Oleh :
Nofanti Laleno
20202108052
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,
sedangkan sejarah hukum satu aspek dari hal itu, yakni hukum. Apa yang berlaku
untuk seluruh , betapa pun juga berlaku pula untuk bagian, maksud dan tujuan
sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga dalil-dalil atau
hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan. Jadi , dengan demikian
permasalahan yang dihadapi sejarawan hukum tidak kurang ‘ impossible’ dari pada
setiap penyidik dalam bidang apa pun. Namun dengan mengutarakan bahwa
sejarawan hukum harus berikhtiar untuk melakukan penulisan sejarah secara
integral, nampaknya Van den Brink terlampau jauh jangkauannya, justru pada tahap
terakhir ia melangkahi tujuan spesifik sejarah hukum ini.1
Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti pohon,
syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history; Bahasa latin dan
Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti orang pandai.2 Bahasa
Spanyol menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa
Prancis histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche
hen yang berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif);3
Arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang kejadian, peristiwa, dan
masyarakat masa lalu. Biografi , kisah penaklukan dan kisah orang-orang
termasyhur, peristiwa tertentu yang terjadi pada setiap bangsa yang di susun oleh
bangsa tersebut, termasuk dalam kategori ini. Dalam pengertian ini , pertama, arti
sejarah adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan
dengan individu, kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah
adalah pengetahuan tentang ‘wujud’bukan tentang ‘menjadi’, keempat, sejarah
berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Dalam terminology ini,
sejarah seperti ini disebut “sejarah rawian”. 4 Sejarah hukum dari masa ke masa
menunjukkan bahwa unsur keadilan tidak pernah hadir total dalam tubuh hukum,
seperti juga unsur suara rakyat tidak pernah singgaah menetap dalam tubuh
demokrasi. Sebabnya, karena unsur keadilan dan suara rakyat tergilas oleh
terjadinya dilusi yang saling sambung-menyambung.Menurut Munir Fuady,
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari ilmu
1
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar, Bandung: Refika
Adita Utama, 2011). Hal 11
2
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
3
Ibid. hlm 2
4
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016) hlm. 3
sejarah (karenanya bukan cabang dari ilmu hukum). Yang merupakan cabang dari
ilmu hukum ) , yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi, menginterpretasi,
Menyusun dalil dan kecenderungan, dan menarik kesimpulan tertentu tentang
setiap fakta, konsep, kaidah , dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang
pernah berlaku, baik secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta
ketersentuhannya dengan bidang lain dari hukum. 5Soedjono D, menjelaskan
bahwa : “ sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan
memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan
waktu. 6Perkembangan metode dan ilmu sejarah hukum terbilang relative lambat,
karena sejarah hukum ini baru di kenal semenjak ahli sejarah hukum, yaitu Von
Savigny, mencetuskan teori Historical Jurisprudence. Keterlambatan lahir dan
perkembangan sejarah hukum disebabkan oleh beberapa factor sebagai berikut .
1. Kuatnya pengaruh ajaran hukum alam yang modern maupun klasik, dengan
mengandalkan logika, dengan mengembangkan cara berpikir bahwa seolah-
olah semua masalah hukum dapat dipecahkan dengan akal sehat menuju
satu hukum yang rasional yang dapat berlaku di mana-mana.
2. Kuatnya pengaruh paham agama dalam bidang hukum terjadi sejak dahulu
kala.
3. Kuatnya pengaruh paham positivisme dalam hukum, terutama di abad 18
dan 19 , yang mengarahkan pandangan orang tentang hukum hanya yang
terjadi pada saat itu saja, sebagaimana tertulis dalam undang-undang atau
bagaimana diperintahkan oleh penguasa.
John Gillisen dan Fritz Gorle menambahkan beberapa fungsi dari sejarah hukum,
yaitu sebagai berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak , tetapi juga
berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
2. Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti melalui
sejarah hukum
3. Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula untuk
mengetahui budaya dan pranata hukum.
4. Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip perlindungan hak
asasi manusia.
Karena berbagai fungsi dan kegunaan dari sejarah hukum seperti di atas maka
disiplin sejarah hukum sekarang telah menjadi suatu ilmu dan metode yang
dipelajari oleh banyak orang.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Hukum itu adalah suatu gejala dari masyarakat yang senantiasa bergerak,
yang berkaitan dengan gejala lainnya dalam hubungan pengaruh memengaruhi
secara timbal balik tanpa henti-hentinya, tidak ada yang ditangkapnya selain kata-
kata polos, bahwa hukum itu harus memperhatikan kebutuhan masyarakatnya. 7
Pemikiran teoritis mengenai hukum dalam masyarakat di tengah-tengah
pengalaman perubahan peradaban Eropa barat abad ke 19 adalah pemikiran-
pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi evolusionisme. Marx
sebagai salah satu pemikir evolusionis yang mengonsumsikan selalu adanya
dinamika perubahan dalam masyarakat.
Diasumsikan bahwa perubahan adalah selalu suatu perubahan transional
yang tak terelakkan sehubungan dengan adanya keniscayaan dialektika yang
kodrati, dan termanifestasi dalam sejarah dari suatu model kehidupan tertentu ke
suatu model kehidupan tertentu yang lain. Sejalan dengan perubahan itu, hukum
pun sebagai komponen sistem kehidupan akan ikut pula berubah secara fungsional8.
Jika ditinjau dari perkembangan sistem hukumnya, Negara Romawi yaitu
merupakan negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan lebih hebat dari negara-
negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem hukum yang dibuat oleh
bangsa romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan sistem hukum yang dibuat
oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Sistem hukum Romawi (yang sekuler itu )
jauh berbeda dengan sistem hukum yang dibawah oleh agama (Yahudi,
Kristen,Islma,hindu, dan Buddha), meskipun sistem hukum yang berlandaskan
agama di percaya berasal dari langit yaitu dari Tuhan yang diturunkan ke dunia
melalui rasul-rasul Tuhan.
Prestasi bangsa Romawi bahkan dalam membuat hukum jauh lebih besar
dari penjumlahan prestasi semua bangsa yang mendiami dunia saat ini. Ini memang
fantasis, bahkan lebih dari itu. Bukan hanya sector hukum yang merupakan hasil
sumbangan bangsa romawi kepada dunia yang masih berpengaruh hingga sekarang,
tetapi banyak sector kehidupan lainnya yang juga terpengaruh. Misalnya pengaruh
dari abjad Romawi, sistem hukum pemerintahan romawi dan sebagainya.
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada
bandingannya dengan sejarah hukum maupun di dunia ini. Perkembangan hukum
7
C. van Vollenhoven, Orientasi dalam hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan, 1980) hal 1
8
Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Hal 22
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut.9
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (Hakim dan Legislatif
sekaligus)
Sistem hukum Yunani dalam sejarahnya kurang menekankan fungsi dan
peran para ahli hukum, akibatnya profesi hukum, seperti advokat dan
hakim, tidak berkembang di sana. Bahkan, hakim, jadi bukan profesi
seumur hidup. Para hakim rakyat ini disebut Dikateries. Lihat saja
pengadilan terhadap Socrates di Yunani, di mana yang menjadi hakim
adalah ratusan warga negara di Athena. Sebaliknya sistem Hukum
Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat menghargai
peran dan eksistensi dari profesi hukum. Misalnya, kala itu dikenal jabatan
Preator yang merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Preator ini
sangat berperan dalam membentuk dan mengembangkan hukum di
romawi.
2. Faktor penghormatan terhdap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikatn apresiasi yang tinggi terhadap
profesi advokat. Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam
bidang hukum. Mereka ini tidak hanya mengajukan argumentasi cerdas
Ketika membela klien-kliennya, melainkan juga memberikan pendapat-
pendapatnya dalam bentuk buku-buku hukum. Cicero adalah salah satu
dan yang paling terkenal di antara advokat Romawi saat itu.
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas
sehingga memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan
wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuas
Kerjaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga
memiliki waktu yang Panjang dalam menciptakan hukum.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecehan kerjaan Romawi)
Raja Justinian mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam suatu panitia
yang bertugas untuk Menyusun Kembali hukum Romawi yang mulai
berserakan dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke
dalam satu kitab hukum yang sistematis.
9
Ibid,Munir Fuady Hal 198
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan
hukum Romawi. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara
tertentu sangat berpengaruh bagi dunia hukum dengan membuat berbagai
kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di Prancis yang di dasarkan
pada Code Justinian, atau pembuatan Code Civil Jerman yang di dasarkan
pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian.
Dimasa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat negara
yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai berikut:10
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan Raja,
meskipun Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki
kewenangan sebagai panglima perang yang ditujukan oleh Comitia
Centuriata, tetapi memerlukan ratifikasi dari parlemen untuk masa jabatan
satu tahun.
2. Praetor
Preator pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Preator merupakan
semacam pejabat di Kehakiman di zaman modern, yang diangkat oleh
Comitia Centuriata. Preator bertugas mengatur masalah administrasi yang
berkenaan dengan hukum sehingga mempunyai banyak kontribusi terhadap
perkembangan hukum romawi.
3. Quaestor
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan Preator yang
dikhusukan di bidang finansial, administrasi Criminal Justice, pejabat
hukum yang penting di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SM. Sesuai namnya, censor
memiliki tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan untuk
menentukan tantang siapa saja yang mempunyai hak pilih.
5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan
anggota dari parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan
rakyat jelata (jadi tidak ada golongan bangsawan). Mereka mempunyai hak
veto di parlemen.
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerintahan yang bertugas melaksanakan
kepentingan rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi
kemudian menjadi perwakilan dari kaum bangsawan.
Hukum Romawi berkembang sangat Panjang dalam sejarah. Dalam
perkembangannya yang cukup lama tersebut, ada berbagai cara membagi tahap-
tahap perkembangan hukum Romawi. Salah satunya ialah dengan membagi
perkembangan hukum Romawi dalam tahap sebagai berikut :
1. Tahap awal hukum Romawi.
10
Ibid, Hlm 199
2. Tahap republik
3. Tahap awal imperium
4. Tahap imperium kristiani
5. Tahap Code Justinian
6. Tahap hukum Kanonik
7. Tahap kodifikasi Barbar
8. Tahap pengkajian Kembali hukum romawi
9. Tahap resepsi hukum romawi 11
Pada umumnya sejarah hukum Romawi yang sangat Panjang ini dibagi menjadi tiga
periode dengan berbagai rezim politik yang hampir sama banyaknya. Yaitu pada
periode pertama yaitu Monarki sejak 753 SM-510 SM), Periode kedua yaitu
Republik sejak 510 SM- 27 SM, kemudian pada periode ketiga yaitu Imperium sejak
27 SM- 476 M . Pada tahun 476 M merupakan kehancuran Romawi Barat, yang
ditaklukan oleh pemimpin Suku Barbar, yaitu Odoacer dari Jerman. Meskipun
begitu, Romawi timur masih tetap hidup, bahkan raja yang berjasa besar di bidang
hukum Romawi, yaitu Justinian, baru mulai memerintah Bizantium sejak tahun 527
M. Pilihan pada hukum Romawi sebagai modal, memang disebabkan oleh adanya
suatu penilaian, bahwa karya Justinianus itu sebagai pencerminan dari budaya
Romawi yang dianggap ideal. Orang-orang Romawi dengan kejeniusannya telah
membangun institusi dan akal sehatnya yang praktis dapat menghasilkan
penyelesaian yang memuaskan terhadap masalah hukum yang dihadapkan
kepadanya. Penyelesaian itu dilakukan berdasarkan hukum yang telah disusun dan
diberlakukan oleh kaisar. Karena itu ketika hukum Romawi mula-mula dipelajari
dan kemudian akan digunakan untuk menghadapi permasalahan sosial yang
berkembang, hukum tersebut diinterpretasi dan diberikan komentar oleh para
Glossator dan Comentator. Dengan dasar interpretasi dan komentar tersebut, hukum
Romawi memperoleh aktualitasnya dalam tataran praksis. Di samping itu hukum
Romawi memiliki kekuatan berlaku secara langsung sebagai perintah dari
kekaisaran Romawi ( imperium romanum).12
Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi besar
lainnya, yaitu Code Napoleon (1804 M), disamping dasar lainnya berupa kebiasaan
setempat. Untuk sekedar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon Tersebut,
beberapa prinsip hukum yang ada di dalamnya dapat disebutkan sebagai berikut;
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada
hukum yang berlaku surut.
2. Hakim yang menolak perkara dengan alas an undang-undangnya tidak
jelas, kabur, tidak cukup di atur, harus bertanggungjawab karena menolak
keadilan.
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya.
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alas an perzinahan yang
dilakukan oleh isterinya.
11
Ibid, Hal 201
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, h. 263.
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alas an perzinahan yang
dilakukan oleh suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat
tinggal Bersama mereka.
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alas
an adanya Tindakan kasar, memukul, dan melukai pasangannya oleh yang
satu terhadap yang lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah
dijatuhkan hukuman oleh pengadilan.
Selain Corpus Juris Civilis yang terkenal dan The Twelve Tables , sebenarnya di
Romawi masih banyak undang-undang lain, meskipun bukan dalam bentuk
kodifikasi.
B. Sumber- sumber Hukum Romawi
1. Periode Dini
Sekitar abad-abad VII dan VII SM Roma dikuasai oleh “ organisasi clan” dari
keluarga-keluarga besar ( gentes) yang dapat dibandingkan dengan “clan-clan”
Yunani. Kekuasaan kepala keluarga praktis tidak terbatas dan anggota-anggota
gens ini terikat oleh suatu solidaritas aktif dan pasif. Tanah, sepanjang hal tersebut
merupakan objek pemilikan tidak dapat diasingkan. Sejak awal Republik (abad V
SM) evolusi hukum Romawi dipercepat oleh peranan hukum plebeyer yang
semakin meningkat, yang kemungkinan besar adalah orang-orang asing-kaum
pedagang dan petani yang hidup di luar organisasi tradisional kaum gentes dan
kaum plebeyes tersebut telah menjurus kea rah kesamaan politik, sosial dan
keagamaan. Secara berangsur-asur kaum plebeyer ini memperoleh ha katas hukum
privat yang sama dengan yang berlaku atas kaum patrisia. Sumber hukum romawi
sebagai berikut:
1. Kebiasaan ( Mos Maiorum consuetudo)
Sebagaimana setiap hukum arkhaistis maka hukum Romawi kuno
tersebut berbasiskan kebiasaan, mos maiorum ( adat kaum leluhur) atau
Consuetudo (kebiasaan). Nampaknya disini menyangkut kebiasaan-kebiasaan
setiap clan keluarga masing-masing. Kebiasaan-kebiasaan ini antara lain
menyangkut permasalahan-permasalahan perkawinan dan nama. Dan kemudian
pada zaman republik terbentuklah pula kebiasaan-kebiasaan kota-kota, yang di
dalamnya akan dimasukan kebiasaan-kebiasaan kaum gentes dahulu.Tentang
isi hukum kebiasaan kuno ini sedikit sekali diketahui orang, satu dan lain karena
hal tersebut tidak di catat. Sampai sekarang tidak dijumpai jejak-jejak tentang
hal ini di dalam undang-undang kerajaan (leges regiae), di dalam undang-
undang dua belas prasasti, edik-edik magistrat- magistrat dan di dalam tulisan-
tulisan para yuriskonsul atau pakar-pakar hukum .13
2. Undang-undang (Lex)
Pada periode kerajaan dan pada Republik dini nampaknya tidak ada
kegiatan perundang-undangan yang terjadi. Pada saat-saat tersebut aksara
13
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle, Op.cit hlm 173
nyaris dikenal. Undang-undang kerajaan (leges regiae), yang menurut tradisi
dianggap di susun oleh raja-raja Romulus dari Numa, raja pembuat undang-
undang, terutama adalah keputusan-keputusan yang bersifat keagamaan yang
diambil alih oleh raja dalam kepastiannya selaku Pontifex Maximus (Ulama
tertinggi). Selain ritual-ritual persembahan korban hal-hal itu hanya berkaitan
dengan beberapa aturan hukum privat dan hukum pidana yang mempunyai
akibat-akibat keagamaan. Lex ini atau paling tidak Lex Publica atau undang-
undang umum adalah sebuah kata (surat) yang dikeluarkan oleh penguasa
umum yang membentuk aturan-aturan ini dipandang sebagai suatu perintah
umum rakyat atau kaum plebs, yang dirumuskan atas permintaan magistrat ( lex
est generale iussum) populi aut plebs, rogente magistrate). Hanya megistrat-
magistrat tertinggi, konsul-konsul, praetor-praetor, tribun-tribun atau diktatore-
diktatore yang boleh mengambil inisiatif untuk itu; mereka mengusulkan
sebuah naskah (rogasio) yang selalu suatu waktu tertentu digantung pada papan
pengumuman pada awal rapat kuriat-kuriat, selama abad-abad V dan IV
terutama pada rapat senturiat-senturiat dan sejak lex Hortensia tahun 287 di
dalam rapat tribun-tribun megistrat yang mengajukan rancangan undang-
undang tersebut mempertahankannya acapkali dalam bentuk yang telah
diamenir di hadapan sidang dewan. Jadi peranan megistrat di sini luar biasa
pentingnya, sedangkan 14peranan sidang-sidang juga penting, namun hanya
sebagai pelengkap. Tambahan pula pemberian persetujuan oleh senator-senator
merupakan syarat, yakni Auctoritas partum, pada awalnya hal ini
terelengaranya melalui pemberian persetujuan sebelumnya.
3. Undang- undang duabelas Prasasti
Dari semua undang-undang yang berasal dari periode Republik nampaknya
undang-undang duabelas prasasti ini yang menarik perhatian. Ia pada hakekatnya
merupakan salah satu fundamental ius civile. Dan signifikansinya pada zaman
Justianus, bahkan demikian ia telah lama diusulkan oleh sumber-sumber hukum
lain. Menurut legenda Undang-undang ini dibuat atas permintaan kaum plebeyer,
yang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan kota sebagai berikut interpretasinya oleh
kaum ulama tinggi dan yang menaruh kebenaran atas Tindakan-tindakan semena-
mena megistrat- megistrat patrisia. Pencatatan undang-undang tersebut konon telah
diserahkan kepada sepuluh orang komisaris, yakni komisi desemviri pada tahun-
tahun 451-499 SM. Naskah original yang diukir di atas duabelas prasasti , pernah
dipamerkan pada forum namun pada sekitar tahun 390 SM musnah tatkala Roma
dijarah oleh kaum Gallia.
C. Proses Pengadilan di Zaman Romawi
Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan, karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat
banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat, upaya pencari keadilan dalam membawa
14
Ibid ,hal 174
kasus-kasusnya ke pengadilan. Konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara
dalam kasus-kasus perdata ialah terhadapnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi
dalam perkara perdata, antara lain sebagai berikut;
1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan.
2. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. Penggugat bertanggungjawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke
pengadilan
4. Penggugat bertanggungjawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi) sendiri
terhadap putusan pengadilan.
5. Karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak
tahap yang harus dilalui dan diatur secara sangat rigi, yang apabila keliru
sedikit dapat menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang
harus dilakukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, maka risiko akan
semakin lebih banyak ditanggung oleh para pihak tersebut sebagai pencari
keadilan.15
Disamping itu, di zaman Romawi sudah dikenal dan berkembang profesi
Advokat. Mereka umumnya kurang berpengetahuan tentang hukum, tetapi
sangat mahir berpidato. Sebelum menjadi advokat, mereka umumnya terlebih
dahulu belajar metode berpidato yang retorik dari Yunani. Karena itu Advokat
Romawi sangat mahir berpidato dan adu argument. Yang paling terkenal di
antara mereka adalah Cicero yang memiliki pengetahuan yang sangat luas,
termasuk pengetahuannya tentang filsafat, logika, dan ilmu Politik. Selanjutnya
dari kalangan hakim yang sangat terkenal adalah Julian, sedangkan conselor
terkenal adalah Ulpian dan Papinian. Profesor yang terkenal di Romawi adalah
Quintilian, sedangkan juris terkenal adalah Gaius. 16
Para advokat boleh mengambil fee dari kliennya sebagai imbalan dari jasanya
sebagai advokat. Namun, di masa Romawi berbentuk Republik, sering juga para
advokat tidak memungut fee dari kliennya, karena umumnya mereka berasal
dari keluarga aristocrat yang kaya.
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur
tertentu yang cindering rigid. Pengadilan dibagi kedalam dua tahap yaitu tahap
hearing prelimentary dan tahap kedua yaitu proses pengadilan penuh. Tahap
hearing preliminary sebelum hakim memeriksa perkaranya di pengadilan. Pada
proses ini selain untuk mengangkat hakimnya, kedua bela pihak wajib hadir
untuk saling bertukar argument dalam hubungan dengan kasus yang
bersangkutan.
D. Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal ( The Twelve Tables)
Sebagaimana tercatat dalam sejarah hukum bahwa hukum Romawi Klasik
tertulis yang paling tua yang pernah kita temukan saat ini adalah dokumen yang
15
Op.Cit Munir Fuady, Hal 209
16
Loc.cit
dikenal dengan “ hukum dua belas pasal “ ( the twelve tables). Hukum tersebut
juga disebut dengan “ hukum dari raja ( the law of the King) yang dibuat sekitar
tahun 451-450 SM , merupakan gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan
kebiasaan yang saat itu berlaku di romawi. Karena itu tahun 450 SM dianggap tahun
lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental. Tahun 450 SM, kodifikasi di Romawi
selesai dibuat, yang terdiri atas 10 bab saja. Namun demikian, setelah didiskusikan
oleh masyarakat, timbul desakan untuk menambah jumlah bab yang ada dalam
kitab undang-undang tersebut. Akhirnya, pada tahun 449 M, tim kedua yang juga
terdiri atas 10 orang, berhasil menambah dua bab lanjutan sehingga kesemuanya
menjadi 12 bab. Karenanya, undang-undang tersebut disebut dengan kitab undang-
undang 12 bab/pasal ( The Twelve Tables), yang masing-masing bab ditulis pada
satu lempengan/prasasti.17
Menurut satu Riwayat, lempengan tembaga asli tempat ditulis The twelve
tables tersebut ikut dirumuskan Ketika the Gauls, di bawah pimpinan Brennus,
menyerang dan membakar Roma sekitar tahun 390 M, apa yang tertinggal dan dapat
dibaca oleh rakyat di kemudian hari hanyalah edisi tidak resminya, yaitu kutipan-
kutipan dari beberapa penulis, seperti dari Cicero dana Gelius.
Undang-undang 12 pasal ( The Twelve Tables) tersebut berisi hal-hal
sebagai berikut:
Table I : Prosedur Beracara di Pengadilan
Table II: Acara Pengadilan (lanjutan)
Table III: Utang piutang
Table IV : Hak-hak dari Ayah terhadap Anggota keluarga
Table V : Perwalian dan hukum Waris
Table VI : Perolehan dan Pemilikan Benda
Table VII: Hak-hak atas tanah
Table VIII : Perbuatan melawan hukum dan delik
Table IX : Hukum Publik
Table X: Hal-hal yang suci/ penguburan
Table XI : Tambahan I (tentang perkawinan)
Table XII: Tambahan II (tentang Hukum Kebiasaan/Pidana)18
17
Ibid,hal 224
18
Kempin , Frederick G. Common Law History. Vol 2, no. 2 April 1976.West Bengel, India: Sri
Mohan Mishra at Intertrade Publication Private Ltd, 1976
Mengenai kontrak, khususnya tentang kontrak utang piutang, diatur dalam
pasal III (table III) ayat 1, yang merupakan cikal bakal lembaga sandera, pengakuan
utang murni, dan eksekusi untuk pengakuan utang, seperti yang dikenal saat ini.
Cicero, seorang ahli hukum terkemuka dan negarawan Romawi, cenderung
menyamakan alam dengan akal. Menggunakan akal manusia sebagai metode untuk
dapat masuk ke dalam fenomena hukum yang transcendental. Hakikat hukum
adalah akal yang benar, yang sesuai dengan alam, ia dapat diterapkan di mana pun,
tidak berubah dan abadim ia menuntut kewajiban melalui perintahnya dan
mencegah perbuatan yang salah melalui larangannya.19
Cicero mengemukakan seorang raja hendaklah tidak menerapkan hukum
yang rusak, karena hukum yang rusak adalah kekuatan terbesar yang akan merusak
kehidupan rakyatnya. Dalam perspektif pandangan modern, hukum yang rusak
dapat disepadankan dengan hukum yang dalam pembentukannya tidak didasarkan
keutuhannya karakteristik permasalahan yang akan diaturnya, atau yang dalam
pembentukannya tidak berdasarkan pertimbangan yang komperhansif.
19
E. Bodenheimer, Jurisprudence: The Philosophy and Method of Law, 1974 Hlm 14-17.
20
Op.cit, Kempin , Frederick G
Code Justinian dilarang untuk ditafsirkan, apalagi diubah. Karena menurut
Justinian, menafsirkan hukum atau mengubah hukum akan menyebabkan hukum
menjadi kacau balau. Karena itu, tinggallah code Justinian seperti apa adanya, yang
banyak bagiannya sebenarnya susah dimengerti. Setelah kematian Justinian, mulai
dilakukan penafsiran yang luas, diringkaskan, bahkan diamandemen sehingga lebih
gampang dimengerti oleh banyak orang. Penyingkatan pertama secara resmi,
dilakukan di tahun 740 M yang disebut Ecloga (kalimat-kalimat pilihan). Ecloga
pada prinsipnya merupakan ringkasan bagian-bagian penting dari kodifikasi dengan
disana sini dilakukan amandemen tertentu. Corpus Juris Civilis itu terdiri atas
empat bagian sebagai berikut :
1. The Instittute.
2. The Digest
3. The Code
4. The Novels.
The institute hanya berisi teks yang merupakan pengantar saja; The Code
Merupakan kumpulan aturan Legislasi bangsa Romawi yang disusun secara
sistematis; The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat setelah selesainya
pembuatan The digest dan the code. Namun yang terpenting adalah The Digest yang
merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap dan sangat memengaruhi
perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum eropa continental,
khususnya dalam bidang-bidang seperti status personal, perbuatan melawan
hukum, kepemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah ganti rugi, dan lain-lain.
Bahkan dapat dikatakan bahwa The Digest Bersama dengan The Code inilah yang
merupakan dasar dari hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum
eropa continental sampai saat ini.
F. Peninggalan Sejarah Hukum Romawi
Hukum Romawi ternyata banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat
terbaca sampai dengan sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis
undang-undang atau dokumen hukum lainnya di atas batu marmer dan lempengan
perunggu. Tidak kurang dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di
Capitoline Hill, suatu perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah
hilang. Salah satu dokumen hukum yang masih tersimpan utuh adalah Lex Julia
Municipalis, yang dibuat pada tahun 45 SM. Lex Julia municipalis merupakan
dokumen yang berisi tentang peraturan tata kota di kota Roma, yang merupakan
model pengembangan dari model yang ada di Yunani.
Berikut ini beberapa ketentuan dari lex Julia municipalis. Lex Julia
Municipalis: peraturan lalu lintas setiap adile (petugas pelayanan publik) telah
ditugaskan oleh peraturan ini, harus bertanggungjawab untuk memperbaiki dan
menjaga agar jalan umum di semua tempat di bagian kota untuk masing-masing
bagian kota yangs ecara khusus telah ditujukan kepadanya.21
21
Munir Fuady Op.Cit , hal 233
Hak kewarganegraan masyarakat di Roma, seperti di Yunani, bukanlah
seluruh penduduk, tetapi kesatuan warga negara. Tidak setiap orang yang tinggal di
wilauyah itu adalah warga negara, tetapi hanya dia yang memiliki hak
kewarganegaraan. Warga negara ini memiliki banyak keistimewaan. Hanya dia
yang menjadi anggota Lembaga politik; hanya yang memiliki hak suara dalam
majelis rakyat romawi, menjadi tentara, hadir pada upacara-upacara keagamaan di
Roma, untuk terpilih sebagai hakim Romawi. Inilah yang disebut hak-hak public.
Hanya warga negara yang dilindungi oleh hukum Romawi, hanya dia yang
memiliki hak menikah secara legal, menjadi ayah bagi sebuah keluarga, yakni
menjadi tuan bagi isteri dan anak-anaknya, membuat wasiat, membeli atau menjual,
ini adalah hak-hak pribadi22.
Mereka yang bukan warga negara tidak hanya tidak bisa menjadi tentara
dan anggota majelis, tetapi mereka tidak bisa menikah, tidak bisa memiliki
kekuasaan absolut seorang ayah, tidak bisa memiliki kekuasaan absolut seorang
ayah, tidak bisa memiliki property secara legal, tidak bisa meminta hukum Romawi,
atau menuntut keadilan di pengadilan Romawi. Dengan demikian warga negara
merupakan aristokrasi di tengah-tengah penduduk kota lainnya. Tapi mereka tidak
sama di antara mereka sendiri. Ada perbedaan kelas, atau sebagaimana kata orang
Roma, peringkat.
Hukum suatu bangsa senantiasa merupakan hasil dari proses sosial yang
lebih besar, yang dijalani oleh suatu bangsa. Penerapan asas personalitas pada
hakikatnya telah memungkinkan hukum romawi tetap bertahan di eropa barat
kendati pun negara Romawi Barat itu sendiri telah sirna. Penduduk Eropa barat
yang telah mengalami pengaruh proses romanisasi betapapun juga menerapkan
hukum Romawi selama tiga sampai empat abad, yakni abad V sampai abad VIII,
para yuris dan hakim tetap saja mempergunakan naskah-naskah hukum romawi
klasik ini terutama karya-karya para yuriskonsul terkenal dari abad-abad II, III, dan
undang-undang yang disebut Constitusionis. 23
Hukum Romawi nampaknya tetap berevolusi, Sebagian besar melalui
kontak dengan hukum-hukum kebiasaan Germana. Hukum kemudian berbaur
dengan kebiasaan-kebiasaan local masing-masing daerah. Karena nyaris tidak
dijumpai sumber-sumber, maka Sebagian besar hukum tersebut tidak dikenal lagi.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan
hukum Romawi di zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari
berlakunya undang-undang dua belas pasal di tahun 4650 SM, Sampai dengan
terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M. Namun demikian
warisan hukum Romawi tetap dipertahankan pada abad ke 15 dengan
kumpulkannya hukum-hukum Romawi di tempat ke dalam suatu kodifikasi hukum
yang disebut dengan CORPUS JURIS CIVILIS / CODEX JUSTIANUS ROMAWI
atauyang disebut dengan ROMAN CIVIL CODE. Dilanjutkan pada abad ke 18
22
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Dunia Kuno, Indoliterasi; Yogyakarta 1912, hal 221
23
Gaudemet, J., La formation de Droit seculier et du Droit de I’ Eglise aux IVe et Ve Siecles,
Cetakan ke-2, paris 1979, Roman Law in Mediaeval Europe, Oxford, 1929
(1805) pada saat terjadi Revolusi Perancis dengan dibentuk suatu kodifikasi hukum
yang disebut dengan CODE CIVIL DES FRANCAIS/CIVIL CODE NAPOLEON
dan B.W (BURGELIJK WETBOOK). Penerapan sistem hukum tersebut di
Perancis dianggap berhasil di Eropa dan pada akhirnya diikuti olehbeberapa negara
di Eropa daratan diantaranya Jerman dan Belanda.24
Dalam sistem hukum yang disebut mazhab kontinental, hukum ditanggapi
sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan: hukum adalah undang-undang
yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional, di mana
pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan.
Hukum ialah ius atau recht.Bila suatu hukum yang konkrit, yakni undang-undang
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu sudah tidak bersifat
normatif lagi, dan sebenarnya tidak dapat disebut hukum lagi. Undang-undang
hanya hukum bila adil. Dengan kata teknis : adil merupakan unsur konstitutif segala
pengertian tentang hukum25.
Kebangkitan Kembali hukum Romawi dimulai dari Bologna (Italia) di
penghujung abad ke-11. Sejak saat itu, di Bologna berkembang universiytas-
universitas modern yang utamanya mempelajari hukum Romawi, khususnya
Romawi versi Corpus juris Civilis. Selanjutnya muncul berbagai universitas untuk
mempelajari hukum hukum Romawi di Italia.
24
C.S.T. Kansil, Et.Al. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2005).
25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Jogjakarta: Pustaka Kanisius, 1995). Hlm 71
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Romawi yang merupakan sumber dari sistem civil law telah
menempuh sejarah yang panjang untuk sampai kepada tingkat perkembangan yang
tinggi. Semua itu bermula dari penemuan Corpus Iuris Civilis. Kodifikasi itu
merupakan puncak pemikiran hukum Romawi yang sudah ratusan tahun.
Sebenarnya kodifikasi tersebut merupakan suatu kompilasi kasus-kasus yang
diselesaikan di Romawi bagian barat. Corpus Iuris Civilis tidak diundangkan di
kekaisaran Romawi Barat. Orang-orang Romawi dengan kejeniusannya dalam
membangun institusi dan akal sehatnya yang praktis dapat menghasilkan
penyelesaian yang memuaskan atas masalah-masalah hukum yang dihadapkan
kepada mereka. Penyelesaian itu diselesaikan dengan merujuk kepada hukum yang
diberlakukan oleh kekaisaran itu. Sejarah hukum Romawi menunjukkan betapa
pesatnya dan besarnya kemajuan perkembangan Hukum bangsa Romawi. Banyak
kodifikasi dan aturan yang belaku, yaitu Code Justinian pada tahun 528 M, Code
Napoleon 1804 M, The Twelve Tables atau Kitab Undang-undang 12 pasal. Dalam
hal prestasinya di bidang hukum, bangsa Romawi adalah bangsa terbesar yang tidak
bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa lain mana pun di dunia.
B. Saran
Mempelajari sejarah hukum memiliki manfaat antara lain yaitu untuk memperluas
wawasan kita tentang hukum, proses terjadinya dan perkembangan khususnya
hukum suatu bangsa tertentu. Untuk itu penting untuk lebih mendalami secara lebih
jauh tentang sejarah hukum, terutama sejarah hukum Romawi Kuno yang terkenal
dengan prestasinya di bidang hukum. Di harapkan akan banyak tulisan-tulisan yang
mengulas tentang Perkembangan Hukum Romawi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar,
Bandung: PT Refika Adita Utama, 2011).
E. Bodenheimer, Jurisprudence: The Philosophy and Method of Law, 1974
Gaudemet, J., La formation de Droit seculier et du Droit de I’ Eglise aux IVe et Ve
Siecles, Cetakan ke-2, paris 1979, Roman Law in Mediaeval Europe,
Oxford, 1929
Kempin , Frederick G. Common Law History. Vol 2, no. 2 April 1976.West Bengel,
India: Sri Mohan Mishra at Intertrade Publication Private Ltd, 1976
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013)
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016)
Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya
Oleh :
RIANA OLYVIA HASIBUAN
20202108078
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki masa lalu. Masa lalu yang pantas dikenang, baik yang
menyenangkan maupun yang membuat manusia sedih dalam hidupnya. Setiap detik, menit,
jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya yang telah dilewati oleh manusia merupakan bagian
dari masa lalu. Masa lalu sering disebut dengan istilah Sejarah. Dilihat dari asal usul kata,
sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun yang artinya pohon, keturunan, asal usul
atau silsilah. Dalam bahasa Inggris (history), Bahasa Yunani (istoria), Bahasa Jerman
(geschicht).[i]
Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau
yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja yang
memerintah). Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian yang sudah
lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti mempelajari dan
menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang perorang, keluarga,
dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi: pengetahuan akan kejadian-kejadian
yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis.
Sejarah Yunani berlangsung kurang lebih seribu tahun dan berakhir dengan munculnya
agama Kristen. Oleh sebagian besar sejarawan, peradaban ini dianggap merupakan peletak
dasar bagi Peradaban Barat. Budaya Yunani merupakan pengaruh kuat bagi Kekaisaran
Romawi, yang selanjutnya meneruskan versinya ke bagian lain Eropa.
Yunani dan Roma sama-sama memiliki peninggalan berupa sistem hukum yang sangat
berharga bagi peradaban dunia.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbandingan perkembangan sejarah hukum dalam peradaban Yunani
dengan peradaban Romawi secara umum ?
II. PEMBAHASAN
Perbandingan perkembangan sejarah hukum Yunani dan Romawi dapat di Kaji dalam
Aspek-Aspek Sebagai Berikut :
1. Pemikiran Hukum
Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum masih
primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah (nomos) baik semesta
alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak adalah budak, dan sebagainya.
Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4 SM ada beberapa filosof yang mengartikan
hukum secara berbeda. Plato (427-347 SM) yang menulis buku Politeia dan Nomoi
memberikan tawaran pengertian hukum, dan hakikat hukumnya.[ii]( Abdul Ghofur
Anshori, 2006 : 11 )
Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut Plato
mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat kelompok-
kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok berbuat
dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan dalam buku Nomoi, Plato
menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum.
Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles, manusia
merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut dalam kegiatan
politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi hukum menjadi 2 (dua).
Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang mencerminkan aturan alam, Yang kedua
adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles
menjelaskan dalam bukunya tersebut bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa
keadilan, yaitu rasa yang baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang
menjelaskan tentang hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting
diberikan yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".[iii]
( Soehino, 2001 : 23 )
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh hukum asing
saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau pun hukum Semits
terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang tertulis pada masa Romawi,
orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan undang-undang tersebut karena mereka
terus-menerus mengembangkan hukumnya untuk menemukan hukum-hukum yang baru.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir metafisika,
seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat spektakuler dengan
perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak terlalu besar karena Romawi
lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis. Walaupun demikian pemikiran-pemikiran
hukum yang cukup berharga lahir pada zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum
Kodrat. Ia mengajakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio
yang murni dan oleh karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum
alam.
2. Hukum dan Pemerintahan
Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang politik dan
kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan sampai saat ini.
Mereka sudah mengenal dan mempraktikkan sistem demokrasi yang baik pada saat orang-
orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem kekuasaan yang feodal, aristokratis, dan
mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama kali di dunia ini yang mengembangkan sistem hukum
dan kenegaraan yang bersifat demokratis. Bahkan, jika dunia ini tidak pernah memiliki
orang-orang Yunani, mungkin peradaban dunia tidak semaju saat ini. Banyak bukti
menunjukkan bahwa di wilayah-wilayah dunia yang kurang mendapat pengaruh dari hukum
Yunani Romawi, peradabannya masih terbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai oleh
ajaran Buddha yang kurang mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata demokrasi
merupakan barang mewah, seperti yang terjadi di Tibet,dan Miyanmar.[iv] ( Munir Fuady,
2009 : 164 )
Namun, menurut sejarah hukum tidak begitu dikembangkan di zaman Yunani, karena
hampir tidak terdengar nama ahli hukum besar atau kitab undang-undang yang komprehensif.
Sejarah hanya meninggalkan beberapa undang-undang saja di Yunani, seperti Undang-
Undang Draco (621 SM) Undang-Undang Solon (594 SM) yang disusun di bawah pengaruh
Mesir, Undang-Undang Dura dan Undang-Undang Gortyn (450-460 SM) yang sebagian
isinya dapat terbaca sampai sekarang. Peninggalan Yunani tersebut berbeda jauh dengar
peninggalan perundang-undangan dan dokumentasi hukum dari Mesir atau Babilonia, yang
sangat banyak jumlahnya dan dapat terbaca sampai sekarang. Di samping dalam bentuk
undang-undang, hukum Yunani juga dapat terbaca dalam orasi-orasi para advokat di
pengadilan dalam membela kliennya. karena sistem peradilan Yunani memakai sistem juri,
sehingga kelihaian berorasi dari para advokat di depan pengadilan sangat diperlukan dalam
rangka meyakinkan para juri yang bukan ahli hukum dan umumnya tidak pernah belajar
hukum tersebut. Di samping sistem juri, sistem pemeriksaan saksi melalui proses eksaminasi
silang (cross examination) sudah dikenal di zaman Yunani, seperti yang pernah
dipraktikkan dalam pengadilan Socrates.[v] ( Munir Fuady, 2009 : 165)
Secara politik, orang-orang Yunani terpecah-pecah ke dalam berbagai polis-polis,
sepeti Ithaca, Attica, Sparta, Athena, dan lain-lain. Semula, sistem hukum di Yunani
berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Aria, dengan berbagai variasi di sana sini. Bahkan,
seperti terjadi di Sparta, individu dituntut untuk mengabdi secara penuh kepada masyarakat
dan negara yang umumnya dikuasai oleh kaum tentara, sehingga hak-hak individu hampir-
hampir tidak dikenal. Sebaliknya di Athena, meskipun individu harus mengalah kepada
masyarakat dan negara, tetapi hak-hak dari warga negara tetap diakui dan kepentingan
perdagangan tetap dijaga.
Dalam sistem pemerintahan di Zaman Romawi mulai dikenal dengan teori
siklus Polybius. Siklus ini menjelaskan bahwa, sistem pemerintahan akan terus bergulir
bagaikan siklus hidup yang berputar. Pemerintahan aristokrasi pada mulanya dipandang baik,
kemudian munculah pertentangan-pertentangan dan akhirnya pemerintah dan masyarakat
tidak menyukai sistem aristokrasi yang dipimpin oleh aristokrat dan berubah menjadi sistem
oligaki, begitulah seterusnya.[vi] ( Soehino, 2001: 39 )
3. Sistem Peradilan
Pengadilan di zaman Yunani dilakukan di tempat yang berbeda-beda menurut
perbedaan kasus dan juga perbedaan zaman. Misalnya di Athena, pengadilan dilangsungkan
di pasar-pasar, di Angora, di lembah Areopagus (khusus untuk kasus-kasus pembunuhan), di
lembah Pnyx, dan lain-lain.
Lembah Areopagus dipilih sebagai tempat pengadilan untuk kasus-kasus pembunuhan,
khususnya di periode-periode awal zaman Yunani. Hal itu disebabkan lembah ini terkenal
dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh Orestes. Menurut legenda, Orestes
membunuh ibunya yang melakukan perzinaan sehingga Orestes dibawa ke pengadilan. Para
penuntut umum menuntut Orestes bahwa tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas
dendam. Bahkan, dewi Athena konon menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara
dengan voting, suaranya adalah untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri
memang membebaskan Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen memorial
keadilan dan menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan ini tidak korup dan
merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan keadilan di
Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh perwakilan dari
masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep pengadilan dengan sistem juri
yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara yang punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masingmasing mewakili
sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan. Ada 10 pintu masuk ke
pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua puluh kamar, masing-masing dua
untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing 10 untuk setiap suku, di mana disimpan alat
pemberian suara dari para juri yang dipergunakan untuk memungut suara. Setiap orang yang
di atas umur 30 tahun dapat menjadi juri, asalkan mereka bukanlah debitur terhadap negara
dan mereka belum kehilangan hak-hak nya. Jika ada orang yang tidak cakap bertindak
sebagai juri, maka informasi diberikan kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika terbukti
tidak cakap, maka dia akan dikenakan hukuman badan atau hukuman denda.
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan, kasus-kasus
publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari dua pengadilan dan
terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang juri yang merupakan
kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak suara
yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan tulis,
selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih banyak, dianggap
yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka yang dimenangkan adalah
tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri memutuskan tentang jumlah suatu ganti rugi.
Ketika semua telah lengkap, juri menerima bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap sebagai
berikut : ( Munir Fuady, 2009 : 182-183 )
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap sidang
ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk memberikan jawaban
atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya, penggugat sendiri yang membawa
surat panggilan tersebut ke alamat tergugat. Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat.
Bahkan, jika tergugat merupakan orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan
meninggalkan kota itu untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap
tergugat dan membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.
b. Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan magistrat
adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang sembrono atau yang
dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat, penggugat mengajukan gugatan
dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat tidak hadir, maka akan langsung diputus
untuk menerima gugatan, kecuali di kemudian hari dapat menunjukkan alasan
ketidakhadirannya yang dapat diterima. Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini
dianggap ada dasar bagi suatu gugatan, maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu
tahap pemeriksaan pendahuluan.
c. Tahap pemeriksaan pendahuluan, pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini, terjadi tanya
jawab antara penggugat dan tergugat. Perdebatan yang sebenarnya, fakta-fakta, serta dalil-
dalil yang berkenaan dengan sengketa yang ada, diuraikan dan terlihat dengan jelas dalam
tahap ini. Penggugat mengajukan gugatan dan dalil-dalilnya, kemudian tergugat mengajukan
jawaban dengan dalil-dalilnya. Pembuktian tertulis dan pemeriksaan saksi-saksi juga terjadi
dalam tahap ini. Jadi, tahap pemeriksaan pedahuluan merupakan tahap yang cukup esensial
dalam suatu proses pemeriksaan perkara di zaman Yunani. Setelah semua bukti diperiksa dan
alat bukti tersebut disegel, magistrat dapat segera menyelesaikan sengketa yang ada atau
biasanya mengirim sengketa tersebut ke pengadilan juri. Di Athena, para juri (yang terdiri
atas orang-orang biasa) yang mendengar perkara tersebut bisa mencapai ratusan, bahkan
ribuan orang. Sebelum memberikan putusannya, juri akan mendengar pidato kedua belah
pihak. Pidato tersebut biasanya sangat memikat.
d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung suara. Suara
terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut berkenaan dengan
putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang menang dan siapa yang kalah,
juga putusan tentang besarnya ganti rugi. Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi),
menurut sistem hukum Yunani, diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan dan hanya
menyangkut dengan kepemilikan; tidak boleh menyentuh personal. Jadi, menurut sistem
hukum Yunani, pihak yang menang tidak boleh menangkap atau menjadikan budak terhadap
pihak yang kalah. Ketentuan ini membedakan hukum Yunani dengan sistem hukum Romawi
di masa-masa awal perkembangannya.
Salah satu ciri peradilan Romawi pada saat itu khususnya terkait hukum acara perdata
adalah minimnya keterlibatan negara dalam peradilan, karena masalah perdata tidak
berurusan dengan kepentingan rakyat banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang
bersangkutan. Hal ini tidak merangsang, bahkan sangat menghambat, upaya pencari keadilan
dalam membawa kasus-kasusnya ke pengadilan.[viii] ( Munir Fuady, 2009 : 209 )
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur tertentu yang
cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur pengadilan dibagi ke dalam
dua tahap, yaitu sebagai berikut :[ix] ( Munir Fuady, 2009 : 211 )
a. Tahap hearing preliminary.
b. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim memeriksa
perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan persoalan di antara para
pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena itu, kedua belah pihak wajib hadir
dalam hearing preliminary tersebut. Dalam proses hearing preliminary ini, kedua belah pihak
saling bertukar argumen dalam hubungan dengan kasus yang bersangkutan. Prosedurnya
sangat rigid sehingga salah sedikit raja dapat menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya.
Mirip seperti sistem writ dalam sistem hukum Anglo Saxon.
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan, yaitu
sebagai berikut :
a. Tindakan Sacramentum.
b. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio.
c. Tindakan Concictio.
Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai suatu kasus
yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk tindakan lain. Asal muasal
tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di antara para pihak yang bersengketa,
tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian kasusnya diputuskan dengan ordeal atau pun
bantuan supranatural. Dalam perkembangan selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi
tindakan sumpah yang disertai dengan pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang
untuk sementara dimenangkan oleh Magistrate.
Prosedur sacramentum berbeda antara gugatan berkenaan dengan benda (in rem) dan
prosedur jika gugatan berkenaan dengan pribadi (in personam). Prosedur sacramentum juga
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan persoalannya dan waktu
yang tersedia cukup untuk itu, karena proses pengadilan baru boleh dilangsungkan paling
cepat dalam waktu 30 hari setelah proses sacramentum.
Sedangkan, tindakan iudicis arbitrive postulatio, prosedur hearing preliminary dalam
bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku.
Prosedur iudicis arbitrive postulatio pada prinsipnya serupa dengan prosedur sacramentum,
tetapi lebih cepat dan sederhana. Karena, berbeda dengan prosedur sacramentum, untuk
prosedur iudicis arbitrive postulatio ini tidak memerlukan waktu tunggu sampai 30 hari untuk
bisa melanjutkan proses pengadilan, tidak ada sumpah, dan tidak ada pula kewajiban
memberikan uang jaminan. Misalnya, tindakan iudicis arbitrive postulatio ini dimungkinkan
untuk gugatan berdasarkan stipulatio (kontrak formal), pembagian warisan, dan pembagian
harta gono-gini.
4. Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini untuk
menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang satu mengancam
atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam hukum pidana misalnya
pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu tindak pidana pembunuhan.
Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana.[x] ( Munir Fuady, 2009 : 174 )
Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu gugatan hukum
untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi kontrak dapat mengakibatkan
timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada gilirannya dapat menimbulkan
pelanggaran ketertiban umum atau tindakan penganiayaan dan pembunuhan, maka gugatan
dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, dalam hal ini. hukum-hukum klasik tetap hanya
berkepentingan dengan penghinaan, penganiayaan, dan pembunuhan saja. Sedangkan,
masalah kontrak yang tidak bersentuhan dengan salah satu dari tiga unsur tersebut tidak
mendapatkan tempat di pengadilan, hanya diatur dan diberikan sanksi oleh moral dan
agama.[xii] ( Munir Fuady, 2009 : 202 )
5. Hukum Perdata
Di bidang hukum perdata, sebenarnya hukum Yunani juga berkembang relatif baik. Di
samping beberapa kontrak yang telah disebutkan, banyak kontrak lain yang berhasil
ditemukan oleh sejarah hukum peninggalan zaman Yunani. Di samping itu, prinsip hukum
perkawinan dalam hukum Yunani bersifat monogami. Namun demikian, seperti dalam
kebanyakan hukum kuno, kehadiran wanita teman kumpul yang kedua, meskipun bukan
isteri, dapat ditoleransi, terutama oleh hukum kebiasaan di Yunani. Di samping itu, apa yang
disebut dengan perjanjian kawin juga dikenal dalam sistem hukum Yunani, tetapi dalam
suatu perkawinan, seperti dalam sistem hukum Romawi, isteri dianggap "dibeli" oleh
suaminya, sehingga kedudukan isteri sangat lemah dan sangat jauh di bawah kedudukan
suaminya. Hanya di Sparta yang agak sedikit berbeda, karena di sini kedudukan isteri dalam
suatu ikatan perkawinan lebih baik. Sebab, di Sparta, masalah perkawinan oleh hukum tidak
dianggap masalah personal, tetapi merupakan masalah negara dan isteri menganggap dirinya
sebagai agen dari negara. Semua orang diwajibkan kawin oleh negara dan seorang bujang tua
yang tidak kawin-kawin malahan dihukum oleh negara dan pembayaran-pembayaran tertentu
(seperti pembayaran sebagai penghargaan) tidak boleh diberikan kepada orang lajang.
Demikian hukum di Sparta.[xiii] ( Munir Fuady, 2009 : 187 )
Di Romawi kodifikasi hukum Romawi tertua yang pernah ada saat ini adalah dokumen
"Hukum Dua Belas Pasal" (The Twelve Tables) yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan
ditulis di lempengan tembaga. Hukum Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The
Law of The King)" yang merupakan gambaran bagaimana kaidah–kaidah hukum dan
kebiasaan yang saat itu berlaku di Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun
lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi
sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental, termasuk Indonesia.
Hukum Dua Belas Pasal disusun oleh suatu komisi yang terdiri atas 10 orang
(Decemviri) yang diangkat pada tahun 455 SM. Banyak materi-materi yang di atur mengenai
keperdataan seperti utang piutang, waris, perkawinan dan lainnya. Hukum keperdataan
Romawi terbilang cukup maju, pada saat itu pun telah muncul apa yang disebut sebagai
kontrak, bahkan dalam perkawinan.
Berdasarkan keseluruhan aspek tersebut dapat diketahui perkembangan hukum pada
zaman Romawi memang cukup dominan dibandingkan zaman Yunani. Perkembangan hukum
Romawi banyak ditandai dengan adanya kodifikasi-kodifikasi hukum dan terus diadopsi oleh
negara-negara sekarang seperti Jerman, Prancis, Belanda hingga menjadi suatu sistem hukum
yaitu Eropa Kontinental.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan perkembangan sejarah hukum Yunani dan Romawi dapat
disimpulkan bahwa, sejak awal peradaban hukum Yunani dan Romawi menunjukan ciri atau
sistem hukum di masa depan. Yunani dalam hal ini lebih mengutamakan kebiasaan-kebiasaan
dengan membuat sesedikit mungikn teks hukum tertulis atau kodifikasi dan Hukum Romawi
membawa sifat hukum yang legal, tertulis, Rigit dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Oleh :
YOSI KOROMPIS
20202108074
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimanakah Sejarah Perkembangan Sejarah Hukum Yunani?
1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2 John Gilissen, Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Adita Utama,
2009)
BAB II
PEMBAHASAN
4 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 11
5 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 23
6 George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San
Sistem Peradilan
9 Op.Cit Soehino,Hlm 39
10 Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno, hlm 150-154
disebabkan lembah ini terkenal dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh
Orestes. Menurut legenda, Orestes membunuh ibunya yang melakukan perzinaan
sehingga Orestes dibawa ke pengadilan. Para penuntut umum menuntut Orestes
bahwa tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas dendam. Bahkan, dewi Athena
konon menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara dengan voting, suaranya
adalah untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri memang
membebaskan Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen
memorial keadilan dan menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan
ini tidak korup dan merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan
keadilan di Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh
perwakilan dari masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep
pengadilan dengan sistem juri yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara
yang punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masing-
masing mewakili sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan.
Ada 10 pintu masuk ke pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua
puluh kamar, masing-masing dua untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing
10 untuk setiap suku, di mana disimpan alat pemberian suara dari para juri yang
dipergunakan untuk memungut suara. Setiap orang yang di atas umur 30 tahun
dapat menjadi juri, asalkan mereka bukanlah debitur terhadap negara dan mereka
belum kehilangan hak-hak nya. Jika ada orang yang tidak cakap bertindak sebagai
juri, maka informasi diberikan kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika
terbukti tidak cakap, maka dia akan dikenakan hukuman badan atau hukuman
denda.11
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan,
kasus-kasus publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari
dua pengadilan dan terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang
juri yang merupakan kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak
suara yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan
tulis, selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih
banyak, dianggap yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka
yang dimenangkan adalah tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri
memutuskan tentang jumlah suatu ganti rugi. Ketika semua telah lengkap, juri
menerima bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap
sebagai berikut :
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap
sidang ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk
memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya,
penggugat sendiri yang membawa surat panggilan tersebut ke alamat tergugat.
Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat. Bahkan, jika tergugat merupakan
orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan meninggalkan kota itu
a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).
19 Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar, Bandung: PT
Refika Adita Utama, 2011). Hlm 1550
materi. Padahal mereka akan menderita karena kelakuan mereka merusak
tersebut.”20
Undang-undang Solon di Yunani Kuno banyak melakukan perubahan-
perubahan terhdap sistem hukum yang berlaku di Yunani saat itu. Bahkan, Sebagian
dari perubahan tersebut bersifat radikal. Meskipun begitu, pendampingan dengan
undang-undang Solon, masih berlaku juga hukum kebiasaan Yunani yang tidak
tertulis. Perubahan- perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang Solon, antara
lain sebagai berikut:
1. Undang-undang Solon banyak berpihak kepada masyarakat kelas bawah
2. Undang-undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris
dan hukum keluarga
3. Undang-undang Solon tidak bersifat sacral/ketuhanan, tetapi murni hasil
perenungan akal manusia
4. Undang-undang Solon merupakan hasil konsesus dari masyarakat luas.
Sehingga undang-undang ini merupakan undang-undang yang paling dapat
diterima oleh masyarakat Yunani. 21
Tenntang ketentuan Undang-Undang Solon yang berpihak kepada masyarakat kelas
kebawah, misalnya seperti terlihat dalam ketentuan berikut:
1. Dihapusnya ketentuan mengenai eksekusi debitur oleh kreditur, di mana
debitur tersebut berubah status menjadi budak belian sehingga banyak yang
diperjualbelikan, bahkan sampai ke luar negerei. Undang-undang Solon
dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dapat dijadikan
budak hanya karena tidak dapat membayar utang-utangnya.
2. Diubahnya sistem mata uang sehingga utang-utang menjadi terdeduksi
sampai 25%.
3. Utang dengan bunga tinggi (riba) dilarang oleh Undang-undang.
4. Meskipun jabatan publik tertentu hanya dapat dipegang oleh golongan
masyarakat tinggi, tetapi umumnhya terbuka bagi semua golongan
masyarakat. Misalnya golongan buruh (thetes) memiliki hak-hak politik
meskipun mereka tidak dapat memegang jabatan eksekutif di pemerintahan.
5. Dilakukan pembagian golongan manusia secara berbeda dengan pembagian
sebelumnya, sehingga menentukan pula besarnya pajak yang harus dibayar.
