“Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah
ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak
pidana korupsi, karena dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dapat
terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 yang memuat perbuatan yang dilarang dan
akhir – akhir ini sering terdengar istilah Whistle-Blower sebagai salah satu upaya
tidak terpisahkan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini
Whistle-Blower berasal dari praktik petugas Inggris yang akan meniup peluit
ketika mereka melihat kejahatan, peluit juga akan memberitahu aparat penegak
hukum lainnya dan masyarakat umum dari bahaya. Dengan demikian, selanjutnya
baik berupa kejahatan (pencurian, perampokan, dan lain-lain). Oleh karena itu,
yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan
kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu
orang “dalam”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan
yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu
kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu
Blower benar – benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena
berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga
faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut, bukan informasi yang
korupsi, karena Whistle-Blower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam
3
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator, PT.
Alumni, Bandung, 2015, hlm. 40.
3
institusi dimana ditenggarai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam,
merupakan orang yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi namun mengetahui
tentang hak-hak seorang pelaku dalam proses peradilan pidana, hingga saat ini
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor
Colaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini dalam fungsinya
hanya sebagai surat dinas yang menurut penjelasan atau petunjuk tentang cara
HAM, Kejagung, POLRI, KPK, dan LPSK) tanggal 14 Desember 2011 tentang
Perlindungan bagi Pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Dalam penerapannya belum dapat menjadi dasar hukum yang kuat tentang
Peraturan bersama ini hanya bersifat petunjuk teknis bagi aparat penegak hukum
Bertolak dari hal tersebut diatas perlu dikaji dan diteliti dalam berkaitan
Undangan”
B. Rumusan Masalah
Perundang-Undangan?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Kerangka Konseptual
ini, maka penulis memberikan batasan dan konsep terkait terhadap judul ini
dengan memberikan definisi-defenisi dari berbagai istilah yang ada, yaitu sebagai
berikut :
4
Wjs. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1961,
hlm. 40.
6
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban
yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK)
disinggung dalam pasal 41 ayat (2) huruf e, yang menjelaskan bahwa masyarakat
yang berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
5
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Jogjakarta, 2011,
hlm. 9.
6
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hlm. 102.
7
Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa saksi dan korban berhak
serat bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan datang,
sedang atau telah diberikannya. Bahkan seorang saksi dan korban dapat ikut serta
“perbuatan pidana, perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.7 Selain
berikut :
7
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta, 2011, hlm.3.
8
perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang
“Korupsi” (berasal dari bahasa latin, corruption sama dengan penyuapan; dari
disalin dalam bahasa Inggris menjadi Corruption atau corrupt, dalam bahasa
(korruptie).11
8
Bambang Poernomo, Azas – Azas Hukum Pidana,Ghlmia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.
91.
9
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa,
Yogyakarta, 2010, hlm. 74.
10
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi, Kajian Terhadap Harmonisasi
antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC),PT.
Rafika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 20.
11
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006,
hlm. 1.
9
3. Whistle-Blower
mengenai suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum, dapat dipahami
sebagai saksi pelapor, namun dia juga termasuk sebagai tersangka atau ikut
terlibat dalam tindak pidana tersebut dan kesaksian yang dilaporkan yang pertama
kali, sehingga dengan laporan tersebut dapat mengungkapkan suatu tindak pidana
kejahatan terorganisir seperti dugaan tindak pidana korupsi. Sebagai orang dalam
yang menjadi bagian dari lingkungan tempat informasi yang dia bocorkan,
tentulah sangat faham mengenai apa dan bagaimana modus kejahatan yang selama
ini terbungkus rapi dan bersifat rahasia bagi publik dan aparat hukum.
12
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
10
pidana tetapi perbuatan curang lainnya baik yang merugikan masyarakat (public
4. Pembuktian
perdata, perkara pidana, tata usaha negara maupun perkara lainnya. Di dalam
tercantum dalam gugatan, tetapi juga memperhatikan juga alat-alat bukti lainnya.
Seperti, saksi, bukti tertulis dan lainnya. Bukti-bukti itu, harus dinilai oleh hakim
didalam memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Di dalam menilai alat-
alat bukti itu, hakim terikat pada norma-norma hukum dan berbagai teori yang
13
http://repository.widyatama.ac.id/bitstream/handle/10364/1042/bab1-2.pdf?sequence=3,
diunduh pada hari Minggu, 02 Januari 2022 Pukul 14.00 WIB
14
A.H. Semendawai, Perlindungan Saksi dan Korban sebagai Whistleblower dalam
Lingkup Pengawasan Internal Kementrian atau Lembaga, bahan paparan,
http://www.slideshare.net, yang diunduh pada hari Senin, 03 Januari 2021, Pukul 00.43 WIB.
15
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi Dan Tesis (Buku Ketiga), Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hlm.215.
11
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem dianut dalam
dalam pasal 183 bahwa : “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 17 Dan jenis-jenis alat bukti yang sah
menurut hukum, yang tertuang dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :
(3) Surat;
network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s
16
Hari Sasangka dan Lity Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003, hlm. 10.
17
Pasal 183 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
18
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
12
sistem peradilan pidana adalah sistem pengadilan kejahatan yang terdiri dari
Peradilan Pidana atau Criminal Justice System kini telah menjadi suatu istilah
terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.
sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para
F. Landasan Teoritis
objek masalah yang diteliti dengan cara mengkontruksi keterkaitan atara konsep
secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam
Menurut Carl Friedrich, “kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusul
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
hukum adalah “legal policy” atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang
21
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, hlm.
