Anda di halaman 1dari 29

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum Tindak Pidana

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari

“strafbaar feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang

dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak

pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin

yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

tercantum sebagai berikut :

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman


karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang
tindak pidana”

Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit)

memuat beberapa undur yakni :

1. suatu perbuatan manusia;


2. perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
Undang-Undang;
3. perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan.1

Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam

Undang-Undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana

1
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.
47

5
6

Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang

mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik

tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut

terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan

tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang

di dalam Undang-Undang menentukan pada Pasal 164 KUHP,

ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk

melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul

kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenai

sanksi.2

2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak

pidana, yaitu :

a. Unsur objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan

di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan,

terdiri dari :

1. Sifat melanggar hukum.

2. Kualitas dari si pelaku.

2
Ibid, hlm. 49
7

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam

kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan

sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan

terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah

yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum

pidana. Salah satu pihak berpendapat bahwa masalah ini merupakan

unsur tindak pidana, di pihak lain berpendapat bukanlah merupakan

unsur tindak pidana, masalah tersebut adalah:

a. Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak

pidana (bijkomende voor waarde strafbaarheid).

b. Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak

pidana (voorwaarden van vervolg baarheid).

Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah

merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut

terdapat timbulnya kejadian atau peristiwa. Ada pihak lain yang

berpendapat ini merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu jika

syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut tidak dapat

dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen

perbuatan pidana terdiri dari:


8

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak

terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang

dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat

dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ad

ajika pelakunya adalah seorang PNS.

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu

harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa

keadaan yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah

dengan dilakukan di muka umum.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu

seorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan

pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan

tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya

pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam

dengan pidana penjara paling lama dua Tahun delapan bulan,

tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat

ancaman pidananya diberatkan menjadi lima Tahun dan jika

menyebabkan kematian menjadi tujuh Tahun.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir

atau objektif yang menyertai perbuatan.


9

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Unsur melawan hukum terletak di dlam hati seseorang pelaku

kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat

kalimat “dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat

melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal

lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang.

Apabila niat hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk

kemudian di dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu

mengambil barang untuk dimiliki sendiri dengan tidak

mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang

dan masuk rumusan pencurian.3

2.1.3 Subjek Tindak Pidana

Rumusan tindak pidana di dalam buku kedua dan ketiga

KUHP biasanya dimulai dengan kata barangsiapa. Ini

mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau

subjek tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Juga dari

ancaman pidana yang dapat dijatuhkan sesuai dengan Pasal 10

KUHP, seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,

denda dan pidana tambahan mengenai pencabutan hak, dan

sebagainya menunjukkan bahwa yang dapat dikenal pada

umumnya manusia atau persoon.

Memang pandangan klasik berpendapat bahwa subjek

tindak pidana adalah orang pribadi, meskipun ia berkedudukan

3
Ibid, hlm. 53
10

sebagai pengurus atau komisaris suatu badan hukum. Namun,

menurut perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan

perlu diperluas termasuk badan hukum. Tentu saja bentuk pidana

terhadap pribadi tidak dapat diterapkan pada badan hukum,

kecuali jika yang harus dipidana adalah pribadi pengurus atau

komisaris badan hukum tersebut.

2.1.4 Jenis Tindak Pidana

Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam

jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasi dapat sangat bermacam-

macam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasi atau

mengkelompokkan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan,

demikian pula halnya dengan tindak pidana.

KUHP sendiri telah mengklasifikasi tindak pidana atau

delik ke dalam dua kelompok besar yaitu dalam buku kedua dan

ketiga masing-masing menjadi kelompok bab-babnya

dikelompokkan menurut sasaran yang hendak dilindungi oleh

KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Misalnya bab I buku

kedua adalah kejahatan terhadap keamanan negara, dengan

demikian ini merupakan kelompok tindak pidana yang sasarannya

adalah keamanan negara.

1. Kejahatan dan Pelangaran

KUHP menempatkan kejahatan di dalam buku kedua dan

pelanggaran dalam buku ketiga, tetapi tidak ada penjelasan


11

mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran.

Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk

memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang

sepenuhnya memuaskan.

Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan

rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan

wetsdelict atau delik Undang-Undang. Delik hukum adalah

pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan,

misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain,

mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik Undang-Undang

melanggar apa yang ditentukan oleh Undang-Undang,

misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang

mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau

mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor. Disini

tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.

2. Delik Formil dan Delik Materiil

Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan

rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh

pelakunya.

Delik formil adalah delik yang dianggap selesai dengan

dilakukannya perbuatan itu, aau dengan perkataan lain titik

beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak

dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya


12

hanya merupakan aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh

delik formil adalah Pasal 362, Pasal 160 dan Pasal 209-210.

Jika seseorang telah melakukan perbuatan mengambil dan

seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup. Juga jika

penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang

dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu.

Sebaliknya di dalam delik materiil titik beratnya pada

akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya

sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak

menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338, yang

terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan

mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya.

Van Hamel kurang setuju dengan pembagian delik formil

dan materiil ini, karena menurutnya walaupun perilaku yang

terlarang itu tidak dirumuskan sebagai penyebab dari suatu

akibat, tetapi karena adanya perilaku semacam itulah

seseorang dapat dipidana. Ia lebih setuju menyebutnya sebagai

“delik yang dirumuskan secara formal” dan “delik yang

dirumuskan secara materiil”.

3. Delik Dolus dan Delik Culpa

Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld)

yang akan dibicarakan tersendiri di belakang.


13

a. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan,

rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang

tegas…dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata-

kata lain yang senada, seperti… diketahuinya, dan

sebagainya. Contohnya adalah Pasal-pasal

162,197,310,338, dan lebih banyak lagi.

b. Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan,

dengan kata… karena kealpaannya, misalnya pada Pasal

359, 360, 195. Di dalam beberapa terjemahan kadang-

kadang dipakai istilah… karena kesalahannya.

4. Delik Commissionis dan Delik Omissionis

Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang

dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang diharuskan.

a. Delik commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami,

misalnya berbuat mengambil, menganiaya, menembak,

mengancam, dan sebagainya.

b. Delik omissionis dapat kita jumpai pada Pasal 522, Pasal

164.

Di samping itu, ada yang disebut delik commissionis

peromissionem commisa. Misalnya seorang ibu yang sengaja

tidak memberikan air susu kepada anaknya yang masih bayi

dengan maksud agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi

dengan cara tidak melakukan sesuatu yang seharusnya


14

dilakukan. Keharusan menyusui bayi tidak terdapat di dalam

hukum pidana. Juga seorang penjaga pintu lintasan kereta api

yang tidak menutup pintu itu sehingga terjadi kecelakaan

(Pasal 164).

5. Delik Aduan dan Delik Biasa

Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang

penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan

dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya

penghinaan, perzinaan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini

tidak banyak terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap

berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan

yang ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan

adalah suami atau istri yang bersangkutan.

Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolut,

yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan, dan delik

aduan relative di sini karena adanya hubungan istimewa antara

pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga

(Pasal 367 ayat (2) dan (3)).

Beberapa waktu yang lalu ada usul agar delik perzinahan

tidak lagi dimasukkan sebagai delik aduan, tetapi sebagai

delik biasa. Ternyata banyak yang menentang, sebab hal itu

dapat berakibat lebih parah. Di dalam proses penangkapan,

orang awam dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku


15

kejahatan jika dalam keadaan tertangkap tangan, yaitu

tertangkap ketika sedang berbuat.

Sebaliknya dalam masalah pembajakan buku, kaset, dan

sebagainya, yang semula merupakan delik aduan di dalam UU

Hak Cipta yang baru dinyatakan bukan sebagai delik aduan.

6. Jenis Delik yang Lain

Selanjutnya terdapat jenis-jenis delik yang lain menurut dari

mana kita meninjau delik tersebut, antara lain:

a. Delik berturut-turut: yaitu tindak pidana yang dilakukan

berturut-turut, misalnya mencuri uang satu juta rupiah,

tetapi dilakukan setiap kali serratus ribu rupiah.

b. Delik berlangsung terus: misalnya tindak pidana

merampas kemerdekaan orang lain, cirinya adalah

perbuatan terlarang itu berlangsung memakan waktu.

c. Delik berkualifikasi yaitu tindak pidana dengan

pemberatan, misalnya pencurian pada malam hari,

penganiayaan berat. Hendaknya tidak dikacaukan dengan

kualifikasi dari delik yang artinya adalah nama delik itu.

d. Delik dengan privilege yaitu delik dengan peringanan,

misalnya pembunuhan bayi oleh ibu yang melahirkan

karena takut diketahui (Pasal 341), ancaman pidananya

lebih ringan daripada pembunuhan biasa.