Undang- undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris dan
hukum kelurga. Misalnya kekuasaan seorang ayah terhdapa anak yang ada dalam
hukum sebelumnya sangat besar, dikurangi oleh Undang-undang Solon. Bahkan,
dalam Undang-undang Solon, antara ayah dan anak dianggap menduduki posisi
sebagai pihak yang independen.
Disamping itu, Undang-undang Solon merombak hukum waris sebelumnya
yang membagi harta warisan berlandaskan kepada penampilannya yang baik pada
acara ritual penguburan. Undang-undang Solon juga mengatur bahwa seorang anak
laki-laki yang sah tidak dapat dikesampingkan untuk mendapatkan warisan dari
orang tuanya. Pelaksanaan wasiat tidak boleh bertentangan dengan hukum tentang
perlindungan dan hak yang sama antara anak laki-laki dari pewaris. Disamping itu,
Namun saat itu sebenarnya lebih banyak lagi hukum tertulis yang berlaku
yang berupa hukum kebiasaan setempat. Bahlan meskipun perundang-undangan
Solon telah banyak mengatur tentang berbagai hal tentang hukum, setelah itu tidak
ada lagi usaha-usaha dalam sejarah Yunani untuk merumuskan kaidah hukum yang
sistematis atau membuat sebuah kodifikasi.
Inilah yang membedakan dengan sejarah hukum Romawi. Bagi orang-orang
Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan merupakan suatu
masalah yang bergengsi. Hukum direduksi hanya pada masalah procedural semata.
B. Saran
Mempelajari sejarah hukum tentunya memberikan pengetahuan tentang
Hukum yang berlaku dan berkembang di masa lalu. Jika melihat sejarah hukum
Yunani Tentunya begitu banyak aturan hukum yang di berlakukan pada masaa
Yunani Kuno .untuk itu diharapkan ada banyak buku-buku mamupun penulisan
jurnal yang membahas secara mendalam mengenai sejarah hukum Yunani.
Daftar Pustaka
Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah metodologi penelitian hukum
Dosen : Dr. Devy .K.G. Sondakh, S.H, M.H.
Oleh :
FAJAR TRI KUSUMA AJI
20202108033
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. VIII, Citra Aditya Bahkti, Bandung, 2014, hlm. 246
2
Abdul Hadi, Mengenal Sistem Hukum di Berbagai Belahan Dunia, https://tirto.id/mengenal-
sistem-hukum-di-berbagai-belahan-dunia-ezyL (diakses pada 11 Desember 2020, pukul 19.42 wita)
3
Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Indhillco, Jakarta, 1997.hlm.73
4
Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 32
5
Andrew Borkowski, Textbook on Roman Law, Blackstone Press Limited, London, Inggris, 1997,
hlm. 28
2
keorisinalitasnya yang lahir dari peradaban Romawi sebagaimana yang dinyatakan
Fritz Schulz bahwa Peninggalan hukum Romawi di tahap-tahap awal tidak
diketahui, bahkan tidak dapat dipastikan apakah aturan Dua Belas Pasal merupakan
hukum Romawi atau pun hukum Yunani, meskipun pengaruh dari hukum Yunani
terhadapnya tidak dapat disangkal. Di era setelah peraturan Dua Belas Pasal, dapat
diketahui adanya hukum Romawi dan ilmu hukum yang mulai berkembang di abad
terakhir dari periode Republik, di mana matang di masa Hadrian, tetapi sebenarnya
masih sangat mentah.6
Oleh sebab itu, Para pakar hukum menyebut bahwa sistem hukum Eropa
Kontinental atau Civil Law tidak sepenuhnya merupakan adopsi dari hukum
Romawi. Alan Watson lebih cenderung sepakat dengan asumsi bahwa civil law
merupakan karya besar Justinian I, melalui Kode Justinian, Corpus Juris Civilis,7
yang diterbitkan pada 529 M saat ia memimpin Byzantium. Dimana “Civil Law”
ini terkodifikasikan dalam Corpus Juris Civilis yang dibuat pada jaman Kaisar
Justianus dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia.8
Atas dasar uraian tersebut, maka menarik untuk diangkat sebagai suatu
penulisan agar mengetahui asal mula dari sistem hukum eropa kontinental yang
lahir di peradaban Romawi melalui Corpus Juris Civilis. Oleh sebab itu, maka
penulis berkeinginan untuk melakukan penulisan berupa makalah yang berjudul :
6
Fritz Schulz, History of Roman Legal Science, At. The Claderon Press, Oxford, Inggris, 1946, hlm.5
7
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Alvaber, 2010, hlm.117.
8
Wiliam Tetlet, Common Law versus Civil Law: Codified and Uncodified, Law Dapartement of
Columbia College, 1999, hlm. 60.
9
Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs, Vol.11, No.1,
Januari-Juni 2015. hlm.36
3
“SEJARAH CORPUS JURIS CIVILIS SEBAGAI DASAR
PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka penulis
merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu :
“Bagaimanakah sejarah Corpus Juris Civilis serta Perkembangan Sistem
Hukum Eropa Kontinental?”
4
BAB II
PEMBAHASAN
10
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2017, hlm. 230.
11
Nisrina Mutiara Dewi, Hasanudin dan Hidayatulloh, Laporan Hasil Penelitian Terapan Kajian
Strategis Nasional : Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Dan Hukum Islam
Tentang Keadaan Memaksa Di Lembaga Keuangan Syariah (Studi Di Indonesia, Malaysia, Dan
Brunei Darussalam), Pusat Penelitian Danpenerbitan (PUSLITPEN) LP2M UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2020, hlm.28
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011,
hlm.224
5
jauh-jauh hari sebelum menjadi raja, Justinian sudah merencanakan untuk membuat
kodifikasi tersebut. Kemudian, di samping proyek pembuatan kodifikasi
merupakan salah satu proyek besar yang berhasil dilakukan oleh Raja Justinian,
tetapi Code Justinian inilah yang sebenarnya mengantarkan sistem hukum Romawi
dikenal dan diikuti oleh negara di hampir seluruh dunia.
Dalam proyek pembuatan Code Justinian ini, orang yang paling banyak
berjasa dan banyak terlibat adalah tribonian dan orang yang memegang banyak
jabatan penting, seperti consul, quaestor, serta orang yang banyak mengetahui hasil
kerja ahli hukum klasik.
6
Setelah kematian Justinian, mulai dilakukan penafsiran yang luas,
diringkaskan, bahkan diamandemen sehingga lebih gampang dimengerti oleh
banyak orang, Penyingkatan yang pertama secara resmi, dilakukan di tahun 740 M
yang disebut Ecloga (Kalimat-kalimat Pilihan). Ecloga pada prinsipnya merupakan
ringkasan bagian-bagian penting dari kodifikasi dengan disana sini dilakukan
amandemen tertentu. Dengan kehadiran Ecloga ini, diharapkan agar yang dapat
membaca dan memahami Code Justinian bukan hanya segelintir kecil orang
tertentu saja, melainkan dapat dibaca oleh banyak orang.
1. The Institute.
The Institute hanya berisi teks yang merupakan pengantar saja.
2. The Digest.
The Digest merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap dan
sangat memengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, khususnya dalam bidang-bidang seperti status personal, perbuatan
13
Munir Fuady, Op.cit., halaman 232-233
7
melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah ganti rugi, dan lain-
lain.
3. The Code.
The Code merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang disusun
secara sistematis. Dimana bersama The Digest inilah yang merupakan dasar dari
hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum Eropa Kontinental sampai
saat ini.
4. The Novels.
Sedangkan The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat setelah
selesainya pembuatan The Digest dan The Code.
Hukum Romawi sebagaimana terdapat dalam Corpus Juris Civilis terus saja
berkembang, kecuali beberapa bangsa Arab, Slavia dan Lombardia. Bahkan setelah
jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia barat terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang
saling terpecah-pecah, hukum Romawi tetap diberlakukan oleh para penakluk dari
bangsa Germania, disamping berlakunya hukum kanonik (gerejawi).14
14
Zulkarnain Ibrahim, Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia, ALSA Indonesia Law Journal.
Academic Compilation 2016 Alsa Indonesia, Edisi 17 Maret 2016. No. 4. hlm. 59
8
hukum Gereja (Cannon Law). Di sini dialami juga suatu evolusi. Para glossator
mencoba untuk memberi arti kepada Codex Justinianus, yaitu kumpulan aturan
yang dihimpun pada masa kaisar Justinianus. Kemudian datang giliran para post
glossator pada abad 14 (empat belas). Mereka ini melakukan suatu gerakan
penjernihan terhadap hukum Romawi dan banyak membuang hakhal yang mereka
anggap tidak pada tempatnya lagi. Dengan demikian mereka telah menempatkan
hukum Romawi ke dalam konteks perkembangan masyarakat pada masa itu. Dilihat
dari hukum Romawi itu sendiri, maka gerakan itu telah merusak hukum tersebut.
Oleh para post-glossator hukum Romawi dipakai untuk menghadapi
perkembangan masyarakat yang baru sama sekali. Cara mereka menyajikan
karyanya adalah sistematis dan ini sangat berbeda dengan hukum aslinya yang
kasuistik.15
Kemudian ketika negara-negara di Benua Eropa mulai mempunyai
pemerintahan sendiri, hukum Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum
nasional masing-masing negara. Dimana Napoleon Bonaparte di Prancis dengan
membuat Code Napoleon-nya di tahun 1804 dan Jerman dengan Civil Code-nya di
tahun 1896.16 Selanjutnya disebabkan adanya kolonialisme oleh negara-negara di
Benua Eropa, maka menyebarlah sistem hukum ini dibeberapa negara. Sehingga
sampai dengan saat ini sistem hukum ini diberlakukan dibanyak negara Eropa dan
Jajahannya antara lain yaitu Perancis, Jerma, Italia, Swiss, Austria, Negara-negara
Amerika Latin, Turki, beberapa Negara Arab, Afrika Utara, dan Madagaskar. 17
Selain itu juga Angola, Argentina, Arménia, Austria, Belgium, Bosnia and
Herzegovina, Belanda, Indonesia, dan masih banyak lagi.
15
Satjipto Rahardjo, Op.Cit., halaman 246
16
Mupied Madridista, Sistem Hukum Civil Law dan Common Law,
http://mupiedmadridista.blogspot.com/2011/11/system hukum-civil-law-dan-commonlaw.html
(diakses pada tanggal 01 November 2020 pada pukul 00.47 wita)
17
Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, Cavendish Publishing Limited, London-
Sydney, 1999, hlm. 37.
18
Munir Fuady, loc.cit.
9
dalam beberapa Negara penganut sistem hukum ini, putusan-putusan kadang juga
dijadikan sebagai rujukan sumber hukum meskipun hanya sebagai pelengkap dari
apa yang telah ada dalam undang-undang. Perubahan dan perkembangan hukum
dalam sistem hukum Eropa Kontinental pada prinsipnya sangat bergantung pada
parlemen. Hal ini yang kemudian menjadikan hukum yang ada pada Negara-negara
penganut sistem hukum Eropa Kontinental tidak lepas dari unsur politis yang kuat
meskipun juga menjadi lebih teoritis, koheren, dan terstruktur.19
Dalam sistem Civil law, prinsip utama yang menjadi dasar sistem ini adalah
hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang
berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematika di dalam kodifikasi atau
kompilasi tertentu.20 Dimana Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem
Hukum Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan
tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut
mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian
hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum
manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis.
Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak
dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum.
Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam
batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya
mengikat para pihak yang berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata).21
Karakteristik kedua pada sistem Civil Law tidak dapat dilepaskan dari
ajaran pemisahan kekusaan yang mengilhami terjadinya Revolusi Perancis.
Menurut Paul Scolten, bahwa maksud sesungguhnya pengorganisasian organ-organ
negara Belanda adalah adanya pemisahan antara kekuasaan pembuatan undang-
undang, kekuasaan peradilan, dan sistem kasasi adalah tidak dimungkinkannya
19
Ibid, halaman 34
20
Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum. PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 91.
21
Dedi Soemardi, loc.it.
10
kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya. Penganut sistem Civil
Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa
perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu. Yang menjadi pegangan hakim
adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang.22
Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law adalah apa yang oleh
Lawrence Friedman disebut sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam
peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan yang besar dalam
mengarahkan dan memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan
cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam
sistem hukum Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari
peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme
dan kejujuran hakim.23
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil
Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan
yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-
lembaga yudisial maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut.
Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum
Civil Law adalah peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil
law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi
tertulis.24
22
Jeremias Lemek, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum Di
Indonesia,
Galang Press, Jakarta, 2007, hlm. 45.
23
Ibid, halaman 45.
24
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1981,
hlm. 27-31
11
mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan
hidup demi hidupnya.25
Dengan perkembangan dunia modern saat ini, hukum sipil (civil lay
system), yang sejak awal menjadi sumber hukum utama di Eropa dna negara-negara
maju kemudian mengalami persinggungan yang beragam. Ada yang disingkirkan,
diresepsi, diadopsi atau diambil sebagian untuk kemudian disesuaikan dengan
kondisi negara masing-masing.26 Bahkan beberapa negara yang awalnya banyak
dipengaruhi civil law system, justru mulai membuka diri untuk mengkombinasi
dengan dengan berbagai sistem hukum yang ada, semisal mengambil unsur-unsur
common law dan islamic law.
25
Ibid.
26
Op.cit., halaman 117-121.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corpus Juris Civilis atau dikenal juga Code Justinian menjadi mahakarya
di bidang hukum dari Kaisar Justinian yang memerintah Kerajaan Bizantium dari
tahun 527 M sampai tahun 565 M. Dimana Corpus Juris Civilis itu sendiri terdiri
atas empat bagian yaitu The Institute yang hanya berisi teks dan merupakan
pengantar saja, The Digest yang merupakan kumpulan aturan hukum yang paling
lengkap, The Code merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang
disusun secara sistematis serta The Novels merupakan aturan legislasi yang dibuat
setelah selesainya pembuatan The Digest dan The Code.
The Digest bersama The Code inilah yang merupakan dasar dari hukum
Romawi dan sangat memengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem
hukum Eropa Kontinental sampai saat ini khususnya dalam bidang-bidang seperti
status personal, perbuatan melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak,
masalah ganti rugi, dan lain-lain. Sehingga Corpus Juris Civilis atau Code Justinian
dianggap juga sebagai awal mula sistem hukum Civil Law lahir.
13
B. SARAN
Sistem Hukum Eropa Kontinental atau Civil Law atau Romawi-Jerman
sebagaimana telah diuraikan telah mempengaruhi seluruh sistem hukum yang ada
di negara-negara seluruh dunia. Dimana dalam perkembangannya, sistem
kodifikasi hukum dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi pembentukan
sistem hukum nasional yang seyogyanya dirubah sedemikian rupa sehingga selaras
dengan kultur sosial masyarakat Indonesia untuk mengumpulkan peraturan yang
saling bertentangan dan tumpang tindih.
14
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anwar, Yesmil & Adang. 2008. Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone
Press Limited.
De Cruz, Peter, 1999, Comparative Law in a Changing World, London-Sydney:
Cavendish Publishing Limited,
Fuady, Munir, 2007, Perbandingan Ilmu Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama.
___________, 2017, Sejarah Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia.
Lemek, Jeremias, 2007, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap
Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Galang Press.
Lukito, Ratno, 2010, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Alvaber.
Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Mutiara Dewi, Nisrina, Hasanudin dan Hidayatulloh, 2020, Laporan Hasil
Penelitian Terapan Kajian Strategis Nasional : Perbandingan
Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Dan Hukum Islam Tentang
Keadaan Memaksa Di Lembaga Keuangan Syariah (Studi Di
Indonesia, Malaysia, Dan Brunei Darussalam), Jakarta : Pusat
Penelitian Danpenerbitan (PUSLITPEN) LP2M UIN Syarif
Hidayatullah.
Rahardjo, Satjipto, 2014, Ilmu Hukum, Cet. VIII, Bandung : Citra Aditya Bahkti.
Soemardi, Dedi, 1997, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Indhillco.
Schulz, Fritz, 1946, History of Roman Legal Science, Oxford, Inggris : At. The
Claderon Press.
Tetlet, Wiliam, 1999, Common Law versus Civil Law: Codified and Uncodified,
New York, USA : Law Dapartement of Columbia College,
Wignjodipoero, Soerojo, 1981, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta :
Gunung Agung.
15
JURNAL
Nurhardianto, Fajar. 2015. Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal
TAPIs, Volume 11, No.1, hlm.36
Ibrahim, Zulkarnain. 2016. Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia. ALSA
Indonesia Law Journal. Academic Compilation 2016 Alsa Indonesia, Edisi
17 Maret 2016. No. 4. hlm. 59
WEBSITE (INTERNET)
Mupied Madridista. 2011. Sistem Hukum Civil Law dan Common Law.
http://mupiedmadridista.blogspot.com/2011/11/system-hukum-civil-law-
dan-commonlaw.html. diakses pada tanggal 01 November 2020 pada pukul
00.47 wita
16
SEJARAH HUKUM ROMAWI
MAKALAH
Oleh
Jessica V. Semboeng
NIM. 20202108014
A. Latar Belakang
1
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 197-198
2
Ibid. Hal. 201
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ibid. Hal. 201
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga
memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga memiliki
waktu yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi saja berkuasa
sampai kurang lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan Romawi, yaitu
Konstantinopel, malahan bisa survive lebih kurang 1000 tahun lagi setelah
keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis mereka menguasai dunia selama dua
milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)
Raja Justinian, pada tahun 529 M, mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam
suatu panitia yang bertugas untuk menyusun kembali hukum Romawi yang mulai
berserakan dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke dalam satu
kitab hukum yang sistematis. Panitia yang diketuai oleh ahli hukum yang bernama
Tribonian itu, menghasilkan suatu kitab hukum yang cukup komprehensif yang
disebut dengan Code Justinian (Corpus Juris Civilis) yang berisi Digest (terdiri atas
50 jilid) dan Institutes. Tidak terbayangkan kedigdayaan hukum Romawi menjadi
sehebat itu, tanpa pekerjaan besar yang merupakan kompilasi hukum oleh Raja
Justinian tersebut.
6. Kebangkitan kembali hukum Romawi
Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan kembali hukum Romawi yang
berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke-12, di mana hukum
Romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian ditafsirkan dan dikembangkan
kembali oleh para Glossator dan Commentators.
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan hukum
Romawi.
Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu sangat berpengaruh
bagi dunia hukum dengan membuat berbagai kodifikasi, seperti pembuatan Code
Napoleon di Prancis yang didasarkan pada Code Justinian, atau pem buatan Code
Civil Jerman yang didasarkan pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian. 4
4
Ibid. Hal. 198-199
1. Tahap awal hukum Romawi.
2. Tahap republik
3. Tahap awal imperium
4. Tahap imperium kristiani
5. Tahap Code Justinian.
6. Tahap hukum Kanonik.
7. Tahap kodifikasi Barbar.
8. Tahap pengkajian kembali hukum Romawi.
9. Tahap resepsi hukum Romawi. 5
5
Lee, Guy Carleton. 1900. Historical Jurisprudence. New York, USA: The MacMil-Ian Company.
Hal. 187 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hal. 201
Pontiff sejak tahun 89 SM, akhirnya ia dibunuh pada tahun 82 SM); (3) Aquilius
Gallus (menjadi Praetor pada tahun 66 SM); dan (4) Servius Sulpicius Rufus
(merupakan advokat terkenal yang menjadi Praetor sejak tahun 65 SM dan Consul
sejak tahun 51 SM).
3. Sumber hukum di era imperium
a. Legislasi, yaitu terdiri atas sumber hukum yang dibuat oleh: (1) Republican
Assemblies, (2) Senate, (3) Raja, (4) Edicta (yang diisukan oleh raja bersama
dengan magistrates pilihan), (5) Decreta (putusan raja sebagai penguasa yudikatif
dalam memberikan putusan-putusan pengadilan), (6) Mandata (yang merupakan
putusan raja terhadap pegawai di kerajaan, para gubernur. dan lain-lain), dan (7)
Rescripta (yang merupakan jawaban tertulis dari raja terhadap segala pertanyaan
yang ditujukan kepadanya).
b. Edicts dari Magistrates
c. Sumber hukum yang dibuat oleh ahli hukum dalam bentuk: (1) nasihat hukum,
(2) pengajaran hukum dan (3) penulisan hukum. Beberapa nama ahli hukum
terkenal saat itu adalah: 1) Labeo; 2) Sabinus; 3) Julian; 4) Pomponius; 5) Gaius
Papinius; 6) Paul; 7) Ulpian; 8) Modestinus.6
Di masa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat
negara yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai berikut.
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan raja, meski
pun Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki kewenangan terhadap
semua aspek pemerintahan dan hukum. Mereka juga memiliki kewenangan sebagai
panglima perang yang ditunjuk oleh Comitia Centuriata, tetapi memerlukan
ratifikasi dari Parlemen untuk masa jabatan satu tahun.
2. Praetor
Praetor pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Praetor merupakan semacam
pejabat di Kementerian Kehakiman di zaman modern, yang diangkat oleh Comitia
Centuriata. Praetor bertugas untuk mengatur masalah administrasi yang berkenaan
dengan hukum sehingga mempunyai banyak kontribusi terhadap perkembangan
hukum Romawi.
3. Quaestor
6
Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press Limited.
Hal. 28 Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 203-
205
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan praetor yang dikhususkan
Quaestor di bidang finansial, administrasi criminal justice, pejabat hukum yang
penting menigatu di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SMP. Sesuai namanya, censor
memiliki tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan untuk
menentukan tentang siapa saja yang mempunyai hak pilih.
5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan anggota dari
Parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan rakyat jelata (jadi
tidak termasuk golongan bangsawan). Mereka mempunyai lak veto di parlemen.
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerintahan yang bertugas melaksanakan kepentingan
rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi kemudian menjadi
perwakilan dari kaum bangsawan. Misalnya, mereka mengurus kecukupan
penyediaan dan penyaluran air dan makanan, penyediaan jalan-jalan umum, dan
sebagainya.7
7
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 199-200
8
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 19
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 202
tradisi hukum Civil Law. Sampai sejauh ini, sistem hukum Romawi melalui tradisi
hukum Eropa Kontinental ini hanya mendapatkan rival yang sebenarnya tidak
sebanding (terutama jika dibandingkan dengan usianya) yaitu tradisi hukum Anglo
Saxon atau sering disebut pula hukum Common Law.9
Kemudian, satu set hukum yang disebut dengan Lex Aquilia berlaku di
Romawi yang sebenarnya merupakan penerapan kaidah-kaidah hukum yang ada
sebelumnya, termasuk hukum dalam The Twelve Tables. Untuk sekadar
mendapatkan gambaran bagaimana hukum dalam Lex Aquilia ini, dapat dilihat
dalam chapter pertamanya yang mengatur sebagai berikut.
Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau
gadis hamba sahaya milik orang lain, atau binatang ternak berkaki empat milik
orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai
tertinggi yang dimiliki oleh properti tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut
menjadi berlipat dua jika pihak tergugat menolak tanggung jawabnya. 10 (Justinian,
1979: 71).
9
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 203
10
Justinian. 1985. The Digest of Roman Law. Terjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
C.F.Kolbert. New York, USA: Viking Penguin Inc. Hal. 71
gilirannya dapat menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan
penganiayaan dan pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi,
dalam hal hukum-hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan penghinaan,
penganiayaan, dan pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak yang tidak
bersentuhan dengan salah satu dari tiga unsur tersebut tidak mendapatkan tempat di
pengadilan, hanya diatur dan diberikan sanksi oleh moral dan agama.
Namun demikian, mengingat adanya akibat berupa pelanggaran ketertiban
umum dari wanprestasi suatu kontrak, maka kontrak kemudian diatur oleh hukum
Banyak hukum kontrak yang telah diatur dalam berbagai undang-undang di
berbagai negara. Namun, lebih banyak lagi yang belum mendapat pengaturannya
dalam perundang-undangan, tetapi berlaku sebagai kebiasaan atau sesuai dengan
kata sepakat di antara kedua belah pihak berdasarkan prinsip “kebebasan
berkontrak”
Ternyata, di dalam setiap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dari dahulu
sampai sekarang, kontrak harus mengandung unsur Pacta Sunt Servanda yang
mempunyai arti: janji itu mengikat. 11
Bidang hukum kontrak juga merupakan bidang hukum yang sangat
berkembang di zaman Romawi. Di masa Romawi, kontrak dikenal dengan istilah
“nexus”. Di samping itu, dikenal pula obligation dan pact (convention). Pact atau
Convention merupakan perjanjian di antara dua pihak atau lebih. Manakala kepada
Pact atau Comention diberikan suatu Obligation (kewajiban), maka pact atau
convention tersebut baru menjadi kontrak. Obligation sendiri terdiri atas dua
bentuk, yaitu kontrak dan wrong/delict.12
Praktik hukum kontrak muncul dalam sejarah hukum Romawi pada saat yang
berlainan. Misalnya, lahirnya kontrak-kontrak pada masa-masa berikut ini.
1. Sistem kontrak dengan deposit (depositum) sudah ada pada abad ke-5 SM. Dalam
Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Tivelve Tables). jika para pihak tidak
menepati untuk menyerahkan barang yang dijanjikan, maka deposit (panjar)
harus dikembalikan sebesar dua kali lipat: suatu hukum yang masih berlaku di
banyak tempat saat ini.
2. Kontrak loan untuk konsumsi (mutuum) sudah ada pada abad ke-3 SM. Mutuum
bermula dari pinjaman barang konsumsi, semisal pinjam gandum dari tetangga
yang akan dibayar pada saat musim panen gandum nantinya.
3. Kontrak barter (permutatio) muncul beberapa abad setelah muncul kontrak loan
untuk konsumsi.
4. Kontrak jual beli telah ada sejak abad ke-2 SM. Sebab, uang koin baru digunakan
di Romawi pada sekitar tahun 275 SM.
11
Ibid. Hal. 201-202
12
Maine, Sir Henry Summer. 1986. Ancient Law. USA: Dorset Press. Hal. 268 dalam Fuady, Munir.
2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 205
5. Kontrak sewa muncul pada abad ke-2 SM.
6. Kontrak untuk berbuat sesuatu untuk orang lain secara cuma-cuma (contract of
mandate) atau yang dikenal dengan istilah mandatum, muncul sebelum tahun
123 SM.13
Di samping kontrak-kontrak seperti di atas, pada zaman Romawi masih
banyak terdapat jenis-jenis kontrak lainnya, misalnya sudah dikenal kontrak gadai
yang disebut “pignus”. Pignus ini sudah dianggap dapat menjadi gugatan
berdasarkan kontrak (wanprestasi) sejak abad pertama sebelum masehi. Demikian
juga di Romawi sudah dikenal pignus yang memiliki objek barang-barang tidak
bergerak, di mana menurut hukum barang tersebut tidak perlu diserahkan kepada
kreditor. Jadi, semacam hipotek yang saat ini sudah berlaku di mana-mana.
Mengenai kontrak standar juga sudah dikenal dalam hukum Romawi, di mana
yang sangat banyak digunakan adalah kontrak standar yang disebut Societas
(partnership). Umumnya, partnership dibuat antara orang-orang yang mempunyai
hubungan pertemanan atau hubungan kekeluargaan. Sedangkan banyak partnership
yang paling tua dalam sejarah hukum Romawi adalah apa yang disebut dengan
“ercto non cito”; yang menyatakan bahwa jika salah seorang meninggal dunia,
maka ahli warisnya masing-masing segera menjadi partner terhadap harta orang
meninggal tersebut.
Tentang intervensi pihak lain ke dalam hubungan kontrak yang dianggap
sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dasar-dasarnya juga sudah ditemukan
dalam hukum Romawi Klasik. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum
Romawi juga meninggalkan beberapa jenis kontrak, dengan model yang diambil
dari kontrak Yunani. Sebagaimana diketahui pula, Yunani sudah lebih dahulu
berkembang di bidang perdagangan dan seni dari bangsa Romawi. 14
Berikut ini contoh dari bagian sebuah kontrak untuk membangun pintu
gerbang di dinding yang berbatasan dengan Kota Puteolis tersebut, yang dilakukan
dengan berdasarkan kepada peraturan kota tahun 105 SM, antara lain berbunyi
sebagai berikut.
13
Watson, Alan. The Evolution of Law. Baltimore, Maryland, USA: The Johns Hopkins University
Press. Hal. 7 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia
Indonesia. Hal. 205
14
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 206
Berkenaan dengan pekerjaan publik, Undang-Undang No.2
(Subjek)
Pemberitahuan tentang pembuatan dinding pengadilan di depan Kuil Sarapis
Menyeberang Jalan
(Spesifikasi)
Di Pengadilan Menyeberang Jalan, di mana sekarang berdiri dinding dekat jalan. Di
dinding tersebut di bagian tengahnya harus dibangun sebuah pintu gerbang yang
berukuran tingginya 6 kaki dan lebarnya 7 kaki. Di kedua belah pintu harus dibuat
dua buah pilar, di mana dia ha us membuatnya di sebelah yang menuju ke proyek
laun, sebesar 3 kaki panjangnya dan 11/4 kaki tebalnya.
(Tenggang Waktu)
Tenggang waktu untuk menyelesaikan pekerjaan adalah tanggal satu November
yang akan datang.
(Pembayaran)
Waktu pembayaran uang: Setengah harus dibayar segera setelah ditandatanganinya
perjanjian yang dijamin dengan tanah. Sisanya dibayar setelah selesai dan serah
terima pekerjaan.
(Tanda tangan)
Blossius Bin Quintus yang bertanggung jawab terhadap kontrak untuk 1500
sesterces dan menawarkan jaminan untuk jumlah tersebut.
(Guarantor)
Q. Fuficius Bin Quintus.
Cn. Tetteius Bin Quintus.
C. Granius Bin Gaius.
Ti. Crassicius.15
15
Ibid. Hal. 206-207
Ini merupakan instruksi untuk melaksanakan hukum yang dilakukan baik oleh para
pendeta atau pun oleh orang biasa.
3. Formula instruksi lisan
Formula instruksi lisan untuk menjalankan tugas-tugas suci yang biasanya
dikombinasikan dengan instruksi yang bersifat seremonial
4. Responsa atau Decreta
Responsa atau Decreta merupakan pendapat atau jawaban terhadap permasalahan
yang berkenaan dengan perbuatan yang sakral. 16
16
Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the Clarendon Press.
Hal. 16 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hal. 207
17
https://www.uta45jakarta.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Bahan-Ajar-Sejarah-Hukum.pdf
diakses pada 12 Desember 2020.
3. Codex merupakan himpunan peraturan-peraturan dari kaisar-kaisar
sebelumnya.
4. Novellae yang ditambahkan kemudian dan berisi hukum-hukum baru
sesudah selesainya tiga bagian pertama di tahun 534. 18
Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi
besar lainnya, yaitu Code Napoleon (1804 M), di samping dasar lainnya berupa
kebiasaan setempat. Untuk sekadar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon
tersebut, beberapa prinsip hukum yang ada di dalamnya dapat disebutkan sebagai
berikut.
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada hukum
berlaku surut.
2. Hakim yang menolak perkara dengan alasan undang-undangnya tidak jelas,
kabur, atau tidak cukup diatur, harus bertanggung jawab karena menolak keadilan.
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya.
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alasan perzinaan yang dilakukan
oleh isterinya.
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alasan perzinaan yang dilakukan
oleh suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat tinggal bersama mereka.
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alasan
adanya tindakan kasar, memukul, atau melukai pasangannya oleh yang satu
terhadap yang lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah dijatuhkan
hukuman oleh pengadilan.19
Selain Corpus Juris Civilis yang terkenal dan The Twelve Tables (tahun 450
SM), sebenarnya di Romawi masih banyak undang-undang lain, meskipun bukan
dalam bentuk kodifikasi.
18
Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi. Hal. 12
19
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 208
2. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke pengadilan
4. Penggugat bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi) sendiri
terhadap putusan pengadilan.
5. Karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak tahap
yang harus dilalui dan diatur secara sangat rigid, yang apabila keliru sedikit dapat
menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang harus dilakukan sendiri
oleh para pihak yang berperkara, maka risikio akan semakin lebih banyak
ditanggung oleh para pihak tersebut sebagai pencari keadilan. 20
20
Ibid. Hal. 208-209
Riwayat korupsi atau mafia peradilan sudah sangat lama ada dalam sejarah
hukum, termasuk dalam sejarah hukum Romawi, karena memang korupsi dan
mafia peradilan merupakan penyakit bawaan dari suatu sistem hukum. Bahkan,
dalam praktik peradilan Romawi, korupsi dan mafia peradilan sangat merajalela.
Umumnya yang memenangkan perkara adalah pihak yang banyak uangnya.
Keadilan sangat mudah dibeli di zaman Romawi, meskipun sistem, kaidah, dan
logika hukum tertulisnya sangat baik. 21
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur
tertentu yang cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur
pengadilan dibagi ke dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap hearing preliminary
2. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim
memeriksa perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan dalam menyelesaikan
persoalan di antara para pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena
itu, kedua belah pihak wajib hadir dalam hearing preliminary tersebut. Dalam
proses hearing preliminary ini, kedua belah pihak saling beradu argumen dalam
hubungan dengan kasus yang bersangkutan. Prosedurnya sangat rigid sehingga
salah sedikit saja dapat menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya. Mirip seperti
sistem writ dalam sistem hukum Anglo Saxon.
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan,
yaitu sebagai berikut.
1. Tindakan Sacramentum
2. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio
3. Tindakan Concictio.
Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai
suatu kasus yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk
tindakan lain. Asal muasal tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di
antara para pihak yang bersengketa, tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian
kasusnya diputuskan dengan ordeal atau pun bantuan supranatural. Dalam
perkembangan selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi tindakan sumpah yang
disertai dengan pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang untuk sementara
dimenangkan oleh Magistrate. Prosedur sacramentum berbeda antara gugatan
berkenaan dengan benda (in rem) dan prosedur jika gugatan berkenaan dengan
pribadi (in personam). Prosedur sacramentum juga memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk menyelesaikan persoaloannya dan waktu yang tersedia
cukup untuk itu, karena proses pengadilan baru boleh dilangsungkan paling cepat
dalam waktu 30 hari setelah proses sacramentum.
21
Ibid. Hal. 209-210
Sedangkan, berkenaan dengan tindakan iudicis arbitrive postuliatio, prosedur
hearing preliminary dalam bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh
undang-undang yang berlaku.
Ada lagi tindakan yang dapat dilakukan dalam proses hearing preliminary,
yaitu tindakan yang disebut dengan condictio. Tindakan condictio juga lebih
sederhana dari tindakan sacramentum dan dilakukan tanpa sumpah, tetapi banyak
formalitas seperti yang berlaku untuk tindakan sacramento.22
Penunjukan hakum merupakan tahap terakhir dalam proses hearing
preliminary. Ada beberapa model penunjukan hakim yang berlaku dalam sistem
hukum Romawi, yang umumnya tergantung pada jenis kasus tersebut. Model-
model penunjukan hakim tersebut adalah sebagai berikut.
1. Penunjukan hakim tunggal dari orang biasa (lay judge).
2. Penunjukan beberapa hakim dari orang biasa.
3. Penunjukan centumviri (seratus orang) dari orang biasa.
4. Penunjukan decemviri (sepuluh orang) dari orang biasa.
5. Penunjukan recuperatores (orang biasa yang dipilih oleh magistrate)23
Tentang bagaimana nuansa proses pengadilan di zaman Romawi ini, ada
baiknya disimak proses pengadilan yang berlaku terhadap Nabi Isa (Yesus).
Yesus ditangkap di Yerusalem dan dituntut oleh penuntut umum di Roma,
yaitu Pontius Pilatus, dan dijatuhi hukuman mati, tetapi dengan cara dipaku di
tangan dan kakinya di kayu salib di Bukit Golgota tempatnya dan ditinggalkan situ.
Sebelum dijatuhi putusan tersebut, Yesus ditanyai beberapa pertanyaan oleh
Pontius Pilatus atas tuduhan yang dituduhkan banyak orang tersebut, namun Ia
hanya diam tidak memberi jawab apapun. 24
Kemudian, berkat tulisan (surat) dari advokat Pliny Muda kita dapat
mengetahui seluk beluk pengadilan di Romawi. Pliny Muda yang nama lengkapnya
adalah Caius Plinius Caecilius Secundus adalah ponakan dan anak angkat dari Pliny
Tua. Pliny Muda dipersiapkan dan dilatih untuk menjadi orator dibawah bimbingan
guru pidato terkenal, yaitu Quintilian. Penampilannya yang pertama sebagai
advokat terjadi pada tahun 80 M, ketika dia baru berumur 18 tahun. Kelak dia
menjadi salah seorang advokat yang terkenal di Romawi. Pliny Muda menulis
beberapa surat yang ditujukan kepada teman-temannya yang banyak berisi tentang
kasus yang ditanganinya.
22
Ibid. Hal. 211-212
23
Borkowski, Andrew. 1994. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press Limited.
Hal. 69 dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal.
24
Alkitab. Matius 26-27, Markus 14-15, Lukas 22-23, Yohanes 18-19.
Kasus-kasus yang diceritakannya itu sebagian terjadi ketika Romawi di
bawah kekuasaan Raja Domitian, beberapa ketika Romawi di bawah pemerintahan
Raja Nerva (96-97 M), dan sebagiannya lagi ketika Romawi di bawah pemerintahan
Trajan (98-117 M).25
Sebagaimana diketahui, pembunuhan merupakan suatu kejahatan serius yang
dikutuk dalam masyarakat mana pun dan seprimitif apa pun hukumnya. Hukuman
terhadap kejahatan pembunuhan biasanya hukuman mati. Menyadari beratnya
hukuman terhadap pembunuhan, timbul usaha-usaha dari penjahat untuk
melakukan pengelakan terhadap hukuman, bahkan pengelakan terhadap
penangkapan oleh yang berwajib. Usaha-usaha seperti ini sangat sering terdengar
dalam masyarakat mana pun. Karena itu, dalam sejarah berkali-kali terbukti bahwa
membuktikan pembunuhan di pengadilan bukanlah perkara gampang, apalagi di
masa lalu, di mana belum ada sistem pembuktian yang canggih, semacam
pemeriksaan sidik jari, anjing pelacak, pemeriksaan darah dan DNA, otopsi korban
pembunuhan, dan lain-lain.26
Dalam alinea pembukaan dokumen The Twelve Tables ada gambaran
pengaturan hukum yaitu sebagai berikut.
Jika seorang dipanggil secara sah ke pengadilan, tetapi tidak datang, maka
dengarlah para saksi dan biarkan penggugat bertindak. Jika tergugat menolak
datang, maka penggugat dapat memaksanya. Jika tergugat sakit atau terlalu tua,
maka penggugat dapat menyediakan alat pengangkutan baginya. Jika tergugat
tidak mau penerima tawaran alat pengangkutan tersebut, maka penggugat tidak
perlu menyediakan alat pengangkutan. 27
Salah satu dokumen hukum yang masih tersimpan utuh adalah Lex Julia
Municipalis, yang dibuat pada tahun 45 SM. Lex Julia Municipalis merupakan
dokumen yang berisi tentang peraturan tata kota di kota Roma, yang merupakan
model pengembangan dari model yang ada di Yunani. Berikut ini beberapa
ketentuan dari Lex Julia Municipalis. (John Henry Wigmore, 1936:383)
25
Ibid. Hal. 213
26
Ibid. Hal. 215
27
Ibid. Hal. 225
Jika penjagaan tugas telah ditugaskan kepada kontraktor oleh peraturan ini,
maka petugas pelayanan publik yang relevan juga mempunyai tugas yang sama,
jika kontrak pemeliharaan jalan tersebut dipercayakan kepada pemborong urban…
Kereta barang hanya boleh masuk kota di waktu malam yang harus ditarik
oleh sapi atau kuda dan kembali harus secara kosong. Jika kereta barang masih
berada dalam kota Roma setelah matahari terbit keesokan harinya, maka
kepadanya berlaku ketentuan dalam peraturan ini. 28
Sebagai negara yang sistem hukumnya sudah relatif maju, tentu pembuatan
kontrak sehari-hari sudah banyak dilakukan oleh masyarakatnya. Untuk
mendapatkan gambaran tentang kontrak-kontrak yang dibuat di masa Romawi
tersebut, berikut ini contoh kontrak tentang jual beli budak, yaitu sebagai berikut.
Terhadap Agoronami dari... dari Sarapion, anak angkat dari Zoilus bin Apion,
saya bersumpah atas nama Raja Caesar Titus Aelius Hadrianus Antoninus
Augustus Pius bahwa saya telah menjual kepada Agathodaemon, manusia merdeka
dari Heraclidses dan Sarapion yang dipanggil Dorion. Anak kedua dari Sarapion
yang berasal dari kota yang sama dan budak kelahiran di rumah, yaitu Didymus,
merupakan milik saya karena warisan dari ayah angkat saya, yang merupakan
paman saya dan sekarang telah meninggal dunia. Budak ini bebas dari segala celaan
dan bebas dari epilepsi serta leprosi. Saya selanjutnya bersumpah bahwa dia adalah
milik saya dan tidak sedang dalam jaminan utang atau jaminan apapun. Saya
memberikan harga 1300 uang perak, karena itu saya menggaransi transaksi ini.
Saya akan baik-baik saja jika saya bersumpah kepada yang sebenar-benar
terjadi, tetapi akan sebaliknya jika saya bersumpah palsu.29
Selain itu, kontrak perkawinan antara suami atau calon suami dengan isteri
atau calon isteri juga sudah banyak terjadi di zaman Romawi. Berikut ini sebuah
contoh dari kontrak perkawinan dimaksud.
Kepada Protarchus dari Thermion binti Apion, dengan walinya yaitu
Apollonius bin Chaereas, dan dari Apollonius bin Ptolemaeus. Thermion dan
Apollonius bin Ptolemaeus telah bersetuju bahwa mereka hidup bersama untuk
sama-sama menempuh rumah tangga dan Apollonius bin Ptolemaeus tersebut
mengakui bahwa dia telah menerima dari Thermion pemberian sebagai hadiah
perkawinan sepasang anting-anting emas yang beratnya tiga perempat dan perak
drachmae; dan dari sekarang Apollonius bin Ptolemeus harus memberikan kepada
Thermion sebagai isterinya semua kebutuhan dan pakaian yang pantas dan tidak
boleh memperlakukannya semena-mena, tidak boleh juga menyakitinya atau
28
Ibid. Hal. 233
29
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 267
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 234
mencari isteri lain. Atau dia dapat langsung mengambil hadiah perkawinan satu
setengah kali, dengan hak eksekusi baik terhadap orangnya yaitu Apollonius bin
Ptolemaeus, maupun terhadap semua harta bendanya seolah-olah seperti kekuatan
suatu putusan hukum, dan Thermeon harus melaksanakan kewajibannya terhadap
suaminya secara hidup bersama, dan tidak boleh merusak atau mengabaikan rumah
bersamanya juga tidak boleh berhubungan dengan laki-laki lain, atau jika isterinya
tersebut bersalah, maka melalui putusan pengadilan, dapat diambil hadiah
perkawinan. Dan sebagai tambahan, pihak yang telah melakukan kesalahan
berkewajiban pula membayar denda. Tahun ke-17 dari raja Caesar.30
30
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 58
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 234-
235
per tahun sebagai sewa dari kantor bendahara Genoa. Jika mereka gagal
membayar jumlah tersebut dan melunasi kepada Genoese dengan cara-cara
yang lain yang dapat diterima dan asalkan Genoese bukan merupakan
penyebab penundaan. Langense terikat untuk menyerahkan setiap tahunnya
kepada kantor perbendaharaan Genoa bagian yang ke dua puluh dari
gandum yang dihasilkan di atas tanah tersebut dan bagian keenam dari
anggur.
Berkenaan dengan Viturii yang bersengketa dengan Genoese, diadili
dan dijatuhi hukuman karena melakukan penganiayaan. Jika setiap dari
mereka masih dalam penjara untuk tuduhan tindak pidana tersebut,
diputuskan bahwa mereka harus segera dibebaskan dengan syarat mereka
tidak lagi membuat perluasan dari Meadowland di luar area yang telah
dikuasainya di musimpanas yang lalu.
(Tanda Tangan)
Marcus Meticanius Bin Metico (Representatif dari Genoa).
Plaucus Bin Pelion Bin Pelius (Representatif dari Viturii). 31
31 Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal.
menunjukkan bahwa hukum Romawi campuran Germania, yang dianggap hukum
Romawi yang vulgar dan bar-bar, dikemudian hari tidak diikuti lagi dalam
pembuatan-pembuatan kodifikasi sehingga hanya tinggal dalam sejarah.
Disamping itu, pada abad pertengahan, hukum kebiasaan bangsa Germania
yang mulai ditulis pada abad ke-5 M sedikit banyaknya memengaruhi
perkembangan sistem hukum Eropa Kontinental, seperti dalam bidang hukum harta
perkawinan dan hukum waris. Hanya saja, pengaruh dari hukum bangsa Germania
ini kemudian meredup karena sifatnya yang sangat simpel (lay character) dan
hukum acara yang kasar, seperti penggunaan mistik dalam bentuk ordeal misalnya.
Hukum-hukum seperti bidang kepemilikan modern dan hukum dagang, ternyata
juga tidak berasal dari hukum Romawi, tetapi merupakan hukum yang tercipta pada
abad pertengahan.
Kemudian datang masa kebangkitan kembali hukum Romawi yang terjadi di
abad ke-11 Masehi, dengan munculnya kembali keinginan dari para ahli hukum,
setelah bersusah payah memberlakukan instrument-instrumen hukum peninggalan
zaman Romawi Klasik dan karya cipta ahli hukum zaman Bizantium, untuk
kembali memberlakukan hukum Romawi, dan kemudian memberlakukan kembali
Corpus Juris Civilis. Proses ini dikenal dalam sejarah hukum sebagai proses
kebangkitan kembali (revival) dari hukum Romawi. Kebangkitan kembali hukum
Romawi ini dimulai dari Bologna (Italia) dipenghujung abad ke -11. sejak, saat itu,
di Bologna berkembang Universitas modern (yang terkenal adalah University of
Bologna) yang utamanya mempelajari hukum Romawi, khususnya hukum Romawi
versi Corpus Juris Civilis. Selanjutnya muncul berbagai universitas untuk
mempelajari hukum Romawi di Italia, dimana mahasiswanya datang dari berbagai
Negara Eropa. Di universitas-universitas tersebut kemudian terbentuk kelompok-
kelompok ahli hukum yang disebut dengan Glossator dan Commentator. Mereka
banyak mengarang buku-buku hukum. Glossator adalah generasi pertama dari
universitas Bologna yang mencoba menafsirkan kembali hukum Romawi yang
sudah banyak tidak dimengerti lagi oleh orang-orang saat itu. Sedangkan,
Commentator datang dikemudian hari (abad ke-13 Masehi), yang juga menafsirkan
hukum Romawi. Bortolus dikenal sebagai Commentator terhebat saat itu. Setelah
tamat belajar dari universitas di Italia tersebut, para mahasiswanya kembali ke
negerinya masing-masing dan mereka mendirikan universitas-universitas, serta
mengajarkan hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis sesuai versi Glossator dan
Commentator. Akhirnya, hukum Romawi yang bertaburan bahasa Latin itu
menyebar ke berbagai Negara di Eropa, bahkan termasuk ke Negara-negara yang
berlaku sistem Common law. Hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis, Glossator
dan Commentator ini kemudian disebut dengan istilah “jus commune”.
Mengapa di zaman kebangkitan kembali Romawi, versi Corpus Juris Civilis
yang dipilih? Hal ini dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut (John Henry
Merryman, 1953:10)
(1) Konsep Imperium Romawi Suci (Holy Roman Empire) sangat kuat bergema
dizaman itu. Dalam hal ini, Raja Justinian dianggap sebagai raja suci Romawi
dengan Corpus Juris Civilis sebagai legislasi imperiumnya.
(2) Pengakuan dari banyak ahli hukum bahwa Corpus Juris Civilis merupakan kitab
hukum yang sangat berkualitas, berbeda jauh jika dibandingkan dengan hukum dari
bangsa penjajah Romawi, yaitu hukum Germania, yang terkesan masih sangat kasar
dan barbar.
Namun pada abad ke-16 dan 17, pusat-pusat pendidikan hukum telah
berpindah ke Prancis dan Belanda. Dalam hal ini, metode-metode yang dilakukan
oleh Commentator di Italia (Bologna) telah diganti dengan metode yang
dikembangkan oleh kaum The Humanists di Prancis atau aliran hukum alam
modern di Belanda.
Kaum Humanist menggunakan teknik sejarah dan philology dalam
mempelajari hukum Romawi sehingga hukum Romawi sebagaimana yang terdapat
dalam Corpus Juris Civilis dianggap sebagai bahan sejarah semata-mata.
Sedangkan, di negeri Belanda, para ahli hukum mengembangkan sistem hukum
secara sistematis sebagai suatu hukum alam yang berlaku universal.
Disamping itu, di abad pertengahan, hukum Kanonik (grejawi) juga berlaku
di Eropa, terutama setelah jatuhnya kerajaan Romawi dan sebelum kebangkitan
kembali hukum Romawi pada abad ke-11. Karena hukum Kanonik merupakan
hukum agama, tentu saja hukum ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, dalam
hal ini agama Kristen.
Setelah berlakunya hukum Romawi yang berlandaskan kepada prinsip-
prinsip agama Kristen di zaman pertengahan, kemudian hukum Romawi versi Code
Justinian atau bahkan versi sebelum Code Justinian, terus berkembang melanglang
buana ke seluruh penjuru dunia, yang banyak dari kaidah hukumnya terus berlaku
sampai sekarang di seluruh pelosok dunia dan kemungkinan akan terus berlaku
untuk jangka waktu yang lama di masa yang akan datang. Suatu kehebatan yang
tidak pernah dapat tertandingi dalam sejarah hukum, yang mungkin oleh orang-
orang Romawi sendiri tidak pernah membayangkan kehebatan tersebut. 32
32
Ibid. Hal. 237-245
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam hal prestasinya dibidang hukum, bangsa Romawi adalah bangsa
terbesar yang tidak bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa lain mana pun di dunia,
bahkan tidak bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa yang hidup di zaman modern
sekalipun.
Sedemikian hebatnya keperkasaan orang-orang Romawi di bidang hukum,
sampai sekarang pun tidak ada Negara di dunia ini yang hukumnya tidak terkena
pengaruh hukum Romawi, baik hukum di negara yang berlaku sistem hukum Anglo
Saxon, sistem hukum Sosialis, sistem hukum Islam, Hindu, Buddha, apalagi di
negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental. Keperkasaan bangsa
Romawi dalam membuat hukum memang sudah menjadi legenda.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan
hukum Romawi di Zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari
berlakunya Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) di tahun 450 SM,
sampai dengan terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M,
dengan para ahli hukum Romawi seperti Ulpianus, Papianianus, dan Gaius. Namun,
setelah lebih kurang 1000 tahun perkembangan ilmu, teori, doktrin, dan kaidah ilmu
hukum Romawi, hukum Romawi masih mengepak sayapnya dan berlakunya
semakin meluas ke berbagai Negara, terutama hukum Romawi versi Justinian yang
terdapat dalam Corpus Juris Civilis, yang berisi banyak perbedaan dengan aturan
hukum klasik yang sebelumnya telah berlaku di Romawi. Corpus Juris Civilis itu
sendiri merupakan kompilasi aturan hukum yang dibuat atas arahan dari Raja
Bizantium, yaitu Justinian di abad 6 M, yakni di masa setelah jatuhnya kekuasaan
dari barat (Western Empire).
B. Saran
Meski kodifikasi hukum berasal dari bangsa Romawi masih bisa digunakan
sampai sekarang ini, hanya perlu sedikit penyesuaian dengan perkembangan zaman
yakni dengan masa sekarang inipun. Namun tetap namanya produk hukum bangsa
lain tentunya akan beda dengan produk sendiri yang memang mencerminkan
kehidupan bangsa sendiri dan menyesuaikan keadaan bangsa atau rakyat di negara
tersebut. Sehingga adakala baiknya, negara yang masih menyesuaikan
menggunakan kodifikasi hukum bangsa lain, dalam hal ini dari bangsa Romawi,
seperti Indonesia sampai saat ini, sudah bisa membuat kodifikasi hukum-nya
sendiri. Misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada di
Indonesia dan yang baru saja Rancangan KHUPidana yang dibuat DPR.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab
Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi.
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Justinian. 1985. The Digest of Roman Law. Terjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh C.F.Kolbert. New York, USA: Viking Penguin Inc.
Lee, Guy Carleton. 1900. Historical Jurisprudence. New York, USA: The
MacMil-Ian Company.
Maine, Sir Henry Summer. 1986. Ancient Law. USA: Dorset Press.
Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the
Clarendon Press.
Watson, Alan. The Evolution of Law. Baltimore, Maryland, USA: The Johns
Hopkins University Press.
Sumber lainnya:
https://www.uta45jakarta.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Bahan-Ajar-Sejarah-
Hukum.pdf diakses pada 12 Desember 2020.
”SISTEM HUKUM HINDU DAN SEJARAH HUKUM INDIA”
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Hukum
Oleh :
JOICE AMELIA USSU
NIM. 20202108051
DOSEN :
Dr. DEVY K. G. SONDAKH, SH., MH.
Kemudian, sekitar tahun 2000 SM sampai 1500 SM, bangsa Arya (Indo
Eropa) yang masih kurang berperadaban dan semi nomaden, menyerbu lembah
Indus. Bangsa Arya ini menyerbu ke Timur sampai ke India dan ke Barat, kemudian
ke Eropa. Diperkirakan, bangsa Arya ini berasal dari daerah sekitar Asia
Tengah/India Tengah atau Rusia Selatan. Namun, kedatangan bangsa Arya ini
terjadi pada saat Hukum India yang berlandaskan hukum Hindu sudah cukup
berkembang. Hukum India yang berlandaskan Agama Hindu tersebut bersumber
dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab suci Veda, termasuk Rigveda, Vedanta
dan Bhagavadgita.
Karena itu, secara filosofis, pemikiran di India jauh lebih tua dari yang ada di
Yunani atau Cina, termasuk pemikiran tentang hukum. Bahkan, Bahasa Sansekerta
yang merupakan Bahasa untuk menulis Kitab Veda dan merupakan Bahasa suci
dari Agama Hindu, merupakan Bahasa Indo-Eropa yang tertua dalam sejarah.
Di samping itu, India juga merupakan tempat asal suatu ajaran yang lain
tentang kehidupan, termasuk tentang hukum, yaitu ajaran Budha. Ajaran ini banyak
dianut sampai sekarang di berbagai wilayah Asia Timur, seperti Cina, Jepang,
Tibet, Vietnam, Burma, Korea, dan lain-lain. Ajaran Buddha yang dibawa oleh
Sidharta Gautama di sekitar abad ke-6 SM ini sebernanya merupakan protes
terhadap kekakuan ajaran Hindu saat ini. Kini ajaran Buddha yang kemudian
dikembangkan juga oleh para pemimpin Buddha yang lain, telah mempunyai satu
kaidah hukum untuk mengatur umatnya.
Hukum Hindu sangat dipengaruhi oleh hukum dari bangsa Arya yang datang
dari Asia Tengah sekitar tahun 1000 SM, dengan membawa hukum dan
memberlakukannya di India.
Hukum Hindu kemudian berkembang pesat, meskipun dalam
perkembangannya masih berakar sangat kuat pada hukum tradisionalnya. Sampai
kemudian, dengan dijajahnya India dan sekitarnya oleh orang-orang Inggris, hukum
Hindu terserap ke dalam system hukum Anglo Saxon yang dibawa bangsa Inggris.
Meskipun hukum Hindu di India banyak dipengaruhi oleh berbagai system hukum
yang dibawa oleh para penjajah, seperti oleh bangsa Indo-Arya, Persia, Turki,
Yunani, dan Mongolia, tetapi hukum dari penjajah Inggrislah yang sangat
berpengaruh sampai sekarang.
Intisari dari Hukum Hindu adalah apa yang disebut dengan istilah “darma”,
yang berarti keseluruhan kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Namun begitu, sebagai suatu hukum yang agamis, hukum
Hindu dianggap sebagai perintah Tuhan, meskipun bukan Tuhan tunggal yang
berasal dari langit sebagaimana yang dipercaya oleh Kaum Yahudi, Kristen,
maupun Islam. Sebagaimana diketahui, dalam tradisi agama Hindu tidak memiliki
nabi atau rasul tunggal, meskipun mengenal beberapa manusia pilihan di dunia
yang melaluinya diturunkan Wahyu (sruti), yang merupakan isi kitab suci Weda.
