Anda di halaman 1dari 27

ABSTRAK

Masyarakat adat yang mendiami kawasan Desa Sinar Resmi, Kecamatan


Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, tidak pernah terlepas dari filosofi-
filosofi hidup dan berbagai aturan adat yang sudah menjadi satu jiwa pada diri
masyarakatnya. Peralihan hak atas benda dari pewaris kepada ahli waris pada
masyarakat Desa Sinar Resmi masih menganut hukum adat. Adapun tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah 1.) Untuk mengetahui pelaksanaan proses pewarisan
kepada anak pada masyarakat Desa Sinar Resmi. 2.) Untuk mengetahu penyelesaian
jika terjadi sengketa waris dalam masyarakat Desa Sinar Resmi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang bersifat kualitatif dengan teknik
pengumpulan data dan analisis data yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian
dan analisis, dapat ditarik kesimpulan yaitu 1.) Pembagian waris adat di Desa Sinar
Resmi tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Semua ahli waris
dianggap mempunyai hak yang sama atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris,
kecuali untuk anak bungsu diberi bagian yang lebih banyak. 2.) Penyelesaian sengketa
apabila terjadi sengketa waris dalam pembagian waris adat di Desa Sinar Resmi
dilakukan dengan cara musyawarah dan dihadiri oleh semua ahli waris. Pihak ketiga
dalam pembagian waris adat biasanya orang yang dipercaya oleh semua ahli waris dan
bias juga tokoh adat setempat.
Keyword : Pembagian Waris, masyarakat adat Desa Sinar Resmi

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat mengerjakan makalah yang berjudul
“Sistem Pemberian Warisan Adat Masyarakat Desa Sinar Resmi pada Anak
Mereka” dengan baik.
Makalah ini telah diselesaikan berkat kerjasama dari berbagai pihak khusunya
dosen mata kuliah Hukum Adat, yang memberikan berbagai bantuan, arahan, dan
masukan. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. Meski demikian
penulis menyadari masih banyak kekuranga dan kekeliruan di dalam penilisan makalah
ini. Penullis secara terbuka menerima kritik dan saran yang positif.
Demikian kata pengantar ini disampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi masyarakat umum dan untuk penulis sendiri khususnya.

Jakarta, 18 Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR .............................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................................3
1.5 Metode Penelitian ................................................................................................4
1.6 Sistematika Penulisan ..........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................6
2.1 Hukum Adat ........................................................................................................6
2.2 Masyarakat Hukum Adat.....................................................................................7
2.3 Harta Warisan ......................................................................................................9
2.4 Hukum Waris Adat .............................................................................................10
2.5 Sistem Pewarisan Masyarakat Hukum Adat........................................................12
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................13
3.1 Kehidupan Masyarakat Desa Sinar Resmi ..........................................................13
3.2 Subjek Waris Masyarakat Desa Sinar Resmi ......................................................15
3.3 Objek Waris Masyarakat Desa Sinar Resmi .......................................................17
BAB IV ANALISIS .................................................................................................18
4.1 Pelaksanaan Pembagian Waris Kepada Anak Oleh Masyarakat Desa
Sinar Resmi ........................................................................................................18
4.2 Penyelesaian Sengketa Waris Oleh Masyarakat Desa Sinar Resmi ...................20
BAB V PENUTUP....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hukum adat dewasa ini semakin terkikis oleh perkembangan zaman yang
semakin modern dan kelompok masyarakat yang semakin banyak, terjadi pula
penggabungan antar kelompok masyarakat yang satu dangan yang lain, dikarenakan
pertalian perkawinan dan kerja sama, maka secara berangsur terbentuklah hukum
adat. Hukum dalam pikiran masyarakat adat adalah pemahaman individual dan
personal terhadap hukum, maka dalam masyarakat hukum adat adalah jiwanya,
karena tidak mungkin masyarakat adat hidup tanpa adanya hukum. 1

Hidup manusia setiap saat dikuasi oleh hukum, hukum mencampuri urusan
manusia sebelum ia lahir dan sampai ia meninggal dunia. Sejak lahir manusia
merupakan pendukung hak, segala benda yang mengelilingi kita adalah hak
pergaulan hidup manusia terjadi dari pada hubungan yang jumlahnya tak terhingga
antara manusia dengan manusia, hubungan yang langsung dari asal usul, pertalian
darah, perkawinan, tempat tinggal, kebangsaan, perdagangan, sewa menyewa
semua hubungan tersebut diatur oleh hukum (rechtsbetrekkingen). Jadi hukum
tidak hanya menjelma di ruang pengadilan tetapi selalu menjelma di dalam
pergaulan hidup dan tindakan-tindakan manusia. 2

Manusia selalu mempunyai aturan dalam kehidupannya guna untuk


menjalankan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia karna kedua hal tersebut berkesinambungan. Setiap orang wajib
melaksanakan kewajibannya di dalam masyarakat untuk mendapatkan hak yang
mereka inginkan.

