Anda di halaman 1dari 19

Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang selalu


mendapat sorotan dari waktu ke waktu. Para pelakunya semakin lama
semakin rapih dan pandai dalam melakukan tindakan korupsi dan pada
akhirnya, secara hukum, banyak kasus-kasus korupsi sulit sekali
untuk dibuktikan.
Hal serupa juga pernah diutarakan oleh Baharuddin Lopa (alm.),
hingga kemudian muncul Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, merubah dan memperbaharui
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang memperkenalkan suatu metode baru dalam
hukum acara, khususnya mengenai pembuktian dalam hal terjadinya
tindak pidana korupsi, yaitu pembebanan pembuktian terbalik.1
Segala sesuatu yang menyangkut instrumen dalam rangka
menjerat para pelaku korupsi telah dipersiapkan oleh Pemerintah, mulai
dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut,
literature-literatur ilmiah, serta institusi yang dapat menyelesaikan
persoalan tersebut.
Menurut pendapat Prof. Satjipto, penanganan korupsi tidak dapat
hanya dilakukan dengan cara-cara yang biasa (ordinary measure),
Pemerintah tidak dapat hanya berpegang atau bersenjatakan peraturan
saja untuk mengatasi korupsi. Korupsi merupakan kejahatan yang luar
biasa (extra ordinary crime), karena itu penanganannya pun harus
2
dengan cara-cara yang luar biasa pula (extra ordinary measure).
Dalam proses peradilan pidana, salah satu alat bukti yang penting
adalah kesaksian. Demikian pentingnya posisi keterangan saksi sebagai

1
Indrianto Seno Adji, Sekilas Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2003, Hlm. 65
2
Reformasi Hukum Tinggal Kenangan; Jajak Pendapat Kompas, Kompas, 25 Mei 2003, Hlm 32.

1
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

alat bukti utama terlihat dengan ditempatkannya saksi dalam urutan


pertama alat bukti sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam proses peradilan tindak pidana korupsi, perlindungan
terhadap saksi, khususnya saksi pelapor, harus benar-benar
diperhatikan, mengingat bahwa hal ini berpengaruh terhadap jalannya
peradilan bagi para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dengan
adanya jaminan, saksi pelapor akan merasa tenang dalam memberikan
keterangan, sehingga proses penyidikan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana korupsi dapat terlaksana dengan baik.
Supaya perlindungan tersebut dapat diberikan sesuai dengan
standar hukum dan keadilan, maka sebaiknya perlindungan tersebut
perlu ditetapkan dan diatur dalam sebuah peraturan perundang-
undangan, yang mana dalam peraturan tersebut dapat diatur mengenai
beberapa hal penting, antara lain meliputi perlindungan baik fisik
maupun mental dari saksi pelapor, kerahasiaan identitas, dan lainnya.

2
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

PERMASALAHAN

Beberapa permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam


makalah ini, adalah :
- sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang
menyangkut pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi,
mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi pelapor;
- bagaimana dengan keberadaan ketentuan tersebut, bila ditinjau dari
sisi victimologi.

3
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

PEMBAHASAN

Perbandingan Antara Tindak Pidana Pada Umumnya dengan Tindak Pidana


Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat


personal, yaitu tindak pidana yang dilatarbelakangi oleh berbagai aspek
kejiwaan dari pelakunya, yang mana pada umumnya pelaku dari tindak
pidana ini merupakan seseorang yang memiliki kewenangan ataupun
kekuasaan. Setiap tindakan atau perbuatan manusia pastilah
ditentukan oleh kepribadian (persoonlijkheid) dan sikap kejiwaan
(geesteshouding dari mereka yang melahirkan tindakan tersebut, dan
juga efek dari tindakan tersebut di alam lahir atau dunia luar. 3
Dalam KUHP, kejahatan dibedakan menjadi kejahatan terhadap
kewenangan umum, keamanan umum, harta kekayaan, dan nyawa.
Dalam hal ini, tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai tindak
pidana terhadap harta kekayaan.
Dalam kaitannya dengan istilah korupsi, dalam perkembangan
hukum pidana material di Indonesia digunakan 2 istilah, yakni tindak
pidana dan perbuatan pidana. Korupsi menunjuk kepada sesuatu yang
berhubungan dengan ketidakjujuran seseorang.

