Anda di halaman 1dari 6

Nama : M.

Oktadika Rizki
NIM : 183112330050168
Mata Kuliah : Sejarah Hukum (R01)
Dosen Penguji : Dr. Arrisman, SH., MH.

UJIAN AKHIR SEMESTER

1.
a. Hukum Legal
Sejarah hukum (legal history) biasanya diasosiasikan dengan satu paham
pemikiran hukum yaitu mazhab sejarah dengan salah satu eskponennya yang
paling terkenal adalah Carl von Savigny disamping Burke, Puchta dan Hugo.
Mazhab sejarah menggambarkan sejarah sebagai tradisi, kepercayaan dan bangsa;
yang merupakan esensi pembentukan hukum secara rasional.
Sedangkan paham pemikiran mazhab historisme filosofis, mengembangkan
filsafat hukum tertentu dari evolusi sejarah melalui pakar-pakarnya: Vico,
Montesquieu, Hegel, Kohler, Spengler dengan pengembangannya masing-masing
secara berlain-lainan.
Hegel melihat dalam sejarah terjadi penyingkapan ide secara bertahap, dari satu
tahap ketidaksadaran masyarakat primitif ke pencerminan diri yang
merealisasikan kebebasan. Tiap bangsa menyumbangkan sesuatu untuk
pembuatan jalan menuju ke tujuan tersebut. Disinilah gagasan tentang “volkgeist”
digunakan. Konsepsi Hegel mengandung unsur-unsur filsafat hukum komparatif
dan sejarah hukum, yang memastikan hukum dalam hubungannya dengan jiwa
yang khas dari fungsi bangsa tertentu.
b. Historical Yurisprudence
Akar utama dari paham aliran historical jurisprudence adalah pada pandangan
bahwa pembelajaran mengenai suatu sistem hukum harus berawal dari sejarah dan
pemahaman tentang pola-pola evolusi dari sistemhukum itu sendiri dari masa ke
masa. Hukum dianggap menjadi suatu ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing
bangsa dimana perkembangannya berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa
lainnya. Historical Yurisprudence lahir sebagai suatu mahzab yang menyeruak di
kalangan para filsup waktu itusebagai bentuk penentangan terhadap teori hukum
kodrat yang memiliki anggapan bahwa manusia di seluruh dunia memiliki
pemikiran yang serupa sehingga berlaku juga bagi hukum yang dianggap sebagai
hasil dari pikiran yang sama pula. Berangkat dari hal ini munculah gerakan
modifkasi di Benua Eropa yang akhirnya melatarbelakangi timbulnya gerakan
pelopor aliran historical yurisprudence.

2.
- Pendapat saya menurut yang dapat saya jabarkan adalah kepastian hukum
merupakan suatu asas yang menurut Gustav Radbruch termasuk ke dalam nilai
dasar hukum. Asas ini pada pokoknya mengharapkan dan mewajibkan hukum
dibuat secara pasti dalam bentuk yang tertulis. Keberadaan asas ini menjadi
penting karena akan menjamin kejelasan dari suatu produk hukum positif yang
ada. Makna penting dari asas ini pun memiliki suatu kesamaan (similarity) dengan
gagasan utama yang ada pada konstruksi penalaran positivisme hukum, yakni
kejelasan (certainty). Oleh karena itu, pada tulisan ini hendak dicapai pemahaman
mengenai asas kepastian hukum dengan menggunakan konstruksi penalaran
positivisme hukum.
Contoh kasus:
Kasus Baiq Nuril, guru di Mataram. Mahkamah Agung menerima permohonan
jaksa dan menghukum Nuril enam bulan penjara. Padahal putusan Pengadilan
Negeri adalah bebas dari dakwaan. Hal ini jelas melanggar Pasal 244 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan, "Terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas."
Artinya, putusan bebas tak boleh digugat ke tingkat kasasi. Jadi, putusan MA ini
melanggar kepastian hukum dan langsung menjadi putusan yang tidak adil.

