Anda di halaman 1dari 7

NAMA : M.

oktadika rizki

Npm :183112330050168

MATA KULIAH : kriminologi dan viktimonologi ( R.01)

BAB I PENDAHULUAN

Sebagai negara hukum, penting untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
menjamin bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Namun dalam praktik penegakan hukum, seringkali terjadi tindakan seperti penganiayaan
terhadap tersangka, intimidasi, rekayasa perkara, pungutan liar, dan lain sebagainya. Dari sisi
korban juga kerap terjadi kelalaian akan hak-haknya seperti dakwaan lemah, tuntutan ringan,
tidak tahu perkembangan perkara, tidak menerima kompensasi, dan tidak terpenuhinya hak-
hak lain.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih
banyak mengatur tentang hak-hak tersangka atau terdakwa. Pengaturan hak-hak korban
(victim) tidak secara tegas dan tidak sebanyak hak-hak tersangka. Hal tersebut terjadi karena
korban diwakilkan oleh negara melalui badan-badan berwenang, dengan cara mengadili dan
menjatuhkan pidana setimpal dengan perbuatan terdakwa.

Berbeda dengan zaman dahulu, korban dapat langsung menuntut kerugian kepada
pelaku. Paham tersebut kemudian berganti menjadi raja yang mengambil peran mewakili
negara. Sejak lahirnya Trias Politica, kekuasaan yudikatif dijalankan. Korban (victim) tidak
dapat langsung mengambil haknya dan harus melalui proses hukum. Langkah pertama yaitu
yang bersangkutan harus mengajukan laporan atau pengaduan, untuk selanjutnya pelaku
dapat diproses melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, putusan dan
pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam proses tersebut, korban dapat menjadi saksi yang
akan memberatkan terdakwa.

Dalam perkembangannya, hak-hak terhadap korban, saksi dan hak-hak masyarakat


terus diperbarui sehingga telah lahir beberapa undang-undang diantaranya:

1. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM)
4. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlinndungan Anak
6. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 yang dicabut oleh Undang-Undnag Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
8. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2004 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
9. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang

Pelaksanaan undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia
2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindakan Pidana Korupsi
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban
5. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus
Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Kemudian beberapa Komisi atau lembaga yang dibentuk demi terciptanya efektifitas hak
korban, saksi dan hak masyarakat, misalnya:

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia / Komnas HAM


2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
3. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perumpuan
4. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban / LPSK

Untuk peningkatan pengawasan, dibentuk pula:


1. Komisi Yudisial
2. Komisi Kepolisian Nasional
3. Komisi Kejaksaan

Dengan adanya peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hak korban serta


lembaga yang menjalankan fungsi tersebut, diharapkan perlindungan korban menjadi lebih
baik.
BAB 2 SEKILAS TENTANG VIKTIMOLOGI

A. Pengertian

Viktimologi berasal dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan). Secara
sederhana viktimologi atau victimology dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
korban (kejahatan). Beberapa pengertian victim diuraikan sebagai berikut:

1. Menurut Crime Dictionary, victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik
atau mental, mengakibatkan kerugian harta benda atau mati, atas perbuatan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
2. Menurut Undnag-Undnag Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan atau kerugian ekonimi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM berat, yang dimaksud
korban adalah perseorang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai
akibat dari pelanggaran HAM berat yang memerlukan perlindungan fisik dari
ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak mana pun.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2994 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, yang dimaksud korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan
atau ancaman kekerasan dalam lingkungan rumah tangga.
5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebernaram dam
Rekonsiliasi, yang dimaksud korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau
mengalami pengabaian, pengurangan dan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai
akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa korban adalah seseorang atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, materi, atau kerugian lain, sebagai akibat
dari pelanggaran pelaku tindak pidana.
B. Lingkup Victim (Korban)

Menurut Abdussalam (2010), persepsi korban diuraikan sebagai berikut:

1. Korban perseorangan adalah setiap individu yang mendapat penderitaan baik jiwa,
fisik, materiil maupun non materiil.
2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami kerugian dalam menjalankan fungsi
sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, swasta, atau bencana alam.
3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam (tumbuhan, bintang,
manusia, mayarakat, atau jasad hidup) yang mengalami kerusakan lingkungan akibat
kebijakan pemerintah atau perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab.
4. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan
diskriminatif dan tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak
sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.

Lebih lanjut, korban institusi, masyarakat, bangsa dan negara terdapat dalam perkara
korupsi sebagai korban tindak pidana koruspsi, dalam tindak pidana terorisme, dalam tindak
pidana narkotika dan tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan, dan
illegal logging.