16

e. Delik politik, yaitu tindak pidana yang berakitan dengan

negara sebagai keseluruhan, seperti terhadap keselamatan

kepala negara dan sebagainya dan juga tindak pidana

subversi.

f. Delik propia, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh

orang yang mempunyai kualitas tertentu, seperti hakim,

ibu, pegawai negeri, ayah, majikan, dan sebagainya yang

disebutkan di dalam pasal KUHP.4

2.2 Tinjauan tentang Tindak Pidana Khusus

Hukum pidana di Indonesia terbagi dua, yaitu hukum pidana

umum dan hukum pidana khusus. Secara definisi, hukum pidana umum

dapat diartikan sebagai perUndang-Undangan pidana yang berlaku

umum, yang tercantum dalam kitab Undang-Undang hukum pidana

( KUHP ) serta semua perUndang-Undangan yang mengubah dan

menambah KUHP.

Adapun hukum tindak pidana khusus bisa dimaknai sebagai

perUndang-Undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana,

atau tindak pidana yang diatur dalam perUndang-Undangan khusus di

luar KUHP, baik perUndang-Undangan pidana maupun bukan pidana

tetapi memiliki sanksi pidana.

Di Indonesia saat ini berkembang subur Undang-Undang tindak

pidana ekonomi, Undang-Undang pemberantasan korupsi dan banyak

4
Ibid, hlm. 57-62
17

perUndang-Undangan administrasi yang bersanksi pidana. Kedudukan

Undang-Undang pidana khusus dalam sistem hukum pidana adalah

pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP.

Tujuan pengaturan tindak pidana yang bersifat khusus adalah

untuk mengisi kekurangan ataupun kekosongan hukum yang tidak

tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun dengan pengertian bahwa

pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang

diperkenankan dalam hukum formil dan materil5

2.3 Tinjauan Mengenai Korupsi

Menurut fockema andrea kata korupsi berasal dari Bahasa latin

corruption atau corruptus selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu

berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua.

Dari bahasa latin itulah turun ke banyak Bahasa eropa seperti

inggris yaitu corruption, corrupt;prancis, yaitu corruption; dan belanda

yaitu corruptive. Dalam bahasa belanda inilah kata “korupsi” turun

menjadi bahasa Indonesia. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan,

keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau

menfitnah seperti dapat dibaca dalam the lexicon webster dictionary.

Istilah korupsi yang telah diterima kata bahasa Indonesia

disimpulkan oleh Poerwadaminta dalam kamus umum bahasa Indonesia

“korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,

5
Aziz syamsudin, Tindak Pidana Khusus, cetakan pertama, sinar grafika, 2013, hal.8
18

penerimaan uang, sogok dan sebagainnya”. Dengan pengertian korupsi

secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya

korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya.

Secara istilah banyak para ahli yang mencoba merumuskan

korupsi, yang jika dilihat dari struktur bahasa dan cara penyampaiannya

yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.

Menurut H.A. Brasz menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan

yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-

diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat

pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan

merugikan tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar

atas dalih menggunakan kekuasaan ini dengan sah.

Menurut Wertheim menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan

melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang

bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang

menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang

yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam

korupsi.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis

besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut; Perbuatan melawan hukum,

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana memperkaya diri

sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara. Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana


19

korupsi yang lain, diantarannya: Memberi atau menerima hadiah atau

janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan,

ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara

Negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara

Negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah

penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan dan keuntungan

pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi

dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling

ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi

dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan

dan sebagainnya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi yang arti

harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak

jujur pun tidak ada sama sekali.6

2.3.1 Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri,

orang lain/suatu korporasi dirumuskan dalam pasal 2 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang rumusan selengkapnya

adalah sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
6
Andi hamzah, pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional dan
internasional, cetakan keempat, Rajagrafindo persada, Jakarta, 2012, hal.4
20

paling singkat 4(empat) Tahun dan paling lama 20


Tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan
tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam pasal 2 ini ada dua bentuk tindak pidana korupsi

sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2).7

2.3.2 Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengalami perluasan perumusan

delik (tindak pidana). Perumusan tersebut pada rumusan dalam

penafsiran arti melawan hukum Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Udang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan

tindak pidana korupsi sebagai delik formal, namun pengertian

melawan hukum dalam suatu tindak pidana korupsi sebagai delik

formal dan materiil.