- Kepaastian keadilan menurut saya adalah keadilan sebagai justitia constans et


perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus
menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya),
atau tribuere cuique suum to give everybody his own, keadilan memberikan
kepada setiap orang yang menjadi haknya. Perumusan ini dengan tegas mengakui
hak masing-masing person terhadap lainnya, serta apa yang seharusnya menjadi
bagiannya, demikian pula sebaliknya. akan tetapi Keadilan hukum adalah
keadilan yang pada asalnya tidak berbeda, tetapi bilamana telah dijadikan
landasan, ia menjadi berlainan, Pemikiran kritis memandang, bahwa keadilan
tidak lain sebuah fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah
kelihatan, akan tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah
mendekatinya.
Contoh kasus: Istri sah yang menganiaya pelakor, yang awalnya istri tersebut
adalah "korban" namun kemudian menjadi "tersangka" penganiayaan. Apakah hal
itu merupakan rasa ketidakadilan hukum?

3.
a. Faktor Politik
yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur
kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat
politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan
politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan
seterusnya. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan
perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh
kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
b. Faktor Ekonomi
Hubungan antara hukum dan ekonomi sangatlah erat dan bersifat timbal balik.
Kedua-duanya saling mempengaruhi bekerjanya satu sama lain. Hukum sebagai
pengontrol perkembangan ekonomi dengan peraturannya, sedangkan ekonomi
sebagai bekerjanya hukum itu
c. Faktor Agama
Sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum. Ciri khas kebanyakan agama
ialah menganggap aturan-aturan hidup tertentu sebagai sesuatu yang mutlak
sebagai kebenaran-kebenaran yang diilhamkan oleh Tuhan, maka tatanan-tatanan
yang didalamnya pejabat-pejabat keagamaan tersebut masih berpeluang
mempengaruhi keputusan-keputusan politik.
d. Faktor Kultural
Faktor kultural juga memiliki pengaruh yang menentukan bagi perkembangan
hukum. Faktor kultural yang pertama yang penting adalah aksara yaitu
terciptanya seni tulis menulis. Hukum pada hakekatnya dapat berkembang
menjadi ilmu pengetahuan apabila orang dapat membaca dan menulis.

4.
a. Tatanan hukum primitif
Pada tatanan hukum primitif mengakui keabsahan perbudakan. Praktik
perbudakan demikian diterima sebagai hal yang lumrah pada masa lalu sebagai
warisan sejarah ribuan tahun sejak zaman Nabi Musa a.s. (1527 SM-1407 SM)
b. Tatanan hukum modern
Masa kini merupakan tatanan hukum yang keluar dari sumber tradisi kultural
Eropa, yakni tatanan hukum Eropa kontinental maupun tatanan hukum Anglo-
Amerika (Common Law). Tatanan hukum hukum Eropa kontinental merupakan
suatu kelompok tatanan hukum yang seringkali disebut “romanistis-germanitis”,
oleh karena campuran unsur-unsur hukum Romawi dan unsure-unsur dari hukum
Germana, terutama Jerman. Orang-orang Ingris menamakannya Civil Law (satu
dan lain hal karena pengaruh hukum Romawi dahulu, yakni Corpus Juris Civilis
dari Justianus). Sementara Common law ialah hukum yang telah berkembang di
Inggris sejak bagian terakhir abad pertengahan, dari peradilan, dalam hal ini
pengadilan-pengadilan raja. Oleh sebab itu common law asli pun pertama-tama
adalah “judge made law”, artinya suatu tatanan hukum yang terutama tidak
bertumpu pada aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh pembuat undang-undang.

5. Sangat berpengaruh, sebab penggunaan sejarah hukum dalam perumusan


pertimbangan hakim untuk mengambil keputusan pada suatu perkara yang sedang
ditangani ketika peraturan yang tertera pada Undang-Undang tidak jelas atau tidak
lengkap sehingga tidak dapat digunakan untuk memutuskan suatu perkara. Sehingga,
hakim kemudian mencari dan berusaha untuk menemukan hukum yang sesuai atau
biasa disebut rechtsviding, sesuai pengaturan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Cara yang dilakukan, biasanya dengan mencari tau sejumlah nilai hukum di
masyarakat. Salah satu metode yang digunakan ialah Interpretasi atau penafsiran
guna mengentahui makna dari suatu Undang-Undang. Biasanya, metode ini
digunakan ketika didapati peraturan yang tidak jelas peristiwa yang dapat
dikenai peraturan tersebut. Dalam metode tersebut, terdapat satu cara yang
menggunakan sejarah hukum, seringkali disebut Historis, untuk melihat
peristiwa dan penegakan hukum di masa lampau. Hal ini ditujukan untuk
memastikan dan memperjelas terkait adanya pengaturan hukum atas peristiwa
tertentu.
Setelah menuai hasil, temuan tersebut dijadikan suatu hukum jika diikuti oleh
hakim berikutnya (yurisprudensi). Berdasarkan uraian di atas, penggunaan
sejarah hukum dalam upaya pengambilan keputusan oleh hakim sangat
berpengaruh jika tidak ditemukan kejelasan hukum atas suatu peristiwa tertentu.
Sehingga, keputusan yang diambil memiliki dasar yang kuat, memenuhi
peraturan pada UU Kekuasaan Kehakiman, serta meminimalkan kesalahan atas
suatu putusan.

Contoh:
Kasus yang terjadi pada Masyakakat Minangkabau yang menganut sistem
kekerabatan materilineal (garis keturunan ibu atau perempuan). Mereka
menganut harta pusaka tinggi, yakni harta yang diperoleh secara turun temurun
dari nenek moyang akan terus diwarikas generasi selanjutnya secara kolektif.
Tugas Mamak Kepala Waris sangat penting dalam mengurus, mengatur,
mengawasi, dan bertanggung jawab atas harta pusaka kaum, khususnya harta
pusaka tinggi untuk kepentingan anak kemenakannya. Penyelesaian sengketa
pembagian harta waris sering terjadi, dikarenakan pembagian harta pusaka tinggi
dalam suatu kaum tersebut dijual tanpa sepengetahuan kaumnya.
Adanya sengketa harta pusaka tinggi di Minangkabau diselesaikan di lingkungan
suku dan nagari, jika pada tingkat suku tidak terdapat penyelesaian maka
dilanjutkan Kerapatan Adat Nagari (KAN) kepada salah satu pihak yang
berperkara yang merasa dirugikan supaya dapat dilanjutkan ke tingkat yang lebih
tinggi, yaitu Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan
Negeri merupakan suatu perkembangan dan dinamika dalam norma hukum
waris adat di Minangkabau.
Terdapat dua permasalahan, yakni:
(1) bagaimanakah cara penyelesaian pembagian harta waris pada masyarakat
adat di Minangkabau?
Sehingga, Masyarakat Minangkabau dalam menyelesaikan sengketa harta
warisan umumnya menghendaki penyelesaian secara musyawarah mufakat
dan tidak terbatas pada para pihak yang bersengketa tetapi juga termasuk
semua anggota almarhum pewaris. Apabila segala usaha dalam menempuh
jalan musyawarah mufakat dimuka keluarga dan kerabat mengalami
kegagalan, maka akan diselesaikan di Namun apabila Kerapantan Adat
(KAN) masih belum dapat menyelesaikan sengketa waris adat, maka barulah
kemudian perkara tersebut dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu akan
menjadi tugas bagi hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi dan
Mahkamah Agung untuk dapat mencarikan solusi yang tepat bagi sengketa
waris adat tersebut, sehingga itu timbullah yurisprudensi (putusan hakim).
(2) bagaimanakah perkembangan pembagian harta waris pada masyarakat adat
di Minangkabau pasca putusan hakim?
Perkembangan pembagian harta waris pada masyarakat adat di
Minangkabau pasca putusan hakim, maka terjadinya perkembangan norma
hukum penyelesaian sengketa pembagian harta waris masyarakat adat
Minangkabau.

Anda mungkin juga menyukai