Anda di halaman 1dari 27

1

A. Latar Belakang Masalah

“Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah

masalah Korupsi.”1 Perbuatan Korupsi selalu menjadi perhatian yang lebih

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia, “fenomena

ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak

pidana korupsi, karena dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dapat

menyentuh berbagai bidang kehidupan.”2

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat definisi tentang korupsi, yaitu

terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 yang memuat perbuatan yang dilarang dan

dikategorikan sebagai perbuatan pidana korupsi. Dalam pemberantasan korupsi

akhir – akhir ini sering terdengar istilah Whistle-Blower sebagai salah satu upaya

dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi.

Peran serta masyarakat tentunya juga menjadi faktor pendukung yang

tidak terpisahkan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini

penulis akan memfokuskan analisis terkait dengan Peran Whistle-Blower dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut sejarahnya, munculnya istilah

Whistle-Blower berasal dari praktik petugas Inggris yang akan meniup peluit

ketika mereka melihat kejahatan, peluit juga akan memberitahu aparat penegak

hukum lainnya dan masyarakat umum dari bahaya. Dengan demikian, selanjutnya

Whistle-Blower dikonotasikan sebagai “peniup peluit”. Apabila

dikonstektualisasikan di Indonesia, bisa dianalogikan sebagai “Pemukul


1
Igm Nurdjana, 2010, Sistem Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, “Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 1.
2
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
2

Kentongan”, bahwa pemukulan kentongan aparat pengamanan tradisional (patroli

keliling) memberikan tanda pemberitahuan bahwa telah terjadi sesuatu peristiwa

baik berupa kejahatan (pencurian, perampokan, dan lain-lain). Oleh karena itu,

berdasarkan kedua konotasi (peniup peluit atau pemukul kentongan) tersebut

dapat dikatakan bahwa Whistle-Blower identik dengan pengungkapan fakta atau

pembocor rahasia dari suatu peristiwa kejahatan.3

Whistle-Blower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas

yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan

kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu

kejahatan dapat diungkap atau terbongkar. Seorang Whistle-Blower merupakan

orang “dalam”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan

yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu

terorganisir, maka seorang Whistle-Blower kadang merupakan bagian dari pelaku

kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu

mengungkapkan kejahatan yang terjadi. Dengan demikian,seorang Whistle-

Blower benar – benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena

berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga

melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau intitusi pemerintah.

Laporan yang disampaikan oleh Whistle-Blower merupakan suatu peristiwa

faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut, bukan informasi yang

bohong atau fitnah. Whistle-Blower berperan untuk pengungkapan tindak pidana

korupsi, karena Whistle-Blower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam

3
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator, PT.
Alumni, Bandung, 2015, hlm. 40.
3

institusi dimana ditenggarai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam,

seorang Whistle-Blower merupakan orang yang memberikan informasi telah

terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang Whistle-Blower ini biasanya

merupakan orang yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi namun mengetahui

tentang terjadinya tindak pidana korupsi atau pemufakatan jahat.

Problematika yang dihadapi di Indonesia saat ini bahwa Pengaturan

Whistle-Blower belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara

khusus tentang Whistle-Blower, ketentuan di dalam KUHAP hanya mengatur

tentang hak-hak seorang pelaku dalam proses peradilan pidana, hingga saat ini

Pengaturan tentang Whistle-Blowersecara eksplisit hanya terdapat dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor

tindak pidana (Whistle-Blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice

Colaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini dalam fungsinya

hanya sebagai surat dinas yang menurut penjelasan atau petunjuk tentang cara

pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup

kewenanganya sehingga SEMA ini belumlah cukup untuk memberikan landasan

hukum tentang Whistle-Blower.

Demikian halnya dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan

Perundang-undangan Bersama Aparat Penegak Hukum (Kementerian Hukum dan

HAM, Kejagung, POLRI, KPK, dan LPSK) tanggal 14 Desember 2011 tentang

Perlindungan bagi Pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerjasama.

Dalam penerapannya belum dapat menjadi dasar hukum yang kuat tentang

Whistle-Blower dalam peradilan pidana oleh Aparat Penegak Hukum, karena


4

Peraturan bersama ini hanya bersifat petunjuk teknis bagi aparat penegak hukum

yang berada di intansinya masing-masing sehingga tidak mempunyai kekuatan

yang mengikat seperti halnya undang-undang.