Adakalanya korban juga sebagai pelaku. Romli Atmasasmita (1992) menyebutkan


bahwa mungkin terjadi pelanggaran hukum atau kejahatan tanpa korban. Bahkan korban dan
pelaku adalah tunggal. Maksudnya adalah korban dadalah pelaku dan pelaku adalah korban.
Misalnya penggunaan narkoba.

C. Kajian Singkat Viktimologi

Perhatian terhadap korban (victim) sudah ada sejak abad pertengahan. Berkaitan dengan
berkembangnya kajian viktimologi, perlu diketahui beberapa hal sebagai berikut:

1. Objek penelitian tidak lagi mengarah ke orang-orang yang melakukan kejahatan,


tetapi juga difokuskan kepada korban. Hal ini dipelopori oleh Benyamin Mendelsohn
pada tahun 1937 serta Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and
Treatment of Offender.
2. Penelitian Meldelsohn mengenai tindak pidana dari perspektif korban dianggap
sebagai terobosan baru.
3. Hubungan antara korban dan pelaku juga dikaji terkait bagaimana korban sering pula
memicu dan mengakibatkan terjadinya kejahatan.

Simposium international juga beberapa kali dilakukan. Simposium ini dibentuk oleh
organisasi International Society of Criminologi sebagai organisasi viktimologi internasional
yang berkedudukan di Paris, Perancis.

D. Hubungan Korban dengan Kejahatan dan Peradilan Pidana

1. Hubungan Korban dengan Kejahatan

Hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai bagian dari
kejahatan dan dirugikan. Hubungan korban dan pelaku dapat dilihat dari tingkat
kesalahannya, diuraikan sebagai berikut:

a. Yang sama sekali tidak bersalah


b. Yang jadi korban karena kelalaiannya
c. Yang sama salahnya dengan pelaku
d. Yang lebih bersalah dari pelaku
e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah

Hubungan korban dan pelaku berdasarkan sasaran tindakan pelaku diuraikan sebagai berikut:

a. Korban langsung, yaitu secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku


b. Korban tidak langsung, yaitu secara tidak langsung menjadi sasaran tetapi mengalami
penderitaan

2. Hubungan Korban dengan Peradilan Pidana

a. Sebagai korban

Hak-hak korban tercantum dalam KUHAP dan perundang-undangan lainnya. Korban harus
mengetahui hak-haknya dan tata cara memperoleh pemenuhan hak tersebut. LPSK sebagai
lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada saksi dan
korban. Selain itu penegak hukum juga sangat berperan dalam pemenuhan hak dan
perlindungan korban dan saksi. Masyarakat termasuk LSM berperan mendorong
terpenuhinya hak dan perlindungan korban dan saksi.
b. Korban sebagai saksi

Korban dapat bertindak atau dijadikan saksi di pengadilan dan dapat memberatkan.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti. Tentang hak, kewajiban dan perlindungan
saksi telah tercantum dalam perundang-undangan tentang perlindungan saksi dan korban. Inti
perlindungan saksi dalam KUHAP diuraikan sebagai berikut:

1) Keterangan korban sebagai saksi didengar terlebih dahulu (Pasal 160 ayat (1) b), hal
itu karena saksi korban adalah saksi penting atau utama sehingga dapat mejelaskan
permasakalahan serta sebagai bentuk perlindungan hak korban.
2) Tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menjerat kepada terdakwa dan saksi (Pasal
166)
3) Saksi dapat mengundurkan diri sebagai saksi bila merupakan keluarga sedarah dalam
garis keturunan dari terdakwa, atau saudara dari terdakwa (Pasal 168)
4) Boleh diperiksa tanpa sumpah untuk anak yang belum berumur 15 tahun atau belum
kawin, dan orang sakit ingatan atau sakit jiwa (Pasal 171)
5) Hakim ketua siding dapat mendengarkan keterangan saksi tanpa hadirnya terdakwa
(vide Pasal 173)

c. Korban sebagai Tersangka atau Terdakwa

Korban dapat menjadi tersangka karena korban adalah pelaku tunggal, pelaku berpura-pura
sebagai korban, pelaku kejahatan karena hasil rekayasa, pelaku kejahatan salah tangkap.
Apabila hal tersebut terjadi, maka penangannya sama dengan perkara pidana lain. Posisi
korban yang juga sebagai tersangka dapat memberatkan dan dapat pula meringankan.

Anda mungkin juga menyukai