Karena hukum Hindu dipercaya berasal dari Tuhan, maka menjadi kurang fleksibel
karena tidak gampang diubah-ubah oleh manusia, tetapi unsur kepastian hukumnya
lebih terjamin. Namun begitu, dalam sistem hukum Hindu, bahkan yang tradisional
sekalipun sudah mengenal dan mengakui kaidah-kaidah hukum kebiasaan mereka
sendiri yang disebut dengan smriti, yang selalu diingat oleh kaum arif dan bijaksana
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Untuk memecahkan
kekakuan hukum Hindu, kebiasaan sering juga diakui sebagai hukum positif,
bahkan dapat mengalahkan hukum tertulis, sebagaimana yang pernah diputuskan
oleh pengadilan Anglo India tahun 1868 (John Gilisen, et al, 2005: 89). Putusan
pengadilan tersebut didasarkan pada Code Manu, Pasal 108, yang berbunyi :
“Acarah paramo dharman strutyuktah smarta eva ca tasmad asmin sada
yukto nityam syad atmavan driyah.”
(Kebiasaan merupakan hukum tertinggi, seperti juga tertulis dalam sruti dan
smriti. Oleh karena itu, harus senantiasa ada kewaspadaan; drija selalu
memerhatikan keselamatan jiwa).
Seperti juga hukum yang berlandaskan kepada agama lainnya, hukum Hindu
tidak luput dari sekte-sekte, yaitu sebagai berikut. (CG Weeramantry, 1982: 21)
1. Sekte Vaishnavas, sebagai lawan dari Sekte Saivas.
2. Sekte Dayabhaga di bagian Benggala.
3. Sekte Mitakshara, yang terdiri di subsekte Benares, sekte Bombay dan sekte
Madras.
Dalam sejarah hukum India, di samping peninggalannya yang sangat
spektakuler, yaitu Code Manu, masih ada peninggalan sejarah hukum lain yang
ditulis dalam Bahasa Sanskerta yang ditulis di atas batu, lempengan tembaga,
bahkan lempengan emas.
Alat bukti terbagi ke dalam dua bagian, yaitu alat bukti suci/keagamaan dan
alat bukti kemanusiaan. Alat bukti kemanusiaan tersebut terbagi ke dalam tiga
bagian, yaitu bukti saksi, tulisan dan petunjuk. Masing-masing alat bukti memiliki
bobot pembuktian yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut :
1. Alat bukti saksi memiliki dua belas jenis, masing-masing dengan bobot yang
berbeda-beda;
2. Alat bukti suci/keagamaan (devine test) memiliki bobot 9;
3. Alat bukti tulisan memiliki bobot 10;
4. Alat bukti petunjuk memiliki bobot 2.
Ajaran hukum Hindu tertulis dalam banyak kitab suci (darma), lebih kurang
100 buah yang masih dijumpai sekarang. Namun, yang palin terkenal dan
komprehensif adalah apa yang disebut dengan Manusmr’ti (ingatan Manu), yang
kemudian dikenal dengan Code Manu. Konon menurut Riwayat, Manu sendiri
merupakan seorang keturunan Brahma yang maha bijaksana dan berhasil
memahami tujuan hidup yang hakiki dari manusia di bumi ini. Manu merupakan
pembuat hukum legendaris yang tiada taranya di dunia ini, yang hidup di sekitar
tahun 3000 SM, meskipun ada juga Riwayat yang menyebutkan bahwa Manu hidup
di sekitar tahun 1500 SM.
Code Manu diperkirakan ditulis kembali antara tahun 200 SM dan tahun 200
M, terdiri atas 12 buku yang berisi kurang lebih 5400 ayat. Meskipun begitu, tidak
semua Pasal dalam Code Manu berisi ketentuan hukum. Kaidah-kaidah hukum
dalam Code Manu meliputi berbagai bidang hukum, seperti hukum keluarga,
hukum perkawinan, hukum benda, hukum acara, hukum pidana, perbuatan
melawan hukum dan lain-lain sebagainya. Aturan-aturan hukum dalam Code Manu
ini bersifat komprehensif, teknis dan tersusun secara sistematis dan logis sehingga
Code Manu ini sangat mengagumkan untuk ukuran saat itu.
Dalam tradisi Hindu, hukum disebut dengan “darma” yang secara harfiah
berarti “kewajiban” yang terbilang maju menurut ukuran zamannya. Meskipun
begitu, seperti umumnya hukum di zaman dahulu, masih banyak kaidah hukum
Hindu dalam Code Manu yang masih bersifat hukum primitif, antara lain :
• Hukum yang didasarkan kepada takhayul;
• Pembagian manusia pada empat kasta dengan hak dan kedudukan yang lebih
tinggi bagi orang-orang dari kasta yang lebih tinggi;
• Pelaksanaan hukuman mati yang kejam;
• Hukuman pidana yang bersifat mutilasi, seperti hukum potong tangan, potong
kaki, potong telinga, pembuktian dengan sumpah pemutus, pemberlakuan
hukum ordeal, dan lain-lain.
Beberapa prinsip hukum dalam Code Manu tersebut adalah sebagai berikut.
(Wikimedia Foundations Inc., 1998: 1).
1. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
2. Hukum tentang Orang
3. Hukum Perkawinan
4. Hukum Waris
5. Hukum Kekayaan
6. Hukum Agraria
7. Hukum Perikatan dan Utang Piutang
8. Hukum Pidana
9. Tindak Pidana Pencurian
10. Tindak Pidana Kesusilaan
11. Hukum Acara
12. Tentang Pidana Perusakan
13. Tentang Perlindungan Konsumen
14. Tentang Hukuman
15. Tentang Pajak, Bea dan Cukai
Dari pengaturan dalam Code Manu seperti diatas, terlihat dengan jelas bahwa
kitab undang-undang yang dibuat di Timur (dalam hal ini India) ternyata tidak kalah
hebatnya, malahan lebih baik, lebih komprehensif dan lebih sistematis
dibandingkan dengan berbagai kitab undang-undang yang dibuat di daerah lain,
seperti Babilonia, Mesir atau Yunani pada saat yang bersamaan. Hal ini juga
membuktikan bahwa sejarah hukum berhasil mempresentasikan dengan jelas
tentang tingkat kreativitas dan penghayatan terhadap hukum, keadilan dan
kebenaran dari masing-masing bangsa di dunia ini, di sebelah mana pun dari dunia
ini bangsa tersebut berdiam.
MAKALAH SEJARAH HUKUM
OLEH:
20202108012
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti memiliki masa lalu. Masa lalu yang pantas dikenang, baik
yang menyenangkan maupun yang membuat manusia sedih dalam hidupnya. Setiap
detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya yang telah dilewati oleh manusia
merupakan bagian dari masa lalu. Masa lalu sering disebut dengan istilah Sejarah.
Dilihat dari asal usul kata, sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun yang
artinya pohon, keturunan, asal usul atau silsilah. Dalam bahasa Inggris (history),
Bahasa Yunani (istoria), Bahasa Jerman (geschicht). 1
Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau
yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja
yang memerintah). Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian
yang sudah lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti
mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh
orang perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi:
pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara
berpikir secara historis.
Sejarah Yunani berlangsung kurang lebih seribu tahun dan berakhir dengan
munculnya agama Kristen. Oleh sebagian besar sejarawan, peradaban ini dianggap
merupakan peletak dasar bagi Peradaban Barat. Budaya Yunani merupakan pengaruh
1
Pengertian Sejarah, Jumat, 29 Februari
2008, http://mustwiebagoes.blogspot.com/2008/02/pengertian-sejarah.html, diakses pada tanggal 2
Januari 2012.
kuat bagi Kekaisaran Romawi, yang selanjutnya meneruskan versinya ke bagian lain
Eropa.
Yunani dan Roma sama-sama memiliki peninggalan berupa sistem hukum yang
sangat berharga bagi peradaban dunia.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbandingan perkembangan sejarah hukum dalam
peradaban Yunani dengan peradaban Romawi secara umum ?
II. PEMBAHASAN
Perbandingan perkembangan sejarah hukum Yunani dan Romawi dapat di Kaji
dalam Aspek-Aspek Sebagai Berikut :
1. Pemikiran Hukum
Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum masih
primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah (nomos) baik
semesta alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak adalah budak, dan
sebagainya. Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4 SM ada beberapa
filosof yang mengartikan hukum secara berbeda. Plato (427-347 SM) yang menulis
buku Politeia dan Nomoi memberikan tawaran pengertian hukum, dan hakikat
hukumnya.2 Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut
Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat
kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap
kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan
dalam buku Nomoi, Plato menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum.
2
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 11
Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles,
manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut
dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi
hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang
mencerminkan aturan alam, Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang
dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut
bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang
baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang menjelaskan tentang
hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan
yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".3
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh hukum
asing saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau pun
hukum Semits terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang tertulis
pada masa Romawi, orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan undang-
undang tersebut karena mereka terus-menerus mengembangkan hukumnya untuk
menemukan hukum-hukum yang baru.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak
terlalu besar karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis.
Walaupun demikian pemikiran-pemikiran hukum yang cukup berharga lahir pada
zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum Kodrat. Ia mengajakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio yang murni dan oleh
karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum alam.
2. Hukum dan Pemerintahan
3
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 23
Para ahli pikir Yunani banyak mengembangkan pemikirannya di bidang politik
dan kenegaraan, serta menghasilkan berbagai teori yang masih diberlakukan sampai
saat ini. Mereka sudah mengenal dan mempraktikkan sistem demokrasi yang baik
pada saat orang-orang dari negara lain masih mempraktikkan sistem kekuasaan yang
feodal, aristokratis, dan mistis. Bangsa Yunanilah yang pertama kali di dunia ini yang
mengembangkan sistem hukum dan kenegaraan yang bersifat demokratis. Bahkan,
jika dunia ini tidak pernah memiliki orang-orang Yunani, mungkin peradaban dunia
tidak semaju saat ini. Banyak bukti menunjukkan bahwa di wilayah-wilayah dunia
yang kurang mendapat pengaruh dari hukum Yunani Romawi, peradabannya masih
terbelakang. Pada daerah-daerah yang dikuasai oleh ajaran Buddha yang kurang
mendapat sentuhan hukum Yunani-Romawi, kata demokrasi merupakan barang
mewah, seperti yang terjadi di Tibet,dan Miyanmar.4
Namun, menurut sejarah hukum tidak begitu dikembangkan di zaman Yunani,
karena hampir tidak terdengar nama ahli hukum besar atau kitab undang-undang yang
komprehensif. Sejarah hanya meninggalkan beberapa undang-undang saja di Yunani,
seperti Undang-Undang Draco (621 SM) Undang-Undang Solon (594 SM) yang
disusun di bawah pengaruh Mesir, Undang-Undang Dura dan Undang-Undang
Gortyn (450-460 SM) yang sebagian isinya dapat terbaca sampai sekarang.
Peninggalan Yunani tersebut berbeda jauh dengar peninggalan perundang-undangan
dan dokumentasi hukum dari Mesir atau Babilonia, yang sangat banyak jumlahnya
dan dapat terbaca sampai sekarang. Di samping dalam bentuk undang-undang, hukum
Yunani juga dapat terbaca dalam orasi-orasi para advokat di pengadilan dalam
membela kliennya. karena sistem peradilan Yunani memakai sistem juri, sehingga
kelihaian berorasi dari para advokat di depan pengadilan sangat diperlukan dalam
rangka meyakinkan para juri yang bukan ahli hukum dan umumnya tidak pernah
belajar hukum tersebut. Di samping sistem juri, sistem pemeriksaan saksi melalui
proses eksaminasi silang (cross examination) sudah dikenal di zaman Yunani, seperti
yang pernah dipraktikkan dalam pengadilan Socrates.5
Secara politik, orang-orang Yunani terpecah-pecah ke dalam berbagai polis-
polis, sepeti Ithaca, Attica, Sparta, Athena, dan lain-lain. Semula, sistem hukum di
Yunani berdasarkan pada kebiasaan orang-orang Aria, dengan berbagai variasi di
sana sini. Bahkan, seperti terjadi di Sparta, individu dituntut untuk mengabdi secara
penuh kepada masyarakat dan negara yang umumnya dikuasai oleh kaum tentara,
4
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 164
5
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 165
sehingga hak-hak individu hampir-hampir tidak dikenal. Sebaliknya di Athena,
meskipun individu harus mengalah kepada masyarakat dan negara, tetapi hak-hak
dari warga negara tetap diakui dan kepentingan perdagangan tetap dijaga.
Dalam sistem pemerintahan di Zaman Romawi mulai dikenal dengan teori
siklus Polybius. Siklus ini menjelaskan bahwa, sistem pemerintahan akan terus
bergulir bagaikan siklus hidup yang berputar. Pemerintahan aristokrasi pada mulanya
dipandang baik, kemudian munculah pertentangan-pertentangan dan akhirnya
pemerintah dan masyarakat tidak menyukai sistem aristokrasi yang dipimpin oleh
aristokrat dan berubah menjadi sistem oligaki, begitulah seterusnya.6
3. Sistem Peradilan
Pengadilan di zaman Yunani dilakukan di tempat yang berbeda-beda menurut
perbedaan kasus dan juga perbedaan zaman. Misalnya di Athena, pengadilan
dilangsungkan di pasar-pasar, di Angora, di lembah Areopagus (khusus untuk kasus-
kasus pembunuhan), di lembah Pnyx, dan lain-lain.
Lembah Areopagus dipilih sebagai tempat pengadilan untuk kasus-kasus
pembunuhan, khususnya di periode-periode awal zaman Yunani. Hal itu disebabkan
lembah ini terkenal dengan legenda pembunuhan yang dilakukan oleh Orestes.
Menurut legenda, Orestes membunuh ibunya yang melakukan perzinaan sehingga
Orestes dibawa ke pengadilan. Para penuntut umum menuntut Orestes bahwa
tindakannya hanyalah sebagai tindakan balas dendam. Bahkan, dewi Athena konon
menyatakan bahwa jika dia harus memberikan suara dengan voting, suaranya adalah
untuk membebaskan Orestes. Akhirnya, keputusan juri memang membebaskan
Orestes. Kemudian, Orestes membangun sebuah monumen memorial keadilan dan
menulis kata-kata dewi Athena: "Sesungguhnya pengadilan ini tidak korup dan
merupakan penjaga harta kita yang tidak pernah Tidur.
Salah satu perwujudan dari wajah demokrasi di dalam bidang hukum dan
keadilan di Yunani adalah terbentuknya proses pengadilan yang diputuskan oleh
perwakilan dari masyarakat umum. Dari sinilah sebenarnya awal mula konsep
6
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 39
pengadilan dengan sistem juri yang sekarang banyak dianut oleh negara-negara yang
punya tradisi hukum Anglo Saxon.
Juri untuk pengadilan dipilih oleh sembilan magistrat, di mana masingmasing
mewakili sukunya dan yang kesepuluh dipilih oleh panitera pengadilan. Ada 10 pintu
masuk ke pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua puluh kamar,
masing-masing dua untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing 10 untuk setiap
suku, di mana disimpan alat pemberian suara dari para juri yang dipergunakan untuk
memungut suara. Setiap orang yang di atas umur 30 tahun dapat menjadi juri, asalkan
mereka bukanlah debitur terhadap negara dan mereka belum kehilangan hak-hak nya.
Jika ada orang yang tidak cakap bertindak sebagai juri, maka informasi diberikan
kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika terbukti tidak cakap, maka dia akan
dikenakan hukuman badan atau hukuman denda.
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan, kasus-
kasus publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari dua
pengadilan dan terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang juri
yang merupakan kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak
suara yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan
tulis, selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih
banyak, dianggap yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka yang
dimenangkan adalah tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri memutuskan
tentang jumlah suatu ganti rugi. Ketika semua telah lengkap, juri menerima
bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap
sebagai berikut :7
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap
sidang ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk
memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya,
7
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 182-183
penggugat sendiri yang membawa surat panggilan tersebut ke alamat tergugat.
Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat. Bahkan, jika tergugat merupakan
orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan meninggalkan kota itu
untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap tergugat dan
membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.
b.Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan
magistrat adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang
sembrono atau yang dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat,
penggugat mengajukan gugatan dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat
tidak hadir, maka akan langsung diputus untuk menerima gugatan, kecuali di
kemudian hari dapat menunjukkan alasan ketidakhadirannya yang dapat diterima.
Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini dianggap ada dasar bagi suatu gugatan,
maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu tahap pemeriksaan
pendahuluan.
d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung
suara. Suara terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut
berkenaan dengan putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang menang
dan siapa yang kalah, juga putusan tentang besarnya ganti rugi. Pelaksanaan putusan
pengadilan (eksekusi), menurut sistem hukum Yunani, diserahkan kepada para pihak
yang bersangkutan dan hanya menyangkut dengan kepemilikan; tidak boleh
menyentuh personal. Jadi, menurut sistem hukum Yunani, pihak yang menang tidak
boleh menangkap atau menjadikan budak terhadap pihak yang kalah. Ketentuan ini
membedakan hukum Yunani dengan sistem hukum Romawi di masa-masa awal
perkembangannya.
Salah satu ciri peradilan Romawi pada saat itu khususnya terkait hukum acara
perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam peradilan, karena masalah
perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat banyak sehingga dianggap hanya
masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak merangsang, bahkan sangat
menghambat, upaya pencari keadilan dalam membawa kasus-kasusnya ke
pengadilan.8
Pengadilan dalam menjalankan fungsi yudikatifnya memerlukan prosedur
tertentu yang cenderung rigid. Di sepanjang sejarah hukum Romawi, prosedur
pengadilan dibagi ke dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut :9
a. Tahap hearing preliminary.
b. Tahap proses pengadilan penuh.
Tahap hearing yang bersifat preliminary dilakukan sebelum hakim memeriksa
perkaranya di pengadilan. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan persoalan di antara
para pihak, di samping untuk mengangkat hakimnya. Karena itu, kedua belah pihak
wajib hadir dalam hearing preliminary tersebut. Dalam proses hearing preliminary
ini, kedua belah pihak saling bertukar argumen dalam hubungan dengan kasus yang
bersangkutan. Prosedurnya sangat rigid sehingga salah sedikit raja dapat
menyebabkan para pihak kehilangan kasusnya. Mirip seperti sistem writ dalam sistem
hukum Anglo Saxon.
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan,
yaitu sebagai berikut :
a. Tindakan Sacramentum.
b. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio.
c. Tindakan Concictio.
8
Munir Fuady, ibid, hlm. 209
9
Munir Fuady, ibid, hlm. 211
Asal muasal tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di antara para pihak
yang bersengketa, tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian kasusnya
diputuskan dengan ordeal atau pun bantuan supranatural. Dalam perkembangan
selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi tindakan sumpah yang disertai dengan
pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang untuk sementara dimenangkan
oleh Magistrate.
Prosedur sacramentum berbeda antara gugatan berkenaan dengan benda (in
rem) dan prosedur jika gugatan berkenaan dengan pribadi (in personam). Prosedur
sacramentum juga memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan
persoalannya dan waktu yang tersedia cukup untuk itu, karena proses pengadilan baru
boleh dilangsungkan paling cepat dalam waktu 30 hari setelah proses sacramentum.
Sedangkan, tindakan iudicis arbitrive postulatio, prosedur hearing
preliminary dalam bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh undang-
undang yang berlaku. Prosedur iudicis arbitrive postulatio pada prinsipnya serupa
dengan prosedur sacramentum, tetapi lebih cepat dan sederhana. Karena, berbeda
dengan prosedur sacramentum, untuk prosedur iudicis arbitrive postulatio ini tidak
memerlukan waktu tunggu sampai 30 hari untuk bisa melanjutkan proses pengadilan,
tidak ada sumpah, dan tidak ada pula kewajiban memberikan uang jaminan.
Misalnya, tindakan iudicis arbitrive postulatio ini dimungkinkan untuk gugatan
berdasarkan stipulatio (kontrak formal), pembagian warisan, dan pembagian harta
gono-gini.
4. Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini
untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang
satu mengancam atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam
hukum pidana misalnya pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu
tindak pidana pembunuhan. Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke
dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana.10
Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu gugatan
hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi kontrak dapat
mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada gilirannya dapat
menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan penganiayaan dan
pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, dalam hal ini.
10
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 174
11
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 187
hukum-hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan penghinaan, penganiayaan,
dan pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak yang tidak bersentuhan dengan
salah satu dari tiga unsur tersebut tidak mendapatkan tempat di pengadilan, hanya
diatur dan diberikan sanksi oleh moral dan agama.12
5. Hukum Perdata
Di bidang hukum perdata, sebenarnya hukum Yunani juga berkembang relatif
baik. Di samping beberapa kontrak yang telah disebutkan, banyak kontrak lain yang
berhasil ditemukan oleh sejarah hukum peninggalan zaman Yunani. Di samping itu,
prinsip hukum perkawinan dalam hukum Yunani bersifat monogami. Namun
demikian, seperti dalam kebanyakan hukum kuno, kehadiran wanita teman kumpul
yang kedua, meskipun bukan isteri, dapat ditoleransi, terutama oleh hukum kebiasaan
di Yunani. Di samping itu, apa yang disebut dengan perjanjian kawin juga dikenal
dalam sistem hukum Yunani, tetapi dalam suatu perkawinan, seperti dalam sistem
hukum13 Romawi, isteri dianggap "dibeli" oleh suaminya, sehingga kedudukan isteri
sangat lemah dan sangat jauh di bawah kedudukan suaminya. Hanya di Sparta yang
agak sedikit berbeda, karena di sini kedudukan isteri dalam suatu ikatan perkawinan
lebih baik. Sebab, di Sparta, masalah perkawinan oleh hukum tidak dianggap masalah
personal, tetapi merupakan masalah negara dan isteri menganggap dirinya sebagai
agen dari negara. Semua orang diwajibkan kawin oleh negara dan seorang bujang tua
yang tidak kawin-kawin malahan dihukum oleh negara dan pembayaran-pembayaran
tertentu (seperti pembayaran sebagai penghargaan) tidak boleh diberikan kepada
orang lajang. Demikian hukum di Sparta.Di Romawi kodifikasi hukum Romawi
tertua yang pernah ada saat ini adalah dokumen "Hukum Dua Belas Pasal" (The
Twelve Tables) yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan ditulis di lempengan
tembaga. Hukum Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The Law of The
King)" yang merupakan gambaran bagaimana kaidah–kaidah hukum dan kebiasaan
12
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 175
13
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009, hal 202
yang saat itu berlaku di Romawi. Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun lahirnya
sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi
sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum
Eropa Kontinental, termasuk Indonesia.
Hukum Dua Belas Pasal disusun oleh suatu komisi yang terdiri atas 10 orang
(Decemviri) yang diangkat pada tahun 455 SM. Banyak materi-materi yang di atur
mengenai keperdataan seperti utang piutang, waris, perkawinan dan lainnya. Hukum
keperdataan Romawi terbilang cukup maju, pada saat itu pun telah muncul apa yang
disebut sebagai kontrak, bahkan dalam perkawinan.
Berdasarkan keseluruhan aspek tersebut dapat diketahui perkembangan hukum
pada zaman Romawi memang cukup dominan dibandingkan zaman Yunani.
Perkembangan hukum Romawi banyak ditandai dengan adanya kodifikasi-kodifikasi
hukum dan terus diadopsi oleh negara-negara sekarang seperti Jerman, Prancis,
Belanda hingga menjadi suatu sistem hukum yaitu Eropa Kontinental.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam buku tersebut Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan
bahwa dalam negara terdapat kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan
keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan
tempat dan tugasnya. Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang mencerminkan
aturan alam, Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh
manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut bahwa
pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang baik dan
pantas bagi orang yang hidup bersama.Slogan yang menjelaskan tentang hakikat
keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan yang sama,
kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir metafisika,
seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi san¬gat spektakuler
dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak terlalu besar
karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis. Di samping itu, apa
yang disebut dengan perjanjian kawin juga dikenal dalam sistem hukum Yunani,
tetapi dalam suatu perkawinan, seperti dalam sistem hukum Romawi, isteri dianggap
"dibeli" oleh suaminya, sehingga kedudukan isteri sangat lemah dan sangat jauh di
bawah kedudukan suaminya.
Demikian hukum di Sparta.Di Romawi kodifikasi hukum Romawi tertua yang
pernah ada saat ini adalah dokumen "Hukum Dua Belas Pasal" (The Twelve Tables)
yang dibuat sekitar tahun 451-450 SM dan ditulis di lem¬pengan tembaga. Hukum
Twelve Tables disebut juga "Hukum dari Raja (The Law of The King)" yang
merupakan gambaran bagaimana kaidah–kaidah hukum dan kebiasaan yang saat itu
berlaku di Romawi. Hukum Dua Belas Pasal telah menjadi basis bagi sistem hukum
yang dipraktikkan di negara-negara yang men¬ganut sistem hukum Eropa
Kontinental, termasuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Oleh:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1 R. Abdoel Djamal, Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta : Rajawali Press, 1984). hlm 6
2 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005). hlm. 2
3 Abintoro Prakoso. Sejarah Hukum. (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2019). hlm 2
4 R. Abdoel Djamal. Loc.Cit.
menyusun dalil (setting the clausule), dan kecenderungan (tendention), menarik
kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang setiap fakta, konsep, kaidah, dan aturan
yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku.5 Baik yang secara kronologis
dan sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan apa yang terjadi di
masa kini, baik seperti yang terdapat dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan,
terutama penekananya atas karakteristik keunikan fakta dan norma tersebut, sehingga
dapat menemukan gejala, dalil, dan perkembangan hukum di masa yang lalu yang
dapat memberikan wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya, dalam
mengartikan dan memahami hukum yang berlaku saat ini. 6
B. Rumusan Masalah:
PEMBAHASAN
10Yoyon Darusman Dan Bambang Wiyono, Teori Dan Sejarah Perkembangan Hukum. (Tangerang
Selatan: Unpam Press 2019) hlm. 46.
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut:11
Betapa pentingnya sejarah bagi suatu masyarakat, juga pernah ditegaskan oleh
Barzan dan Graaf, yaitu12:
13 Guy Carleton Lee. Historical Jurisprudence. (New York, USA: The MacMillan Company, 1900).
Kerajaan Konstantinopel (Bizantium) merupakan pecahan Kerajaan Romawi yang
berakhir pada tahun 1436 M. Kemudian hukum tersebut dikembangkan lagi oleh
Nessa-bangsa lain yang telah menerapkan hukum Romawi dan terus berkembang
sampai saat ini dalam bentuk tradisi hukum Eropa Kontinental, atau yang disebut
dengan sebutan tradisi hukum Civil Law. Kemudian, satu set hukum yang disebut
dengan Lex Aquilia berlaku di Romawi yang sebenarnya merupakan penerapan
kaidah-kaidah hukum yang ada sebelumnya, termasuk hukum dalam The Twelve
Tables.14 Untuk sekadar mendapatkan gambaran bagaimana hukum dalam Lex
Aquilia ini, dapat dilihat dalam chapter pertamanya yang mengatur sebagai berikut:
Sebagaimana diketahui bahwa zaman Romawi dapat dibagi ke dalam fase: (1)
kerajaan, (2) republik, dan (3) imperium. Apa yang menjadi sumber hukum Romawi
di masing-masing fase tersebut berbeda satu sama lain. Sumber-sumber hukum
Romawi di zaman tersebut adalah sebagai berikut:15
Selain Corpus Juris Civilis yang terkenal dan The Twelve Tables (tahun 450 SM),
sebenarnya di Romawi masih banyak undang-undang lainnya, yang terus menerus
diperbaiki atau dibuat yang baru. Setelah tahun Masehi masih banyak aturan hukum
yang dibuat di masa Romawi, termasuk tentunya Code Justinian yang sangat terkenal
dan berpengaruh dan ini menjadi bukti sejarah bahwa memang bangsa Romawi
merupakan bangsa yang besar dalam penciptaan hukum, bahkan merupakan bangsa
terbesar di sepanjang sejarah dunia ini. 18
Dalam sejarah hukum, hukum Romawi Klasik tertulis yang paling tua yang
telah ditemukan saat ini adalah “Hukum Dua Belas Pasal” (The Twelve Tables) atau
“Hukum dari Raja” (The Law of The King) yang ditulis di atas 12 tablet tembaga,
meskipun ada riwayat yang mengatakan bahwa undang-undang tersebut ditulis di atas
tablet gading. Dimana dibuat sekitar tahun 451-450 SM yang merupakan gambaran
bagaimana kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan yang saat itu berlaku di Romawi.
Karena itu, tahun 450 SM dianggap tahun lahirnya sistem hukum Eropa Kontinental
yang dipraktikkan di negara-negara, termasuk Indonesia.
Sebelum era The Twelve Tables, tidak banyak peninggalan hukum Romawi
yang dapat ditemukan oleh sejarah hukum. Bahkan, sampai sekarang masih ada yang
mempertanyakan apakah yang ditulis dalam The Twelve Tables itu hukum Romawi
yang sedang berlaku atau hukun Yunani? setidak-tidaknya pengaruh dari hukum
Yunani terhadap materi dari The Twele Tables sangat besar.
19 Fritz Schulz. History Of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At The Clarendon Press,1946
TABLE I : Prosedur Beracara di Pengadilan,
Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan. karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat banyak
sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat upaya pencari keadilan dalam membawa
kasus-kasusnya ke pengadilan. konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara dalam
kasus-kasus perdata ialah terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi dalam
perkara perdata, antara lain sebagai berikut:
Sebagai Negara yang sistem hukumnya sudah relative maju, tentu pembuatan
kontrak sehari-hari sudah banyak dilakukan oleh masyarakatnya. Selain itu, kontrak
perkawinan antara suami atau calon suami dengan isteri atau calon isteri juga sudah
banyak terjadi di zaman Romawi. Di samping itu, putusan pengadilan tertulis di
Romawi juga pernah ditemukan oleh sejarah hukum. Rekaman putusan pengadilan
dalam kasus perdata yang ditemukan di dekat Genoa dan ditulis di atas lempengan
perunggu, pada tahun 117 SM. Putusan pengadilan ini berkenaan dengan selisih batas
wilayah antara dua suku local. 23
22 C.G. Weeramantry. An Invitation To The Law. Australia : Butterworths Pty Limited, 1982.
23 Ibid
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Saran:
Saran yang dapat dikemukakan berkenaan dengan makalah ini yaitu untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan pengetahuan yang lebih luas lagi
disarankan untuk membaca lebih referensi-referensi lain lagi mengenai sejarah
perkembangan hukum Romawi.
Daftar Pustaka
Lee, Guy Carleton. Historical Jurisprudence. New York, USA : The MacMillan
Company, 1900.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dilihat dari etimologi asal kata, sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti
terjadi, syajarah berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa
inggris history; Bahasa latin dan Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau
istor berarti orang pandai.1 Dalam bahasa Jerman disebut “Geschichte” yang
berasal dari kata geschehen, berarti “sesuatu yang terjadi”. Istilah “Historie”
menyatakan kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia. Di kawasan
orang-orang berbahasa Melayu termasuk Indonesia, secara sederhana kata sejarah
diartikan sebagai suatu cerita dari kejadian masa lalu yang dikenal dengan sebutan
legenda, babad, kisah, hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu
tanpa bukti-bukti sebagai hasil suatu penelitian. 2
Umumnya cerita itu dijadikan dongeng yang turun temurun. Di samping itu,
sejarah dapat diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian-kejadian masa
lalu. Ada yang mengartikan sejarah merupakan penulisan sistematik dari
gejalagejala tertentu yang mempunyai pengaruh pada suatu bangsa atau kelompok
sosial tertentu dengan penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala itu.
Sebagai ilmu sosial, sejarah meneliti pengalaman manusia dengan usaha
mengungkapkan kebenarannya tentang manusia dan masyarakat. Memang banyak
arti yang diberikan untuk mendefinisikan sejarah, tetapi kiranya tidak boleh lupa
bahwa apa yang diungkapkan dalam penelitian mengandung unsur unsur :
(a) pencatatan (penulisan) dari hasil penelitian,
(b) kejadian-kejadian penting (factual) masa lalu,
(c) kebenaran nyata (konkret).
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari
ilmu sejarah (bukan cabang dari ilmu hukum), yang mempelajari (studying),
menganalisa (analising), memverifikasi (verifiying), menginterpretasi
(interpreting), menyusun dalil (setting the clausule), dan kecenderungan
(tendention), menarik kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang setiap fakta,
konsep, kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku.3
Baik yang secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta
1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2 R. Abdoel Djamal, Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta : Rajawali Press,
1984). Hlm 6
3 Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009).Hlm 1
ketersentuhannya dengan apa yang terjadi di masa kini, baik seperti yang terdapat
dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan, terutama penekananya atas
karakteristik keunikan fakta dan norma tersebut, sehingga dapat menemukan gejala,
dalil, dan perkembangan hukum di masa yang lalu yang dapat memberikan
wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya, dalam mengartikan dan
memahami hukum yang berlaku saat ini.
Soedjono D, menjelaskan bahwa, sejarah hukum adalah salah satu bidang
studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam
suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda
karena dibatasi oleh perbedaan waktu. 4
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dari asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
membandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah hukum ini terutama berkait dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam
hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-1861). Dalam studi sejarah hukum
ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang
bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-
masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa sistem hukum itu tumbuh, maka
yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang
dengan yang lalu. Apalagi dapat diterima bahwa hukum sekarang berasal dari yang
sebelumnya atau hukum pada masa-masa lampau, maka hal itu berarti, bahwa
hukum yang sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa
lampau (Soedjono Dirdjosisworo).5
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,
sedangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dalam hal itu, yakni hukum. Apa yang
berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, serta maksud dan
tujuan sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga “dalil-dalil
atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan”. Jadi, dengan demikian
permasalahan yang dihadapi sejarawan hukum tidak kurang “imposible” daripada
setiap penyelidik dalam bidang apapun. Namun dengan mengutarakan bahwa
sejarawan hukum harus berikhtiar untuk melakukan penulisan sejarah secara
integral, nampaknya Van den Brink terlampau jauh jangkauannya. Justru pada
tahap terakhir ia melangkahi tujuan spesifik sejarah hukum ini. Sudah barang tentu
bahwa sejarawan hukum harus memberikan sumbangsihnya kepada penulisan
secara terpadu. Bahkan sumbangsih tersebut teramat penting, mengingat peran yang
B. Rumusan Masalah
6 John Gilissen & Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Adita
Utama, 2009). Hlm 11
7 Kuntowijoya, Op.cit, hlm 12
Bab II
Pembahasan
Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum berasal dari
Bangsa Romawi. Bangsa Romawi dianggap mempunyai hukum yang paling baik
dan sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di
negara-negara lain.
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada
bandingannya dengan sejarah hukum manapun di dunia ini. Perkembangan hukum
Romawi yang spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut8:
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (hakim dan legislatif
sekaligus)
Sistem hukum Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat
menghargai peran dan eksistensi dari profesi hukum. Praetor yang
merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Praetor sangat berperan
dalam membentuk dan mengembangkan hukum di Romawi.
2. Faktor penghormatan terhadap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikan appresiasi yang tinggi terhadap profesi
advokat. Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam bidang
hukum Mereka ini tidak hanya mengajukan argumentasi cerdas ketika
membela klien kliennya, melainkan juga memberikan pendapat-
pendapatnya dalam ben buku-buku hukum. Cicero adalah salah satu dan
yang paling terkenal di antar advokat Romawi saat itu.
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga
memerlukan satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga
memiliki waktu yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi
saja berkuasa sampai kurang lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan
Romawi, yaitu Konstantinopel, malahan bisa bertahan lebih kurang 1000
tahun lagi setelah keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis mereka menguasai
dunia selama dua milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)
9 Syachran Basyah, Rangkuman Perkuliahan Ilmu Negara. (Bandung : Alumni, 1990). Hlm
112
Ismus” adanya perwakilan yang menghisap dari pihak Caesar terhadap
kedaulatan rakyat. Karena itu hal tersebut dinamakan pula “Absorptieve
Representation”. Dan untuk keperluan orang Romawi mencari dasar-dasar
atau landasan-landasan hukumnya agar supaya segala tindakan raja itu yang
menyeleweng dari kedaulatan rakyat dapat dibenarkan dan dihalalkan.
d. Masa Dominat
Yaitu masa para kaisar telah terang-terangan dan tanpa malu-malu lagi
menjadi raja mutlak, bertindak sewenang-wenang memperkosa hukum dan
menginjak-injak perikemanusiaan. Hal mana terlihat ada manusia yang
dibakar hidup-hidup atau diadukan dengan manusia lagi, para gladiator atau
dengan binatang buas seperti singa di arena terbuka untuk umum dan
ditonton sebagai bahan hiburan oleh kaesar dan para pengikutnya sambil
minum-minum anggur, makan makanan yang lezat, sedangkan rakyat
Romawi masa itu sedang menderita kelaparan.
Di masa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat
negara yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai
berikut10:
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan raja,
meski pun Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki
kewenangan terhadap semua aspek pemerintahan dan hukum. Mereka juga
memiliki kewenangan sebagai panglima perang yang ditunjuk oleh Comitia
Centuriata, tetapi memerlukan ratifikasi dari Parlemen untuk masa jabatan
satu tahun.
2. Praetor
Praetor pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Praetor merupakan
semacam pejabat di Kementerian Kehakiman di zaman modern, yang
diangkat oleh Comitia Centuriata. Praetor bertugas untuk mengatur masalah
administrasi yang berkenaan dengan hukum sehingga mempunyai banyak
kontribusi terhadap perkembangan hukum Romawi.
3. Quaestor
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan praetor yang
dikhususkan Quaestor di bidang finansial, administrasi criminal justice,
pejabat hukum yang penting menigatu di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SMP. Sesuai namanya, censor
Censor memiliki tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan
untuk menentukan tentang siapa saja yang mempunyai hak pilih.
11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008, hlm 267
kekaisaran. Terutama Kaisar Hadrianus (± 125) yang telah menyuruh menyusun
Kitab Undang-undang dan memajukan kesatuan peradilan.
Pada wafatnya Theodosius tahun 395 Kekaisaran dibagi antara dua
puteranya, dan begitulah jadinya Kekairan Romawi I Timur atau Byzantium dan
Kekaisaran Romawi I Barat. Pada tahun 476 seorang Jerman yang bernama
Odoaker, menurunkan Kaisar Romawi Barat yang terakhir dari tahta. Tamatnya
Sejarah Lama merupakan permulaan Abad Pertengahan.
Peradaban Greka-Romawi tidak lenyap. Pada permulaan Abad
Pertengahan, Kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium sangat maju.
Kekuatannya kemudian menjadi lemah karena perang dengan orang-orang
Persia Baru yang membangun suatu kerajaan besar di Asia.
Istilah hukum Romawi meliputi sistem hukum Romawi. Perkembangan
hukum Romawi telah berlangsung selama ribuan tahun - dari Leges Duodecim
Tabularum tahun 439 SM hingga Corpus Juris Civilis (528–35 AD) yang
diperintahkan oleh Kaisar Justinianus I. Undang-undang Justinianus berlaku di
Romawi Timur (331–1453), dan juga menjadi dasar hukum di Eropa, bahkan
hingga ke Ethiopia, Jepang, dan bekas koloni negara-negara Eropa.
Salah satu ciri dari hukum Romawi saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan hukum acara perdata adalah minimnya keterlibatan negara dalam proses
peradilan. Karena masalah perdata tidak berurusan dengan kepentingan rakyat
banyak sehingga dianggap hanya masalah pribadi yang bersangkutan. Hal ini tidak
merangsang, bahkan sangat menghambat upaya pencari keadilan dalam membawa
kasus-kasusnya ke pengadilan. Konsekuensi dari minimnya keterlibatan negara
dalam kasus-kasus perdata ialah terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum Romawi
dalam perkara perdata, antara lain sebagai berikut12:
1. Penggugat harus mengundang sendiri tergugat untuk datang ke pengadilan.\
2. penggugat bertanggung jawab penuh untuk mendatangkan penggugat untuk
menghadap pengadilan.
3. penggugat bertanggung jawab penuh untuk membawa saksi-saksi ke
pengadilan
4. penggugat bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan (eksekusi)
sendiri terhadap putusan pengadilan.
5. karena antara pemanggilan ke pengadilan dan putusan pengadilan banyak
tahap yang harus dilalui dan diatur secara sangat rigid, yang apabila keliru
sedikit dapat menyebabkan kekalahan dari penggugat dan banyak yang
13 Loc.Cit
14 Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited.
Hal. 19
15 Munir Fuady, Op.Cit, hlm 223
menyerang dan membakar Roma sekitar tahun 390 M. Apa yang tertinggal dan
dapat dibaca oleh rakyat di kemudian hari hanyalah edisi tidak resminya, yaitu
kutipan-kutipan dari beberapa penulis, seperti dari Cicero dan Gelius, ditambah
dengan komentar dari beberapa ahli hukum lain, seperti dari Gaius dan Labeo. Atau
dapat pula diketahui dari peninggalan lama yang lain, seperti dalam Resolusi Senat
tahun 86 SM.
Undang-Undang 12 Pasal (The Twelve Tubles) tersebut berisi hal-hal
sebagai berikut16 :
TABLE I : Prosedur Beracara di Pengadilan,
TABLE II : Acara Pengadilan (Lanjutan).
TABLE III : Utang Piutang.
TABLE IV : Hak-hak dari Ayah (Paterfamilias) terhadap Anggota Keluarga
TABLE V : Perwalian dan Hukum Waris.
TABLE VI : Perolehan dan Pemilikan Benda.
TABLE VII : Hak-hak Atas Tanah.
TABLE VIII : Perbuatan Melawan Hukum dan Delik.
TABLE IX : Hukum Publik.
TABLE X: Hal-hal yang Suci/Penguburan.
TABLE XI Tambahan I (Tentang Perkawinan).
TABLE XII: Tambahan II (Tentang Hukum Kebiasaan/Pidana).
A. Kesimpulan
B. Saran
Disusun oleh:
1
https://www.ancient.eu/trans/id/1-16346/hukum-mesir-kuno/ diakses pada tanggal 14 Desember
2020 Pukul 21.00 Wita
1
tersebut, dan satuan kepolisian yang bertugas menegakkan serta menyeret para
pelanggar aturan ke meja hijau.
Hingga saat ini, tidak atau belum ditemukan kaitan yang menghubungkan
kaidah (code) hukum bangsa Mesir dengan beragam dokumen (legal) bangsa
Mesopotamia seperti Hukum Ur-Nammu (Code of Ur-Nammu) atau Hukum
Hammurabi (Hammurabi’s Code). Namun kaitan ini bisa sangat mungkin terjadi
mengingat preseden dalam mengambil putusan sidang mengacu pada kasus yang
terjadi dalam kurun Periode Dinasti Awal (Early Dynastic Period, sekitar 3150
sampai sekitar 2613 SM) sebagaimana bukti penggunaan preseden tersebut pada
tahun-tahun awal dari masa Kerajaan Tua (Old Kingdom, sekitar 2613-2181 SM).
Preseden hukum ini bakal terus digunakan dalam pengambilan putusan legal
selama masa Kerajaan Tengah (Middle Kingdom, 2040-1782 SM) dan seterusnya
sepanjang sisa kesejarahan Mesir (Kuno).
Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik menulis makalah dengan
judul “SEJARAH SISTEM HUKUM MESIR KUNO”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana tentang sejarah sistem hukum mesir kuno?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui sejarah sistem hukum mesir kuno.
2. Tujuan Subyektif
Untuk memenuhi tugas individual sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh nilai lulus pada Mata Kuliah Sejarah Hukum dalam Program
Studi S-2 Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Samratulangi Tahun
Akademik 2020/2021.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Hukum Mesir Kuno
Sebagai salah satu negara besar tertua di dunia, Mesir memiliki sejarah yang
panjang dan komprehensif tentang sejarah hukum. Sejarah hukum di Mesir kuno
diperkirakan sudah dimulai sejak abad 40 SM, keperkasaan raja-raja Mesir baru
berhenti setelah Mesir ditaklukkan oleh raja dari kekaisaran Romawi dalam
pertempuran teluk Actium pada tahun 31 SM. Hukum Mesir sendiri akhirnya pudar
dan digantikan oleh beberapa system hukum, termasuk hukum Yunani, dipengaruhi
juga oleh hukum Romawi, Hukum Islam dan kemudian Hukum Prancis.
Meskipun menghulangnya hukum mesir di abad 3 SM, setelah kurang lebih
40 abad perjalanan dalam kemegahannya, proses keruntuhan kedigdayaan hukum
Mesir sebenarnya sudah mulai terlihat beberapa abad sebelumnya, sejak 8 SM
hukum Mesir dapat dikata mulai meredup, hal tersebut dikarenakan berbagai
peristiwa sebagaimana berikut:
1. Perang saudara yang berkecamuk di Mesir;
2. Penaklukan Mesir oleh bangsa Assyria;
3. Penaklukan Mesir oleh bangsa Persia;
4. Penaklukan Mesir oleh bangsa Yunani;
5. Penaklukan Mesir oleh Raja Caesar dari Romawi.2
Setelah kurang lebih 4000 tahun berkuasa, mesir kemudian hanya menjadi
sebuah provinsi dari Roma, sengan raja terakhirnya seorang ratu terkenal, yaitu
Cleopatra (68-30SM). Ratu Cleopatra pernah membunuh saudara laki-lakinya
tahun 44 SM, tetapi kematian Cleopatra sendiri juga tragis, yaitu bunuh diri pada
tahun 30 SM. Kemudian, selama 7 abad Mesir berada di bawah control Romawi
dan Bizantium. Bersamaan dengan tumbangnya kerjaan Mesir, pengaruh
hukumnya sedikit demi sedikit menghilang dan mulai digantikan dengan system
hukum para penjajah, yaitu system hukum Romawi sampai kemudian ditaklukkan
oleh orang-orang Arab yang membawa hukum Islam, sebelum datang orang-orang
Prancis yang melakukan kodifikasi hukum Prancis.3
2
Munir Fuady, 2013, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 101
3
Ibid., hlm.102
3
Dalam sejarah hukum Mesir Kuno, Undang Undang tertua yang pernah
diketahui sekarang adalah Undang Undang yang berlaku setidak-tidaknya pada
tahun 4240 SM, sedangkan Raja Firaun pembuat Undang Undang yang pertama
yang tercatat dalam sejarah Mesir Kuno adalah Raja Menes (hidup di sekitar tahun
3400 SM), Raja Menes (3400 SM), yang juga dikenal dengan julukan “Narmer”.
Raja Menes memerintah Mesir selama kutrang lebih 62 tahun. Ia berhasil
mempersatukan kedua wilayah Mesir tersebut dalam suatu kerajaan sehingga dapat
memberlakukan Hukum Thot kepada seluruh penduduk negeri. Thot adalah dewa
local untuk daerah Delta.4
Raja Menes berhasil mempersatukan Mesir dan juga membuat hukum
tertulis yang bagus, Raja Menes ini dilambangkan dengan seekor sapi jantan,
di mana sapi dianggap binatang suci, karena Raja Menes berhasil mempersatukan
Mesir Atas dan Mesir Bawah, maka Firaun Menes menyebutkan dirinya sebagai
“Raja Utara dan Selatan Mesir”. Kebersatuan Mesir memberi arti yang sangat
penting bagi Kerjaan Mesir. Dengan persatuannya itu, Mesir yang semula jauh
tertinggal kebudayaannya dari Sumeria, yang dimana sekarang terletak di Irak.
Dalam beberapa abad kebudayaan mereka bisa dikata sudah sama, bahkan dapat
dikata jauh melebihi kebudayaan Sumeria dan menjadi pusat kebudayaan termaju
di dunia saat itu, termasuk majunya hukum dan pemerintahannya.
Mesir terdiri atas 42 provinsi, yang bersatu sejak Raja Menes. Mesir dibagi
ke dalam Mesir Atas dan Mesir Bawah. Hukum yang berlaku di Mesir dijalankan
oleh suatu pengadilan yang menerapkan hukum yang bernuansa keadilan yang
tidak memihak, berdasarkan konsep-konsep dari dewi keadilan yang bernama
Ma’at. Pengadilan berjalan dengan fair danterekam dengan baik, yang direkam oleh
juru-juru tulis/panitera handal, diantaranya yang palin terkenal adalah Amenhotep
bin Hapu yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung di Mesir.
Menurut sistem hukum Mesir Kuno, hukuman pidana terhadap para pelaku
kejahatan umumnya bersifat mutilasi, sepeti potong hidung, potong tangan, dan
4
Bunson, 1991, M. The Encyclopedia of Ancient Egypt, Gramercy Books, hlm.133
4
anggota badan lainnya. Di samping itu, dikenal pula hukuman yang lebih ringan,
seperti hukuman pembuangan dari masyarakat setempat dan hukuman pemukulan,
hukuman mati sering dipraktekkan di Mesir tetapi harus dengan persetujuan dari
Raja Firaun.
Jenis-jenis hukuman yang dijatuhkan tergantung kepada jenis kejahatan
yang dilakukan, tergantung pula kepada peranan dari pelaku dalam tindak criminal
yang bersangkutan. Ketika mesir dibawah pemerintahan Ramses III (1200 SM),
terdapat beberapa jenis tindakan kejahatan dengan penjatuhan hukuman yang
berbeda-beda. Contohnya tindakan makar, jika pelakunya adalah pelaku utama
maka hukumannya adalah hukuman mati yang dieksekusi, namun jika tegolong
dalam kelompok kedua, yaitu turut serta atau turut membantu melakukan kejahatan
tersebut, maka ancaman hukumannya adalah hukuman mati dengan jalan bunuh
diri. Sedangkan terhadap pelaku dalam kelompok ketiga, yaitu yang
keterlibatannya lebih ringan, hukumannya adalah potong hidung, potong tangan
dan lain-lain.5
Berikut adalah peninggalan sejarah hukum dari Mesir Kuno dalam dokumen
pengadilan dari Ramses III, yang menyebutkan hukuman mati dengan jalan bunuh
diri, antara lain terbaca sebagai berikut:
“Orang-orang berikut ini dutuduh melakukan kosnpirasi dengan pelaku
utama. Mereka diperiksa di pengadilan khusus; mereka diadili dan
diputuskan bersalah; mereka dibenarkan untuk mati melalui tangannya
sendiri di pengadilan; dan mereka memang melakukannya, karenanya tidak
dieksekusi”.
Dibidang hukum substantive, sudah mengalami perkembangan, seperti hukum
perdata, perkawinan, hukum kontrak, dan lain-lain. Bahkan hukum perburuhan
sudah sangat berkembang saat itu. Meskipun buruh masih dalam suasana kerja
dengan nuansa perbudakan, namun system upah, perumahan karyawan, maslaah
cuti kerja, bahkan pemogokan buruh sudah dikenal di Mesir Kuno pada saat itu.
Pemogokan pertama di dunia adalah pemogokan buruh yang terjadi di Mesir,
sekitar tahun 1170 SM, dalam rangka menuntut pembayaran upah secara penuh
5
Lewis, J. E. 2003, The Mammoth Book of Eyewitness Ancient Egypt. Running Press, hlm. 78
5
oleh para buruh.
Hukum secara umum sangat terkait dengan kebudayaan suatu bangsa,
karena itu hukum di negara Mesir Kuno berkembang seiring dengan perkembangan
kebudayaannya, minimal sejak 4000 tahun sebelum Masehi. Meskipun begitu,
proses peradilan yang sudah tersusun rapi telah ada sejak Mesir diperintah oleh
dinasti keempat (2900 SM- 2750 SM). Dalam hal ini, raja mesir memerintah sesuai
ketentuan hukum yang dianggap utusan Tuhan di bumi, yaitu Matahari Osiris.
Dalam masa ini, ketua hakim selalu dijabat oleh Menteri Utama dari raja. Karena
itu, antara fungsi peradilan dan fungsi pemerintahan tidak dipisah dengan tegas.
Para pegawai departemen pemerintahan juga bertindak sebagai hakim Ketua
Mahkamah Agung sebenarnya merupakan orangnya raja yang sehari-hari berada
dalam istana sebagai Deputi Raja Firaun.
B. Peninggalan Sejarah Hukum Mesir Kuno
Hukum Mesir Kuno sangat bersifat religius, hukum dipandang berasal dari
Tuhan dan dilaksanakan oleh penegak hukum atas supervisi dari raja, yang diyakini
sebagai utusan atau wakil Tuhan di bumi. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum
Mesir Kuno didasarkan atas aturan yang dibuat oleh Raja dan dengan mengikuti
precedent, yakni putusan-putusan pengadilan sebelumnya terhadap kasus-kasus
serupa.
1. Suatu dokumen hukum yang merupakan surat wasiat dari Mery yang dibuat
sekitar tahun 1800 SM di kota Lahun, pada akhir masa kerjajaan
pertengahan.
2. Beberapa dokumen hukum yang dibuat oleh para pegawai dari makan para
raja yang merupakan penduduk dari Deir el-Medina, di sekitar tahun 1200
SM, dokumen tersebut berisi:
a. tentang hak alimony yang dipertahankan oleh seorang laki-laki;
b. tentang persengketaan mengenai penyewaan seekor keledai;
c. tentang sanjungan kepada dewa-dewa yang berisi sabda dari Amenhotep
I;
d. jaminan dari seorang ayah terhadap anak gadisnya bahwa anak gadinya
tidak akan dibiarkan hidup tanpa rumah.
Disamping itu, menurut hukum Mesir Kuno, kedudukan wanita dan laki-
6
laki di Mesir sama derajatnya. Diwaktu yang bersamaan pada saat itu, hukum
di negara-negara lain masih memberikan tempat yang lebih tinggi kepada laki-laki
daripada wanita. Kedudukan wanita yang sederajat dengan laki-laki menyebabkan
wanita dapat melakukan perbuatan hukum, termauk untuk menceraikan suaminya.
Beberapa prinsip hukum yang berlaku di Mesir di masa dinasti ke 12, abad 18 SM
ialah sebagai berikut:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan,
Seorang penguasa dalam memutuskan perkara harus sesuai dengan
kenyataan yang terjadi, seperti ungkapan berikut “Sebab, yang
menyebabkan hal tersebut adalah air dan angin, sehingga terjadi kerugian.
Jadi tidak ada yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.”
2. Prinisp tidak boleh menolak perkara
Bagi seorang penguasa, dalam memeriksa perkara harus memberikan
putusannya. Buat penguasa, apapun masalahnya, harus mengambil
keputusan sesuai dengan peraturan untuk menjawab pihak yang
mengajukan tuduhan. Hakim yang memeriksa perkara tidak boleh
mengatakan bahwa ini bukan wewenangnya.
C. Proses Pengadilan di Mesir Kuno
Hakim di masa mesir Kuno sangat diharapkan untuk selalu berbuat baik dan
adil bagi rakyat Mesir. Kehendak agar pengadilan memutus sesuai kebenaran dan
keadilan terlihat pula dalam sebuah instruksi dari Raja Thutmose III kepada
Rekhmire, ketika dia diangkat sebagai ketua Mahkamah Agung, yang antara lain
berbunyi sebagai berikut:
Aturan hukum diletakkan ke pundak ketua hakim, Rekhmire. Para petugas
dibawa keruang pengadilan; raja memerintahkan agar ketua Mahkamah
Agung, Rekhmire, hadir dalam pengangkatannya itu.
Raja mengatakan: “Perhatian mereka-mereka dalam ruangan sidang
pengadilan. Berhati-hatilah terhadap setiap tindakan. Dukunglah semua
orang dalam kerajaan. Sebagai Ketua Mahkamah Agung, dia tidak boleh
hanya memandang terhadap para pegawai pengadilan dan
councilor….Merupakan kemungkaran kepada Tuhan untuk mempraktikkan
keberpihakan. Kamu harus bertindak sama untuk semua orang; harus
7
memperlakukan sama antara orang dikenal dengan yang tidak dikenal; dan
mereka yang dekat sama dengan mereka yang jauh.6
Proses persidangan memberi kesempatan pertama sekali kepada penggugat
untuk menggugat secara tertulis, dimulai dengan tuduhan, dilanjutkan dengan
fakta- fakta, dan kemudian menunjukkan berapa besar kerugian yang diderita.
Setelah menerima dokumen gugatan dari penggungat, selanjutnya giliran tergugat
untuk menjawab secara tertulis setiap poin dari gugatan, dengan mengatakan bahwa
apakah tergugat melakukan atau tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya,
atau dia melakukannya, tetapi itu bukan suatu kesalahan, ataupun bila dia
melakukannya, hukuman atau ganti rugi tidak sebesar yang digugat.
Proses selanjutnya adalah replik dari penggugat dan duplik dari tergugat.
Kemudian tugas dari majelis hakim yang terdiri atas 30 orang untuk mendiskusikan
kasus dan putusan di antara mereka, meskipun jalannya sidang pengadilan bersifat
formal, namun jasa advokat tidak dipakai. Karena orang-orang Mesir percaya
bahwa kelancaran pidato dari advokat akan mengaburkan isu-isu hukum yang
sebenarnya. Kepandaian berbicara, daya pesona dari penyampaian informasi, air
mata dari tersangka, hal hal seperti itu dapat memengaruhi agar orang-orang
mengabaikakn aturan hukum yang sebenarnya sudah jelas, di sampingkan
mengabaikan standar kebenaran.
