Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tindak pidana ringan, khususnya tindak pidana pencurian ringan, akhir-akhir ini
menarik perhatian publik karena penanganannya dianggap tidak lagi proporsional
dengan tingkat keseriusan tindak pidana yang diatur. Pengaturan tindak pidana
ringan saat ini diasumsikan sebagai semacam perlindungan dari adanya
penegakan hukum yang tidak proporsional terhadap tindak pidana yang
(kerugiannya) dianggap tidak serius. Sebagai contoh, dapat dilihat dalam perkara
kasus Nenek Minah-Pencurian Kakao, pencurian segenggammerica oleh seorang
kakek, pencurian kartu perdana 10 ribu oleh siswa SMP, pencurian sandal jepit,
dan sebagainya. Padahal, dengan adanya Tipiring, masyarakat mengharapkan
bahwa hukuman yang akan dijatuhkan oleh Hakim juga bersifat ringan. Apabila
dinyatakan bersalah, maka hukuman yang akan dikenakan hanyalah pidana yang
bersyarat saja, yang dikenal sebagai putusan hukuman. Namun, pada
kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Tindak Pidana Ringan tidak hanya mencakup
pelanggaran saja, tetapi juga mencakup kejahatan-kejahatan ringan yang terletak
dalam Buku II KUHP yang terdiri dari penganiayaan hewan ringan, penghinaan
ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan
ringan, perusakan ringan, dan penadahan ringan. Pemahaman terhadap Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 perlu disejalankan upaya pencerdasan
publik akan mengenai tindak pidana ringan. Hal ini dikarenakan tidak semua
masyarakat memahami hal-hal yang termasuk di dalam tindak pidana ringan
(Tipiring). Secara teknis, hukum yang dinamakan dengan Tipiring adalah suatu
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah.
Proses penyelesaian perkara tindak pidana ringan mencakup empat hal, yaitu
pemeriksaan, penyidikan, penyelidikan, dan proses persidangan perkara tindak
pidana ringan; digunakan proses pemeriksaan acara cepat yang diputuskan oleh
hakim tunggal dan tidak disertai jaksa penuntut umum di dalam pengadilan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat mengemukakan beberapa rumusan
masalah antara lain sebagai berikut:
1) Apakah mahasiswa Universitas Pertiba Mengetahui tentang tindak pidana ringan ?
2) Bagaimana hubungan tindak pidana ringan dengan perilaku mahasiswa
Universitas Pertiba ?
C. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan bahan-bahan yang akan digunakan bagi penulisan Laporan ini, maka
penulis telah menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari
berbagai buku kajian hukum, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum, dan
sumber-sumber tertulis lainnya. Untuk analisis digunakan metode analisis yuridis normatif yang
bersifat kualitatif.

1
D. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
- Untuk mengetahui makna dari tindak pidana
- Untuk mengetahui sejarah dari tindak pidana
- Untuk mengetahui Makna tindak pidana ringan
- Untuk mengetahui seluruh jenis tindak pidana ringan
- Untuk mengetahui mengapa tindak pidana ringan terjadi
- Untuk mengetahui proses terjadinya tindak pidana ringan
- Untuk mengetahui bagaimana mencegah tindak pidana ringan

E. Manfaat
Melalui penelitian ini, diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai informasi hubungan antara akhlak mahasiswa
dengan kemampuan berprilaku dan bermasyrakat dengan baik dan benar. Penelitian ini
juga dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya mengenai studi
proses Pembentukan kata dan menjadi bahan kajian lebih lanjut mengenai topik yang
sama.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini, dapat dimanfaatkan oleh pendidik atau pengajar sebagai sumber
informasi untuk menanggulangi agar mahasiswa dapat mengerti apa itu tindak pidana
ringan.

2
BAB II

Pembahasan
1. MAKNA TINDAK PIDANA DAN SEJARAHNYA

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu Strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan
feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Baar diterjemahkan dapat atau
boleh. Feit diterjemahkan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana.
Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar
hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undangundang
hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Bambang Poernomo berpendapat
bahwa perumusan mengenai tindak pidana
akan lebih lengkap apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa Tindak pidana adalah
pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum
ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undangundang
ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.
Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana
oleh peraturan-peraturan atau undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya
dilarang dengan ancaman pidana. dipahami tentang pengertian tindak pidana itu sendiri.
Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda
yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS)
Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda Nv.sNI, tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada
keseragaaman pendapat tentang rumusan ilmiah strafbaar feit itu sendiri. Pembentuk
undang – undang Indonesia. Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perundang-undangan Pasal
tersebut”. Akan tetapi, Simons telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu
“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya
dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum”.