Seperti halnya dengan pembagian waris. Sistem kewarisan yang berlaku di


Indonesia masih bersifat pluralis. Tiga sistem hukum kewarisan antara lain hukum
waris adat, hukum waris islam dan hukum waris perdata. Pengertian hukum waris
sendiri adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan
peralih-

1
[1] Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Surabaya, Laksbang Justitia, 2011, hlm. 3

[2] L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2004, hlm. 6.

an hak atas seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Belum
adanya hukum nasional yang mengatur kewarisan secara khusus menyebabkan
penduduk dapat menggunakan hukum sendiri-sendiri dalam penentuan pembagian
warisan.

Masyarakat adat yang mendiami kawasan Desa Sinar Resmi, Kecamatan


Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, tidak pernah terlepas dari
filosofi-filosofi hidup dan berbagai aturan adat yang sudah menjadi satu jiwa pada
diri masyarakatnya. Peralihan hak atas benda dari pewaris kepada ahli waris pada
masyarakat Desa Sinar Resmi masih menganut hukum adat.

Hukum sangat erat kaitannya dengan keadilan. Bahkan ada pendapat bahwa
hukum harus digabungkan dengan keadilan agar benar-benar berarti sebagai
hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan kepada
masyarakat. 3 Sesuai dengan tujuan hukum di atas, hukum adat sejatinya menjamin
rasa ketertiban dan keadilan dari masing-masing pihak yang menganutnya.

Sistem pewarisan menurut hukum adat terbagi menjadi pewarisan individual,


kolektif, dan mayorat. Dalam sistem waris individual (parental) anak laki-laki dan
perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Karena
susunan pewarisan di tarik dari garis keturunan ayah dan ibu, maka sistem
pewarisan berjalan seimbang atau sejajar.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih


lanjut dan dituangkan dalam bentuk makalah dengan judul “Sistem Pemberian
Warisan Adat Masyarakat Desa Sinar Resmi pada Anak Mereka”.

2
[3] M. Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum (Jakarta:
Prenandamedia Group, 2012), hlm. 91

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini ada
beberapa masalah yang dirumuskan yaitu :

1. Bagaimana pelaksanaan proses pewarisan kepada anak pada masyarakat Desa


Sinar Resmi ?

2. Bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa waris dalam masyarakat Desa


Sinar Resmi ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Utuk mengetahui pelaksanaan proses pewarisan kepada anak pada masyarakat


Desa Sinar Resmi.

2. Untuk mengetahu penyelesaian jika terjadi sengketa waris dalam masyarakat


Desa Sinar Resmi.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu


pengetahuan di bidang hukum khususnya dalam lingkup pembagian harta
warisan menurut hukum adat.

2. Upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi penulis dalam


lingkup hukum adat khusus pembagian waris adat.

3. Memberikan gambaran kepada pembaca mengenai pembagian harta warisan


menurut hukum adat.

3
1.5 METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang bersifat
kualitatif. Adapun ciri dari metode kualitatif adalah data yang disajikan berupa
gambaran kata-kata, pendapat, ungkapan, gagasam, norma, atau aturan-aturan dari
4
fenomena yang diteliti. Untuk memperjelas jalannya penelitian ini, maka ada 2
bentuk metode penelitian yang diuraikan sebagai berikut :

1. Metode pengumpulan data

Langkah awal dalam penelitian ini adalah mengumpulkan sumber data. Sumber
data dalam penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh penulis secara langsung dari sumbernya seperti wawancara
dengan tokoh adat yang terkait langsung dengan penelitian ini. Dalam hal ini
adalah toko adat Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat. Data sekunder adalah sumber tulisan orang lain seperti
literature hukum yang terkait dengan kewarisan, jurnal, artikel ilmiah, serta
media online lainnya.

2. Metode Analisis Data

Penulis menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara terkait


pembagian waris masyarakat Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke
dalam kalimat-kalimat sistematis dan dapat ditarik kesimpulan sehingga
diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang
dibahas.

4
[4] Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 3

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN

Secara keseluruhan persoalan akan dibahas dalam makalah dan disajikan ke


dalam 5 bab dengan rincian sebagai berikut :

1. Bab I Pendahuluan

Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat


penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II Tinjauan Pustaka

Memuat tinjauan pustaka mengenai hukum adat, masyarakat hukum adat, harta
warisan, hukum waris adat, dan sistem pewarisan masyarakat hukum adat.

3. Bab III Pembahasan

Memuat hasil observasi kehidupan masyarakat Desa Sinar Resmi, Kecamatan


Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, subjek dan objek waris.

4. Bab IV Analisa

Memuat hasil analisis pelaksanaan pembagian waris kepada anak oleh


masyarakat Desa Sinar Resmi, penyelesaian sengketa waris oleh masyarakat
Desa Sinar Resmi.

