut berdasarkan samaya (waktu), warga (golongan), samavaya
(sifat-sifat umum), sehingga ilmu sosiologi berperan sekali dalam menunjang sumber

14
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Sumber Hukum Hindu Dalam Manawa Dharmasastra, Purwadita:
Jurnal Agama dan Budaya Volume 1 Nomor 2, 2017. Hlm. 39.
15
Dikutip oleh Ngenget dan A.D. Ewald Frederick, Buku Ajar Pengantar Sosiologi, STISIP,
Manado, 2012, Hlm. 21.
16
I Wayan Surpha, Op. Cit., Hlm. 27.
hukum. Penerapan hukum Hindu di masyarakat disesuaikan dengan desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (keadaan) setempat.17
3. Sumber Hukum Hindu dalam arti filsafat
Filsafat adalah berfikir menggunakan analisis secara logis, ilmiah, objektif dan
bertanggung jawab dalam memahami realitas yang ada dengan pengetahuan yang
dimiliki dan melakukan penilaian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sampai
ke akar-akarnya hingga tuntas. Ilmu filsafat adalah cabang pengetahuan filsafat yang
ilmiah dan tersusun secara sistematis, berobjek, bermetode, universal, koheren,
konsisten dengan menerapkan ontologi, epistemology dan aksiologi.Sumber hukum
dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian
yang tidak dapat dipisahkan. Filsafat adalah ilmu pikir, berkaitan dengan rasional ke
dalam sifat kebenaran atau realistis, yang juga memberikan pemecahan terhadap
permasalahan yang terjadi. Filsafat menunjukkan jalan untuk mendapatkan
pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.18
Menurut Surpha untuk mencapai tingkat kebahagiaan tersebut ilmu filsafat
Hindu (dharsana) menegaskan tentang sistem dan metode pelaksanaan pada hal-hal
sebagai berikut :19
a. Harus didasarkan pada dharma,
b. Harus diusahakan melalui keilmuan (jnana),
c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (sadhana),
d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan
pengendalian (danda) seperti pengendalian pikiran (mano danda),
pengendalian ucapan (wak danda), dan pengendalian tingkah laku (kaya
danda),
e. Harus ditebus dengan usaha prayascita (pensucian).
Hukum itu adalah menyangkut berbagai bidang, akan tidak terelakkan
pentingnya arti filsafat itu dalam menyusun suatu hipotesa hukum yang diperlukan.
Bahkan filsafat akan menduduki tempat terpenting pula dalam ilmu hukum. Agama
Hindu tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana manusia menyembah Tuhannya,
akan tetapi juga memuat filsafat, hukum, dan lain-lain sehingga Dharmasastra sebagai
hukum Hindu memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya,
sosiologinya, ekonominya, pemerintahannya, politiknya, dan lain-lain.

17
Ibid., Hlm. 27-28.
18
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Op. Cit., Hlm. 40.
19
I Nengah Lestawi, Hukum Hindu Serta Perkembangannya, Paramita, Surabaya, 2015, Hlm.
46.
4. Sumber Hukum Dalam Arti Formal Menurut Weda
Sumber hukum dalam arti formal menurut Van Aveldoorn ialah sumber hukum
yang dibuat berdasarkan bentuk yang dapat menimbulkan hukum positif itu, artinya
dibuat oleh suatu badan atau lembaga tertentu yang berwenang. Menurut Lestawi yang
merupakan sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti berdasarkan:20
a. Undang-Undang,
b. Kebiasaan dan Adat,
c. Traktat.
Ada juga penunjukkan jenis sumber hukum dengan menambahkan
yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan
sumber hukum itu sebagai berikut:
a. Undang-undang.
b. Kebiasaan dan adat.
c. Traktat,
d. Yurisprudensi,
e. Pendapat ahli hukum yang terkenal.
Sistematika susunan sumber hukum di atas, dianut pula dalam hukum
internasional, sebagaimana tertera dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang
beradab sebagai sumber huum pula. Dengan demikian terdapat susunan hukum sebagai
berikut:
a. Traktat International yang kedudukannya sama seperti undang-undang
terhadap negara itu.
b. Kebiasaan International.
c. Azas-azas hukum ang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
d. Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara
e. Ajaran-ajaran yang dipublisir oleh para ahli dari berbagai negara hukum
tersebut sebagai alat tambahan
Sumber Hukum Hindu yang terdapat dalam Kitab manawa Dharmasastra
terdiri dari lima bagian, yaitu:21
a. Sruti,
b. Smrti,
c. Sila,

20
Ibid., Hlm. 47.
21
Ibid., Hlm. 48.
d. Acara,
e. Atmanastuti
Bagian-bagian sumber hukum Hindu disebutkan dalam Dwitiyo ‘dhyayah
(buku ke dua) Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra), yaitu :22
Idanim dharma pramananyaha wedo’khilo dharmamulam smrtiçile ca
tadwidam acaraçcaiwa sadhunam atmanastutirewa ca
(Manawa Dharmasastra, II.6)
Terjemahan :
Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama daripada Dharma
kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orangorang budiman
yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang
suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi.
Berdasarkan Manawa Dharmasastra II.6, Sumber Hukum Hindu diatur secara
kronologi, yaitu :
a. Sruti
Weda Sruti adalah kelompok Weda yang ditulis oleh para Maha Rsi melalui
pendengaran langsung dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sruti adalah
pengetahuan suci, yang selalu di dengar oleh guru-guru suci yang bijak, berbeda
dengan apa yang bisa diketahui penulis-penulis tentang kemanusiaan. Seluruh
teks Sruti dengan jelas memuat suatu konteks religius. Rg Veda berisi ayat-ayat
yang didasarkan dalam upacara pengurbanan; Sama Veda adalah kumpulan
lagu atau melodi selama upacara ritual; Yajur Veda merupakan kumpulan
formula pengurbanan, dan Atharva Veda adalah kumpulan formula magis-
religius. Kumpulan-kumpulan ini adalah doa-doa atau himne-himne yang berisi
pujian bagi dewa-dewa dan permohonan berkat. Dalam hal ini dapat
diperkirakan bahwa penerimaan Sruti pada umumnya adalah sebagai sumber
ajaran-ajaran Agama Hindu, sedangkan pengembangan kaidah-kaidah
hkumnya diadaptasikan dengan kebudayaan dari masing-masing masyarakat
pemeluknya berdasarkan desa, kala, dan patra. 23
b. Smrti

22
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Op. Cit., Hlm. 41.
23
I Wayan Surpha, Op. Cit., Hlm. 35.
Smrti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Selanjutnya
Smrti sebagai sumber Hukum Hindu adalah sebagai sumber yang kedua setelah
Sruti yang merupakan kitab-kitab teknis yang memuat berbagai masalah yang
berasal dari Sruti sehingga dapat dikatakan bahwa Smerti bersifat
pengkhususan yang memuat penjelasan-penjelasan otentis.24
c. Sila
Sila merupakan tingkah laku orang-orang suci yang mempunyai tingkah laku
baik. Sila dijadikan standar atau ukuran untuk menilai baik buruknya atau
salah-benarnya tingkah laku dari seseorang.
d. Acara
Acara adalah adat kebiasaan local sebagai wujud bakti kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya, yang terdiri dari upacara dan
upakara. Acara atau disebut juga “Sadacara” adalah Bahasa Jawa Kuno yang
artinya sama dengan“Dresta” dalam bahasa Sansekerta, yaitu adat-istiadat yang
dipatuhi oleh masyarakat, karena adat-istiadat tersebut bersumber kepada
ajaran-ajaran Agama Hindu serta telah dilaksanakan secara turun temurun.
e. Atmanastuti
Atmanastuti adalah kepuasan kebenaran yang berada dalam diri kita/roh.
Atmanastuti dalam Manawa Dharmasastra, yaitu rasa kepuasan diri dari
masing-masing individu dipakai juga sebagai ukuran untuk menilai baik-
buruknya sesuatu. Alasannya ialah bahwa setiap keputusan akan menimbulkan
suatu akibat tertentu.25
Kalau dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan Negara, maka Sruti
itu mempunyai persamaan dengan Undang-Undang Dasar sebagai sumber atau asal
dari ketentuan-ketentuan lainnya, sedangkan Smrti yang memuat peraturanperaturan,
pedoman pelaksanaan, dan ajaran-ajaran berdasarkan Sruti, dapat disamakan dengan
Undang-Undang, baik organik maupun anorganik. Di samping itu smerti menurut
Manawa Dharmasastra disebut juga Dharmasastra, sedangankan Sila adalah ajaran
tentang tingkah laku orang-orang yang beradab atau azas-azas hukum yang diakui oleh
bangsa yang beradab, dan Acara ialah adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat serta

24
Ibid.
25
Ibid., Hlm. 37.
merupakan hukum positifnya. Akhirnya Atmanastuti ialah rasa puas pada diri masing-
masing individu yang merupakan ukuran dari setiap usaha manusia.26

B. Pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Manu (Code Manu)


Ajaran hukum Hindu tertulis dalam banyak kitab suci (darma), lebih kurang
100 buah yang masih dijumpai sekarang. Namun, yang palin terkenal dan
komprehensif adalah apa yang disebut dengan Manusmr’ti (ingatan Manu), yang
kemudian dikenal dengan Code Manu. Konon menurut Riwayat, Manu sendiri
merupakan seorang keturunan Brahma yang maha bijaksana dan berhasil memahami
tujuan hidup yang hakiki dari manusia di bumi ini. Manu merupakan pembuat hukum
legendaris yang tiada taranya di dunia ini, yang hidup di sekitar tahun 3000 SM,
meskipun ada juga Riwayat yang menyebutkan bahwa Manu hidup di sekitar tahun
1500 SM.27
Code Manu diperkirakan ditulis kembali antara tahun 200 SM dan tahun 200
M, terdiri atas 12 buku yang berisi kurang lebih 5400 ayat. Meskipun begitu, tidak
semua Pasal dalam Code Manu berisi ketentuan hukum. Misalnya, buku pertama
banyak mengisahkan tentang kejadian alam semesta dan manusia, sedangkan buku
kedua lebih banyak berkisah tentang kedudukan manusia yang terbagi ke dalam empat
kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Kaidah-kaidah hukum dalam Code
Manu meliputi berbagai bidang hukum, seperti hukum keluarga, hukum perkawinan,
hukum benda, hukum acara, hukum pidana, perbuatan melawan hukum dan lain-lain
sebagainya. Aturan-aturan hukum dalam Code Manu ini bersifat komprehensif, teknis
dan tersusun secara sistematis dan logis sehingga Code Manu ini sangat mengagumkan
untuk ukuran saat itu.28
Dalam tradisi Hindu, hukum disebut dengan “darma” yang secara harfiah
berarti “kewajiban” yang terbilang maju menurut ukuran zamannya. Meskipun begitu,
seperti umumnya hukum di zaman dahulu, masih banyak kaidah hukum Hindu dalam
Code Manu yang masih bersifat hukum primitif, antara lain :
a. Hukum yang didasarkan kepada takhayul;
b. Pembagian manusia pada empat kasta dengan hak dan kedudukan yang
lebih tinggi bagi orang-orang dari kasta yang lebih tinggi;
c. Pelaksanaan hukuman mati yang kejam;

26
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Op. Cit., Hlm. 42.
27
Munir Fuady, Op. Cit., Hlm. 125.
28
Ibid.
d. Hukuman pidana yang bersifat mutilasi, seperti hukum potong tangan,
potong kaki, potong telinga, pembuktian dengan sumpah pemutus,
pemberlakuan hukum ordeal, dan lain-lain.

Beberapa prinsip hukum dalam Code Manu tersebut adalah sebagai berikut.
Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Hukum tentang Orang
Hukum Perkawinan
Hukum Waris
Hukum Kekayaan
Hukum Agraria
Hukum Perikatan dan Utang Piutang
Hukum Pidana
Tindak Pidana Pencurian
Tindak Pidana Kesusilaan
Hukum Acara
Tentang Pidana Perusakan
Tentang Perlindungan Konsumen
Tentang Hukuman
Tentang Pajak, Bea dan Cukai

1. Pengaturan Hukum Perdata dalam Code Manu


Menurut Kautilya hukum perdata Hindu termasuk dalam hukum privat. Hukum
perdata hindu disebut dengan Dharmasthya. Oleh karena termasuk dalam hukum
privat, maka hukum ini menjamin kepentingan-kepentingan pribadi. Mengenai hukum
perdata hindu diatur menyebar di berbagai buku weda smrti. Yang di bahas di dalam
hukum perdata Hindu atau Dharmasthya, diantaranya, sebagai berikut:29
a. Hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan (vivaha) diatur dalam buku III
dan buku IX weda smrti.
b. Mengenai hukum kekeluargaan dan kewarisan diatur di dalam buku IX
weda smrti.
c. Mengenai hukum hibah, pemberian dan hadiah diatur di dalam buku X
weda smrti.
d. Mengenai hukum perjanjian atau perikatan diatur dalam buku VIII weda
smrti.
e. Mengenai hukum dagang diatur dalam buku VIII weda smrti.
f. Mengenai hukum perbankan diatur di dalam buku VIII weda smrti.

29
I Nengah Lestawi, Op. Cit., Hlm. 69.
Sebagaimana halnya kantaka sodhana (hukum pidana), maka Dharmasthya
juga dibedakan menjadi Dharmasthya dalam arti material dan dalam arti formal.
Dharmasthya dalam arti material adalah mengatur mengenai:
a. Perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipersalahkan kepada para
pelakunya.
b. Siapa-siapa orang yang dapat dipersalahkan dalam hubungan dengan
dilanggarnya suatu perjanjian atau dalam kondisi seseorang yang palit.
c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
pelanggaran norma hukum perdata atau terhadap kesepakatan yang telah
diperjanjikan.
Dharmasthya formal, yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang berisi cara-cara
menerapkan Dharmasthya material. Dharmasthya formal disebut pula hukum Acara
Perdata Hindu.
2. Pengaturan Hukum Pidana dalam Code Manu
Hukum pidana Hindu menurut Kautilya disebut sebagai Kantaka Sodhana.
Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu Kantaka Sodhana adalah
arti subyektif dan Kantaka Sodhana dalam arti objektif.
Kantaka Sodhana dalam arti subjektif disebut juga sebagai Ius Puniedi. Ius
Puniedi bermaksud yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak dan negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Sedangkan Kantaka
Sodhana dalam arti objektif disebut juga sebagai Ius Poenale, yang bermakna yaitu
sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan larangan-larangan dan keharusan-
keharusan, yang mana pelanggarnya dapat diancam dengan suatu hukuman. 30 Kantaka
Sodhana dalam arti objektif ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu Kantaka
Sodhana material dan Kantaka Sodhana formal.
Yang dimaksud dengan Kantaka Sodhana material atau hukum pidana material
yaitu peraturan-peraturan yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai:31
a. Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan suatu hukuman.
Misalnya: pencurian berdasarkan Pasal 337 dan 338 Astamo’dhyayah weda
smrti, seseorang yang melakukan pencurian dapat dihukum sesuai
ketentuan yang berlaku. Selanjutnya berdasarkan Pasal 170
Ekadaso/dhyayah weda smrti juncto pawos I Sastra Agama, dinyatakan
bahwa seseorang pencuri dapat dikenakan sanksi hukum tapa dan
prayascita.
b. Siapa-siapa orang yang dapat dikenakan sanksi hukuman. Dalam hubungan
ini tentunya setiap orang yang ada kaitannya dengan perbuatan pidana yang

