Oleh:
Ellies Tunjung Sari M
091424653002
1.3 Tujuan
Tinjauan Pustaka
1. Menurut Moeljatno
Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk:
a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat
dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
2. Menurut Soedarto
Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum
pidana sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu
akibat berupa pidana. Dengan demikian pada dasarnya
hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:
a. perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh
orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana.
Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang
dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat”
(Verbrechen atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan
jahat” ini harus ada orang yang melakukannya, maka
persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci
menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang
yang melanggar larangan itu.
b. Pidana.
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.
Didalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi
apa yang disebut “tindakan tata tertib”
(tuchtmaatregel, Masznahme). Didalam ilmu
pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah
(adat) reaksi. Dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-
jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam
fatsal 10 KUHP.
3. Menurut Simons hukum pidana merupakan:
a. keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara
diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila
tidak ditaati,
b. keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat
untuk penjatuhan pidana, dan
c. keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk
penjatuhan dan penerapan pidana.
4. Van Hamel memberikan batasan bahwa
Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang
dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan
hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan
dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa
(penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, pada hakikatnya
untuk hukum pidana bisa dibagi menjadi 2 yaitu :
1. hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil di sini
sebagaimana yang disebutkan oleh Moeljatno dalam huruf a
dan huruf b. Dengan demikian apa yang diatur dalam hukum
pidana materiil yaitu:
a. perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang dapat
dipidana;
b. syarat untuk menjatuhkan pidana atau kapan/dalam hal
apa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
dilarang dapat dipidana ;
c. ketentuan tentang pidana.
2. hukum pidana formil, sebagaimana disebutkan oleh
Moeljatno dalam huruf c. Hukum pidana formil merupakan
hukum acara pidana atau suatu proses atau prosedur untuk
melakukan segala tindakan manakala hukum pidana materiil
akan, sedang dan atau sudah dilanggar. Atau dengan
perkataan lain, Hukum pidana formil merupakan hukum acara
pidana atau suatu proses atau prosedur untuk melakukan
segala tindakan manakala ada sangkaan akan, sedang dan
atau sudah terjadi tindak pidana.
Catatan:
a. Akan terjadi tindak pidana, misalnya ada laporan bahwa
di suatu rumah dicurigai sedang diadakan pertemuan
untuk melakukan kegiatan yang mengarah kepada
“pengeboman” suatu tempat (teroris).
b. Sedang terjadi tindak pidana, misalnya ada laporan
bahwa di tempat Bank A sedang terjadi perampokan.
c. Sudah terjadi tindak pidana, misalnya ada laporan di
suatu tempat diketemukan mayat yang penuh dengan
luka-luka.
kemasyarakatan.
2.3 Tujuan Hukum Pidana
a. Kriminologi
b. Viktimologi
c. Penologi
d. Psikiatri
e. Kriminalistik
2. Toksikologi Forensik
mempelajari racun yang ada hubungannya dengan tindak pidana.
b. IKK adalah ilmu kedokteran kehakiman yang tidak terlalu meluas sehingga tidak
berfokus pada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang dapat dilakukan
upaya visum untuk mencari penyebab terjadi suatu kejahatan. Sehingga ilmu
kedokteran kehakiman ini hanya mempelajari bagaimana cara mempergunakan
ilmu kedokteran kehakiman dalam memecahkan masalah-masalah medis yang
melanggar undang-undang atau mempelajari hukum kedokteran kehakiman dalam
proses peradilan.
Surat memiliki syarat mutlak untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti
yang sah, yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan
dengan sumpah. Alat bukti ini dapat berupa surat resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang, surat keterangan dari seorang ahli, maupun surat-surat
lain pada umumnya. Surat sebagai alat bukti yang sah yang memiliki kaitan erat
dengan peranan kedokteran forensik adalah surat keterangan dari ahli (dokter).
Dimana surat ini memuat pendapat berdasarkan keahlian yang dimiliki
seseorang mengenai suatu hal atau keadaan, misalnya visum et repertum (VER).