Sebagai delik formal suatu perbuatan dapat dinyatakan

sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi

rumusan delik dalam Undang-Undang tanpa harus menimbulkan

akibat yang merugikan jadi meskipun perbuatan itu belum sampai

menimbulkan kerugian keuangan negara tapi jika perbuatan itu

telah dapat dikategorikan menimbulkan kerugian keuangan negara

pelakunya sudah dapat dihukum.8


7
Adami chazawi, Hukum pidana materiil dan formil korupsi di Indonesia, cetakan
kelima, bayumedia publishing, Malang, 2014, hal.32
8
Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, Edisi ketiga, Jakarta , Hal. 27
21

Sementara pengertian sifat melawan hukum formal dan

materiil menunjukan pada suatu perbuatan tidak hanya

bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang

berlaku, tetapi juga merupakan perbuatan tercela dan bertentangan

dengan perasaan “keadilan masyarakat”.

Sifat melawan hukum formal dan materiil terkandung

dalam Undnag-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam

penjelasan umum :

“Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, dalam

pengertian formil dan materiil, bilamana tindak pidana korupsi

tersebut mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut

perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.

Mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas,

tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi

masyarakat secara luas sehingga pemberantasan harus dilakukan

secara besar-besaran.9

2.3.3 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi

9
Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, edisi pertama, Jakarta, hal. 3
22

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi, apabila rumusan tindak

pidana korupsi pada ayat (1) itu dirinci, maka terdiri atas unsur-

unsur sebagai berikut:

a) Perbuatannya

1. Memperkaya diri sendiri

2. Memperkaya orang lain

3. Memperkaya suatu korporasi

b) Dengan cara melawan hukum,

c) Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara atau perekonomian Negara.

Rumusan tindak pidana korupsi tersebut berasal dari rumusan

lama dalam pasal 1 ayat (1) sub a UU NO.3/1971, namun

diadakan penyerdehanaan dengan membuang unsur kalimat

“yang secara langsung atau tidak langsung”, selain itu tidak

lagi mencantumkan unsur kesalahan berupa “diketahui atau

patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara”, sehingga di

dalam rumusan yang baru denini tidak terdapat lagi unsur

subjektif kesalahan semua unsur bersifat objektif. Perubahan

seperti itu menyebabkan cakupan rumusan yang sekarang

menjadi bertambah luas dan pengertiannya bertambah abstrak,


23

sifat yang meluas ini juga menyebabkan tindak pidana pada

pasal 2 menjadi timpang tindih dengan tindak pidana khusus

lainnya. Misalanya tindak pidana ekonomi atau tindak pidana

pajak atau perbankan bahkan bisa tumpeng tindih dengan atau

dengan tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal

lainnya, misalnya pada pasal 8 atau 9.

Rumusan tindak pidana korupsi dalam pasal 2 inilah yang

berupa rumusan paling abstrak di antara rumusan-rumusan

lainnya, oleh karena itu cakupannya sangat luas. Maka banyak

perbuatan yang dapat masuk ke dalam rumusan ini dengan

cakupan yang luas, memang akan membuka perdebatan dan

penafsiran yang beragam tentang pengertian korupsi dalam

rangka penerapannya dalam kasus-kasus konkret yang terjadi,

segi positif dari rumusan seperti ini ialah cakupannya sangat

luas sehingga lebih mudah menjerat si pembuat selain itu

rumusan abstrak seperti ini lebih mudah mengikuti arus

perkembangan masyarakat melalui penafsiran hakim. Namun

segi negatifnya mengurangi kepastian hukum akibat

terbukannya peluang kepastian hukum akibat terbukanya

peluang dan kecenderungan yang lebih luas bagi jaksa dan

hakim yang tidak baik untuk menggunakan pasal ini secara

serampangan. Lebih-lebih apabila sejak awal suatu perkara

sudah diskenario atau diatur sedemikianrupa oleh orang-orang


24

kuat di belakangnya luasnya perumusan ini telah terbukti

dalam praktik pasal 2 dan pasal 3 itu selalu dicantumkan

dalam surat dakwaan perkara korupsi bahkan sering menjadi

dakwaan premier dan subsidernya atau dakwaan pertama dan

kedua. Keadaan tersebut membuktikan bahwa pasal 2 dapat

digunakan dalam semua kedaan dalam kasus korupsi.10

Kemudian, berdasarkan ketentuan pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001, yang termasuk kedalam unsur-unsur tipikor adalah (1)

setiap orang termasuk korporasi, yang (2) melakukan

perbuatan melawan hukum, (3) memperkaya diri sendiri, dan

(4) merugikan keuangan negara.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi “Setiap

orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena atau

kedudukanya yang dapat merugikan negara atau

perekonomian negara “. Berdasarkan pasal tersebut bisa

dijelaskan bahwa Unsur-unsur pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 adalah:

10
Ibid hal. 63
25

 Adanya pelaku hal ini setiap orang.


 Adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus
dilakukan secara melawan hukum.
 Tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk
memperkaya sendiri, orang lain atau korporasi.
 Akibat dari perbuatan tersebut adalah dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.

Adapun pasal 5 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang berbunyi:

a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada


pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya, atau
b) Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
yang dilakukan dalam jabatannya.

Pasal tersebut bisa dijelaskan bahwa unsur-unsur dari

pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

adalah:

 Memberikan atau menjanjikan sesuatu;


 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara;
 Bertentangan dengan kewajiban dilakukan
atau tidak dalam jabatannya.

Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 berbunyi:

a) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim


dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
pasal tersebut bisa dijelaskan bahwa unsur-unsur
dari pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 adalah;
26

b) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi


“memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perUndang-Undangan ditentukan menjadi advokat
untuk mengadili sidang pengadilan dengan maksud
untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang
akan diberikan berhubungan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili”.

Dari hanya pasal tersebut dapat unsur-unsur dari pasal


ini yaitu:

 Memberi atau menjanjikan sesuatu;


 Pada orang yang ditentukan menjadi
advokat;
 Dapat berakibat mempengaruhi nasehat
atau pendapat yang berhubungan pada
perkara yang diserahkan.

Pasal 7 huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang berbunyi:

a) Pemborong ahli bangunan yang pada waktu


membuat bangunan atau penjual bahan bangunan
melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang atau
keselamatan negara dalam keadaan perang.
b) Setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan
barang keperluan tentara nasional Indonesia dana
tau kepolisian negara republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang atau
d) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang dengan keperluan tentara nasional republik
Indonesia dan/atau kepolisian dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
27

Dari bunyi pasal tersebut dapat dijelaskan unsur-unsur

dari pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

adalah:

 Adanya perbuatan orang


 Dapat membahayakan keselamatan orang dan
barang;
 Dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

berbunyi “apabila pegawai negeri atau orang selain

pegawai negeri yang menjalankan jabatan umum secara

terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja

menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan

karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat

berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain

atau membantu dalam perbuatan tersebut” dari bunyi pasal

tersebut dapat dijelaskan, unsur-unsur pasal 8 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu:

 Seorang pegawai negeri atau bukan


pegawai negeri yang menjalankan jabatan
umum;
 Mengakibatkan penggelapan atau
hilangnya uang atau surat berharga milik
negara.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

berbunyi “pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang

diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus


28

menerus atau sementara waktu, dengan sengaja

memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk

pemeriksaan administrasi” dari bunyi pasal tersebut dapat

dijelaskan unsur-unsur pasal yaitu:

 Seorang pegawai negeri atau selain pegawai negeri

yang menjalankan suatu jabatan;

 Adanya perbuatan sengaja yang memalsukan

buku-buku atau daftar khusus.

Pasal Pasal 10 huruf a, b, c Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang berbunyi “setiap pegawai negeri atau

selain pegawai negeri diberi tugas melakukan suatu

jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu

dengan sengaja;

a) Menggelapkan, menghancurkan, merusak atau


membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan dimuka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai oleh jabatannya;atau
b) Membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, meneruskan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut;atau
c) Membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar.

Dari bunyi pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 sudah dijelaskan unsur-unsur dari pasal tersebut,

unsur-unsur tersebut adalah:


29

 Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang


menjalankan jabatannya;
 Adanya perbuatan yang dapat merusakan,
menghilangkan, menghancurkan, membuatnya
tidak bisa dipakai atau membantu orang lain.
 Pada barang, akta, surat atau daftar penting.

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

berbunyi “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima hadiah atau jani padahal diketahui dan patut

diduga bahwa hadiah atau janji diberikan karena

kekuasaan atau kewenangan yangberhubungan dengan

jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberi

hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan

jabatannya”, dari pasal tersebut dapat dijelaskan unsur-

unsur pasal tersebut adalah :

 Seorang pegawai negeri atau penyelenggara

negara;

 Denga sengaja menerima hadiah atau janji karena

berhubungan dengan jabatannya.11

2.3.4 Ciri-Ciri Korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas yaitu:

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal


ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan.
2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali
korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga
individu yang berkuasa dan mereka yang di dalam

11
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, pasal 3-11
30

lingkungan tidak tergoda untuk menyembunyikan


perbuatannya.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbal balik.
4. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya
berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung di balik pembenaran hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan
yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-
keputusan itu.
6. Setiap korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan
oleh badan public atau umum.
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan
kepercayaan.12

2.4 Pengertian Pejabat, Penyelenggara Negara dan Penyalahgunaan

Wewenang Karena Jabatan atau Kedudukan.

2.4.1. Pengertian pejabat

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 122 menjelaskan bahwa pejabat

negara terdiri dari atas :

a. Presiden dan Wakil Presiden;


b. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung.
e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung.
f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan.
g. Menteri dan jabatan yang setingkat menteri.
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar Negeri.
i. Gubernur dan Wakil Gubernur.
j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota.
k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

12
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hal. 10
31

Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara

diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara

tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri.

Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara tertentu

tidak perlu diberhetikan dari jabatan organiknya. Pegawai negeri yang

diangkat menjadi Pejabat Negara setelah selesai dan menjalankan

tugasnya dapat diangkat kembali dalam jabatan organiknya.13

2.4.2. Penyelenggara Negara

Pengertian penyelenggara Negara dapat ditemukan dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,

yang menyatakan sebagai berikut:

“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara


yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau
yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku’.

Sementara, Penyelenggara Negara itu sendiri meliputi:

1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;


2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

13
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil
negara, pasal 122
32

Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi

strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam

melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi,

kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:

1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada


Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) dan Badan
Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.14

2.4.3. Penyalahgunaan Kewenangan Karena Jabatan atau Kedudukan

Mengenai apa yang dimaksud dengan menyalahgunakan

kewenangan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam UU. Kewenangan

hanyalah dimiliki oleh subjek hukum orang pribadi dan tidak untuk badan

atau korporasi. Orang yang karena memiliki suatu jabatan atau

kedudukan itu dia memiliki kewenangan atau hak untuk melaksanakan

tugas-tugasnya. Kepemilikan kewenangan sering ditimbulkan oleh

ketentuan hukum maupun karena kebiasaan. Bila kewenangan ini

digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu, itulah yang

disebut menyalahgunakan kewenangan. Dengan kata lain perbuatan

menyalahgunakan kewenangan terjadi, apabila seseorang yang memiliki

14
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, pasal 1
33

kewenangan berdasarkan ketentuan atau kebiasaan umum yang berlaku

yang melekat pada suatu kedudukan jabatan yang dipangkunya

digunakannya secara salah/menyimpang bertentangan dengan maksud

dan tujuan dari diberikannya kewenangan dari kedudukan atau jabatan

tersebut. Singkatnya, menyalahgunakan kewenangan adalah

menggunakan wewenang secara menyimpang untuk tujuan lain dari

maksud diberikannya wewenang tersebut.

Menurut BPK RI, menyalahgunakan kewenangan adalah

perbuatan yang dilakukan dengan cara bertentangan dengan tata laksana

yang semestinya sebagimana yang diatur dalam peraturan, petunjuk tata

kerja, instruksi dinas dan lain sebaginya yang berlawanan atau

menyimpang dari maksud tujuan sebenarnya dari pemberian

kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.15

15
Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, Op. cit., hal. 65

Anda mungkin juga menyukai