3
2. Unsur Tindak Pidana
Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:

1. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia,


2. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana,
3. Perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang,
4. Harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan,
5. Perbuatan itu harus disalahkan oleh si pembuat.

Menurut EY Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah:


1. Subjek,
2. Kesalahan,
3. Bersifat melawan hukum,
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang terhadap
pelanggarannya diancam dengan pidana
5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Dari apa yang disebutkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan
akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu:
1. Melawan hukum,
2. Merugikan masyarakat,
3. Dilarang oleh aturan pidana,
4. Pelakunya akan diancam dengan pidana,
5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Lamintang, ada unsur objektif yang berhubungan dengan keadaankeadaan, yaitu
keadaan dimana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur- unsur obyektif itu
meliputi:

a. Perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bersifat positif dan bersifat
negatif yang menyebabkan suatu pelanggaran pidana. Terkadang perbuatan
positif dan negatif terdapat dengan tegas di dalam norma hukum pidana yang
dikenal dengan delik formil. Dimana pada delik formil yang diancam hukuman
adalah perbuatannya seperti yang terdapat pada Pasal 362 KUHP dan Pasal
372 KUHP, sedangkan terkadang pada suatu perbuatan saja diancam hukuman
sedangkan cara menimbulkan akibat itu tidak diuraikan lebih lanjut, delik
seperti ini disebut sebagai delik materil yang terdapat pada Pasal 338 KUHP.

b. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusaknya atau
mebahayakan kepentingan-kepentingan hukum yang menurut norma hukum
pidana itu perlu ada supaya dapat dipidana.

c. Sifat melawan hukum dan dapat dipidana. Perbuatan itu melawan hukum jika
bertentangan dengan undang-undang. Sifat dapat dipidana artinya bahwa
perbuatan itu harus diancam dengan pidana, oleh suatu norma pidana yang

4
tertentu. Sifat dapat dipidana ini bisa hilang walaupun telah diancam pidana dengan
undang-undang tetapi telah dilakukan dalam keadaan-keadaan yang membebaskan
misalnya dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

3. Pelaku Tindak Pidana


Pelaku tindak pidana adalah kelompok atau orang yang melakukan perbuatan
atau tindak pidana yang bersangkutan dengan arti orang yang melakukan dengan
unsur kesengajaan atau tidak sengaja seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang
atau yang telah timbul akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu
merupakan unsur-unsur objektif maupun subjektif, tanpa melihat perbuatan itu
dilakukan atas keputusan sendiri atau dengan dorongan pihak ketiga. Barda Nawawi
Arief menyatakan bahwa “tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai
perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil”.
Orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dilihat
dalam beberapa macam, antara lain :

a. Orang yang melakukan (dader plagen)


Orang yang bertindak sendiri untuk melakukan tujuannya dalam
suatu perbuatan tindak pidana.
b. Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen)
Untuk melakukan suatu tindak pidana diperlukan paling sedikit 2
(dua) orang, yaitu orang yang melakukan dan orang yang menyuruh
melakukan, jadi bukan pihak pertama yang melakukan tindak pidana,
akan tetapi dengan bantuan pihak lain yang merupakan alat untuk
melakukan tindak pidana.
c. Orang yang turut melakukan (mede plagen)
Yang artinya melakukan tindak pidana bersama-sama. Dalam hal
ini diperlukan paling sedikit 2 (dua) orang untuk melakukan tindak pidana
yairu dader plagen dan mede plagen.
d. Orang yang dengan memanfaatkan atau penyalahgunaan jabatan,
memberi upah, perjanjian, memaksa seseorang, atau dengan sengaja
membujuk orang/pihak lain untuk melakukan tindak pidana.