16.
22
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2018, hlm. 1.
14
Politik hukum sebagai aktivasi memilih dan cara yang hendak dipakai
untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu didalam
masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan
mendasar, yaitu:
a. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada.
b. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik yang bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut.
c. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan.
d. Dapat dirumuskan suatu pola yang bisa memutuskan kita dalam proses
pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.23
Teori kebijakan hukum pidana yang digunakan dalam penelitian ini adalah
23
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2014 hlm. 398-399.
24
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007,
hlm. 126.
15
keadilan.
a) Kepastian Hukum
kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti yang mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak
menimbulkan multitafsir serta satu sistem norma dengan norma lain sehingga
yaitu pertama, adanya aturan yang sifatnya umum membuat individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
aturan yang bersifat umum tersebut. “Individu dapat mengetahui apa saja yang
(certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma
dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya
b) Kemanfaatan Hukum
banyak orang secara moral dan apakah kebijakan atau tindakan tertentu membawa
manfaat atau hasil yang berguna atau sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang
terkait. Jika dikaitkan pada hukum maka baik buruknya hukum diukur yang
dihasilkan oleh penerapan hukum. “Menurut John Stuart Mill bahwa suatu
c) Keadilan Hukum.
27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 2007,
hlm. 160.
28
Margono, Asas-Asas Keadilan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar
Grafika, Jakarta, 2019, hlm. 111.
29
H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), PT Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm. 44.
17
sehingga keadilan dapat dilihat dua pengertian pokok yaitu pengertian formal
yang berarti menuntut berlakunya secara umum, sedang pengertian materil berarti
bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini hubungan
antara satu orang dengan orang lain yang merupakan keseimbangan antara apa
setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah
pencari keadilan.33
State”, hukum yang sebagai tatanan sosial yang dinyatakan adil apabila dapat
30
Margono, Op. Cit, hlm. 105-106.
31
Ibid, hlm. 107.
32
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2003.
33
Pan Muhammad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor
1, April 2009, hlm. 139.
18
bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni dari hakikat suatu benda atau
hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Doktrin hukum
alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan manusia yang berbeda
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
34
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh rasisul Muttaqien,
Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 7-11.
35
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53.
19
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-
Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan LB Wysa Putra bahwa “hukum dapat
hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun
dalam bentuk yang berifat refresif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi pelapor atau korban,
36
Ibid., hlm. 69.
37
Ibid., hlm. 54.
38
Lili Rasjidi dan L.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakrya,
Bandung, 1993, hlm. 118.
20
3. Teori Pembuktian
positif berkembang sejak abad pertengahan. Menurut teori ini, teori hukum
alat-alat bukti mana yang dapat diapakai hakim, cara bagaimana hakim harus
hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.
Hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat bukti telah dipakai sesuai ketentuan
dengan titik tolak aspek negatif dan positif maka baik secara teoritik dan praktik
diterapkan lagi.
pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain sebagainya sebagaimana pernah
apabila ata bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan
didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti
tersebut. Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut undang-
berdasarkan keyakinan hakim. Dengan peramuan ini, maka subtansi teori hukum
anasir prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti tersebut
G. Metode Penelitian
22
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah normatif atau yang sering juga disebut penelitian
keilmuan hukum itu sendiri.39 Karena itu pemilik metode penelitian senantiasa
dibatasi rumusan masalah, objek yang diteliti, dan tradisi keilmuan hukum itu
sendiri. Penelitian yuridis normatif, kajiannya terfokus pada hukum positif dengan
aspek sebagai berikut : ‟1) mempelajari aturan dari segi teknis, 2) berbicara
tentang hukum, 3) berbicara hukum dari segi hukum, 4) berbicara problem hukum
yang konkrit. ‟Tugas utama ilmu hukum normatif menurut D. Meuwissen, adalam
“Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data dan fakta sosial,
karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum
terdiri dari :
39
Sahuri Lasmadi,Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum
Pidana Indonesia, Disertasi Pasca Sarjana Universitas Air Langga, Surabaya, 2003, hlm. 64.
40
Ibid., hlm. 65.
41
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008,
hlm. 86-88.
23
bahan pustaka atau data sekunder dan data primer dengan mempelajari sumber-
sumber atau bahan tertulis berupa buku-buku, artikel, koran dan majalah dengan
Peraturan Perundang-Undangan.
2. Pendekatan Penelitian
dilakukan terhadap bahan hukum yang ada. Dengan kata lain suatu
penelitian ini.
ini.
Perundang - Undangan”.
Peraturan Perundang-undangan”.
b. Bahan hukum sekunder yaitu hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-
hasil penelitian, literatur karya para ahli hukum yang menyangkut hukum
c. Bahan hukum tersier yang diteliti adalah berkaitan dengan esiklopedia, dan
berikut :
hukum dengan cara melihat isi dari berbagai macam peraturan perundang-
dihadapi.
H. Sistematika Penulisan
Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam 5(lima) bab,
masing-masing bab terdiri dari atas beberapa subbab guna lebih memperjelas
BAB III Pada Bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang
BAB IV Pada Bab ini menguraikan lebih lanjut tentang Kebijakan Hukum
bagi Whistle-Blower.
BAB V Merupakan Bab penutup yang berisikan bagian akhir dari penulisan
ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dibuat
pemikiran terhadap permasalahan yang telah dibahas pada Bab III dan