Bertolak dari hal tersebut diatas perlu dikaji dan diteliti dalam berkaitan

dengan “Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-Blower Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang-

Undangan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Whistle-Blower Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Peraturan

Perundang-Undangan?

2. Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana Kedepan Dalam Rangka

Perlindungan Hukum Terhadap Whistle-Blower?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mengetahui Perlindungan Hukum Terhadap

Whistle-Blower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam

Perspektif Peraturan Perundang-Undangan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis Kebijakan Hukum Pidana Kedepan

Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Whistle-Blower.


5

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat secara teoritis, Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pendapat atau manfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia khususnya

yang berkenaan dengan ketentuan hukum pidana yang lebih lengkap

mengenai Whistle-Blower dalam pembuktian kasus tindak pidana korupsi

menurut sistem peradilan di Indonesia.

2. Manfaat secara Praktis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi

kontribusi alternatif pemecahan masalah yang timbul dewasa ini, berkaitan

dengan fungsi Whistle-Blower dalam pembuktian kasus tindak pidana

korupsi menurut sistem peradilan pidana Indonesia.

E. Kerangka Konseptual

Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam menghindari penafsiran

yang berbeda-beda dalam mengartikan istilah yang digunakan dalam penelitian

ini, maka penulis memberikan batasan dan konsep terkait terhadap judul ini

dengan memberikan definisi-defenisi dari berbagai istilah yang ada, yaitu sebagai

berikut :

1. Pengertian Perlindungan Hukum

“Perlindungan Hukum berasal dari kata lindung yang artinya

menempatkan diri dibawah sesuatu, supaya tersembunyi. Sedangkan perlindungan

memiliki pengertian suatu perbuatan, maksudnya melindungi, memberi

pertolongan”.4 Menurut Sudikno Mertokusumo Perlindungan hukum adalah

4
Wjs. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1961,
hlm. 40.
6

“adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi

kepentingan sendiri di dalam hubungan dengan manusia lain”.5

Perlindungan Hukum adalah Penyempitan arti dari perlindungan, dalam


hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan
oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini
yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya
dengan sesam manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum
manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan
hukum.6

Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 Butir 6 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

menentukan bahwa “perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban

yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK)

atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

Peraturan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap saksi

pelapor pertama, dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perlindungan yang diberikan oleh undang

-undang ini yang berkenaan dengan perlindungan terhdap Saksi sedikit

disinggung dalam pasal 41 ayat (2) huruf e, yang menjelaskan bahwa masyarakat

yang berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Kedua, pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Jo Undang-

Undang Nomor 19 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur

5
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Jogjakarta, 2011,
hlm. 9.
6
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hlm. 102.
7

bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkewajiban memberikan

perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan mengenai

terjadinya korupsi. Yang dimaksud dengan “memberi perlindungan” dalam

ketentuan tersebut melingkupi pemberian perlindungan hukum, jaminan

keamanan, bahkan jika perlu mengganti identitas pelapor.

Ketiga Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa saksi dan korban berhak

memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,

serat bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan datang,

sedang atau telah diberikannya. Bahkan seorang saksi dan korban dapat ikut serta

memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan baginya.

2. Tindak Pidana Korupsi

Menurut M. Sudrajat Bassar, bahwa tindak pidana korupsi adalah

“perbuatan pidana, perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.7 Selain

itu, menurut Pompe yang dikutip Bambang Poernomo, menyatakan sebagai

berikut :

a. Defenisi menurut teori memberikan pengetian strabaarfeit adalah suatu

pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar

dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan

menyelamatkan kesejahteraan umum.