4. Perbuatan yang Dapat Dipidanakan


Perbuatan yang dapat dikenakan pidana dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
sebagai berikut :
a. Perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang.
b. Orang yang melanggar larangan itu.

5. Tindak Pidama Ringan ( Tipiring )


Tindak pidana ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500

5
6. Motif / Alasan Seseorang Melakukan Tindak Pidana Ringan

1. Kebutuhan yang mendesak


Dalam perspektif Psikoanalisa Sigmund Freud memiliki pandangan sendiri tentang apa
yang menjadikan seorang bertindak kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id,
Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan
perilaku menyimpang atau kejahatan. Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari
prinsip “kesenangan”. Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan
bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan
untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Freud percaya
bahwa jika ini tidak bisa diperoleh secara legal atau sesuai dengan aturan sosial, maka
orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal.

2. Alasan personal
Alasan personal menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan tindakan kriminalitas.
Hal ini disebabkan oleh sifat alami dari sebuah tindakan yang jahat adalah keegoisan dan
didorong oleh perasaan negatif seperti ketakutan, kecemburuan, dan kemarahan.
Degradasi mental juga dapat muncul karena beberapa orang yang mengalami tingkat
stress, depresi, dan tidak dapat melampiaskan kekesalannya. Hal ini membuat mereka
berbuat jahat kepada orang lain untuk dapat meredam kekesalan dan emosinya. Karena
itu, gejala degradasi mental harus dirawat dan dicegah sebelum menjadi lebih parah.

3. Kondisi sosial
Beragam kondisi sosial sebagai penyebab kriminalitas yang merugikan kehidupan
manusia. Misalnya, beragam jenis pengangguran, kemiskinan yang makin menjamur,
kondisi lingkungan yang mendukung individu melakukan kejahatan, kepincangan sosial,
tekanan mental serta kebencian. Hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak
terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan
fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya.

4. Pengaruh lingkungan
Pengaruh dari lingkungan menjadi salah satu penyebab orang melakukan kejahatan.
Contohnya, anak-anak yang diabaikan, ditinggalkan, atau dianiaya dan tumbuh dalam
keluarga disfungsional, akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk melakukan
aksi kejahatan di kehidupannya nanti dibandingkan mereka yang tumbuh dalam keluarga
baik-baik.

5. Kurangnya tingkat pendidikan


Pendidikan yang kurang merupakan salah satu faktor pendorong seseorang untuk
melakukan suatu tindak kejahatan. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan mereka yang
kurang terhadap hal-hal seperti aturan yang dalam cara hidup bermasyarakat.

6. Pengaruh alkohol dan narkoba


Sudah jelas sekali bahwa alkohol dan narkoba adalah salah satu penyebab paling umum
mengapa seseorang melakukan kejahatan. Ini karena alkohol dapat mengaburkan

6
kesadaran seseorang hingga narkoba yang dapat menyebabkan seseorang kecanduan,
keduanya dapat membuat seseorang takabur dan melakukan sebuah aksi kriminal.
Meskipun dalam kasus narkoba biasanya si kriminal bukan pengguna narkoba, namun
mereka adalah bagian kecil dari rantai besar obat terlarang yang menarik orang-orang ke
lubang tidak berdasar itu.

7. Aneka Tindak Pidana Ringan & Sanksi yang Dikenakan

1. Penganiayaan hewan ringan (Pasal 302 ayat (1) KUHPidana)


Pada pasal 302 ayat (1) ditentukan bahwa diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,-
karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan: 1. Barangsiapa
tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja
menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. Barang
siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampuai batas yang
diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi
makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya
atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya,
atau kepada hewan yang wajib dipeliharan

2. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHPidana)


Menurut Pasal 315 KUHPidana, tiap-tiap penghinaan dengan
sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap
seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau
tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan,
atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam
karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Unsur utama dari pencemaran dalam Pasal 310 KUHPidana adalah
bahwa pelaku itu ”menuduhkan sesuatu hal”. Dalam Pasal 310 ayat (1)
ditentukan bahwa barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya
terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran. Jadi,
penghinaan ringan dilakukan dengan misalnya menggunakan kata-kata
kasar yang ditujukan kepada orang lain, seperti memaki-maki orang
tersebut.