30
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, 1984, Hlm. 1.
31
I Nengah Lestawi, Op. Cit., Hlm. 64-65.
dilakukannya. Misalnya: pelaku atau melakukan sendiri perbuatan pidana
(plegen), orang yang ikut serta melakukan perbuatan pidana (medeplegen),
orang yang menyuruh melakukan (doenplegen), orang yang menggerakkan
orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitlokken), termasuk orang
yang berteman dengan pelaku perbuatan pidana dapat dikenakan sanksi
hukuman. Hal ini di dasarkan pada pawos I Sastra Agama.
c. Hukuman apa yang dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
perbuatan yang menurut ketentuan merupakan kejahatan. Dalam hal ini
berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan oleh majelis hakim, apakah tapa
(pemenjaraan), prayascita (memulihkan kembali kondisi lingkungan yang
tercemar akibat perbuatan pidana yang dilakukan), apakah sanksi wrata
atau sanksi membayar denda, ini tergantung berat ringan akibat hukum yang
ditimbulkannnya.
Adapun dalam hubungannya dengan pelaksanaan putusan ada beberapa jenis
sanksi menurut hukum pidana Hindu. Sanksi menurut hukum Hindu merupakan salah
satu reaksi terhadap pelanggaran atau terhadap aturan-aturan hukum Hindu. Adapun
jenis-jenis sanksi yang diatur dalam hukum pidana Hindu atau Kantaka Sodhana
adalah sebagai berikut:
a. Sanksi hukum Jasmani, yaitu dalam bentuk tapa, penyiksaan dan
pengasingan.
Sanksi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran atas perbuatan yang
dilakukan, yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum. pada
dasarnya sanksi hukuman jasmani adalah bentuk sanksi hukuman
penyiksaan dan pengasingan dari masyarakat yang melanggar norma-
norma hukum hindu. Sanksi hukuman penyiksaan dan pengasingan dapat
berupa tapa, brata, dan menghilangkan beberapa anggota badan atau
hukuman mati. Tapa janganlah hanya dimaknai sebagai suatu usaha
pemusatan pikiran pada Ida Sang Hyang Widhi dengan cara duduk dan
mengasingkan diri di suatu tempat, tapi istilah tapa identik dengan
pemenjaraan. Istilah tapa ditegaskan dalam penjelasan pasal 171
Ekadco’dhyayah (buku XI) Veda Smrti, sebagai berikut: “istilah tapa harus
diartikan pemenjaraan, karena dalam keadaan seseorang dipenjara sama
deritanya sebagai seorang bertapa”.32
b. Denda
Denda adalah satu sanksi hukum Hindu. Denda adalah sejumlah uang yang
dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu norma-norma atau
kaidah agama Hindu.
c. Prayascita atau Pamarisudha
Prayascita adalah suatu upacara keagamaan dalam rangka pembersihan
tempat tertentu apabila ditempat itu teradi suatu perbuatan yang melanggar
32
Ibid., Hlm. 67.
norma-norma hukum Hindu yang dapat dipandang mengganggu
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Prayascita adalah merupakan
penyucian terhadap semua dosa-dosa yang telah dilakukan seseorang.
Prayascita dapat dilakukan dengan cara mempelajari veda, melakukan
Mahayadnya menurut kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua
penderitaan. Hal ini akan cepat menghancurkan semua kesalahan, maupun
sampai dengan dosa besar. Prayascita dapat dilaksanakan dengan
pengucapan mantra-mantra veda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 249,
sampai dengan Pasal 260 Ekadaco dhyayah veda smrti.33
d. Sanksi Hukum Vrata
Selain sanksi-sanksi hukum yang disebut di atas di dalam kurma purana
disebutkan pula sanksi hukum vrata (brata) sebagai berikut:
1) Santapana vrata
2) Mahasantapana vrata
3) Prajapatya vrata
4) Atikrcchra vrata
5) Paraka vrata
6) Taptakrcchra vrata
7) Krcchratikrcchra vrata
8) Padakrcchra vrata, dan
9) Candrayana vrata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Sumber Hukum Hindu yang terdapat dalam Kitab manawa Dharmasastra


terdiri dari lima bagian, yaitu: Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Kalau
dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan Negara, maka Sruti itu
mempunyai persamaan dengan Undang-Undang Dasar sebagai sumber atau
asal dari ketentuan-ketentuan lainnya, sedangkan Smrti dapat disamakan
dengan Undang-Undang, baik organik maupun anorganik. Sedangankan Sila
adalah ajaran tentang tingkah laku orang-orang yang beradab atau azas-azas
hukum yang diakui oleh bangsa yang beradab, dan Acara ialah adat-istiadat
yang hidup dalam masyarakat serta merupakan hukum positifnya. Akhirnya
Atmanastuti ialah rasa puas pada diri masing-masing individu yang merupakan
ukuran dari setiap usaha manusia.
2. Menurut Kautilya hukum perdata Hindu termasuk dalam hukum privat. Hukum
perdata hindu disebut dengan Dharmasthya. Oleh karena termasuk dalam

33
Ibid., Hlm. 68-69.
hukum privat, maka hukum ini menjamin kepentingan-kepentingan pribadi.
Mengenai hukum perdata hindu diatur menyebar di berbagai buku weda smrti.
Hukum pidana Hindu menurut Kautilya disebut sebagai Kantaka Sodhana.
Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu Kantaka Sodhana
adalah arti subyektif dan Kantaka Sodhana dalam arti objektif.

B. SARAN

1. Sumber-sumber hukum Hindu yang masih digunakan sampai dengan sekarang,


agar bisa dijadikan mata pelajaran dalam kurikulum tersendiri dalam rangka
pembelajaran sejarah hukum di Indonesia.
2. Ketentuan hukum pidana dan perdata yang terdapat dalam sistem hukum Hindu
dapat dilestarikan melalui pengaturan hukum positif yang sesuai dengan prinsip
pengaturan dalam sistem hukum Hindu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Fuady, Munir. Sejarah Hukum: Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013.

Jaelani, Abdul Qadir. Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia, Yayasan
Pengkajian Islam Madinah Munawarah, Jakarta, 2016.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, 1984.

Lestawi, I Nengah. Hukum Hindu Serta Perkembangannya, Paramita, Surabaya, 2015.

Ngenget dan A.D. Ewald Frederick, Buku Ajar Pengantar Sosiologi, STISIP, Manado,
2012.

Peursen, C. A. Orientasi di Alam Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1980.


Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim. Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum,
Rajawali Pers, Depok, 2017.

Pringgodigdo, A. G. Ensiklopedia Umum, Kanisius, Jakarta, 1973.

Rumokoy, Donald Albert dan Maramis, Frans. Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014.
Sugiarto, Umar Said. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Surpha, I Wayan. Pengantar Hukum Hindu, Paramita, Surabaya, 2005.

Jurnal

Ida Ayu Aryani Kemenuh, Sumber Hukum Hindu Dalam Manawa Dharmasastra,
Purwadita: Jurnal Agama dan Budaya Volume 1 Nomor 2, 2017.
SEJARAH SISTEM HUKUM CHINA:
SEBUAH TATANAN YANG TERKONSTRUKSI
DALAM LINTASAN LI DAN FA

TUGAS
SEJARAH HUKUM

Oleh:
Nama: JULIA FRANSIKA RAMBI
NIM : 20202108071

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020

1
SEJARAH SISTEM HUKUM CHINA:
SEBUAH TATANAN YANG TERKONSTRUKSI
DALAM LINTASAN LI DAN FA


oleh
JULIA F.RAMBI

PENDAHULUAN
Sistem hukum China, berkembang menurut alur sejarahnya sendiri,
“terlepas” dari perkembangan sistem hukum anglo-saxon (anglo-american),
maupun sistem civil law (Eropha continental). Meskipun pada titik tertentu
terlihat adanya persinggungan di antara sistem-sistem hukum tersebut, akan
tetapi sistem hukum China terbangun dengan pondasi sumber hukum, asas,
lembaga dan pranata yang berbeda dengan sistem hukum lain didunia,
sehingga tampil sebagai sebuah sistem hukum tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada paragrap-paragrap di bawah ini
akan dideskripsikan tentang sistem hukum China.

2
PEMBAHASAN
Sistem Hukum China: Sebuah Pergumulan antara Li dan Fa1
Sistem Hukum China di Masa Kerajaan: Sebuah sistem dikotomis yang
Diskrimanatif
Sejak awal pembentukannya, sistem hukum China terbangun oleh dua
tradisi besar, yaitu tatanan hukum yang bersumber dari ajaran filsafat confu-sio-
nisme,2 yang bertumpu pada pengabdian aturan-aturan hukum moral (yang
disebut li = ! ["] «禮» ), dan tatanan hukum yang didasarkan atas undang-

undang (yang disebut fa= ! ) terutama undang-undang pidana, sebagai produk


hukum yang diupayakan oleh para raja dengan bantuan ahli-ahli hukum.
Munculnya konsep Li3 dalam sistem hukum China, didasarkan pada
struktur kemasyarakatan China di-era kerajaan yang bertumpu pada etika
yang bersumber dari tiga buah aliran pemikiran, yaitu: Confusianisme,
Taoisme dan Budhisme.4
Li adalah kata kunci paling dekat pada pengertian “hukum” menurut
konsepsi hukum di negara-negara barat, meskipun terkadang Li
diterjemahkan pula dengan ritual, moral, etiket, kepastian. Li merupakan
seperangkat aturan-aturan kepatutan dan kesopanan yang harus diindahkan
oleh manusia yang ju-jur. Dengan demikian Li lebih menampakan dirinya
sebagi sebuah kode etika dalam pergaulan (aturan-aturan moral).

1 Keseluruhan bagian dari tulisan ini diambil dari John Gillissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum:

Suatu pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2005, kecuai disebutkan lain sumber referensinya.
2 Confucius adalah seorang filosof dunia yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan
moralitas.Masyarakat penganut ajaran nilai-nilai Confucius yang mengutamakan nilai moral
(Li)cenderung untuk menyatu dengan alam. Penyatuan dan keselarasan hidup manusia dengan alam
menjadikan masyarakat Confucius cenderung untuk menghindar dari konflik, baik konflik dengan
sesama manusia maupun konflik dengan lingkungan alam. Lihat Fokky Fuad, Confusius Hukum,
http:/ /www.fokkylaw.com/2009/02/confucius-dan-hukum.html dan http://uai.ac.id/index.
php/situs/konten/ 86
3 Menurut Fisafat Konfusiun Li prinsip-prinsip yang menentukan aturan semesta alam, baik alam

maupun dunia manusia. Li mampu mengatur semua alam ini, oleh karena itu Li sering didentikan
dengan keadilan. Kata Li sebenarnya berarti pola. Menurut Chu Hsi, pola tersebut merupakan akar
dan dasar semua benda (hakekatnya, normanya). Pola atau norma yang ada ada suatu benda
menentukan keadaannya dna perkembangannya. Lihat lebih lanjut Theo Huijbers, Filsafat H ukum,
Yogyakarta : penerbit Kanisius, 1995, Hal. 126.
4 Konfusianisme pada hakikatnya adalah apa yang dikenal sebagai agama kaum terpelajar ia lebih

merupakan suatu tatanan kefilsafatan daripada sebuah agama dalam arti yang sebenarnya. Sementara
itu, Taoisme dan Budhisme adalah agama-agama rakyat biasa. Orang-orang China ini terkenal sangat
toleran dalam bidang keagamaan, bahkan terhadap agama Islam maupun Kristen.

3
Aturan-aturan hidup yang disebut Li bukanlah sebuah ketentuan yang
berlaku umum, Li memiliki substansi yang berbeda-beda mengikuti bentuk
hubungan dan golongan dari orang-orang yang harus menerapkannya. Meskipun
demikian terdapat satu ketentuan yang berlaku umum di dalam Li, yaitu adanya
penetapan, bahwa manusia-manusia pada dasarnya tidak mempunyai hak-hak
subyektif, akan tetapi hanya memiliki kewajiban-kewajiban, baik kewajiban
terhadap atasan-atasan mereka, maupun terhadap masyarakat.
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan,
sebagai bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan
dan perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”,
yaitu : (a) kaum muda terhadap kaum tua; (b) kaum laki-laki terhadap ayahnya;
(c) istri terhadap suami; (d) sahabat terhadap sahabatnya; (e) kaula negara
ter-hadap raja. Adanya kewajiban yang bersifat subordinasi ini, tidak dapat
di-lepaskan dari bentuk dasar organisasi kemasyarakatan, yaitu keluarga,
dalam arti yang luas. Kepala keluarga adalah orang yang tertua dari generasi
tertua, dan ia melakukan kekuasaan yang tak terbatas atas semua anggota-
anggota ke-luarga. Keluarga-keluarga tersebut dikelompokkan kedalam
keturunan-keturun-an dan yang disebut terakhir ini pada gilirannya
bertumpu pada domein feodal, dan berada dibawah pimpinan raja-raja.
Hierarki feodal seperti itulah yang ada pada era Confusius, tetap bertahan.
Kondisi itulah yang kemudan menjadi dasar diterapkannya Li oleh ke-pala
keluarga didalam keluarga, oleh kepala suku-bangsa terhadap kepala-kepala
keluarga, oleh raja-raja atau pejabat-pejabat tinggi terhadaap kepada kepala-kepala
suku. Dalam konteks ini setiap orang harus berikhtiar untuk menghindari adanya
sengketa, oleh karena adanya sengketa dapat merusak kehormatan dan sekaligus
mengganggu ketertiban masyarakat. Dengan demikian setiap anggota masyarakat
harus senantiasa berupaya untuk melakukan rekonsiliasi, dan men-cari solusi yang
mendamaikan. Bilamana proses rekonsiliasi tidak menghasilkan sesuatu, maka
barulah sengketa tersebut diselesaikan dengan hukum, sebagai alat pamungkas.5
Adanya pandangan yang demikian mendasarkan pada pen-dapat Confucius, yang
menyatakan bahwa manusia akan menjadi benar, jika manusia menjunjung tinggi
moral (Li) dalam setiap kehidupannya. Dengan

5 Di dalam kultur sistem hukum China tradisional, peradilan pada hakikatnya merupakan alat yang

diarahkan untuk menghambat proses dan prosedur ini. Barang siapa mengajukan suatu tuntutan dapat
mengharapkan adanya sikap permusuhan hakim. Profesi penasihat hukum disini dipandang sebagai
suatu pekerjaan yang tida terhormat. Dengan demikian derajat profesi advokat di China tidak pernah
berdiri di China, sama halnya sebuah kedudukan profesi kehakiman. Peradilan diselenggarakan oleh
pejabat-pejabat administrasi, yang tidak diharapkan mempunyai pendidikan yuridis.

4
menjunjung tinggi moral, maka manusia akan berada dalam kesempurnaan sehingga
manusia tidak perlu lagi berpedoman pada hukum. Menurutnya hukum tertulis yang
dibuat oleh para pembentuk hukum (kaum legalis) menjadikan manusia memiliki
perilaku yang buruk. Hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang jahat,
hukum menjadikan manusia bersikap tamak dan serakah. Manusia yang telah mencapai
kesempurnaan moralitas tidak akan membutuhkan hukum dalam hidupnya. Pemikiran
Confucius tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan baik, sehingga ia karena terdapatnya atau telah tertanamnya
moral dalam dirinya sejak manusia itu lahir.6
Pada abad III M, terutama di zaman Dinasti Tsyin (256-207), ajaran
Confusionisme, terutama ajaran li ini diserang habis-habisan oleh kaum ahli-ahli
hukum atau para legis, yang mendasarkan pada pandangan bahwa fa, artinya
undang-undang, terutama undang-undang hukum pidana sangat diperlukan bagi
rakyat. Apa yang dikenal dengan facia (madzab undang-undang/madzab kaum
legis) berkembang pesat terutama pada pemerintahan Kaisar Ch’in Shih Huang-Ti,
yang pada tahun 221 SM mewujudkan persatuan dan kesatuan semua wilayah
China, dan kemudian diteruskan oleh mao tse Tung serta pimpinan partai komunis.
Tentangan terhadap Confucius tersebut, mendasarkan pada pemahaman
Kaum Legalis, yang melihat bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan dengan
membawa watak dan sifat jahat. Manusia cenderung untuk senang sendiri, ia akan
menjadi serigala bagi manusia yang lain. Pada keadaan yang demikian manusia
harus diatur oleh hukum yang keras. Menurut kaum Legalis Raja memperoleh
legitimasi kekuasaan dari Thian (Tuhan), dan ketika ia berkuasa maka ia dibekali
dengan hukum untuk menundukkan sifat watak keras manusia, sehingga tidak ada
satupun manusia yang akan menentangnya.7 Oleh karena itu untuk menjaga
ketertiban, maka manusia perlu ditundukan pada undang-undang, bahkan para
pelanggar aturan-aturan ini harus diancam dengan hukuman-hukuman berat yang
menakutkan.8 Fa adalah hukum yang lekat pada negara, secara mutlak dan umum
serta berlaku sama dan setara bagi setiap orang.
Sejalan dengan anjuran dari facia, di China pun kemudian dibentuk berbagai
peraturan perundang-undangan. Paling sedikit dijumpai setidak-tidaknya delapan

6 Fokky Fuad, Ibid.


7 Fokky Fuad, Ibid.

8 Dardi Darmaodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat

Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, Hal. 46.