Pendapat ahli (dokter) ini dituangkan ke dalam sebuah laporan yang dibuat
berdasarkan sumpat jabatan yang dimiliki oleh ahli yang dipergunakan dalam
sidang pengadilan. Point penting dari sebuah VER adalah terletak pada bagian
kesimpulan dari VER yang dibuat oleh seorang ahli (dokter). Pada bagian ini
terdapat opini atau pendapat ahli (dokter) yang merupakan sebuah fakta hukum
mengenai sebab dan akibat (bukan kronologis) dari perbuatan dalam sebuah
peristiwa pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. Dengan
opini atau pendapat ahli atas pemeriksaan dan autopsi yang telah dilakukan, maka
penyidik dapat menentukan tindakan lebih lanjut, sehingga dapat memberikan
kepastian hukum kepada berbagai pihak. Alat bukti yang sah berupa surat dalam
kategori ini disamakan dengan alat bukti keterangan ahli (expert testimony)
sebagaimana diatur dalam pasal 187 butir c KUHAP. Dimana keterangan ahli
sesuai pasal 1 angka ke-28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan
ahli ini merupakan opini atau pendapat seorang ahli yang dinyatakan dalam sidang
pengadilan. Atau jika ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian merupakan ahli
kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran
kehakiman. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli yaitu mempunyai
kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht). Dan dalam hal pembuktian,
keterangan ahli juga tidak dipergunakan untuk memeriksa pokok perkara,
melainkan sifatnya hanyalah menjelaskan suatu hal yang dirasa masih kurang
terang tentang suatu hal atau kejadian.
3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.
(a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) Surat, (d) petunjuk,
(e) keterangan terdakwa
BAB 3
PEMBAHASAN
Peranan ilmu kedokteran forensik sebagai salah satu ilmu bantu sangat
dibutuhkan dalam mengungkap suatu tindak kejahatan yang mengakibatkan
seseorang mengalami luka-luka dan atau akhirnya meninggal dunia. Peningkatan
peranan ilmu kedokteran forensik dalam penegakan hukum dan keadilan sangat
diperlukan, terutamanya dalam pembuktian kesalahan atau unsur melawan hukum
yang dilakukan tersangka/terdakwa. Dalam hal ini dokter forensik adalah
seseorang yang telah diambil sumpah dan mengabdikan dirinya pada bidang
kesehatan, dengan tujuan untuk kepentingan peradilan. Dimana seorang dokter
forensik mempelajari sebab-sebab terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga mempunyai
peranan yang penting dalam menjelaskan titik permasalahan di persidangan.
Bantuan dokter forensik dapat dilakukan secara tertulis dengan
menuangkannya dalam bentuk sebuah laporan atau surat (visum et repertum).
Laporan atau surat seperti demikian dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang
sah dalam persidangan sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. Dan selain
itu juga dapat dilakukan secara lisan untuk memperjelas isi dari visum et repertum
yang dibuat oleh seorang dokter forensik. Alat bukti yang sah berupa surat
keterangan dari ahli (dokter) dapat dikategorikan ke dalam alat bukti keterangan
ahli yang memiliki nilai pembuktian bebas, dalam arti bahwa hakim bebas
menilainya. Keterangan ahli (dan surat keterangan ahli) tidak dipergunakan pada
pokok perkara atau menjelaskan kronologis suatu peristiwa pidana, namun
menjelaskan hal yang belum jelas dalam suatu perkara pidana atau menjelaskan
sebab akibat sebuah perbuatan dalam suatu peristiwa pidana. Dengan ilmu
kedokteran forensik, seorang ahli dapat memberikan opini atau pendapat menurut
keahliannya mengenai identitas seorang (korban), penyebab kematian, perkiraan
waktu kematian, maupun perkiraan cara kematian. Baik dengan menggunakan
metode identifikasi secara visual, dokumen, pakaian, perhiasan, medis, gigi, sidik
jari, serologi, dan DNA forensik, maupun metode eksklusi. Penggunaan
keterangan ahli (salah satunya dengan berbasis ilmu kedokteran forensik) sebagai
alat bukti merupakan salah satu ciri khas perkembangan hukum acara pidana
modern. Alat bukti ini sangat berguna dalam membuat terang dan jelas suatu
tindak pidana. Sehingga proses penegakan hukum dan keadilan merupakan suatu
usaha ilmiah dan bukan sekedar commen-sense, nonscientific belaka.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-1007-BABI.pdf
http://kadenokooji.blogspot.co.id/2009/11/hukum-pidana.html
http://sersanbelalang.blogspot.co.id/2015/07/kedokteran-forensik-dalam-
proses.html#!/2015/07/kedokteran-forensik-dalam-proses.html
IDRIES, Abdul Mun’im, ed. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik,
Jakarta : CV. Sagung Seto