3. Penganiayaan ringan (Pasal 352 ayat (1) KUHPidana)


Dalam Pasal 352 ayat (1) KUHPidana ditentukan bahwa kecuali tersebut
dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
Yang membedakan penganiayaan ringan dengan penganiayaan adalah

7
bahwa dalam penganiayaan ringan terhadap korban tidak timbul penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.

4. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)


Dalam pasal 364 KUHPidana ditentukan perbuatan yang diterapkan
dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang
diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah
rumah atau pekarangan tetutup yang ada rumahnya, jika harga barang
yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

5. Penggelapan ringan (Pasal 373)


Menurut pasal 373 KUHPidana, perbuatan yang dirumuskan dalam
pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih
dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak dua ratus lima puluh rupiah.

6. Penipuan ringan (pasal 379 KUHPidana)


Menurut pasal 379 KUHPidana, perbuatan yang dirumuskan dalam
pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga
daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua ratus lima
puluh rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima
puluh rupiah.

7. Perusakan ringan (Pasal 407 ayat 1 KUHPidana)


Dalam pasal 407 ayat (1) KUHPidana ditentukan bahwa perbuatanperbuatan yang
dirumuskan dalam pasal 406, jika harga kerugian tidak
lebih dari dua ratus lima puluh rupiah diancam dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus lima puluh
rupiah.
Pasal ini menunjuk pada pasal 406 KUHPidana yang rumusannya
mengancam pidana terhadap perbuatan merusakkan barang orang lain.
Pasal 407 KUHPidana tidak menyebut nama dari tindak pidana, tetapi
dengan melihat pada adanya rumusan ”harga kerugian tidak lebih dari dua
ratus lima puluh rupiah”, yang juga terdapat pada pasal 364, 373 dan 379,
maka dapat dipahami bahwa pasal 407 ayat (1) KUHPidana dimaksudkan
sebagai perusakan ringan.

8. Penadahan ringan (pasal 482)


Pada Pasal 482 KUHPidana ditentukan bahwa perbuatan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan
ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah

8
salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 364, 373 dan 379.
Mengenai latar belakang keberdaan kejahatan-kejahatan ringan (lichte
misdrijven) diberikan komentar oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa,
Kejahatan ringan ini dalam zaman penjajahan Belanda ada artinya, oleh
karena semua orang, tanpa diskriminasi, yang melakukan kejahatan
ringan ini, diadili oleh ”Landrechter” seperti semua orang yang
melakukan ”pelanggaran”, sedang seorang Indonesia atau Timur Asing
(Cina, Arab dan India-Pakistan) pembuat kejahatan bisa, diadili oleh
”Landraad” (sekarang pengadilan negeri) dan seorang Eropa sebagai
pembuat kejahatan biasa diadili oleh Raad van Justitie (sekarang
Pengadilan Tinggi).

BAB III

PENUTUP

Bab III (tiga) ini merupakan pembahasan yang terakhir dalam penulisan karya ilmiah

ini, yang di dalamnya peneliti menguraikan tentang kesimpulan dari beberapa pembahasan

terdahulu serta peneliti juga mengajukan beberapa saran yang ada kaitan atau berkenaan

dengan pembahasan ini. Adapun kesimpulan dan saran-sarannya adalah sebagai berikut:

A. Kesimpulan

Hakikat Tindak Pidana Ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang

bersifat ringan atau tidak berbahaya. Sedangkan hakikat pengadaan

Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan agar perkara dapat diperiksa

dengan prosedur yang lebih sederhana. Tindak Pidana Ringan ini tidak

hanya pelanggaran tapi juga mencakup kejahatan-kejahatan ringan yang

terletak dalam Buku II KUHPidana yang terdiri dari, penganiayaan

hewan ringan, penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian

ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan,

penadahan ringan.

9
Mahasiswa Universitas Pertiba dan Hukum Pidana :

a) Ketidaktahuan; kurangnya pengetahuan dasar hukum sehingga kurang mampunya

mendeteksi perbuatan yang melanggar hukum.

b) Sikap tidak ingin tahu; karena sikap tersebut membuat mahasiswa bersifat apatis

dan merasa paling benar merekapun tidak mau mempelajari aturan – aturan dalam

Hukum pidana sehingga mahasiswa rawan melakukan perbuatan yang melanggar

hukum.