5
belas kitab undang-undang China.9 Peraturan perundang-undangan yang tertua
berasal dari abad IV SM, setelah itu hampir disetiap dinasti mengeluarkan
sebuah kitab undang-undang baru (meskipun biasanya berasal dari naskah lama
yang diambil alih begitu saja dengan atau tanpa tambahan-tambahan).
Akan tetapi pandangan legalistis fa-cia tersebut nampaknya tidak
dapat dipaksakan begitu saja. Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat
dipasti-kan terjadi sebuah proses “konfussianisasi” undang-undang, dimana
beberapa peraturan perundang-undangan secara substansi merujuk pada Li
sebagai sum-ber hukumnya.
Sekalipun demikian legisme ini masih tetap berpengaruh dan telah
men-jadi tradisi bagi setiap kaisar untuk membentuk perundang-undangan,
terutama perundang-undangan di bidang hukum pidana dan hukum tata-
usaha negara. Hanya saja proses legisme tersebut tidaklah pernah
menyentuh bidang hukum privat.10
Dalam bidang hukum privat, kebiasaan tetap memainkan peranan pen-
ting, dan kebiasaan tersebut masih tetap berlaku sekalipun bertentangan dengan
undang-undang. Sub sistem hukum Li dan Fa dalam sistem hukum China, ti-
daklah berlaku secara unifikasi untuk semua golongan masyarakat. Permber-
lakuan Li dan Fa disesuaikan dengan struktur masyarakat China terdiri dari
empat kelas, yaitu : kelas pertama yang terdiri dari pejabat-pejabat dan kaum
yang terpelajar; kelas kedua kaum petani; kelas ketiga kaum pekerja dan kelas
keempat kaum pedagang.11 Orang-orang yang berada di kelas yang lebih rendah
tunduk pada orang-orang kelas yang lebih tinggi; didalam kelas tiap kelas
keluarga dan kelompok keluarga tetap merupakan dasar organisasi kemasya-

9 Beberapa kitab undang-undang mempunyai lebih dari 1500 pasal, dengan menyebutkan berturut-

turut lebih dari 2000 kejahatan dan pelanggaran, yakni Kodeks Ts’in-Liu (tahun 268M), dan lebih
kemudian lagi yang diterbitkan oleh Dinasti Tsying, dari tahun 1646 dan tahun 1740. pidana-pidana
ini nampaknya sangat ketat: hukuman mati deportasi, kerja paksa, hukuman rajam. Salah satu dari
kejahatan adalah pemberontakan anak laki-laki terhadap kekuasaan ayahnya.
10 Hingga awal abad XX, China tidak memasukan konsep hukum perdata (perdagangan) dalam

sistem hukumnya, apalagi mempraktikan. Di Era Komunis, tidak ada hukum perdagangan mengenai
bisnis domestik, hingga Deng Xioping merumuskan reformasinya serta mengadopsi prinsip-prinsip
umumhukum sipil dan hukum kepailitan pada tahun 1986. Hukum mengenai investasi asing langsung,
dibentuk pada tahun 1979. Lihat lebih lanjut Goerge T. Haley dan Usha, The Chinese Thao of
Business: Rahasia Kesuksesan dan Keunggulan Strategi Bisnis pengusaha China, diterjemahkan oleh
Arfan Achyar, Jakarta : Hikmah (PT Mizan Publika), 2008, Hal. 97.
11 Pembagian kelas dalam masyarakat China, tidaklah berlaku secara ketat dan rigid, setiap orang

dimungkina untuk berpindah kelas dari yang lebih rendah ke kelas yang lebih tinggi melalui ujian-
ujian..

6
rakataan dan yuridis. Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan
bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah,
tidak dapat diterapkan dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam
konteks yang demikian, maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar
terhindar dari undang-undang pidana, bahkan jika mereka harus dihukum,
mereka senantiasa dapat “menembus” pidana mereka dengan sejumlah uang.
Munculnya perbedaan tersebut didasarkan pada alasan karena
anggota-anggota kelas tertinggi kaum elit orang-orang terpelajar, para
pejabat negara, pemilik-pemilik tanah karena pengetahuan dan pendidikan
mereka dapat memahami cara hidup yang ditentukan oleh Li, sedangkan
“rakyat biasa” yang tidak terpelajar dan hidup sederhana tidak dapat berbuat
demikian, sehingga mereka harus diatur dengan peraturan perundang-
undangan, khususnya hukum pidana.
Hukum China tradisional dengan demikian diwarnai dan ditandai oleh
adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan
ha-kim. Kelas-kelas tertinggi dapat menolak permbelakukan undang-undang
ter-hadap mereka, dengan alasan bahwa pemberlakuan sebuah undang-
undang me-rupakan bukti kelemahan.

Sistem Hukum China di Masa Republik: Dominasi Sistem Fa berbasis


Marxisme Versi Mao Tse-Tung
Ketertutupan China dari pengaruh asing dalam berbagai bidang (ter-
masuk hukum), sepertinya tidak dapat dipertahankan secara terus menerus.
Seiring dengan jatuhnya rezim kekaisaran dan terbentuknya pemerintahan
Repu-blik pada tahun 1912, mulai terjadilah perembesan tatanan-tatanan hukum
Barat ke China. Hal ini terutama terjadi setelah Tsiang Kai Tsyek mengungguli
kelom-pok-kelompok yang berhaluan partai kiri dari partai Kuo Min Tang
selama ta-hun-tahun 1925-1928. Pada saat itu mulai disusunlah Undang-undang
Dasar (yang bersifat sementara pada tahun 1931, dan kemudian menjadi
definitif pa-da tahun 1936), maupun sejumlah kodeks menurut pola Barat.12

12 Undang-undang Dasar pertama Republik Rakyat China yang diberlakukan pada tahun 1954,

sebagian materi adalah pencerminan Undang-undang Dasar Uni Sovyet dan Republik-republik Rakyat
Eropa Timur.
Pada tahun 1930 dibentuk Kodeks Hak Milik, pada tahun 1931 dibentuk Kodeks Hukum Acara
Perdata. sebuah kitab Undang-undang Hukum Perdata Jerman tahun 1900 dan bahkan beberapa yang
lebih baru lagi versi negara-negara Swiss, Rusia dan Brazil

7
Pada tahun 1949 telah terjadi perubahan mendasar sebagai akibat ke-
menangan partai Komunis dibawah pimpinan Mao Tse-Tung.13 Rezim baru
Republik Rakyat China ini telah menghapus semua undang-undang yang ada
untuk melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah, dan
sebagai gantinya dibentuk tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang.
Pembentukan tatanan hukum baru berbasis undang-undang ini, tidaklah semata-
mata memperlihatkan kemenangan Fa, (kaum ahli hukum (legisten), akan tetapi
lebih menunjukan domonasi dari penerapan paham Marxisme-lenimisme.
Pemberlakukan undang-undang di Republik Rakyat China, pada dasarnya ingin
mengukuhkan kekuasaan diktator (yang untuk sementara dianggap sebagai
suatu keadaan yang terpaksa ditolelir). Pemberlakukan undang-undang yang
keras dan ketat, semata-mata untuk menegakkan komunisme.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah di-
keluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut
pola hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China. Akan tetapi
pada sekitar tahun 1958 terjadilah suatu reaksi terhadap hegemoni perundang-
undangan. Pemerintah China menentang pengaruh Rusia dan kembali ke cara
pendekatan tradisional China. Dominasi kedaulatan undang-undang mulai di-
hapuskan, dan kemudian digantikan dengan sebuah model penataan yang ber-
basis pada kepemimpinan kenegaraan yang dipengaruhi oleh sebuah etika um-
um, yang ditafsirkan oleh kader-kader partai dan negara. Pada titik ini, di Repu-
blik Rakyat China, terbentuk kembali sebuah li yang baru, sesuai dengan pan-
dangan-pandangan partai politik komunis, yang diturunkan oleh gagasan-gaga-
san Mao Tse Tung (yang kemudian dikenal dengan “buku merah”). Li ini di-
terapkan atas diri “orang-orang yang jujur”, yakni orang-orang komunis,
sedang-kan yang kejam itu (undang-undang hukum pidana) tetap dipertahankan
dan diberlakukan bagi orang-orang “kontrarevolusioner” dan bagi orang-orang
“Ba-arbar”, yakni yang bukan China.
Terjadinya Revolusi kebudayaan kaum Proletar pada tahun 1966-1968
telah mempercepat proses perubahan tersebut. Proses untuk membentuk komu-
nisme menimbulkan keinginan yang kuat disebagian kalangan untuk memasuk-
kan didalamnya keadaan “non-hukum”, dengan sama sekali tidak ada sanksi
apa pun. Ideologi harus mampu menjalankan kekuasaan negara, sementara rak-

13 Mao Tse-Tung sejak tahun 1931 telah mendirikan Republik Sovyet China di Propinsi Kiang Si,

di bagian Selatan China Tengah. Setelah long march” (1934-1935), yang membawa kaum komunis
ini ke Syensi, propinsi bagian utara China, maka dari sinilah seluruh China ditaklukkan (kecuali pulau
Taiwan).

8
yat harus menerima dan mengikuti dengan penuh gairah gagasan-gagasan partai
dan pimpinannya. Idiologi ini harus harus diterima bukan karena menyetujuinya,
melainkan agar tercipta persatuan dan kesatuan. Setiap orang diharapkan dapat
menerapkan gagasan-gagasan tersebut, kalau perlu dengan jalan paksa. Dengan
demikian bentuk tatanan hukum yang kemudian terbentuk bukan lagi semata-mata
berdasarkan undang-undang, akan tetapi segala sesuatunya kemudian bertumpu
pada slogan-slogan dan semboyan-semboyan yang bersifat ideologis.
Pada tahun 1970, dan terutama setelah wafatnya Mao (1976), nampak-
nya pandangan mengenai hukum dan negara yang diberlakukan oleh Revolusi
Kebudayaan secara berangsur-angsur ditarik kembali. Pada tahun 1973 muncul-
nya perlawanan terhadap Lin Piao, yang dipadukan dengan penyerangan ter-
hadap konfusionisme serta pemujaan terhadap fa-chia, Hua Kuo Feng bersama-
sama dengan Feng Hsiao-Ping (pemimpin yang dilengserkan oleh Revolusi
Kebuda-yaan), telah membawa kembali China untuk menganut legalisme, suatu
bentuk fa, namun tanpa mengingkari ideologi Mao.
Pada masa ini Undang Undang Dasar yang dibuat sejak tahun 1954,
kemudian diganti dengan sebuah Undang-undang Dasar baru yang telah
dipersiapkan sejak tahun 1970 dan dirampungkan serta dikeluarkan pada tahun
1975. UUD ini lebih ringkas dibandingkan dengan yang dikeluarkan pertama
(hanya 30 pasal, sedangkan UUD yang lama berisi 106 pasal). UUD baru ini di
satu sisi berupaya untuk menyederhanakan struktur kenegaaraan, sedangkan di sisi
lain melelatkan dasar konstitusional bagi partai komunis. Dengan demikian
Republik Rakyat China menjadi negara sosialis dengan nama “diktatur ploretariat”,
yang didalamnya kekuasaan negara diletakkan di bawah pimpinan partai komunis.
Undang-undang Dasar tahun 1975 ini, kemudian diamandemen pada
bulan Maret tahun 1975 (60 pasal), yang kemudian diganti lagi oleh UUD
1982, namun perubahan-perubahan yang diadakan relatif sedikit. Dianutnya
kembali subs sitem fa di China, tidaklah menyebabkan hukum (undang-undang)
menjadi dominan. Sekitar tahun-tahun 1972-1976 hukum justru ditempatkan
secara subordinatif dan hanya menjadi alat tujuan-tujuan politik. Demikian pula
di bidang hukum privat. Meskipun telah diakui adanya kepemilikian tanah,
akan tetapi struktur kepemlikian tersebut mendasarkan pada hak milik
marxisme, dengan tekanan pada hak milik negara sosialis dan kolektif.
Peradilan pun sepenuhnya berada di bawaah pengawasan badan-badan partai,
yang hanya mempunyai satu tujuan: penyelesaian pertentangan-pertentangan yang
timbul dalam masyarakat. Didalam kebanyakan bidang hukum ini diupayakan adanya
penyelesaian perselisihan secara damai melalui jasa-jasa perantara. Untuk menunjang

9
maksud tersebut maka dibentuklah Komisi Perantaraan Masyarakat, yang
pada hakikatnya mengesampingkan peranan peradilan. Mekanisme ini
dipandang sebagai pengganti tolak ukur yang lama, yakni kewajiban
menjamin kehidupan, harmonis, yang kemudian berubah menjadi
persyarataan kesetiaan terhadap paham marxisme versi Mao Tse-Tung.
Hukum perundang-undangan di China bersumber dari dua badan pem-
buat undang-undang, yaitu: badan legeslatif negara dan badan kekuasaan partai.
Dalam hal ini Partai menetapkan isinya, sedangkan negara menentukan bentuk
undang-undang. Begitulah sejak tahun 1979 telah diterbitkan ratusan undang-
undang, terutama yang berhubungan dengan institusi-institusi negara dan khu-
susnya yang menyangkut hukum ekonomi. Selain itu dikeluarkan pula kitab-
kitab undang-undang dalam bidang cabang-cabang hukum lainnya seperti hu-
kum perdata dan hukum acara perdata, hukum pidana dan hukum acara pidana.
Adapun Pembagian bidang hukum di negara China pada masa kini adalah: (a)
Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai. Dalam hal
ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini. Instansi partai tertinggi
adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara dan masyarakat. (b) Hukum Tata
Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-undang Dasar dan didalam
undang-undang pelaksanaannya. Undang-undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh
Musyawarah Nasional, menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi,
mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama dimuka
hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan
Musyawarah Rakyat Nasional; dan (c) Hukum pemerintahan yang antara lain
menetapkan statuta komite-komite penduduk. (d) Di dalam bidang hukum privat,
hukum China ini membedakan antara orang-orang pribadi dan badan-badan hukum.
Orang asing dilindungi dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan hukumnya. Di
dalam hukum keluarga suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang
perkawinan tahun 1980 mengatur persyaratan-per-syaratan pelaksanaan perkawinan,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang me-ngalir dari hal tersebut berikut syarat-
syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hak yang
sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum perkawinan pada tahun 1950
pembuat undang-undang membuat suatu ketentuan yang bertentangan dengan
kebiasaan-kebiasaan tradisional. Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai
permasalahan yang diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan
ketentuan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan
hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan istri
mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan

10
alasan-alasan demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti pro-gram
keluarga berencana. (e) Di dalam pengaturan tentang eigendom Undang-undang dasar
membedakan tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak
milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-sumber daya
alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom individual meliputi
barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah tangga, uang tabungan) dan
alat-alat produkssi seperti hewan penarik dan pengangkut beban. Hanya hak milik
publik “sosialistis” adalah barang suci dan tidak dapat diganggu gugat. (f) Kendatipun
Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik intelektual, namun pada
tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke permukaan dan diberlakukan suatu
hak oktroi baru. (g) Di dalam bidang ekonomi dijumpai perusahaan-perusahaan negara,
kolektif dan individual, disamping perusahaan-perusahaan campuran China dan manca-
negara (perusahaan patungan) yang diatur oleh sebuah perundang-undangan yang serba
luas. Sejak tahun 1980 diadakan empat buah “Zone Ekonomi Khusus” di bagian
Selatan China, dimana investor-investor asing memperoleh perlakuan istimewa berupa
hak-hak privilese yang berhubungan dengan perpajakan, imporekspor valuta asing, dan
seebagainya. (h) Dalam bidang peradilan dijumpai: (i) Komite-komite perantaraan
masyarakat, yang dibentuk oleh komite-komite penduduk, yang didalamnya duduk
hakim-hakim awam dan yang kurang menangani perkara-perkara perdata dan pidana;
(ii) Pengadilan-pengadilan rakyat biasa maupun khusus dan pada puncak piramida
peradilan, sebuah Mahka-mah Agung Rakyat; (iii) Komisi-komisi arbitrase yang
terutama menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi; (iv) Parket, yang
mengawasi pelaksanaan undaang-undang; (v) Ruang tempat pembela (balie), yang
terdiri dari advokat-advokat yang bekerja dibawah pengawasaan-pengawasan negara
dan wajib memberikan bantuan hukum. (vi) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-
hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu. (vii) Hukum acara
di sidang pengadilan berlangsung melalui dua instansi: pemeriksaan dan pemutusan
perkara dalam tingkat pertama dan dalam tingkat banding. Dan persidangan pengadilan
terbuka untuk umum. Namun, jumlah perkara tidak banyak: kebanyakan perkara
diselenggarakan terhadap apa yang disebut musuh-musuh rakyat dan “residivis-
residivis”, maupun dalam bidang hukum perkawinan.