7
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta, 2011, hlm.3.
8

b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaarfeit

adalah suatu kejadian (fiet) yang oleh peraturan undang-undang

dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum.8

Sedangkan Simons, menyatakan juga bahwa :”Strafbaarfeit adalah suatu

perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang

yang dapat dipertanggungjawabkan”.9

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Ensiklopedia Indonesia :

“Korupsi” (berasal dari bahasa latin, corruption sama dengan penyuapan; dari

corrumpere sama dengan merusak). Gejala di mana para pejabat badan-badan

Negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya

penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya. Kamus Besar

Bahasa Indonesia memberikan pengertian tentang “korupsi” sebagai

penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan) untuk keuntungan

pribadi atau orang lain.10“Corruptus” yang disalin keberbagai bahasa. Misalnya

disalin dalam bahasa Inggris menjadi Corruption atau corrupt, dalam bahasa

Perancis menjadi corruption, dan bahasa belanda disalin menjadi corruptie

(korruptie).11

8
Bambang Poernomo, Azas – Azas Hukum Pidana,Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.
91.
9
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa,
Yogyakarta, 2010, hlm. 74.
10
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi, Kajian Terhadap Harmonisasi
antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC),PT.
Rafika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 20.
11
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006,
hlm. 1.
9

Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”12

3. Whistle-Blower

Whistle-Blower adalah seseorang yang memberikan laporan atau kesaksian

mengenai suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum, dapat dipahami

sebagai saksi pelapor, namun dia juga termasuk sebagai tersangka atau ikut

terlibat dalam tindak pidana tersebut dan kesaksian yang dilaporkan yang pertama

kali, sehingga dengan laporan tersebut dapat mengungkapkan suatu tindak pidana

yang terjadi. Whistle-Blower merupakan alat bukti penting dalam melawan

kejahatan terorganisir seperti dugaan tindak pidana korupsi. Sebagai orang dalam

yang menjadi bagian dari lingkungan tempat informasi yang dia bocorkan,

tentulah sangat faham mengenai apa dan bagaimana modus kejahatan yang selama

ini terbungkus rapi dan bersifat rahasia bagi publik dan aparat hukum.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia Whistle-Blower

seringkali disamakan dengan pelapor. Dalam prakteknya dibedakan antara

Whistle-Blower dengan para pelapor dan informan. Perbedaan utamanya adalah

para Whistle- Blower tidak akan memberikan kesaksianya ke muka persidangan

12
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
10

(peradilan), jadi jika ia memberikan kesaksiannya ke muka persidangan maka

statusnya menjadi saksi.13

Whistle-Blower memegang peran dalam membingkar bermacam

pelanggaran hukum atau kejahatan, mal administrasi, kecurangan, mis

manajemen, salah pengurusan, kelalaian yang memiliki dampak yang merugikan

bagi publik. Whistle-Blower tidak hanya dikenal dalam pengungkapan tindak

pidana tetapi perbuatan curang lainnya baik yang merugikan masyarakat (public

sector) maupun perusahaan (private sector) dalam perkara perdata, perburuhan,

kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain.14

4. Pembuktian

Lembaga peradilan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat

penting didalam menerima, mengadili dan memutuskan setiap perkara yang

diajukan kepadanya. Perkara yang diajukan kepadanya terdiri atas perkara

perdata, perkara pidana, tata usaha negara maupun perkara lainnya. Di dalam

memutuskan perkara, pengadilan harus memperhatikan alat-alat bukti, tidak hanya

tercantum dalam gugatan, tetapi juga memperhatikan juga alat-alat bukti lainnya.

Seperti, saksi, bukti tertulis dan lainnya. Bukti-bukti itu, harus dinilai oleh hakim

didalam memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Di dalam menilai alat-

alat bukti itu, hakim terikat pada norma-norma hukum dan berbagai teori yang

berkaitan dengan pembuktian.15

13
http://repository.widyatama.ac.id/bitstream/handle/10364/1042/bab1-2.pdf?sequence=3,
diunduh pada hari Minggu, 02 Januari 2022 Pukul 14.00 WIB
14
A.H. Semendawai, Perlindungan Saksi dan Korban sebagai Whistleblower dalam
Lingkup Pengawasan Internal Kementrian atau Lembaga, bahan paparan,
http://www.slideshare.net, yang diunduh pada hari Senin, 03 Januari 2021, Pukul 00.43 WIB.
15
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi Dan Tesis (Buku Ketiga), Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hlm.215.
11

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem dianut dalam

pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.16

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan

mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian

dalam pasal 183 bahwa : “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 17 Dan jenis-jenis alat bukti yang sah

menurut hukum, yang tertuang dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :

(1) Keterangan saksi;

(2) Keterangan ahli;

(3) Surat;

(4) Petunjuk; dan

(5) Keterangan terdakwa; 18

5. Sistem Peradilan Pidana

Black Law Dictionary, Mengartikan criminal justice system sebagai “the

network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s

16
Hari Sasangka dan Lity Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003, hlm. 10.
17
Pasal 183 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
18
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
12

enforcement”. Adapun menurut Mardjono Reksediputro, sistem peradilan pidana

(criminal justice system) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi di sini harus diartikan sebagai

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi.19

Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengatakan yang dimaksud dengan

sistem peradilan pidana adalah sistem pengadilan kejahatan yang terdiri dari

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.

Berdasarkan pendapat Mardjono Reksodiputro di atas, dapat dilihat bahwa Sistem

Peradilan Pidana atau Criminal Justice System kini telah menjadi suatu istilah

yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan

mempergunakan dasar pendekatan sistem. Sistem peradilan pidana merupakan

sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat

menggangu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat. Sistem peradilan

pidana juga merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan

terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.

Pelaksanaan sistem peradilan pidana sebagai alat untuk penanggulangan

kejahatan dilakukan dengan cara mengajukan para pelaku kejahatan di pengadilan

sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para

calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.20

F. Landasan Teoritis

Landasan teori dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk

mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau


19
Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2017, hlm. 18.
20
Ibid., hlm. 19
13

objek masalah yang diteliti dengan cara mengkontruksi keterkaitan atara konsep

secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam

tesis ini mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-Blower Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang -

Undangan” Maka teori yang dijadikan kerangka pemikiran teoritis dalam

penelitian ini sebagai berikut :

1. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Menurut Carl Friedrich, “kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusul

oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang

memberikan hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk

menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau

merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu”.21

“Mahfud MD menerangkan pengertian kebijakan hukum atau politik

hukum adalah “legal policy” atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang

akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan

penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan

demikian, politik hukum atau kebijakan hukum merupakan pilihan tentang

hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan hukum-hukum yang

akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk

mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945”.22

21
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, hlm.
16.
22
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2018, hlm. 1.
14

Selanjutnya Satjipto Rahardjo memberikan definisi mengenai politik

hukum sebagai berikut:

Politik hukum sebagai aktivasi memilih dan cara yang hendak dipakai
untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu didalam
masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan
mendasar, yaitu:
a. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada.
b. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik yang bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut.
c. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan.
d. Dapat dirumuskan suatu pola yang bisa memutuskan kita dalam proses
pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.23

Dalam hukum pidana dikenal adanya kebijakan hukum pidana (penal

policy) yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

a. Tahap Formulasi (kebijakan legislatif), adalah tahap penetapan atau


perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut
juga tahap penegakan hukum “in abstracto” oleh badan pembuat
undang-undang.
b. Tahap Aplikasi (kebijakan yudikatif/ yudisial), adalah tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat penegak hukum melalui dari kepolisian,
kejaksaan sampai ke pengadilan.
c. Tahap Eksekusi (kebijakan eksklusif/administratif), adalah tahap
pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaan atau eksekusi pidana.24

Teori kebijakan hukum pidana yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagaimana pendapat dari A.Mulder bahwa garis kebijakan untuk menentukan :

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah


atau diperbaiki.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan, dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.

23
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2014 hlm. 398-399.
24
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007,
hlm. 126.
15

Berkaitan dengan tujuan teori kebijakan hukum pidana, tidak hanya

mendapatkan kepastian hukum akan tetapi juga mendatangkan kemanfaatan dan

keadilan.

a) Kepastian Hukum

Kepastian adalah keadaan yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Sedangkan

kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat dan diundangkan

secara pasti yang mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak

menimbulkan multitafsir serta satu sistem norma dengan norma lain sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Kepastian hukum menurut Utrecht ialah mengandung dua pengertian,

yaitu pertama, adanya aturan yang sifatnya umum membuat individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya

aturan yang bersifat umum tersebut. “Individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu”.25

Menurut Tan Kamello, “Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum

(certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma

dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik

dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan

pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian

hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip

hukum undang-undang tersebut”.26


25
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm. 23.
26
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 117.
16