5. Bab V Pentup

Memuat kesimpulan dan saran dari penelitian.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HUKUM ADAT

Hukum adat Indonesia yang normatif pada umumnya menujukan corak yang
tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana
dapat berubah dan menyesuaikan, tidak dikondifikasi, musyawarah dan mufakat. 5

a. Tradisional

Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannya
masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.

b. Keagamaan

Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan, artinya perilaku atau
kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang ghaib
dan atau berdasarkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.

c. Kebersamaan

Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan yang artinya ia lebih
mengutamakan kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi
oleh kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu hubungan
hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh
kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong royong.

d. Konkret dan visual

Corak hukum adat adalah konkret artinya jelas, nyata, berwujud, dan arti visual
dapat dilihat, tampak, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang
berlaku dalam hukum adat itu terang dan tunai, tidak samar-samar dapat dilihat
dan didengar orang lain.

[5] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Maju Mundur, Bandung, 2014, hlm.
33-38.

6
e. Terbuka dan sederhana

Corak hukum adat terbuka artinya dapat menerima masukan unsur-unsur yang
datang dari luar, asal tidak bertentangan dengan hukum adat sendiri. Corak dan
sifatnya yang sederhana bersahaja dan tidak rumit mudah dimengerti dan
dilaksanakan berdasarkan saling percaya.

f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan

Hukum adat dapat berubah sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat. Karena di
masa sekarang hukum adat banyak yang sudah disesuaikan dengan perkebangan
zaman.

g. Tidak dikondifikasikan

Hukum adat kebanyakan tidak tertulis, walapun ada juga yang dicatat dalam
aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis
namun hanya sekedar sebagai pedoman bukan mutlak harus di laksanakan,
kecuali yang bersifat perintah Tuhan.

h. Musyawarah dan Mufakat

Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat didalam keluarga,


didalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan baik untuk memulai suatu
pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan. Didalam penyelesaian
persengketaan selalu diutamakan jalan penyelesaian secara rukun dan damai
dengan musyawarah dan mufakat dengan saling memaafkan.

2.2 MASYARAKAT HUKUM ADAT

Masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tetap


dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang
berwujud maupun tidak berwujud. 6

[6] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, Maju Mandar, Bandung,
2014,hlm105

7
Secara teoritis pembentukan masyarakat hukum adat disebabkan adanya faktor
ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut.
Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah
faktor genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah). 7

a. Masyarakat Hukum Teritorial (Tempat Tinggal)

Merupakan masyarakat yang teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya


terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai
tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan
terhadap roh-roh leluhur.

Para anggota masyarakat merupakan anggota-anggota yang terikat dalam


kesatuan yang teratur baik keluar maupun kedalam. Diantara anggota yang pergi
merantau untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuaan
teritorial itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi
anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat.

b. Masyarakat Hukum Genealogis (Keturunan)

Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu


kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena
hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian
perkawinan atau pertalian adat.

Masyarakat hukum genealogis dibagi menjadi tiga macam yaitu :

1. Masyarakat Patrilineal, susunan masyarakat yang masyarakatnya ditarik


menurut garis keturunana bapak(garis laki-laki), contoh masyarakat
patrilineal misalnya Marga Genealogis orang Batak yang di kenal dari marga-
marganya dan orang Lampung dengan nama marga Buwai Nunyai dan lain
sebaginya.

[7] Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm.
25.

8
2. Masyarakat Matrilineal, susunan masyarakat ditarik dari garis keturunan ibu,
contohnya di Minangkabau, Semendo Kerinci dan suku kecil di Timor.
Masyarakat ini tidak mudah dikenal walapun ada nama-nama keturunan
sukunya, tetapi jarang di gunakan secara umum.

3. Masyarakat Bilateral / Parental, susunan masyarakat ditarik dari garis susunan


ayah dan ibu, jadi hubungan kekerabatan antara ayah dan ibu berjalan
seimbang, contohnya masyarakat Aceh, Melayu, Jawa, Kalimantan dan
Sulawesi.

2.3 HARTA WARISAN

Harta warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seorang yang
meninggal dunia, baik harta benda itu sudah dibagi atau belum terbagi. Pengertian
dibagi pada umumnya berarti bahwa harta warisan itu terbagi-bagi pemilikanya
kepada para ahli waris dan suatu pemilikan atas harta warisan tidak berarti
pemilikan mutlak perseorangan. 8

Pembagian harta warisan dibagi menjadi empat bagian yaitu :

1. Harta Asal

Semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris sejak mula pertama,
baik berupa harta peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk
kedalam perkawinan dan kemungkinan bertambah selama perkawinan sampai
akhir hayatnya. Dengan disebut harta barang asal atau harta asal maka ia
dibedakan dari harta pencaharian yaitu harta yang didapat oleh pewaris bersama
istri atau suami almarhum selama didalam ikatan perkawinan sampai saat
putusnya perkawinan karena kematian atau karena perceraiaan.

2. Harta Pemberian

Harta pemberian adalah termasuk juga harta warisan yang asalnya bukan di
dapat kerena jerih payah bekerja sendiri, melainkan karena hubungan cinta kasih
balas

9
[8] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 8

budi atau jasa atau karena suatu tujuan. Pemberian dapat dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami istri
bersama atau keluarga.

3. Harta Pencaharian

Harta pencaharian pada umumnya dimaksudkan semua harta yang didapat suami
istri bersama selama dalam ikatan perkawinan.