PENUTUP
Di awal-awal pembentukannya sistem kukum China yang merupakan reduksi
dari hasil tarik menarik antara sub-sistem hukum Li dan Fa¸ diwarnai dan ditandai
oleh adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan

11
hakim. Sub-sistem hukum Li sebagai suatu tatanan umum yang bersendikan
moral hanya diberlakukan bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan
bagi kelas-kelas terendah, diberlakukan sub-sistem hukum Fa, sebagai
suuatu tatanan hukum berbentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat
dan diberlakukan oleh negara bagi masyarakat kelas rendah.
Di sepanjang alur sejarah perjalanannya model pembangunan hukum di
China mengalami pergantian antara suatu tatanan hukum berbasiskan undang-
undang, yang mendasarkan pada paham Marxisme-lenimisme, dengan sisten
hukum yang berbasis moral (etika umum) dengan mendasarkan pada
pendekatan tradisional China. Pada tahap akhir perkembangannya China
menganut kembali paham legalisme, tanpa mengingkari ideologi Mao, dan
menempatkan hukum secara subordinatif pada tujuan-tujuan politik.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Daud. 1994. Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya. dalam
Tjun Surjaman (Ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan
Pratek. Cet. Kedua. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Azizy, A. Qodry. 1982. Peradilan Islam Batasan Ulasan dan Sejarahnya di


Indonesia. Diktat. Semarang : Fakultas Syariah IAIN Walisongo.

Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Jakarta: Pustaka Jaya.

Darmaodiharjo, Dardi dan Shidarta. 1996. Pokok-Pokok Filsafat Hukum :


Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara : Transformasi pemikiran dan


Praktik Politik Islam Di Indonesia. Jakarta. Penerbit Paramadina
dan Yayasan Ibn Sina.

Fuad, Fokky. Confusius Hukum. http://www.fokkylaw.com/2009/02/ confucius-


dan-hukum.html dan http://uai.ac.id/index. php/ situs/konten/86.

12
Gillissen, John dan Frits Gorle. 2005. Sejarah Hukum: Suatu pengantar. Bandung:
Refika Aditama.

Haley, Goerge T. dan Usha. 2008. The Chinese Thao of Business : Rahasia
Kesuksesan dan Keunggulan Strategi Bisnis pengusaha China.
diterjemahkan oleh Arfan Achyar. Jakarta : Hikmah (PT Mizan
Publika).

Hartono, Sunaryati. 1997. Peranan Ekonomi dalam pembangunan Hukum


Nasional. dalam Artidjo Alkostar. Identitas Hukum Nasional.
Yogyakarta : Fakultas Hukum –UII. Yogyakarta.

Hartono, Sunaryati. 1998. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung.


Binacipta.

Hazairin. 1984. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan hadis.


Jakarta: Tinta Mas.

Hazairin. 1985. Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat H ukum. Yogyakarta: Kanisius.

Ichtianto, S.A. 1994. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum islam di


Indo-nesia. dalam Tjun Surjaman (Ed.). Hukum Islam di Indonesia:
Perkembangan dan Pembentukannya. Cet kedua. Bandung :
Remaja Rosdakarya.

Khamimudin. Penegakan Syari’at di Indonesia. http://www.pta-


kupang.go.id/ isi/ bacaartikel.php?sid=9

Lev, Daniel S. 1990. Peradilan Agama Islam di Indonesia. Diterjemahkan


oleh. H. Zaini Ahmad Noeh . Jakarta: Intermasa

Madjid, Nurcholish. Sejarah Awal Penyusunan Dan Pembakuan Hukum Islam.


http://etoeacax.mywapblog.com/post/8.xhtml

13
Nur, Ma’mun. 2006. Efendi Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits.
Semarang: Bima Sejati.

Pijper, G.F. 1987. Politik Islam Pemerintah Belanda. dalam H. Baudet dan
I.J. Brugmans ( ed ). Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan
.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ramulyo, Idris. 1985. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata


Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Ind –
Hill. Co.

Ricklefs, M.C. 1982. Islamisasi di Jawa : abad ke-14 hingga ke-18" . dalam
Tika Noorjaya dan Endang Basri Ananda. Islam di Asia Tenggara :
Persfpektif Sejarah. Jakarta. LP3ES.

Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum islam di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo.

Salman, Otje. 1993. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris.


Bandung : Alumni.

Sjadzali, Munawir. 1994. Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam


Rangka menentukan Peradilan Agama di Indonesia. dalam Tjun
Surjaman (Ed.). Hukum Islam di Indonesia : Pemikiran dan Pratek.
Cet. Kedua. Bandung : Remaja Rosdakarya

Soedarna, Dadang. 1986. Sejarah Peradilan Islam.Pekalongan : Fakultas


Syari’ah IAIN Walisongo

Soepomo. 1982. Sejarah Politik Hukum Adat : Jilid I (Dari Zaman Kompeni
Sehingga Tahun 1848). Cet. Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita.

Soepomo. 1982. Sejarah Politik Hukum Adat: Jilid I (Masa 1848 – 1928). Cet.
Kedua. Jakarta: Pradnya Paramita.

Soepomo. 1998. Sistem Hukum di Indonesia: Sebelum perang Dunia II. Cet.
Ketigabelas. Jakarta : Pradnya Paramita.

14
Sudiyat, Iman. 1985. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Yogyakarta. Liberty.

Suminto, R. Aqib. 1986. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.

Syarifuddin, Amir. 1993. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam.


Padang: Angkasa Raya.

Thalib, Sajuti. 1985. Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan


Hukum Islam. Jakarta. Bina Aksara.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum


Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum
Indonesia . Jakarta. Rajawali Pers.

15
SEJARAH HUKUM ISLAM DI NEGARA ARAB SAUDI

TUGAS

SEJARAH HUKUM

OLEH:

ROGER HERMANUS (20202108054)

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah modern Arab Saudi diawali pada abad ke-delapan belas dengan
persekutuan antara Muhammad ibn Saud dan Muhammad ibn. Abd al-Wahhab,
seorang pemimpin agama dan penemu gerakan Wahhabi, yang mencari inspirasi
moral dalam pembelajaran langsung mengenai pemikiran dan praktek-praktek
religius Nabi dan sahabat-sahabatnya. Hal itu memerlukan sikap intelektual dari
theologian abad ke-tigabelasan sampai empat belas, Ibn Taymiyya, yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh ajaran Ahmad ibn Hanbal, theologian abad ke-
sembilan dan penemu aliran hukum Islam Hanbali. Koalisi Saudi/Wahhabi
membentuk tiga kerajaan berturut-turut, yang memuncak menjadi satu sekarang.
Arab Saudi mulai mengambil bentuk modernnya pada abad ke-dua puluh saat Ibn
Saud menyatukan berbagai daerah jazirah yang berbeda menjadi satu negara, yang
diawali dengan penangkapan Riyadh pada tahun 1920 (ibukota sekarang), diikuti
dengan penaklukan Hijaz tahun 1925, dan memuncak di tahun 1932 dengan
proklamasi Kerajaan Arab Saudi.1

Minyak ditemukan pada tahun 1930-an. Ketika produksi berskala besar


dimuali setelah Perang Dunia II, kerajaan tersebut mengalami pertumbuhan pesat.
Dengan wafatnya Ibn Saud pada 1953, kepemimpinan diserahkan pada putranya:
Saud (r. 1953-1964), Faisal (1964-1975), Khalid (1975-1982), Fahd (1982- ),
selanjutnya dinobatkan sebagai Pangeran Abdallah. Perang Teluk tahun 1990,
membawa tentara A.S. ke tanah Saudi, mendorong oposisi Islam dan liberal untuk
melakukan lebih banyak protes, mendorong pembentukan Dewan Konsultatif
yang ditunjuk dan Hukum Dasar tahun 1992 yang mengulangi pernyataan

1
Hasbi Ash-Shiddiqy. 1966. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang.
hlm. 43.
mengenai terpusatnya hukum Islam, juga kekuasaan independen raja untuk
menerbitkan peraturan-peraturan yang sesuai dengan hukum tersebut.2

Berbicara mengenai hukum Islam adalah berbicara mengenai fiqh.


Meskipun fiqh bisa diartikan dengan ‘hukum Islam’, namun ‘hukum’ di sini tidak
selalu identik dengan perundang-undangan (rules/law). Menurut Azizy, ‘hukum’
yang mencangkup al-ahkam al-khamsah dalam fiqh lebih dekat dengan konsep
‘etika agama’ (religious ethics) Islam. Dalam hal ini ciri utamanya adalah
terwujudnya kandungan ‘nilai ibadah’ yang sarat dengan pahala, siksaan, dan
berkonsekuensi akhirat.3 Hal tersebut nampaknya juga mirip dengan pemahaman
Josept Schacht yang mengartikan hukum Islam sebagai sekumpulan aturan
keagamaan, totalitas perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan umat Islam
dalam keseluruhan aspeknya.4

Selain fiqh, berbicara hukum Islam juga harus menyinggung istilah syari’ah.
Istilah syari’ah seringkali dipahami sama dengan fiqh oleh sebagian orang. Hal ini
tentunya menimbulkan problem tersendiri karena kedua istilah tersebut memiliki
perbedaan yang signifikan, walaupun tidak dapat dinafikan bahwa keduanya juga
memilaki hubungan yang erat. Syari’ah merupakan jalan yang ditetapkan oleh
Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-
Nya.5 atau dengan kata lain syariah merupakan kehendak ilahi, suatu ketentuan
suci yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan fiqh
merupakan ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah amaliah dari dalil-dalil yang
terinci (adillah tafshiliyyah).6

Dengan demikian syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan yang sangat jelas.
Perbedaan keduanya disimpulkan oleh pernyataan A. A Fyzee, bahwa syari’ah
mencangkup hukum-hukum dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fiqh

2
Ibid.
3
A. Qadri Azizy. 2003. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai
6DLQWLøN_0RGHUQ. Jakarta: Teraju. hlm. 14-15; idem. 2002. Eklektisisme hukum Nasional
Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media. hlm.13.
4
Josept Schacht. 2003. Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo. Yogyakarta: Islamika. hlm. 1.
5
Fazlur Rahman. 1997. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. hlm. 141.
6
Wahbah az-Zuhaili. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr. I: 19; Al-Amidi. 1347
H. DO_,KNDPø8VKXODO_$KNDP. Kairo: Muhammad Ali Shabih. hlm. 5.
hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja. Abu Ameenah menambahkan
tiga perbedaan lain antara syari’ah dan fiqh, yaitu: Pertama, Syari’ah merupakan
hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah,
sementara fiqh adalah hukum yang disimpulkan dari syari’ah yang merespon
situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum syari’ah.
Kedua, syari’ah adalah pasti dan tidak berubah, sementara fiqh berubah sesuai
dengan situasi dan kondisi dimana diterapkan. Ketiga, hukum syari’ah sebagian
besar bersifat umum; meletakkan prinsip-prinsip dasar, sebaliknya hukum fiqh
cenderung spesifik; menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa
diaplikasikan sesuai dengan keadaan. Akan tetapi, walaupun sesungguhnya makna
syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan, namun kemudian diterjemahkan secara
longgar sebagai ‘hukum Islam.7

Sistem hukum Saudi didasarkan pada hukum Islam, Arab Saudi merupakan
tempat kelahiran Islam dan tempat dimana terletak dua tempat tersuci Islam,
Mekah dan Madina. Karena Arab Saudi merupakan satu dari sedikit negara di
daerah tersebut yang tidak pernah dikolonisasi, sistem hukumnya memiliki lebih
sedikit tambahan dari hukum Eropa yang ditemukan di negara-negara sekitarnya,
dan hukum Islam, yang belakangan ini berkurang di sebagian besar negara
menjadi hukum berstatus personal (kasarannya, hukum keluarga dan pengesahan
hakim), tetap menempati posisi pokok. Sejak abad ke delapan belas, pemerintah
dan ketetapan keagamaan berpegang pada paham Wahhabisme, yang cenderung
pada suatu penekanan terhadap akar Islam: Qur’an dan Sunnah (kata-kata dan
perilaku nabi Muhammad), memberikan lebih sedikit penekanan aliran penafsiran
Islami yang muncul kemudian. Sementara terikat secara historis pada aliran
hukum Islam Hanbali, otoritas keagamaan sekarang, ketika memperbanyak
Qur’an dan Sunnah, mendukung keempat aliran Islam. Sebagai komitmen

7
Abu Ameenah Bilal Philips. 2005. Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh; Analisis Historis Atas
Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. fauzi Arifin. Bandung: Nuansa. hlm.xvi.
terhadap Islam yang ideal, Arab Saudi tidak memiliki konstitusi formal kecuali
Qur’an dan Sunnah.8

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar bekalang permasalahan diatas penulis merumuskan rumusan
masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah hukum islam dinegara Arab Saudi ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Arab Saudi
Hukum Islam, atau sharia (“jalan kecil”), merupakan dasar dari hukum
Saudi. Hukum ini terikat secara intim dengan filosofi politik Islam, yang melihat
peran utama negara sebagai suatu yang membantu komunitas Muslim menjunjung
tinggi moral standar Tuhan, sharia menjadi sumber standar ini. Pada gambaran ini,
negara bukanlah arena netral; negara memiliki kewajiban aktif terhadap
masyarakat untuk mengejar kebaikan dan menentang kejahatan. Gagasan baik
mengenai keadilan dan legitimasi disebutkan secara serempak di istilah-istilah
hukum dan Islami.9
Hukum Islam, bersifat ketuhanan dan sempurna, dijadikan akar, pertama,
dalam Qur’an – dalam kata-kata Muslim percaya bahwa Tuhan memberikan
penampakan langsung melalui Muhammad. Dengan menaruh dasar etika bagi
keadilan, Qur’an menyediakan baik pedoman umum mengenai perilaku dan jelas
dan terkadang pedoman mendetil mengenai praktek-praktek tertentu, dari
kewajiban keagamaan sampai keluarga sampai hukum penunjukan hakim, hukum
kriminal, dan hukum dagang. Meskipun demikian, Qur’an menyediakan hanya
sedikit dari sajak-sajaknya yang khusus mengenai hukum dan diam mengenai