Menurut Sudikno Mertokusumo, “kepastian hukum adalah jaminan bahwa

hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya

dan bahwa putusan dapat dilaksanakan”.27

b) Kemanfaatan Hukum

Kemanfaatan hukum merupakan salah satu tujuan hukum. Hukum yang

baik mendatangkan kemanfaatan bagi manusia. Kemanfaatan juga diartikan

kebahagiaan, sehingga dalam pelaksanaan penegakan hukum, masyarakat

mengharapkan adanya kemanfaatan. “Karena hukum untuk manusia, maka

pelaksanaannya haruslah memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat,

jangan sampai akan berakibat sebaliknya”.28

Menurut Jeremy Bentham merupakan aliran Utilitarianisme bahwa

bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada

banyak orang secara moral dan apakah kebijakan atau tindakan tertentu membawa

manfaat atau hasil yang berguna atau sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang

terkait. Jika dikaitkan pada hukum maka baik buruknya hukum diukur yang

dihasilkan oleh penerapan hukum. “Menurut John Stuart Mill bahwa suatu

perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagiaan.

Standar keadilan hendaknya berdasarkan kegunaannya sehingga adanya

kesejahteraan umat manusia”.29

c) Keadilan Hukum.

27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 2007,
hlm. 160.
28
Margono, Asas-Asas Keadilan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar
Grafika, Jakarta, 2019, hlm. 111.
29
H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), PT Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm. 44.
17

“Keadilan adalah nilai penting dalam hukum yang sifatnya subjektif,

sehingga keadilan dapat dilihat dua pengertian pokok yaitu pengertian formal

yang berarti menuntut berlakunya secara umum, sedang pengertian materil berarti

setiap hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat”.30

Keadilan menurut Plato merupakan bahwa kemampuan untuk

memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing. 31 Keadilan

menurut Aristoteles dibagi dalam dua macam keadilan, keadilan “distributif”

adalah keadilan dalam pendistribusian kekayaan atau kepemilikan lainnya kepada

masing-masing masyarakat. Sedangkan keadilan “korektif” adalah keadilan yang

bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini hubungan

antara satu orang dengan orang lain yang merupakan keseimbangan antara apa

yang diberikan dengan apa yang diterima.32

Keadilan menurut John Rawls adalah kebaikan utama dari lahirnya

institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi kebaikan bagi seluruh

masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari

setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah

pencari keadilan.33

Keadilan menurut Hans Kelsen dalam bukunya “General Of Law and

State”, hukum yang sebagai tatanan sosial yang dinyatakan adil apabila dapat

mengatur perbuatan manusia dengan cara memuaskan hingga menemukan

30
Margono, Op. Cit, hlm. 105-106.
31
Ibid, hlm. 107.
32
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2003.
33
Pan Muhammad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor
1, April 2009, hlm. 139.
18

kebahagiaan di dalamnya. Sebagai aliran “positivisme” Hans Kelsen mengakui

bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni dari hakikat suatu benda atau

hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Doktrin hukum

alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan manusia yang berbeda

dari hukum positif.34

2. Teori Perlindungan Hukum

Terkait dengan teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang

menjelaskan bahasan ini, antara lain Fitzgerald, Satjipto Raharjo, Philipus M

Hanjon dan Lily Rasyidi.

Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond bahwa

hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan

dalam masyrakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan

terhdap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan membatasi berbagai

kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan

kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk

menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan

hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu

ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat

yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur

hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan

dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.35

34
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh rasisul Muttaqien,
Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 7-11.
35
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53.
19

Menurut Satjipto Rahardjo, “Perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-

hak yang diberikan oleh hukum”36

Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi


rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan refresif.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati – hati
dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang
refresif bertujuan mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya
di lembaga peradilan.37

Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan LB Wysa Putra bahwa “hukum dapat

difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adatif

dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif”.38

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa perlindungan

hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan

tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Perlindungan hukum addalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek

hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun

dalam bentuk yang berifat refresif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis

dalam rangka menegakan peraturan hukum.

Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian

bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi pelapor atau korban,

36
Ibid., hlm. 69.
37
Ibid., hlm. 54.
38
Lili Rasjidi dan L.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakrya,
Bandung, 1993, hlm. 118.
20

perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan

masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk.

3. Teori Pembuktian

Secara teoritik dikenal 3 (tiga) teori sistem pembuktian, Teori Hukum

Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif; Teori Hukum Pembuktian

Menurut Keyakinan Hakim; dan Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-

Undang Secara Negatif, sebagai berikut :

1. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Postif

Pada dasarnya teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara

positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, teori hukum

pembuktian positif tergantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara

limitatif dalam undang-undang. Undang-undang telah menentukan tentang adanya

alat-alat bukti mana yang dapat diapakai hakim, cara bagaimana hakim harus

mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya

hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.

Hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti telah dipakai sesuai ketentuan

undang-undang, hakim mestinya menentukan terdakwa bersalah, walaupun hakim

“berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Dalam perkembangan

dengan titik tolak aspek negatif dan positif maka baik secara teoritik dan praktik

teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif tidak pernah

diterapkan lagi.

2. Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan


21

Pada teori hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim

dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat

oleh peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging). Lebih lanjut teori hukum

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi,

yaitu : “Conviction Intime” maka kesalahan terdakwa tergantung “keyakinan”

belaka sehingga hakim tidak terikan oleh suatu peraturan (blootgemoedelijke

overtuiging, conviction intime). Dengan demikian, putusan hakim disini nampak

timbul nuansa subyektifnya. Misalnya dalam putusan hakim dapat berdasarkan

pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain sebagainya sebagaimana pernah

diterapkan pada praktik pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.

3. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

Pada prinsipnya teori hukum pembuktian menurut undang-undang negatif

menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa

apabila ata bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan

didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti

tersebut. Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut undang-

undang secara negatif, hakikatnya merupakan “peramuan” antara teori hukum

pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori hukum pembuktian

berdasarkan keyakinan hakim. Dengan peramuan ini, maka subtansi teori hukum

pembuktian menurut undang-undang secara negatif tentulah melekat adanya

anasir prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti tersebut

hakim baik secara material maupun secara prosedural.

G. Metode Penelitian
22

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah normatif atau yang sering juga disebut penelitian

yuridis normatif. Sifat normatif penelitian hukum dikaitkan dengan karakter

keilmuan hukum itu sendiri.39 Karena itu pemilik metode penelitian senantiasa

dibatasi rumusan masalah, objek yang diteliti, dan tradisi keilmuan hukum itu

sendiri. Penelitian yuridis normatif, kajiannya terfokus pada hukum positif dengan

aspek sebagai berikut : ‟1) mempelajari aturan dari segi teknis, 2) berbicara

tentang hukum, 3) berbicara hukum dari segi hukum, 4) berbicara problem hukum

yang konkrit. ‟Tugas utama ilmu hukum normatif menurut D. Meuwissen, adalam

:‟1) deskripsi hukum positif, 2) sistematika hukum positif, 3) interoretasi hukum

positif, 4) analisis hukum positif, dan 5) menilai hukum positif”40

Berkaitan dengan penelitian hukum normatif, Bahder Johan Nasution

menjelaskan sebagai berikut :41

“Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data dan fakta sosial,

karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum

yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahan-bahan hukum tersebut

terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, peraturan perundang-undangan, Yurisprudensi,

Traktat, Conversi yang diratifikasi.

39
Sahuri Lasmadi,Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum
Pidana Indonesia, Disertasi Pasca Sarjana Universitas Air Langga, Surabaya, 2003, hlm. 64.
40
Ibid., hlm. 65.
41
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008,
hlm. 86-88.
23

2. Bahan hukum sekunder, buku-buku ilmu hukum, Jurnal ilmu hukum,

Laporan penelitian hukum, Artikel ilmiah hukum, dan Bahan seminar,

Lokakarya dan sebagainya.”