Belajar Dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan


HAM

3
Hermin Hadiati Koeswadji, Korupsi di Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1994, Hlm.9.

4
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Di dalam rancangan Konvensi Anti –korupsi (Convention Against


Corupption), perlindungan bagi saksi pelapor atau korban diatur secara
tersendiri dalam Article 43, yang menyatakan :
“each state party shall take approciate measures within its means to
provide effective protection from potential retaliation or intimidation for
witnesses and experts in criminal proceedings who gives testimony
concerning offences covered by this Convention and, as appropriate, for
their relatives and other persons close to them”

Bahwa perlindungan terhadap pelapor, yang dalam istilah


internasionalnya whistle-blower secara gamblang juga diatur dalam
Article 13 (Participation of society) subparagraph 1(c) , yaitu :
“protection of person who have reported to the competent authorities in
good faith an on reasonable grounds, any incidents that may be
considered to constitute an offence as defined in this Convention”

Gambaran mengenai dasar dan alasan negara melindungi seorang


saksi pelapor di dalam perkara pidana adalah bahwa pada prinsipnya :
1. kewajiban negara untuk melindungi warganegaranya;
2. kemungkinan ketidakmampuan si pelaku kejahatan untuk
memberikan ganti rugi yang cukup;
3. sosiologi huku berpandangan bahwa kejahatan (korupsi) yang terjadi
adalah andil kesalahan masyarakat atau dalam kata lain, kejahatan
adalah anak kandung masyakat.

Saksi Pelapor Sebagai Viktim Menurut Viktimologi

Menurut Richard D. Knudten, viktimologi adalah suatu studi


tentang viktimisasi dan viktim sebagai ilmu pengetahuan yang berfokus
pada viktimisasi,viktim dan proses yang masuk dalam wilayah politik,

5
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

ekonomi, kekeluargaan, kriminologi, dan kesehatan/pengobatan.


Sedangkan lingkup pembahasan masalah victim atau korban ada 3
jenis, yaitu :
a) korban kejahatan;
b) korban bencana;
c) korban penyalahgunaan wewenang.

Konsep tentang victim dapat terjadi dengan 3 kemungkinan, yaitu dari


kejahatan karena perilaku manusia, karena bencana atau gabungan
antara perilaku manusia dan alam, atau akibat negara itu sendiri.
Dalam konsep internasional, dikenal dua kategori victim, yaitu victims of
crime dan victims of abuse of power yang dianggap bersumber dari
manusia atau negara.4

Sekalipun demikian, di dalam menerapkan ajaran tentang


viktimologi sebagai upaya untuk melindungi saksi pelapor dalam
perkara tindak pidana korupsi, diperlukan beberapa batasan tentang
korban yang terdiri dari 5 tipe, yaitu:
1) viktimisasi dua arah, yaitu dimana pembuat dan korban sama-sama
melakukan delik;
2) viktimisasi primer, dimana seorang individu yang menjadi korban;
3) viktimisasi sekunder, dimana korban tidak bersifat individu tetapi
suatu lembaga atau benda milik publik;
4) viktimisasi tersier, dimana masyarakat atau negara yang menjadi
korban; dan
5) tanpa viktimisasi (victimless crime) karena memang tidak ada korban
sebagai pihak yang dirugikan atau risiko yang ditanggung oleh
pelaku dan bukan orang lain.

4
Bambang Poernomo, Hukum dan Viktimologi; Bahan Kuliah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran, 2003

6
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Pada kasus-kasus korupsi, saksi pelapor seringkali merupakan orang