8
Ahmad Baso. 2006. NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan
Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga. hlm 283.
9
Abdurrahman Wahid. 1989. “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im
Saleh (ed.), Islam Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M. hlm. 96.
sebagian besar masalah-masalah hukum. Seperti halnya semua teks keagamaan,
teks tersebut juga harus diterjemahkan, dan bisa diterjemahkan dengan berbagai
cara. Karena itu, diperlukan sumber-sumber lain. Sebagai konsekuensi, pada
abad-abad awal setelah Nabi wafat, aliran-aliran Islam, ulama, membuat
persetujuan mengenai sumber-sumber hukum tambahan. Sumber kedua
(menyangkut kepentingannya, bukan bidangnya) adalah Sunnah, tindakan-
tindakan dan kata-kata Nabi. Secara bersamaan, Qur’an dan Sunnah merupakan
sumber-sumber utama hukum Islam.
Sumber ke tiga adalah konsensus (ijma’) komunitas, yang pada prakteknya
menjadi komunitas sarjana ilmu Islam, mengenai hal-hal dimana kedua sumber
utama tersebut tidak cukup. Sumber ke empat adalah analogi (qiyas), yang
menerapkan prinsip-prinsip dari Qur’an atau Sunnah terhadap kasus-kasus baru.
Sumber ke lima adalah ijtihad. Biasanya diterjemahkan sebagai “pemberian alasan
secara mandiri,” ijtihad lebih cocok dipandang sebagai metode untuk menerapkan
sumber-sumber lain terhadap masalah-masalah hukum tertentu. Selama beberapa
abad pertama berdirinya Islam, konsensus cendekiawan menggunakan sumber-
sumber ini sebagai dasar formal yurisprudensi Islam.
Kerangka kerja ini, terdiri atas sumber-sumber dasar (Qur’an dan Sunnah)
dan teknik-teknik untuk menterjemahkannya (qiyas, ijtihad, ijma’), membantu
menyediakan praktek-praktek yang dapat diprediksi dan seragam yang diperlukan
semua sistem hukum, terutama penting karena para hakim terikat baik oleh
sesuatu yang dijadikan teladan seperti dalam sistem hukum pada umumnya (baik
dengan menggunakan keputusan yang diberikan oleh hakim-hakim lainnya,
bahkan dari pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi, atau oleh keputusan-
keputusan mereka sebelumnya), maupun oleh kitab undang-undang seoerti dalam
sistem hukum pidana (penafsiran disediakan hanya sebagai pedoman, bukan
hukum telah tersusun).
Karena perkembangan hukum, dunia Islam berkembang. Dengan wafatnya
Muhammad pada 632, perselisihan mengenai penerusnya muncul. Abu Bakar
menjadi kalif yang pertama, diikuti oleh Umar ibn al-Khattab, yang mulai
menginstitusionalkan praktek hukum dalam komunitas Muslim yang berkembang.
Tetapi masalah penerus tetap tak terselesaikan, dan setelah meninggalnya kalif
terakhir dari empat kalif pertama yang dibimbing dengan tepat, komunitas Islam
terbagi menjadi Sunni dan Shiah. Diawali dengan perselisihan mengenai penerus
Nabi, perpecahan ini berkembang menjadi perpecahan sekte. Sementara Sunni
memenangkan secara nomor dan politik pada wilayah yang sekarang menjadi
Arab Saudi, seperti sebagian besar dunia Muslim, shiah tetap menjadi minoritas
yang signifikan. Dalam sunia Sunni, pemikiran ilmiah akhirnya mengeras menjadi
empar aliran ilmu hukum yang berkaitan dengan ahli hukum individual (Hanbali,
Hanafi, Maliki, dan Shafi’i).
Pada abad ke-delapan belas, Jazirah Arab melihat bangkitnya gerakan
Wahhabi, yang, mengangkat dari tulisan-tulisan ajaran Hanbali Ibn Tamiyya,
menantang aliran keagamaan dan para hakim untuk lebih berpegang pada
pembuatan alasan yang mandiri dalam penerapan Qur’an dan Sunnah.
Kemenangan gerakan Wahhabi membawa pendekatan ini ke pusat pemikiran
hukum di jazirah Arab. Beberapa elemen substantive dan tata cara pemikiran
tersebut mengikuti.’
Kriminal dalam hukum Islam jatuh pada tiga kategori: hudud, qisas, dan
ta’zir. Kejahatan Hudud (“batasan,” adalah, batasan yang diciptakan Tuhan)
adalah kejahatan melawan Tuhan. Dalam hal ini, pengadilan memiliki, pada
prinsipnya, tidak ada kebijaksanaan, jika persyaratan pembuktian yang tegas
ditemukan dengan meyakinkan. Kejahatan-kejahatan ini dilarang oleh Qur’an atau
Sunnah bersamaan dengan hukuman-hukuman tertentu, biasanya hukuman fisik.
Kejahatan ini meliputi minum minuman beralkohol, persetubuhan terlarang,
tuduhan yang salah mengenai persetubuhan terlarang, perampokan,
pemberontakan, pencurian, dan kemurtadan. Hukuman untuk kejahatan dalam
bentuk hudud merupakan hukuman yang berat (pemotongan tangan bagi pencuri,
cambukan bagi perbuatan zina (bagi orang yang belum menikah), perajaman bagi
perbuatan zina (perselingkuhan), tapi juga, diperlukan standar pembuktian untuk
melaksanakan hukuman: misalnya, Perselingkuhan, memerlukan kesaksian empat
pria terhormat yang menyaksikan perbuatan tersebut. Penghukuman juga
memerlukan ketiadaan segala keraguan (tidak hanya yang beralasan). Sehingga
penghukuman hudud merupakan hal yang jarang dilakukan. Meskipun demikian,
Arab Saudi, tidak seperti sebagian besar negara di wilayah tersebut, kadang-
kadang menegakkan hukuman-hukuman ini.
Kejahatan qisas adalah pembunuhan dan penyerangan (tindakan kekerasan
yang mengakibatkan cedera fisik). Kejahatan semacam itu bisa dihukum baik oleh
pembalasan (qisas) atau, bila korban atau keluarga korban menghendaki, dengan
pembayaran denda bagi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan,
misalnya, sharia memberikan hak bagi keluarga korban untuk memilih hukuman
mati atau kompensasi finansial. Kejahatan ta’zir, kategori sisa, meliputi kejahatan
yang tidak termasuk hudud dan qisas, termasuk juga tindakan-tindakan yang tidak
memenuhi persyaratan pembuktian yang kaku. Hukumannya diserahkan pada
hakim, meskipun di Arab Saudi telah dikembangkan badan yang membuat hukum
ketetapan.
Sementara kejahatan hudud dan qisas biasanya melibatkan sangsi non-
pemenjaraan (hukuman fisik bagi hudud, dan denda bagi qisas), hukuman yang
biasa diberikan pada kejahatan ta’zir adalah penjara. Pada hukum pidana, sharia
mengalamatkan beberapa masalah yang berhubungan dengan interaksi personal
dan perdagangan. Detail tertentu mengenai hukum keluarga ada dalam peraturan-
peraturan khusus yang telah termasuk dalam Qur’an dan Sunnah mengenai
pewarisan, pernikahan dan perceraian, dan status anak. Sharia juga menyediakan
banyak peraturan yang jelas mengenai transaksi komersial, terutama larangan
pengambilan bunga. Dimana sharia tidak dengan jelas menunjukkan beberapa
perkara bisnis modern (terutama, adanya kemakmuran Arab Saudi dan tingkat
integrasi dengan perekonomian global). Suatu badan pembuat peraturan
pemerintah telah muncul, yang akan menangani masalah tersebut.
Pada prakteknya, pengadilan sharia memiliki yurisdiksi terhadap sebagian
besar kasus kriminal dan terhadap perkara perdata yang mencakup status personal.
Tiga standar utama pembuktian digunakan dalam pengadilan sharia. Yang
pertama adalah pengakuan tanpa menggunakan paksaan. Yang kedua adalah
kesaksian saksi mata yang biasanya terdiri atas dua saksi pria terhormat yang
tidak berat sebelah (peraturan Qur’an memberikan kesaksian dari wanita setengah
bobotnya dari pria; kesaksian wanita tidak diijinkan pada kasus-kasus kriminal).
Ketidakhadiran saksi yang diperlukan, pengadilan pada kejahatan hudud biasanya
meminta suatu pengakuan bagi penghukuman kriminal. Seluruh kesaksian harus
dilakukan dengan sukarela.
Pembuktian ketiga adalah penegasan atau penyangkalan dengan sumpah.
Sementara itu sumpah palsu jelas akan terjadi, sumpah ini, sumpah di pengadilan
atas nama Tuhan, diambil jauh lebih serius daripada yang biasa dilakukan oleh
orang-orang Barat. Beberapa pihak mungkin membatalkan sejumlah besar uang
dengan menolak untuk mengambil suatu sumpah yang mungkin hampir menjamin
hasil yang dikehendaki. Bukti tidak langsung diterima tetapi tidak disukai.
Sementara itu terdakwa diijinkan untuk memiliki seorang pengacara (pada kasus
perdata tetapi tidak pada kasus pidana), pengadilan lebih suka bila mereka
berbicara mewakili diri mereka sendiri.
Menurut sejarah, orang-orang bisa memiliki seorang perwakilan (biasanya
saudara laki-laki) yang membela atau mendampingi mereka di pengadilan, tetapi
karakteristik pembelaan dalam hukum Barat berjalan berlawanan dengan
kepekaan dalam hukum Islam: Pembelaan, para hakim percaya, akan
memperlambat proses dan merintangi rekonsiliasi. Pada kejadian apapun,
kesaksian verbal secara langsung adalah yang dikehendaki, meskipun dokumen-
dokumen juga digunakan, terutama dalam perkara perdagangan.
Sementara pengadilan Islam mengandalkan prinsip-prinsip pembuktian
sharia, masing-masing hakim memutuskan secara personal dan mengartikannya
pada masing-masing kasus. Menurut gayanya, pengadilan ini non-formal menurut
standar Barat, dan sang hakim menikmati keleluasaan yang luas dalam
perjalanannya mencari kebenaran. Ada beberapa kebebasan yudisial, meskipun
hal itu seringkali dipraktekkan secara non-formal.
Budaya hukum merupakan elemen penting dalam mempromosikan keadilan
dalam proses persidangan, karena, dengan melihat bahwa ia memiliki dasar
keagamaan, ia meresap ke seluruh bagian masyarakat dan juga membentuk dalam
tahap yang lebih besar perilaku seluruh peserta dalam prosesnya. Budaya yudisial
mencari kebenaran dengan dengan serius. Ijtihad memerlukan nurani individu
yang besar. Para hakim memandang kepentingan terbaik Tuhan juga kepentingan-
kepentingan sebelumnya, dan mereka akan dipanggil pada kehidupan yang
selanjutnya untuk bertanggung-jawab baik pada Tuhan maupun mereka yang
melewati ruang sidangnya pada masa kekuasaanya. Beberapa perlindungan
prosedural terdapar di pengadilan sharia.
Ada asas praduga tak bersalah. Hukum acara menetapkan suatu permohonan
yang bersifat perintah bagi hukuman mati dan amputasi. Meskipun demikian,
dalam persidangan kriminal, terdakwa biasanya tidak boleh didampingi pengacara
(meskipun seorang terdakwa yang mampu menyewa pengacara diperbolehkan
berbicara dengan pengacaranya sebelum persidangan), lagi dalam memelihara
kepercayaan bahwa sharia menyediakan segala perlindungan yang diperlukan –
seorang hakim terikat secara moral untuk menjadi penjaga yang tekun.
Pada perkara kriminal, kemanjuran perlindungan ini merupakan hal yang
sulit untuk dipastikan. Persidangan jarang dibuka bagi masyarakat. Raja,
sementara ini terikat secara moral dan hukum (sekalipun tanpa alat paksaan)
dengan sharia, tidak tunduk pada pengecekan formal (pada prakteknya, bahkan
keluarga yang berkuasa memimpin sepertinya diatas hukum, karena para hakim
dan polisi seringkali tidak mau atau tidak mampu untuk menjunjung tugas sah
mereka, seperti menerbitkan surat perintah penahanan, terhadap mereka). Menurut
sejarah, sentimen dominan dalam filosofi politik Islam adalah bahayanya
pemberontakan dan kemungkinan konsekuensi perang sipil jauh lebih berat dari
pada bahayanya tunduk pada penguasa Muslim yang buruk. Masalah-masalah
prosedural, yang merupakan sumber kendali hukum negara Barat, tidak pernah
menjadi fokus utama yurisprudensi Islam, yang memperlakukan prosedur dan
bukti-bukti tidak sebagai kategori yang terpisah, tapi lebih menyangkut hubungan
mereka dengan ketiga kategori kejahatan sharia. Hal ini bukan berarti
pemeriksaan prosedural tidak bisa dilaksanakan bersamaan dengan hukum Islam,
hanya saja penguasa Saudi memiliki sedikit kepentingan untuk melakukannya,
dan lebih menyukai penterjemahan yang menjamin negara terhadap otoritas yang
paling tidak terbatas.
Dalam kasus-kasus politik, beberapa kelompok hak asasi manusia telah
mendokumentasikan beberapa kemungkinan kekurangan perlindungan yang
efektif. Hukum tersebut mengijinkan tersangka ditahan dalam penahanan yang
diperpanjang tanpa adanya akses untuk berkonsultasi atau bertemu keluarga.
Tidak ada pengawasan yudisial independen terhadap penahanan, dan terjadi
beberapa penyalahgunaan. Apalagi, bahkan dalam pengadilan sharia,
penghukuman seringkali diadakan hanya berdasar pada pengakuan yang sering
kali didapat selama interogasi yang dilakukan dengan bebas diluar sidang,
interogasi dimana ada tekanan, baik fisik maupun emosional, seringkali
diterapkan. Pengakuan harus dipastikan oleh hakim investigasi (yang bukan
merupakan hakim siding), tetapi ia memiliki sedikit kekuasaan untuk
memerintahkan pembebasan tersangka.
Hakim-hakim ini terkadang memperingatkan tahanan yang menarik kembali
pengakuan mereka yang akan mengakibatkan interogasi lebih jauh. Beberapa
hakim mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan, tetapi hal ini jarang terjadi.
Keadilan seringkali cepat dan merupakan keputusan akhir: Arab Saudi merupakan
satu dari negara-negara yang angka eksekusinya tertinggi di dunia. Ketiadaan
perlindungan formal menimpa dengan paling keras pada kelompok yang paling
lemah dalam masyarakat Saudi: wanita, orang-orang Shia, dan warga negara
asing.

BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah hukum di negara arab Saudi berasal dari Hukum Islam, bersifat
ketuhanan dan sempurna, dijadikan akar, pertama, dalam Qur’an – dalam kata-
kata Muslim percaya bahwa Tuhan memberikan penampakan langsung melalui
Muhammad. Dengan menaruh dasar etika bagi keadilan, Qur’an menyediakan
baik pedoman umum mengenai perilaku dan jelas dan terkadang pedoman
mendetil mengenai praktek-praktek tertentu, dari kewajiban keagamaan sampai
keluarga sampai hukum penunjukan hakim, hukum kriminal, dan hukum dagang.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Ash-Shiddiqy. 1966. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta:


Bulan Bintang.
A. Qadri Azizy. 2003. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad
Sesuai. Jakarta: Teraju.;
A. Qadri Azizy. 2002. Eklektisisme hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum
Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media.
Josept Schacht. 2003. Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo. Yogyakarta:
Islamika.
Fazlur Rahman. 1997. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka.
Wahbah az-Zuhaili. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr. I: 19;
Al-Amidi. 1347 H.. Kairo: Muhammad Ali Shabih
Abu Ameenah Bilal Philips. 2005. Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh; Analisis
Historis Atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. fauzi Arifin. Bandung:
Nuansa. hlm.xvi.
Ahmad Baso. 2006. NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme
Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga.
Abdurrahman Wahid. 1989. “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan
Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M.
”SEJARAH HUKUM FEDERAL AMERIKA SERIKAT”

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Hukum

Oleh :
IVAN Y. V. RORING
NIM. 20202108050

DOSEN :
Dr. DEVY K. G. SONDAKH, S.H., M.H.

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PROGRAM PASCA SARJANA
MANADO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah federal Amerika Serikat didirikan pada tahun 1790 dan dianggap
sebagai federasi nasional modern pertama di dunia. Meskipun demikian, rincian
federalisme Amerika telah menjadi perdebatan sejak diundangkannya Konstitusi
Amerika Serikat, di mana beberapa pihak mengargumentasikan kekuasan nasional
secara luas, sedangkan pihak lain menafsirkan pasal-pasal Konstitusi tentang
kekuasaan pemerintah nasional secara harfiah.

Dalam menjalankan sistem federasi di Amerika, beberapa negara bagian


justru tidak setuju dengan sistem ini. Negara-negara bagian tersebut adalah New
York, Rhode Island, North Carolina di bawah pimpinan Thomas Jefferson saat
pemungutan suara pada konvensi di Paugh keeps. Mereka yang tidak setuju dengan
sistem federalis menuntut pemerintah nasional untuk mengembalikan bentuk
negara sesuai dengan dasar terbentuknya negara mereka, yaitu Liberal, equal dan
pursuit of happiness. Keinginan inilah yang menjadi faktor utama mengapa
pertentangan ini terus terjadi.

Negara bagian menginginkan kedaulatan sepenuhnya tanpa campur tangan


dari pihak manapun. Dengan dibentuknya negara sebagai sebuah federasi di mana
terbagi menjadi dua kedaulatan, yaitu pemerintah federasi dan pemerintah negara
bagian, memang benar ketakutannya adalah adanya indikasi pemerintahan nasional
(federasi) yang terlalu kuat sehingga melemahkan posisi bagi negara-negara bagian
dan membatasi ruang gerak mereka.
B. Rumusan Masalah
Latar belakang tersebut memberikan rumusan sejarah dan sistem hukum
federal amerika sebagai berikut:
1. Sekilas Pandang Sejarah Amerika?
2. Bagaimana Sistem Hukum Federal Amerika?
3. Bagaimana Perbedaan Sistem Hukum Federal di Amerika dan Indonesia?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dan manfaat dari pembahasan ini
adalah:
1. Menjelaskan Sejarah Singkat Amerika?
2. Menjelaskan bagaimana Sistem Hukum Federal Amerika?
3. Membedakan Sistem Hukum Federal di Amerika dan Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Amerika.