Pelitian hukum normatif adalah penelitian kepustakaan yang meneliti

bahan pustaka atau data sekunder dan data primer dengan mempelajari sumber-

sumber atau bahan tertulis berupa buku-buku, artikel, koran dan majalah dengan

membaca, menafsirkan, membandingkan serta menerjemahkan dari berbagai

sumber yang berhubungan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Peran

Whistleblower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif

Peraturan Perundang-Undangan.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan beberapa pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Diterapkannya Statute Approach dalam penelitian ini karena secara

logika hukum, penelitian normatif didasarkan pada penelitian yang

dilakukan terhadap bahan hukum yang ada. Dengan kata lain suatu

penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan Perundang-

undangan, karena akan diteliti adalah peraturan perundang-undangan

dari undang-undang sampai dengan peraturan yang berkaitan dengan

penelitian ini.

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)


24

Digunakan concetual Approach karena penelitian ini meneliti tentang

“Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-Blower Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan

Perundang-undangan”. Maka penting bagi penulis mempedomani

doktrin-doktrin dan konsep-konsep yangberkaitan dalam penelitian

ini.

c. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Penggunaan Historical Approach mutlak digunakan karena penelitian

ini yang dibahas “Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-

Blower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam

Perspektif Peraturan Perundang-undangan”, maka perlu dipaparkan

sejarah dan latar belakangnya sebagai pedoman dalam memberikan

masukan kepada pembuat kebijakan.

d. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Digunakan Pendekatan Kasus dalam penelitian ini untuk mengetahui

pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan yang berkaitan

dengan “Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-Blower Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan

Perundang - Undangan”.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier dengan menggunakan sistem arsip pada komputer (computerise

filling system). Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses penganalisisan.


25

Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh melalui berbagai sumber hukum.

Sedangkan bahan hukum yang diteliti meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu perangkat peraturan perundang – undangan

yang berkaitan dengan “Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-

Blower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif

Peraturan Perundang-undangan”.

b. Bahan hukum sekunder yaitu hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-

hasil penelitian, literatur karya para ahli hukum yang menyangkut hukum

pidana secara umum, serta literatur yang berkaitan dengan “Perlindungan

Hukum Terhadap Peran Whistle-Blower Dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan”

c. Bahan hukum tersier yang diteliti adalah berkaitan dengan esiklopedia, dan

berbagai kampus hukum yang relean dengan penelitian.

4. Analisis Bahan Hukum

Dalam melakukan analisis bahan hukum diterapkan teknik-teknik sebagai

berikut :

1. Tehnik Inventarisir berupa pengumpulan bahan-bahan hukum, norma

hukum dengan cara melihat isi dari berbagai macam peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan “Perlindungan Hukum Terhadap

Peran Whistle-blower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan”.


26

2. Tehnik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan suatu

norma hukum aturan peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun tidak sederajat.

3. Teknik interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum yang tidak

jelasnya rumusanya harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang

jelas dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang

dihadapi.

H. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam 5(lima) bab,

masing-masing bab terdiri dari atas beberapa subbab guna lebih memperjelas

ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun sistematikanya

adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian

dan Sistematika Penulisan.

BAB II Tinjauan Teoritis Tentang Tindak Pidana Korupsi, Sebab-Sebab Dan

Latar Belakang Timbulnya Korupsi Di Indonesia Dengan Uraian ;

Pengertian Tindak Pidana Korupsi, Latar Belakang Korupsi Dan

Akibat Korupsi, Teori-Teori Korupsi.

BAB III Pada Bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang

Perlindungan Hukum Terhadap Peran Whistle-Blower Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan

Perundang-Undangan dengan sub pokok bahasan : Sifat Melawan


27

Hukum, Kesalahan, dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Undang-

Undang; Penerapan Sifat Melawan Hukum, Kesalahan, Tindak

Pidana, dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Putusan Hakim.

BAB IV Pada Bab ini menguraikan lebih lanjut tentang Kebijakan Hukum

Pidana ke Depan Dalam Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap

Whistle-Blower, dan Prosedur Mendapatkan Perlindungan Hukum

bagi Whistle-Blower.

BAB V Merupakan Bab penutup yang berisikan bagian akhir dari penulisan

ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dibuat

merupakan jawaban singkat terhadap permasalahan yang telah

dirumuskan pada Bab I, sedangkan saran merupakan sumbangan

pemikiran terhadap permasalahan yang telah dibahas pada Bab III dan

IV. Saran ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam

pengembangan Ilmu Hukum.

Anda mungkin juga menyukai