B. Saran-Saran

Setelah diambil kesimpulan, maka dapat diberikan beberapa saran, yaitu sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada dosen, agar memberikan masukan-masukan atau kritikan-kritikan

yang bersifat motivasi dalam belajar terhadap mahasiswa yang kurang paham hukum

pidana.

2. Diharapkan kepada para mahasiswa, agar memanfaatkan waktu belajarnya dengan

baik, agar bisa memberi contoh yang baik kepada para mahasiswa yang lain dan

mendapat prestasi yang sangat bagus pula.

3. Diharapkan kepada pemerintah, agar memberikan bantuan berupa sosialisasi bahaya

dari tindak pidana dan sanksi yang akan diterima jika melanggar hukum sehingga

dapat menghasilkan generasi muda yang anti tindak pidana.

4. Kejahatan-kejahatan ringan sudah saatnya dihapuskan dari KUHPidana. Dengan

demikian, acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak lagimencakup kejahatan-

kejahatan ringan.

5. Prosedur pemeriksaan tindak Pidana Ringan ( Tipiring ) cukup efektif, demikian pihak-

pihak yang bersangkutan agar menjalankan prosedur pemeriksaan sesuai.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, J. M. Van, Mr. Hukum


Pidana 1. Hukum Pidana
Material Bagian Umum,
terjemahan Hasnan, Binacipta,
1984.
Djamil Abdoel, 2014, Pengantar
Hukum Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Donald Albert dan Frans Maramis,
2014, Pengantar Ilmu
Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Gunawan Budi, 2014, Modul Tipiring
Pendidikan Pembentukan
Brigadir Tugas Umum
Polri, Jakarta.
Hamzah Andi, 2015, Delik-Delik
Tertentu di Dalam
KUHP, Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan
KUHAP II, Pustaka Kartini,
Jakarta, 1985.
_______, Beberapa Tinjauan
Mengenai Sistem Peradilan
Dan Penyelesaian
Sengketa.CitraAditya Bakti,
Bandung, 1997.
Hartono Sunaryati C.F.G., Penelitian
Hukum di Indonesia pada Akhir
abad ke-20, Alumni, Bandung,

11
1994.
Jonkers, J. E. Mr, Buku Pedoman
Hukum Pidana Hindia Belanda,
PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Karjadi dan R. Soesilo, 1986, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Dengan Penjelasan
Resmi Dan Komentar, PT.
Karya Nusantara, Bandung.
Lamintang, P.A.F. dan Samosir, C.
D., Hukum Pidana di
Indonesia, PT. Eresco, JakartaBandung, cet. ke-3, 1981.
_______, Tindak-tindak Pidana
Tertentu di Indonesia, PT.
Eresco, Jakarta-Bandung, cet.
ke-10, 1974. Redaksi PT.
Ichtiar Baru-van Hoeve (ed).
Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik
Indonesia, PT. Ichtiar Baru-van
Hoeve, Jakarta, 1989.
Machmud Peter, Penelitian Hukum,
KencanaPrenada Media Group,
2010.
Seno Adji, Oemar, Hukum (Acara)
Pidana Dalam Prospeksi,
Erlangga, Jakarta-Bandung,
1983.
Sianturi, S. R., Tindak Pidana di
KUHP Berikut Uraiannya,
Alumni AHMPTHM, Jakarta,
1983.

12
SoekantoSoerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, UI-Press,
Jakarta, 1986.
_______, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008.
Soenggono B., Metodologi Penelitian
Hukum, Raja Grafindo Perkasa,
1998, dan HanitijoSoemitro,
Metodologi Penelitian Hukum
dan Juri Metri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1994.
Soesilo, R., KUHP Beserta
Uraiannya Lengkap Pasal
Demi Pasal, Politeia, Bogor,
1983.
Soesilo, 1995, Kitab UndangUndang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya.
Bogor.
Syahrani Riduan, 2013, Rangkuman
Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Tresna, R. Mr. Komentar HIR,
Pradnya Paramita, Jakarta,
1976.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
2009.

13

Anda mungkin juga menyukai