Hukum Amerika Serikat pada awalnya diambil sebagian besar dari common
law dari sistem hukum Inggris, yang berlaku pada saat Perang Kemerdekaan.
Namun, hukum tertinggi di negara ini adalah Konstitusi Amerika Serikat dan,
menurut Klausa Supremasi Konstitusi, hukum-hukum yang diberlakukan oleh
Kongres dan perjanjian-perjanjian yang mengikat Amerika Serikat. Semua ini
merupakan dasar bagi undang-undang federal di bawah konstitusi federal di
Amerika Serikat, yang membentuk batas-batas yurisdiksi undang-undang federal
dan undang-undang di ke-50 negara bagian AS dan wilayah-wilayahnya.1

Hukum Amerika Serikat ditinjau dari segi sejarah, merupakan bagian dari
keluarga sistim-sistim hukum Barat dengan mana diletakkan pada akhir abad ke 11
dan pada abad ke 12 di Universitas dan di Gereja dan di kerajaan – kerajaan dari
dunia Kristen di Eropa, para juris dari jaman itu merubah sistem hukum Jerman dan
Prancis yang masih primirif dengan di ilhami oleh hukum Romawi, oleh filsafah
Yunani dan oleh Etika Kristen dan Hibrani sebagaimana telah diucapkan oleh
negarawan Inggris bernama Edman Berg dua ratus tahun yang lalu

“Hukum setiap negara Eropa berasal dari sumber-sumber yang sama “.

Bahwa sistim hukum Amerika Serikat didirikan oleh Raja Henry II yang
berkuasa di Inggris dan Normandia pada akhir abad ke 12. Raja Henry yang
mendirikan pengadilan hukum pusat tetap yang pertama di Inggris. Putusan-
putusan hakim kerajaan serta buku-buku yang ditulis mengenai hukum umum
Inggris (English Common Law) pada abad 12 dan 13 yang tidak dapat
menggambarkan hukum Amerika Serikat.2

1
https: wikipedia.org Hukum Amerika Serikat.
2
http: tirtarimba.blogspot.co.id hukum amerika serikat.html.
Sebelum English Common Law didirikan, sistem hukum Anglo Saxon,
pernah didirikan di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai sistem
“Common Law” dan sistem “Unwritten Law” (tidak tertulis). Walaupun disebut
sebagai unwritten law tetapi tidak sepenuhnya benar, karena di dalam sistem hukum
ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statues).

Sistem hukum Anglo Amerika di dalam perkembangannya melandasi pula


hukum positif di negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan beberapa
negara Asia yang termasuk negara-negara persemakmuran Inggris dan Australia,
selain Amerika Serikat sendiri.

Sumber hukum sistem hukum Anglo Amerika adalah “putusan-putusan


hakim/pengadilan” (Judical Decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang
mewujudkan kepastian hukum, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum.

Sistem hukum Anglo Amerika menganut suatu doktrin yang dikenal dengan
nama “the doctrine of precedent/Stare Decisis” yang pada hakekatnya menyatakan
bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan
putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada didalam putusan hakim lain dari
perkara sejenis sebelumnya (presedent).

Dalam hal tidak ada putusan hakim lain dari perkara atau putusan hakim
yang telah ada sebelumnya kalau dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan,
kebenaran dan akal sehat (common sense) yang dimilikinya. Melihat kenyataan
bahwa banyak prinsip-prinsip hukum yang timbul dan berkembang dari putusan-
putusan hakim, maka sistem hukum Anglo Amerika, sering disebut sebagai Case
Law. 3

3
R. Abdoel Djamali, S.H. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2010,
hlm. 9-72.
Hukum Amerika Serikat yang dikenal adalah hukum yang
dinamakan Torts. Torts adalah perkataan Prancis-Normandia untuk “Kesalahan”.
Hukum Torts itu mengatur upaya-upaya yang dapat dipakai terhadap orang lain
yang telah secara salah menyakitkan seseorang atau miliknya.

Sistim hukum Amerika Serikat dinamakan action for assault and battery
merupakan tuntutan sipil yang harus didengar secara terpisah dari satu tuntutan
pidana, yang didengar oleh satu juri yang terdiri dari 12 orang biasa dibawa
pengarahan seorang hakim yang profesional.Setelah sistem hukum berkembang
dan beradaptasi dengan yang lain dengan sistem raja munculah suatu istilah
“Equity”, pada abad 14 dan 15 pengadilan-pengadilan raja telah menjadi kaku dan
sempit dalam penafsiran mereka terhadap fungsi serta aturannya. Lambat laun
istilah Equity mendapat suatu pengertian lebih luwes daripada prosedure Hukum
Umum.

Pengadilan Equity maupun pengadilan Hukum Umum terus berlangsung


dan pada akhirnya dibawa koloni-koloni Amerika Utara. Pada abad ke 19 baik di
Inggris maupun di Amerika Serikat terjadi suatu penggabungan dimana Pengadilan
Chancery di hapuskan dan hakim yang sama melaksanakan prinsip Hukum Umum.4

B. Sistem Hukum Federal di Amerika

Federalisme adalah sebuah sistem pembagian kekuasaan antara dua atau


lebih kekuasaan dengan kewenangan atas orang-orang dan wilayah geografis yang
sama. Sistem-sistem pemerintahan kesatuan (yang paling banyak dipakai di dunia),
hanya memiliki satu sumber kekuasaan, yaitu pemerintahan pusat atau nasional.
Sekalipun demokrasi bisa tumbuh di bawah kedua sistem ini, perbedaan antara dua
tipe pemerintahan tersebut sangatlah nyata dan signifikan.

4
Harold J. berma, "Ceramah-ceramah Hukum Amerika Serikat (Diterjemahkan oleh:
Gregory Churchill, J.D.)", hlm. 3.
Sekitar tahun 1776 terjadi peperangan yang mengakibatkan Inggris dan
koloninya pecah dan hubungannya yang hancur. Perang demi kemerdekaan
berhasil, tetapi perang itu mewarisi koloni dengan masalah bagaimana mencari cara
yang tepat guna menyatukan mereka kembali, sementara hubungan yang lama telah
hilang. Mereka perlu membentuk hubungan baru semacam federasi-satu tubuh yang
memuusatkan keduanya. Kemudian Pada tahun 1787 koloni menyususn sebuah
piagam yang akan dijadikan sebagai Undang-Undang Dasar dan nantinya akan
menjadi hukum tertinggi di amerika. Undang-Undang ini memberikan kontribusi
yang lebih besar kepada pemerintah pusat, tentunya berbeda sekali dengan
perjanjian yang termuat.

Saat itulah Amerika Serikat membentuk ibu kota Washington, D.C yang
meliputi batas wilayah sampai ke padang rumput mississippi yang sekarang
midwestern hingga ke Alabama, masing-masing wilayah terutama Virginia berhak
atas sebagian besar wilayah Amerika Serikat, namun hak dan kekuasaan ini
diserahkan kepada pemerintah federal sekitar tahun 1781.

Setelah terjadi beberapa kali guncangan akhirnya pemerintahan federal


Amerika Serikat didirikan pada tahun 1790 dan dianggap sebagai federasi nasional
modern pertama di dunia yang didirikan berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat
serta memiliki tiga cabang yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Meskipun
demikian, rincian federalisme Amerika telah menjadi perdebatan sejak
diundangkannya Konstitusi Amerika Serikat, di mana beberapa pihak
mengargumentasikan kekuasan nasional secara luas, sedangkan pihak lain
menafsirkan pasal-pasal Konstitusi tentang kekuasaan pemerintah nasional secara
harfiah.

Sejak Perang Saudara Amerika, kekuasaan Pemerintah Federal secara


umum telah berkembang dengan hebatnya, kendati terdapat beberapa periode
ketika pendukung hak-hak negara bagian telah berhasil membatasi kekuasaan
federal melalui tindakan legislatif, prerogatif eksekutif, atau melalui penafsiran
konstitusional di mahkamah. Kedudukan pemerintah federal berada di Washington
D.C. Kata "Washington" telah terbiasa dijadikan istilah pengganti bagi pemerintah
federal Amerika Serikat. Pemerintah negara bagian cenderung memiliki pengaruh
terbesar pada sebagian besar kehidupan sehari-hari orang Amerika Serikat.5

Federalisme tentu saja lebih dari sekedar rencana formal. Federalisme juga
merupakan tradisi dan merupakan sisi yang menonjol dalam budaya hukum.
Federalisme sebagai sebuah struktur tidak akan berarti atau hampa jika tidak
menjadi bagian dari budaya. Untuk memahami federalisme bagaimana tumbuhnya
dan bagaimana berubahnya tidak cukup hanya menceritakan bagaimana makna
Undang-Undang Dasar berubah seiring perjalanan waktu.6

Federalisme pada paruh pertama abad kesembilan belas sangat berbeda


dengan federalisme masa kini. Singkatnya, pemerintah pusat (Washington D.C)
dalam banyak hal tidak menonjol. Pemerintah pusat menjadi bawahan negara
bagian. Negara bagian mungkin bisa terbayang jauh lebih luas bagi kehidupan
masyarakat dari pada pemerintah federal. Tidak banyak posisi yang
menguntungkan untuk pemerintahan pusat, kelemahan dan keterpencilan
pemerintah federal menjadi lebih nyata lagi bila orang pergi kebarat, sebagian besar
pemerintahan negara bagian merupakan jantung kehidupan masyarakat. 7
Masyarakat negara bagian menganggap pemerintahan nasional atau pemerintahan
pusat tidak penting.

Di Amerika Serikat, situasinya sangat berbeda. Hukum-hukum


pemerintahan nasional, berlaku bagi setiap orang yang tinggal di dalam batasan
wilayah nasional. Sementara hukum-hukum di 50 negara bagian hanya berlaku bagi
penghuni yang tinggal di negara bagian itu. Di bawah Konstitusi Amerika Serikat,
parlemen tidak memiliki kekuasaan untuk menghapuskan sebuah negara bagian.

5
https: wikipedia.org Pemerintah federal Amerika Serikat.

6
Lawrence M. Friedman, American Law: an introduction = Hukum Amerika: sebuah
pengantar Penerjemah Wishnu Bakti, Jakarta: Tatanusa, 2001, hlm. 172.

7
Ibid. hlm. 174.
Sebaliknya, sebuah negara bagian juga tidak bisa mengambil alih kekuasaan yang
menjadi wewenang pemerintah nasional. Secara nyata, di bawah federalisme
Amerika, Konstitusi Amerika Serikat adalah sumber kewenangan baik untuk
pemerintahan nasional maupun pemerintahan negara bagian.

Di dalam negara federal, pemerintah pusat memiliki kekuasaan yang sudah


ditentukan, dengan kekuasaan tertinggi untuk urusan luar negeri. Cara menjalankan
kewenangan dalam urusan dalam negeri lebih rumit. Di bawah Konstitusi,
pemerintah Amerika Serikat punya kekuasaan istimewa untuk mengatur
perdagangan luar negeri dan antar negara bagian, peredaran uang, menyediakan
naturalisasi bagi para imigran, serta menjalankan fungsi angkatan darat dan
angkatan laut. Amerika Serikat menjamin semua negara bagian berbentuk
pemerintahan republik, sehingga memastikan bahwa tidak ada satupun negara
bagian yang berbentuk monarki atau bentuk lainnya. Wilayah-wilayah ini
merupakan bagian di mana kepentingan nasional dengan jelas menggantikan
kepentingan negara bagian. Pemerintah nasional juga memiliki kewenangan
pengadilan untuk menyelesaikan kontroversi antara dua atau lebih negara bagian
dan antara warga-warga dari negara-negara bagian yang berbeda.

Federalisme telah secara nyata menjadi kerangka kerja dinamis untuk


pemerintahan, sebuah karakteristik yang sangat sesuai dengan perubahan alami
masyarakat Amerika sendiri. Sepanjang 200 tahun sejarah, pembagian kekuasaan
di bawah federalisme Amerika telah berubah secara hukum maupun praktek.
Konstitusi Amerika merupakan sebuah dokumen yang dinamis, yang berarti
memperbolehkan negara untuk menanggapi perubahan. Dari waktu ke waktu,
amandemen-amandemen telah memberi peran berbeda bagi pemerintah pusat dan
negara bagian dibandingkan yang sebelumnya. Keseimbangan yang tepat antara
kekuasaan nasional dan kekuasaan negara bagian terus-menerus menjadi persoalan
dalam politik Amerika. Perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, pergeseran
dalam nilai-nilai politik, serta peran negara di dunia seakan menuntut setiap
generasi untuk memperlakukan federalisme.
Terlepas dari pentingnya kehadiran negara-negara bagian dalam urusan
sehari-hari, persoalan kebijakan publik melibatkan debat-debat tentang cakupan
kekuasaan nasional, yang bagi sebagian besar rakyat, harus tetap dibatasi. Namun
sejumlah tekanan membuat federalisme tetap menjadi pusat perdebatan politik.
Warisan situasi dari masa revolusi, dengan kekhawatiran akan kekuasaan terpusat,
adalah pengaruh kuat bagi federalisme di Amerika.

Revolusi dalam fedralisme tidak mengakhiri debat tentang pembagian


kekuasaan yang tepat antara pemerintah negara-negara bagian dan nasional.
Ketidaksepakatan tentang peran yang tepat dari pemerintah nasional dan negara
bagian dalam sistem federal terus menjadi bagian penting dalam politik Amerika.
Tampak jelas bahwa tidak ada masalah-masalah domestik yang tidak tersentuh
konflik tentang tingkatan pemerintah mana yang memiliki wewenang untuk
membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan bagi warga negara. Tidak mudah
lagi untuk membedakan fungsi antara pemerintah nasional dan negara bagian
karena sistem federal saat ini cenderung untuk membaurkan perbedaan dalam
menanggapi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang rumit.

Pasca amandemen ke-10 Konstitusi Amerika Serikat melarang Pemerintah


Federal untuk menjalankan kekuasaan manapun yang tidak didelegasikan
kepadanya oleh Negara Bagian; hasilnya, negara bagian menangani sebagian besar
isu yang paling relevan bagi perseorangan di dalam jurisdiksi masing-masing.
Karena pemerintah negara bagian kekurangan kekuasaan untuk mencetak mata
uang, mereka harus mendapatkan penghasilan apakah itu melalui pajak ataupun
surat utang (kedua-duanya secara politik kurang merakyat karena retribusi nasional
yang begitu banyak yang disediakan oleh Amandemen ke-16 Konstitusi Amerika
Serikat tentang pajak penghasilan perseorangan). Hasilnya, pemerintah negara
bagian cenderung memaksakan adanya pemotongan beberapa anggaran ketika
ekonomi sedang lesu, yang secara kuat dirasakan oleh masyarakat yang menjadi
tanggungan negara bagian.8

8
http: unej.ac.id, Perjuangan Pembentukan Federalisme di Amerika Serikat.
Tiap-tiap negara bagian memiliki konstitusi tertulis, undang-undang, dan
pemerintahan sendiri-sendiri. Kadang-kadang terdapat perbedaan yang besar dalam
hal undang-undang dan prosedur di antara masing-masing negara bagian,
menyangkut kemiskinan, pidana, kesehatan, dan pendidikan. Petugas terpilih
tertinggi dari tiap-tiap negara bagian adalah gubernur. Tiap-tiap negara bagian juga
memiliki parlemen (bikameralisme adalah sistem yang diterapkan di tiap-tiap
negara bagian, kecuali Nebraska), yang para anggotanya mewakili para pemberi
suara di negara bagian yang bersangkutan. Tiap-tiap negara bagian memelihara
sistem peradilan negara bagian sendiri-sendiri. Di beberapa negara bagian, para
hakim tinggi dan yang lebih rendah dipilih oleh rakyat; di negara bagian lainnya,
mereka diangkat, karena mereka di dalam sistem federal.

Federal, yang memiliki yurisdiksi asli dalam sebagian besar kasus hukum
Federal. Sistem Distrik Federal pengadilan setidaknya memiliki satu bangku di
setiap negara, serta masing-masing di District of Columbia dan Puerto Rico.
Pengadilan tertinggi dalam sistem federal adalah Mahkamah Agung Amerika
Serikat, pengadilan federal hanya secara eksplisit diamanatkan oleh Konstitusi.
Sejak 1869 telah terdiri dari satu Hakim Ketua dan delapan Hakim Associate.9
Mahkamah Agung duduk di Washington, DC, dan memiliki yurisdiksi akhir pada
semua kasus yang mendengar. Pengadilan tinggi dapat meninjau keputusan yang
dibuat oleh pengadilan banding AS, dan juga dapat memilih untuk mendengarkan
banding dari pengadilan banding negara jika masalah konstitusi federal atau lainnya
yang terlibat.