Orang-orang Mesir percaya jika para pihak mengajukan sendiri perkaranya
secara tertulis, maka fakta seperti apa adanya saja yang akan menjadi pertimbangan,
sehingga putusan yang lebih tepat dapat diambil. Proses acara pengadilan pidana
untuk suatu pembelaan secara “tidak bersalah” seperti yang dikenal dalam mesir
dengan istilah “benar dan adol” (true and just).
Sejarah hukum mencatat bahwa masyarakat Mesir dibagi ke dalam
beberapa kelas masyarakat sebagai berikut :
1. Golongan masyarakat petani;
2. Fellah, yaitu golongan masyarakat pekerja;
3. Golongan Bangsawan.
Dalam sebuah kasus hukum, yang terjadi di dinasti ke-9 atau 10 dari
6
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 107
8
kerajaan Mesir Klasik (sekitar tahun 2700 SM), terlihat bagaimana susah payahnya
perjuangan seorang manusia kelas petani untuk memperoleh keadilan hukum yang
berlaku saat itu, meskipun dia berhasil memenangkan perkaranya. Petani tersebut
melawan orang dari kelas bangsawan yang sangat licik. Memang, dalam sejarah
hukum, sering kali terjadi pergelutan antara orang rendah yang baik dan benar
melawan orang kuat, tetapi licik, yang menyalahgunakan sector hukum untuk
menjastifikasi kelicikannya itu.
D. Hukum Berdasarkan Konsep Ma’at
Dasar dari hukum Mesir Kuno yang sangat penting adalah konsep hukum
yang disebut dengan Ma’at. Ma’at merupakan dewi keadilan bagi bangsa Mesir
Kuno. Karena itu, Ma’at merupakan personifikasi hukum, keadilan, dan kebenaran
yang dilambangkan oleh seorang dewi yang memegang tongkat mahkota (scepture)
di sebelah tangannya, sedang di tangan yang lain memegang lambang kehidupan
(ankh). Kadang-kadang, digambarkan pula dewi ini memiliki saya dan berbulu
seperti burung.
Karena ma’at merupakan konsep tentang hukum, keadilan, dan kebenaran,
maka rakyat mesir percaya bahwa tanpa Ma’at, dunia ini akan binasa. Karena hal
tersebut, terhadap raja-raja Mesir sering juga disebut sebagai “Matahari Ma’at”
(Sun of Maat) atau “keadilan” (Justice). Kata Ma’at sendiri dalam bahasa Mesir
berarti “langsung” (straight) atau “benar” (true), karena itu berarti “adil” (just)
sedangkan dalam Bahasa Yunani “Kanon”, yang berarti “aturan yang langsung”,
karena itu berarti “hukum”. Atau dalam bahasa Latin: “rectum” yang berarti:
“langsung”, karena itu berarti: “benar” atau pun dalam bahasa Itali “diritto” yang
berarti “langsung” (straight), “benar” (right) dan “hukum” (law).
Konsep Ma’at dapat dengan jelas terbaca dalam naskah deklarasi Rekhti
Merti Fent Ma’at dan dalam naskah berupa 22 affirmasi negative yang tertera dalam
The Papyrus of Ani, yang sebagaimana berikut:
DEKLARASI REKHTI MERTI FENT MA’AT
1. Saya telah mencegah orang melakukan kejahatan;
2. Saya tidak telah melakukan ketidkadilan terhadap kemanusiaan;
3. Saya tidak telah menyakiti binatang;
4. Saya tidak melakukan kejahatan di tempat ma’at;
9
5. Saya bukan penjahat;
6. Saya tidak telah berbuat secara jahat;
7. Setiap hari saya tidak telah berbuat yang melebihi dari pekerjaan yang
seharusnya saya lakukan;
8. Saya telah tidak menyebut nama saya pada perahu putar mahkota;
9. Saya tidak telah menyepelekan Tuhan;
10. Saya tidak telah bersifat kikir;
11. Saya tidak telah menyebabkan penderitaan;
12. Saya tidak telah melakukan yang buruk terhadap Tuhan;
13. Saya tidak telah menyebabkan tuan menyakiti budaknya;
14. Saya tidak telah menyebabkan timbulnya rsa sakit;
15. Saya tidak telah menangis;
16. Saya tidak telah membunuh;
17. Saya tidak telah menyuruh membunuh;
18. Saya tidak telah menyakiti/merugikan manusia;
19. Saya tidak telah mengambil barang apapun di candi-candi;
20. Saya tidak telah mencuri apapund ari dewi-dewi;
21. Saya tidak telah menawarkan suatu kematian;
22. Saya tidak telah berzina;
23. Saya tidak telah merusak diri saya sendiri;
24. Saya tidak telah menambah atau mengurangi penawaran;
25. Saya tidak telah mencuri dari kebun;
26. Saya tidak telah menginjak padang rumput;
27. Saya tidak telah menambah berat dari timbangan;
28. Saya tidak telah mengurangi berat dari timbangan;
29. Saya tidak telah mengambil susu dari mulut bayi;
30. Saya tidak telah mengusir ternak dari padang rumputnya;
31. Saya tidak telah menangkap burung yang dipelihara oleh dewa-dewi;
32. Saya tidak telah mangail ikan dengan umpan dari badan ikan;
33. Saya tidak telah membalikkan air pada musim air;
34. Saya tidak telah memotong potongan tertentu dalam air yang mengalir;
10
35. Saya tidak telah memadamkan api pada saat dia harus menyala.7
Deklarasi Rekhti Merti Fent Ma’at tersebut yang sebenarnya merupakan
prinsip-prinsip moral dan hukum dalam berbuat yang baik dan membedakan mana
yang baik dan mana yang tercela, kemudian tetap menjadi jiwa dan roh dari
pengaturan hukum di Mesir selama berabad-abad.
7
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 115
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah hukum di Mesir berawal dari terbentuknya komunitas-komunitas
di desa-desa sebagai kerajaan-kerajaan kecil dengan pemerintahan desa. Desa itu
disebut nomen. Dari desa-desa kecil berkembanglah menjadi kota yang kemudian
disatukan menjadi kerajaan Mesir Hilir dan Mesir Hulu. Proses tersebut berawal
dari tahun 4000 SM namun pada tahun 3400 SM seorang penguasa bernama Menes
mempersatukan kedua kerajaan tersebut menjadi satu kerjaan Mesir yang besar.
Sistem hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang bertanggung
jawab membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga hukum dan
ketentraman, sebuah konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno sebagai.
Meskipun belum ada undang-undang hukum yang ditemukan, dokumen pengadilan
menunjukkan bahwa hukum di Mesir Kuno dibuat berdasarkan pandangan umum
tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta menekankan cara untuk membuat
kesepakatan dan menyelesaikan konflik. Menurut sistem hukum Mesir Kuno,
hukuman pidana terhadap para pelaku kejahatan umumnya bersifat mutilasi, sepeti
potong hidung, potong tangan, dan anggota badan lainnya. Di samping itu, dikenal
pula hukuman yang lebih ringan, seperti hukuman pembuangan dari masyarakat
setempat dan hukuman pemukulan, hukuman mati sering dipraktekkan di Mesir
tetapi harus dengan persetujuan dari Raja Firaun. Dalam proses pengadilannya
terdapat dewan sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru,
bertanggung jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan kecil. Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya
pembunuhan, transaksi tanah dalam jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan
kepada Kenbet Besar yang dipimpin oleh wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat
diharapkan mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa
mereka mengatakan yang sebenarnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013.
Bunson, M. The Encyclopedia of Ancient Egypt. Gramercy Books, 1991.
David, R. Handbook to Life in Ancient Egypt. Oxford University Press,
2007.
Lewis, J. E. The Mammoth Book of Eyewitness Ancient Egypt. Running
Press, 2003.
Shaw, I. The Oxford History of Ancient Egypt. Oxford University Press,
2006.
Van De Mieroop, M. A History of Ancient Egypt. Wiley-Blackwell, 2010.
Wilkinson, R. H. The Complete Gods and Goddesses of Ancient Egypt.
Thames & Hudson, 2007.
13
SEJARAH HUKUM PIDANA NORWEGIA
TUGAS
SEJARAH HUKUM
Dosen
Dr.DEVY.K.G.SONDAKH,S.H.,M.H.
Oleh:
NIM : 20202108073
A. LATAR BELAKANG
Di dunia ini secara garis besar terdapat empat sistem hukum yaitu civil law
system, common law system, islamic law system, dan socialist law system. Antara
negara di dalam satu sistem hukum bisa saja berbeda, apalagi dengan negara yang
berasal dari sistem hukum yang berbeda. Contohnya Indonesia dan Norwegia,
walaupun sama-sama merupakan negara civil law system, akan tetapi antara
Indonesia dan Norwegia memiliki perbedaan. Mengenai KUHP Norwegia, menurut
Johannes Andeneas, KUHP Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun
1905 ini merupakan KUHP paling modern di Eropa pada saat diundangkannya.1
Masalah asas legalitas atau legality principle berbeda pada tiap-tiap negara yang
berarti berbeda pula di setiap sistem hukum yang ada. Atau juga mengenai lembaga
penegak hukum dan para aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana (di
dalam proses acara pidana) atau the law enforcement agencies and other actors/
institution in the criminal procedure juga berbeda tiap negara.
Saat ini masalah legality principle merupakan masalah yang terkadang menjadi
permasalahan yang menarik, karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) setiap negara memang mengatur mengenai hal tersebut. Akan tetapi terdapat
banyak perdebatan-perdebatan terutama mengenai non retroactivity (undang-undang
tidak boleh berlaku surut) dan no analogy (tidak boleh analogi). Asas legalitas ini
bahasa latinnya adalah “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang
dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan: “tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya.”2 Asas ini melindungi
1
Barda Nawawi Arief, 2008, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 140.
2
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 39-40.
dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin
keamanan individu dengan informasi yang boleh dan apa yang dilarang.3
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan
secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas
(retroactivity), lex certa, dan analogi4Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof
H Haveman, though it might be said that not every aspect is that strong on its own,
the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.
1. Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan
pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-
undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang
dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai
perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai
tindak pidana.
2. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang
(legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang
disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan
asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus
mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta),
sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang
dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya
3
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas,
(Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 113.
4
5 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, tersedia
padahttp://www.prakarsarakyat.org/download/Perundangundangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%2
0KUHP%201.pdf, diakses pada 14 Mei 2011.
penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku
3. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang
(legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang
disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan
asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus
mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta),
sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang
dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya
penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku
4. Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut
(retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan,
yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas
dasar undangundang yang berlaku surut
5. Analogi
Asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat
dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang
untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang
tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara
penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis,
penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan
penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap
suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana,
diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang
mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga
kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya
Selain itu mengenai the law enforcement agencies and other actors/ institution
in the criminal procedure juga menarik karena dalam negara-negara masing-masing
mempunyai lembaga penegak hukum beserta aparat penegak hukum yang berbeda-
beda baik fungsi maupun kewenangannya dengan proses peradilan pidana yang
berbeda-beda pula. Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak yang
terlibat dalam proses peradilan pidana. Jika kita lihat pihak-pihak dalam acara pidana
adalah terdakwa atau tersangka, penuntut umum, penyidik dan penyelidik, penasihat
hukum dan hakim.5
Ini berarti ada beberapa lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan. Kepolisian merupakan lembaga penegak hukum yang berwenang
melakukan proses penyidikan dan penyelidika. Sedangkan Kejaksaan adalah lembaga
penegak hukum yang berwenang melakukan penuntutan, dan Pengadilan adalah
lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan pemeriksaan
pengadilan.Namun dalam hal ini yang akan dibahas adalah terbatas mengenai
pengadilan.
B. PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang dibahas adalah:
1. Bagaimanakah Sejarah hukum pidana di Norwegia ?
5
Andi Hamzah, Op.Cit hal. 64
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengaturan Hukum Pidana Asas Legalitas (Legality Principle) di Norwegia
Di Penal Code Norwegia, mengenai asas legalitas atau legality principle ini
diatur dalam Pasal 3 Aturan Umum (General Provisions) yang mengatur mengenai
Introductory Provisions (Ketentuan Pengantar). Adapun hal ini nampak pada bunyi
ketentuan Pasal 3 alinea kesatu. Di mana Pasal 3 alinea kesatu berbunyi:
If the criminal legislation has been amended in the period following the
commission of an act, the penal provisions in force at the time of its commission
shall be applicable to the act unless otherwise provided.6
(apabila undang-undang pidana telah diubah dalam tenggang waktu antara
dilakukannya perbuatan dengan pemeriksaan pengadilan, maka
ketentuanketentuan pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan itulah
yang diterapkan, kecuali ditentukan sebaliknya)
Selanjutnya juga nampak pada Pasal 3 alinea kedua. Di mana Pasal 3 alinea
kedua ini berbunyi: “The penal provisions in force at the time a particular issue is
decided shall be applicable when they lead to a decision more favourable to the
person charged than the provisions in force at the time of commission of the act.
However, in the case of an appeal, interlocutory appeal, or a petition for reopening
a case, no account shall be taken of provisions that come into force only after the
decision occasioning the appeal, interlocutory appeal, or petition for reopening the
case, has been made.”7(Aturan-aturan pidana yang berlaku pada saat putusan dalam
suatu perkara tertentu diterapkan apabila peratuan itu lebih menguntungkan bagi
terdakwa daripada aturan-aturan pidana yang berlaku pada saat pidana itu dilakukan.
Akan tetapi peraturan-peraturan pidana yang berlaku setelah putusan pengadilan,
6
The General Penal Code of Norwey, tersedia pada http://www. legislationline.org
/download/action/download/id/1690/file/c428fe3723f10dcbcf983ed59145.h tm/preview, diakses pada 16 Mei
2011.
7
Ibid.
tidak dapat diterapkan dalam putusan itu dimintakan banding atau dimintakan
pemeriksaan ulang).
Dari ketentuan Pasal 3 terlihat bahwa pada prinsipnya undang-undang yang
berlaku adalah undang-undang pada saat delik itu dilakukan atau saat delik itu terjadi,
hal ini nampak dari bunyi Pasal 3 tersebut “…, the penal provisions in force at the
time of its commission shall be applicable to the act...” Namun, berdasarkan ketentuan
pada Pasal 3 yakni yang terdapat pada alinea kedua, dikatakan bahwa apabila pada
saat putusan yang dijatuhkan ada undang-undang baru, maka undang-undang baru
itulah yang diterapkan apabila undang-undang baru itu lebih menguntungkan
daripada undang-undang lama, hal ini nampak dari bunyi Pasal 3 tersebut “The penal
provisions in force at the time a particular issue is decided shall be applicable when
they lead to a decision more favourable to the person charged than the provisions in
force at the time of commission of the act ………….”
Sehingga nampak bahwa dari Pasal 3 KUHP Norwegia menganut asas legalitas
(legality principle) yang dalam hal ini terutama menganut asas lex temporis delicti
atau Jadi, apabila kita lihat dari bunyi Pasal dalam KUHP Indonesia dan KUHP
Norwegia (Penal Code Norwegia) maka nampak bahwa prinsip memberlakukan
artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik
terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu
undang-undang pidana secara surut
Jadi, apabila kita lihat dari bunyi Pasal dalam KUHP Indonesia dan KUHP
Norwegia (Penal Code Norwegia) maka nampak bahwa prinsip memberlakukan
undang-undang yang lebih menguntungkan di Norwegia ini mirip dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia. Namun demikian prinsip tersebut di Norwegia
berlakunya lebih terbatas dibandingkan dengan di Indonesia. Dalam praktek
yurisprudensi di Indonesia, prinsip mendahulukan undang-undang yang lebih
menguntungkan itu dapat juga dapat diterapkan pada tingkat banding maupun tingkat
kasasi. Sedangkan di Norwegia tidak demikian. Menurut KUHP Norwegia yang
berbunyi: “…, no account shall be taken of provisions that come into force only after
the decision occasioning the appeal, interlocutory appeal, or petition for reopening
the case, has been made.” Di mana undang-undang baru tidak dapat diterapkan di
tingkat banding atau pada pemeriksaan ulang. Yang berarti di Norwegia ini berarti
apabila setelah putusan tingkat pertama ada undang-undang baru, maka undang-
undang baru itu tidak dapat diterapkan pada tingkat banding atau pemeriksaan ulang
walaupun undang-undang baru itu lebih menguntungkan.
Jadi, bisa dikatakan bahwa KUHP Norwegia nampaknya lebih mengutamakan
undang-undang yang lama, atau undang-undang yang berlaku pada saat delik terjadi.
Sedangkan undang-undang baru hanya dapat berlaku apabila:
a. Undang-undang baru itu berlaku sebelum putusan pengadilan dijatuhkan
b. Pengaturan Mengenai The Law Enforcement Agencies And Other Actors/
Institution In The Criminal Procedure di Indonesia dan Norwegia Undang-
undang itu lebih menguntungkan daripada undang-undang lama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah Hukum pidana di Norwegia berubah ditandai dengan adanya KUHP
Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun 1905 ini merupakan KUHP
paling modern di Eropa pada saat diundangkannya. Masalah asas legalitas atau
legality principle berbeda pada tiap-tiap negara yang berarti berbeda pula di setiap
sistem hukum yang ada. Hukum pidana tidak lepas dari masalah asas legalitas atau
legality principle berbeda pada tiap-tiap negara yang berarti berbeda pula di setiap
sistem hukum yang ada. Atau juga mengenai lembaga penegak hukum dan para aparat
penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana (di dalam proses acara pidana) atau
the law enforcement agencies and other actors/ institution in the criminal procedure
juga berbeda tiap negara.
B. Saran
Mempelajari Sejarah hukum pidana khususnya sejarah hukum pidana di Norwegia
membuat kita nemambah wawasan mengenai perbedaan Antara hukum pidana di
Indonesia dan hukum pidana di Norwegia, selain perbedaan terdapat persamaan
hukum pidana yang ada di Indonesia dengan di Norwegia yaotu sama-sama menganut
asas legalitas, dengan prinsip memberlakukan undang-undang yang lebih
menguntungkan di Norwegia ini mirip dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP
Indonesia. Namun demikian prinsip tersebut di Norwegia berlakunya lebih terbatas
dibandingkan dengan di Indonesia bahwa KUHP Norwegia nampaknya lebih
mengutamakan undang-undang yang lama, atau undang-undang yang berlaku pada
saat delik terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Barda Nawawi
Topo Santoso, 2011, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam dalam
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Asas Legalitas Dalam Rancangan
KUHP, tersedia pada http://www.prakarsa
rakyat.org/download/Perundangundangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUH
.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL DARI MASA KLASIK
NIM : 20202108048
PENDAHULUAN
internasional maka harus ada pula masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis”.
Pada bagian lain dikemukakan juga bahwa ”...Hukum internasional dalam arti luas, termasuk
hukum bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu telah berusia tua. Akan tetapi
bila hukum internasional diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur hubungan antar
negara, maka sejarah hukum internasional itu baru berusia ratusan tahun...” (Kusumaatmaja,
Pendapat serupa juga dikemukakan olej J.G. Starke bahwa pengungkapan sejarah
sistem hukum internasional harus dimulai dari masa paling awal, karena justru pada periode
kuno kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar masyarakat internasional berupa adat
istiadat. Traktat, kekebalan duta besar, peraturan perang ditemukakan sebelum lahirnya
agama Kristen di India dan Mesir Kuno. Di Cina kuno ditemukan aturan penyelesaian
melalui arbitras dan mediasi. Demikian juga di Yunani kuno dan Romawi kuno. Sedangkan
sistem hukum internasional merupakan suatu produk dari empat ratus tahun terakhir ini.
Pada mulanya berupa adat istiadat dan praktek-praktek negara Eropa moderen dalam
hubungan dan komunikasi antar mereka dan adanya bukti-bukti pengaruh dari para ahli
hukum pada abad ke enambelas, tujuhbelas dan delapan belas. Lagi pula hukum
kekuatan dari teori-teori politik yang mendasari sistem ketatanegaraan Eropa moderen juga
dianut oleh negara-negara non Eropa yang baru muncul. (Starke, J.G.; 2001: 8)
Dengan demikian sejarah hukum internasional sama tuanya dengan adanya masyarakat
internasional meskipun dalam taraf tradisional yang berbeda dengan masyarakat internasional
internasional dalam pembahasan ini akan dimulai pada masa klasik, yaitu masa India kuno,
Mesir kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno; kemudian pada masa abad
pertengahan yaitu abad 15 dan 16; Masa Hukum Internasional Moderen, yaitu pada abad 17,
Dalam penulisan makalah ini mengunkan metode yuridis normatif dengan pendekatan
sejarah. Bahan-bahan pustaka yang dipergunkan adalah ketentuan hukum internasional yang
dan praktek pengadilan internasionl. Dari bahan-bahan tersebut kemudian diolah dan
dianalisa secara deskriftif analitis. Sehubungan dengan pengunaan metode sejarah ini,
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar menyatakan bahwa ”Hukum internasional publik
sangat terkait dengan pemahaman sejarah. Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar
proses evolusi perkembangan hukum internasional dapat diruntut secara faktual kronologis,
melaikan juga seberapa jauh kontribusi setiap zaman bagi perkembangan hukum
1. India Kuno
Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga hukum yang mengatur
hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan
yang mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa Dharma. Gautama Sutera dan
undang-undang Manu memuat tentang hukum kerajaan. Hukum yang mengatur hubungan
antar raja-raja pada masa itu tidak dapat dikatakan sebagai hukum internasional, karena
belum ada pemisahan dengan agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-
tulisan pada waktu itu sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan
antara raja atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak
istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan cara
2. Cina Kuno
kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara yang bersifat regional tributary
Cu.
3. Yunani Kuno
Menurut Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum intermunicipal, yaitu
kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota, seperti
intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga dari negara kota. Namun kaidah
intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh agama, sehingga tidak ada pemisahan yang
tegas antara hukum. Moral, keadilan, dan agama. (Starke, J.G.; op. cit: 9)
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang Yunani dan orang
bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal ketentuan perwasitan dan wakil-
wakil dagang (konsul). Sumbangan yang terpenting bagi hukum internasional adalah konsep
hukum alam, konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi.
(Ibid: 27).
4. Romawi Kuno
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak
Imperium Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi perkembangan hukum pada
umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan hukum internasional. Pada masa Romawi
ini diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum
masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale).
Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale
(hukum alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum
pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar Justinianus.
Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima dalam hukum
Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly Roman Empire), yang
tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang berdiri sendiri, serta adanya
struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal, yang melekat pada hierarki otoritas
hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di bawah gereja. Peran
itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci.
Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang
bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran gereja. Selain
itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan peperangan, seperti
Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang (reprisal), Honore de
Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380. (Tontowi, Jawahir dan
yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara yang
berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia, Portugal, benih-
oleh negara lebih bersifat mengatur peperangan, perdamaian, gencatan senjata dan
persekutuan-persekutuan.
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi, seperti yang
dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan seiring dengan mulai
terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin dalam Buku Six Livers De la
Pada akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan dalam isu-isu politik,
eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa ahli hukum seperti,
menjelaskan hubungan bangsa Spantol dan Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika,
Di dalam buku itu juga dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak
hatinya, dan ius inter gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa
Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil
pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum perang, doktrin perang adil,
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa pencerahan ilmu dan
kesatuan politik dan rohani di Eropa dan menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi suatu
masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang berbagai macam
mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai kata tidak terdapat kaidah-kaidah
kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib menemukan dan membuat prinsip-prinsip
yang berlaku berdasarkan nalar dan analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum
Romawi untuk dijadikan pokok bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-
preseden sejarah kuno, hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam. (Starke,
J.G. ;op. cit.: 11) Diantara penulis-penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De Groot
hukum ini yang terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum
internasional pada abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan eropa
telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan
(on Laws and Good as Legislator) yang mengemukakan adanya suatu hukum atau
kaidah objektif yang harus diikuti oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka.
Ia juga meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas
keadaan hukum internasional moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional. .
Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace (de jure Belli ac Pacis)
tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis selanjutnya serta
perkembangan hukum internasional adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum
bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas dari hukum alam, dan
doktrin Grotius bagi perkembangan hukum internasional moderen adalah pembedaan antara
perang adil dan tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu,
pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut yang termuat dalam buku Mare
menyatakan bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal dan
perang sebagai alat hanya dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-
1660), penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada hukum internasional
dalam keadaan damai dari pada hukum perang. (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; op.
cit: 39).
Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum internasionl, oleh Jeremy
Bentham. (Ibid:34). Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum internasional itu sendiri,
yaitu adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini
sebagai akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of Westphalia yang
ditujukan untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama yang berlangsung lebih dari
dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional moderen dan
kerajaan tetapi didasarkan atas negara-negara nasional, serta adanya pemisahan antara gereja
dengan adanya perjanjian Utrecht, yaitu dengan menerima asas keseimbangan kekuatan
sebagai asas politik internasional (Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes; op. cit.:
30,32).
Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah
hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan dan mengurangi sedikit
mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip tersebut. (Starke, J.G. ;op. Cit.:
13). Para penulis terkemuka pada abad ke 17 dan 18 antara lain : Cornelis Van
negara dari pada hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori tentang hak dan
kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694), mengemukakan teori mengenai
Civitas Maxima yang sebagai negara dunia meliputi negara-negara dunia. Von Martens
(1714-1767), dalam Receuil des Traites yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih
merupakan suatu kumpulan berharga hingga sekarang. Emmerich De Vattel (1714-
Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di dalam maupun di
luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, terutama
akan adanya sistem hukum internasional yang bersifat tegas untuk mengatur hubungan-
hubungan internasional tersebut. Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidah-
negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku
dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada reason dan
justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan. . (Ibid: 8) Para
ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton, menulis buku
didasarkan atas praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent, Kluber,
adalam wadah the Law International Association dan Institut De Droit International. Hukum
internasional juga menjadi objek studi dalam skala yang luas dan memungkinkan penaganan
Hukum internasional mengalami perkembangan yang cukup penting Pada abad ini
mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague 1899 dan 1907.
internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian digantikan oleh International Court
of Justice tahun 1948 hingga sekarang. Terbentuk juga organisasi internasional yang
fungsinya menyerupai pemerintahan dunia untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat
manusia, seperti Liga Bangsa Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial
individu. Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian pada praktek-praktek
dituntut agar dapat mengatur mengenai energi nuklir dan termonuklir, perdagangan
atmosfir dan di ruang kosmos, pengawasan lingkungan hidup, menetapkan rezim baru untuk
eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya alam di dasar laut di luar batas-batas
teritorial, sistim jaringan informasi dan pengamana data-data komputer serta terorisme
Beberapa persoalan hukum internasional yang kerap kali timbul dalam hubungan
internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian yang menimpa warga negara suatu
negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asing oleh suatu negara, persoalan
perdagangan senjata ilegal. (Ibid: 18). Berbagai persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum
internasional tetap diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam
penyelesaian hukum yang tepat dan adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh negara-
negara atau pihak-pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan perundangan nasional suatu
negara, dalam suatu tatanan sistim hukum internasional yang bersifat global.
KESIMPULAN
pada masa klasik, seperti pada masa India kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno dan
dibuat oleh suatu bangsa atau kerajaan yang mengatur hubungan diantara mereka
dalam bentuk yang masih sederhana dan bersifat terbatas untuk bidang-bidang
tertentu saja. Pada masa kelasik dan abad pertengahan, hukum internasional tidak
banyak mengalami perkembangan. Baru setelah masa itu, yaitu pada abad ke 16,
17, 18, 19, 20, dan dewasa ini, hukum internasional moderen tumbuh dan
dalam hukum internasional. Demikian juga mengenai subtansi dan sifat dati
dan regional, baik dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilateral. Peranan
yang terjadi dewasa ini. Hukum internasional diharapkan dapat menjadi kaidah
dan sekaligus menegaskan bahwa hukum internasional itu tetap ada, diakui
DAFTAR PUSTAKA
1. Istanto, F., Sugeng Hukum Internasional, Penerbit Univ. Atmajaya, Yogyakarta, 1998
2. J.G. Starke, Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
3. Boer Mauna, Hukum Internasional Peranan, Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, 2001.
4. Kusumaatmaja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003.
5. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung,
2003
6. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama , Bandung, 2006.
SEJARAH HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA
DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP KARYA CIPTA
SINEMATOGRAFI
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Hukum
Oleh :
SEPTIYANA RAHAYU
(20202108034)
DOSEN :
MANADO
2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
3
2
Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia: Analisis Teori dan Praktik, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 159.
3
Idem, hlm. 161.
4
4
Idem, hlm. 65.
5
B. Identifikasi Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
5 Yusran Isanaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 8.
6 Muhammad Djumhana, R. Juabaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori, dan
Praktiknya di Indonesia (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 2014), h. 48.
7 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual (Bandung: PT. Eresco,
1990), h. 7.
7
pada tahun 1886. Konvensi Bern mengikuti langkah Konvensi Paris pada
tahun 1883, yang dengan cara serupa telah menetapkan kerangka
perlindungan internasional atas jenis kekayaan intelektual lainnya, yaitu
paten, merek, dan desain industri. Sebagaimana Konvensi Paris, Konvensi
Bern membentuk suatu badan untuk mengurusi tugas administratif. Pada
tahun 1893, kedua badan tersebut bergabung menjadi Biro Internasional
Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (dikenal dengan
singkatan bahasa Prancisnya, BIRPI), di Bern.
Pada tahun 1960, BIRPI dipindah dari Bern ke Jenewa agar lebih
dekat ke PBB dan organisasi-organisasi internasional lain di kota tersebut,
dan pada tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO, Organisasi Kekayaan
Intelektual Internasional, yang sejak 1974 merupakan organisasi di bawah
PBB. Konvensi Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya
melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara
lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal
sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri.
Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala
sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis, tak peduli di mana
benda atau barang itu pertama kali diciptakan.
Konvensi Bern direvisi di Paris pada tahun 1896 dan di Berlin pada
tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914, direvisi di Romapada
tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm pada tahun 1967
dandi Paris pada tahun 1971, dan diubah pada tahun 1979. Pada Januari
2006, terdapat 160 negara anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap
yang berisi para peserta konvensi ini tersedia, disusun menurut nama
negara atau disusun menurut tanggal pemberlakuannya di negara masing-
masing. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern
memuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta
untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak
cipta, yaitu:
cipta atas hak- hak yang berkaitan. Tiga kelompok pemegang hak cipta
dimaksud adalah:
8 http://meganurulfitriani.files.wordpress.com/2013/05/konvensi-internasional-
mnf.pdf, 5 Oktober 2013.
9 Sophar Maru Hutagalung. Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya Dalam
Pembangunan.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 179.
12
Perlu dicatat bahwa kebijakan serupa itu dianggap tidak sejalan dengan
nilai-nilai dan semangat gotong royong yang telah menjadi budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan mansyarakat Indonesia. Pengembangan konsepsi
dan pengaturan hak cipta secara praagmatis dianggap tidak kondusif dan
berseberangan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pandangan-
pandangan yang sering muncul dalam seminar-seminar hak cipta ini
mendalilkan perlunya kebebasan untuk memanfaatkan ciptaan secara cuma-
cuma guna membantu pendidikan anak-anak bangsa agar pandai, cerdas dan
berbudaya. Setelah direvisi kedua kalinya pada tahun 1997, UU Hak Cipta
diganti dengan UU No. 19 Tahun 2002.10 Adapun beberapa perubahan
mengenai UU Hak Cipta adalah sebagai berikut:
10
Hendri Soelistyo, Hak kekayaan intelektual: konsepsi, opini, dan aktualisasi,. (Jakarta: Penaku,
2014), h. 61.
13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bahwa Sejarah Hukum Pembentukan Undang-Undang Hak Cipta
adalah karena adanya konvensi-konvensi internasional yang diselenggarakan
guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan di negeri-negeri Eropa.
Sehingga, hal tersebut kurang lebih memiliki ketidaksesuaian dengan
kebiasaan maupun norma-norma yang hidup dan berkembang di dalam tubuh
bangsa Indonesia. Sebagaimana pernah terjadi pro kontra dalam pembentukan
undang-undang tentang hak cipta adalah karena kebijakan seperti itu dianggap
tidak sejalan dengan nilai-nilai dan semangat gotong royong yang telah
menjadi budaya yang telah mengakar dalam kehidupan mansyarakat
Indonesia. Pengembangan konsepsi dan pengaturan hak cipta secara
praagmatis dianggap tidak kondusif dan berseberangan dengan upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pandangan-pandangan yang sering muncul
dalam seminar-seminar hak cipta tersebut mendalilkan perlunya kebebasan
untuk memanfaatkan ciptaan secara cuma-cuma guna membantu pendidikan
anak-anak bangsa agar pandai, cerdas dan berbudaya. Sehingga, UU Hak
Cipta menjadi tidak efektif dalam rangka melindungi karya cipta
sinematografi di Indonesia.
15
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia: Analisis Teori dan Praktik,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.
Gatot Supramono, Hak Cipta dan Apek-Aspek Hukumnya, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010.
Hendri Soelistyo, Hak kekayaan intelektual: konsepsi, opini, dan aktualisasi,
Jakarta: Penaku, 2014.
B. Peraturan Perundang-Undangan
C. Sumber Lain
Oleh :
CHRISTIAN EVANI SINGAL
NIM. 20202108062
DOSEN :
Dr. DEVY K. G. SONDAKH, S.H., M.H.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Wagiman dan Anasthasya Saartje Mandagi, Terminologi Hukum Internasional, Sinar
Grafika, Jakarta, 2016, h. 166.
2
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Jakarta, Diadit Media,
2007, h. 176
2
Studi hukum internasional pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
konteks kedaulatan sebagai suatu monopoli yurisdiksi teritorial yang sangat
eksklusif, baik dilihat dari dimensi internal maupun eksternalnya. Istilah kedaulatan
merupakan padanan dari istilah yang dikenal di sejumlah bahasa yakni sovereignty
(Inggris), sovereinete (Prancis), dan sovranus (Italia) yang berakar dari bahasa
Latin, superanus yang berarti teratas.3
3
Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer,
Rajawali Pers, Jakarta, 2016, h. 27.
4
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, 2003, h.18
3
untuk membahasnya. Oleh karena itu, makalah ini akan mengeksplorasi sejarah
hukum internasional.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
sebagia berikut:
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Muhammad Nur Islami, Hukum Internasional dalam Perspektif Islam dan Kedaulatan
Bangsa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, h. 11
5
negara tersebut membuat suatu perjanjian damai yang mengakhiri peperangannya.
Dalam perjanjian tersebut telah disetujui adanya tapal batas yang diakui oleh kedua
belah pihak.6
6
Malcolm N. Shaw, International Law, second edition, Cambridge Grotius Publications
Limited, 1986, h. 13
7
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1982,
h.25
6
pada dibuatnya prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan diplomatik
diantara meraka terutama kekebalan-kekebalan para duta besar dan stafnya.8
8
Malcolm N. Shaw, International Law, second edition, Cambridge Grotius Publications
Limited, 1986, 10
9
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 1995, h.8.
10
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, h. 1.
7
komunitas diantara mereka. Pada zaman itu konsep hukum internasional ditandai
dengan konsep kedaulatan nasional, konsep kedaulatan teritorial, konsep kesamaan
penuh serta konsep kemerdekaan negara-negara. Konsep-konsep tersebut
sebenarnya dianut pada sistem ketatanegaraan negara-negara kawasan Eropa
namun akhirnya dianut juga oleh negara-negara kawasan non Eropa.
Dalam kebudayaan Indi a Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum
I i
yang mengatur hubungan antar kasta, suku bangsa dan raja-raja. Hukum
bangsabangsa pada zaman India kuno telah mengenal ketentuan-ketentuan yang
I i
Hukum yang mengatur hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat i i
agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu i i i
istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan
i i i i
cara berperang.
kewajiban raja dan juga pengaturan hukum perang. Khusus dalam hukum perang,
i
diatur mengenai perbedaan antara combatan dan non combatan, juga ketentuan-
i i
11
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1982,
h.25
8
b. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman Yunani kuno, telah ada hukum intermunicipal, yai tu kai dah- i i i i i i
kaidah kebi asaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota, seperti
i i i
agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum, moral, keadilan,
i i i i
dan agama.12
Yunani dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal
i i i i
terpenting bagi hukum internasional adalah konsep hukum alam, konsep ini
i i i i i i
hubungan antar bangsa maupun negara tidak mengalami perkembangan yang pesat i i
pada masa Romawi. Hal ini disebabkan pada masa ini masyarakat di dunia i i i i i i i i
merupakan satu imperium, yakni imperium Roma yang menguasai seluruh wilayah
i i i i i i i
Romawi telah menyumbangkan banyak azas dan konsep yang kemudian diterima
i i i i
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan i
12
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 9
13
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 27
14
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1982,
h.27
9
imperium, yaitu Imperi um Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi
i i i I i i i i
hukum internasional. Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius
i i i i i i I
Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum
I i I i
yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium i I i I i
hanya dapat di kai tkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam)
i i i i I
pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar i i i i i i
dalam hukum internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt
i i i i i i
servanda.
perkembangan Hal ini di sebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly i i i I i i i
Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang
i i i i
berdiri sendiri , serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal,
i i i i i
merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar i i
bangsa-bangsa.15
2. Struktur feodal Eropa Barat, yang melekat pada hierarki otoritas yang i i i
15
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 9
16
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 1995, h. 10
10
d. Abad ke-15 dan 16
Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa i i i
kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang
i i i i i
berdaulat yang bersi fat feodal dan Tahta Suci. Pada masa itu muncullah konsep
i i i
perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang bertujuan untuk melakukan tindakan
i i i i
perkembangan yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi i i i i
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi
i i i i
kata tidak terdapat kaidah-kaidah kebi asaan yang tetap maka para ahli hukum wajib
i i i i i i
atas keadaan hukum internasional modern dan dianggap sebagai Bapak Hukum i i i i
17
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung,
Refika Aditama , 2006, h. 39
11
bangsa-bangsa berdi ri sendiri i i i i terlepas dari hukum alam, dan mendapatkan
i
antara perang adi l dan tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan
i i i
Internasional terus berlangsung sampai dengan saat ini. Dimulai pada masa
I i i i i i i
perkembangan dunia pada saat itu, seperti Bodin, Hugo de Groot (Grotius), i i i i i
Jeremy Bentham3 dan banyak lagi lainnya. Kemudian seiring dengan munculnya i i i i i
berdaulat, dimana hal ini juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
i i i i
oleh Jeremy Bentham.19 Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum i i i i i
internasional itu sendiri, yaitu adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan
i i i i i i i i
perjanjian the Peace of Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar
i i i i i
18
Mahendra Putra Kurnia, Hukum Internasional (Kajian Ontologis), Risalah Hukum, Vol.
4, No. 2, Desember 2008, h.78
19
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung,
Refika Aditama , 2006, h. 34
20
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung,
Refika Aditama , 2006, h. 40
12
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peri stiwa penting dalam sejarah
i i i i i i i
persamaan derajat.
antara agama Katolik dan Protestan, tetapi lebih jauh dalam soal-soal i i i
dan mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsi p-prinsip
i i i i i i i i i i
tersebut.22
21
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, 2003, h.30
22
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 13
13
Zaman ini adalah masa kebangkitan negara-negara baru yang kuat, baik di
i i i i i
eropa maupun di luar Eropa yang ditandai dengan ekspansi peradaban eropa ke
i i i i
hubungan-hubungan internasional. i i
f. Abad ke-19
baik di dalam maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia,
i i i i i i
internasional tersebut.
i i
Pada abad ini juga mengalami perkembangan kai dah-kaidah tentang perang
i i i i i
antar negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada i i i i
praktek yang berlaku dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak i i i
meninggalkan pada reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur
i i i i i
menampung para ahli hukum internasional dalam wadah the Law International i i i I i
objek studi dalam skala yang luas dan memungkinkan penaganan persoalan
i i
23
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 8
14
g. Abad ke-20
abad ini mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague
i i i i i i i
pengadilan yudi cial internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian
i i i i i i i i i
dunia untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusi a, seperti Liga
i i i i i
Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial i i i i i i
kesejahteraan hidup. Selanjutnya Briand Kellogg Pact yang diadakan pada tanggal
i i i
27 Agustus 1928 di Paris berisi kesepakatan untuk melarang perang sebagai suatu i i i i i
24
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 14
15
perdamai an dunia, dan menyediakan bantuan kemanusiaan apabila terjadi
i i i i i i
Baik LBB maupun PBB telah menambah di mensi baru pada masyarakat
i i i
lingkungan hidup,
i i menetapkan rezim baru untuk eksplorasi dan eksploitasi i i i i
sumber-sumber daya alam di dasar laut di luar batas-batas teritorial, sistim jaringan
i i i i i i i
hubungan internasional antara lain adalah klai m ganti kerugian yang menimpa
i i i i i i i
warga negara suatu negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asingi i i i i
senjata ilegal.26
i
25
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 16
26
J.G. Starke, Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika,2001, h. 18
16
perundangan nasional suatu negara, dalam suatu tatanan sistim hukum
internasional yang bersifat global.
27
Muhammad Nur Islami, Hukum Internasional dalam Perspektif Islam dan Kedaulatan
Bangsa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, h. 11
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah di uraikan sebagaimana di atas, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejarah terbentuknya hukum internasional di mulai semenjak zaman
Yunani kuno dengan prinsip yang mendasarinya yaitu prinsip-prinsip
hukum alam. Selain itu, sejarah terbentuknya hukum internasional juga
terdapat sumbangsih dari Romawi sehingga hukum internasional dapat
dikembangkan
2. Adapun perkembangan hukum internasional dapat dilihat dari 400
(empat ratus) tahun perkembangan kebiasaan internasional dan praktik-
praktik negaranegara di kawasan Eropa. Pada abang ke-18 dilakukan
pembaharuan terhadap kaidah-kaidah hukum internasional terutama
dalam bentuk kebiasaan dan traktat, dan mengurangi sedikit mungkin
kedudukan hukum alam atau nalar, sebagai sumber dari prinsip.
B. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2005
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Jakarta, Diadit
Media, 2007
Oleh
Steve Michael Massie
NIM. 20 202 10 8043
PENDAHULUAN
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak
yaitu Imperium Romawi. 1 Kerajaan ini adalah sebuah pemerintahan monarki di kota
Roma dan wilayah kekuasaannya. Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah
Kerajaan Romawi karena tidak ada sumber tertulis yang berasal dari zaman tersebut. 2
Kebanyakan sumber ditulis selama masa Republik dan Kekaisaran berdasarkan pada
legenda. Sejarah Kerajaan Romawi bermula sejak pendirian kota tersebut, sekitar tahun
753 SM dan berakhir setelah penggulingan kekuasaan para raja dan pendirian Republik
Bangsa Romawi itu asalnya dari wilayah yang sekarang dikenal dengan nama
negara Italia. Peradaban bangsa Romawi kuno adalah sebuah peradaban yang berasal
dari negara Roma yang didirikan di Semenanjung Italia menjulur hingga Laut Tengah.
1
Arsensius. 2009. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga Masa
Moderen, Jurnal Varia Bina Civika.
2
https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kerajaan_Romawi. Diakses 12 Desember 2020.
3
Penduduk asli bangsa Romawi tinggal di bagian utara Italia, di wilayah Danau
Maggiore.4
Pemberian nama Italia sendiri bukan pemberian dari bangsa Romawi, melainkan
suku Vitali yang berasal dari wilayah Calabria. Calabria adalah bagian ujung selatan
wilayah Italia. Pada awalnya, Italia memiliki nama Vitalia yang berasal dari suku
Vitulus. Makna nama itu sendiri adalah ‘anak lembu berusia satu tahun’, dimaksudkan
karena Calabria adalah wilayah yang banyak akan lembu atau sapi. Seiring waktu,
Vitalia berubah menjadi Italy dan sekarang kita mengenalnya dengan Italia. 5
Hal yang menarik dari sejarah Romawi lainnya, kekaisaran Romawi sebenarnya
adalah dua kerajaan. Sekitar pada 284-305 Masehi, Kaisar Diocletian membagi
kekuasaan menjadi dua agar mudah dipertahankan dari berbagai ancaman kekaisaran.
Pembagian itu terdiri dari Maximianus yang memimpin kekaisaran Romawi Barat dari
Milan dan Diolektianus memimpin kekaisaran Romawi Timur dari dekat Anatolia Barat.
Hal ini adalah upaya bijak untuk mempertahankan kekaisaran Romawi yang
membentang dari Inggris hingga Teluk Persia pada kisaran 286 Masehi. 6
absolut teokratis. Peradaban bangsa Romawi kuno berkontribusi besar akan budaya
yang beragam. Mereka juga melahirkan inovasi arsitektur yang digunakan pada
peradaban kontemporer saat ini. Bukan hanya itu, konsep demokrasi yang diterapkan di
berhutang terhadap bangsa Romawi kuno. Lebih dari itu, sejarah Romawi juga
mempengaruhi bahasa, terutama bahasa Inggris. Beberapa kata dalam bahasa Inggris
berasal dari budaya Romawi, seperti civilized yang berasal dari bahasa Romawi civitas
berarti warga negara, plebe yang dimaksudkan dalam dunia militer untuk kadet tahun
pertama yang berasal dari singkatan bahasa Romawi plebeian, dan beberapa kata seperti
melakukan penelitian hukum. Oleh karena itu, penelitian hukum yang di tuangkan
dalam suatu karya tulis ilmiah ini, penulis tertarik mengangkat topik "Sejarah Hukum
Romawi"
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dibatasi pada persoalan
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah, untuk memahami sejarah
D. Manfaat Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Hukum Romawi
1. Awal Kerajaan
sepanjang sungai Tiber di Italia Tengah. Wilayah itu subur dan bukit-bukitnya
menyediakan perlindungan sehingga tempat itu mudah dipertahankan. Hal ini ikut
berperan dalam kejayaan Roma kelak. Pada awalnya Romulus dan Remus berselisih
mengenai tempat akan didirikannya kota. Ketika Romulus sedang membangun tembok
kota, Remus mengejek dan mengganggu pekerjaannya. Puncaknya adalah ketika Remus
melewati wilayah Romulus, Remus dibunuh oleh Romulus. Menurut sumber dari Livius,
Plutarkhos, Dionysius dari Halicarnassus dan yang lainnya, kerajaan Romawi dipimpin
oleh tujuh raja dalam masa 243 tahun. 7 Ketika bangsa Galia menyerang Roma setelah
Pertempuran Allia pada 390 SM, (menurut Polybius pertempuran tersebut terjadi pada
387/386 SM) mereka menghancurkan semua catatan sejarah, sehingga tidak ada catatan
Adapun kisah mengenai kehadiran bangsa Romawi berawal dari cerita rakyat yang
disampaikan turun-temurun secara lisan oleh nenek moyang bangsa Romawi. Mitologi
tentang Romawi itu kemudian berlanjut pada berdirinya imperium Romawi, sebagai
Kisah mengenai Remus dan Romulus sangat berkaitan erat dengan tiga dewa penting
masyarakat Romawi, yaitu Apollo, Mars, dan Venus. Ketiga dewa itu memiliki
pengaruh yang besar bagi masyarakat, sehingga banyak masyarakat Romawi yang
menjadi pengikut dewa-dewa tersebut. Dalam legenda, Remus dan Romulus dipercaya
sebagai anak kembar yang dilahirkan oleh Rhea Silvia, seorang putri raja yang sedang
Dikisahkan bahwa Rhea Silvia tiba-tiba mengandung dan melahirkan anak kembar
di tempat pengasingannya. Ia mengaku bahwa ayah dari kedua putranya itu adalah
Dewa Mars. Tetapi raja yang memerintah saat itu tidak percaya dengan ceritanya, dan
kembar yang dihanyutkan ke sungai itu kemudian ditemukan dan diselamatkan oleh
seekor serigala betina. Keduanya dalam keadaan sehat, seperti tidak kekurangan
makanan selama terhanyut di sungai. Serigala betina itu lalu membawa keduanya ke
sebuah gua. Saat itu ada seorang petani yang kebetulan melintas di depan gua tersebut
dan memutuskan untuk merawat keduanya. Ia kemudian memberi nama bayi kembar
Diceritakan, suatu hari Remus berencana untuk mencuri. Romulus yang diajak
untuk ikut memilih menolak karena takut jika tertangkap. Tetapi Remus terus
9https://kumparan.com/potongan-nostalgia/legenda-remus-romulus-kisah-berdirinya-imperium-
romawi-1537972193342338824/full. Diakses 12 Desember 2020
memaksanya, hingga akhinya Romulus ikut serta. Keduanya berencana melakukan
tertangkap dan dibawa untuk diadili di depan kerajaan. Namun ternyata, raja yang
memerintah di wilayahnya itu adalah Numitor, kakek kandung dari Remus dan Romulus.
Saat melihat rupa kedua pemuda itu, Numitor langsung menyadari bahwa mereka adalah
Setelah raja turun dari kekuasaannya, Remus dan Romulus diminta untuk
menentukan siapa yang akan menduduki tahta kerajaan. Mereka bersaing secara ketat,
hingga akhirnya terlibat dalam perang yang cukup besar. Remus berhasil dibunuh oleh
Romulus, sehingga Romulus pun berhak duduk di tahta kerajaan. Nama Romulus
2. Lembaga Politik
2.1. Raja
Romawi awal adalah sebuah monarki yang dipimpin oleh seorang raja (Latin: rex).
Semua raja Romawi dipilih oleh rakyat Roma kecuali Romulus yang menjadi raja
karena dia yang mendirikan Roma. Dengan asumsi bahwa raja berdaulat penuh dan
mengelola semua harta milik negara, dan mengawasi semua pekerjaan umum
duta besar.
perdata.12
penggunaan imperium. Imperium dimiliki raja seumur hidupnya dan membuat raja
kebal terhadap pengadilan. Sebagai pemilik tunggal imperium di Roma pada saat itu,
raja memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi serta kekuasaan militer sebagai panglima
tertinggi seluruh legiun Romawi. Selain itu, hukum yaang menjaga warga negara dari
penyalahgunaan magistratus yang memiliki imperium, tidak ada pada masa raja. 13
12 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
13 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
Kekuasaan raja yang lainnya adalah hak untuk menunjuk atau mencalonkan pejabat
pada semua jabatan. Raja menunjuk tribunus celerum untuk bertugas sebagai tribunus
suku Ramnes di Roma sekligus sebagai komanan pengawal pribadi raja, Celeres. Raja
diharuskan menunjuk tribunus ketika mulai menjabat dan ketika akan meninggal.
Tribunus merupakan jabatan tertinggi kedua setelah raja dan juga memiliki hak untuk
memanggil rapat Majelis Curiate. Jabatan lainnya yang ditunjuk oleh raja adalah
praefectus urbi, yang bertindak sebagai penjaga kota. Ketika raja sedang berada di luar
kota, prefek memiliki semua kekuasaan dan hak raja, bahkan diberikan imperium
selama berada di dalam kota. Raja juga merupakan satu-satunya orang yang bisa
Raja memiliki hak pada auspicium atas nama Roma dan kepala augurnya, dan tidak ada
bisnis publik yang dapat dilaksanakan tanpa kehendak dewa menjadikan asupicium
penting. Orang-orang mengenal raja sebagai perantara antara manusia dengan dewa
dengan sangat religius. Ini menjadikan raja sebagai pemimpin agama negara. Raja bisa
mengatur kalender Romawi, dia juga menyelenggarakan semua upacara keagamaan dan
14 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
merupakan pendiri jabatan augur sekaligus merupakan augur terhebat. Demikian juga
Di bawah kepemimpinan raja, lembaga legislatif (Senat dan Majelis Curiate) hanya
memiliki sedikit kekuasaan; mereka bukanlah lembaga yang independen karena mereka
tidak memiliki hak untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah kenegaraan sesuai
kehendak mereka. Mereka hanya bisa berkumpul jika dipanggil oleh raja dan hanya
boleh mendiskusikan masalah sesuai keinginan raja. Walaupun begitu, Majelis Curiate
memiliki hak untuk meluluskan hukum yang diusulkan oleh raja, sedangan senat
berfungsi sebagai dewan kehormatan. Senat bertugas menasihati raja namun tidak bisa
mencegah tindakan raja. Satu-satunaya tindakan raja yang tidak boleh dilakukan tanpa
persetujuan Senat dan Majelis Curiate adalah menyatakan perang terhadap negara lain. 16
kasus pengadilan, karena raja juga dapat berfungsi sebagai sebagai kepala keadilan
Roma. Meskipun raja bisa menunjuk pontif untuk bertugas sebagai hakim dalam
perkara-perkara kecil, raja memiliki otoritas tertinggi dalam semua kasus yang dibawa
ke hadapannya, baik perkara pidana maupun perdata. Ini menjadikan raja sangat
berkuasa baik dalam masa damai maupun dalam masa perang. Beberapa sejarawan
15 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
16 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
percaya bahwa keputusan raja tidak dapat diganggu gugat dan dengan dimikian tidak
permohonan banding dapat diajukan pada raja oleh kalangan bangsawan pada
pertemuan Majelis Curiate. Untuk membantu raja, sebuah dewan bertugas menasihati
raja selama persidangan, tetapi rajalah yang berhak menentukan putusan akhirnya. Raja
juga menunjuk dua detektif kriminal (Quaestores Parridici) sebagai pengawas pada
3.1. Romulus
Romulus adalah raja pertama sekaligus pendiri Roma. Romulus mendirikan Roma
di atas bukit Palatine. Setelah mendirikan Roma, Romulus mengizinkan semua laki-laki,
baik manusia bebas ataupun budak, untuk datang dan menjadi warga Roma. Untuk
sehingga kerajaan Sabin memerangi Roma. Setelah berperang dengan kaun Sabin,
Romulus berbagi gelar dengan raja Sabin, Titus Tatius. Pada masa pemerintahannya,
17 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
Romulus memilih 100 orang bangsawan untuk membentuk senat sebagai dewan
penasihat bagi raja. Setelah penggabungan dengan Sabin, Romulus menambah lagi 100
sebagai senat. Romulus membagi rakyatnya menjadi tiga puluh curiae (golongan),
dinamai berdasarkan tiga puluh wanita Sabin yang berperan dalam menghentikan
perang antara Romulus dan Titus Tatius. Pewakilan tiap Curiae berkumpul membentuk
Dewan Curiata. Setelah kematiannya pada usia 54 tahun, Romulus dipuja sebagai
Setelah kematian Romulus, terjadi masa interregnum selama satu tahun di mana 10
orang anggota senat terpilih memerintah sebagai interrex. Senat kemudian memilih
Numa Pompilius, seorang Sabin, untuk menjadi raja berikutnya. Dia dipilih karena
reputasinya sebagai orang yang adil dan beriman. Meskipun awalnya Numa tidak mau
menerima jabatan kerajaan, ayahnya meyakinkannya untuk menerima posisi itu sebagai
Numa membangun kuil Janus dan melakukan kesepakatan damai dengan kerajaan
tetangga Roma. Numa kemudian menutup pintu kuil tersebut untuk menunjukkan
keadaan damai. Numa juga banyak menetapkan dan mendirikan jabatan keagamaan di
bulan Januari dan Februari sehingga totalnya menjadi 12 bulan. Numa mengatur
wilayah Roma menjadi distrik-distrik untuk menciptakan aministrasi yang lebih baik,
membagi-bagi tanah kepada para penduduk, dan membentuk serikat dagang. Tradisi
mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Numa perisai Jupiter jatuh dari langit,
dengan masa depan Roma tertulis di atasnya. Numa memerintahkan untuk membuat
sebelas salinannya, yang kemudian dipuja sebagai benda suci oleh orang
Tullus Hostilius adalah raja yang lebih suka berperang dibanding mengurusi masalah
dan mengambil seluruh penduduknya. Dia juga berperang dengan kerajaan Fidenae,
Veii, dan Sabin. Dia membangun tempat baru untuk senat, Curia Hostilia, yang
bertahan sampai 500 tahun setelah kematiannya. Dalam suatu cerita, Tullus
memanggil Jupiter dan memohon pertolongannya namun Jupiter membakar sang raja
Setelah kematian Tullus Hostilius yang misterius, senat Romawi memilih cucu
Numa Pompilius, Ancus Marcius, sebagai raja. Seperti kakeknya, Ancus Marcius lebih
suka perdamaian dan hanya berperang jika dia diserang. Dia melakukan kesepakatan
damai dengan kerajaan tetangga Roma dan membuat mereka bersekutu dengan Roma.
Dia banyak membangun infrastruktur, seperti penjara pertama Roma, pelabuhan, dan
pabrik garam. Dia juga membangun jembatan pertama yang melalui sungai Tiber.
Setelah memimpin selama 25 tahun, Dia meninggal secara alami seperti kakeknya,
diadopsi oleh Ancus Marcius. Dalam masa pemerintahannya, dia memenangkan banyak
peperangan melawan kerajaan lain dan membuat Roma memperoleh banyak harta
rampasan perang.
Dia menambahkan 100 anggota dari suku Etruska ke dalam senat. Dia juga menambah
jumlah tentara menjadi 6.000 infantri dan 600 kavaleri. Dia membangun kuil
Jupiter, Circus Maximus (arena balap kereta kuda), mendirikan Forum Romawi,
Romawi.
Setelah menjadi raja selama 25 tahun, dia dibunuh oleh anak kandung Ancus Marcius.
Tarquinius Priscus digantikan oleh menantunya, Servius Tullius. Servius adalah raja
tingkat ekonominya dan wilayah geografisnya. Dia mendirikan Dewan Centuria dan
dewan Suku. Dia membangun kuil Diana dan tembok yang mengelilingi tujuh bukit di
Roma. Dia memerintah selama 44 tahun kemudian dibunuh oleh putrinya (Tullia) dan
Tarquinius Superbus juga adalah orang Etruska. Tidak seperti raja-raja sebelumnya,
masa pemerintahan Tarquinius Superbus diisi dengan kekejaman dan teror sehingga
rakyat memberontak padanya. Kekuasaan Tarquinius Superbus berakhir pada 509 SM,
Tusculum dan kemudian ke Cumae, di mana ia meninggal dunia pada 496 SM.
bertanggung jawab untuk mencari raja baru. Senat akan berkumpul dan menunjuk salah
satu anggotanya sendiri (interrex) untuk bertugas selama lima hari dengan tujuan
mengusulkan raja berikutnya. Setelah lima hari, seorang interrex akan menunjuk
(dengan persetujuan Senat) Senator lain sebagai interrex. Proses ini akan terus berlanjut
sampai raja yang baru terpilih. Setelah interrex menemukan calon yang cocok, ia akan
mengusulkannya pada Senat dan Senat akan meninjau calon tersebut. Jika Senat
Setelah diusulkan kepada Majelis Curiate, rakyat Romawi dapat menerima atau
menolaknya. Jika diterima, raja terpilih tidak segera menjalankan tugas. Dia harus
melalui dua proses lagi sebelum mendapatkan kekuasaan penuh. Pertama, raja harus
menjalani upacara keagamaan yang dipimpin oleh seorang augur. Kedua, pemberian
kewenangan dari Majelis Curiate kepada raja terpilih. Raja ketujuh Romawi, Tarquinius
4. Romawi pasca-monarki
bernama konsul. Konsul terdiri dari dua orang, dipilih untuk masa jabatan selama satu
tahun, dan konsul yang satu dapat membatalkan kebijakan konsul yang lain. Awalnya,
Yang pertama muncul adalah praetor, yang membuat konsul tak lagi memiliki otoritas
yudisial. Kemudian ada censor yang mengambil alih dari konsul hak untuk
sipil dan militer. Kekuasaan diktator begitu mutlak sehingga jabatan ini hanya berlaku
pada masa-masa darurat. Walaupun tampaknya mirip dengan raja, diktator Romawi
memiliki masa jabatan yang terbatas yaitu enam bulan. Berlawanan dengan konsep
modern diktator sebagai perampas kekuasaan, diktator Romawi dipilih secara bebas,
Setelah menjadi republik, kekuasaan keagamaan raja diberikan kepada dua jabatan
baru: Rex Sacrorum dan Pontifex Maximus. Rex Sacrorum secara de jure adalah
pejabat agama tertinggi di Republik. Tugas utamanya adalah mengadakan pengorbanan
tahunan untuk Jupiter, sebelumnya tugas ini dilakukan oleh raja. Sedangkan pejabat
agama tertinggi secara de facto adalah Pontifex Maximus, yang memegang sebagian
besar wewenang keagamaan. Dia memiliki kekuasaan untuk menunjuk dan mengangkat
pejabat-pejabat keagamaan seperti perawan Vesta, pendeta, dan bahkan Rex Sacrorum.
Pada awal abad ke-1 SM, jabatan Rex Sacrorum dilupakan dan Pontifex Maximus
5. Kembalinya monarki
Dengan naiknya Gaius Julius Caesar dan anak angkatnya Gaius Julius Caesar
Octavianus (Kaisar Augustus), Romawi hampir dipimpin kembali oleh raja. Gaius
Julius Caesar terpilih sebagai Pontifex Maximus dan diktator selama seumur hidup,
yang memberinya kekuasaan lebih banyak daripada raja-raja terdahulu. Namun sebelum
berhasil mengubah Romawi, Caesar lebih dulu terbunuh pada 15 Maret 44 SM. Selama
dan Princeps Senatus. Semua jabatan tersebut membuat Augustus menjadi sangat
berkuasa. Augustus kemudian mendirikan Kekaisaran Romawi, ini adalah awal dari
masih tetap ada sampai masa Dominatus. Bahkan sampai era Bizantium, kaisar akan
18 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
berbagi gelar konsul. Ada juga kepausan, yang memerintah Romawi untuk jangka
BAB III
METODE PENELITIAN
19 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan
Jenis dan tipe penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif yang intinya
Menurut Soekanto dan Mamuji, penelitian hukum normatif dilakukan dengan meneliti
20
bahan pustaka atau data sekunder. Dengan demikian metode penelitian yang
penelitian hukum dari sudut yuridis normatif. Penelitian menggunakan cara kerja yang
sistematik dan terarah dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan bahan
B. Pendekatan Masalah
berikut:
20
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif:Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta. Edisi Pertama Cetakan ke Sembilan.Raja Grafindo Persada.13
Data sekunder yaitu data yang di peroleh dari hasil penelitian kepustakaan sebagai
a. buku,
c. lokakarya,
d. seminar,
f. laporan penelitian
g. laporan teknis
h. majalah,
a. Literatur-literatur;
Bahan hukum primer, sekunder, tersier, informasi, dan keterangan lainnya yang relevan
dengan rumusan masalah analisis secara kualitatif dan normatif untuk mendukung
dirumuskan.
dipecahkan,
21
Peter Marsuki Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. edisi pertama. Cetakan ke 2. Jakarta;
Kencana Prenada Media Group. 141.
22
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Ed.1 Cetakan ke-3. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. hlm. 170
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan
Untuk memecahkan isu hukum dari penelitian ini diperlukan sumber-sumber penelitian.
hukum sekunder. Bahan-bahan hukum yang akan dikaji yaitu berupa peraturan
Bahan hukum yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara normatif
data-data yang bersifat khusus menuju pada satu gambaran umum berdasarkan pada
Dilihat dari sudut sifat informasi yang diberikannya, bahan/sumber primer merupakan
bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun
pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide).
Bahan/sumber primer ini mencakup: buku, kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar,
simposium dan seterusnya, laporan penelitian, laporan teknis, majalah, disertasi atau
23
Ibid.
24
Ibid.
tesis dan paten.25 Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
putusan pengadilan.26 Bahan atau sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan
informasi tentang bahan primer. Bahan/sumber sekunder ini antara lain, mencakup:
abstrak, indeks, bibliografi, penerbitan pemerintah dan bahan acuan lainnya. 27 Bahan
hukum sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi
Adapun bahan hukum sekunder tersebut memiliki ciri-ciri umum, sebagai berikut:28
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009. Hlm.29
26
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. Hlm. 140
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Op.Cit, Hlm.29.
28
I b i d, Hlm.24
Bahan-bahan berbentuk buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
abstrak, bibliografi, penerbitan pemerintah dan bahan acuan lainnya terlihat baik pada
catatan kaki maupun pada lembaran Daftar Pustaka dari penelitian ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis bahan hukum di atas yaitu
penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum
tidak diperlukan dukungan fakta-fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum. Jadi
untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum
tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah
BAB IV
Daftar Pustaka
1
Arsensius. 2009. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga Masa
Moderen, Jurnal Varia Bina Civika.
1
https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kerajaan_Romawi. Diakses 12 Desember 2020.
1
1 https://www.superprof.co.id/blog/. Diakses 12 Desember 2020.
1 Ibid.
1 Ibid.
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi#Awal_kerajaan. Diakses 12 Desember 2020
1 Ibid.
1 https://kumparan.com/potongan-nostalgia/legenda-remus-romulus-kisah-berdirinya-imperium-
Oleh :
Rony Hotman Gunawan
NIM. 20202108055
A. Latar Belakang
Negara Romawi merupakan negara terhebat dalam sejarah hukum, bahkan lebih hebat
dari negara-negara modern saat ini. Bila kita berbicara objektif, sistem hukum yang dibuat
oleh bangsa Romawi jauh lebih hebat dibandingkan dengan sistem hukum yang dibuat oleh
bangsa-bangsa lain di dunia ini. Sistem hukum Romawi (yang sekuler itu) jauh berbeda
dengan sistem hukum yang dibawa oleh agama (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha),
meskipun sistem hukum yang berlandasan agama dipercaya berasal dari langit (dari Tuhan)
yang diturunkan ke dunia melalui rasul-rasul Tuhan. Malahan, prestasi bangsa Romawi dalam
membuat hukum jauh lebih besar dari penjumlahan prestasi semua bangsa yang mendiami
dunia saat ini. Ini memang fantastis, bahkan lebih dari itu. Bukan hanya sektor hukum yang
merupakan hasil sumbangan bangsa Romawi kepada dunia yang masih berpengaruh hingga
sekarang, tetapi banyak sektor kehidupan lainnya yang juga terpengaruh. Misalnya pengaruh
dari abjad Romawi, sistem pemerintahan Romawi, dan sebagainya. 1
Bangsa Romawi menganggap mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila
dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Secara praktis
(praktiche Receptie) karena menganggap hukum Romawi ini lebih tinggi tingkatnya dari
hukum manapun di dunia, bangsa-bangsa Eropa Barat mempelajarinya dan melaksanakan
atau menggunakan Hukum Romawi ini dalam kehidupannya sehari-hari dalam negaranya.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir metafisika, seperti
Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka zaman Romawi sangat spektakuler dengan
perkembangan sistem dan kaidah hukumnya. Meskipun sudah ribuan tahun, sampai sekarang
masih banyak pengaruh hukum Romawi di dunia ini, terlebih lagi bagi negara-negara yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental. 2
Peradaban bangsa Romawi kuno berkontribusi besar akan budaya yang beragam.
Mereka juga melahirkan inovasi arsitektur yang digunakan pada peradaban kontemporer saat
ini. Bukan hanya itu, konsep demokrasi yang diterapkan di berbagai negara lainnya adalah
hasil sejarah kekaisaran Romawi. Demokrasi kontemporer adalah demokrasi representatif.
Pemerintahan kontemporer banyak berhutang terhadap bangsa Romawi kuno. Lebih dari itu,
sejarah Romawi juga mempengaruhi bahasa, terutama bahasa Inggris.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengambil judul ‘Sejarah
Hukum Romawi Kuno’ sebagai bahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hukum bangsa Romawi kuno?
2. Bagaimana proses pengadilan di zaman Romawi kuno?
1
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia Hal 197-198
2
Ibid. Hal. 201
BAB II
PEMBAHASAN
3
Sutandyo Wigjosoebroto. 2000/2002, Hukum, Paradigma, Metode dan dinamika Masalahnya. Jakarta: Huma
hlm.253 dalam Prof.Dr.Sunarmi. 2016. Sejarah hukum. Kencana. Jakarta. Hal 11
4
Wikipedia, “Kerajaan Romawi” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi (3 Desember 2020)
5
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Hal. 12
6
Moniarti, Rika. 2002. Sejarah Peradaban Kuno. Mitra Sarana. Bandung . Hal 38
Dalam menjalankan pemerintahan, seorang raja memegang kekuasaan yang tak
terbatas. Hal ini karena seorang raja selain menjalankan pemerintahan, juga merangkap
sebagai panglima perang dan hakim tertinggi. 7
2. Zaman Republik
Dalam kehidupan sosial, Romawi terdiri dari dua kelompok yang berpengaruh, yaitu
Patricia dan Plebeia. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas tersendiri, Patricia terdiri
dari penguasa tanah yang besar sedangkan Plebeia terdiri dari golongan masyarakat kecil dan
menengah (pedagang, seniman, petani). Walaupun jumlah Patricia sangat sedikit (8% dari
jumlah bangsa Romawi) dominasi kaum Patricia dalam pemerintahan sangat berpengaruh
sehingga republik ini disebut pula Republik kaum Patricia.
Di masa Romawi masih berbentuk Republik (510 SM-27 SM), para pejabat negara
yang bertugas di bidang hukum dan pemerintahan adalah sebagai berikut.
1. Consult
Consult ini terdiri atas dua orang yang merupakan terusan kekuasaan raja, meski pun
Romawi sudah memasuki zaman republik yang memiliki kewenangan terhadap semua
aspek pemerintahan dan hukum. Mereka juga memiliki kewenangan sebagai panglima
perang yang ditunjuk oleh Comitia Centuriata, tetapi memerlukan ratifikasi dari
Parlemen untuk masa jabatan satu tahun.
2. Praetor
Praetor pertama kali dipilih pada tahun 367 SM. Praetor merupakan semacam pejabat di
Kementerian Kehakiman di zaman modern, yang diangkat oleh Comitia Centuriata.
Praetor bertugas untuk mengatur masalah administrasi yang berkenaan dengan hukum
sehingga mempunyai banyak kontribusi terhadap perkembangan hukum Romawi.
3. Quaestor
Quaestor memiliki kewenangan yang mirip dengan praetor yang dikhususkan Quaestor
di bidang finansial, administrasi criminal justice, pejabat hukum yang penting menigatu
di parlemen, dan sebagainya.
4. Censor
Censor pertama kali ditunjuk pada tahun 443 SMP. Sesuai namanya, censor memiliki
tugas untuk melakukan sensus dan memiliki kewenangan untuk menentukan tentang
siapa saja yang mempunyai hak pilih.
5. Tribune
Tribune pertama kali dipilih pada tahun 494 SM. Tribune merupakan anggota dari
Parlemen yang khusus mewakili rakyat Romawi dari golongan rakyat jelata (jadi tidak
termasuk golongan bangsawan). Mereka mempunyai lak veto di parlemen.
6. Aedile
Aedile merupakan pejabat pemerintahan yang bertugas melaksanakan kepentingan
rakyat. Semula merupakan perwakilan dari rakyat jelata, tetapi kemudian menjadi
perwakilan dari kaum bangsawan. Misalnya, mereka mengurus kecukupan penyediaan
dan penyaluran air dan makanan, penyediaan jalan-jalan umum, dan sebagainya.8
Pada tahun 64 SM muncul tiga tokoh militer yang memiliki reputasi yang besar.
Mereka adalah Pompeius, Crassus dan Yulius Caesar yang dikenal dengan nama Triumvirat
(persekutuan tiga serangkai). Ketiga orang ini, selalu berseteru dan masing-masing selalu
7
Wilujeng D. 2007. Romawi Kuno.Semarang. Alprin. Hal. 5
8
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 199-200
ingin menonjolkan dirinya dengan mengajukan sebagai konsul di Romawi. Setelah
meninggalnya Crassus dalam pertempuran di Mesopotamia, hubungan buruk antara
Pompeius dan Yulius Caesar tak terelakkan lagi. Pompeius mencoba merangkul Senat dan
menyingkirkan saingannya, namun kelihaian Yulius Caesar tak dapat dibendung bahkan
berhasil menguasai Peninsula (semenanjung Italia) dan membunuh Pompeius di Yunani.
Yulius Caesar pun menjadi pemimpin tunggal Romawi dan menjadikan dirinya sebagai
diktator seumur hidup. Banyak terjadi perubahan semasa pemerintahan Yulius Caesar,
mengurangi tugas-tugas Senat, pembaharuan administrasi, memperbaiki perpajakan,
pembuatan perumahan, memperbaiki sistem kalender matahari dan pengeringan rawa-rawa.
Ternyata, perubahan dan kesuksesan Yulius Caesar tidak mendapat sambutan hangat dari
beberapa pihak termasuk dari anak angkatnya Brutus. Tragisnya, tahun 44 SM Yulis Caesar
pun dibunuh oleh Brutus.
Kematian Yulius Caesar menimbulkan kekacauan, Senat ingin kembali menguasai
pemerintahan. Dalam kondisi negara seperti ini, para panglima Yulius Caesar membentuk
triumvirat yang baru terdiri dari Antonius, Lepidus dan Octavianus. Kekuatan ini dapat
menguasai Romawi menjadi terkendali dan membunuh Brutus sang pemberontak. Atas jasa-
jasanya ketiga panglima diberi wilayah kekuasaan, Antonius menguasai wilayah sebelah
Timur (Asia Kecil dan Mesir), Lepidus menguasai wilayah Selatan (Afrika Utara) dan
Octavianus menguasai wilayah Barat (Yunani dan Spanyol).9
3. Zaman Kekaisaran
Dilantiknya Octavianus menjadi kaisar (penguasa tunggal) menjadikan bentuk
pemerintahan Romawi menjadi kekaisaran dengan Octavianus sebagai kaisar yang pertama.
Keadaan negara pada zaman ini dinamakan Pax Romana, artinya Roma yang damai.
Octavianus memiliki kekuasaan tunggal atas Imperium Romawi yang memiliki kekuasaan
absolut. Ia tidak hanya penguasa dalam bidang pemerintahan dan politik namun juga sebagai
kepala agama. Pembaharuan pun dilakukan dengan baik, Kota Roma dilengkapi polisi dan
pemadam kebakaran, meningkatkan subsidi gandum, membangun arena olahraga, dan
membangun kuil. 10
Setelah Octavianus meninggal, kekuasaan diserahkan kepada Tiberius (14 - 37 M).
Pada masa ini timbul penyebaran agama Kristen oleh Nabi Isa (Yesus Kristus). Agama
Kristen mengajarkan monotheisme dan tidak mendewakan manusia. Karena demikian, kaum
Kristen dianggap sebagai pemberontak yang akan menjadi raja maka Yesus Kristus pun
dihukum mati dengan cara disalib dan penganutnya ditindas.
Tahun 54 – 68 M Kaisar Nero berkuasa di Romawi. Pada masa ini, sejumlah kaum
Kristen diincar dan dibunuh karena pengikut kristen makin bertambah jumlahnya. Namun
keadaan ini tidak membuat kaum Kristen menjadi gentar, dan membuahkan hasil yang baik
pada masa kekuasaan Konstantin Agung (312-337 M). Perlakuan pengejaran dan
pembunuhan kepada kaum Kristen ditiadakan, ia menyadari dengan benar nilai-nilai yang
9
Hegel, G.W.F.2005. Filsafat Sejarah. Pustaka. Yogyakarta. Hal 405
10
Moniarti, Rika. 2002. Sejarah Peradaban Kuno. Mitra Sarana. Bandung . Hal 40
terkandung dalam ajaran-ajaran Yesus Kristus. Sejak itu agama Kristen ditetapkan sebagai
agama negara.
Konstantin Agung memindahkan ibukota dari Roma ke Konstantinopel. Keputusan
ini merupakan awal yang tidak baik bagi kekuasaan Imperium Romawi. Pada tahun 400 M,
pecahlah kekuasaan Romawi menjadi dua bagian, yaitu Imperium Romawi Barat dengan
ibukota Roma dan Imperium Romawi Timur dengan ibukota Konstantinopel. Tahun 476 M
Imperium Romawi Barat hancur oleh penyerangan bangsa Jerman. Keruntuhan Romawi
Barat tidak memengaruhi keamanan Romawi Timur, bahkan sempat mengalami kejayaan
pada masa Kaisar Yusthianus tahun 527-563 M. Pada tahun 1543 Imperium Romawi Timur
hancur oleh serangan bangsa Turki.
Hukum Romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum, tidak ada bandingannya
dengan sejarah hukum manapun di dunia ini. Perkembangan hukum Romawi yang
spektakuler dalam sejarah hukum sebenarnya dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Faktor penghormatan terhadap profesi Praetor (hakim dan legislatif sekaligus)
Sistem hukum Yunani dalam sejarahnya kurang menekankan fungsi dan peran para ahli
hukum, akibatnya profesi hukum, seperti advokat dan hakim, tidak berkembang di sana.
Bahkan, hakim hanya terdiri atas orang-orang biasa yang dikumpulkan untuk diminta
menjadi hakim, jadi bukan profesi seumur hidup. Para hakim rakyat ini disebut
Dikateries. Sistem hukum Romawi dalam sejarahnya sangat berbeda. Mereka sangat
menghargai peran dan eksistensi dari profesi hukum. Misalnya, kala itu dikenal jabatan
Praetor yang merupakan jabatan hakim sekaligus legislator. Praetor sangat berperan
dalam membentuk dan mengembangkan hukum di Romawi.
2. Faktor penghormatan terhadap profesi advokat
Sistem hukum Romawi memberikan appresiasi yang tinggi terhadap profesi advokat.
Para advokat menghabiskan seluruh hidupnya dalam bidang hukum Mereka ini tidak
hanya mengajukan argumentasi cerdas ketika membela klien- kliennya, melainkan juga
memberikan pendapat-pendapatnya dalam bentuk buku- buku hukum. Cicero adalah
salah satu dan yang paling terkenal di antar advokat Romawi saat itu
3. Faktor luasnya kerajaan Romawi
Kerajaan Romawi memiliki imperium kekuasaan yang begitu luas sehingga memerlukan
satu set hukum yang baik untuk dapat menyatukan wilayahnya.
4. Faktor lamanya kerajaan Romawi berkuasa
Kerajaan Romawi berkuasa dalam kurun waktu berabad-abad sehingga memiliki waktu
yang panjang dalam menciptakan hukum. Negara Romawi saja berkuasa sampai kurang
lebih 1000 tahun, sedangkan negara pecahan Romawi, yaitu Konstantinopel, malahan
bisa survive lebih kurang 1000 tahun lagi setelah keruntuhan Kerajaan Romawi. Praktis
mereka menguasai dunia selama dua milenium.
5. Faktor kejeniusan raja dari kerajaan Bizantium (pecahan Kerajaan Romawi)
Raja Justinian, pada tahun 529 M, mengumpulkan sejumlah ahli hukum dalam suatu
panitia yang bertugas untuk menyusun kembali hukum Romawi yang mulai berserakan
dalam berbagai undang-undang dan buku-buku hukum, ke dalam satu kitab hukum yang
sistematis. Panitia yang diketuai oleh ahli hukum yang bernama Tribonian itu,
menghasilkan suatu kitab hukum yang cukup komprehensif yang disebut dengan Code
Justinian (Corpus Juris Civilis) yang berisi Digest (terdiri atas 50 jilid) dan Institutes.11
11
Gadjong, Agussalim Andi. 2019. Ilmu Negara. Kretakupa. Makassar. Hal 137
6. Kebangkitan kembali hukum Romawi
Pengembangan hukum Romawi pada kebangkitan kembali hukum Romawi yang
berpusat di Universitas Bologna (Itali), terjadi di sekitar abad ke-12, di mana hukum
Romawi seperti yang terdapat dalam Code Justinian ditafsirkan dan dikembangkan
kembali oleh para Glossator dan Commentators.
7. Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu berdasarkan hukum
Romawi.
Pengembangan beberapa hukum nasional di negara tertentu sangat berpengaruh bagi
dunia hukum dengan membuat berbagai kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di
Prancis yang didasarkan pada Code Justinian, atau pem buatan Code Civil Jerman yang
didasarkan pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian. 12
Hukum Romawi berkembang sangat panjang dalam sejarah. Dalam perkembangan
yang cukup lama tersebut, ada berbagai cara membagi tahap-tahap perkembangan hukum
Romawi. Salah satunya ialah dengan membagi perkembangan hukum Romawi ke dalam
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap awal hukum Romawi.
2. Tahap republik
3. Tahap awal imperium
4. Tahap imperium kristiani
5. Tahap Code Justinian.
6. Tahap hukum Kanonik.
7. Tahap kodifikasi Barbar.
8. Tahap pengkajian kembali hukum Romawi.
9. Tahap resepsi hukum Romawi13
Setelah hukum Romawi dikembangkan oleh bangsa Romawi sendiri selama lebih
2000 tahun, kemudian hukum tersebut dikembangkan lagi oleh bangsa-bangsa lain yang telah
menerapkan hukum Romawi dan terus berkembang sampai saat ini dalam bentuk tradisi
hukum Eropa Kontinental, atau yang disebut dengan sebutan tradisi hukum Civil Law.
Sampai sejauh ini, sistem hukum Romawi melalui tradisi hukum Eropa Kontinental ini hanya
mendapatkan rival yang sebenarnya tidak sebanding (terutama jika dibandingkan dengan
usianya) yaitu tradisi hukum Anglo Saxon atau sering disebut pula hukum Common Law.14
Di awal era perkembangan hukum Romawi, suatu aturan hukum dikenal dalam
beberapa bentuk sebagai berikut.
1. Leges Regiae
Leges Regiae merupakan suatu aturan umum dengan mengambil corak Undang- Undang
Dua Belas Pasal.
2. Instruksi
Ini merupakan instruksi untuk melaksanakan hukum yang dilakukan baik oleh para
pendeta atau pun oleh orang biasa.
3. Formula instruksi lisan
Formula instruksi lisan untuk menjalankan tugas-tugas suci yang biasanya dikombinasikan
dengan instruksi yang bersifat seremonial
4. Responsa atau Decreta
12
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 201
13
ibid. Hal. 201
14
ibid. Hal. 203
Responsa atau Decreta merupakan pendapat atau jawaban terhadap permasalahan yang
berkenaan dengan perbuatan yang sacral. 15
Corpus Iuris Civilis (the body of civil law) adalah kodifikasi hukum perdata yang
dibuat di abad ke-6 di bawah pemerintahan Kaisar Justinianus (482/483-565), Kaisar Romawi
(Bizantinium), yang terdiri dari;
1. Digestae atau Pandectae yang merupakan himpunan tulisan-tulisan hukum para ahli
hukum;
2. Institutiones semacam buku pelajaran untuk mahasiswa hukum yang sebagian besar
dikutip dari tulisan Gaius;
3. Codex merupakan himpunan peraturan-peraturan dari kaisar-kaisar sebelumnya;
4. Novellae yang ditambahkan kemudian dan berisi hukum-hukum baru sesudah
selesainya tiga bagian pertama di tahun 534.16
Corpus Juris Civilis merupakan dasar utama bagi pembentukan kodifikasi besar lainnya, yaitu
Code Napoleon (1804 M), di samping dasar lainnya berupa kebiasaan setempat. Untuk
sekadar mendapatkan nuansa dari Code Napoleon tersebut, beberapa prinsip hukum yang ada
di dalamnya dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Hukum hanya berlaku untuk masa yang akan datang, tidak boleh ada hukum berlaku
surut;
2. Hakim yang menolak perkara dengan alasan undang-undangnya tidak jelas, kabur, atau
tidak cukup diatur, harus bertanggung jawab karena menolak keadilan;
3. Setiap orang Prancis harus dapat menikmati hak-hak perdatanya;
4. Suami dapat menggugat cerai isterinya karena alasan perzinaan yang dilakukan oleh
isterinya;
5. Isteri dapat menggugat cerai suaminya karena alasan perzinaan yang dilakukan oleh
suaminya, yang membawa selingkuhannya ke tempat tinggal bersama mereka;
6. Pihak dalam ikatan perkawinan dapat saling menggugat cerai karena alasan adanya
tindakan kasar, memukul, atau melukai pasangannya oleh yang satu terhadap yang
lainnya, atau jika salah satunya bersalah yang telah dijatuhkan hukuman oleh
pengadilan. 17
18
ibid. Hal. 208-209
Dalam proses hearing preliminary ini, ada tiga tindakan yang dapat dilakukan, yaitu sebagai
berikut.
1. Tindakan Sacramentum
2. Tindakan Iudicis Arbitrive Postulatio
3. Tindakan Concictio.
Tindakan Sacramentum merupakan tindakan yang umum untuk memulai suatu kasus
yang digunakan di Romawi jika undang-undang tidak menunjuk tindakan lain. Asal muasal
tindakan sacramentum adalah pertukaran sumpah di antara para pihak yang bersengketa,
tentunya sumpah kepada dewa-dewi, kemudian kasusnya diputuskan dengan ordeal atau pun
bantuan supranatural. Dalam perkembangan selanjutnya, tindakan sacramentum menjadi
tindakan sumpah yang disertai dengan pemberian deposit sejumlah uang oleh pihak yang
untuk sementara dimenangkan oleh Magistrate. Prosedur sacramentum berbeda antara
gugatan berkenaan dengan benda (in rem) dan prosedur jika gugatan berkenaan dengan
pribadi (in personam). Prosedur sacramentum juga memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menyelesaikan persoaloannya dan waktu yang tersedia cukup untuk itu, karena
proses pengadilan baru boleh dilangsungkan paling cepat dalam waktu 30 hari setelah proses
sacramentum.
Sedangkan, berkenaan dengan tindakan iudicis arbitrive postuliatio, prosedur hearing
preliminary dalam bentuk ini hanya dimungkinkan sejauh dibenarkan oleh undang-undang
yang berlaku. Ada lagi tindakan yang dapat dilakukan dalam proses hearing preliminary,
yaitu tindakan yang disebut dengan condictio. Tindakan condictio juga lebih sederhana dari
tindakan sacramentum dan dilakukan tanpa sumpah, tetapi banyak formalitas seperti yang
berlaku untuk tindakan sacramento.19
Penunjukan hakum merupakan tahap terakhir dalam proses hearing preliminary. Ada
beberapa model penunjukan hakim yang berlaku dalam sistem hukum Romawi, yang
umumnya tergantung pada jenis kasus tersebut. Model- model penunjukan hakim tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Penunjukan hakim tunggal dari orang biasa (lay judge).
2. Penunjukan beberapa hakim dari orang biasa.
3. Penunjukan centumviri (seratus orang) dari orang biasa.
4. Penunjukan decemviri (sepuluh orang) dari orang biasa.
5. Penunjukan recuperatores (orang biasa yang dipilih oleh magistrate)20
Sebagai negara yang sistem hukumnya sudah relatif maju, tentu pembuatan kontrak
sehari-hari sudah banyak dilakukan oleh masyarakatnya. Untuk mendapatkan gambaran
tentang kontrak-kontrak yang dibuat di masa Romawi tersebut, berikut ini contoh kontrak
tentang jual beli budak, yaitu sebagai berikut :
Terhadap Agoronami dari... dari Sarapion, anak angkat dari Zoilus bin Apion, saya
bersumpah atas nama Raja Caesar Titus Aelius Hadrianus Antoninus Augustus Pius
bahwa saya telah menjual kepada Agathodaemon, manusia merdeka dari
Heraclidses dan Sarapion yang dipanggil Dorion. Anak kedua dari Sarapion yang
berasal dari kota yang sama dan budak kelahiran di rumah, yaitu Didymus,
19
ibid. Hal. 211-212
20
Borkowski, Andrew. 1994. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press Limited. Hal. 69
dalam Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum
merupakan milik saya karena warisan dari ayah angkat saya, yang merupakan
paman saya dan sekarang telah meninggal dunia. Budak ini bebas dari segala celaan
dan bebas dari epilepsi serta leprosi. Saya selanjutnya bersumpah bahwa dia adalah
milik saya dan tidak sedang dalam jaminan utang atau jaminan apapun. Saya
memberikan harga 1300 uang perak, karena itu saya menggaransi transaksi ini.
Saya akan baik-baik saja jika saya bersumpah kepada yang sebenar-benar terjadi,
tetapi akan sebaliknya jika saya bersumpah palsu. 21
Selain itu, kontrak perkawinan antara suami atau calon suami dengan isteri atau calon isteri
juga sudah banyak terjadi di zaman Romawi. Berikut ini sebuah contoh dari kontrak
perkawinan dimaksud :
Kepada Protarchus dari Thermion binti Apion, dengan walinya yaitu Apollonius
bin Chaereas, dan dari Apollonius bin Ptolemaeus. Thermion dan Apollonius bin
Ptolemaeus telah bersetuju bahwa mereka hidup bersama untuk sama-sama
menempuh rumah tangga dan Apollonius bin Ptolemaeus tersebut mengakui bahwa
dia telah menerima dari Thermion pemberian sebagai hadiah perkawinan sepasang
anting-anting emas yang beratnya tiga perempat dan perak drachmae; dan dari
sekarang Apollonius bin Ptolemeus harus memberikan kepada Thermion sebagai
isterinya semua kebutuhan dan pakaian yang pantas dan tidak boleh
memperlakukannya semena-mena, tidak boleh juga menyakitinya atau mencari
isteri lain. Atau dia dapat langsung mengambil hadiah perkawinan satu setengah
kali, dengan hak eksekusi baik terhadap orangnya yaitu Apollonius bin Ptolemaeus,
maupun terhadap semua harta bendanya seolah-olah seperti kekuatan suatu putusan
hukum, dan Thermeon harus melaksanakan kewajibannya terhadap suaminya
secara hidup bersama, dan tidak boleh merusak atau mengabaikan rumah
bersamanya juga tidak boleh berhubungan dengan laki-laki lain, atau jika isterinya
tersebut bersalah, maka melalui putusan pengadilan, dapat diambil hadiah
perkawinan. Dan sebagai tambahan, pihak yang telah melakukan kesalahan
berkewajiban pula membayar denda. Tahun ke-17 dari raja Caesar.22
Di samping itu, putusan pengadilan tertulis di Romawi juga pernah ditemukan oleh sejarah
hukum. Berikut ini sebuah contoh rekaman putusan pengadilan dalam kasus perdata yang
ditemukan di dekat Genoa dan ditulis di atas lempengan perunggu.
Putusan Genoa, 117 SM
Quintus dan Marcus Minutius Bin Quintus dari klan Rufus memiliki yurisdiksi
antara Genoese dan Viturians. Dengan kehadirannya, telah dicapai suatu putusan
terhadap masalah tersebut dengan memiliki ha katas tanah dan batas-batasnya yang
telah ditentukan. Telah diambil suatu putusan sesuai resolusi dari Senat, pada Ides
dari December, dengan konsulatnya adalah Lucius Cecilius bin Quintus dan
Quintus Mucius Bin Quintus, dengan putusan sebagai berikut:
“Tanah pertanian di Castellus dari Vinturii Langenses adalah hak milik pribadi dari
Viturians beserta keturunannya dan tidak terkena pajak.”
Batas-batasnya adalah sebagai berikut:
Dimulai dari mulut Sungai Manicelo sampai pada tempat pertemuan dengan Sungai
Ede, disana ada batu tanda pembatas, terus di sepanjang Sungai sampai bertemu
21
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited. Hal. 267 dalam Fuady,
Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 234
22
ibid. Hal. 234- 235
Sungai Lemur; karena itu, disepanjang Sungai Lamuri sampai ke Sungai
Cumberanea; karena itu, disepanjang tepi Sungai Cumberanea terus ke Lembah
Captiema; dan karena itu, di sana ada dua batu pembatas di jalan Pastumia dan
satunya lagi di luar jalan. Dari batu pembatas di luar jalan, lurus ke Manicelo; ke
pembatas di Sungai Ede yang tadi telah disebutkan.”
Tanah berikut ini diputuskan menjadi tanah public. Viturii dari Castellus Langascus
memiliki kepemilikan dan hak kenikmatan yang sah. Untuk tanah ini, Vinturii
Langenses harus membayar sebanyak 400 veiturii per tahun sebagai sewa dari
kantor bendahara Genoa. Jika mereka gagal membayar jumlah tersebut dan
melunasi kepada Genoese dengan cara-cara yang lain yang dapat diterima dan
asalkan Genoese bukan merupakan penyebab penundaan. Langense terikat untuk
menyerahkan setiap tahunnya kepada kantor perbendaharaan Genoa bagian yang ke
dua puluh dari gandum yang dihasilkan di atas tanah tersebut dan bagian keenam
dari anggur.
Berkenaan dengan Viturii yang bersengketa dengan Genoese, diadili dan dijatuhi
hukuman karena melakukan penganiayaan. Jika setiap dari mereka masih dalam
penjara untuk tuduhan tindak pidana tersebut, diputuskan bahwa mereka harus
segera dibebaskan dengan syarat mereka tidak lagi membuat perluasan dari
Meadowland di luar area yang telah dikuasainya di musimpanas yang lalu.
(Tanda Tangan)
Marcus Meticanius Bin Metico (Representatif dari Genoa). Plaucus Bin Pelion Bin
Pelius (Representatif dari Viturii) 23
Hukum Romawi ternyata banyak meninggalkan bukti sejarah yang dapat terbaca
sampai sekarang, terutama setelah orang-orang Romawi menulis undang- undang atau
dokumen hukum lainnya diatas batu marmer dan lempengan perunggu. Tidak kurang
dari 3000 buah lempengan perunggu pernah terkumpul di Capitoline Hill, suatu
perpustakaan khusus, tetapi sekarang kebanyakan sudah hilang.
Hukum Romawi sebagaimana terdapat dalam Corpus Juris Civilis terus saja
berlaku dan berkembang, kecuali beberapa abad di masa invasi dari bangsa Arab,
Slavia, dan Lombardia, bahkan setelah jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia Barat yang
terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang saling terpecah-pecah, hukum Romawi tetap
diberlakukan, bahkan tetap diberlakukan oleh para penakluk dari bangsa Germania,
disamping berlakunya hukum kanonik (grejawi).
Memang, dengan jatuhnya Kerajaan Romawi, penggunaan Corpus Juris Civilis
juga semakin meredup. Para penakluk disamping membawa hukumnya yang merupakan
hukum Germania, memberlakukan pula hukum Romawi, tetapi dalam versi yang kurang
jelimet dan lebih kasar pengaturannya, khususnya yang diberlakukan di Semenanjung
Italia. Akibatnya, hukum Romawi yang asli (bukan dari Corpus Juris Civilis) yang
bercampur dengan hukum Germania kemudian berlaku di Italia, Prancis Selatan, dan
Semenanjung Iberia. Namun, sejarah menunjukkan bahwa hukum Romawi campuran
Germania, yang dianggap hukum Romawi yang vulgar dan bar-bar, dikemudian hari
23
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 236
tidak diikuti lagi dalam pembuatan-pembuatan kodifikasi sehingga hanya tinggal dalam
sejarah.
Disamping itu, pada abad pertengahan, hukum kebiasaan bangsa Germania yang
mulai ditulis pada abad ke-5 M sedikit banyaknya memengaruhi perkembangan sistem
hukum Eropa Kontinental, seperti dalam bidang hukum harta perkawinan dan hukum
waris. Hanya saja, pengaruh dari hukum bangsa Germania ini kemudian meredup
karena sifatnya yang sangat simpel (lay character) dan hukum acara yang kasar, seperti
penggunaan mistik dalam bentuk ordeal misalnya. Hukum-hukum seperti bidang
kepemilikan modern dan hukum dagang, ternyata juga tidak berasal dari hukum
Romawi, tetapi merupakan hukum yang tercipta pada abad pertengahan.
Menurut hukum Romawi, suatu pembunuhan terencana tidak mungkin
dimaafkan, baik oleh manusia maupun oleh dewa-dewa, di mana hukumannya adalah
hukuman mati. Dalam hukum Romawi Hippodamus pada abad ke-5 SM menyatakan
bahwa, bahwa yang dapat menjadi gugatan hukum hanyalah:
a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).
Karena itu, dalam hukum-hukum klasik sebenarnya tidak dikenal suatu gugatan
hukum untuk wanprestasi kontrak. Akan tetapi, apabila wanprestasi kontrak dapat
mengakibatkan timbulnya penghinaan atau pertengkaran yang pada gilirannya dapat
menimbulkan pelanggaran ketertiban umum atau tindakan penganiayaan dan
pembunuhan, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, dalam hal ini. hukum-
hukum klasik tetap hanya berkepentingan dengan penghinaan, penganiayaan, dan
pembunuhan saja. Sedangkan, masalah kontrak yang tidak bersentuhan dengan salah
satu dari tiga unsur tersebut tidak mendapatkan tempat di pengadilan, hanya diatur dan
diberikan sanksi oleh moral dan agama.24
24
ibid. Hal. 202
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prestasinya bangsa Romawi dibidang hukum tidak bisa ditandingi oleh bangsa-
bangsa lain mana pun di dunia, bahkan tidak bisa ditandingi oleh bangsa-bangsa yang
hidup di zaman modern sekalipun. Sampai sekarang pun tidak ada Negara di dunia ini
yang hukumnya tidak terkena pengaruh hukum Romawi, baik hukum di negara yang
berlaku sistem hukum Anglo Saxon, sistem hukum Sosialis, sistem hukum Islam,
Hindu, Buddha, apalagi di negara yang berlaku sistem hukum Eropa Kontinental.
Keperkasaan bangsa Romawi dalam membuat hukum memang sudah menjadi legenda.
Sejarah hukum menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan hukum
Romawi di Zaman Romawi terjadi sekitar 1000 tahun. Dimulai dari berlakunya
Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) di tahun 450 SM, sampai dengan
terbentuknya kompilasi hukum Justinian di sekitar tahun 534 M, dengan para ahli
hukum Romawi seperti Ulpianus, Papianianus, dan Gaius.
B. Saran
Bangsa Indonesia seharusnya sudah bisa membuat kodifikasi hukum-nya sendiri
seperti yang dilakukan oleh bangsa romawi kuno. agar Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada dibahas oleh Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat disegerakan untuk disahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah. Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Bahan Ajar. Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi.
Borkowski, Andrew. 1997. Textbook on Roman Law. London, Inggris: Blackstone Press
Limited.
Fuady, Munir. 2013. Sejarah Hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Justinian.
1985.
Gadjong, Agussalim Andi. 2019. Ilmu Negara. Kretakupa. Makassar
Hegel, G.W.F.2005. Filsafat Sejarah. Pustaka. Yogyakarta
Moniarti, Rika. 2002. Sejarah Peradaban Kuno. Mitra Sarana. Bandung
Prof.Dr.Sunarmi. 2016. Sejarah hukum. Kencana. Jakarta
Schulz, Fritz. 1953. History of Roman Legal Science. Oxford, Inggris: At the Clarendon
Press. Hal. 16
Weeramantry, C.G. 1982. An Invitation to The Law. Australia: Butterworths Limited.
Wilujeng D. 2007. Romawi Kuno. Semarang. Alprin.
Sumber lainnya :
Wikipedia, “Kerajaan Romawi” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi (3
Desember 2020)
MAKALAH
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL
Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2020
i
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pada hakekatnya perkembangan hukum di dunia, berawal dan berlangsung
tidak terlepas dari eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. tidak mengherankan
ketika individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat selalu berkeinginan
untuk hidup bermasyarakat dan dengan sifat ketergantungan baik antara individu,
yang satu dengan yang lain maupun antara kelompok dengan individu dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri. Sifat-sifat keinginan manusia untuk
bermasyarakat dimana, sebagai mahkluk sosial yang saling membutuhkan yang
bersifat alamiah.1
Dari perilaku dan sifat-sifat manusia di atas, tidak terhindar dari naluri
kekuasaan dan keserakahan dari individu atau kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain, dengan tujuan superiotitas atau mendapatkan kedudukan yang
lebih tinggi derajatnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat kekuasaannya.
Agar terhindar dari benturan kepentingan dan sifat keserahkahan manusia
atau kelompok untuk berkuasa, di butuhkan sebuah perangkat (Hukum) untuk
mengimbangi dan menjamin hak-hak fundamental yang di miliki oleh setiap orang
agar tidak dapat di langgar atau di tindas oleh pihak yang berkuasa.
Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari
ilmu sejarah (bukan cabang dari ilmu hukum), yang mempelajari (studying),
menganalisa (analising), memverifikasi (verifiying), menginterpretasi
(interpreting), menyusun dalil (setting the clausule), dan kecenderungan
(tendention), menarik kesimpulan tertentu (hipoteting), tentang setiap fakta,
konsep, kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku.2
Baik yang secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta
ketersentuhannya dengan apa yang terjadi di masa kini, baik seperti yang terdapat
dalam literatur, naskah, bahkan tuturan lisan, terutama penekananya atas
karakteristik keunikan fakta dan norma tersebut, sehingga dapat menemukan gejala,
1
Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum (Malang: UMM Pres, 2002), hlm: 11.
2
Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009).Hlm 1
1
dalil, dan perkembangan hukum di masa yang lalu yang dapat memberikan
wawasan yang luas bagi orang yang mempelajarinya, dalam mengartikan dan
memahami hukum yang berlaku saat ini.3
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dari asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
membandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah hukum ini terutama berkait dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam
hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-1861). Dalam studi sejarah hukum
ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang
bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-
masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa sistem hukum itu tumbuh, maka
yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang
dengan yang lalu. Apalagi dapat diterima bahwa hukum sekarang berasal dari yang
sebelumnya atau hukum pada masa-masa lampau, maka hal itu berarti, bahwa
hukum yang sekarang dibentuk oleh prosesproses yang berlangsung pada masa
lampau.4
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,
sedangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dalam hal itu, yakni hukum. Apa yang
berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, serta maksud dan
tujuan sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga “dalil-dalil
atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan”. Jadi, dengan demikian
permasalahan yang dihadapi sejarawan hukum tidak kurang “imposible” daripada
setiap penyelidik dalam bidang apapun. Namun dengan mengutarakan bahwa
sejarawan hukum harus berikhtiar untuk melakukan penulisan sejarah secara
integral, nampaknya Van den Brink terlampau jauh jangkauannya. Justru pada
tahap terakhir ia melangkahi tujuan spesifik sejarah hukum ini. Sudah barang tentu
bahwa sejarawan hukum harus memberikan sumbangsihnya kepada penulisan
3
Anshori, Abdul Ghofur. "Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional." Jurnal Fakultas Hukum UII 2.2
(2008): 159-172.
4
R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Hlm 319
2
secara terpadu. Bahkan sumbangsih tersebut teramat penting, mengingat peran yang
begitu besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hukum
manusia.5
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis membuat makalah yang
berjudul Tentang Sejarah Hukum Internasional.
2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik
Hingga Masa Moderen ?
5
John Gilissen, Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Adita
Utama, 2009).
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga
Masa Moderen
Sejarah hukum sangat penting karena melalui sejarah hukum kita akan
mampu menjajaki berbagai aspek hukum pada masa yang lalu, hal mana akan dapat
memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-
institusi hukum yang ada. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau
merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada
masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara
ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.
Dalam hukum memang sangat sulit di temukan suatu definisi yang sunggu-
sungguh dapat memadai kenyataan. Para sarjana hukum memberikan definisi
tentang hukum terdapat perbedaan pandangan, dan menurut seleranya masing-
masing sesuai dengan objek penelitiannya. Hal ini di sebabkan masing-masing
sarjana hukum terpaku pada pandangannya sendiri. Tegasnya, para sarjana itu
terikat pada alam sekitar dan kebudayaan yang ada ataupun terikat pada situasi yang
mengelilinginya.
Van Apeldoorn, hukum adalah suatu gejalah sosial; tidak ada masyarakat
yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek dari kebudayaan
seperti agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan. 6
Oleh sebab itu berdasarkan pembahasan diatas Adapun sejarah
perkembangan hukum yang penulis dapat uraikan yaitu:
A. Hukum Klasik
1. India Kuno
Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga hukum yang
mengatur hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce,
adat kebiasaan yang mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa Dharma.
Gautama Sutera dan undang-undang Manu memuat tentang hukum kerajaan.
6
L.j Van Apeldoorn dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, PT.REVIKA Aditama,Bandung,2006,Hlm.82-83
4
Hukum yang mengatur hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat
dikatakan sebagai hukum internasional, karena belum ada pemisahan dengan
agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu
sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja
atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak
istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan
cara berperang.7
2. Cina Kuno
Cina memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk
kelompok-kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara yang
bersifat regional tributary state. Pembentukan perserikatan negara-negara
Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu.
3. Yunani Kuno
Menurut Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum intermunicipal, yaitu
kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota,
seperti ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan
perang. Kaidah-kaidah intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga
dari negara kota. Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh
agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum. Moral, keadilan,
dan agama.8
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang Yunani
dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal ketentuan
perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul). Sumbangan yang terpenting bagi
hukum adalah konsep hukum alam, konsep ini kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh orang-orang Romawi.9
4. Romawi Kuno
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan
tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu
7
Mochtar Kusumaatmaja, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003. Hlm 26.
8
Starke J.G, Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Hlm 9.
9
Ibid: 27
5
imperium, yaitu Imperium Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi
perkembangan hukum pada umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan
hukum. Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius
Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan
sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan
dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam) meliputi seluruh
penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum pada umumnya yaitu
dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar Justinianus. Konsep-
konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima dalam hukum
internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt servanda,
Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami
perkembangan Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly
Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang
berdiri sendiri, serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal,
yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya negara-negara
merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar
bangsa-bangsa. 10
B. Masa Abad Pertengahan
1.Hukum Pada Abad ke 15 dan 16
Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa
kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di
bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim
kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat
yang bersifat feodal dan Tahta Suci.
Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen,
yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran
gereja. Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan
peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang
10
Ibid: 8-9.
6
(reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380.11
Meskipun pada abad pertengahan hukum tidak mengalami perkembangan
yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara
yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia,
Portugal, benih-benih perkembangan hukum internasional mulai bermunculan.
Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur peperangan,
perdamaian, gencatan senjata dan persekutuan-persekutuan.
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi,
seperti yang dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan
seiring dengan mulai terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin
dalam Buku Six Livers De la Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan
atau kekuasaan bagi pembentukan hukum merupakan hak mutlak bagi lahirnya
entitas suatu negara.
Pada akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan dalam isu-
isu politik, pertahanan dan militer. Hukum mengenai pengambilalihan wilayah
berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa
ahli hukum seperti, Fransisco De Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas
Salamanca Spanyol bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia
menulis buku Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan bangsa Spanyol dan
Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga
dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, dan ius inter
gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa Eropa tetapi
juga bagi semua umat manusia.
Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil
pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum perang, doktrin perang adil,
pembentukan traktat, hak-hak budak dan kebebasan di laut.12
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa pencerahan
ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi keagamaan yang telah
11
Thontowi Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, Bandung, 2006. Hlm 34.
12
Ibid: 35-36
7
memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di Eropa dan
menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi
suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang
berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya
serangkaian kaidah untuk mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai
kata tidak terdapat kaidah-kaidah kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib
menemukan dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan
analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok
bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan preseden-preseden sejarah kuno,
hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam.13 Diantara penulis-
penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De Groot atau Grotius, Vittoria (1480-
1546), Belli (1502-1575), Brunus (1491-1563), Fernando Vasgues de Menchaca
(1512-1569), dan Ayala (1548-1617). Tulisan-tulisan para ahli hukum ini yang
terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional
pada abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan eropa telah
mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan
berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan yang seragam.
Francisco Suares (1548-1617), yang menulis buku De Legibus ae Deo
Legislatore (on Laws and Good as Legislator) yang mengemukakan adanya suatu
hukum atau kaidah objektif yang harus diikuti oleh negara-negara dalam hubungan
antar mereka. Ia juga meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang
meliputi seluruh umat manusia dan gentilis.
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas
keadaan hukum moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional.
Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace (de jure Belli ac
Pacis) tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis
selanjutnya serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan.
Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum adalah pembedaan antara
13
Starke J.G, Op.cit. hlm 10.
8
hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri
terlepas dari hukum alam, dan mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak
negara-negara itu sendiri. Beberapa doktrin Grotius bagi perkembangan hukum
moderen adalah pembedaan antara perang adil dan tidak adil, pengakuan atas hak-
hak dan kebebasan-kebebasan individu, netralitas terbatas, gagasan tentang
perdamaian, konferensi-konferensi periodik antara pengusa-penguasa negara serta
kebebasan di laut yang termuat dalam buku Mare Liberium tahun 1609.
Samuel Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et Gentium
menyatakan bahwa hukum dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal dan
perang sebagai alat hanya dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche
(1590-1660), penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada
hukum dalam keadaan damai dari pada hukum perang.14
C. Hukum Moderen
1. Pada abad ke 17 dan 18
Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum, oleh Jeremy
Bentham.15 Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum itu sendiri, yaitu
adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini
sebagai akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of
Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama
yang berlangsung lebih dari 30 tahun di Eropa.16 Menurut Mochtar Kusumaatmaja,
perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum
internasional moderen dan meletakkan dasar-dasar masyarakat moderen. Bentuk
negara-negara tidak lagi berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan atas negara-negara
nasional, serta adanya pemisahan antara gereja dengan urusan pemerintahan. Dasar-
dasar perjanjan Westphalia kemudian diperkuat lagi dengan adanya perjanjian
Utrecht, yaitu dengan menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik
14
Thontowi, Jawahir. "Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional." Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum
(Research Law Journal) 8.1 (2013).
15
Ibid, hlm. 34.
16
Ibid, hlm. 40
9
internasional17
Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-
kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan dan
mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip
tersebut.18 Para penulis terkemuka pada abad ke 17 dan 18 antara lain : Cornelis
Van Bynkershoek (1673-1743), yang mengemukakan pentingnya actual practice
dari negara-negara dari pada hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori
tentang hak dan kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694),
mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai negara dunia meliputi
negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam Receuil des Traites yaitu
suatu kumpulan perjanjian yang masih merupakan suatu kumpulan berharga hingga
sekarang. Emmerich De Vattel (1714-1767) memperkenalkan prinsip persamaan
antar negara-negara.
2. Pada abad ke 19
Hukum berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di dalam
maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-
penemuan baru, terutama di bidang persenjataan militer untuk perang.
Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem hukum yang
bersifat tegas untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut. Pada abad ini juga
mengalami perkembangan kaidah-kaidah tentang perang dan netralitas, serta
meningkatnya penyelesaian perkara-perkara melalui lembaga Arbitrase. Praktek
negara-negara juga mulai terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk
mengatur hubungan-hubungan antar negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih
memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku dan menyampingkan konsep
hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada reason dan justice, terutama
apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan.19 Para ahli hukum yang
terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton, menulis buku Elements of
17
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003. Hlm. 30-32.
18
Starke J.G, Op.cit. hlm 13.
19
Ibid: 8
10
International Law; De Martens, menulis buku yang semata-mata didasarkan atas
praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent, Kluber, Philimore, Calvo,
Fiore, Hall.
3. Abad ke 20 dan Dewasa ini
Hukum imengalami perkembangan yang cukup penting Pada abad ini mulai
dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague 1899 dan 1907.
Pembentukan Permanent Court of International Justice sebagai pengadilan
yudicial internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian digantikan oleh
International Court of Justice tahun 1948 hingga sekarang. Terbentuk juga
organisasi internasional yang fungsinya menyerupai pemerintahan dunia untuk
tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia, seperti Liga Bangsa Bangsa,
yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adanya perluasan
ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial ekonomi tetapi juga
mencakup perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebesasan fundamental individu.
Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian pada praktek-praktek
dan putusan-putusan pengadilan. 20
Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat moderen, maka hukum
internasional dituntut agar dapat mengatur mengenai energi nuklir dan
termonuklir, perdagangan internasional. Pengangkutan internasional melalui laut,
pengaturan ruang angkasa di luar atmosfir dan di ruang kosmos, pengawasan
lingkungan hidup, menetapkan rezim baru untuk eksplorasi dan eksploitasi
sumber-sumber daya alam di dasar laut di luar batas-batas teritorial, sistim jaringan
informasi dan pengamana data-data komputer serta terorisme internasional.21
Beberapa persoalan hukum yang kerap kali timbul dalam hubungan
internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian yang menimpa warga negara
suatu negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asing oleh suatu
negara, persoalan nasionalitas, pemberlakuan extrateritorial beberapa perundangan
nasional, penafsiran perjanjian internasional, serta pemberlakuan suatu perjanjian
yang rumit diberlakukan sebagian besar negara di bidang perdagangan, keuangan,
20
Ibid: 14-15.
21
Ibid, hlm. 16
11
pengangkutan, penerbangan, energi nuklir. Pelanggran hukum internasional yang
berakibat perang, perlucutan senjata dan perdagangan senjata ilegal.22 Berbagai
persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum internasional tetap diperlukan untuk
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam hubungan internasional Hukum
iunternasional diharapkan dapat mengatur dan memberikan penyelesaian hukum
yang tepat dan adil sehingga dapat diakui dan diterima oleh negara-negara atau
pihak-pihak yang bertikai, tidak bertentangan dengan perundangan nasional suatu
negara, dalam suatu tatanan sistim hukum internasional yang bersifat global.23
Pekembangan hukum pada abad ini juga karena adanya pengaruh dari
peradaban Yunani, Mesir Kuno, dan Romawi Kuno yang kemudian diadaptasikan
menjadi sebuah budaya yang bernama “Renaisans”. “Renaisans” merupakan
sebuah gerakan budaya yang berkembang pada masa abad ke-14 hingga abad ke-
17, dimana paham ini berkontribusi dalam perkembangan observasi, diplomasi, dan
peningkatan ilmu pengetahuan. Renaisans dianggap mewariskan prasyarat
pemikiran independen, kritis, dan pendekatan humanistik, serta kerangka hukum
politiik dimasa depan (Shaw, 2008). Adanya perkembangan didalam hukum ini
dilihat dari adanya perkembangan di bidang politik, hukum, budaya, ideologi, dan
masih banyak lagi. Perkembangan hukum pada aspek politik dapat dilihat dari
sebelumnya adanya pengaruh penguasa duniawi dan gerejawi, yang rata-rata
menguasai beberapa aspek dalam sebuah kerajaan, seperti ekonomi, agama,
ideologi, dan kultural.24
22
Ibid, hlm. 18
23
A. Arsensius, Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik Hingga
Masa Moderen (Doctoral dissertation, Tanjungpura University).
24
Christmas, S. K., & Purwanti, E. (2020). Perkembangan Sistem Pemerintahan dan
Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi Perancis Terhadap Hukum Internasional. Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, 2(2), 222-235.
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum tumbuh dan berkembang sesuai zamannya, yang diawali pada masa
klasik, seperti pada masa India kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno dan Romawi Kuno,
dalam bentuk kaidah-kaidah kebiasaan dan aturan-aturan yang dibuat oleh suatu
bangsa atau kerajaan yang mengatur hubungan diantara mereka dalam bentuk yang
masih sederhana dan bersifat terbatas untuk bidang-bidang tertentu saja. Pada masa
kelasik dan abad pertengahan, hukum tidak banyak mengalami perkembangan.
Baru setelah masa itu, yaitu pada abad ke 16, 17, 18, 19, 20, dan dewasa ini, hukum
moderen tumbuh dan berkembang sesuai zamannya, dari segi teori-teori, azas-
azas, lembaga-lembaga dalam hukum.
Saran
Untuk bisa memahami secara sistematis proses terbentuknya hukum, faktor
yang menyebabkan dsb dan memberikan tambahan pengetahuan yang berharga
untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat.
13
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Ghofur Anshori, "Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional." Jurnal
Fakultas Hukum UII 2.2 (2008): 159-172.
Apeldoorn L.j Van. dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, PT.REVIKA Aditama,Bandung. 2006.
Fuady, Munir. Sejarah Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Gilissen, John. Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika
Adita Utama, 2009.
J.G, Starke. Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Jawahir Thontowi. dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Refika Aditama, Bandung. 2006.
Kusumaatmaja, Mochtar. dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung, 2003.
Soeroso. R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
SP, Wasis. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: UMM Pres, 2002.
B. Jurnal
Anshori, Abdul Ghofur. "Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional." Jurnal
Fakultas Hukum UII 2.2 (2008): 159-172.
Arsensius, A. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional Dari Masa Klasik
Hingga Masa Moderen (Doctoral dissertation, Tanjungpura University).
Christmas, S. K., & Purwanti, E. (2020). Perkembangan Sistem Pemerintahan dan
Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi Perancis Terhadap Hukum
Internasional. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(2), 222-235.
Thontowi, Jawahir. "Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional." Pandecta: Jurnal
Penelitian Ilmu Hukum (Research Law Journal) 8.1 (2013).
14
C. Hasil Penelitian
Imam Sujono, Skripsi: Perkembangan Teori Hukum Murni Di Indonesia,
Universitas Bhayangkara Program Magister Ilmu Hukum, Tahun 2019.
15
MAKALAH
Oleh :
Chandra Julyana
20202108025
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah merupakan suatu proses dari masa lampau ke masa kini. Sejarah
adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
yang benar-benar terjadi di masa lampau. Sejarah hukum untuk dapat mengetahui
hukum pada masa kini. Sejarah hukum marupakan salah satu bidang studi hukum
yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu
masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda, karena
dibatasi waktu yang berbeda pula.
Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti pohon,
syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history; Bahasa latin dan
Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti orang pandai.1 Bahasa
Spanyol menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa
Prancis histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche
hen yang berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif);2
Sejarah hukum dari masa ke masa menunjukkan bahwa unsur keadilan tidak
pernah hadir total dalam tubuh hukum, seperti juga unsur suara rakyat tidak pernah
singgaah menetap dalam tubuh demokrasi. Sebabnya, karena unsur keadilan dan
suara rakyat tergilas oleh terjadinya dilusi yang saling sambung-menyambung.
Menurut Munir Fuady, Sejarah hukum adalah suatu metode dan ilmu yang
merupakan cabang dari ilmu sejarah (karenanya bukan cabang dari ilmu hukum).
Yang merupakan cabang dari ilmu hukum ) , yang mempelajari, menganalisis,
memverifikasi, menginterpretasi, Menyusun dalil dan kecenderungan, dan menarik
kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep, kaidah , dan aturan yang
berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik secara kronologis dan
sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan bidang lain dari
hukum. 3
Soedjono D, menjelaskan bahwa : “ sejarah hukum adalah salah satu
bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum
dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang
berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. 4
1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2
Ibid. hlm 2
3
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013) hlm 1
4
Sunarmi, Sejarah Hukum hal 12
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan
waktu. 5
Jadi sejarah hukum merupakan cabang dari ilmu sejarah, bukan cabang dari
ilmu hukum. Memang, ada bagian dari ilmu hukum yang erat kaitannya dengan
sejarah, yaitu diesbut dengan Historical Jurisprudence, tetapi ini berbeda dengan
ilmu sejarah hukum. Collingwood menjelaskan bahwa sejarah akan memberikan
makna bagi kehidupan manusia karena materi sejarah itu sendiri telah
memungkinkan terjadinya dialog antar dimensi waktu, yakni dialog antara waktu
yang telah lalu, waktu sekarang, dan bahkan waktu yang akan datang yang terjadi
secara terus-menerus . dalam dialog antar waktu tersebut, masing-masing dimensi
waktu memiliki posisi strategisnya masing-masing.
Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu akan sangat berguna
untuk dapat memahami dan menjelaskan kehidupan manusia yang terjadi pada saat
ini. Bahkan, peristiwa sejarah pada masa lalu dapat digunakan sebagai cerminan
guna menempuh kehidupan masa yang akan datang. Kesadaran untuk mengkaji
peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu guna mengantisipasi peristiwa pada
saat ini dan pula masa mendatang, seperti itulah yang akan membentuk kesadaran
sejarah. Sampai di sini dapat digaris bawahu bahwa sejarah sengat berguna untuk
mengembangkan kesadaran sejarah6.
Pada hakikatnya, pengetahuan sejarah adalah pengungkapan tentang
peristiwa, khususnya tentang bagaimana terjadinya peristiwa itu, mengapa
peristiwa itu terjadi, apa pengaruhnya terhadap masyarakat . sudah barang tentu,
penjelasan tentang bagaimana dan juga mencakup apa, siapa, dan kapannya. Esensi
dari setiap pengetahuan sejarah sebenarnya hendak menerangkan bagaimana
sesuatu terjadi, dan dengan demikian dianggap telah dterangkan atau dijelaskan
peristiwa itu. Ini berarti sejarah pada hakikatnya wajib melacak perkembangan
kejadian, jadi genetiknya. Memang keinginan tahu manusia tentang segala sesuatu
artifact, socigac, dan mentifact Kembali kepada pelacakan perkembangan mulai
dari asal mulanya ( genesisnya).
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah Sejarah Hukum China Kuno ?
5
Ibid,
6
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm 12
BAB II
PEMBAHASAN
7
Sutandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Hal 22
8
Balaz, E Engelborghs-Bertels,M.,”Chine”, di dalam Gilissen, J.(Ed), Introduction
bibiliographique, E/14 Brussel,1972 hlm 521
hak utama terdiri dari para ksatria dan kaum pelajar. Pada akhir tatanan feudal ini,
abad IV SM, hiduplah orang-orang besar yang paling mempengaruhi cara berfikir
filosofis dan agama Cina, ialah Lau-Tse, Konfusius dan Mensius.
Pada abad III mulai berkembang negara Kekaisaran Kuno; Cina menjadi
sebuah negara besar dan luas dengan sistem pemerintahan yang sentralistis, berkat
dinasti Tsj’in , dimana negara ini memperoleh namanya. Kendatipun dinasati ini
hanya berkuasa 40 tahun lamanya (265-107 SM ). Dengan berkuasanya Dinasti
T’ang (618-907 SM) Kembali bertumbuh sebuah negara Cina yang kuat dan penuh
percaya diri, semacam negara abad pertengahan, namun Kembali mengalami
kejatuhan sebagai akibat serangan-serangan baru dari luar dan pecahnya berkeping-
keping negara ini. Kesatuan politik negara ini dipulihkan oleh Dinasti Ming (1368)
dan dengan Dinasti Mansyu dari Tsing (1644-1912) pada hakikatnya Cina
mengalami imbolisme yang berkepanjangan baik di bidang ekonomi dan sosial,
maupun dalam bidang politik dan hukum kekaisaran ini ambruk pada tahun 1912.
Filosofi Cina berkembang setelah memasuki zaman Dinasti Zhou sekitar
1122-256 SM.Dinasti ini berawal dari penulisan aksara-aksara orakel di tempurung
kura-kura sampai dimulainya penulisan naskah-naskah Tionghoa Klasik.
Konfusianisme dan Taoisme mulai berkembang pada periode pertengahan Dinasti
Zhou yang dinamai periode musim semi dan musim gugur (Chunqiu) sekitar tahun
722-481 SM.9 Dinasti Qin yang didirikan oleh Qin Shi Huangdi menggusur Dinasti
Zhou dengan cepat namun sangat berpengaruh bagi masa depan China10.
Dinasti Qin juga melakukan banyak penemuan-penemuan dalam hal
pemerintahan, militer dan ekonomi. Pada bidang militer, Dinasti ini telah
mengembangkan crossbow dan membangun Tembok Besar Tiongkok untuk
menangkal serbuan yang sering terjadi dari suku-suku di sebelah utara.
Politik pemerintahan pada dinasti ini adalah bersekutu dengan negeri-negeri
yang jauh tetapi menyerang negeri-negeri yang dekat, dan strategi ini berhasil
membuat kekuasaan Dinasti Qin meluas hingga keenam negara kuat di Cina.
Perkembangan di bidang ekonomi ini menyangkut dengan perdagangan,
transportasi, dan agraris, seperti pemberlakuan sistem metrik dan uang yang
seragam di seluruh negeri, penyeragaman panjang poros roda kereta dan pedati
yang sendirinya mempengaruhi lebar jalan-jalan di seluruh kekaisaran, dan
pembangunan sistem kanal untuk mengairi sawah seluas 10.000 km
persegi.Kekaisaran dinasti ini terbilang singkat karena hanya berkisar 15 tahun
(221-206 SM), dan disebut sebagai perintis bagi datangnya zaman Han serta peletak
dasar-dasar konseptual bagi kekaisaran Tiongkok berikutnya Dinasti Han
membangkitkan kembali khasanah filsafat dan sastra Tiongkok yang telah menjadi
korban pembakaran buku pada 213 SM25.
Dinasti Han berbeda dengan Dinasti sebelumnya, mereka lebih
mengedepankan perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan menjadi pintu masuknya
9
Budiono Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok Sebuah Pengantar Komprehensif
(Yogyakarta : Jalasutra, 2010), Cet. I, hlm. 31.
10
bid.,hlm. 32-33.
Buddhisme ke Cina.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
meliputi; teknik pembuatan kertas dari bahan dasar bambu yang ditemukan oleh
Cai Lun, penemuan teknik percetakan yang menghasilkan koran pertama (Kaiyuan
Za Bao atau Buletin Istana), dan penemuan seismograf oleh Zhang Heng.
Penerjemahan manuskrip-manuskrip Buddha yang masuk Cina merupakan hal
yang luar biasa sulit. Namun dalam prakteknya, Buddha memiliki konsep yang
mirip dengan Taoisme sehingga lebih mudah berasimilasi dengan budaya lokal
walaupun persepsi keagamaannya akan berubah. Dinasti Han juga tak lepas dengan
masalah konflik berdarah, pemberontakan petani membuat pusat kekaisaran
berpindah dari barat ke timur sampai runtuh menjadi Dinasti-Dinasti kecil yang
menjadi perintis dari dinasti berikutnya.
Dinasti berikutnya dipersingkat oleh penyusun karena memiliki kemiripan
masalah yang dihadapi dan perkembangan dalam ilmu pengetahuan yang tidak
banyak, Dinasti tersebut meliputi Dinasti Tang (618-907 M), Dinasti Song (960-
1279 M), Dinasti Yuan (1279-1368 M), dan Dinasti Ming (1368-1644
M).Buddhisme berkembang lambat karena terjadi pemberangusan oleh birokrasi
pada Dinasti Tang. Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan (Wudai Shiguo,
907-960 M) merupakan masa setengah abad dimana Cina mengalami kekacauan
politik setelah Dinasti Tang runtuh.
Dinasti Song Utara berdiri sekitar tahun 960-1127 M yang sejajar dengan
bangsa Tartar Khitan yang berkuasa di tahun 907-1125 M, kemudian dilanjutkan
oleh Dinasti Song Selatan pada tahun 1127-1279 M yang sejajar dengan bangsa
Tartar Jurchen di tahun 1115-1234 M. Tahun 850 M di Dinasti Song Utara telah
ditemukan mesiu secara tidak sengaja oleh sejumlah ahli kimia, lalu pada 70 tahun
kemudian mulai digunakan oleh militer sebagai senjata dalam bentuk meriam, ‘bola
api’, roket yang merintis meriam, bom, dan roket yang kita kenal sekarang. Dinasti
Yuan adalah penerus
Dinasti sesudah Dinasti Song yang didirikan oleh Kubilai Khan, yang pada
masa ini terjadi kontak luar antara Cina dan Barat yang membawa mesiu dari Cina
ke Italia yang mendukung pembuatan meriam di Florence pada tahun 1326 M34.
Lalu terjadinya pemberontakan terhadap bangsa Han yang dilakukan oleh Kaum
Turban Merah pada tahun 1351 M35.
Pendiri dari Dinasti sesudah Yuan ialah Dinasti Ming didirikan oleh Zhu
Yuanzhang yang berasal dari Kaum Turban Merah yang membentuk kelompok lain
yang bernama Teratai Putih. Pada tahun 1356 M, Zhu Yuanzhang berhasil merebut
Kota Nanjing dan menjadikannya ibukota Kekaisaran Ming, serta mengangkat
pangkatnya menjadi Kaisar Ming Hong Wudi11
Meskipun dalam sejarahnya orang-orang Cina mirip dengan orang-orang
Yunani yang lebih banyak bersilfat ketimbang membuat hukum, tetapi kita masih
dapat menemukan beberapa kitab hukum di cina. Hukum tertulis tertua di Cina yang
pernah ditemukan oleh sejarah ialah yang dibuat pada tahun 535 SM. Kemudian, di
11
Ibid, Hlm 44
masa Dinasti Han (206 SM-220 SM) juga ada kitab hukum dan prosedur
pengadilan. Selanjutnya, masing-masing dinasti membuat hukumnya sendiri-
sendiri, yang semakin lama semakin berkembang. Misalnya Code Ch’ing yang
untuk tindak pidana pembunuhan saja, dikategorikan menjadi 20 macam dengan
ancaman hukuman yang berbeda-beda pula. Kemudian, Code tahun 1740, yang
sampai-sampai berisi sekitar 1800 buah undang-undang di dalamnya. Bahkan,
Ketika berkuasanya Maharaja Timur di tahub 1320, diundangkan sebuah kodifikasi
yang berisi tidak kurang dari 2500 pasal. Di masa Dinasti Ming sekitar tahun 1400
menteri Yung Lo juga membuat kodifikasi baru, yang kemudian menjadi asas
utama bagi Dinasti Manchu dan seterusnya, yaitu Tsing yang terkenal dengan Code
Tsing (Ta Tsing Lu Li), yang mulai berlaku sejak tahun 1650 Masehi, yang
kemudian terus berlaku sampai dengan revolusi tahun 1912. Kodifikasi Tsing Ini
terdiri atas teks aturan hukum yang disebut Lu (yang tidak boleh berubah dalam
penerapannya) dan Li, yang merupakan kumpulan dari aturan pelaksanaan dan
keputusan pengadilan yang lebih fleksibel karena dapat selalu diubah-ubah. 12
Untuk dapat menagkap nuansa dari aturan hukum tersebut, berikut ini
sebuah contoh dari aturan yang terdapat dalam Lu, dalam hal ini merupakan aturan
hukum tentang adopsi, yaitu sebagai berikut. Barang siapa mengangkat ahli waris
dan wakilnya secra tidak sah, maka harus dihukum dengan 80 kali pukulan. Jika
isteri pertama yang sudah menikah minimal 50 tahun tidak memiliki anak, maka
dibenarkan menunjuk anak laki-laki tertua dari isteri lain untuk menjadi ahli
warisnya. Namun, jika orang lain selain dari anak laki-laki tertua yang ditujuknya,
maka penunjukkan tersebut tidak sah dan bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Sebenarnya secara hakikat, inti dari pengaturan hukum di Cina tidak jauh-
jauh dari konsep Confucius tentang tradisi kehidupan yang berperikemanusiaan,
musyawarah/konsiliasi, dan informalitas, dengan menghindari legalisme yang
kaku.
Disamping itu beberpa prinsip fundamental dari sistem hukum Cina dapat
disebutkan sebagai berikut:
1. Pendekatan kepada hukum dilakukan secara kemanusiaan dan tidak
legalistik
2. Pemerintah menegakkan hukum dalam praktik dengan penuh penghayatan
kepada filsafat.
3. Hormat kepada tradisi.
4. Penekanan kepada Konsiliasi13.
Beberapa variasi dari pendektan utama sector hukum di negeri Cina klasik adalah
sebgai berikut:
1. Ajaran Confucius
12
Munir Fuady, Sejarah Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia , 2013) hlm 155
13
Ibid, hlm 157
Ajran Confucius terhdap hukum lebih mengedepankan pendekatan
kemanusiaan dan nonlegalistik. Bagi Confucius, mencegah kejahatan jauh
lebih baik daripada mengadilinya.14
14
Loc.Cit Munir fuady
menurutnnya negara harus menjalankan aturan hukum yang tegas (strict
legalism). 15
15
Bonnichon Father Andre, Law in Communist China. The Hague, Netherland: international
Commission of Jurist, t.t
Kodifikasi Hukum Cina
Meskipun hukum Cina dapat ditelusuri sampai ke tahun 2500 SM atau 3000
SM, tetapi hukum Cina yang pertama dicatat dengan jelas adalah aturan hukum
(belum dikodifikasi) dari tahun 2500 SM, yang ditulis dalam bentuk Pictograph fase
awal. Aturan-aturan hukum atau dokumen-dokumen hukum lainnya umumnya
ditulis di atas bambu, meskipun sebagiannya ditulis di atas batu, terutama yang
dimaksudkan untuk berlaku dalam waktu yang lama.
Dari bahan sejarah hukum dapat terbaca bahwa kodifikasi Cina baru ada
sejak tahun 1200 SM. Namun, kodifikasi pertama di Cina yang dapat terbaca
sampai sekarang adalah kodifikasi yang berlaku sejak tahun 1100 SM, yaitu Code
Chow, yang dibuat oleh Tan yang merupakan saudara dari pendiri dari Dinasti
Chow. Code Chow ini dikenal dengan sebutan Chow Li (aturan Chow).
Setelah politik pembakaran buku, termasuk pembakaran buku-buku hukum
yang dilakukan sekitar abad 212 SM, praktisi sejarah hukum Cina terputus dengan
masa lalunya. Walaupun begitu, kelak ternyata masih didapatkan beberapa bacaan
hukum yang oleh orang-orang tertentu sengaja disisahkan (tidak di bakar) dan
secara diam- diam disimpan, sehingga di kemudian hari masih dapat di baca oleh
generasi berikutnya. 16
Disamping itu, setelah politik pembakaran buku di Cina, berbagai dinasti
dalam generasi selanjutnya membuat berbagai kodifikasi yang secara jelas dan
terbaca sampai sekarang.17
BERDIRINYA REPUBLIK RAKYAT CHINA
Kehidupan politik di China merupakan produk dari masa revolusi yang
panjang yang berlangsung paling tidak dari tahun 1911 sampai tahun 1949
dan meliputi tiga perombakan sistem politik secara kekerasan.18 Revolusi
pertama terjadi pada tahun 1911, menggantikan sistem kekaisaran yang telah
berlangsung selama ribuan tahun dengan sistem pemerintahan republik. Revolusi
kedua terjadi pada tahun 1928, ketika Kuomintang (KMT) berhasil membentuk dan
menguasai pemerintahan baru menggantikan pemerintahan “panglima perang”
(warlord) yang terpecah-pecah dalam masa permulaan pemerintahan Republik
China dengan sistem dominasi satu partai yang terorganisir dan terpusat. Revolusi
ketiga terjadi pada tahun 1949 dengan berdirinya Republik Rakyat China di bawah
kekuasaan Partai Komunis China.
Revolusi 1911
Ketidakpuasan bangsa China terhadap pemerintahan Dinasti Qing terus
memuncak sejak kekalahan China dalam perang candu tahun 1842. Sejak itu
banyak wilayah China yang menjadi wilayah pengaruh kekuasaanasing baik bangsa
16
Op.cit Munir Fuady hlm 161
17
Ibid, 162
18
townsend, James R., “Sistem Politik China”, dalam Mohtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews,
Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997
Eropa, Amerika maupun Jepang. Keadaan ini seolah-olah menimbulkan sistem
negara dalam negara karena pengaruh asing yang ada di wilayah-wilayah China
masing-masing memiliki hak konsesi dan hak ekstrateritorial. Secara politik dan
ekonomi kehidupan bangsa China menjadi semakin terpinggirkan akibat
ketidakmampuan pemerintah Manchu mengatasi masalah-masalah yang ada di
China. Akibatnya banyak bermunculan berbagai macam gerakan yang pada intinya
ingin menumbangkan kekuasaan Manchu dan menggantikannya dengan kekuasaan
dari bangsa China sendiri. Di antara berbagai gerakan yang bermunculan di China,
salah satu pimpinan yang terkemuka adalah Sun Yat Sen. Beliau merupakan tokoh
nasionalis China yang dilahirkan di desa Xiangshanxian di Propinsi Guangdong
pada tanggal 12 November 1866. Sun Yat Sen mendirikan organisasi Dongmenghui
yang bertujuan untuk menggusir bangsa Manchu, merebut kembali China bagi
bangsa Tionghoa, dan mendirikan suatu negara yang berbentuk republic.
Sistem kekaisaran di China berakhir setelah Sun Yat Sen mengobarkan
revolusi pada tahun 1911 dan selanjutnya bercita-cita ingin menyatukan seluruh
China dalam satu pemerintahan yang didasarkan pada San Min Chu I(Tiga Sendi
Kedaulatan Rakyat), yaitu nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi. Revolusi
nasional di bawah pengaruh Sun Yat Sen meletus di Wuchang pada tanggal 11
Oktober 1911. Pada tanggal 12 Februari 1912 Kaisar Xuantong turun tahta setelah
terjadinya Revolusi Xinhai. Sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 12 Maret 1912
berdirilah Republik China (ROC). Namun demikian kedudukan Sun Yat Sen
sebagai presiden segera digantikan oleh Yuan Shih Kai, seorang warlord(panglima
perang) yang sangat berpengaruh. Yuan segera mengangkat dirinya sebagai
presiden seumur hidup, sementara Sun Yat Sen mengundurkan diri ke Kanton dan
mendirikan Partai Kuomintang (Nasionalis).
Yuan Shih Kai berkuasa antara tahun 1911-1916. Pada tahun 1915 ketika
bertemu dengan golongan oposisi yang mengambil bagian dalam Revolusi
Republik, Yuan merasa bahwa ideologi republik lebih bertahan lama daripada
ambisi pribadi. Ia meninggalkan republik dan mengumumkan restorasi Kekaisaran
China dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sang Kaisar. Akibatnya sebagian
besar propinsi di China Selatan melepaskan diri dari kekuasaan Pemerintah Beijing.
Setelah Yuan Shih Kai mengumumkan dirinya sebagai kaisar baru China terjadi
revolusi terbuka yang dilancarkan di propinsi-propinsi China. Propinsi Yunnan
menjadi propoinsi pertama yang melancarkan revolusi dan diikuti oleh propinsi-
propinsi lainnya.19
Pada tahun 1916 Yuan Shih Kai wafat, dan meninggalkan kekacauan
terutama di wilayah China Utara karena Yuan belum menunjuk seseorang untuk
menggantikan dirinya. Akibatnya terjadi perpecahan di antara para panglima
Tentara China Utara. Masing-masing memikirkan kepentingan pribadi dan
membentuk kelompok-kelompok sendiri. Beberapa kelompok yang penting adalah
kelompok Feng Tian di bawah pimpinan Zhang Zo Lin di Manchuria, Kelompok
19
Sukisman, W.D., Sejarah Cina Kontemporer: Dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi
Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993
Zhi Li di Tian Jin di bawah pimpinan Zhao Kun dan di 16 Propinsi Hunan di bawah
pimpinan Wu Pei Hu, dan kelompok An Fu di bawah pimpinan Qi Rui.
Revolusi 1949 Setelah perang
China –Jepang berakhir pada tahun 1945 dengan kekalahan Jepang dalam
Perang Dunia II, pertikaian antara PKC dengan Kuomintang kembali memanas.
Setelah kekalahan Jepang, pemerintah Republik China segera menginstruksikan
kepada segenap jajarannya untuk mengambil alih kedudukan tentara Jepang di
seluruh pelosok wilayah China. Sementara Zhu Te, Panglima Angkatan Bersenjata
PKC mengeluarkan perintah agar sebagian Tentara Merah memasukiManchuria
dan menuntut pada pemerintah China supaya perlucutan senjata terhadap bekas
tentara pendudukan tentara Jepang di daerah yang dikuasai Partai komunis supaya
dilakukan unsur Partai Komunis. 20
Ketika itu Tentara Merah menguasai daerah pedusunan yangamat luas
sehingga menimbulkan kekhawatiran pihak Pemerintah China. Oleh karena itu
Pemerintah China meminta bantuan AS untuk membantu menyelesaikan
masalahnya di China. Presiden Truman berusaha menghindarkan perang saudara di
China dengan mengutus Jenderal George Marshall untuk bertindak sebagai
perantara bagi sengketa antara Pemerintah Nasionalis dengan Partai Komunis
China. Salah satu yang direncanakan adalah pelaksanaan peleburan tentara kedua
belah pihak menjadi satu Tentara Nasional. Namun sepeninggal Marshall
pertempuaran antara Pemerintah Nasionalis dengan PKC kembali terjadi dengan
skala yang semakin meluas. Upaya perdamaian kembali dilakukan oleh Marshall
tetapi gagal.Meski awalnya banyak mengalami kekalahan tetapi Tentara Merah
semakin dapat memperluas pengaruhnya di daerah pedesaan, melalui politik land
reformdari PKC. Tanah-tanah milik tuan tanah diambil dan menghadiahkan tanah-
tanah garapan tersebut kepada kaum tani penggarap.
Tentara Merah yang menguasai wilayah China Utara segera mengarahkan
sasarannya ke sebelah selatan Sungai Yang Tze. Selanjutnya mereka merebut
Nanking, ibu kota pemerintah Nasionalis China. Akibatnya pemerintah Nasionalis
China terpaksa harus memindahkan ibu kotanya ke Kanton. Selanjutnya Hangou,
Shanghai dan Qingdao secara berturut-turut jatuh ke tangan kaum komunis.
Setelah separo wilayah China berada di tangan kaum komunis maka Mao
Tse-tung mulai mempersiapkan pembentukan suatu Negara China sebagaimana
dicita-citakan oleh Partai Komunis. Langkah awal adalah dengan membentuk
Panitia Persiapan Majelis Permusyawaratan Politik. Panitia ini berhasil memilih 21
orang untuk menjabat sebagai Dewan Harian dengan Mao Tse-Tung sebagai ketua
dan Chou Enlai sebagai wakil ketua. Dengan strategi “desa mengepung kota”, PKC
berhasil menyingkiran Kuomintang dan pada tanggal 1 Oktober 1949
memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China (RRC) yang beribukota di
Beijing. Bendera Nasional RRC berwarna merah melambangkan revolusi dengan
empat bintang kecil-kecil berwarna kuning di bagian pojok atas yang masing-
20
Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat,Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.
masing melambangkan klas buruh, klas tani, klas borjuis kecil, klas borjuis
nasional, dan sebuah bintang besar berwarna kuning yang dilingkari empat bintang
kecil tersebut di atas, yang melambangkan kepemimpinan Partai Komunis.
Pemimpin tertinggi tentara RRC berada di tangan Zhu De, sedangkan jabatan
Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dipegang oleh Chou Enlai.21
Cina dan Tatanan-tatanan Eropa dalam Abad XIX dan Abad XX
Lama sekali Cina tertutup bagi setiap pengaruh. Kontak -kontak pertama
berasal dari zaman konsesi-konsensi internasional, yang diperbolehkan sejak tahun
1842, dan berdasrkan ketentuan bangsa-bangsa Eropa yang mana boleh menetap di
“Pelabuhan-pelabuhan traktat’ dan mendirikan pimpinannya sendiri di sana.
Beberapa pemuka-pemuka negara Cina mengalami pengaruh-pengaruh
tatanan-tatanan hukum barat melalui pergaulan mereka dengan orang-orang Eropa
melalui perdagangan dan industry. Mereka berupaya tatanan hukum mereka sendiri.
Jadi, dengan demikian kodeks Tsying ditinjau Kembali pada tahun 1910 (jadi masih
pada saat kekaisaran dianut), terutama di dalam hukuman-hukuman ditiadakan.
Jatuhnya kekaisaran dan pembentukan republic pada tahun 1912
menyuburkan perembesan tatatnan-tatanan hukum barat setelah Tsiang Kai Tsyek
mengguli kelompok-kelompok yang berhaluan kiri dari partai kuo Min Tang
selama tahun-tahun 1925-1928 telah disusun sebuah undang-undang dasar yang
bersifat sementara pada tahun 1931 dan yang definitive pada tahun 1936 maupun
sejumlah kodeks menurut pola Barat: pada tahun 1930 kodeks Hak milik, kodeks
hukum acara perdata pada tahun 1931. Sebuah kitab undang-undang hukum perdata
jerman tahun 1900 dan bahkan beberapa yang lebih baru lagi versi negara-negara
Swis, Rusia, dan Brazil.
Rezim baru Rakyat Republik Cina telah menghapus semua undang-undang
yang ada untuk melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah.
Sebaiknya telah dibentuk sebuah tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang.
Bagi orang cina hal ini merupakan kemenangan fa, pandangan-pandangan kaum
ahli hukum (legisten). Namun sekaligus ini merupakan penerapan paham
Marxisme-leninisme: kekuasaan dictator ini untuk sementara dianggap sebagai
suatu keadaan yang terpaksa ditolerir; undang-undang yang ketat dan keras ini
diberlakuan untuk menegakkan komunisme. Setelah ini terselenggara, maka
undang-undang tersebut akan dianggap berlebihan seperti halnya pandangan
konfusius dahulu22.Dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah dikeluarkan
undang-undang dalam jumlah yang besar, lazimnya menurut pola hukum soviet,
namun dengan kekhususan-kekhususan Cina. Sejak tahun 1958 terjadilah suatu
reaksi terhadap hegemoni perundang-undangan; pemerintah Cina menentang
pengaruh Rusia dan Kembali ke acara pendekatan tradisional Cina.
21
Abdullah Zakaria Gozali (et.al.), Sejarah Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur 1800-
1963, Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 2000.
22
Hunter, Alan and Kim-Kwong Chan, Protestantism in Contemporary China, Cambridge:
Cambridge University Press, 1993
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum cina tradisonal bukan merupakan tatanan hukum keagamaan yang
ketat, hal ini merupakan tatanan hukum yang terintegrasi ke dalam sebuah ajaran
filsafat yakni kongfusionisme. Sejarah Cina membentang ke belakang sampai 30
abad SM, manakah suku-suku bangsa Cina, yang berasal dari Mongolia, bermukim
di wilayah sungai kuning pada saat itu mereka telah mencapai taraf peradaban suku
bangsa. Meskipun hukum Cina dapat ditelusuri sampai ke tahun 2500 SM atau 3000
SM, tetapi hukum Cina yang pertama dicatat dengan jelas adalah aturan hukum
(belum dikodifikasi) dari tahun 2500 SM, yang ditulis dalam bentuk Pictograph fase
awal. Aturan-aturan hukum atau dokumen-dokumen hukum lainnya umumnya
ditulis di atas bambu, meskipun sebagiannya ditulis di atas batu, terutama yang
dimaksudkan untuk berlaku dalam waktu yang lama.
B. Saran
Mempelajari sejarah hukum sangat amat bermanfaat guna melihat
perkembangan hukum yang terjadi di masa lampau. Untuk itu diharapkan agar lebih
banyak literatur atau jurnal yang membahas tentang sistem hukum di China Kuno.
Daftar Pustaka
Abdullah Zakaria Gozali (et.al.), Sejarah Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia
Timur 1800-1963, Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 2000
Balaz, E Engelborghs-Bertels,M.,”Chine”, di dalam Gilissen, J.(Ed), Introduction
bibiliographique, E/14 Brussel,1972 hlm 521
Budiono Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok Sebuah Pengantar
Komprehensif (Yogyakarta : Jalasutra, 2010
Bonnichon Father Andre, Law in Communist China. The Hague, Netherland:
international Commission of Jurist, t.t
Townsend, James R., “Sistem Politik China”, dalam Mohtar Mas‟oed dan Colin
MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1997
Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan
Masyarakat,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.
MAKALAH
Oleh :
Sumarni Larape
20202108044
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah dalam Bahasa arab syajara berarti terjadi, syajarah berarti pohon,
syajarah an-nasab berarti pohon silsilah; Bahasa inggris history; Bahasa latin dan
Yunani historia; dan Bahasa Yunani history atau istor berarti orang pandai.1 Bahasa
Spanyol menyebut sejarah dengan istilah historia, Bahasa Belanda historie, Bahasa
Prancis histoire, Bahasa Italia storia, Bahasa jerman geshichte berasal dari gesche
hen yang berarti sesuatu yang terjadi. Sejarah itu ada dua macam, yaitu :
1. Yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut sejarah Objektif);
2. Yang terjadi sepengatahuan manusia ( disebut Sejarah Subjektif);2
Pada hakikatnya, pengetahuan sejarah adalah pengungkapan tentang peristiwa,
khususnya tentang bagaimana terjadinya peristiwa itu, mengapa peristiwa itu terjadi, apa
pengaruhnya terhadap masyarakat . sudah barang tentu, penjelasan tentang bagaimana dan
juga mencakup apa, siapa, dan kapannya. Esensi dari setiap pengetahuan sejarah
sebenarnya hendak menerangkan bagaimana sesuatu terjadi, dan dengan demikian
dianggap telah dterangkan atau dijelaskan peristiwa itu. Ini berarti sejarah pada hakikatnya
wajib melacak perkembangan kejadian, jadi genetiknya. Memang keinginan tahu manusia
tentang segala sesuatu artifact, socigac, dan mentifact Kembali kepada pelacakan
perkembangan mulai dari asal mulanya ( genesisnya).
Sejarah adalah cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi
yang berkaitan dengan masyarakat masa lalu. Segenap peristiwa yang berkaitan dengan
masa pencatatannya disebut peristiwa hari ini, dinilai, diberitakan, dan direkam oleh koran
harian. Namun begitu masanya lewat, maka setiap peristiwa menjadi bagian sejarah.
Sejarah ini tinggal menjadi catatan belaka yang tidak dapat diulang Kembali dengan
kejadian yang sama. Dalam pengertian ini , arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang
kejadian, peristiwa, dan masyarakat masa lalu. Biografi , kisah penaklukan dan kisah orang-
orang termasyhur, peristiwa tertentu yang terjadi pada setiap bangsa yang di susun oleh
bangsa tersebut, termasuk dalam kategori ini. Dalam pengertian ini , pertama, arti sejarah
adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan dengan
individu, kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah adalah
pengetahuan tentang ‘wujud’bukan tentang ‘menjadi’, keempat, sejarah berkaitan dengan
masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Dalam terminology ini, sejarah seperti ini disebut
“sejarah rawian”. 3
Sejarah hukum memiliki beberapa fungsi dan kegunaan, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mempertajam pemahaman dan penghayatan tentang hukum yang
berlaku sekarang. Kita dapat mengetahui dan menghayati bahwa hukum
1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 1
2
Ibid. hlm 2
3
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016) hlm. 3
yang berlaku sekarang sudah cukup baik jika dibandingkan dengan konsepsi
tentang hukum di bidang yang bersangkutan di masa lalu.
2. Untuk mempermudah para perancang dan pembuat hukum sekarang dengan
menghindari kesalahan di masa lalu serta mengambil manfaat dari
perlembangan positif dari hukum di masa lalu.
3. Untuk mengetahui makna hukum positif bagi para akademisi maupun
praktisi hukum dengan melakukan penelusuran dan penafsiran yang bersifat
sejarah.
4. Sejarah hukum dapat mengungkapkan atau setidaknya memberikan suatu
indikasi tentang dari mana hukum tertentu berasal; bagaimana posisinya
sekarang; dan hendak ke mana arah perkembangan.
5. Menurut Soerjono Soekanto, sejarah hukum juga berguna karena dapat
mengungkapkan fungsi dan efektivitas dari Lembaga-lembaga hukum tertentu. 4
Secara historis, Kuntowijoyo menyebutkan bahwa kegiatan penulisan sejarah
merupakan suatu kegiatan yang terikat dengan waktu (timebound) dan terikat oleh
kebudayaan zamannya. 5
Soejono D menjelaskan bahwa: sejarah hukum adalah salah satu bidang studi
hukum , yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu
masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi
oleh perbedaan waktu.6
John Gillisen dan Fritz Gorle menambahkan beberapa fungsi dari sejarah hukum,
yaitu sebagai berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak , tetapi juga
berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
2. Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti melalui
sejarah hukum
3. Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula untuk
mengetahui budaya dan pranata hukum.
4. Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip perlindungan hak
asasi manusia.
Karena berbagai fungsi dan kegunaan dari sejarah hukum seperti di atas maka
disiplin sejarah hukum sekarang telah menjadi suatu ilmu dan metode yang
dipelajari oleh banyak orang.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah Sejarah Hukum Yunani?
4
Ibid, hlm 7
5
Muhamad Arif, Pengantar kajian sejarah, hlm 5
6
Sudarsono, Sejarah Hukum, Hlm 261
BAB II
PEMBAHASAN
7
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 11
8
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 23
hanya harus empiris dan deskriptif, tetapi juga menghormati tujuan-tujuan etis
tertentu.9
Hukum Romawi sangat orisinil dan hampir-hampir steril dari pengaruh
hukum asing saat itu. Jika pun ada, sangat sedikit pengaruh dari hukum Yunani atau
pun hukum Semits terhadap hukum Romawi. Meskipun terdapat undang-undang
tertulis pada masa Romawi, orang-orang Romawi sangat sedikit menggunakan
undang-undang tersebut karena mereka terus-menerus mengembangkan hukumnya
untuk menemukan hukum-hukum yang baru.
Jika zaman Yunani Klasik sangat spektakuler dengan pemikir-pemikir
metafisika, seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles, maka di zaman Romawi sangat
spektakuler dengan perkembangan perkembangan pemikiran dan pendidikan tidak
terlalu besar karena Romawi lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis.
Walaupun demikian pemikiran-pemikiran hukum yang cukup berharga lahir pada
zaman Romawi yaitu ajaran Cicero mengenai Hukum Kodrat. Ia mengajakan
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang di dasarkan atas rasio yang murni dan
oleh karena itu hukum positif haruslah di dasarkan pada dalil-dalil hukum alam.
Hukum dan Pemerintahan
11
Ibid hlm 165
12
Op.Cit Soehino,Hlm 39
Ada 10 pintu masuk ke pengadilan, masing-masing satu untuk setiap suku. Ada dua
puluh kamar, masing-masing dua untuk setiap suku. Ada 100 peti, masing masing
10 untuk setiap suku, di mana disimpan alat pemberian suara dari para juri yang
dipergunakan untuk memungut suara. Setiap orang yang di atas umur 30 tahun
dapat menjadi juri, asalkan mereka bukanlah debitur terhadap negara dan mereka
belum kehilangan hak-hak nya. Jika ada orang yang tidak cakap bertindak sebagai
juri, maka informasi diberikan kepadanya dan dia diadili di pengadilan. Jika
terbukti tidak cakap, maka dia akan dikenakan hukuman badan atau hukuman
denda.13
Juri di kebanyakan pengadilan terdiri atas 500 orang dan jika diperlukan,
kasus-kasus publik ditangani oleh 1000 orang juri yang merupakan kombinasi dari
dua pengadilan dan terhadap kasus-kasus sangat penting, ditangani oleh 1500 orang
juri yang merupakan kombinasi dari tiga pengadilan.
Ketika juri telah memberikan suaranya, maka para petugas mengambil kotak
suara yang berisi suara yang efektif, kemudian dibuka, dihitung, dan ditulis di papan
tulis, selanjutnya diteriakkan hasilnya. Siapa yang mempunyai suara yang lebih
banyak, dianggap yang memenangkan perkara, tetapi jika suara seimbang, maka
yang dimenangkan adalah tergugat/tersangka. Demikian juga ketika juri
memutuskan tentang jumlah suatu ganti rugi. Ketika semua telah lengkap, juri
menerima bayarannya.
Proses peradilan di pengadilan-pengadilan Yunani terbagi kepada lima tahap
sebagai berikut :
a. Tahap panggilan untuk bersidang Pada tahap ini, pemanggilan untuk menghadap
sidang ditujukan terhadap tergugat untuk datang menghadap magistrat untuk
memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat. Biasanya,
penggugat sendiri yang membawa surat panggilan tersebut ke alamat tergugat.
Beberapa orang saksi ikut menyertai penggugat. Bahkan, jika tergugat merupakan
orang asing karena disangsikan orang asing tersebut akan meninggalkan kota itu
untuk mengelak kewajibannya. Pihak penggugat dapat menangkap tergugat dan
membawanya ke depan magistrat untuk menjalani proses pengadilan.
b. Tahap kehadiran di depan magistrat. Tujuan dari kehadiran para pihak di depan
magistrat adalah untuk menyaring kasus-kasus, sehingga tidak ada kasus yang
sembrono atau yang dibuat-buat yang sampai ke pengadilan. Di depan magistrat,
penggugat mengajukan gugatan dan membayar biaya panjar perkara. Jika tergugat
tidak hadir, maka akan langsung diputus untuk menerima gugatan, kecuali di
kemudian hari dapat menunjukkan alasan ketidakhadirannya yang dapat diterima.
Jika pada tahap hearing di depan magistrat ini dianggap ada dasar bagi suatu
gugatan, maka gugatan diteruskan ke tahap selanj utnya, yaitu tahap pemeriksaan
pendahuluan.
c. Tahap pemeriksaan pendahuluan, pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini, terjadi
tanya jawab antara penggugat dan tergugat. Perdebatan yang sebenarnya, fakta-
fakta, serta dalil-dalil yang berkenaan dengan sengketa yang ada, diuraikan dan
terlihat dengan jelas dalam tahap ini. Penggugat mengajukan gugatan dan dalil-
dalilnya, kemudian tergugat mengajukan jawaban dengan dalil-dalilnya.
13
Munir Fuady , Op.Cit hlm 177
Pembuktian tertulis dan pemeriksaan saksi-saksi juga terjadi dalam tahap ini. Jadi,
tahap pemeriksaan pedahuluan merupakan tahap yang cukup esensial dalam suatu
proses pemeriksaan perkara di zaman Yunani. Setelah semua bukti diperiksa dan
alat bukti tersebut disegel, magistrat dapat segera menyelesaikan sengketa yang ada
atau biasanya mengirim sengketa tersebut ke pengadilan juri. Di Athena, para juri
(yang terdiri atas orang-orang biasa) yang mendengar perkara tersebut bisa
mencapai ratusan, bahkan ribuan orang. Sebelum memberikan putusannya, juri
akan mendengar pidato kedua belah pihak. Pidato tersebut biasanya sangat
memikat.
d. Tahap putusan, putusan dari pengadilan diambil oleh juri yang menghitung suara.
Suara terbanyak dinyatakan sebagai putusan. Biasanya, putusan juri tersebut
berkenaan dengan putusan tentang kasus yang bersangkutan, yaitu siapa yang
menang dan siapa yang kalah, juga putusan tentang besarnya ganti rugi.
Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi), menurut sistem hukum Yunani,
diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan dan hanya menyangkut dengan
kepemilikan; tidak boleh menyentuh personal. 14
Hukum Pidana
Sistem hukum Yunani Kuno juga mengatur mengenai tindak pidana. Hal ini
untuk menjaga agar masyarakat dapat hidup aman dan damai, tanpa manusia yang
satu mengancam atau membunuh yang lain. Menurut sistem hukum Yunani, dalam
hukum pidana misalnya pembunuhan manusia tidak selamanya dapat menjadi suatu
tindak pidana pembunuhan. Hukum Yunani membagi tindakan pembunuhan ke
dalam tiga kategori sebagai berikut :
a. Pembunuhan yang dimaafkan.
b. Pembunuhan tanpa rencana.
c. Pembunuhan terencana15
14
Ibid, hlm 182-183
15
Ibid,hlm 174
16
Ibid, hlm 175
Pembunuhan bentuk ketiga adalah pembunuhan terencana. Menurut hukum
a. Penghinaan (insult);
b. Penganiayaan (injury); dan
c. Pembunuhan (homocide).
17
Ibid, hlm 202
18
Muchmad Ali Safa’at, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Sejarah-Singkat-Pemikiran-
Negara.pdf di akses pada 7 desember 2020
19
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San
Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston, 1961), hal. 4 – 6
keemasan di bawah Pericles pada tahun 461 – 429 SM. Pada masa kejayaan inilah
muncul kaum sophis, seperti Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodikos,yang
merupakan masa antara sebelum kelahiran filsafat klasik.
Hukum Perdata
20
Op.Cit Munir Fuady, hlm 187
ditemukan di kota ini, yang terletakk di daerah Eufrat, pada tahun 1922 dan
merupakan Salinan naskah yang berasal dari abad IV SM. 21
21
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar, Bandung: PT
Refika Adita Utama, 2011). Hlm 1550
22
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno, hlm 150-154
undang-undang Draco juga menyediakan aturan yang lebih fleksibel dan
membentuk suatu peradilan dengan sistem 50 hakim yang disebut dengan Ephetae,
yang akan memutuskan sesuai hukum yang berlaku. Kemudian, solon seorang ahli
hukum, negarawan dan pujangga di zaman Yunani kuno pernah membuat hukum
yang berlaku di Yunani yang tertulis dalam Undang-undang Solon. Solon sangat
mendukung ide demokrasi dan menentang pemerintahan tangan besi/tirani di
Yunani. Dari beberpa peninggalannya dalam bentuk puisi, dapat diketahui
sebenarnya solon sangat gigih dalam mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi,
seperti terbaca dalam beberapa kutipan berikut:
“ kehancuran negara Yunani tidak terjadi karena kematian Zeus atau melalui
kehendak dari dewa-dewa. Namun yang dapat menghancurkan negara adalah
penduduknya sendiri dan para pemimpin yang berhati rusak dan kekuasaan akan
materi. Padahal mereka akan menderita karena kelakuan mereka merusak
tersebut.”23
Undang-undang Solon di Yunani Kuno banyak melakukan perubahan-
perubahan terhdap sistem hukum yang berlaku di Yunani saat itu. Bahkan, Sebagian
dari perubahan tersebut bersifat radikal. Meskipun begitu, pendampingan dengan
undang-undang Solon, masih berlaku juga hukum kebiasaan Yunani yang tidak
tertulis. Perubahan- perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang Solon, antara
lain sebagai berikut:
1. Undang-undang Solon banyak berpihak kepada masyarakat kelas bawah
2. Undang-undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris
dan hukum keluarga
3. Undang-undang Solon tidak bersifat sacral/ketuhanan, tetapi murni hasil
perenungan akal manusia
4. Undang-undang Solon merupakan hasil konsesus dari masyarakat luas.
Sehingga undang-undang ini merupakan undang-undang yang paling dapat
diterima oleh masyarakat Yunani.
Tenntang ketentuan Undang-Undang Solon yang berpihak kepada masyarakat kelas
kebawah, misalnya seperti terlihat dalam ketentuan berikut:
1. Dihapusnya ketentuan mengenai eksekusi debitur oleh kreditur, di mana
debitur tersebut berubah status menjadi budak belian sehingga banyak yang
diperjualbelikan, bahkan sampai ke luar negerei. Undang-undang Solon
dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dapat dijadikan
budak hanya karena tidak dapat membayar utang-utangnya.
2. Diubahnya sistem mata uang sehingga utang-utang menjadi terdeduksi
sampai 25%.
3. Utang dengan bunga tinggi (riba) dilarang oleh Undang-undang.
4. Meskipun jabatan publik tertentu hanya dapat dipegang oleh golongan
masyarakat tinggi, tetapi umumnhya terbuka bagi semua golongan
masyarakat. Misalnya golongan buruh (thetes) memiliki hak-hak politik
meskipun mereka tidak dapat memegang jabatan eksekutif di pemerintahan.
5. Dilakukan pembagian golongan manusia secara berbeda dengan pembagian
sebelumnya, sehingga menentukan pula besarnya pajak yang harus dibayar.
23
Munir Fuady, Sejarah Hukum Op.Cit hal 186
Undang- undang Solon banyak merombak ketentuan tentang hukum waris dan
hukum kelurga. Misalnya kekuasaan seorang ayah terhdapa anak yang ada dalam
hukum sebelumnya sangat besar, dikurangi oleh Undang-undang Solon. Bahkan,
dalam Undang-undang Solon, antara ayah dan anak dianggap menduduki posisi
sebagai pihak yang independen.
Disamping itu, Undang-undang Solon merombak hukum waris sebelumnya
yang membagi harta warisan berlandaskan kepada penampilannya yang baik pada
acara ritual penguburan. Undang-undang Solon juga mengatur bahwa seorang anak
laki-laki yang sah tidak dapat dikesampingkan untuk mendapatkan warisan dari
orang tuanya. Pelaksanaan wasiat tidak boleh bertentangan dengan hukum tentang
perlindungan dan hak yang sama antara anak laki-laki dari pewaris. Disamping itu,
jika seorang ayah meninggal dengan hanya meninggalkan seorang atau lebih anak
perempuan, maka harta seluruhnya jatuh kepada anak-anak perempuan tersebut.
Namun dalam hal ini dengan persetujuan anak-anak perempuannya, ayahnya dapat
memberikan atau mewasiatkan hartanya kepada saudara-saudara dekat lainnya,
atau mewasiatkan agar saudara-saudara dekatnya mengawini anak perempuan yang
ditinggalkannyha itu24.
Banyak perubahan hukum dilakukan Ketika dibuat undang-undang Solon.
Hal ini sebenarnya merupakan salah satu factor yang mengantarkan Athena menjadi
suatu negara kota besar, kuat dan maju. Bahkan, ketentuan hukum di Athena diikuti
pula oleh negara-negara kota lain di sekitarnya. Karena itu, tidaklah mengherankan
jika Solon, yang hidup di sekitar tahun 600 SM di Athena dipandang oleh bangsa
Yunani sebagai pembuat dan perombak hukum terbesar di sepanjang sejarah
mereka.
Namun demikian, untuk mendapatkan suatu sistem hukum yang terbilang
maju, sebenarnya masih banyak yang harus dilakukan oleh orang-orang Yunani, di
samping hanya memiliki perundang-undangan Solon tersebut. Sebab, hukum di
Yunani saat itu sangat beraneka ragam, tanpa suatu klasifikasi dan sistematisasi
yang jelas. Disamping banyak juga kaidah hukum saat itu hanya semata-mata
mengantungkan para pemegang kekuasaan atau hanya untuk menjawab kebutuhab
sesaat, bukan kebutuhan masyarakat jangka Panjang. Walaupun begitu, di masa
berlakunya undang-undang solon banyak undang-undang tertulis yang dibuat dan
semuanya terbuka untuk dibaca oleh umum. Ketika itu, begitu sebuah perundang-
undangan dibuat dan berlaku , maka undang-undang tersebut langsung ditulis di
atas tembaga atau kayu, agar dapat dibaca oleh rakyat.
Namun saat itu sebenarnya lebih banyak lagi hukum tertulis yang berlaku
yang berupa hukum kebiasaan setempat. Bahlan meskipun perundang-undangan
Solon telah banyak mengatur tentang berbagai hal tentang hukum, setelah itu tidak
ada lagi usaha-usaha dalam sejarah Yunani untuk merumuskan kaidah hukum yang
sistematis atau membuat sebuah kodifikasi.
Inilah yang membedakan dengan sejarah hukum Romawi. Bagi orang-orang
Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan merupakan suatu
masalah yang bergengsi. Hukum direduksi hanya pada masalah procedural semata.
24
Ibid, hal hlm 187
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan perkembangan sejarah hukum Yunani dapat
disimpulkan bahwa, sejak awal peradaban hukum Yunani menunjukan ciri atau
sistem hukum di masa depan. Yunani dalam hal ini lebih mengutamakan kebiasaan-
kebiasaan dengan membuat sesedikit mungikn teks hukum tertulis atau kodifikasi
Bagi orang-orang Yunani, hukum tidak dianggap terlalu vital perannya dan bukan
merupakan suatu masalah yang bergengsi. Hukum direduksi hanya pada masalah
procedural semata. Namun demikian, untuk mendapatkan suatu sistem hukum yang
terbilang maju, sebenarnya masih banyak yang harus dilakukan oleh orang-orang
Yunani, di samping hanya memiliki perundang-undangan Solon tersebut. Sebab,
hukum di Yunani saat itu sangat beraneka ragam, tanpa suatu klasifikasi dan
sistematisasi yang jelas.
B. Saran
Mempelajari sejarah hukum tentunya memberikan pengetahuan tentang
Hukum yang berlaku dan berkembang di masa lalu. Jika melihat sejarah hukum
Yunani Tentunya begitu banyak aturan hukum yang di berlakukan pada masa itu,
untuk itu diharapkan ada banyak pembahasan secara mendalam mengenai sejarah
hukum Yunani.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2006
Arif, Muhamad. 2011 Pengantar kajian sejarah, Bandung: Yrama Widya.
Charles Seignobos, Sejarah Peradaban Kuno , Indoliterasi,Yogyakarta,2016
Emeritus Jhon Gilissen & Emiritus Frits Gorle , Sejarah Hukum suatu Pengantar,
Bandung: PT Refika Adita Utama, 2011).
George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-
Chicago-San Fransisko-Toronto-London: Holt, Rinehart And Winston,
1961),
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: PT Bentang Pustaka, 2005)
Sunarmi, Sejarah Hukum, (Prenademedia Group, 2016)
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001
Munir Fuady,Sejarah Hukum, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2009
Sudarsono, Sejarah Hukum, Rineka Cipta, 2004
Soeroso, R 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Muchmad Ali Safa’at, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Sejarah-Singkat-
Pemikiran-Negara.pdf di akses pada 7 desember 2020
SISTEM HUKUM HINDU DAN SEJARAH
HUKUM INDIA
Disusun Oleh:
Erlangga H. Zakaria
20202108067
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan hukum dalam ajaran-ajaran Hindu memiliki riwayat yang
sangat panjang yang tidak kalah dengan hukum dalam sejarah Barat atau Timur
Tengah. Hukum Hindu berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban India
yang agraris di sepanjang Sungai Gangga dan Sungai Indus. Sudah lama ada
kebudayaan di lembah Sungai Indus, dengan kota terkenalnya bernama Mahenjodaro
dan Harappa. Kota-kota di lembah Sungai Indus ini sudah ada paling tidak di sekitar
Tahun 2500 SM. Karena itu, sejarah kebudayaan lembah Indus ini bersamaan
waktunya dengan kebudayaan Sumeria/Babilonia, dan kedigdayaan raja-raja Firaun di
Mesir.1
Sekitar 2000 SM sampai 1500 SM, bangsa Arya (Indo Eropa) yang masih
kurang berperadaban dan semi nomaden, menyerbu lembah Indus. bangsa arya ini
menyerbu ke Timur sampai ke India dan ke Barat, kemudian ke Eropa. Di perkirakan,
bangsa Arya ini berasal dari sekitar Asia Tengah/India Tengah atau Rusia Selatan.
Namun, kedatangan bangsa Arya ini terjadi pada saat hukum India yang berlandaskan
agama Hindu sudah cukup berkembang. Dengan datangnya bangsa Arya yang
membawa hukum mereka sendiri menyebabkan pengaruh terhadap hukum Hindu yang
kemudian di berlakukan di India.2
Tulisan-tulisan tentang agama Hindu yang paling tua terdapat dalam kitab
Weda (sekitar 1250 SM) yang terdiri atas madah-madah dan amsal-amsal dan
kemudian di susul oleh kitab Upanisyad (750-500 SM) yang berisi satu gagasan pokok,
yakni eksistensi ditandai oleh penderitaan. Manusia dibelenggu oleh karma, daya
kekuatannya yang dapat menghasilkan hadiah atau hukuman dalam eksistensi
berikutnya (reinkarnasi). Tujuan hidup ialah mencapai pembebasan (moksya) dari roda
karma itu. Pembebasan tersebut tercapai lewat pengertian.3
Ajaran agama Hindu membagi kelompok manusia kepada 4 kasta; yakni:4
1. Brahmana, yaitu kasta pendeta;
2. Ksatrya, yaitu kasta raja dan kaum bangsawan;
3. Waisya, yaitu kasta pedagang dan kaum buruh menengah;
4. Sudra, yaitu kasta petani dan buruh kecil serta kaum budak.
1
Munir Fuady, Sejarah Hukum: Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013, Hlm. 116.
2
Ibid., Hlm. 116-117.
3
C. A. Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1980, Hlm. 106.
4
Abdul Qadir Jaelani, Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia, Yayasan
Pengkajian Islam Madinah Munawarah, Jakarta, 2016, Hlm. 11-12.
Golongan di luar para pemeluk agama Hindu, dianggap tidak berkasta, yang
disebut sebagai golongan “Paria” dan dianggap golongan yang hina dan rendah.
Dari keempat kasta tersebut di atas, hanya tiga kasta, yakni Brahma, Ksatrya
dan Waisya, yang diperkenankan mempelajari Kitab Weda. Posisi kasta Brahmana
memegang peranan yang paling penting di dalam masyarakat Hindu. Hal ini
disebabkan karena hanya pendetalah yang dapat melakukan sesaji dengan upacara yang
tepat. Keselamatan seluruh masyarakat tergantung kepada sesaji dan upacara yang
tepat. Menurut kepercayaan massyarakat Hindu, hanya dengan sesaji dan upacara saja
para Dewa dapat dihubungi dan dimintai pertolongan serta berkahnya. Mengingat
betapa beratnya dan sukarnya melakukan sesaji yang tepat maka kedudukan kaum
Brahma (pendeta) dengan sendirinya menjadi terkemuka.5 Inti ajaran kaum Brahmana
yang disebut sebagai Brahanisme terkandung dalam tiga pokok bahasan yang disebut:
(1) Brahmana, yaitu penjelasan tentang upacara dan arti korban-korban yang diberikan;
(2) Aranyaka, yaitu berbagai perumpamaan; dan (3) Upanishad, berisi hasil renungan
filosofis.6
Dengan pandangan hidup yang bersistim kasta, yang dimiliki oleh agama
Hindu, maka para penganutnya cenderung merendahkan golongan masyarakat di luar
Hindu, karena ditopang oleh keyakinan bahwa golongan tersebut tak berkasta dan
mempunyai posisi yang hina dan rendah. Sikap ini yang kemudian menjadi awal
munculnya agama Budha. Agama Budha lahir sebagai reaksi atas pengaruh yang begitu
besar dari kasta Brahmana, yang merupakan kasta tertinggi di dalam agama Hindu,
yang mendorong lahirnya para pembaharu (reformer) dari golongan kasta-kasta yang
lebih rendah. Di antara reformer-reformer itu antara lain, Nataputra Wardamana yang
bergelar Mahawira (539-427 SM) pendiri agama Jania dan Sidharta Gautama (560-480
SM) pendiri agama Budha.7
Intisari dari hukum Hindu adalah apa yang disebut dengan istilah “darma”,
yang berarti keseluruhan kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Namun begitu, sebagai suatu hukum yang agamis, hukum hindu
dianggap sebagai perintah Tuhan, meskipun bukan Tuhan tunggal yang berasal dari
langit sebagaimana yang dipercaya oleh kaumYahudi, Kristen, maupun Islam.
Sebagaimana diketahui, dalam tradisi agama Hindu tidak memiliki nabi atau rasul
tunggal, meskipun mengenal beberapa manusia pilihan di dunia yang melaluinya
diturunkan wahyu (sruti), yang merupakan isi kitab suci Weda. Karena hukum Hindu
diipercaya berasal dari Tuhan, maka menjadi kurang fleksibel karena tidak gampang
diubah-ubah oleh manusia, tetapi unsur kepastian hukumnya lebih terjamin.8
5
Ibid.
6
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Depok, 2017, Hlm. 53.
7
A. G. Pringgodigdo, Ensiklopedia Umum, Kanisius, Jakarta, 1973, Hlm. 217.
8
Munir Fuady, Op. Cit., Hlm. 118.
Namun begitu, dalam sistem hukum Hindu, bahkan yang tradisional sekalipun,
sudah mengenal dan mengakui kaidah-kaidah hukum kebiasaan mereka sendiri yang
disebut dengan smriti, yang selalu diingat oleh kaum arif dan bijaksana secara turun-
temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Untuk memecahkan kekakuan hukum
Hindu, kebiasaan sering juga diakui sebagai hukum positif, bahkan dapat mengalahkan
hukum tertulis, sebagaimana yang pernah diputuskan oleh pengadilan Anglo India
tahun 1986. Putusan tersebut di dasarkan pada suatu kitab-kitab undang-undang yang
paling terkenal dan komprehensif yakni Manusmr’ti (ingatan Manu), yang dikenal
sebagai Code Manu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah yang
akan dikaji dalam tulisan ini yakni:
1. Apa saja sumber-sumber hukum dalam sistem hukum Hindu?
2. Bagaimana pengaturan hukum pidana dan hukum perdata dalam Code Manu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber-Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Hindu
Sumber hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Yang
dimaksud “segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang memengaruhi terhadap
timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma
hukum.9 Menurut van Apeldoorn, ada 4 (empat) macam sumber hukum, yakni sumber
hukum historis/sejarah, sumber hukum sosiologis, sumber hukum filosofis dan sumber
hukum formal. Oleh para ahli hukum terkemuka, sumber hukum historis, sumber
hukum sosiologis, dan sumber hukum filsofis sebagaimana pendapat van Apeldoorn
dikelompokkan sebagai sumber hukum material, karena ketiga sumber hukum tersebut
merupakan materi (isi) norma hukum dalam kehidupan bermasyarakat.10
Sumber Hukum Hindu adalah rujukan dasar yang digunakan dalam
pengambilan Hukum Hindu. Pokok-pokok ajaran Hindu yang diyakini dan dijadikan
sebagai rujukan dasar terdapat pada Kitab Manawa Dharmacastra. Sumber utama yang
menjelaskan mengenai sumber Hukum Hindu (Dharma) adalah kitab Weda Smrti
(Manawa Dharmasastra), yaitu sebuah buku yang memuat himpunan ajaran-ajaran dari
Bhatara Manu. Kedudukan Manawa Dharmasastra itu tetap sangat penting sejak
9
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, Hlm. 39.
10
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2014, Hlm. 87.
jaman dahulu sampai sekarang, oleh karena Manawa Dharmasastra memuat ajaran-
ajaran pokok tentang Agama Hindu, serta memuat dasar-dasar Hukum Hindu yang
kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu di
masa penyebaran Agama Hindu ke seluruh pelosok India sampai ke Indonesia. Selain
itu, Manu Smrti atau Manawa Dharmasastra adalah sebuah buku hukum yang telah
teratur secara sistematik dari bab ke bab dan dibagi atas 12 Bab atau Adhyaya. Manawa
Dharmasastra memuat delapan belas tata hukum (wyawahara) yang dapat
dikategorikan dalam bentuk Hukum Perdata Hindu, Hukum Pidana Hindu, dan
peraturan-peraturan lainnya yang bersifat mengatur secara lengkap. 11
Pengertian sumber Hukum Hindu dapat ditinjau dalam arti sejarah, sosiologis,
filsafat, dan formal, sebagai berikut :
1. Sumber Hukum Hindu dalam arti sejarah
Sumber Hukum Hindu dalam arti menurut sejarahnya adalah sumber-sumber
Hukum Hindu yang dipergunakan oleh para ahli Hindulogi untuk meninjau dan
menulis Hukum Hindu itu, terutama dalam rangka pengamatan serta peninjauan
terhadap aspek politik hukum, filosofi, sosiologi, kebudayaan dan hukumnya, sampai
kepada bentuk material yang tampak berlaku pada suatu masa dan tempat tertentu.12
Peninjauan sumber hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data-data
mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada.
Penekanan harus pada dokumen tertulis karena pengertian sejarah dan bukan sejarah
adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis
(pra sejarah), tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang di
dalam Hukum disebut acara.
Selanjutnya menurut bukti-bukti Sejarah dan dokumen tertua yang memuat
pokok-pokok Hukum Hindu, pertama-tama Hukum Hindu itu dijumpai di dalam Weda
yang disebut Sruti. Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum
pula timbul dan dikembangkan pada jaman berikutnya, dalam jaman Smerti. Dalam
jaman ini terdapat Yajur Weda, Atharwa Weda, dan Sama Weda. Kemudian
berkembang pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Adapun sumber hukum yang penting
dalam arti sejarahnya yang lain, ialah Raja Sasana yang dituangkan dalam berbagai
prasasti dan paswara-paswara, serta yang merupakan Yurisprudensi Hukum Hindu
yang telah dilembagakan oleh raja-raja pada jaman Kerajaan Hindu.13
11
I Wayan Surpha, Pengantar Hukum Hindu, Paramita, Surabaya, 2005, Hlm. 42-43.
12
Ibid., Hlm. 21.
13
Ibid., Hlm. 22-26.
Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu, periode berlakunya
hukum dibedakan menjadi empat bagian, yaitu :14
a. Jaman Krta Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Manu.
b. Jaman Treta Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Gautama.
c. Jaman Dwapara Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra)
yang ditulis oleh Samkha-likhita.
d. Jaman Kali Yuga berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang
ditulis oleh Parasara.
Keempat Kitab Dharmasastra di atas, sangat penting diketahui dalam
hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu.
2. Sumber Hukum Hindu dalam arti sosiologis
Sosiologi menurut Chaldun, merupakan studi tentang masyarakat manusia
dalam pelbagai bentuknya serta sifat dan gejala-gejalanya yang dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh hukum-hukum alam. Sosiologi mempelajari ilmu
kemasyarakatan. 15 Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang
mempunyai hubungan, baik hubungan budaya, agama, bahasa, dan lain-lainnya.
Hubungan antara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan
tradisi maupun berdasarkan pengaruh-pengaruh baru yang datang kemudian.
Sosiologi tidak saja mempelajari bentuk masyarakat akan tetapi juga kebiasaan
dan moral masyarakat di dalam perkembangannya sampai kepada bentuknya yang
tertentu. Faktor sosiologis itu juga sangat besar pengaruhnya bagi sumber Hukum
Hindu. Pengamatan sosiologi tidak didasarkan pada faktor waktu, akan tetapi bentuk
tata kemasyarakatannya pada waktu itu.16
Hukum Hindu yang disebut dharma mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia yang sangat luas, yang menyebabkannya tidak mungkin memiliki kesatuan
bentuk, kecuali kesatuan azas dan ideologi. Penerapan dharma didasarkan atas azas-
azas tertentu yang disebut berdasarkan samaya (waktu), warga (golongan), samavaya
(sifat-sifat umum), sehingga ilmu sosiologi berperan sekali dalam menunjang sumber
14
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Sumber Hukum Hindu Dalam Manawa Dharmasastra, Purwadita:
Jurnal Agama dan Budaya Volume 1 Nomor 2, 2017. Hlm. 39.
15
Dikutip oleh Ngenget dan A.D. Ewald Frederick, Buku Ajar Pengantar Sosiologi, STISIP,
Manado, 2012, Hlm. 21.
16
I Wayan Surpha, Op. Cit., Hlm. 27.
hukum. Penerapan hukum Hindu di masyarakat disesuaikan dengan desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (keadaan) setempat.17
3. Sumber Hukum Hindu dalam arti filsafat
Filsafat adalah berfikir menggunakan analisis secara logis, ilmiah, objektif dan
bertanggung jawab dalam memahami realitas yang ada dengan pengetahuan yang
dimiliki dan melakukan penilaian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sampai
ke akar-akarnya hingga tuntas. Ilmu filsafat adalah cabang pengetahuan filsafat yang
ilmiah dan tersusun secara sistematis, berobjek, bermetode, universal, koheren,
konsisten dengan menerapkan ontologi, epistemology dan aksiologi.Sumber hukum
dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian
yang tidak dapat dipisahkan. Filsafat adalah ilmu pikir, berkaitan dengan rasional ke
dalam sifat kebenaran atau realistis, yang juga memberikan pemecahan terhadap
permasalahan yang terjadi. Filsafat menunjukkan jalan untuk mendapatkan
pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.18
Menurut Surpha untuk mencapai tingkat kebahagiaan tersebut ilmu filsafat
Hindu (dharsana) menegaskan tentang sistem dan metode pelaksanaan pada hal-hal
sebagai berikut :19
a. Harus didasarkan pada dharma,
b. Harus diusahakan melalui keilmuan (jnana),
c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (sadhana),
d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan
pengendalian (danda) seperti pengendalian pikiran (mano danda),
pengendalian ucapan (wak danda), dan pengendalian tingkah laku (kaya
danda),
e. Harus ditebus dengan usaha prayascita (pensucian).
Hukum itu adalah menyangkut berbagai bidang, akan tidak terelakkan
pentingnya arti filsafat itu dalam menyusun suatu hipotesa hukum yang diperlukan.
Bahkan filsafat akan menduduki tempat terpenting pula dalam ilmu hukum. Agama
Hindu tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana manusia menyembah Tuhannya,
akan tetapi juga memuat filsafat, hukum, dan lain-lain sehingga Dharmasastra sebagai
hukum Hindu memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya,
sosiologinya, ekonominya, pemerintahannya, politiknya, dan lain-lain.
17
Ibid., Hlm. 27-28.
18
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Op. Cit., Hlm. 40.
19
I Nengah Lestawi, Hukum Hindu Serta Perkembangannya, Paramita, Surabaya, 2015, Hlm.
46.
4. Sumber Hukum Dalam Arti Formal Menurut Weda
Sumber hukum dalam arti formal menurut Van Aveldoorn ialah sumber hukum
yang dibuat berdasarkan bentuk yang dapat menimbulkan hukum positif itu, artinya
dibuat oleh suatu badan atau lembaga tertentu yang berwenang. Menurut Lestawi yang
merupakan sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti berdasarkan:20
a. Undang-Undang,
b. Kebiasaan dan Adat,
c. Traktat.
Ada juga penunjukkan jenis sumber hukum dengan menambahkan
yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan
sumber hukum itu sebagai berikut:
a. Undang-undang.
b. Kebiasaan dan adat.
c. Traktat,
d. Yurisprudensi,
e. Pendapat ahli hukum yang terkenal.
Sistematika susunan sumber hukum di atas, dianut pula dalam hukum
internasional, sebagaimana tertera dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang
beradab sebagai sumber huum pula. Dengan demikian terdapat susunan hukum sebagai
berikut:
a. Traktat International yang kedudukannya sama seperti undang-undang
terhadap negara itu.
b. Kebiasaan International.
c. Azas-azas hukum ang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
d. Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara
e. Ajaran-ajaran yang dipublisir oleh para ahli dari berbagai negara hukum
tersebut sebagai alat tambahan
Sumber Hukum Hindu yang terdapat dalam Kitab manawa Dharmasastra
terdiri dari lima bagian, yaitu:21
a. Sruti,
b. Smrti,
c. Sila,
20
Ibid., Hlm. 47.
21
Ibid., Hlm. 48.
d. Acara,
e. Atmanastuti
Bagian-bagian sumber hukum Hindu disebutkan dalam Dwitiyo ‘dhyayah
(buku ke dua) Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra), yaitu :22
Idanim dharma pramananyaha wedo’khilo dharmamulam smrtiçile ca
tadwidam acaraçcaiwa sadhunam atmanastutirewa ca
(Manawa Dharmasastra, II.6)
Terjemahan :
Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama daripada Dharma
kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orangorang budiman
yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang
suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi.
Berdasarkan Manawa Dharmasastra II.6, Sumber Hukum Hindu diatur secara
kronologi, yaitu :
a. Sruti
Weda Sruti adalah kelompok Weda yang ditulis oleh para Maha Rsi melalui
pendengaran langsung dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sruti adalah
pengetahuan suci, yang selalu di dengar oleh guru-guru suci yang bijak, berbeda
dengan apa yang bisa diketahui penulis-penulis tentang kemanusiaan. Seluruh
teks Sruti dengan jelas memuat suatu konteks religius. Rg Veda berisi ayat-ayat
yang didasarkan dalam upacara pengurbanan; Sama Veda adalah kumpulan
lagu atau melodi selama upacara ritual; Yajur Veda merupakan kumpulan
formula pengurbanan, dan Atharva Veda adalah kumpulan formula magis-
religius. Kumpulan-kumpulan ini adalah doa-doa atau himne-himne yang berisi
pujian bagi dewa-dewa dan permohonan berkat. Dalam hal ini dapat
diperkirakan bahwa penerimaan Sruti pada umumnya adalah sebagai sumber
ajaran-ajaran Agama Hindu, sedangkan pengembangan kaidah-kaidah
hkumnya diadaptasikan dengan kebudayaan dari masing-masing masyarakat
pemeluknya berdasarkan desa, kala, dan patra. 23
b. Smrti
22
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Op. Cit., Hlm. 41.
23
I Wayan Surpha, Op. Cit., Hlm. 35.
Smrti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Selanjutnya
Smrti sebagai sumber Hukum Hindu adalah sebagai sumber yang kedua setelah
Sruti yang merupakan kitab-kitab teknis yang memuat berbagai masalah yang
berasal dari Sruti sehingga dapat dikatakan bahwa Smerti bersifat
pengkhususan yang memuat penjelasan-penjelasan otentis.24
c. Sila
Sila merupakan tingkah laku orang-orang suci yang mempunyai tingkah laku
baik. Sila dijadikan standar atau ukuran untuk menilai baik buruknya atau
salah-benarnya tingkah laku dari seseorang.
d. Acara
Acara adalah adat kebiasaan local sebagai wujud bakti kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya, yang terdiri dari upacara dan
upakara. Acara atau disebut juga “Sadacara” adalah Bahasa Jawa Kuno yang
artinya sama dengan“Dresta” dalam bahasa Sansekerta, yaitu adat-istiadat yang
dipatuhi oleh masyarakat, karena adat-istiadat tersebut bersumber kepada
ajaran-ajaran Agama Hindu serta telah dilaksanakan secara turun temurun.
e. Atmanastuti
Atmanastuti adalah kepuasan kebenaran yang berada dalam diri kita/roh.
Atmanastuti dalam Manawa Dharmasastra, yaitu rasa kepuasan diri dari
masing-masing individu dipakai juga sebagai ukuran untuk menilai baik-
buruknya sesuatu. Alasannya ialah bahwa setiap keputusan akan menimbulkan
suatu akibat tertentu.25
Kalau dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan Negara, maka Sruti
itu mempunyai persamaan dengan Undang-Undang Dasar sebagai sumber atau asal
dari ketentuan-ketentuan lainnya, sedangkan Smrti yang memuat peraturanperaturan,
pedoman pelaksanaan, dan ajaran-ajaran berdasarkan Sruti, dapat disamakan dengan
Undang-Undang, baik organik maupun anorganik. Di samping itu smerti menurut
Manawa Dharmasastra disebut juga Dharmasastra, sedangankan Sila adalah ajaran
tentang tingkah laku orang-orang yang beradab atau azas-azas hukum yang diakui oleh
bangsa yang beradab, dan Acara ialah adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat serta
24
Ibid.
25
Ibid., Hlm. 37.
merupakan hukum positifnya. Akhirnya Atmanastuti ialah rasa puas pada diri masing-
masing individu yang merupakan ukuran dari setiap usaha manusia.26
26
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Op. Cit., Hlm. 42.
27
Munir Fuady, Op. Cit., Hlm. 125.
28
Ibid.
d. Hukuman pidana yang bersifat mutilasi, seperti hukum potong tangan,
potong kaki, potong telinga, pembuktian dengan sumpah pemutus,
pemberlakuan hukum ordeal, dan lain-lain.
Beberapa prinsip hukum dalam Code Manu tersebut adalah sebagai berikut.
Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Hukum tentang Orang
Hukum Perkawinan
Hukum Waris
Hukum Kekayaan
Hukum Agraria
Hukum Perikatan dan Utang Piutang
Hukum Pidana
Tindak Pidana Pencurian
Tindak Pidana Kesusilaan
Hukum Acara
Tentang Pidana Perusakan
Tentang Perlindungan Konsumen
Tentang Hukuman
Tentang Pajak, Bea dan Cukai
29
I Nengah Lestawi, Op. Cit., Hlm. 69.
Sebagaimana halnya kantaka sodhana (hukum pidana), maka Dharmasthya
juga dibedakan menjadi Dharmasthya dalam arti material dan dalam arti formal.
Dharmasthya dalam arti material adalah mengatur mengenai:
a. Perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipersalahkan kepada para
pelakunya.
b. Siapa-siapa orang yang dapat dipersalahkan dalam hubungan dengan
dilanggarnya suatu perjanjian atau dalam kondisi seseorang yang palit.
c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
pelanggaran norma hukum perdata atau terhadap kesepakatan yang telah
diperjanjikan.
Dharmasthya formal, yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang berisi cara-cara
menerapkan Dharmasthya material. Dharmasthya formal disebut pula hukum Acara
Perdata Hindu.
2. Pengaturan Hukum Pidana dalam Code Manu
Hukum pidana Hindu menurut Kautilya disebut sebagai Kantaka Sodhana.
Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu Kantaka Sodhana adalah
arti subyektif dan Kantaka Sodhana dalam arti objektif.
Kantaka Sodhana dalam arti subjektif disebut juga sebagai Ius Puniedi. Ius
Puniedi bermaksud yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak dan negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Sedangkan Kantaka
Sodhana dalam arti objektif disebut juga sebagai Ius Poenale, yang bermakna yaitu
sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan larangan-larangan dan keharusan-
keharusan, yang mana pelanggarnya dapat diancam dengan suatu hukuman. 30 Kantaka
Sodhana dalam arti objektif ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu Kantaka
Sodhana material dan Kantaka Sodhana formal.
Yang dimaksud dengan Kantaka Sodhana material atau hukum pidana material
yaitu peraturan-peraturan yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai:31
a. Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan suatu hukuman.
Misalnya: pencurian berdasarkan Pasal 337 dan 338 Astamo’dhyayah weda
smrti, seseorang yang melakukan pencurian dapat dihukum sesuai
ketentuan yang berlaku. Selanjutnya berdasarkan Pasal 170
Ekadaso/dhyayah weda smrti juncto pawos I Sastra Agama, dinyatakan
bahwa seseorang pencuri dapat dikenakan sanksi hukum tapa dan
prayascita.
b. Siapa-siapa orang yang dapat dikenakan sanksi hukuman. Dalam hubungan
ini tentunya setiap orang yang ada kaitannya dengan perbuatan pidana yang
30
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, 1984, Hlm. 1.
31
I Nengah Lestawi, Op. Cit., Hlm. 64-65.
dilakukannya. Misalnya: pelaku atau melakukan sendiri perbuatan pidana
(plegen), orang yang ikut serta melakukan perbuatan pidana (medeplegen),
orang yang menyuruh melakukan (doenplegen), orang yang menggerakkan
orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitlokken), termasuk orang
yang berteman dengan pelaku perbuatan pidana dapat dikenakan sanksi
hukuman. Hal ini di dasarkan pada pawos I Sastra Agama.
c. Hukuman apa yang dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
perbuatan yang menurut ketentuan merupakan kejahatan. Dalam hal ini
berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan oleh majelis hakim, apakah tapa
(pemenjaraan), prayascita (memulihkan kembali kondisi lingkungan yang
tercemar akibat perbuatan pidana yang dilakukan), apakah sanksi wrata
atau sanksi membayar denda, ini tergantung berat ringan akibat hukum yang
ditimbulkannnya.
Adapun dalam hubungannya dengan pelaksanaan putusan ada beberapa jenis
sanksi menurut hukum pidana Hindu. Sanksi menurut hukum Hindu merupakan salah
satu reaksi terhadap pelanggaran atau terhadap aturan-aturan hukum Hindu. Adapun
jenis-jenis sanksi yang diatur dalam hukum pidana Hindu atau Kantaka Sodhana
adalah sebagai berikut:
a. Sanksi hukum Jasmani, yaitu dalam bentuk tapa, penyiksaan dan
pengasingan.
Sanksi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran atas perbuatan yang
dilakukan, yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum. pada
dasarnya sanksi hukuman jasmani adalah bentuk sanksi hukuman
penyiksaan dan pengasingan dari masyarakat yang melanggar norma-
norma hukum hindu. Sanksi hukuman penyiksaan dan pengasingan dapat
berupa tapa, brata, dan menghilangkan beberapa anggota badan atau
hukuman mati. Tapa janganlah hanya dimaknai sebagai suatu usaha
pemusatan pikiran pada Ida Sang Hyang Widhi dengan cara duduk dan
mengasingkan diri di suatu tempat, tapi istilah tapa identik dengan
pemenjaraan. Istilah tapa ditegaskan dalam penjelasan pasal 171
Ekadco’dhyayah (buku XI) Veda Smrti, sebagai berikut: “istilah tapa harus
diartikan pemenjaraan, karena dalam keadaan seseorang dipenjara sama
deritanya sebagai seorang bertapa”.32
b. Denda
Denda adalah satu sanksi hukum Hindu. Denda adalah sejumlah uang yang
dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu norma-norma atau
kaidah agama Hindu.
c. Prayascita atau Pamarisudha
Prayascita adalah suatu upacara keagamaan dalam rangka pembersihan
tempat tertentu apabila ditempat itu teradi suatu perbuatan yang melanggar
32
Ibid., Hlm. 67.
norma-norma hukum Hindu yang dapat dipandang mengganggu
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Prayascita adalah merupakan
penyucian terhadap semua dosa-dosa yang telah dilakukan seseorang.
Prayascita dapat dilakukan dengan cara mempelajari veda, melakukan
Mahayadnya menurut kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua
penderitaan. Hal ini akan cepat menghancurkan semua kesalahan, maupun
sampai dengan dosa besar. Prayascita dapat dilaksanakan dengan
pengucapan mantra-mantra veda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 249,
sampai dengan Pasal 260 Ekadaco dhyayah veda smrti.33
d. Sanksi Hukum Vrata
Selain sanksi-sanksi hukum yang disebut di atas di dalam kurma purana
disebutkan pula sanksi hukum vrata (brata) sebagai berikut:
1) Santapana vrata
2) Mahasantapana vrata
3) Prajapatya vrata
4) Atikrcchra vrata
5) Paraka vrata
6) Taptakrcchra vrata
7) Krcchratikrcchra vrata
8) Padakrcchra vrata, dan
9) Candrayana vrata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
33
Ibid., Hlm. 68-69.
hukum privat, maka hukum ini menjamin kepentingan-kepentingan pribadi.
Mengenai hukum perdata hindu diatur menyebar di berbagai buku weda smrti.
Hukum pidana Hindu menurut Kautilya disebut sebagai Kantaka Sodhana.
Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu Kantaka Sodhana
adalah arti subyektif dan Kantaka Sodhana dalam arti objektif.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Fuady, Munir. Sejarah Hukum: Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013.
Jaelani, Abdul Qadir. Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia, Yayasan
Pengkajian Islam Madinah Munawarah, Jakarta, 2016.
Ngenget dan A.D. Ewald Frederick, Buku Ajar Pengantar Sosiologi, STISIP, Manado,
2012.
Rumokoy, Donald Albert dan Maramis, Frans. Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014.
Sugiarto, Umar Said. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Surpha, I Wayan. Pengantar Hukum Hindu, Paramita, Surabaya, 2005.
Jurnal
Ida Ayu Aryani Kemenuh, Sumber Hukum Hindu Dalam Manawa Dharmasastra,
Purwadita: Jurnal Agama dan Budaya Volume 1 Nomor 2, 2017.
SEJARAH SISTEM HUKUM CHINA:
SEBUAH TATANAN YANG TERKONSTRUKSI
DALAM LINTASAN LI DAN FA
TUGAS
SEJARAH HUKUM
Oleh:
Nama: JULIA FRANSIKA RAMBI
NIM : 20202108071
1
SEJARAH SISTEM HUKUM CHINA:
SEBUAH TATANAN YANG TERKONSTRUKSI
DALAM LINTASAN LI DAN FA
oleh
JULIA F.RAMBI
PENDAHULUAN
Sistem hukum China, berkembang menurut alur sejarahnya sendiri,
“terlepas” dari perkembangan sistem hukum anglo-saxon (anglo-american),
maupun sistem civil law (Eropha continental). Meskipun pada titik tertentu
terlihat adanya persinggungan di antara sistem-sistem hukum tersebut, akan
tetapi sistem hukum China terbangun dengan pondasi sumber hukum, asas,
lembaga dan pranata yang berbeda dengan sistem hukum lain didunia,
sehingga tampil sebagai sebuah sistem hukum tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada paragrap-paragrap di bawah ini
akan dideskripsikan tentang sistem hukum China.
2
PEMBAHASAN
Sistem Hukum China: Sebuah Pergumulan antara Li dan Fa1
Sistem Hukum China di Masa Kerajaan: Sebuah sistem dikotomis yang
Diskrimanatif
Sejak awal pembentukannya, sistem hukum China terbangun oleh dua
tradisi besar, yaitu tatanan hukum yang bersumber dari ajaran filsafat confu-sio-
nisme,2 yang bertumpu pada pengabdian aturan-aturan hukum moral (yang
disebut li = ! ["] «禮» ), dan tatanan hukum yang didasarkan atas undang-
1 Keseluruhan bagian dari tulisan ini diambil dari John Gillissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum:
Suatu pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2005, kecuai disebutkan lain sumber referensinya.
2 Confucius adalah seorang filosof dunia yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan
moralitas.Masyarakat penganut ajaran nilai-nilai Confucius yang mengutamakan nilai moral
(Li)cenderung untuk menyatu dengan alam. Penyatuan dan keselarasan hidup manusia dengan alam
menjadikan masyarakat Confucius cenderung untuk menghindar dari konflik, baik konflik dengan
sesama manusia maupun konflik dengan lingkungan alam. Lihat Fokky Fuad, Confusius Hukum,
http:/ /www.fokkylaw.com/2009/02/confucius-dan-hukum.html dan http://uai.ac.id/index.
php/situs/konten/ 86
3 Menurut Fisafat Konfusiun Li prinsip-prinsip yang menentukan aturan semesta alam, baik alam
maupun dunia manusia. Li mampu mengatur semua alam ini, oleh karena itu Li sering didentikan
dengan keadilan. Kata Li sebenarnya berarti pola. Menurut Chu Hsi, pola tersebut merupakan akar
dan dasar semua benda (hakekatnya, normanya). Pola atau norma yang ada ada suatu benda
menentukan keadaannya dna perkembangannya. Lihat lebih lanjut Theo Huijbers, Filsafat H ukum,
Yogyakarta : penerbit Kanisius, 1995, Hal. 126.
4 Konfusianisme pada hakikatnya adalah apa yang dikenal sebagai agama kaum terpelajar ia lebih
merupakan suatu tatanan kefilsafatan daripada sebuah agama dalam arti yang sebenarnya. Sementara
itu, Taoisme dan Budhisme adalah agama-agama rakyat biasa. Orang-orang China ini terkenal sangat
toleran dalam bidang keagamaan, bahkan terhadap agama Islam maupun Kristen.
3
Aturan-aturan hidup yang disebut Li bukanlah sebuah ketentuan yang
berlaku umum, Li memiliki substansi yang berbeda-beda mengikuti bentuk
hubungan dan golongan dari orang-orang yang harus menerapkannya. Meskipun
demikian terdapat satu ketentuan yang berlaku umum di dalam Li, yaitu adanya
penetapan, bahwa manusia-manusia pada dasarnya tidak mempunyai hak-hak
subyektif, akan tetapi hanya memiliki kewajiban-kewajiban, baik kewajiban
terhadap atasan-atasan mereka, maupun terhadap masyarakat.
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan,
sebagai bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan
dan perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”,
yaitu : (a) kaum muda terhadap kaum tua; (b) kaum laki-laki terhadap ayahnya;
(c) istri terhadap suami; (d) sahabat terhadap sahabatnya; (e) kaula negara
ter-hadap raja. Adanya kewajiban yang bersifat subordinasi ini, tidak dapat
di-lepaskan dari bentuk dasar organisasi kemasyarakatan, yaitu keluarga,
dalam arti yang luas. Kepala keluarga adalah orang yang tertua dari generasi
tertua, dan ia melakukan kekuasaan yang tak terbatas atas semua anggota-
anggota ke-luarga. Keluarga-keluarga tersebut dikelompokkan kedalam
keturunan-keturun-an dan yang disebut terakhir ini pada gilirannya
bertumpu pada domein feodal, dan berada dibawah pimpinan raja-raja.
Hierarki feodal seperti itulah yang ada pada era Confusius, tetap bertahan.
Kondisi itulah yang kemudan menjadi dasar diterapkannya Li oleh ke-pala
keluarga didalam keluarga, oleh kepala suku-bangsa terhadap kepala-kepala
keluarga, oleh raja-raja atau pejabat-pejabat tinggi terhadaap kepada kepala-kepala
suku. Dalam konteks ini setiap orang harus berikhtiar untuk menghindari adanya
sengketa, oleh karena adanya sengketa dapat merusak kehormatan dan sekaligus
mengganggu ketertiban masyarakat. Dengan demikian setiap anggota masyarakat
harus senantiasa berupaya untuk melakukan rekonsiliasi, dan men-cari solusi yang
mendamaikan. Bilamana proses rekonsiliasi tidak menghasilkan sesuatu, maka
barulah sengketa tersebut diselesaikan dengan hukum, sebagai alat pamungkas.5
Adanya pandangan yang demikian mendasarkan pada pen-dapat Confucius, yang
menyatakan bahwa manusia akan menjadi benar, jika manusia menjunjung tinggi
moral (Li) dalam setiap kehidupannya. Dengan
5 Di dalam kultur sistem hukum China tradisional, peradilan pada hakikatnya merupakan alat yang
diarahkan untuk menghambat proses dan prosedur ini. Barang siapa mengajukan suatu tuntutan dapat
mengharapkan adanya sikap permusuhan hakim. Profesi penasihat hukum disini dipandang sebagai
suatu pekerjaan yang tida terhormat. Dengan demikian derajat profesi advokat di China tidak pernah
berdiri di China, sama halnya sebuah kedudukan profesi kehakiman. Peradilan diselenggarakan oleh
pejabat-pejabat administrasi, yang tidak diharapkan mempunyai pendidikan yuridis.
4
menjunjung tinggi moral, maka manusia akan berada dalam kesempurnaan sehingga
manusia tidak perlu lagi berpedoman pada hukum. Menurutnya hukum tertulis yang
dibuat oleh para pembentuk hukum (kaum legalis) menjadikan manusia memiliki
perilaku yang buruk. Hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang jahat,
hukum menjadikan manusia bersikap tamak dan serakah. Manusia yang telah mencapai
kesempurnaan moralitas tidak akan membutuhkan hukum dalam hidupnya. Pemikiran
Confucius tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan baik, sehingga ia karena terdapatnya atau telah tertanamnya
moral dalam dirinya sejak manusia itu lahir.6
Pada abad III M, terutama di zaman Dinasti Tsyin (256-207), ajaran
Confusionisme, terutama ajaran li ini diserang habis-habisan oleh kaum ahli-ahli
hukum atau para legis, yang mendasarkan pada pandangan bahwa fa, artinya
undang-undang, terutama undang-undang hukum pidana sangat diperlukan bagi
rakyat. Apa yang dikenal dengan facia (madzab undang-undang/madzab kaum
legis) berkembang pesat terutama pada pemerintahan Kaisar Ch’in Shih Huang-Ti,
yang pada tahun 221 SM mewujudkan persatuan dan kesatuan semua wilayah
China, dan kemudian diteruskan oleh mao tse Tung serta pimpinan partai komunis.
Tentangan terhadap Confucius tersebut, mendasarkan pada pemahaman
Kaum Legalis, yang melihat bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan dengan
membawa watak dan sifat jahat. Manusia cenderung untuk senang sendiri, ia akan
menjadi serigala bagi manusia yang lain. Pada keadaan yang demikian manusia
harus diatur oleh hukum yang keras. Menurut kaum Legalis Raja memperoleh
legitimasi kekuasaan dari Thian (Tuhan), dan ketika ia berkuasa maka ia dibekali
dengan hukum untuk menundukkan sifat watak keras manusia, sehingga tidak ada
satupun manusia yang akan menentangnya.7 Oleh karena itu untuk menjaga
ketertiban, maka manusia perlu ditundukan pada undang-undang, bahkan para
pelanggar aturan-aturan ini harus diancam dengan hukuman-hukuman berat yang
menakutkan.8 Fa adalah hukum yang lekat pada negara, secara mutlak dan umum
serta berlaku sama dan setara bagi setiap orang.
Sejalan dengan anjuran dari facia, di China pun kemudian dibentuk berbagai
peraturan perundang-undangan. Paling sedikit dijumpai setidak-tidaknya delapan
8 Dardi Darmaodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, Hal. 46.
5
belas kitab undang-undang China.9 Peraturan perundang-undangan yang tertua
berasal dari abad IV SM, setelah itu hampir disetiap dinasti mengeluarkan
sebuah kitab undang-undang baru (meskipun biasanya berasal dari naskah lama
yang diambil alih begitu saja dengan atau tanpa tambahan-tambahan).
Akan tetapi pandangan legalistis fa-cia tersebut nampaknya tidak
dapat dipaksakan begitu saja. Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat
dipasti-kan terjadi sebuah proses “konfussianisasi” undang-undang, dimana
beberapa peraturan perundang-undangan secara substansi merujuk pada Li
sebagai sum-ber hukumnya.
Sekalipun demikian legisme ini masih tetap berpengaruh dan telah
men-jadi tradisi bagi setiap kaisar untuk membentuk perundang-undangan,
terutama perundang-undangan di bidang hukum pidana dan hukum tata-
usaha negara. Hanya saja proses legisme tersebut tidaklah pernah
menyentuh bidang hukum privat.10
Dalam bidang hukum privat, kebiasaan tetap memainkan peranan pen-
ting, dan kebiasaan tersebut masih tetap berlaku sekalipun bertentangan dengan
undang-undang. Sub sistem hukum Li dan Fa dalam sistem hukum China, ti-
daklah berlaku secara unifikasi untuk semua golongan masyarakat. Permber-
lakuan Li dan Fa disesuaikan dengan struktur masyarakat China terdiri dari
empat kelas, yaitu : kelas pertama yang terdiri dari pejabat-pejabat dan kaum
yang terpelajar; kelas kedua kaum petani; kelas ketiga kaum pekerja dan kelas
keempat kaum pedagang.11 Orang-orang yang berada di kelas yang lebih rendah
tunduk pada orang-orang kelas yang lebih tinggi; didalam kelas tiap kelas
keluarga dan kelompok keluarga tetap merupakan dasar organisasi kemasya-
9 Beberapa kitab undang-undang mempunyai lebih dari 1500 pasal, dengan menyebutkan berturut-
turut lebih dari 2000 kejahatan dan pelanggaran, yakni Kodeks Ts’in-Liu (tahun 268M), dan lebih
kemudian lagi yang diterbitkan oleh Dinasti Tsying, dari tahun 1646 dan tahun 1740. pidana-pidana
ini nampaknya sangat ketat: hukuman mati deportasi, kerja paksa, hukuman rajam. Salah satu dari
kejahatan adalah pemberontakan anak laki-laki terhadap kekuasaan ayahnya.
10 Hingga awal abad XX, China tidak memasukan konsep hukum perdata (perdagangan) dalam
sistem hukumnya, apalagi mempraktikan. Di Era Komunis, tidak ada hukum perdagangan mengenai
bisnis domestik, hingga Deng Xioping merumuskan reformasinya serta mengadopsi prinsip-prinsip
umumhukum sipil dan hukum kepailitan pada tahun 1986. Hukum mengenai investasi asing langsung,
dibentuk pada tahun 1979. Lihat lebih lanjut Goerge T. Haley dan Usha, The Chinese Thao of
Business: Rahasia Kesuksesan dan Keunggulan Strategi Bisnis pengusaha China, diterjemahkan oleh
Arfan Achyar, Jakarta : Hikmah (PT Mizan Publika), 2008, Hal. 97.
11 Pembagian kelas dalam masyarakat China, tidaklah berlaku secara ketat dan rigid, setiap orang
dimungkina untuk berpindah kelas dari yang lebih rendah ke kelas yang lebih tinggi melalui ujian-
ujian..
6
rakataan dan yuridis. Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan
bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah,
tidak dapat diterapkan dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam
konteks yang demikian, maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar
terhindar dari undang-undang pidana, bahkan jika mereka harus dihukum,
mereka senantiasa dapat “menembus” pidana mereka dengan sejumlah uang.
Munculnya perbedaan tersebut didasarkan pada alasan karena
anggota-anggota kelas tertinggi kaum elit orang-orang terpelajar, para
pejabat negara, pemilik-pemilik tanah karena pengetahuan dan pendidikan
mereka dapat memahami cara hidup yang ditentukan oleh Li, sedangkan
“rakyat biasa” yang tidak terpelajar dan hidup sederhana tidak dapat berbuat
demikian, sehingga mereka harus diatur dengan peraturan perundang-
undangan, khususnya hukum pidana.
Hukum China tradisional dengan demikian diwarnai dan ditandai oleh
adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan
ha-kim. Kelas-kelas tertinggi dapat menolak permbelakukan undang-undang
ter-hadap mereka, dengan alasan bahwa pemberlakuan sebuah undang-
undang me-rupakan bukti kelemahan.
12 Undang-undang Dasar pertama Republik Rakyat China yang diberlakukan pada tahun 1954,
sebagian materi adalah pencerminan Undang-undang Dasar Uni Sovyet dan Republik-republik Rakyat
Eropa Timur.
Pada tahun 1930 dibentuk Kodeks Hak Milik, pada tahun 1931 dibentuk Kodeks Hukum Acara
Perdata. sebuah kitab Undang-undang Hukum Perdata Jerman tahun 1900 dan bahkan beberapa yang
lebih baru lagi versi negara-negara Swiss, Rusia dan Brazil
7
Pada tahun 1949 telah terjadi perubahan mendasar sebagai akibat ke-
menangan partai Komunis dibawah pimpinan Mao Tse-Tung.13 Rezim baru
Republik Rakyat China ini telah menghapus semua undang-undang yang ada
untuk melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah, dan
sebagai gantinya dibentuk tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang.
Pembentukan tatanan hukum baru berbasis undang-undang ini, tidaklah semata-
mata memperlihatkan kemenangan Fa, (kaum ahli hukum (legisten), akan tetapi
lebih menunjukan domonasi dari penerapan paham Marxisme-lenimisme.
Pemberlakukan undang-undang di Republik Rakyat China, pada dasarnya ingin
mengukuhkan kekuasaan diktator (yang untuk sementara dianggap sebagai
suatu keadaan yang terpaksa ditolelir). Pemberlakukan undang-undang yang
keras dan ketat, semata-mata untuk menegakkan komunisme.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah di-
keluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut
pola hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China. Akan tetapi
pada sekitar tahun 1958 terjadilah suatu reaksi terhadap hegemoni perundang-
undangan. Pemerintah China menentang pengaruh Rusia dan kembali ke cara
pendekatan tradisional China. Dominasi kedaulatan undang-undang mulai di-
hapuskan, dan kemudian digantikan dengan sebuah model penataan yang ber-
basis pada kepemimpinan kenegaraan yang dipengaruhi oleh sebuah etika um-
um, yang ditafsirkan oleh kader-kader partai dan negara. Pada titik ini, di Repu-
blik Rakyat China, terbentuk kembali sebuah li yang baru, sesuai dengan pan-
dangan-pandangan partai politik komunis, yang diturunkan oleh gagasan-gaga-
san Mao Tse Tung (yang kemudian dikenal dengan “buku merah”). Li ini di-
terapkan atas diri “orang-orang yang jujur”, yakni orang-orang komunis,
sedang-kan yang kejam itu (undang-undang hukum pidana) tetap dipertahankan
dan diberlakukan bagi orang-orang “kontrarevolusioner” dan bagi orang-orang
“Ba-arbar”, yakni yang bukan China.
Terjadinya Revolusi kebudayaan kaum Proletar pada tahun 1966-1968
telah mempercepat proses perubahan tersebut. Proses untuk membentuk komu-
nisme menimbulkan keinginan yang kuat disebagian kalangan untuk memasuk-
kan didalamnya keadaan “non-hukum”, dengan sama sekali tidak ada sanksi
apa pun. Ideologi harus mampu menjalankan kekuasaan negara, sementara rak-
13 Mao Tse-Tung sejak tahun 1931 telah mendirikan Republik Sovyet China di Propinsi Kiang Si,
di bagian Selatan China Tengah. Setelah long march” (1934-1935), yang membawa kaum komunis
ini ke Syensi, propinsi bagian utara China, maka dari sinilah seluruh China ditaklukkan (kecuali pulau
Taiwan).
8
yat harus menerima dan mengikuti dengan penuh gairah gagasan-gagasan partai
dan pimpinannya. Idiologi ini harus harus diterima bukan karena menyetujuinya,
melainkan agar tercipta persatuan dan kesatuan. Setiap orang diharapkan dapat
menerapkan gagasan-gagasan tersebut, kalau perlu dengan jalan paksa. Dengan
demikian bentuk tatanan hukum yang kemudian terbentuk bukan lagi semata-mata
berdasarkan undang-undang, akan tetapi segala sesuatunya kemudian bertumpu
pada slogan-slogan dan semboyan-semboyan yang bersifat ideologis.
Pada tahun 1970, dan terutama setelah wafatnya Mao (1976), nampak-
nya pandangan mengenai hukum dan negara yang diberlakukan oleh Revolusi
Kebudayaan secara berangsur-angsur ditarik kembali. Pada tahun 1973 muncul-
nya perlawanan terhadap Lin Piao, yang dipadukan dengan penyerangan ter-
hadap konfusionisme serta pemujaan terhadap fa-chia, Hua Kuo Feng bersama-
sama dengan Feng Hsiao-Ping (pemimpin yang dilengserkan oleh Revolusi
Kebuda-yaan), telah membawa kembali China untuk menganut legalisme, suatu
bentuk fa, namun tanpa mengingkari ideologi Mao.
Pada masa ini Undang Undang Dasar yang dibuat sejak tahun 1954,
kemudian diganti dengan sebuah Undang-undang Dasar baru yang telah
dipersiapkan sejak tahun 1970 dan dirampungkan serta dikeluarkan pada tahun
1975. UUD ini lebih ringkas dibandingkan dengan yang dikeluarkan pertama
(hanya 30 pasal, sedangkan UUD yang lama berisi 106 pasal). UUD baru ini di
satu sisi berupaya untuk menyederhanakan struktur kenegaaraan, sedangkan di sisi
lain melelatkan dasar konstitusional bagi partai komunis. Dengan demikian
Republik Rakyat China menjadi negara sosialis dengan nama “diktatur ploretariat”,
yang didalamnya kekuasaan negara diletakkan di bawah pimpinan partai komunis.
Undang-undang Dasar tahun 1975 ini, kemudian diamandemen pada
bulan Maret tahun 1975 (60 pasal), yang kemudian diganti lagi oleh UUD
1982, namun perubahan-perubahan yang diadakan relatif sedikit. Dianutnya
kembali subs sitem fa di China, tidaklah menyebabkan hukum (undang-undang)
menjadi dominan. Sekitar tahun-tahun 1972-1976 hukum justru ditempatkan
secara subordinatif dan hanya menjadi alat tujuan-tujuan politik. Demikian pula
di bidang hukum privat. Meskipun telah diakui adanya kepemilikian tanah,
akan tetapi struktur kepemlikian tersebut mendasarkan pada hak milik
marxisme, dengan tekanan pada hak milik negara sosialis dan kolektif.
Peradilan pun sepenuhnya berada di bawaah pengawasan badan-badan partai,
yang hanya mempunyai satu tujuan: penyelesaian pertentangan-pertentangan yang
timbul dalam masyarakat. Didalam kebanyakan bidang hukum ini diupayakan adanya
penyelesaian perselisihan secara damai melalui jasa-jasa perantara. Untuk menunjang
9
maksud tersebut maka dibentuklah Komisi Perantaraan Masyarakat, yang
pada hakikatnya mengesampingkan peranan peradilan. Mekanisme ini
dipandang sebagai pengganti tolak ukur yang lama, yakni kewajiban
menjamin kehidupan, harmonis, yang kemudian berubah menjadi
persyarataan kesetiaan terhadap paham marxisme versi Mao Tse-Tung.
Hukum perundang-undangan di China bersumber dari dua badan pem-
buat undang-undang, yaitu: badan legeslatif negara dan badan kekuasaan partai.
Dalam hal ini Partai menetapkan isinya, sedangkan negara menentukan bentuk
undang-undang. Begitulah sejak tahun 1979 telah diterbitkan ratusan undang-
undang, terutama yang berhubungan dengan institusi-institusi negara dan khu-
susnya yang menyangkut hukum ekonomi. Selain itu dikeluarkan pula kitab-
kitab undang-undang dalam bidang cabang-cabang hukum lainnya seperti hu-
kum perdata dan hukum acara perdata, hukum pidana dan hukum acara pidana.
Adapun Pembagian bidang hukum di negara China pada masa kini adalah: (a)
Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai. Dalam hal
ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini. Instansi partai tertinggi
adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara dan masyarakat. (b) Hukum Tata
Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-undang Dasar dan didalam
undang-undang pelaksanaannya. Undang-undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh
Musyawarah Nasional, menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi,
mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama dimuka
hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan
Musyawarah Rakyat Nasional; dan (c) Hukum pemerintahan yang antara lain
menetapkan statuta komite-komite penduduk. (d) Di dalam bidang hukum privat,
hukum China ini membedakan antara orang-orang pribadi dan badan-badan hukum.
Orang asing dilindungi dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan hukumnya. Di
dalam hukum keluarga suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang
perkawinan tahun 1980 mengatur persyaratan-per-syaratan pelaksanaan perkawinan,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang me-ngalir dari hal tersebut berikut syarat-
syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hak yang
sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum perkawinan pada tahun 1950
pembuat undang-undang membuat suatu ketentuan yang bertentangan dengan
kebiasaan-kebiasaan tradisional. Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai
permasalahan yang diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan
ketentuan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan
hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan istri
mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan
10
alasan-alasan demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti pro-gram
keluarga berencana. (e) Di dalam pengaturan tentang eigendom Undang-undang dasar
membedakan tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak
milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-sumber daya
alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom individual meliputi
barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah tangga, uang tabungan) dan
alat-alat produkssi seperti hewan penarik dan pengangkut beban. Hanya hak milik
publik “sosialistis” adalah barang suci dan tidak dapat diganggu gugat. (f) Kendatipun
Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik intelektual, namun pada
tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke permukaan dan diberlakukan suatu
hak oktroi baru. (g) Di dalam bidang ekonomi dijumpai perusahaan-perusahaan negara,
kolektif dan individual, disamping perusahaan-perusahaan campuran China dan manca-
negara (perusahaan patungan) yang diatur oleh sebuah perundang-undangan yang serba
luas. Sejak tahun 1980 diadakan empat buah “Zone Ekonomi Khusus” di bagian
Selatan China, dimana investor-investor asing memperoleh perlakuan istimewa berupa
hak-hak privilese yang berhubungan dengan perpajakan, imporekspor valuta asing, dan
seebagainya. (h) Dalam bidang peradilan dijumpai: (i) Komite-komite perantaraan
masyarakat, yang dibentuk oleh komite-komite penduduk, yang didalamnya duduk
hakim-hakim awam dan yang kurang menangani perkara-perkara perdata dan pidana;
(ii) Pengadilan-pengadilan rakyat biasa maupun khusus dan pada puncak piramida
peradilan, sebuah Mahka-mah Agung Rakyat; (iii) Komisi-komisi arbitrase yang
terutama menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi; (iv) Parket, yang
mengawasi pelaksanaan undaang-undang; (v) Ruang tempat pembela (balie), yang
terdiri dari advokat-advokat yang bekerja dibawah pengawasaan-pengawasan negara
dan wajib memberikan bantuan hukum. (vi) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-
hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu. (vii) Hukum acara
di sidang pengadilan berlangsung melalui dua instansi: pemeriksaan dan pemutusan
perkara dalam tingkat pertama dan dalam tingkat banding. Dan persidangan pengadilan
terbuka untuk umum. Namun, jumlah perkara tidak banyak: kebanyakan perkara
diselenggarakan terhadap apa yang disebut musuh-musuh rakyat dan “residivis-
residivis”, maupun dalam bidang hukum perkawinan.
PENUTUP
Di awal-awal pembentukannya sistem kukum China yang merupakan reduksi
dari hasil tarik menarik antara sub-sistem hukum Li dan Fa¸ diwarnai dan ditandai
oleh adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan
11
hakim. Sub-sistem hukum Li sebagai suatu tatanan umum yang bersendikan
moral hanya diberlakukan bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan
bagi kelas-kelas terendah, diberlakukan sub-sistem hukum Fa, sebagai
suuatu tatanan hukum berbentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat
dan diberlakukan oleh negara bagi masyarakat kelas rendah.
Di sepanjang alur sejarah perjalanannya model pembangunan hukum di
China mengalami pergantian antara suatu tatanan hukum berbasiskan undang-
undang, yang mendasarkan pada paham Marxisme-lenimisme, dengan sisten
hukum yang berbasis moral (etika umum) dengan mendasarkan pada
pendekatan tradisional China. Pada tahap akhir perkembangannya China
menganut kembali paham legalisme, tanpa mengingkari ideologi Mao, dan
menempatkan hukum secara subordinatif pada tujuan-tujuan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Daud. 1994. Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya. dalam
Tjun Surjaman (Ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan
Pratek. Cet. Kedua. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Jakarta: Pustaka Jaya.
12
Gillissen, John dan Frits Gorle. 2005. Sejarah Hukum: Suatu pengantar. Bandung:
Refika Aditama.
Haley, Goerge T. dan Usha. 2008. The Chinese Thao of Business : Rahasia
Kesuksesan dan Keunggulan Strategi Bisnis pengusaha China.
diterjemahkan oleh Arfan Achyar. Jakarta : Hikmah (PT Mizan
Publika).
13
Nur, Ma’mun. 2006. Efendi Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits.
Semarang: Bima Sejati.
Pijper, G.F. 1987. Politik Islam Pemerintah Belanda. dalam H. Baudet dan
I.J. Brugmans ( ed ). Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan
.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricklefs, M.C. 1982. Islamisasi di Jawa : abad ke-14 hingga ke-18" . dalam
Tika Noorjaya dan Endang Basri Ananda. Islam di Asia Tenggara :
Persfpektif Sejarah. Jakarta. LP3ES.
Soepomo. 1982. Sejarah Politik Hukum Adat : Jilid I (Dari Zaman Kompeni
Sehingga Tahun 1848). Cet. Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita.
Soepomo. 1982. Sejarah Politik Hukum Adat: Jilid I (Masa 1848 – 1928). Cet.
Kedua. Jakarta: Pradnya Paramita.
Soepomo. 1998. Sistem Hukum di Indonesia: Sebelum perang Dunia II. Cet.
Ketigabelas. Jakarta : Pradnya Paramita.
14
Sudiyat, Iman. 1985. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Yogyakarta. Liberty.
15
SEJARAH HUKUM ISLAM DI NEGARA ARAB SAUDI
TUGAS
SEJARAH HUKUM
OLEH:
Sejarah modern Arab Saudi diawali pada abad ke-delapan belas dengan
persekutuan antara Muhammad ibn Saud dan Muhammad ibn. Abd al-Wahhab,
seorang pemimpin agama dan penemu gerakan Wahhabi, yang mencari inspirasi
moral dalam pembelajaran langsung mengenai pemikiran dan praktek-praktek
religius Nabi dan sahabat-sahabatnya. Hal itu memerlukan sikap intelektual dari
theologian abad ke-tigabelasan sampai empat belas, Ibn Taymiyya, yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh ajaran Ahmad ibn Hanbal, theologian abad ke-
sembilan dan penemu aliran hukum Islam Hanbali. Koalisi Saudi/Wahhabi
membentuk tiga kerajaan berturut-turut, yang memuncak menjadi satu sekarang.
Arab Saudi mulai mengambil bentuk modernnya pada abad ke-dua puluh saat Ibn
Saud menyatukan berbagai daerah jazirah yang berbeda menjadi satu negara, yang
diawali dengan penangkapan Riyadh pada tahun 1920 (ibukota sekarang), diikuti
dengan penaklukan Hijaz tahun 1925, dan memuncak di tahun 1932 dengan
proklamasi Kerajaan Arab Saudi.1
1
Hasbi Ash-Shiddiqy. 1966. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang.
hlm. 43.
mengenai terpusatnya hukum Islam, juga kekuasaan independen raja untuk
menerbitkan peraturan-peraturan yang sesuai dengan hukum tersebut.2
Selain fiqh, berbicara hukum Islam juga harus menyinggung istilah syari’ah.
Istilah syari’ah seringkali dipahami sama dengan fiqh oleh sebagian orang. Hal ini
tentunya menimbulkan problem tersendiri karena kedua istilah tersebut memiliki
perbedaan yang signifikan, walaupun tidak dapat dinafikan bahwa keduanya juga
memilaki hubungan yang erat. Syari’ah merupakan jalan yang ditetapkan oleh
Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-
Nya.5 atau dengan kata lain syariah merupakan kehendak ilahi, suatu ketentuan
suci yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan fiqh
merupakan ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah amaliah dari dalil-dalil yang
terinci (adillah tafshiliyyah).6
Dengan demikian syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan yang sangat jelas.
Perbedaan keduanya disimpulkan oleh pernyataan A. A Fyzee, bahwa syari’ah
mencangkup hukum-hukum dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fiqh
2
Ibid.
3
A. Qadri Azizy. 2003. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai
6DLQWLøN_0RGHUQ. Jakarta: Teraju. hlm. 14-15; idem. 2002. Eklektisisme hukum Nasional
Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media. hlm.13.
4
Josept Schacht. 2003. Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo. Yogyakarta: Islamika. hlm. 1.
5
Fazlur Rahman. 1997. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. hlm. 141.
6
Wahbah az-Zuhaili. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr. I: 19; Al-Amidi. 1347
H. DO_,KNDPø8VKXODO_$KNDP. Kairo: Muhammad Ali Shabih. hlm. 5.
hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja. Abu Ameenah menambahkan
tiga perbedaan lain antara syari’ah dan fiqh, yaitu: Pertama, Syari’ah merupakan
hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah,
sementara fiqh adalah hukum yang disimpulkan dari syari’ah yang merespon
situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum syari’ah.
Kedua, syari’ah adalah pasti dan tidak berubah, sementara fiqh berubah sesuai
dengan situasi dan kondisi dimana diterapkan. Ketiga, hukum syari’ah sebagian
besar bersifat umum; meletakkan prinsip-prinsip dasar, sebaliknya hukum fiqh
cenderung spesifik; menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa
diaplikasikan sesuai dengan keadaan. Akan tetapi, walaupun sesungguhnya makna
syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan, namun kemudian diterjemahkan secara
longgar sebagai ‘hukum Islam.7
Sistem hukum Saudi didasarkan pada hukum Islam, Arab Saudi merupakan
tempat kelahiran Islam dan tempat dimana terletak dua tempat tersuci Islam,
Mekah dan Madina. Karena Arab Saudi merupakan satu dari sedikit negara di
daerah tersebut yang tidak pernah dikolonisasi, sistem hukumnya memiliki lebih
sedikit tambahan dari hukum Eropa yang ditemukan di negara-negara sekitarnya,
dan hukum Islam, yang belakangan ini berkurang di sebagian besar negara
menjadi hukum berstatus personal (kasarannya, hukum keluarga dan pengesahan
hakim), tetap menempati posisi pokok. Sejak abad ke delapan belas, pemerintah
dan ketetapan keagamaan berpegang pada paham Wahhabisme, yang cenderung
pada suatu penekanan terhadap akar Islam: Qur’an dan Sunnah (kata-kata dan
perilaku nabi Muhammad), memberikan lebih sedikit penekanan aliran penafsiran
Islami yang muncul kemudian. Sementara terikat secara historis pada aliran
hukum Islam Hanbali, otoritas keagamaan sekarang, ketika memperbanyak
Qur’an dan Sunnah, mendukung keempat aliran Islam. Sebagai komitmen
7
Abu Ameenah Bilal Philips. 2005. Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh; Analisis Historis Atas
Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. fauzi Arifin. Bandung: Nuansa. hlm.xvi.
terhadap Islam yang ideal, Arab Saudi tidak memiliki konstitusi formal kecuali
Qur’an dan Sunnah.8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar bekalang permasalahan diatas penulis merumuskan rumusan
masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah hukum islam dinegara Arab Saudi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Arab Saudi
Hukum Islam, atau sharia (“jalan kecil”), merupakan dasar dari hukum
Saudi. Hukum ini terikat secara intim dengan filosofi politik Islam, yang melihat
peran utama negara sebagai suatu yang membantu komunitas Muslim menjunjung
tinggi moral standar Tuhan, sharia menjadi sumber standar ini. Pada gambaran ini,
negara bukanlah arena netral; negara memiliki kewajiban aktif terhadap
masyarakat untuk mengejar kebaikan dan menentang kejahatan. Gagasan baik
mengenai keadilan dan legitimasi disebutkan secara serempak di istilah-istilah
hukum dan Islami.9
Hukum Islam, bersifat ketuhanan dan sempurna, dijadikan akar, pertama,
dalam Qur’an – dalam kata-kata Muslim percaya bahwa Tuhan memberikan
penampakan langsung melalui Muhammad. Dengan menaruh dasar etika bagi
keadilan, Qur’an menyediakan baik pedoman umum mengenai perilaku dan jelas
dan terkadang pedoman mendetil mengenai praktek-praktek tertentu, dari
kewajiban keagamaan sampai keluarga sampai hukum penunjukan hakim, hukum
kriminal, dan hukum dagang. Meskipun demikian, Qur’an menyediakan hanya
sedikit dari sajak-sajaknya yang khusus mengenai hukum dan diam mengenai
8
Ahmad Baso. 2006. NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan
Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga. hlm 283.
9
Abdurrahman Wahid. 1989. “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im
Saleh (ed.), Islam Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M. hlm. 96.
sebagian besar masalah-masalah hukum. Seperti halnya semua teks keagamaan,
teks tersebut juga harus diterjemahkan, dan bisa diterjemahkan dengan berbagai
cara. Karena itu, diperlukan sumber-sumber lain. Sebagai konsekuensi, pada
abad-abad awal setelah Nabi wafat, aliran-aliran Islam, ulama, membuat
persetujuan mengenai sumber-sumber hukum tambahan. Sumber kedua
(menyangkut kepentingannya, bukan bidangnya) adalah Sunnah, tindakan-
tindakan dan kata-kata Nabi. Secara bersamaan, Qur’an dan Sunnah merupakan
sumber-sumber utama hukum Islam.
Sumber ke tiga adalah konsensus (ijma’) komunitas, yang pada prakteknya
menjadi komunitas sarjana ilmu Islam, mengenai hal-hal dimana kedua sumber
utama tersebut tidak cukup. Sumber ke empat adalah analogi (qiyas), yang
menerapkan prinsip-prinsip dari Qur’an atau Sunnah terhadap kasus-kasus baru.
Sumber ke lima adalah ijtihad. Biasanya diterjemahkan sebagai “pemberian alasan
secara mandiri,” ijtihad lebih cocok dipandang sebagai metode untuk menerapkan
sumber-sumber lain terhadap masalah-masalah hukum tertentu. Selama beberapa
abad pertama berdirinya Islam, konsensus cendekiawan menggunakan sumber-
sumber ini sebagai dasar formal yurisprudensi Islam.
Kerangka kerja ini, terdiri atas sumber-sumber dasar (Qur’an dan Sunnah)
dan teknik-teknik untuk menterjemahkannya (qiyas, ijtihad, ijma’), membantu
menyediakan praktek-praktek yang dapat diprediksi dan seragam yang diperlukan
semua sistem hukum, terutama penting karena para hakim terikat baik oleh
sesuatu yang dijadikan teladan seperti dalam sistem hukum pada umumnya (baik
dengan menggunakan keputusan yang diberikan oleh hakim-hakim lainnya,
bahkan dari pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi, atau oleh keputusan-
keputusan mereka sebelumnya), maupun oleh kitab undang-undang seoerti dalam
sistem hukum pidana (penafsiran disediakan hanya sebagai pedoman, bukan
hukum telah tersusun).
Karena perkembangan hukum, dunia Islam berkembang. Dengan wafatnya
Muhammad pada 632, perselisihan mengenai penerusnya muncul. Abu Bakar
menjadi kalif yang pertama, diikuti oleh Umar ibn al-Khattab, yang mulai
menginstitusionalkan praktek hukum dalam komunitas Muslim yang berkembang.
Tetapi masalah penerus tetap tak terselesaikan, dan setelah meninggalnya kalif
terakhir dari empat kalif pertama yang dibimbing dengan tepat, komunitas Islam
terbagi menjadi Sunni dan Shiah. Diawali dengan perselisihan mengenai penerus
Nabi, perpecahan ini berkembang menjadi perpecahan sekte. Sementara Sunni
memenangkan secara nomor dan politik pada wilayah yang sekarang menjadi
Arab Saudi, seperti sebagian besar dunia Muslim, shiah tetap menjadi minoritas
yang signifikan. Dalam sunia Sunni, pemikiran ilmiah akhirnya mengeras menjadi
empar aliran ilmu hukum yang berkaitan dengan ahli hukum individual (Hanbali,
Hanafi, Maliki, dan Shafi’i).
Pada abad ke-delapan belas, Jazirah Arab melihat bangkitnya gerakan
Wahhabi, yang, mengangkat dari tulisan-tulisan ajaran Hanbali Ibn Tamiyya,
menantang aliran keagamaan dan para hakim untuk lebih berpegang pada
pembuatan alasan yang mandiri dalam penerapan Qur’an dan Sunnah.
Kemenangan gerakan Wahhabi membawa pendekatan ini ke pusat pemikiran
hukum di jazirah Arab. Beberapa elemen substantive dan tata cara pemikiran
tersebut mengikuti.’
Kriminal dalam hukum Islam jatuh pada tiga kategori: hudud, qisas, dan
ta’zir. Kejahatan Hudud (“batasan,” adalah, batasan yang diciptakan Tuhan)
adalah kejahatan melawan Tuhan. Dalam hal ini, pengadilan memiliki, pada
prinsipnya, tidak ada kebijaksanaan, jika persyaratan pembuktian yang tegas
ditemukan dengan meyakinkan. Kejahatan-kejahatan ini dilarang oleh Qur’an atau
Sunnah bersamaan dengan hukuman-hukuman tertentu, biasanya hukuman fisik.
Kejahatan ini meliputi minum minuman beralkohol, persetubuhan terlarang,
tuduhan yang salah mengenai persetubuhan terlarang, perampokan,
pemberontakan, pencurian, dan kemurtadan. Hukuman untuk kejahatan dalam
bentuk hudud merupakan hukuman yang berat (pemotongan tangan bagi pencuri,
cambukan bagi perbuatan zina (bagi orang yang belum menikah), perajaman bagi
perbuatan zina (perselingkuhan), tapi juga, diperlukan standar pembuktian untuk
melaksanakan hukuman: misalnya, Perselingkuhan, memerlukan kesaksian empat
pria terhormat yang menyaksikan perbuatan tersebut. Penghukuman juga
memerlukan ketiadaan segala keraguan (tidak hanya yang beralasan). Sehingga
penghukuman hudud merupakan hal yang jarang dilakukan. Meskipun demikian,
Arab Saudi, tidak seperti sebagian besar negara di wilayah tersebut, kadang-
kadang menegakkan hukuman-hukuman ini.
Kejahatan qisas adalah pembunuhan dan penyerangan (tindakan kekerasan
yang mengakibatkan cedera fisik). Kejahatan semacam itu bisa dihukum baik oleh
pembalasan (qisas) atau, bila korban atau keluarga korban menghendaki, dengan
pembayaran denda bagi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan,
misalnya, sharia memberikan hak bagi keluarga korban untuk memilih hukuman
mati atau kompensasi finansial. Kejahatan ta’zir, kategori sisa, meliputi kejahatan
yang tidak termasuk hudud dan qisas, termasuk juga tindakan-tindakan yang tidak
memenuhi persyaratan pembuktian yang kaku. Hukumannya diserahkan pada
hakim, meskipun di Arab Saudi telah dikembangkan badan yang membuat hukum
ketetapan.
Sementara kejahatan hudud dan qisas biasanya melibatkan sangsi non-
pemenjaraan (hukuman fisik bagi hudud, dan denda bagi qisas), hukuman yang
biasa diberikan pada kejahatan ta’zir adalah penjara. Pada hukum pidana, sharia
mengalamatkan beberapa masalah yang berhubungan dengan interaksi personal
dan perdagangan. Detail tertentu mengenai hukum keluarga ada dalam peraturan-
peraturan khusus yang telah termasuk dalam Qur’an dan Sunnah mengenai
pewarisan, pernikahan dan perceraian, dan status anak. Sharia juga menyediakan
banyak peraturan yang jelas mengenai transaksi komersial, terutama larangan
pengambilan bunga. Dimana sharia tidak dengan jelas menunjukkan beberapa
perkara bisnis modern (terutama, adanya kemakmuran Arab Saudi dan tingkat
integrasi dengan perekonomian global). Suatu badan pembuat peraturan
pemerintah telah muncul, yang akan menangani masalah tersebut.
Pada prakteknya, pengadilan sharia memiliki yurisdiksi terhadap sebagian
besar kasus kriminal dan terhadap perkara perdata yang mencakup status personal.
Tiga standar utama pembuktian digunakan dalam pengadilan sharia. Yang
pertama adalah pengakuan tanpa menggunakan paksaan. Yang kedua adalah
kesaksian saksi mata yang biasanya terdiri atas dua saksi pria terhormat yang
tidak berat sebelah (peraturan Qur’an memberikan kesaksian dari wanita setengah
bobotnya dari pria; kesaksian wanita tidak diijinkan pada kasus-kasus kriminal).
Ketidakhadiran saksi yang diperlukan, pengadilan pada kejahatan hudud biasanya
meminta suatu pengakuan bagi penghukuman kriminal. Seluruh kesaksian harus
dilakukan dengan sukarela.
Pembuktian ketiga adalah penegasan atau penyangkalan dengan sumpah.
Sementara itu sumpah palsu jelas akan terjadi, sumpah ini, sumpah di pengadilan
atas nama Tuhan, diambil jauh lebih serius daripada yang biasa dilakukan oleh
orang-orang Barat. Beberapa pihak mungkin membatalkan sejumlah besar uang
dengan menolak untuk mengambil suatu sumpah yang mungkin hampir menjamin
hasil yang dikehendaki. Bukti tidak langsung diterima tetapi tidak disukai.
Sementara itu terdakwa diijinkan untuk memiliki seorang pengacara (pada kasus
perdata tetapi tidak pada kasus pidana), pengadilan lebih suka bila mereka
berbicara mewakili diri mereka sendiri.
Menurut sejarah, orang-orang bisa memiliki seorang perwakilan (biasanya
saudara laki-laki) yang membela atau mendampingi mereka di pengadilan, tetapi
karakteristik pembelaan dalam hukum Barat berjalan berlawanan dengan
kepekaan dalam hukum Islam: Pembelaan, para hakim percaya, akan
memperlambat proses dan merintangi rekonsiliasi. Pada kejadian apapun,
kesaksian verbal secara langsung adalah yang dikehendaki, meskipun dokumen-
dokumen juga digunakan, terutama dalam perkara perdagangan.
Sementara pengadilan Islam mengandalkan prinsip-prinsip pembuktian
sharia, masing-masing hakim memutuskan secara personal dan mengartikannya
pada masing-masing kasus. Menurut gayanya, pengadilan ini non-formal menurut
standar Barat, dan sang hakim menikmati keleluasaan yang luas dalam
perjalanannya mencari kebenaran. Ada beberapa kebebasan yudisial, meskipun
hal itu seringkali dipraktekkan secara non-formal.
Budaya hukum merupakan elemen penting dalam mempromosikan keadilan
dalam proses persidangan, karena, dengan melihat bahwa ia memiliki dasar
keagamaan, ia meresap ke seluruh bagian masyarakat dan juga membentuk dalam
tahap yang lebih besar perilaku seluruh peserta dalam prosesnya. Budaya yudisial
mencari kebenaran dengan dengan serius. Ijtihad memerlukan nurani individu
yang besar. Para hakim memandang kepentingan terbaik Tuhan juga kepentingan-
kepentingan sebelumnya, dan mereka akan dipanggil pada kehidupan yang
selanjutnya untuk bertanggung-jawab baik pada Tuhan maupun mereka yang
melewati ruang sidangnya pada masa kekuasaanya. Beberapa perlindungan
prosedural terdapar di pengadilan sharia.
Ada asas praduga tak bersalah. Hukum acara menetapkan suatu permohonan
yang bersifat perintah bagi hukuman mati dan amputasi. Meskipun demikian,
dalam persidangan kriminal, terdakwa biasanya tidak boleh didampingi pengacara
(meskipun seorang terdakwa yang mampu menyewa pengacara diperbolehkan
berbicara dengan pengacaranya sebelum persidangan), lagi dalam memelihara
kepercayaan bahwa sharia menyediakan segala perlindungan yang diperlukan –
seorang hakim terikat secara moral untuk menjadi penjaga yang tekun.
Pada perkara kriminal, kemanjuran perlindungan ini merupakan hal yang
sulit untuk dipastikan. Persidangan jarang dibuka bagi masyarakat. Raja,
sementara ini terikat secara moral dan hukum (sekalipun tanpa alat paksaan)
dengan sharia, tidak tunduk pada pengecekan formal (pada prakteknya, bahkan
keluarga yang berkuasa memimpin sepertinya diatas hukum, karena para hakim
dan polisi seringkali tidak mau atau tidak mampu untuk menjunjung tugas sah
mereka, seperti menerbitkan surat perintah penahanan, terhadap mereka). Menurut
sejarah, sentimen dominan dalam filosofi politik Islam adalah bahayanya
pemberontakan dan kemungkinan konsekuensi perang sipil jauh lebih berat dari
pada bahayanya tunduk pada penguasa Muslim yang buruk. Masalah-masalah
prosedural, yang merupakan sumber kendali hukum negara Barat, tidak pernah
menjadi fokus utama yurisprudensi Islam, yang memperlakukan prosedur dan
bukti-bukti tidak sebagai kategori yang terpisah, tapi lebih menyangkut hubungan
mereka dengan ketiga kategori kejahatan sharia. Hal ini bukan berarti
pemeriksaan prosedural tidak bisa dilaksanakan bersamaan dengan hukum Islam,
hanya saja penguasa Saudi memiliki sedikit kepentingan untuk melakukannya,
dan lebih menyukai penterjemahan yang menjamin negara terhadap otoritas yang
paling tidak terbatas.
Dalam kasus-kasus politik, beberapa kelompok hak asasi manusia telah
mendokumentasikan beberapa kemungkinan kekurangan perlindungan yang
efektif. Hukum tersebut mengijinkan tersangka ditahan dalam penahanan yang
diperpanjang tanpa adanya akses untuk berkonsultasi atau bertemu keluarga.
Tidak ada pengawasan yudisial independen terhadap penahanan, dan terjadi
beberapa penyalahgunaan. Apalagi, bahkan dalam pengadilan sharia,
penghukuman seringkali diadakan hanya berdasar pada pengakuan yang sering
kali didapat selama interogasi yang dilakukan dengan bebas diluar sidang,
interogasi dimana ada tekanan, baik fisik maupun emosional, seringkali
diterapkan. Pengakuan harus dipastikan oleh hakim investigasi (yang bukan
merupakan hakim siding), tetapi ia memiliki sedikit kekuasaan untuk
memerintahkan pembebasan tersangka.
Hakim-hakim ini terkadang memperingatkan tahanan yang menarik kembali
pengakuan mereka yang akan mengakibatkan interogasi lebih jauh. Beberapa
hakim mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan, tetapi hal ini jarang terjadi.
Keadilan seringkali cepat dan merupakan keputusan akhir: Arab Saudi merupakan
satu dari negara-negara yang angka eksekusinya tertinggi di dunia. Ketiadaan
perlindungan formal menimpa dengan paling keras pada kelompok yang paling
lemah dalam masyarakat Saudi: wanita, orang-orang Shia, dan warga negara
asing.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah hukum di negara arab Saudi berasal dari Hukum Islam, bersifat
ketuhanan dan sempurna, dijadikan akar, pertama, dalam Qur’an – dalam kata-
kata Muslim percaya bahwa Tuhan memberikan penampakan langsung melalui
Muhammad. Dengan menaruh dasar etika bagi keadilan, Qur’an menyediakan
baik pedoman umum mengenai perilaku dan jelas dan terkadang pedoman
mendetil mengenai praktek-praktek tertentu, dari kewajiban keagamaan sampai
keluarga sampai hukum penunjukan hakim, hukum kriminal, dan hukum dagang.
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Hukum
Oleh :
IVAN Y. V. RORING
NIM. 20202108050
DOSEN :
Dr. DEVY K. G. SONDAKH, S.H., M.H.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah federal Amerika Serikat didirikan pada tahun 1790 dan dianggap
sebagai federasi nasional modern pertama di dunia. Meskipun demikian, rincian
federalisme Amerika telah menjadi perdebatan sejak diundangkannya Konstitusi
Amerika Serikat, di mana beberapa pihak mengargumentasikan kekuasan nasional
secara luas, sedangkan pihak lain menafsirkan pasal-pasal Konstitusi tentang
kekuasaan pemerintah nasional secara harfiah.
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dan manfaat dari pembahasan ini
adalah:
1. Menjelaskan Sejarah Singkat Amerika?
2. Menjelaskan bagaimana Sistem Hukum Federal Amerika?
3. Membedakan Sistem Hukum Federal di Amerika dan Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Amerika Serikat pada awalnya diambil sebagian besar dari common
law dari sistem hukum Inggris, yang berlaku pada saat Perang Kemerdekaan.
Namun, hukum tertinggi di negara ini adalah Konstitusi Amerika Serikat dan,
menurut Klausa Supremasi Konstitusi, hukum-hukum yang diberlakukan oleh
Kongres dan perjanjian-perjanjian yang mengikat Amerika Serikat. Semua ini
merupakan dasar bagi undang-undang federal di bawah konstitusi federal di
Amerika Serikat, yang membentuk batas-batas yurisdiksi undang-undang federal
dan undang-undang di ke-50 negara bagian AS dan wilayah-wilayahnya.1
Hukum Amerika Serikat ditinjau dari segi sejarah, merupakan bagian dari
keluarga sistim-sistim hukum Barat dengan mana diletakkan pada akhir abad ke 11
dan pada abad ke 12 di Universitas dan di Gereja dan di kerajaan – kerajaan dari
dunia Kristen di Eropa, para juris dari jaman itu merubah sistem hukum Jerman dan
Prancis yang masih primirif dengan di ilhami oleh hukum Romawi, oleh filsafah
Yunani dan oleh Etika Kristen dan Hibrani sebagaimana telah diucapkan oleh
negarawan Inggris bernama Edman Berg dua ratus tahun yang lalu
Bahwa sistim hukum Amerika Serikat didirikan oleh Raja Henry II yang
berkuasa di Inggris dan Normandia pada akhir abad ke 12. Raja Henry yang
mendirikan pengadilan hukum pusat tetap yang pertama di Inggris. Putusan-
putusan hakim kerajaan serta buku-buku yang ditulis mengenai hukum umum
Inggris (English Common Law) pada abad 12 dan 13 yang tidak dapat
menggambarkan hukum Amerika Serikat.2
1
https: wikipedia.org Hukum Amerika Serikat.
2
http: tirtarimba.blogspot.co.id hukum amerika serikat.html.
Sebelum English Common Law didirikan, sistem hukum Anglo Saxon,
pernah didirikan di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai sistem
“Common Law” dan sistem “Unwritten Law” (tidak tertulis). Walaupun disebut
sebagai unwritten law tetapi tidak sepenuhnya benar, karena di dalam sistem hukum
ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statues).
Sistem hukum Anglo Amerika menganut suatu doktrin yang dikenal dengan
nama “the doctrine of precedent/Stare Decisis” yang pada hakekatnya menyatakan
bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan
putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada didalam putusan hakim lain dari
perkara sejenis sebelumnya (presedent).
Dalam hal tidak ada putusan hakim lain dari perkara atau putusan hakim
yang telah ada sebelumnya kalau dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan,
kebenaran dan akal sehat (common sense) yang dimilikinya. Melihat kenyataan
bahwa banyak prinsip-prinsip hukum yang timbul dan berkembang dari putusan-
putusan hakim, maka sistem hukum Anglo Amerika, sering disebut sebagai Case
Law. 3
3
R. Abdoel Djamali, S.H. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2010,
hlm. 9-72.
Hukum Amerika Serikat yang dikenal adalah hukum yang
dinamakan Torts. Torts adalah perkataan Prancis-Normandia untuk “Kesalahan”.
Hukum Torts itu mengatur upaya-upaya yang dapat dipakai terhadap orang lain
yang telah secara salah menyakitkan seseorang atau miliknya.
Sistim hukum Amerika Serikat dinamakan action for assault and battery
merupakan tuntutan sipil yang harus didengar secara terpisah dari satu tuntutan
pidana, yang didengar oleh satu juri yang terdiri dari 12 orang biasa dibawa
pengarahan seorang hakim yang profesional.Setelah sistem hukum berkembang
dan beradaptasi dengan yang lain dengan sistem raja munculah suatu istilah
“Equity”, pada abad 14 dan 15 pengadilan-pengadilan raja telah menjadi kaku dan
sempit dalam penafsiran mereka terhadap fungsi serta aturannya. Lambat laun
istilah Equity mendapat suatu pengertian lebih luwes daripada prosedure Hukum
Umum.
4
Harold J. berma, "Ceramah-ceramah Hukum Amerika Serikat (Diterjemahkan oleh:
Gregory Churchill, J.D.)", hlm. 3.
Sekitar tahun 1776 terjadi peperangan yang mengakibatkan Inggris dan
koloninya pecah dan hubungannya yang hancur. Perang demi kemerdekaan
berhasil, tetapi perang itu mewarisi koloni dengan masalah bagaimana mencari cara
yang tepat guna menyatukan mereka kembali, sementara hubungan yang lama telah
hilang. Mereka perlu membentuk hubungan baru semacam federasi-satu tubuh yang
memuusatkan keduanya. Kemudian Pada tahun 1787 koloni menyususn sebuah
piagam yang akan dijadikan sebagai Undang-Undang Dasar dan nantinya akan
menjadi hukum tertinggi di amerika. Undang-Undang ini memberikan kontribusi
yang lebih besar kepada pemerintah pusat, tentunya berbeda sekali dengan
perjanjian yang termuat.
Saat itulah Amerika Serikat membentuk ibu kota Washington, D.C yang
meliputi batas wilayah sampai ke padang rumput mississippi yang sekarang
midwestern hingga ke Alabama, masing-masing wilayah terutama Virginia berhak
atas sebagian besar wilayah Amerika Serikat, namun hak dan kekuasaan ini
diserahkan kepada pemerintah federal sekitar tahun 1781.
Federalisme tentu saja lebih dari sekedar rencana formal. Federalisme juga
merupakan tradisi dan merupakan sisi yang menonjol dalam budaya hukum.
Federalisme sebagai sebuah struktur tidak akan berarti atau hampa jika tidak
menjadi bagian dari budaya. Untuk memahami federalisme bagaimana tumbuhnya
dan bagaimana berubahnya tidak cukup hanya menceritakan bagaimana makna
Undang-Undang Dasar berubah seiring perjalanan waktu.6
5
https: wikipedia.org Pemerintah federal Amerika Serikat.
6
Lawrence M. Friedman, American Law: an introduction = Hukum Amerika: sebuah
pengantar Penerjemah Wishnu Bakti, Jakarta: Tatanusa, 2001, hlm. 172.
7
Ibid. hlm. 174.
Sebaliknya, sebuah negara bagian juga tidak bisa mengambil alih kekuasaan yang
menjadi wewenang pemerintah nasional. Secara nyata, di bawah federalisme
Amerika, Konstitusi Amerika Serikat adalah sumber kewenangan baik untuk
pemerintahan nasional maupun pemerintahan negara bagian.
8
http: unej.ac.id, Perjuangan Pembentukan Federalisme di Amerika Serikat.
Tiap-tiap negara bagian memiliki konstitusi tertulis, undang-undang, dan
pemerintahan sendiri-sendiri. Kadang-kadang terdapat perbedaan yang besar dalam
hal undang-undang dan prosedur di antara masing-masing negara bagian,
menyangkut kemiskinan, pidana, kesehatan, dan pendidikan. Petugas terpilih
tertinggi dari tiap-tiap negara bagian adalah gubernur. Tiap-tiap negara bagian juga
memiliki parlemen (bikameralisme adalah sistem yang diterapkan di tiap-tiap
negara bagian, kecuali Nebraska), yang para anggotanya mewakili para pemberi
suara di negara bagian yang bersangkutan. Tiap-tiap negara bagian memelihara
sistem peradilan negara bagian sendiri-sendiri. Di beberapa negara bagian, para
hakim tinggi dan yang lebih rendah dipilih oleh rakyat; di negara bagian lainnya,
mereka diangkat, karena mereka di dalam sistem federal.
Federal, yang memiliki yurisdiksi asli dalam sebagian besar kasus hukum
Federal. Sistem Distrik Federal pengadilan setidaknya memiliki satu bangku di
setiap negara, serta masing-masing di District of Columbia dan Puerto Rico.
Pengadilan tertinggi dalam sistem federal adalah Mahkamah Agung Amerika
Serikat, pengadilan federal hanya secara eksplisit diamanatkan oleh Konstitusi.
Sejak 1869 telah terdiri dari satu Hakim Ketua dan delapan Hakim Associate.9
Mahkamah Agung duduk di Washington, DC, dan memiliki yurisdiksi akhir pada
semua kasus yang mendengar. Pengadilan tinggi dapat meninjau keputusan yang
dibuat oleh pengadilan banding AS, dan juga dapat memilih untuk mendengarkan
banding dari pengadilan banding negara jika masalah konstitusi federal atau lainnya
yang terlibat.
9
https: www.usa.gov.
pengadilan khusus, tidak seperti mereka yang dalam tiga tingkat utama peradilan
federal, tidak melayani untuk hidup. Angkatan bersenjata AS memiliki pengadilan
militer untuk kasus-kasus yang melibatkan personil militer.10
Kontroversi telah muncul pada akhir 1990 an, atas respon pengadilan
banding federal untuk terus beban kasus meningkat. Kritikus menuduh bahwa
pengadilan menabung beberapa kasus untuk pertimbangan penuh dan acuh tak acuh
menegaskan banyak keputusan pengadilan lebih rendah daripada penerbitan
beralasan pendapat; banyak orang merasa bahwa praktek ini menggerogoti
kepercayaan dalam sistem dan menyangkal berperkara kesempatan untuk diperiksa
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. Pembela dari latihan menjawab bahwa hal itu
diperlukan jika resolusi cepat kasus yang terjadi
10
Muhamad Yusrizal, Politik dan Pemerintahan Negara Amerika Utara dan Kanada.
Siak: Makalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, 2012, hlm. 3.
11
Sistem-Sistem Federal Hukum Amerika.
dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi memungkinkan Pusat Yudisial
Federal menjangkau masyarakat luas.
Negara federal dalam menentukan kebijakan luar memiliki efek yang saling
berlawanan antara pusat dan nasional, baik dalam menentukan ekonomi dan kondisi
politik dalam dan luar. sehingga akan banyak terdapat organ pemerintahan di mana
merambat pada biaya yang besar dan pesonalia juga membutuhkan biaya besar
dalam sisten federal. Solusinya Negara federal bisa melihat sistem pemerintahan
pada Negara federal lain sebagai tolak ukur seperti sistem pemerintahan yang sama
dengan Indonesia yaitu sistem Presidensil.
Internet :
http: unej.ac.id, Perjuangan Pembentukan Federalisme di Amerika Serikat.
https: www.usa.gov.
http: tirtarimba.blogspot.co.id hukum amerika serikat.html.
https: wikipedia.org Hukum Amerika Serikat .
https: wikipedia.org Pemerintah federal Amerika Serikat,.
“Sejarah Sistem Hukum China”
Di Susun Oleh:
Arthur Piri
20202108035
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Subekti, menyebutkan sistem
adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau
pola, hasil dari suatu penulisan untul mencapai suatu tujuan”. 1Dalam suatu sistem
yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu
juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu.
Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam
pembentukannya.2
Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang
mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau
tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain. 3 Dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah kesatuan
utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu
sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu
tujuan kesatuan tersebut perlu kerja sma antara bagian-bagian atau unsur-unsur
tersebut menurut rencana dan pola tertentu.4
Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan suatu maksud (Group of things or part working together in a regular
relation). Maka secara umum sistem memiliki ciri yang sangat luas dan bervariasi.
Paling sistem memiliki ciri sebagai berikut:5
1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Suatu
sistem dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan
sebaliknya dikatakan tertutup jika mengisolasi diri dari pengaruh apapun.
2. Sistem terdiri dari dua atau lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri dari
lagi subsistem lebih kecil dan begitu seterusnya.
3. Subsistem itu saling bergantung satu sama lain dan saling memerlukan
4. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self
regulation).
5. Sistem mempunyai tujuan dan saran.
1
Inu Kencana Syafiie, Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi
Aksara, Jakarta, 2003, Hlm. 2
2
Ibid.
3
SF, Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, 2001, Hlm. 21
4
Ibid.
5
H.R Otje Salman S dan Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Asitama, Bandung, 2009, Hlm. 85.
Hampir semua teoritikus mengacu pada satu syarat utama yaitu struktur.
Paling tidak terdapat dua gagasan dalam struktur tersebut. Pertama, hubungan-
hubungan itu harus membentuk jaringan dimana setiap elemen terhubung satu sama
lain baik secara langsung maupuntidak langsung. Kedua, jaringan tersebut haruslah
membentuk suatu pola untuk menhasilkan struktur. Maka sistem mempunyai
aturan-aturan hukum atau norma-norma untuk elemen-elemen tersebut,
kesemuanya berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-aturan yang lebih
tinggi. Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur piramida dan
hierarki dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya. 6 Dengan demikian sistem
berarti suatu kesatuan dan bagian-bagian yang membentuk sistem tersebut.
Adapaun sistem hukum adalah kesatuan dari seluruh peraturan, pranata dan
praktiknya dalam suatu negara tertentu.
Sistem hukum menurut J.H. Merryman adalah “..legal system is an
operating set of legal institution, procedure , and rules”. (sistem hukum adalah
merupakan suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan
aturan hukum). Sistem hukum, terbuka dapat dipengaruhi dan memengaruhi sistem-
sistem yang lain di luar hukum. Maka dalam sistem hukum terdapat persamaan dan
perbedaan. Ciri yang sama dijadikan sebagai pengklasifikasian sejumlah sistem ke
dalam suatu keluarga sistem hukum (parent legal system).7
Sistem hukum China, berkembang menurut alur sejarahnya sendiri,
“terlepas” dari perkembangan sistem hukum anglo-saxon (anglo-american),
maupun sistem civil law (Eropa continental). Meskipun pada titik tertentu terlihat
adanya persinggungan di antara sistem-sistem hukum tersebut, akan tetapi sistem
hukum China terbangun dengan pondasi sumber hukum, asas, lembaga dan pranata
yang berbeda dengan sistem hukum lain didunia, sehingga tampil sebagai sebuah
sistem hukum tersendiri.
Sejak awal pembentukannya, sistem hukum China terbangun oleh dua
tradisi besar, yaitu tatanan hukum yang bersumber dari ajaran filsafat confusio-
nisme, yang bertumpu pada pengabdian aturan-aturan hukum moral (yang disebut
Li ), dan tatanan hukum yang didasarkan atas undang-undang (yang disebut Fa )
terutama undang-undang pidana, sebagai produk hukum yang diupayakan oleh para
raja dengan bantuan ahli-ahli hukum. Munculnya konsep Li dalam sistem hukum
China, didasarkan pada struktur kemasyarakatan China di-era kerajaan yang
bertumpu pada etika yang bersumber dari tiga buah aliran pemikiran, yaitu:
Confusianisme, Taoisme dan Budhisme.8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
yang akan dikaji dalam tulisan ini yakni:
6
Ibid., Hlm. 79.
7
Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep Teori dan Metodenya dalam pengembangan ilmu
hukum, Oase Pustaka, Karanganyar, 2016, Hlm. 71-72.
8
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hlm. 126.
1. Bagaimana konsep hukum yang didasarkan pada aturan-aturan moral (Li)
dan hukum yang bersandar pada undang-undang (Fa) dalam sistem hukum
China?
2. Bagaimanakah sistem hukum China setelah masa republik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum Li dan Fa dalam Sistem Hukum China
Li adalah kata kunci paling dekat pada pengertian “hukum” menurut
konsepsi hukum di negara-negara barat, meskipun terkadang Li diterjemahkan pula
dengan ritual, moral, etiket, kepastian. Li merupakan seperangkat aturanaturan
kepatutan dan kesopanan yang harus diindahkan oleh manusia yang jujur. Dengan
demikian Li lebih menampakan dirinya sebagi sebuah kode etika dalam pergaulan
(aturan-aturan moral). Aturan-aturan hidup yang disebut Li bukanlah sebuah
ketentuan yang berlaku umum, Li memiliki substansi yang berbeda-beda mengikuti
bentuk hubungan dan golongan dari orang-orang yang harus menerapkannya.
Meskipun demikian terdapat satu ketentuan yang berlaku umum di dalam Li, yaitu
adanya penetapan, bahwa manusia-manusia pada dasarnya tidak mempunyai hak-
hak subyektif, akan tetapi hanya memiliki kewajiban-kewajiban, baik kewajiban
terhadap atasan-atasan mereka, maupun terhadap masyarakat.9
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan, sebagai
bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan dan
perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”, yaitu : (a)
kaum muda terhadap kaum tua; (b) kaum laki-laki terhadap ayahnya; (c) istri
terhadap suami; (d) sahabat terhadap sahabatnya; (e) kaula negara terhadap raja.
Adanya kewajiban yang bersifat subordinasi ini, tidak dapat dilepaskan dari bentuk
dasar organisasi kemasyarakatan, yaitu keluarga, dalam arti yang luas. Kepala
keluarga adalah orang yang tertua dari generasi tertua, dan ia melakukan kekuasaan
yang tak terbatas atas semua anggota-anggota keluarga. Keluarga-keluarga tersebut
dikelompokkan kedalam keturunan-keturunan dan yang disebut terakhir ini pada
gilirannya bertumpu pada domein feodal, dan berada dibawah pimpinan raja-raja.
Hierarki feodal seperti itulah yang ada pada era Confusius, tetap bertahan. 10
Adanya pandangan yang demikian mendasarkan pada pendapat Confucius,
yang menyatakan bahwa manusia akan menjadi benar, jika manusia menjunjung
tinggi moral (Li) dalam setiap kehidupannya. Dengan menjunjung tinggi moral,
maka manusia akan berada dalam kesempurnaan sehingga manusia tidak perlu lagi
berpedoman pada hukum. Menurutnya hukum tertulis yang dibuat oleh para
pembentuk hukum (kaum legalis) menjadikan manusia memiliki perilaku yang
buruk. Hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang jahat, hukum
9
Ibid.
10
John Gillissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005, Hlm. 136.
menjadikan manusia bersikap tamak dan serakah. Manusia yang telah mencapai
kesempurnaan moralitas tidak akan membutuhkan hukum dalam hidupnya.
Pemikiran Confucius tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan bahwa pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan baik, sehingga ia karena terdapatnya
atau telah tertanamnya moral dalam dirinya sejak manusia itu lahir.
Pada abad III M, terutama di zaman Dinasti Tsyin (256-207), ajaran
Confusionisme, terutama ajaran Li ini diserang habis-habisan oleh kaum ahli-ahli
hukum atau para legis, yang mendasarkan pada pandangan bahwa Fa, artinya
undang-undang, terutama undang-undang hukum pidana sangat diperlukan bagi
rakyat. Apa yang dikenal dengan facia (madzab undang-undang/madzab kaum
legis) berkembang pesat terutama pada pemerintahan Kaisar Ch’in Shih Huang-Ti,
yang pada tahun 221 SM mewujudkan persatuan dan kesatuan semua wilayah
China, dan kemudian diteruskan oleh mao tse Tung serta pimpinan partai komunis.
Tentangan terhadap Confucius tersebut, mendasarkan pada pemahaman Kaum
Legalis, yang melihat bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan dengan membawa
watak dan sifat jahat. Manusia cenderung untuk senang sendiri, ia akan menjadi
serigala bagi manusia yang lain. 11
Pada keadaan yang demikian manusia harus diatur oleh hukum yang keras.
Menurut kaum Legalis Raja memperoleh legitimasi kekuasaan dari Thian (Tuhan),
dan ketika ia berkuasa maka ia dibekali dengan hukum untuk menundukkan sifat
watak keras manusia, sehingga tidak ada satupun manusia yang akan
menentangnya. Oleh karena itu untuk menjaga ketertiban, maka manusia perlu
ditundukan pada undang-undang, bahkan para pelanggar aturan-aturan ini harus
diancam dengan hukuman-hukuman berat yang menakutkan. 12 Fa adalah hukum
yang lekat pada negara, secara mutlak dan umum serta berlaku sama dan setara bagi
setiap orang.
Sejalan dengan anjuran dari facia, di China pun kemudian dibentuk berbagai
peraturan perundang-undangan. Paling sedikit dijumpai setidak-tidaknya delapan
belas kitab undang-undang China. Peraturan perundang-undangan yang tertua
berasal dari abad IV SM, setelah itu hampir disetiap dinasti mengeluarkan sebuah
kitab undang-undang baru (meskipun biasanya berasal dari naskah lama yang
diambil alih begitu saja dengan atau tanpa tambahan-tambahan). Akan tetapi
pandangan legalistis facia tersebut nampaknya tidak dapat dipaksakan begitu saja.
Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat dipastikan terjadi sebuah proses
“konfussianisasi” undang-undang, dimana beberapa peraturan perundang-
undangan secara substansi merujuk pada Li sebagai sumber hukumnya.
Sekalipun demikian legisme ini masih tetap berpengaruh dan telah menjadi
tradisi bagi setiap kaisar untuk membentuk perundang-undangan, terutama
perundang-undangan di bidang hukum pidana dan hukum tata-usaha negara. Hanya
saja proses legisme tersebut tidaklah pernah menyentuh bidang hukum privat.
11
Ibid.
12
Dardi Darmaodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, Hlm. 46.
Dalam bidang hukum privat, kebiasaan tetap memainkan peranan penting, dan
kebiasaan tersebut masih tetap berlaku sekalipun bertentangan dengan undang-
undang. Sub sistem hukum Li dan Fa dalam sistem hukum China, tidaklah berlaku
secara unifikasi untuk semua golongan masyarakat.
Pemberlakuan Li dan Fa disesuaikan dengan struktur masyarakat China
terdiri dari empat kelas, yaitu : kelas pertama yang terdiri dari pejabat-pejabat dan
kaum yang terpelajar; kelas kedua kaum petani; kelas ketiga kaum pekerja dan kelas
keempat kaum pedagang.13 Orang-orang yang berada di kelas yang lebih rendah
tunduk pada orang-orang kelas yang lebih tinggi; didalam kelas tiap kelas keluarga
dan kelompok keluarga tetap merupakan dasar organisasi kemasyarakatan dan
yuridis. Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan bagi golongan
masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah, tidak dapat diterapkan
dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam konteks yang demikian,
maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar terhindar dari undangundang
pidana, bahkan jika mereka harus dihukum, mereka senantiasa dapat “menembus”
pidana mereka dengan sejumlah uang.
Munculnya perbedaan tersebut didasarkan pada alasan karena anggota-
anggota kelas tertinggi kaum elit orang-orang terpelajar, para pejabat negara,
pemilik-pemilik tanah karena pengetahuan dan pendidikan mereka dapat
memahami cara hidup yang ditentukan oleh Li, sedangkan “rakyat biasa” yang tidak
terpelajar dan hidup sederhana tidak dapat berbuat demikian, sehingga mereka
harus diatur dengan peraturan perundang-undangan, khususnya hukum pidana.
Hukum China tradisional dengan demikian diwarnai dan ditandai oleh adanya
ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan hakim. Kelas-
kelas tertinggi dapat menolak permbelakukan undang-undang terhadap mereka,
dengan alasan bahwa pemberlakuan sebuah undang-undang merupakan bukti
kelemahan.
13
John Gillissen dan Frits Gorle, Op. Cit., Hlm. 142.
Ketertutupan China dari pengaruh asing dalam berbagai bidang (termasuk
hukum), sepertinya tidak dapat dipertahankan secara terus menerus. Seiring dengan
jatuhnya rezim kekaisaran dan terbentuknya pemerintahan Republik pada tahun
1912, mulai terjadilah perembesan tatanan-tatanan hukum Barat ke China. Hal ini
terutama terjadi setelah Tsiang Kai Tsyek mengungguli kelompok-kelompok yang
berhaluan partai kiri dari partai Kuo Min Tang selama tahun-tahun 1925-1928. Pada
saat itu mulai disusunlah Undang-undang Dasar (yang bersifat sementara pada
tahun 1931, dan kemudian menjadi definitif pada tahun 1936), maupun sejumlah
kodeks menurut pola Barat.14
Pada tahun 1949 telah terjadi perubahan mendasar sebagai akibat
kemenangan partai Komunis dibawah pimpinan Mao Tse-Tung. Rezim baru
Republik Rakyat China ini telah menghapus semua undang-undang yang ada untuk
melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah, dan sebagai
gantinya dibentuk tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang. Pembentukan
tatanan hukum baru berbasis undang-undang ini, tidaklah semata-mata
memperlihatkan kemenangan Fa, (kaum ahli hukum (legisten), akan tetapi lebih
menunjukan domonasi dari penerapan paham Marxisme-lenimisme.
Pemberlakukan undangundang di Republik Rakyat China, pada dasarnya ingin
mengukuhkan kekuasaan diktator (yang untuk sementara dianggap sebagai suatu
keadaan yang terpaksa ditolelir). Pemberlakukan undang-undang yang keras dan
ketat, semata-mata untuk menegakkan komunisme.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah
dikeluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut pola
hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China. Akan tetapi pada
sekitar tahun 1958 terjadilah suatu reaksi terhadap hegemoni perundangundangan.
Pemerintah China menentang pengaruh Rusia dan kembali ke cara pendekatan
tradisional China. Dominasi kedaulatan undang-undang mulai dihapuskan, dan
kemudian digantikan dengan sebuah model penataan yang berbasis pada
kepemimpinan kenegaraan yang dipengaruhi oleh sebuah etika umum, yang
ditafsirkan oleh kader-kader partai dan negara. Pada titik ini, di Republik Rakyat
China, terbentuk kembali sebuah li yang baru, sesuai dengan pandangan-pandangan
partai politik komunis, yang diturunkan oleh gagasan-gagasan Mao Tse Tung (yang
kemudian dikenal dengan “buku merah”). Li ini diterapkan atas diri “orang-orang
yang jujur”, yakni orang-orang komunis, sedangkan yang kejam itu (undang-
undang hukum pidana) tetap dipertahankan dan diberlakukan bagi orang-orang
“kontrarevolusioner” dan bagi orang-orang “Baarbar”, yakni yang bukan China.
Terjadinya Revolusi kebudayaan kaum Proletar pada tahun 1966-1968 telah
mempercepat proses perubahan tersebut. Proses untuk membentuk komunisme
menimbulkan keinginan yang kuat disebagian kalangan untuk memasukkan
didalamnya keadaan “non-hukum”, dengan sama sekali tidak ada sanksi apa pun.
Ideologi harus mampu menjalankan kekuasaan negara, sementara rakyat harus
14
Kelik Wardiono, Sistem Hukum China: Sebuah Tatanan Yang Terkonstruksi Dalam
Lintasan Li Dan Fa, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 1, Maret 2012, Hlm. 76.
menerima dan mengikuti dengan penuh gairah gagasan-gagasan partai dan
pimpinannya. Idiologi ini harus harus diterima bukan karena menyetujuinya,
melainkan agar tercipta persatuan dan kesatuan. Setiap orang diharapkan dapat
menerapkan gagasan-gagasan tersebut, kalau perlu dengan jalan paksa. Dengan
demikian bentuk tatanan hukum yang kemudian terbentuk bukan lagi semata-mata
berdasarkan undang-undang, akan tetapi segala sesuatunya kemudian bertumpu
pada slogan-slogan dan semboyan-semboyan yang bersifat ideologis.
Pada tahun 1970, dan terutama setelah wafatnya Mao (1976), nampaknya
pandangan mengenai hukum dan negara yang diberlakukan oleh Revolusi
Kebudayaan secara berangsur-angsur ditarik kembali. Pada tahun 1973 munculnya
perlawanan terhadap Lin Piao, yang dipadukan dengan penyerangan terhadap
konfusionisme serta pemujaan terhadap fa-chia, Hua Kuo Feng bersamasama
dengan Feng Hsiao-Ping (pemimpin yang dilengserkan oleh Revolusi Kebuda-
yaan), telah membawa kembali China untuk menganut legalisme, suatu bentuk fa,
namun tanpa mengingkari ideologi Mao. 15
Pada masa ini Undang Undang Dasar yang dibuat sejak tahun 1954,
kemudian diganti dengan sebuah Undang-undang Dasar baru yang telah
dipersiapkan sejak tahun 1970 dan dirampungkan serta dikeluarkan pada tahun
1975. UUD ini lebih ringkas dibandingkan dengan yang dikeluarkan pertama
(hanya 30 pasal, sedangkan UUD yang lama berisi 106 pasal). UUD baru ini di satu
sisi berupaya untuk menyederhanakan struktur kenegaaraan, sedangkan di sisi lain
melelatkan dasar konstitusional bagi partai komunis. Dengan demikian Republik
Rakyat China menjadi negara sosialis dengan nama “diktatur ploretariat”, yang
didalamnya kekuasaan negara diletakkan di bawah pimpinan partai komunis.
Undang-undang Dasar tahun 1975 ini, kemudian diamandemen pada bulan
Maret tahun 1975 (60 pasal), yang kemudian diganti lagi oleh UUD 1982, namun
perubahan-perubahan yang diadakan relatif sedikit. Dianutnya kembali subs sitem
fa di China, tidaklah menyebabkan hukum (undang-undang) menjadi dominan.
Sekitar tahun-tahun 1972-1976 hukum justru ditempatkan secara subordinatif dan
hanya menjadi alat tujuan-tujuan politik. Demikian pula di bidang hukum privat.
Meskipun telah diakui adanya kepemilikian tanah, akan tetapi struktur kepemlikian
tersebut mendasarkan pada hak milik marxisme, dengan tekanan pada hak milik
negara sosialis dan kolektif.
Peradilan pun sepenuhnya berada di bawaah pengawasan badan-badan
partai, yang hanya mempunyai satu tujuan: penyelesaian pertentangan-
pertentangan yang timbul dalam masyarakat. Didalam kebanyakan bidang hukum
ini diupayakan adanya penyelesaian perselisihan secara damai melalui jasa-jasa
perantara. Untuk menunjang maksud tersebut maka dibentuklah Komisi
Perantaraan Masyarakat, yang pada hakikatnya mengesampingkan peranan
peradilan. Mekanisme ini dipandang sebagai pengganti tolak ukur yang lama, yakni
15
Ibid.
kewajiban menjamin kehidupan, harmonis, yang kemudian berubah menjadi
persyarataan kesetiaan terhadap paham marxisme versi Mao Tse-Tung.
Hukum perundang-undangan di China bersumber dari dua badan pembuat
undang-undang, yaitu: badan legeslatif negara dan badan kekuasaan partai. Dalam
hal ini Partai menetapkan isinya, sedangkan negara menentukan bentuk undang-
undang. Begitulah sejak tahun 1979 telah diterbitkan ratusan undangundang,
terutama yang berhubungan dengan institusi-institusi negara dan khususnya yang
menyangkut hukum ekonomi. Selain itu dikeluarkan pula kitabkitab undang-
undang dalam bidang cabang-cabang hukum lainnya seperti hukum perdata dan
hukum acara perdata, hukum pidana dan hukum acara pidana. Adapun Pembagian
bidang hukum di negara China pada masa kini adalah: 16
a. Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai.
Dalam hal ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini.
Instansi partai tertinggi adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara
dan masyarakat.
b. Hukum Tata Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-
undang Dasar dan didalam undang-undang pelaksanaannya. Undang-
undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh Musyawarah Nasional,
menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi,
mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama
dimuka hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi
berada di tangan Musyawarah Rakyat Nasional; dan
c. Hukum pemerintahan yang antara lain menetapkan statuta komite-komite
penduduk.
d. Di dalam bidang hukum privat, hukum China ini membedakan antara orang-
orang pribadi dan badan-badan hukum. Orang asing dilindungi dalam hak-
hak dan kepentingankepentingan hukumnya. Di dalam hukum keluarga
suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang perkawinan
tahun 1980 mengatur persyaratan-persyaratan pelaksanaan perkawinan,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengalir dari hal tersebut berikut
syarat-syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan
mempunyai hak yang sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum
perkawinan pada tahun 1950 pembuat undang-undang membuat suatu
ketentuan yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional.
Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai permasalahan yang
diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan ketentuan
bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan
hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan
istri mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan alasan-alasan
demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti program
keluarga berencana.
e. Di dalam pengaturan tentang eigendom Undangundang dasar membedakan
tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak
16
John Gillissen dan Frits Gorle, Op. Cit., Hlm. 158-165.
milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-
sumber daya alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom
individual meliputi barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah
tangga, uang tabungan) dan alat-alat produkssi seperti hewan penarik dan
pengangkut beban. Hanya hak milik publik “sosialistis” adalah barang suci
dan tidak dapat diganggu gugat.
f. Kendatipun Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik
intelektual, namun pada tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke
permukaan dan diberlakukan suatu hak oktroi baru.
g. Di dalam bidang ekonomi dijumpai perusahaan-perusahaan negara, kolektif
dan individual, disamping perusahaanperusahaan campuran China dan
manca-negara (perusahaan patungan) yang diatur oleh sebuah perundang-
undangan yang serba luas. Sejak tahun 1980 diadakan empat buah “Zone
Ekonomi Khusus” di bagian Selatan China, dimana investor-investor asing
memperoleh perlakuan istimewa berupa hak-hak privilese yang
berhubungan dengan perpajakan, imporekspor valuta asing, dan
seebagainya.
h. Dalam bidang peradilan dijumpai: (i) Komite-komite perantaraan
masyarakat, yang dibentuk oleh komite-komite penduduk, yang didalamnya
duduk hakim-hakim awam dan yang kurang menangani perkara-perkara
perdata dan pidana; (ii) Pengadilan-pengadilan rakyat biasa maupun khusus
dan pada puncak piramida peradilan, sebuah Mahkamah Agung Rakyat; (iii)
Komisi-komisi arbitrase yang terutama menyelesaikan permasalahan-
permasalahan ekonomi; (iv) Parket, yang mengawasi pelaksanaan undaang-
undang; (v) Ruang tempat pembela (balie), yang terdiri dari advokatadvokat
yang bekerja dibawah pengawasaan-pengawasan negara dan wajib
memberikan bantuan hukum. (vi) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-
hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu. (vii)
Hukum acara di sidang pengadilan berlangsung melalui dua instansi:
pemeriksaan dan pemutusan perkara dalam tingkat pertama dan dalam
tingkat banding. Dan persidangan pengadilan terbuka untuk umum. Namun,
jumlah perkara tidak banyak: kebanyakan perkara diselenggarakan terhadap
apa yang disebut musuh-musuh rakyat dan “residivis-residivis”, maupun
dalam bidang hukum perkawinan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Di awal-awal pembentukannya sistem kukum China yang merupakan
reduksi dari hasil tarik menarik antara sub-sistem hukum Li dan Fa¸
diwarnai dan ditandai oleh adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan
kesewanang-wenangan putusan hakim. Sub-sistem hukum Li sebagai suatu
tatanan umum yang bersendikan moral hanya diberlakukan bagi golongan
masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelaskelas terendah, diberlakukan
sub-sistem hukum Fa, sebagai suuatu tatanan hukum berbentuk peraturan
perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan oleh negara bagi
masyarakat kelas rendah
2. Di sepanjang alur sejarah perjalanannya model pembangunan hukum di
China mengalami pergantian antara suatu tatanan hukum berbasiskan
undangundang, yang mendasarkan pada paham Marxisme-lenimisme,
dengan sisten hukum yang berbasis moral (etika umum) dengan
mendasarkan pada pendekatan tradisional China. Pada tahap akhir
perkembangannya China menganut kembali paham legalisme, tanpa
mengingkari ideologi Mao, dan menempatkan hukum secara subordinatif
pada tujuan-tujuan politik.
B. Saran
1. Sistem hukum China Kuno terkait konsep hukum Li dan Fa , sangat menarik
untuk dijadikan kajian dalam sejarah hukum, agar kedepannya dapat
dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran.
2. Ideologi marxisme dan komunisme yang ada dan mempengaruhi sistem
hukum China tidak dapat diterapkan di Indonesia, namun dapat dipelajari
karena berkaitan dengan sejarah PKI di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Inu Kencana Syafiie, Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia (SANRI),
Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
SF, Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII
Press, Yogyakarta, 2001.
H.R Otje Salman S dan Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Asitama, Bandung, 2009.
Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep Teori dan Metodenya dalam
pengembangan ilmu hukum, Oase Pustaka, Karanganyar, 2016.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
John Gillissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Dardi Darmaodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1996.
Kelik Wardiono, Sistem Hukum China: Sebuah Tatanan Yang Terkonstruksi Dalam
Lintasan Li Dan Fa, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 1, Maret 2012.