4. Hak-Hak Kebendaan

Apabila seseorang meninggal maka ia tidak saja meninggalkan harta warisan


yang berwujud benda tetapi juga ada kemungkinan yang tidak berwujud benda
tetapi berupa hak-hak kebendaan, seperti hak pakai, hak tagihan (hutang
piutang) dan hak-hak lainnya.

2.4 HUKUM WARIS ADAT

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris
kepada para waris dan dari generasi ke generasi berikutnya. 9

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi bagikan
penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.
Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki
secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. 10

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses harta


benda dan barang yang bukan berwujud dari suatu angkatan manusia kepada
keturunananya. Dalam rangka penutupan harta peninggalan, penting untuk
menetapkan siapakah para ahli waris yang terkait, yang berhak untuk menerima
harta waris dari si pewaris. Perencanaan pewarisan dilakukan saat kedua orang tua
masih hidup dan biasanya di tulis di sebuah surat wasiat, dan akan di umumkan
kepada si

10
[9] [10] Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Surabaya, Laksbang Justitia, 2011, hlm,
203

penerima waris ketika si pewaris sudah meninggal dunia. Praktek pembagian


warisan berkaitan erat dengan beragamnya tafsir tentang keadilan, maka hukum
waris pun menjadi beragam, ada yang mengacu pada agama, adat istiadat dan
hukum perdata. Namun pada prinsipnya ketiga hukum waris ini sama-sama
mengatur peralihan hak atas harta benda pewaris kepada si ahli waris.

Hukum waris sangat erat kaitanya dengan ruang lingkup kehidupan manusia,
sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang. Diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia
tersebut.

Pemberian suatu harta dari pewaris kepada ahli waris sesudah meninggal
dunianya merupakan proses yang sangat universal dalam setiap hukum adat yang
ada di dalam masyarakat adat di Indonesia. Akan tetapi, pemberian harta warisan
sebelum si pewaris meninggal dunia (semasa hidupnya) merupakan suatu hal yang
tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum
adat merupakan penerapan dari suatu asas atau prinsip pewarisan, yaitu : “Menurut
Hukum Adat, harta warisan itu meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki
oleh si peninggal harta atau pewaris semasa hidupnya. Jadi, dalam hal ini tidaklah
hanya terbatas pada harta yang dimiliki pada saat si pewaris meninggal”. 11

Hukum warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat
terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta waris adat
terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaanya dan pemilikanya
kepada para waris dan ada yang dapat di bagikan, harta yang tidak terbagi adalah
harta milik bersama para ahli waris ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan,
tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hukum waris adat ini tidak mengenal istilah
legitime portie (bagian mutlak), dimana untuk para ahli waris telah ditentukan hak-
hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan.

11
[11] Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Penmas SU, Medan, 1988, Hlm. 145

2.5 SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Sistem kewarisan adat yang berbeda antara satu suku dengan suku lainnya
merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai dan patut
dipertahankan sebagai bagian dari sistem kebudayaan nasional. Ketaatan suatu suku
untuk tetap menjujung tinggi sistem kewarisan adat merupakan suatu nilai-nilai
luhur yang dapat membendung pengaruh budaya luar.

a. Sistem Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Patrilineal

Sistem kewarisan mayorat sama dengan juga sistem kewarisan kolektif, namun
dengan cara yang lebih khusus yaitu dengan cara meneruskan dan mengalihkan
hak penguasaan atas harta warisan yang tidak terbagi itu untuk dilimpahkan
kepada anak tertua tersebut berkedudukan sebagai penerus tanggung jawab
orang tua yang telah meninggal. Anak tertua diberi kewajiban untuk mengurus
dan memelihara adik-adiknya yang belum dewasa dengan memanfaatkan hasil
harta warisan penerus dari orang tua sampai mereka dewasa dan berpencarian
sendiri.

b. Sistem Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Matrilineal

Sistem pewarisan adalah sistem waris yang mengalihkan harta warisan kepada
ahli waris kerabat sebagai kesatuan yang terbagi-bagi. Harta warisan biasanya
berupa benda tidak bergerak seperti tanah, sawah, kebun, ladang, rumah atau
bangunan lainnya. Setiap ahli waris kerabat berhak untuk mengusahakan,
menggunakan atau pun memperoleh hasil dari harta warisan kolektif tersebut.
Pemanfaatan harta warisan kolektif diatur bersama atas dasar musyawarah dan
mufakat.

c. Sistem Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Parental

Sistem pewarisan yang memperoleh bagian harta warisan didasarkan pada


individu atau orang perseorangan. Setiap ahli waris memperoleh bagian harta
warisan untuk secara bebas dimiliki, dikuasai dinikmati sendiri diusaka atau

12
dialihkan kepada pihak lain. sistem pewarisan individual (perseorangan) terdapat
pada kelompok masyarakat Parental.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA SINAR RESMI

Berdasarkan letak astronomis, Desa Sirnar Resmi terletak di titik koordinat


S=06˚50’13,3” LS dan E=106 ˚ 26’9,99” BT selatan pulau Jawa (Jawa Barat)
dengan luas mencapai 4.917 Ha. Desa Sirnaresmi merupakan bagian dari
pegunungan vulkanis gunung Halimun bagian dari rantai Bukit Barisan di Pulau
Sumatera dan gunung api pulau Jawa bagian barat.

Menurut hasil wawancara, Desa Sinar Resmi awalnya merupakan bagian dari
Desa Cikaret, dengan pemimpin awal yaitu Ama Rusdi. Selama terjadi konflik
nasional dan politik antara tahun 1960 – 1971, membuat masyarakat desa setempat
bingung dan menolak. Konflik tersebut diantaranya adanya G30SPKI pada tahun
1965, serta adanya seruan pemerintah kepada masyarakat untuk berpindah haluan
ke partai Golongan Karya.

Pada tahun 1977, akhirnya Desa Sirna Resmi didirikan. Desa Sinar Resmi
terdiri dari2 kata yaitu sinar dan resmi. Kata “Sinar” berarti muncul, dan “Resmi”
berarti sah. Nama desa ini dicetuskan oleh Abah Ardjo dan Gubernur Jawa Barat,
Sholihin, yang saat itu menjabat. Dalam mencetuskan nama Desa Sinar Resmi,
sebelumnya dilakukan dulu ritual berupa selamatan dan makan bersama di rumah
kepala adat. Peresmian Desa Sinar Resmi ditandai dengan menanam pohon
beringin pada keesokan harinya setelah selamatan di malam hari.

Masyarakat adat Desa Sinar Resmi tidak pernah terlepas dari filosofi-filosofi
hidup dan berbagai aturan adat yang sudah menjadi satu jiwa pada diri masyarakat
kasepuhan sendiri. Rumahtangga masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pada
dasarnya bergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber nafkah, yakni melalui
kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh rumahtangga

13
masyarakat kasepuhan dengan sistem pertanian tradisional khususnya tanaman
padi.

Dalam melakukan kegiatan pertanian khususnya tanaman padi, baik di huma


maupun di sawah terdapat berbagai prosesi yang disesuaikan dengan aturan adat
yang berlaku. Mulai dari mempersiapkan lahan sampai dengan setelah masa panen,
selalu diikuti dengan upacara ritual adat yang sudah sejak dahulu dilaksanakan oleh
masyarakat. Tidak dipungkiri bagi rumah tangga masyarakat Sinar Resmi, sektor
pertanian masih menjadi tumpuan hidup meskipun tidak menutup kemungkinan
bagi mereka untuk memiliki mata pencaharian selain sektor pertanian.

Hasil panen padi masyarakat Desa Sinar Resmi dikumpulkan ke lumbung atau
yang biasa disebut Leuit Sijimat. Padi dari warga desa tersebut digunakan untuk
kepentingan warga juga. Bagi mereka yang kekurangan padi dapat meminjam padi
dan mengembalikan sesuai dengan jumlah yang dipinjam. Untuk menampung hasil
panen tersebut, aturannya setiap rumah memiliki satu leuit. Di lumbung itu stok
pangan keluarga tersebut disimpan. Setelah panen hasilnya pun tidak
diperjualbelikan, melainkan hanya untuk dikonsumsi masyarakat setempat.

Sistem kekerabatan pada warga Kasepuhan bersifat bilateral, yaitu bentuk


kekerabatan yang mengadopsi kedudukan kedua belah pihak, baik pihak ayah
maupun pihak ibu (bapa dan ambu/ema) yang memiliki kedudukan/peran sama
pentingnya dan mempunyai kewajiban yang sama dalam mengatur harta benda,
mendidik anak dan warisan. Dalam lingkup keluarga terdapat nilai internal yang
cukup ketat, nilai ini merupakan tata tertib keluarga, pembagian kerja, tanggung
jawab, perlindungan, pengawasan, kesinambungan dan kemajuan keluarga.

Selain mengikuti sistem administrasi pemerintahan desa, berlaku pula sistem


organisasi masyarakat adat. Masyarakat Kasepuhan dipimpin oleh ketua Kasepuhan
yang disebut sebagai (Abah). Ketua Kasepuhan bertugas mengurus peri kehidupan
sosial, ekonomi dan spiritual masyarakat yang secara adat istiadat. Adapun cara
hidup yang mereka jalankan sama dengan warga non Kasepuhan. Mereka tidak
hidup secara eklusif, melainkan berbaur dengan masyarakat yang lain. Di beberapa
kampung, rumah mereka bercampur dengan rumah warga non Kasepuhan.
Perbedaanya adalah pada masalah spiritual dan adat istiadat yang diikuti. Sistem

14
kerja sama di antara warga Kasepuhan diatur menurut adat, kerja sama tersebut
berlaku pada pekerjaan pertanian ataupun kehidupan sehari-hari berbentuk imbalan
berupa uang melainkan dibayar dengan tenaga pula seperti sitem gotong royong,
sedangkan kerja sama dengan warga non Kasepuhan bisa dengan imbalan uang atau
bagi hasil.

Ketaatan pada negara dan adat tercermin dalam kearifan lokal; “Nyang hulu ka
hukum nyanghunjar ka nagara”(menjunjung tinggi hukum dan mematuhi perintah
atau aturan negara). Prinsip tersebut tercermin dari pemakaian ikat kepala bagi
kaum laki-laki. Ikat kepala menggunakan kain segi empat melambangkan empat
arah mata angin, yaitu timur, barat, selatan dan utara. Kemudian dilipat menjadi
bentuk segitiga melambangkan tiga hukum (adat, negara dan agama).

Ketaatan kepada negara tercermin dalam partisifasi pemilihan Kepala Desa,


pemilu legeslatif dan eksekutif. Oleh karena itu Abah sebagai ketua Kasepuhan
menggunakan lembaga adat sebagai alat dalam menata hubungan yang stabil antara
sesama warga Kasepuhan (keselarasan sosial) dan hubungan yang stabil antara
masyarakat dengan alam dan lingkungan (keselarasan alam) yang diyakini sebagai
sumber kehidupan utama. Pada akhirnya tercipta perilaku arif dalam hubungan
sosial, menjaga alam dan lingkungan lestari serta kerukunan masyarakat.

3.2 SUBJEK WARIS MASYARAKAT DESA SINAR RESMI

Dalam sistem kekeluargaan ini, ahli warisnya terdiri dari :

a. Anak laki-laki dan anak perempuan

Semua anak laki-laki dan perempuan yang sah berhak mewarisi seluruh harta
kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan
pewaris dibagi sama diantara para ahli waris. Menurut hasil wawancara, untuk
anak bungsu mendapat bagian lebih banyak.

b. Anak angkat
Anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya
anak sah namun, anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta

15
pencarian atau harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta
pusaka, anak angkat tidak berhak.

c. Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris. Apabila anak laki-laki
yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah
ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewarisi bersama-
sama.

d. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tentu. Apabila anak laki-laki yang
sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu
pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat
dalam derajat yang tidak tertentu.

Dalam masyarakat Hukum Adat, mengenai ketidakpantasan untuk menjadi ahli


waris ini tidak dikenal hanya ada suatu kemungkinan seseorang itu dikesampingkan
selaku ahli waris, oleh karena alasan-alasan membunuh si peninggal warisan. Hal
ini bahwa hak untuk mewaris itu tidak dapat dikesampingkan yang berarti bahwa
ketidakpantasan untuk menjadi ahli waris itu tidak dikenal dalam Hukum Adat.

Hak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan seseorang ahli waris terlebih
dahulu meninggal dunia dari pada orang yang meninggalkan warisan, ada pada
keturunan dalam garis menurun. Dengan demikian, hak untuk mewarisi dalam
masyarakat Hukum Adat tentang tidak pantas menjadi ahli waris tidak dianut secara
tegas. Perbedaan agama pun tidak menghilangkan hak seseorang untuk menjadi ahli
waris.

Adapun perbuatan salah yang memungkinkan hilangnya hak mewaris


seseorang terhadap harta warisan orang tuanya atau dari pewaris lainnya dapat
disebabkan antara lain :

1. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota keluarga


pewaris

2. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris

3. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris, atau nama
kerabat pewaris karena perbuatan tercela

16
4. Murtad dari agama atau berpindah dari agama dan keceprcayaan dan sebagainya

3.3 OBJEK WARIS MASYARAKAT DESA SINAR RESMI

Pada umumnya objek dalam hukum waris adat Desa Sinar Resmi sama halnya
dengan objek hukum waris adat lainnya yaitu harta warisan. Harta warisan adalah
harta benda yang dimiliki oleh si pewaris yang diteruskan semasa hidupnya atau
yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia dan diteruskan dalam
keadaan tidak terbagi-bagi.

Harta peninggalan pada masyarakat Angkola Barat dapat berupa tanah, ternak,
sawah, kebun, perhiasan, rumah, kenderaan dan lain-lain.

17
BAB IV

ANALISIS

4.1 PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARIS KEPADA ANAK OLEH


MASYARAKAT DESA SINAR RESMI

Dalam pembagian harta warisan, kebanyakan masyarakat tidak melakukan


pembagian warisan dengan gugatan ke pengadilan, selama masih bisa
menggunakan musyawarah mufakat karena sistem kekerabatan masih kental. Jadi
masyarakat dalam hal ini ahli waris tidak mau memperdebatkan atau
memperebutkan harta warisan yang di tinggalkan oleh pewaris.

Alasan yang mendasari adalah pembagian warisan dengan hukum adat sudah
dilakukan secara turun-temurun dan membudaya sampai sekarang di Desa Sinar
Resmi serta diyakini lebih mencerminkan rasa keadilan serta dilakukan melalui
kesepakatan antar ahli waris sehingga tercipta kerukunan antar ahli waris.

Para ahli waris telah menyadari bahwa apa yang telah di ajarkan oleh nenek
moyang dan para leluhur terdahulu harus diikuti, tanpa mencari sebab-sebab
mengapa demikian dalam hal pembagian harta warisan. Karena apabila melanggar
ketentuan-ketentuan yang telah berlaku secara turun-temurun yang telah di
ajarkan oleh nenek moyang atau para leluhur terdahulu dalam keyakinan merekan
adalah berdosa.

Selain berpedoman kepada hal tersebut, ada alasan lain yang sangat
fundamental bagi masyarakat sekitar yaitu mereka berpedoman bahwa Tuhan itu
Maha Kaya. Alasan inilah yang menjadi keyakinan bahwa berapapun jumlah
bagian warisan yang di terimanya adalah hal yang sedikit dibandingkan dengan
kekayaan Tuhan yang tidak ada batasnya, alasan ini sangat menandakan bahwa
keimanan dan ketaqwaan masyarakat Desa Sinar Resmi.

Apabila telah menyangkut tentang keimanan dan ketaqwaan dan keyakinan


kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka hal itulah yang menjadi dasar mereka dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini jelas berkaitan dengan pelaksanaan pembagian
harta warisan pada masyarakat di daerah tersebut, selain itu ada alasan lain
mengapa masyarakat desa tersebut membagi harta warisan atau harta peninggalan

18
orang tua berdasarkan hukum adat, dimana harta warisan atau harta peninggalan
orang tua harus di jaga dengan sebaik-baiknya.

Dimana harta warisan atau harta peninggalan orang tua tidak boleh
dipergunakan atau dijual untuk kepentingan yang tidak perlu, harta warisan boleh
di pergunakan asalkan untuk keperluan-keperluan yang dari ahli waris yang
mendesak, penggunaan harta warisan oleh para ahli waris atau salah satu dari ahli
waris juga di putuskan melalui musyawarah mufakat. Oleh karena itu, dalam
segala sesuatu yang berkaitan atau berhubungan dengan penggunaan harta warisan
harus dengan musyawarah terlebih dahulu.

Masyarakat Desa Sinar Resmi sebagian besar beragama Islam sehingga


banyak dipengaruhi dari ajaran Islam. Banyak ditemukan persamaan proses
pembagian warisan dalam pembagian warisan dengan hukum Islam. Hal ini
seperti diungkapkan menurut hasil wawancara, bahwa jika suatu masyarakat itu
memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan
adalah hukum agam yang dipeluknya itu.

Menurut analisis berdasarkan hasil wawancara dan observasi, masyarakat


Desa Sinar Resmi menggunakan sistem kekerabatan parental dimana sistem
kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik
garis keturunannya melalui pihak ayah dan pihak ibu. Sehingga dalam sistem
pewarisan tidak dibedakan antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Di dalam hukum adat parental ini pembagian waris di anggap sama hanya di
bedakan golongan-golongan saja di mana golongan pertama adalah keturunan dari
sipewaris, golongan kedua adalah orang tua pewaris, golongan ketiga adalah
saudara-saudara pewaris dan yang keempat adalah orang tua dari pada orang tua si
pewaris.

Pembagian harta warisan pada masyarakat Desa Sinar Resmi, menggunakan


pembagian harta warisan dengan cara bagian anak laki-laki lebih sama dengan
anak perempuan dan juga menggunakan hukum adat. Tetapi ada satu aturan yang
harus dipatuhi, yaitu untuk anak terakhir diberi bagian lebih banyak daripada anak
lainnya. Untuk anak diluar nikah atau anak dari perkawinan yang tidak tercatat,
tetap mendapat haknya sebagai ahli waris sama seperti anak kandung.

19
Proses pembagian warisan pada masyarakat Desa Sinar Resmi dilakukan
dengan dua cara, yaitu pembagian warisan sebelum pewarisnya meninggal dunia
dan pembagian warisan setelah pewaris meninggal dunia. Sistem pembagian
warisan yang dilakukan ketika pewaris masih hidup yaitu dengan cara hibah
wasiat. Orang tua menghibahkan hartanya melalui surat wasiat kepada anak-
anaknya ketika masih hidup. Pembagian harta warisan sebelum pewaris
meninggal dunia waktu pelaksanaanya tergantung dari inisiatif pewaris Harta
tersebut menjadi pemilik si anak tersebut secara mutlak. Mengenai harta sisa
dalam pembagian warisan yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia,
harta sisa tersebut akan dibagi rata kepada semua ahli waris. Untuk pembagian
waris setelah pewaris meninggal bersifat terbuka dan bermula apabila salah satu
orang tuanya meninggal dunia. Pembagian harta warisan dilakukan di hadapan
seluruh ahli waris dengan cara musyawarah.

Peran saksi dalam proses pembagian harta warisan bertindak pasif yakni
hanya menyasikan dan mengesahkan hasil pembagian harta warisan. Saksi tidak
ikut menentukan pembagian harta yang akan diwariskan, kecuali apabila dimintai
pendapat saksi akan memberikan pendapat sesuai proses yang biasa dipakai
masyarakat Desa sugihan. Dalam proses pembagian warisan. Saksi yang
didatangkan masih mempunyai hubungan kerabat dari keluarga pewaris atau
tokoh adat setempat.

4.2 PENYELESAIAN SENGKETA WARIS OLEH MASYARAKAT DESA


SINAR RESMI

Sama halnya dengan pembagian harta waris, penyelesaian sengketa waris oleh
masyarakat Desa Sinar Resmi menggunakan musyawarah dan dihadiri oleh ahli
waris. Biasanya musyawarah berjalan dengan lancar tapi tidak menutup
kemungkinan juga terjadi ketidak cocokan antara para ahli waris mengenai
pembagian harta warisan yang di tinggalkan oleh pewaris.

Apabila telah terjadi permasalah maka hal yang paling pertama sekali di
lakukan oleh para ahli waris adalah memanggil sesepuh desa tersebut atau kepala

20
adat dengan tujuan bisa memberikan usulan atau pendapat bagaimana baiknya
masalah tentang pembagian harta warisan tersebut.

Apabila tidak menemui titik terang atau masih terjadi permasalahan maka
langkah selanjutnya adalah para ahli waris mengajukan gugatan ke pengadilan, dan
kemudian pengadilan yang berhak memutuskan dan menetapkan sebaik-baik dan
seadil-adilnya tentang pembagain harta warisan tersebut, supaya tidak ada pihak
yang merasa dirugikan atau merasa tidak adil.

Dalam hal ini putusan hakim bersifat final dan konkrit, jadi apapun keputusan
pengadilan nantinya harus dilaksanakan oleh para ahli waris karena mereka telah
setuju untuk menyerahkan masalah pembagian warisan tersebut kepada pengadilan,
untuk mendapatkan putusan hakim yang seadil-adilnya dalam pembagian harta
warisan tersebut.

Di Indonesia khususnya di Desa Sinar Resmi, musyawarah berfungsi dan


berperan dalam memelihara dan membina kerukunan hudup keluarga. Kebanyakan
masyarakat tidak melakukan pembagian warisan dengan gugatan ke pengadilan,
selama masih bisa menggunakan musyawarah mufakat, karena sistem kekerabatan
masih kental. Jadi masyarakat dalam hal ini ahli waris tidak mau memperdebatkan
atau memperebutkan harta warisan yang di tinggalkan oleh pewaris. Ahli waris lebih
memilih jalan kekeluargaan demi persatuan dan keutuhan keluarga.

21
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan dari bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan :

1. Pembagian waris adat di Desa Sinar Resmi tidak membedakan antara anak laki-
laki dan anak perempuan. Semua ahli waris dianggap mempunyai hak yang
sama atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, kecuali untuk anak
bungsu diberi bagian yang lebih banyak.

2. Penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa waris dalam pembagian waris


adat di Desa Sinar Resmi dilakukan dengan cara musyawarah dan dihadiri oleh
semua ahli waris. Pihak ketiga dalam pembagian waris adat biasanya orang yang
dipercaya oleh semua ahli waris dan bias juga tokoh adat setempat.

5.2 SARAN

Adapun saran yang didapat dari penelitian ini adalah :

1. Tokoh Adat, agar tetap berpegang kepada pedoaman hukum adat dalam
menyelesaikan permasalahan khusunya sengketa adat dalam pembagian waris.

2. Menjaga dan melestariakan serta mengikuti aturan adat yang berlaku, agar tidak
terkikis dengan perkembangan zaman.

22
DAFTAR PUSTAKA

Apeldorn, L.J. Van. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Waris Adat. Bandung. PT Citra Aditya Bakti

Hadikusuma, Hilman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung. Maju
Mundur

Hermanto. 2012. Filosofi Hidup Sebagai Basis Kearifan Lokal (Studi Pada Kesatuan
Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul). Universitas Pendidikan Indonesia

Komalasari, Indri. 2019. Pelaksanaan Pewarisan Pada Masyarakat Adat Parental


(Studi Kasus Masyarakat Adat Jawa Kecamatan Bandar Sribhawono).
Universitas Lampung

Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja


Rosdakarya

Nasution, Muhammad Irsan. 2017. Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Menurut


Hukum Adat Tapanuli Selatan (Studi Kasus Kecamatan Angkola Barat).
Universitas Sumatera Utara

Rato, Dominikus. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat. Surabaya. Laksbang
Justitia

Santoso, M. Agus. 2012. Hukum, Moral, & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum.
Jakarta. Prenandamedia Group

Setiadi, Wahyu. 2014. Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Muslim Desa
Sugihan Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang . Universitas Negeri
Semarang

Usman, Datuk. 1988. Diktat Hukum Adat. Medan. Bina Sarana Balai Penmas SU

Wulansari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung. PT Refika
Aditama

Yuliawati, Lis. 2015. Merawat Titah sang Leluhur. Retrieved from


http://amp.beritasatu.com/nasional/244778/merawat-titah-sang-leluhur.hmtl
[Diakses pada 18 Januari 2019]

23
24

Anda mungkin juga menyukai