Mahkamah Agung memiliki kewenangan asli dalam jumlah terbatas kasus,


termasuk yang melibatkan diplomat tinggi dari negara lain atau mereka antara dua
negara bagian AS. Selain itu, pengadilan federal mempertahankan sekelompok
pengadilan yang menangani terbatas jenis tertentu dari perselisihan. Termasuk
diantaranya seperti pengadilan federal khusus Pengadilan Klaim Federal, yang
mengadili klaim moneter terhadap pemerintah AS, dan Pengadilan Pajak. hakim

9
https: www.usa.gov.
pengadilan khusus, tidak seperti mereka yang dalam tiga tingkat utama peradilan
federal, tidak melayani untuk hidup. Angkatan bersenjata AS memiliki pengadilan
militer untuk kasus-kasus yang melibatkan personil militer.10

Kontroversi telah muncul pada akhir 1990 an, atas respon pengadilan
banding federal untuk terus beban kasus meningkat. Kritikus menuduh bahwa
pengadilan menabung beberapa kasus untuk pertimbangan penuh dan acuh tak acuh
menegaskan banyak keputusan pengadilan lebih rendah daripada penerbitan
beralasan pendapat; banyak orang merasa bahwa praktek ini menggerogoti
kepercayaan dalam sistem dan menyangkal berperkara kesempatan untuk diperiksa
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. Pembela dari latihan menjawab bahwa hal itu
diperlukan jika resolusi cepat kasus yang terjadi

Akibat dari hilangnya kepercayaan masyarakat, akhirnya Pusat Yudisial


Federal yang dibentuk pada 1967 merupakan perwakilan pengadilan federal
melakukan tindakan dalam aspek pendidikan dan penelitian berkelanjutan. Tugas-
tugasnya secara umum masuk kedalam tiga kategori:
1. Melakukan penelitian tentang pengadilan-pengadilan federal
2. Membuat rekomendasi untuk memperbaiki administrasi dan
pengelolaan dari pengadilan-pengadilan federal
3. Mengembangkan program-program pendidikan dan pelatihan bagi
personil dari cabang yudisial.11

Para hakim telah mengambil manfaat dari program pendidikan yang


dibentuk oleh Pusat Yudisial Federal, disamping memanfaatkan program yang telah
di orientasikan para hakim juga membantu untuk menangani kasus kepailitan,
selain itu para hakim juga menangani bagian administrasi dan bidang pendidikan,

10
Muhamad Yusrizal, Politik dan Pemerintahan Negara Amerika Utara dan Kanada.
Siak: Makalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, 2012, hlm. 3.

11
Sistem-Sistem Federal Hukum Amerika.
dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi memungkinkan Pusat Yudisial
Federal menjangkau masyarakat luas.

C. Perbedaan Sistem Hukum Federal di Amerika dan Indonesia

Sistem Pemerintahan Indonesia adalah sistem Presidensil. Dimana pada


sistem ini Presiden bertindak sebgai kepala Negara maupun kepala pemerintahan.
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-
menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-
tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu
kali masa jabatan.
Presiden Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
Kekuasaan legislatif dibagi di antara dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat/MPR yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR dan Dewan Perwakilan
Daerah/DPD. Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung/MA yang dan sebuah
Mahkamah Konstitusi/MK yang secara bersama-sama memegang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan Inspektif dikendalikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
yang memiliki perwakilan disetiap Provinsi dan Kabupaten/Kota diseluruh wilayah
Republik Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN

Pemerintahan federal yang lemah akan membuat pendistribusian kekuasaan


diantara pusat dan Negara bagian atau daerah akan membawa permasalahan dalam
administrasi karena adanya keruwetan dalam hal keserbaragaman yang
menyebabkan penderitaan kepada masyarakat kususnya dalam hal perdagangan,
industri dan masalah memiliki tanah dinegara yang berbeda. Selain ituwarga negara
menjadi kebingungan, masyarakat awam akan sulit menentukan kewajiban Negara
yang sebenarnya, karena berdampak pada sistem warga Negara yang merangkap
dua.

Negara federal dalam menentukan kebijakan luar memiliki efek yang saling
berlawanan antara pusat dan nasional, baik dalam menentukan ekonomi dan kondisi
politik dalam dan luar. sehingga akan banyak terdapat organ pemerintahan di mana
merambat pada biaya yang besar dan pesonalia juga membutuhkan biaya besar
dalam sisten federal. Solusinya Negara federal bisa melihat sistem pemerintahan
pada Negara federal lain sebagai tolak ukur seperti sistem pemerintahan yang sama
dengan Indonesia yaitu sistem Presidensil.

• Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, pemerintah


federal berbagi kedaulatan dengan pemerintah-pemerintah negara bagian.
• Cabang eksekutif dikepalai oleh Presiden dan tidak memiliki
kebergantungan terhadap cabang legislatif.
• Cabang yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan
federal yang lebih rendah kedudukannya, menjalankan kekuasaan yudikatif.
Fungsi peradilan adalah untuk menafsirkan konstitusi dan hukum-hukum
federal dan peraturan-peraturan yang berlaku di Amerika Serikat. Hal ini
termasuk menyelesaikan sengketa antara cabang-cabang eksekutif dan
legislatif.
DAFTAR PUSTAKA

Kelompok Karya Ilmiah :


Berma, Harold J., "Ceramah-ceramah Hukum Amerika Serikat (Diterjemahkan
oleh: Gregory Churchill, J.D.)

Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

Friedman, Lawrence M., American Law: an introduction = Hukum Amerika:


sebuah pengantar Penerjemah Wishnu Bakti, Jakarta: Tatanusa, 2001.

Sistem-Sistem Federal Hukum Amerika


Yusrizal, Muhamad, Politik dan Pemerintahan Negara Amerika Utara dan
Kanada. Siak: Makalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Riau, 2012.

Internet :
http: unej.ac.id, Perjuangan Pembentukan Federalisme di Amerika Serikat.
https: www.usa.gov.
http: tirtarimba.blogspot.co.id hukum amerika serikat.html.
https: wikipedia.org Hukum Amerika Serikat .
https: wikipedia.org Pemerintah federal Amerika Serikat,.
“Sejarah Sistem Hukum China”

Di Susun Oleh:
Arthur Piri
20202108035

PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Subekti, menyebutkan sistem
adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau
pola, hasil dari suatu penulisan untul mencapai suatu tujuan”. 1Dalam suatu sistem
yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu
juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu.
Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam
pembentukannya.2
Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang
mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau
tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain. 3 Dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah kesatuan
utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu
sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu
tujuan kesatuan tersebut perlu kerja sma antara bagian-bagian atau unsur-unsur
tersebut menurut rencana dan pola tertentu.4
Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan suatu maksud (Group of things or part working together in a regular
relation). Maka secara umum sistem memiliki ciri yang sangat luas dan bervariasi.
Paling sistem memiliki ciri sebagai berikut:5
1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Suatu
sistem dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan
sebaliknya dikatakan tertutup jika mengisolasi diri dari pengaruh apapun.
2. Sistem terdiri dari dua atau lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri dari
lagi subsistem lebih kecil dan begitu seterusnya.
3. Subsistem itu saling bergantung satu sama lain dan saling memerlukan
4. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self
regulation).
5. Sistem mempunyai tujuan dan saran.

1
Inu Kencana Syafiie, Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi
Aksara, Jakarta, 2003, Hlm. 2
2
Ibid.
3
SF, Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, 2001, Hlm. 21
4
Ibid.
5
H.R Otje Salman S dan Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Asitama, Bandung, 2009, Hlm. 85.
Hampir semua teoritikus mengacu pada satu syarat utama yaitu struktur.
Paling tidak terdapat dua gagasan dalam struktur tersebut. Pertama, hubungan-
hubungan itu harus membentuk jaringan dimana setiap elemen terhubung satu sama
lain baik secara langsung maupuntidak langsung. Kedua, jaringan tersebut haruslah
membentuk suatu pola untuk menhasilkan struktur. Maka sistem mempunyai
aturan-aturan hukum atau norma-norma untuk elemen-elemen tersebut,
kesemuanya berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-aturan yang lebih
tinggi. Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur piramida dan
hierarki dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya. 6 Dengan demikian sistem
berarti suatu kesatuan dan bagian-bagian yang membentuk sistem tersebut.
Adapaun sistem hukum adalah kesatuan dari seluruh peraturan, pranata dan
praktiknya dalam suatu negara tertentu.
Sistem hukum menurut J.H. Merryman adalah “..legal system is an
operating set of legal institution, procedure , and rules”. (sistem hukum adalah
merupakan suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan
aturan hukum). Sistem hukum, terbuka dapat dipengaruhi dan memengaruhi sistem-
sistem yang lain di luar hukum. Maka dalam sistem hukum terdapat persamaan dan
perbedaan. Ciri yang sama dijadikan sebagai pengklasifikasian sejumlah sistem ke
dalam suatu keluarga sistem hukum (parent legal system).7
Sistem hukum China, berkembang menurut alur sejarahnya sendiri,
“terlepas” dari perkembangan sistem hukum anglo-saxon (anglo-american),
maupun sistem civil law (Eropa continental). Meskipun pada titik tertentu terlihat
adanya persinggungan di antara sistem-sistem hukum tersebut, akan tetapi sistem
hukum China terbangun dengan pondasi sumber hukum, asas, lembaga dan pranata
yang berbeda dengan sistem hukum lain didunia, sehingga tampil sebagai sebuah
sistem hukum tersendiri.
Sejak awal pembentukannya, sistem hukum China terbangun oleh dua
tradisi besar, yaitu tatanan hukum yang bersumber dari ajaran filsafat confusio-
nisme, yang bertumpu pada pengabdian aturan-aturan hukum moral (yang disebut
Li ), dan tatanan hukum yang didasarkan atas undang-undang (yang disebut Fa )
terutama undang-undang pidana, sebagai produk hukum yang diupayakan oleh para
raja dengan bantuan ahli-ahli hukum. Munculnya konsep Li dalam sistem hukum
China, didasarkan pada struktur kemasyarakatan China di-era kerajaan yang
bertumpu pada etika yang bersumber dari tiga buah aliran pemikiran, yaitu:
Confusianisme, Taoisme dan Budhisme.8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
yang akan dikaji dalam tulisan ini yakni:

6
Ibid., Hlm. 79.
7
Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep Teori dan Metodenya dalam pengembangan ilmu
hukum, Oase Pustaka, Karanganyar, 2016, Hlm. 71-72.
8
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hlm. 126.
1. Bagaimana konsep hukum yang didasarkan pada aturan-aturan moral (Li)
dan hukum yang bersandar pada undang-undang (Fa) dalam sistem hukum
China?
2. Bagaimanakah sistem hukum China setelah masa republik?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum Li dan Fa dalam Sistem Hukum China
Li adalah kata kunci paling dekat pada pengertian “hukum” menurut
konsepsi hukum di negara-negara barat, meskipun terkadang Li diterjemahkan pula
dengan ritual, moral, etiket, kepastian. Li merupakan seperangkat aturanaturan
kepatutan dan kesopanan yang harus diindahkan oleh manusia yang jujur. Dengan
demikian Li lebih menampakan dirinya sebagi sebuah kode etika dalam pergaulan
(aturan-aturan moral). Aturan-aturan hidup yang disebut Li bukanlah sebuah
ketentuan yang berlaku umum, Li memiliki substansi yang berbeda-beda mengikuti
bentuk hubungan dan golongan dari orang-orang yang harus menerapkannya.
Meskipun demikian terdapat satu ketentuan yang berlaku umum di dalam Li, yaitu
adanya penetapan, bahwa manusia-manusia pada dasarnya tidak mempunyai hak-
hak subyektif, akan tetapi hanya memiliki kewajiban-kewajiban, baik kewajiban
terhadap atasan-atasan mereka, maupun terhadap masyarakat.9
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan, sebagai
bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan dan
perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”, yaitu : (a)
kaum muda terhadap kaum tua; (b) kaum laki-laki terhadap ayahnya; (c) istri
terhadap suami; (d) sahabat terhadap sahabatnya; (e) kaula negara terhadap raja.
Adanya kewajiban yang bersifat subordinasi ini, tidak dapat dilepaskan dari bentuk
dasar organisasi kemasyarakatan, yaitu keluarga, dalam arti yang luas. Kepala
keluarga adalah orang yang tertua dari generasi tertua, dan ia melakukan kekuasaan
yang tak terbatas atas semua anggota-anggota keluarga. Keluarga-keluarga tersebut
dikelompokkan kedalam keturunan-keturunan dan yang disebut terakhir ini pada
gilirannya bertumpu pada domein feodal, dan berada dibawah pimpinan raja-raja.
Hierarki feodal seperti itulah yang ada pada era Confusius, tetap bertahan. 10
Adanya pandangan yang demikian mendasarkan pada pendapat Confucius,
yang menyatakan bahwa manusia akan menjadi benar, jika manusia menjunjung
tinggi moral (Li) dalam setiap kehidupannya. Dengan menjunjung tinggi moral,
maka manusia akan berada dalam kesempurnaan sehingga manusia tidak perlu lagi
berpedoman pada hukum. Menurutnya hukum tertulis yang dibuat oleh para
pembentuk hukum (kaum legalis) menjadikan manusia memiliki perilaku yang
buruk. Hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang jahat, hukum
9
Ibid.
10
John Gillissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005, Hlm. 136.
menjadikan manusia bersikap tamak dan serakah. Manusia yang telah mencapai
kesempurnaan moralitas tidak akan membutuhkan hukum dalam hidupnya.
Pemikiran Confucius tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan bahwa pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan baik, sehingga ia karena terdapatnya
atau telah tertanamnya moral dalam dirinya sejak manusia itu lahir.
Pada abad III M, terutama di zaman Dinasti Tsyin (256-207), ajaran
Confusionisme, terutama ajaran Li ini diserang habis-habisan oleh kaum ahli-ahli
hukum atau para legis, yang mendasarkan pada pandangan bahwa Fa, artinya
undang-undang, terutama undang-undang hukum pidana sangat diperlukan bagi
rakyat. Apa yang dikenal dengan facia (madzab undang-undang/madzab kaum
legis) berkembang pesat terutama pada pemerintahan Kaisar Ch’in Shih Huang-Ti,
yang pada tahun 221 SM mewujudkan persatuan dan kesatuan semua wilayah
China, dan kemudian diteruskan oleh mao tse Tung serta pimpinan partai komunis.
Tentangan terhadap Confucius tersebut, mendasarkan pada pemahaman Kaum
Legalis, yang melihat bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan dengan membawa
watak dan sifat jahat. Manusia cenderung untuk senang sendiri, ia akan menjadi
serigala bagi manusia yang lain. 11
Pada keadaan yang demikian manusia harus diatur oleh hukum yang keras.
Menurut kaum Legalis Raja memperoleh legitimasi kekuasaan dari Thian (Tuhan),
dan ketika ia berkuasa maka ia dibekali dengan hukum untuk menundukkan sifat
watak keras manusia, sehingga tidak ada satupun manusia yang akan
menentangnya. Oleh karena itu untuk menjaga ketertiban, maka manusia perlu
ditundukan pada undang-undang, bahkan para pelanggar aturan-aturan ini harus
diancam dengan hukuman-hukuman berat yang menakutkan. 12 Fa adalah hukum
yang lekat pada negara, secara mutlak dan umum serta berlaku sama dan setara bagi
setiap orang.
Sejalan dengan anjuran dari facia, di China pun kemudian dibentuk berbagai
peraturan perundang-undangan. Paling sedikit dijumpai setidak-tidaknya delapan
belas kitab undang-undang China. Peraturan perundang-undangan yang tertua
berasal dari abad IV SM, setelah itu hampir disetiap dinasti mengeluarkan sebuah
kitab undang-undang baru (meskipun biasanya berasal dari naskah lama yang
diambil alih begitu saja dengan atau tanpa tambahan-tambahan). Akan tetapi
pandangan legalistis facia tersebut nampaknya tidak dapat dipaksakan begitu saja.
Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat dipastikan terjadi sebuah proses
“konfussianisasi” undang-undang, dimana beberapa peraturan perundang-
undangan secara substansi merujuk pada Li sebagai sumber hukumnya.
Sekalipun demikian legisme ini masih tetap berpengaruh dan telah menjadi
tradisi bagi setiap kaisar untuk membentuk perundang-undangan, terutama
perundang-undangan di bidang hukum pidana dan hukum tata-usaha negara. Hanya
saja proses legisme tersebut tidaklah pernah menyentuh bidang hukum privat.