yang dirugikan, dalam arti bahwa diharuskan memberikan sejumlah
uang agar urusannya dapat diselesaikan, sebagai contoh kasus, pada
saat pembuatan KTP. Pada kasus tersebut, maka saksi pelapor tersebut
merupakan victim dari penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya
(abuse of power). Dengan demikian, posisi si pelapor haruslah
dilindungi, sekalipun dalam kenyataannya ia merupakan pelaku
penyerta (mede-plegen) dengan memberikan uang suap.
Posisi saksi sekaligus korban yang lemah juga diakibatkan oleh
posisi hukum pidana umum yang menjadi penguasa tanpa perlu
mengikutsertakan hak korban untuk menentukan keputusan dalam
forum badan peradilan yang menegakkan hukum dan berkembangnya
posisi negara yang berhak untuk menetapkan reaksi terhadap kejahatan
dianggap sebagai hak negara untuk melindungi keselamatan warganya.
Namun ternyata pendekatan posisi negara tersebut tidak muncul
sebagai tanggung jawab negara untuk mencegah keselamatan warganya
dari gangguan kriminalitas, sehingga tatkala perilaku negara
dilaksanakan oleh pejabat penegak hukum, maka yang terjadi adalah si
saksi pelapor menjadi korban dari penyalahgunaan wewenang pejabat,
sekaligus menjadi korban dari perilaku negara yang sangat berat kepada
sisi pelaku kejahatan saja.
Pejabat penegak hukum atas nama negara sebagai penguasa akan
tampak melakukan pelanggaran atas hak dan kewajiban korban,
demikian pula jika terdapat keputusan sanksi denda yang diterimakan
kepada negara, berarti tidak untuk menutup kerugian material atau
immaterial kepada korban. Dalam hal ini, korban telah kehilangan
haknya mendapat ganti rugi dan tuntutan lainnya secara individu,
dikarenakan anggapan bahwa negaralah satu-satunya berhak untuk
melakukan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran hukum pidana.

7
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Sehingga seringkali terjadi akibat korban ganda dari perilaku pembuat


delik dan dari perilaku pejabat penegak hukum atas nama negara.

Perlindungan Terhadap Korban Dalam Perundang-Undangan Indonesia

Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana positif, baik materiil


maupun formil, memberikan perhatian kepada korban secara langsung,
antara lain, terlihat dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Pasal 14 c dimana
Hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk
“mengganti kerugian” (semua atau sebagian) yang ditimbulkan dari
tindak pidana. Jadi, ganti rugi di sini seolah-olah berfungsi sebagai
pengganti pidana pokok. Namun, penetapan ganti rugi ini, meskipun
diperbolehkan, dalam kenyataannya sangat jarang diterapkan dalam
praktek karena mengandung beberapa kelemahan, yaitu :
a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh Hakim sebagai
sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, ia hanya
dapat dikenakan dalam hal Hakim bermaksud menjatuhkan
pidana bersyarat. Jadi, hanya sebagai “syarat khusus” dalam hal
tidak dilaksanakannya pidana pokok.
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya dapat
diberikan apabila Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama
1 tahun atau pidana kurungan.
c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini menurut KUHP hanya
bersifat fakultatif, tidak imperatif.
2. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 8 sub d. yang
memberikan kemungkinan kepada Hakim untuk menjatuhkan
sanksi “tindakan tata tertib” berupa kewajiban mengerjakan apa
yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa

8
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat,


yang semuanya atas biaya si terpidana. Sayangnya berdasarkan
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang tersebut, hukuman inipun hanya
bersifat fakultatif yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana pokok.
3. Pasal 34 sub c Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo. Pasal 18
ayat (1) sub c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana Hakim diberikan
peluang untuk menjatuhkan “pidana tambahan” berupa pembayaran
uang pengganti yang jumlah maksimalnya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari korupsi. Syarat ini merupakan pidana tambahan
dan jenis sanksinya bersifat fakultatif.
4. Bab XIII Pasal 98 – 101 KUHAP memberikan kemungkinan
penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.

Secara umum, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dibedakan antara saksi dan
pelapor. Kemudian, dalam hal adanya pihak yang memberikan uang dan
kemudian melaporkan suatu tindak pidana korupsi, Pasal 2 ayat (1) sub
b menyatakan :
“barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya
atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan itu”

Pasal ini menunjuk bahwa seorang pemberi suap yang kemudian


menjadi pelapor tentang adanya tindak pidana korupsi, justru dapat
ditarik menjadi terdakwa kasus tindak pidana korupsi itu sendiri.

9
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Tetapi untuk saksi justru diberikan perlindungan dalam


ketentuan UU No.3 Tahun 1971, yaitu suatu hak kepada saksi untuk
tidak perlu menyebutkan nama/alamat atau identitas lain yang
mungkin dapat diketahui oleh terdakwa. Perlindungan itu sudah
berlangsung sejak dari saat pemeriksaan pendahuluan saksi, sampai
pada saat pemeriksaan di muka pengadilan, dimana hakim memberikan
peringatan terlebih dahulu kepada saksi tentang adanya larangan
menyebutkan nama/alamat atau hal-hal yang memberi kemungkinan
diketahuinya identitasnya selaku saksi atau juga pelapor (vide Pasal 10
dan 19 UU No.3 Tahun 1971).

Salah satu referensi bila ingin berbicara tentang perlindungan


tehadap saksi adalah dalam UU RI No.26 tentang pengadilan Hak asasi
Manusia. Dalam UU ini sudah cukup jelas menerangkan tentang
perlindungan saksi.
Dalam bagian awal undang-undang ini perlindungan didefenisikan
sebagai suatu bentuk pelayanan wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman
baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan
pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan pengadilan.
Sedangkan Saksi didefenisikan sebagai orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.

10
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dalam undang-undang


ini dimaksudkan segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan
menghalang-halangi atau mencegah seseorang, sehingga baik langsung
maupun tidak langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat
memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Salah satu keunggulan dari undang-undang ini adalah konsep
teknis perlindungan terhadap saksi dan korban yang cukup detail dan
rinci dimana dalam undang-undang ini disebutkan setiap korban atau
saksi dalam pelanggaran hak asasi yang berat berhak memperoleh
perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan.

Perlindungan oleh parat penegak hukum dan parat keamanan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sejak tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.

Sebagaimana disebutkan di atas sebagai alat bukti keterangan


saksi sangat penting dan menentukan maka Perlindungan terhadap
saksi harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang
ini telah diatur bahwa perlindungan saksi tersebut secara teknis
meliputi :
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dan ancaman
fisik dan mental;
b. Perahasiaan identitas korban atau saksi;
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan
tanpa bertatap muka dengan tersangka.

11
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Yang lebih penting lagi, bahwa semua tahap-tahap pemeriksaan


yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan dilaksanakan
secara rapi dan terkoordinasi yang meliputi:
- Perlindungan terhadap saksi dan korban dilakukan berdasarkan
Inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan; dan/atau
- Permohonan yang disampaikan pula pada Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, (tahap penyelidikan), Kejaksaan (tahap penyidikan dan
penuntutan), Pengadilan(tahap pemeriksaan).
Bahkan pada undang-undang ini korban tidak dikenakan biaya apapun
atas perlindungan yang diberikan kepada dirinya. Segala biaya yang
diperlukan untuk perlindungan terhadap korban dan saksi dibebankan
pada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau
aparat keamanan.

ADAKAH PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM UNDANG-UNDANG


KORUPSI

Dalam undang-undang korupsi belum mengatur secara tegas


persoalan saksi pelapor, dalam peraturan ini hanya menyinggung
tentang peran serta tiap orang yang didelegasikan dengan peranan
masyarakat di dalam menanggulangi serta melakukan tindakan proaktif
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diantara peran serta
masyarakat yang jelas-jelas telah diatur dalam undang-undang ini
menyangkut persoalan, antara lain bahwa masyarakat dapat berperan
serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dapat berupa :
a) Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; ]
b) Hak memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana

12
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak


pidana korupsi;
c) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi;
d) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30
hari;
e) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,
dan c;
2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli,
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Masyarakat mempunyai hak dan bertanggung jawab dalam upaya


pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hak dan
tanggung jawab dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas
atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dengan mentaati norma agama dan norma sosial lainnya.
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut
dengan PP.
Perlu kiranya mendalami pemikiran tentang perlindungan saksi
berdasarkan undang-undang dan pokok pikiran di atas. Sehubungan
defenisi apa yang dapat diberikan pada perlindungan terhadap saksi
pelapor dalam tindak pidana korupsi. Terdapat beberapa hal
penting yang harus kita pahami substansinya sehubungan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi diantaranya adalah :

13
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

1. Persoalan perlindungan saksi dan batasannya


Perlindungan didefenisikan sebagai suatu bentuk pelayanan yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,
kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan.

2. Saksi Pelapor dan batasannya


Saksi didefenisikan sebagai orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang perkara tindak pidana korupsi manusia yang ia dengar
sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun (HAM)

3. Pengertian Ancaman
Ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dimaksudkan segala
bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang-halangi
atau mencegah seseorang, sehingga baik langsung maupun tidak
langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan
keterangan yang benar untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (HAM)

4. Pengertian Pelapor
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak
menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan
yang merugikannya (KUHAP)

14
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam


perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (KUHAP)

5. Sistem teknis apa yang dapat digunakan


Salah satu keunggulan dari undang-undang ini adalah konsep teknis
perlindungan terhadap saksi dan korban yang cukup detail dimana
dalam undang-undang ini disebutkan Setiap korban atau saksi
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak
memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat
keamanan.
Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
sebagaimana dimaksud dalam poin 1, diberikan sejak tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.

Sebagaimana disebutkan di atas sebagai alat bukti keterangan


saksi sangat penting dan menentukan maka Perlindungan terhadap
saksi harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang
ini telah diatur bahwa perlindungan saksi tersebut secara teknis
meliputi:
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dan ancaman
fisik dan mental;
b. Perahasiaan identitas korban atau saksi;
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan
tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Yang lebih penting lagi semua tahap-tahap pemeriksaan yang


dimulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan dilaksanakan secara

15
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

rapi dan terkoordinasi, meliputi perlindungan terhadap saksi dan


korban dilakukan aparat penegak hukum dan aparat keamanan,
bahkan pada undang-undang ini korban tidak dikenakan biaya apapun
atas perlindungan yang diberikan kepada dirinya. Segala biaya yang
diperlukan untuk perlindungan terhadap korban dan saksi dibebankan
pada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau
aparat keamanan.

16
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

KESIMPULAN

Bila ditinjau dari segi istilah “Korupsi” yang berasal dari kata
“corrupteia”, yaitu yang dalam bahasa latin berarti “bribery” atau
“seduction”, maka yang diartikan dengan “corrupto” dalam bahasa latin
ialah “corrupter” atau “seducer”. Dari kata “bribery” tersebut kemudian
dapat diartikan sebagai memberikan/menyerahkan kepada seorang
untuk agar orang tadi berbuat untuk/guna keuntungan (dari) pemberi.
Sedang yang diartikan dengan “seductin” ialah sesuatu yang menarik
untuk membuat seseorang menyeleweng. “seduction” ialah “very
attractive and charming, likely ti lead a person astray (but often with no
implication of Immorality. Sedang “bribery” ialah “Promised to subject in
order to get him to do something (often something wrong) in favour of the
giver”.5
Berdasarkan penjelasan di atas tindak pidana korupsi menunjuk
kepada sesuatu yang bersangkut paut dengan ketidakjujuran seseorang
dalam hubungannya dengan sifatnya yang menarik keuntungan, atau
demi keuntungan yang memberi, bahkan bisa membuat seseorang yang
menyeleweng.
Dari sifatnya yang sangat ini maka Kedudukan saksi pelapor
sangat penting dalam kaitannya penegakan hukum bagi pelaku tindak
pidana ini sehingga perlu kiranya aturan yang jelas tentang
5
Hermien Hadiati Koeswadji,Loc.Cit.,Hal.32

17
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

perlindungan saksi pelapor tersebut agar hak-hak dan kebebasan


asasinya dalam mengungkapkan fakta-fakta yang didapatkannya tidak
mendapat penghalang yang berarti terlebih-lebih apabila hal itu malah
menjadi bumerang bagi diri saksi pelapor tersebut. Apabila hal ini
terjadi maka sampai kapanpun Negara Republik Indonesia ini tidak
akan pernah bersih dari tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :
1. Adji, Indriyanto Seno, Sekilas Korupsi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta, 2003.
2. Koeswadji, Hermien Hadiati, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan
ke Tidak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994
3. Poernomo, Bambang, Hukum dan Viktimologi, Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003
4. Prodjohamidjoyo, Martiman, Memahami dasar-dasar Hukum Pidana
Indonsesia, Jilid 1 dan 2, Pradnya Paramita, Jakarta,1997.
5. Pudjiarto, Harun, Politik Hukum Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,Yogyakarta, 1994.

Non Buku :
1. Himpunan peraturan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Kumpulan
Peraturan Pemerintah Daerah 1999, Eko Jaya, Jakarta,1999
2. Reformasi Hukum Tinggal Kenangan; Jajak Pendapat Kompas, Harian
Kompas, Jakarta, 25 Mei 2003.

18
Perlindungan Saksi Pelapor Pada Kasus Tindak Pidana Korporasi

19

Anda mungkin juga menyukai