11
Ibid.
12
Dardi Darmaodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, Hlm. 46.
Dalam bidang hukum privat, kebiasaan tetap memainkan peranan penting, dan
kebiasaan tersebut masih tetap berlaku sekalipun bertentangan dengan undang-
undang. Sub sistem hukum Li dan Fa dalam sistem hukum China, tidaklah berlaku
secara unifikasi untuk semua golongan masyarakat.
Pemberlakuan Li dan Fa disesuaikan dengan struktur masyarakat China
terdiri dari empat kelas, yaitu : kelas pertama yang terdiri dari pejabat-pejabat dan
kaum yang terpelajar; kelas kedua kaum petani; kelas ketiga kaum pekerja dan kelas
keempat kaum pedagang.13 Orang-orang yang berada di kelas yang lebih rendah
tunduk pada orang-orang kelas yang lebih tinggi; didalam kelas tiap kelas keluarga
dan kelompok keluarga tetap merupakan dasar organisasi kemasyarakatan dan
yuridis. Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan bagi golongan
masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah, tidak dapat diterapkan
dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam konteks yang demikian,
maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar terhindar dari undangundang
pidana, bahkan jika mereka harus dihukum, mereka senantiasa dapat “menembus”
pidana mereka dengan sejumlah uang.
Munculnya perbedaan tersebut didasarkan pada alasan karena anggota-
anggota kelas tertinggi kaum elit orang-orang terpelajar, para pejabat negara,
pemilik-pemilik tanah karena pengetahuan dan pendidikan mereka dapat
memahami cara hidup yang ditentukan oleh Li, sedangkan “rakyat biasa” yang tidak
terpelajar dan hidup sederhana tidak dapat berbuat demikian, sehingga mereka
harus diatur dengan peraturan perundang-undangan, khususnya hukum pidana.
Hukum China tradisional dengan demikian diwarnai dan ditandai oleh adanya
ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan hakim. Kelas-
kelas tertinggi dapat menolak permbelakukan undang-undang terhadap mereka,
dengan alasan bahwa pemberlakuan sebuah undang-undang merupakan bukti
kelemahan.

B. Sistem Hukum China Setelah Masa Republik


Kehidupan politik di China merupakan produk dari masa revolusi yang
panjang yang berlangsung paling tidak dari tahun 1911 sampai tahun 1949 dan
meliputi tiga perombakan sistem politik secara kekerasan. Revolusi pertama terjadi
pada tahun 1911, menggantikan sistem kekaisaran yang telah berlangsung selama
ribuan tahun dengan sistem pemerintahan republik. Revolusi kedua terjadi pada
tahun 1928, ketika Kuomintang (KMT) berhasil membentuk dan menguasai
pemerintahan baru menggantikan pemerintahan “panglima perang” (warlord) yang
terpecah-pecah dalam masa permulaan pemerintahan Republik China dengan
sistem dominasi satu partai yang terorganisir dan terpusat. Revolusi ketiga terjadi
pada tahun 1949 dengan berdirinya Republik Rakyat China di bawah kekuasaan
Partai Komunis China.

13
John Gillissen dan Frits Gorle, Op. Cit., Hlm. 142.
Ketertutupan China dari pengaruh asing dalam berbagai bidang (termasuk
hukum), sepertinya tidak dapat dipertahankan secara terus menerus. Seiring dengan
jatuhnya rezim kekaisaran dan terbentuknya pemerintahan Republik pada tahun
1912, mulai terjadilah perembesan tatanan-tatanan hukum Barat ke China. Hal ini
terutama terjadi setelah Tsiang Kai Tsyek mengungguli kelompok-kelompok yang
berhaluan partai kiri dari partai Kuo Min Tang selama tahun-tahun 1925-1928. Pada
saat itu mulai disusunlah Undang-undang Dasar (yang bersifat sementara pada
tahun 1931, dan kemudian menjadi definitif pada tahun 1936), maupun sejumlah
kodeks menurut pola Barat.14
Pada tahun 1949 telah terjadi perubahan mendasar sebagai akibat
kemenangan partai Komunis dibawah pimpinan Mao Tse-Tung. Rezim baru
Republik Rakyat China ini telah menghapus semua undang-undang yang ada untuk
melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah, dan sebagai
gantinya dibentuk tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang. Pembentukan
tatanan hukum baru berbasis undang-undang ini, tidaklah semata-mata
memperlihatkan kemenangan Fa, (kaum ahli hukum (legisten), akan tetapi lebih
menunjukan domonasi dari penerapan paham Marxisme-lenimisme.
Pemberlakukan undangundang di Republik Rakyat China, pada dasarnya ingin
mengukuhkan kekuasaan diktator (yang untuk sementara dianggap sebagai suatu
keadaan yang terpaksa ditolelir). Pemberlakukan undang-undang yang keras dan
ketat, semata-mata untuk menegakkan komunisme.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah
dikeluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut pola
hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China. Akan tetapi pada
sekitar tahun 1958 terjadilah suatu reaksi terhadap hegemoni perundangundangan.
Pemerintah China menentang pengaruh Rusia dan kembali ke cara pendekatan
tradisional China. Dominasi kedaulatan undang-undang mulai dihapuskan, dan
kemudian digantikan dengan sebuah model penataan yang berbasis pada
kepemimpinan kenegaraan yang dipengaruhi oleh sebuah etika umum, yang
ditafsirkan oleh kader-kader partai dan negara. Pada titik ini, di Republik Rakyat
China, terbentuk kembali sebuah li yang baru, sesuai dengan pandangan-pandangan
partai politik komunis, yang diturunkan oleh gagasan-gagasan Mao Tse Tung (yang
kemudian dikenal dengan “buku merah”). Li ini diterapkan atas diri “orang-orang
yang jujur”, yakni orang-orang komunis, sedangkan yang kejam itu (undang-
undang hukum pidana) tetap dipertahankan dan diberlakukan bagi orang-orang
“kontrarevolusioner” dan bagi orang-orang “Baarbar”, yakni yang bukan China.
Terjadinya Revolusi kebudayaan kaum Proletar pada tahun 1966-1968 telah
mempercepat proses perubahan tersebut. Proses untuk membentuk komunisme
menimbulkan keinginan yang kuat disebagian kalangan untuk memasukkan
didalamnya keadaan “non-hukum”, dengan sama sekali tidak ada sanksi apa pun.
Ideologi harus mampu menjalankan kekuasaan negara, sementara rakyat harus

14
Kelik Wardiono, Sistem Hukum China: Sebuah Tatanan Yang Terkonstruksi Dalam
Lintasan Li Dan Fa, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 1, Maret 2012, Hlm. 76.
menerima dan mengikuti dengan penuh gairah gagasan-gagasan partai dan
pimpinannya. Idiologi ini harus harus diterima bukan karena menyetujuinya,
melainkan agar tercipta persatuan dan kesatuan. Setiap orang diharapkan dapat
menerapkan gagasan-gagasan tersebut, kalau perlu dengan jalan paksa. Dengan
demikian bentuk tatanan hukum yang kemudian terbentuk bukan lagi semata-mata
berdasarkan undang-undang, akan tetapi segala sesuatunya kemudian bertumpu
pada slogan-slogan dan semboyan-semboyan yang bersifat ideologis.
Pada tahun 1970, dan terutama setelah wafatnya Mao (1976), nampaknya
pandangan mengenai hukum dan negara yang diberlakukan oleh Revolusi
Kebudayaan secara berangsur-angsur ditarik kembali. Pada tahun 1973 munculnya
perlawanan terhadap Lin Piao, yang dipadukan dengan penyerangan terhadap
konfusionisme serta pemujaan terhadap fa-chia, Hua Kuo Feng bersamasama
dengan Feng Hsiao-Ping (pemimpin yang dilengserkan oleh Revolusi Kebuda-
yaan), telah membawa kembali China untuk menganut legalisme, suatu bentuk fa,
namun tanpa mengingkari ideologi Mao. 15
Pada masa ini Undang Undang Dasar yang dibuat sejak tahun 1954,
kemudian diganti dengan sebuah Undang-undang Dasar baru yang telah
dipersiapkan sejak tahun 1970 dan dirampungkan serta dikeluarkan pada tahun
1975. UUD ini lebih ringkas dibandingkan dengan yang dikeluarkan pertama
(hanya 30 pasal, sedangkan UUD yang lama berisi 106 pasal). UUD baru ini di satu
sisi berupaya untuk menyederhanakan struktur kenegaaraan, sedangkan di sisi lain
melelatkan dasar konstitusional bagi partai komunis. Dengan demikian Republik
Rakyat China menjadi negara sosialis dengan nama “diktatur ploretariat”, yang
didalamnya kekuasaan negara diletakkan di bawah pimpinan partai komunis.
Undang-undang Dasar tahun 1975 ini, kemudian diamandemen pada bulan
Maret tahun 1975 (60 pasal), yang kemudian diganti lagi oleh UUD 1982, namun
perubahan-perubahan yang diadakan relatif sedikit. Dianutnya kembali subs sitem
fa di China, tidaklah menyebabkan hukum (undang-undang) menjadi dominan.
Sekitar tahun-tahun 1972-1976 hukum justru ditempatkan secara subordinatif dan
hanya menjadi alat tujuan-tujuan politik. Demikian pula di bidang hukum privat.
Meskipun telah diakui adanya kepemilikian tanah, akan tetapi struktur kepemlikian
tersebut mendasarkan pada hak milik marxisme, dengan tekanan pada hak milik
negara sosialis dan kolektif.
Peradilan pun sepenuhnya berada di bawaah pengawasan badan-badan
partai, yang hanya mempunyai satu tujuan: penyelesaian pertentangan-
pertentangan yang timbul dalam masyarakat. Didalam kebanyakan bidang hukum
ini diupayakan adanya penyelesaian perselisihan secara damai melalui jasa-jasa
perantara. Untuk menunjang maksud tersebut maka dibentuklah Komisi
Perantaraan Masyarakat, yang pada hakikatnya mengesampingkan peranan
peradilan. Mekanisme ini dipandang sebagai pengganti tolak ukur yang lama, yakni

15
Ibid.
kewajiban menjamin kehidupan, harmonis, yang kemudian berubah menjadi
persyarataan kesetiaan terhadap paham marxisme versi Mao Tse-Tung.
Hukum perundang-undangan di China bersumber dari dua badan pembuat
undang-undang, yaitu: badan legeslatif negara dan badan kekuasaan partai. Dalam
hal ini Partai menetapkan isinya, sedangkan negara menentukan bentuk undang-
undang. Begitulah sejak tahun 1979 telah diterbitkan ratusan undangundang,
terutama yang berhubungan dengan institusi-institusi negara dan khususnya yang
menyangkut hukum ekonomi. Selain itu dikeluarkan pula kitabkitab undang-
undang dalam bidang cabang-cabang hukum lainnya seperti hukum perdata dan
hukum acara perdata, hukum pidana dan hukum acara pidana. Adapun Pembagian
bidang hukum di negara China pada masa kini adalah: 16
a. Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai.
Dalam hal ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini.
Instansi partai tertinggi adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara
dan masyarakat.
b. Hukum Tata Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-
undang Dasar dan didalam undang-undang pelaksanaannya. Undang-
undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh Musyawarah Nasional,
menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi,
mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama
dimuka hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi
berada di tangan Musyawarah Rakyat Nasional; dan
c. Hukum pemerintahan yang antara lain menetapkan statuta komite-komite
penduduk.
d. Di dalam bidang hukum privat, hukum China ini membedakan antara orang-
orang pribadi dan badan-badan hukum. Orang asing dilindungi dalam hak-
hak dan kepentingankepentingan hukumnya. Di dalam hukum keluarga
suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang perkawinan
tahun 1980 mengatur persyaratan-persyaratan pelaksanaan perkawinan,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengalir dari hal tersebut berikut
syarat-syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan
mempunyai hak yang sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum
perkawinan pada tahun 1950 pembuat undang-undang membuat suatu
ketentuan yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional.
Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai permasalahan yang
diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan ketentuan
bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan
hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan
istri mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan alasan-alasan
demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti program
keluarga berencana.
e. Di dalam pengaturan tentang eigendom Undangundang dasar membedakan
tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak

16
John Gillissen dan Frits Gorle, Op. Cit., Hlm. 158-165.
milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-
sumber daya alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom
individual meliputi barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah
tangga, uang tabungan) dan alat-alat produkssi seperti hewan penarik dan
pengangkut beban. Hanya hak milik publik “sosialistis” adalah barang suci
dan tidak dapat diganggu gugat.
f. Kendatipun Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik
intelektual, namun pada tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke
permukaan dan diberlakukan suatu hak oktroi baru.
g. Di dalam bidang ekonomi dijumpai perusahaan-perusahaan negara, kolektif
dan individual, disamping perusahaanperusahaan campuran China dan
manca-negara (perusahaan patungan) yang diatur oleh sebuah perundang-
undangan yang serba luas. Sejak tahun 1980 diadakan empat buah “Zone
Ekonomi Khusus” di bagian Selatan China, dimana investor-investor asing
memperoleh perlakuan istimewa berupa hak-hak privilese yang
berhubungan dengan perpajakan, imporekspor valuta asing, dan
seebagainya.
h. Dalam bidang peradilan dijumpai: (i) Komite-komite perantaraan
masyarakat, yang dibentuk oleh komite-komite penduduk, yang didalamnya
duduk hakim-hakim awam dan yang kurang menangani perkara-perkara
perdata dan pidana; (ii) Pengadilan-pengadilan rakyat biasa maupun khusus
dan pada puncak piramida peradilan, sebuah Mahkamah Agung Rakyat; (iii)
Komisi-komisi arbitrase yang terutama menyelesaikan permasalahan-
permasalahan ekonomi; (iv) Parket, yang mengawasi pelaksanaan undaang-
undang; (v) Ruang tempat pembela (balie), yang terdiri dari advokatadvokat
yang bekerja dibawah pengawasaan-pengawasan negara dan wajib
memberikan bantuan hukum. (vi) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-
hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu. (vii)
Hukum acara di sidang pengadilan berlangsung melalui dua instansi:
pemeriksaan dan pemutusan perkara dalam tingkat pertama dan dalam
tingkat banding. Dan persidangan pengadilan terbuka untuk umum. Namun,
jumlah perkara tidak banyak: kebanyakan perkara diselenggarakan terhadap
apa yang disebut musuh-musuh rakyat dan “residivis-residivis”, maupun
dalam bidang hukum perkawinan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Di awal-awal pembentukannya sistem kukum China yang merupakan
reduksi dari hasil tarik menarik antara sub-sistem hukum Li dan Fa¸
diwarnai dan ditandai oleh adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan
kesewanang-wenangan putusan hakim. Sub-sistem hukum Li sebagai suatu
tatanan umum yang bersendikan moral hanya diberlakukan bagi golongan
masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelaskelas terendah, diberlakukan
sub-sistem hukum Fa, sebagai suuatu tatanan hukum berbentuk peraturan
perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan oleh negara bagi
masyarakat kelas rendah
2. Di sepanjang alur sejarah perjalanannya model pembangunan hukum di
China mengalami pergantian antara suatu tatanan hukum berbasiskan
undangundang, yang mendasarkan pada paham Marxisme-lenimisme,
dengan sisten hukum yang berbasis moral (etika umum) dengan
mendasarkan pada pendekatan tradisional China. Pada tahap akhir
perkembangannya China menganut kembali paham legalisme, tanpa
mengingkari ideologi Mao, dan menempatkan hukum secara subordinatif
pada tujuan-tujuan politik.
B. Saran
1. Sistem hukum China Kuno terkait konsep hukum Li dan Fa , sangat menarik
untuk dijadikan kajian dalam sejarah hukum, agar kedepannya dapat
dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran.
2. Ideologi marxisme dan komunisme yang ada dan mempengaruhi sistem
hukum China tidak dapat diterapkan di Indonesia, namun dapat dipelajari
karena berkaitan dengan sejarah PKI di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Inu Kencana Syafiie, Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia (SANRI),
Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
SF, Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII
Press, Yogyakarta, 2001.
H.R Otje Salman S dan Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Asitama, Bandung, 2009.
Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep Teori dan Metodenya dalam
pengembangan ilmu hukum, Oase Pustaka, Karanganyar, 2016.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
John Gillissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Dardi Darmaodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1996.
Kelik Wardiono, Sistem Hukum China: Sebuah Tatanan Yang Terkonstruksi Dalam
Lintasan Li Dan Fa, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 1, Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai