Anda di halaman 1dari 8

JAWABAN UAS HUKUM PIDANA

NAMA : MUHAMMAD FALIH ABDI NUGROHO

NIM : 205190275

1. Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/ terlibatnya orang atau
orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan
sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang
mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang
lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak
pidana. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin suatu
hubungan yang sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan
yang lain, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.

Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) adalah sebagai berikut:

a) Orang yang melakukan (pleger), orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala
anasir atau elemen dari tindak pidana.

b) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh
(doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak
pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.

c) Orang yang turut melakukan (medepleger), Sedikitnya harus ada dua orang yaitu orang yang
melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) tindak pidana itu. Disini
diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan jadi melakukan
anasir atau elemen dari tindak pidana itu.
d) Orang yang sengaja membujuk (uitlokker), Orang yang dengan sengaja membujuk orang lain
untuk melakukan tindak pidana dengan memberikan sesuatu, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman dan tipu daya.

e) Orang yang membantu melakukan (medeplichting), Orang membantu melakukan jika ia


sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum (jika tidak sesudahnya) kejahatan itu
dilakukan.

2. A. Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut “Poging”, menurut doktrin adalah suatu
kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum sempurna.
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada
atau belum berhasil. Percobaan (poging) diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam
KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang
dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan
kejahatan.

B. Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
- ada perbuatan permulaan,
- perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai, dan
- tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri.
Adapun bunyi pasal 53 KUHP tersebut ialah:
1) Mencoba melakukan kejahatan yang dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata adanya
dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal ini percobaan dapat dikurangi
sepertiga.
3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4) Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.

3. Persamaannya ialah sama-sama melakukan tindak pidana lebih dari satu kali.
Perbedaannya ialah:
Pada Concursus, diantara beberapa tindak pidana itu belum ada yang diputus oleh pengadilan
dan kemudian diajukan sekaligus ke pengadilan.

Pada Recidive, diantara beberapa tindak pidana itu, sudah ada yang diputus oleh pengadilan
dan putusannya sudah mempunyai hukum yang tetap.

4. Perbuatan melawan hukum atau biasa disingkat PMH identik dengan ranah hukum perdata.
Umumnya, publik cenderung mengasosiasikan kata “PMH” dengan “gugatan PMH”. Namun,
sebenarnya PMH juga dikenal di ranah hukum yang lain seperti hukum pidana. Konsep dasarnya,
PMH di ranah hukum perdata maupun pidana sama-sama berkaitan dengan pelanggaran
hukum.

Meskipun begitu, pada perkembangannya, PMH di ranah hukum perdata ditafsirkan secara luas
tidak hanya melanggar hukum dalam arti undang-undang. PMH juga berarti melanggar hak
orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan,
dan bertentangan dengan kepentingan umum.

Perbedaan antara PMH di ranah hukum perdata dengan PMH di ranah hukum pidana dapat
dilihat dari beberapa faktor. Pertama, istilah. Di ranah hukum perdata, PMH disebut dengan
istilah Onrechtmatige Daad, sedangkan di ranah hukum pidana disebut Wederrechtelijk.

Kedua, sifatnya. Sejalan dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik, PMH di ranah hukum
pidana berkaitan dengan kepentingan umum yang dilanggar. Sementara, mengingat hukum
perdata sifatnya hukum privat, maka PMH di ranah hukum perdata berkaitan dengan
pelanggaran terhadap kepentingan pribadi.

Di ranah hukum pidana, PMH terbagi menjadi 2 (dua), PMH formil dan PMH materil. PMH formil
adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan
PMH materil adalah perbuatan yang tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukum
oleh undang-undang, tetapi bertentangan asas-asas umum yang berlaku.

PMH juga dikategorisasikan menjadi 2 (dua) jenis merujuk pada rumusan pasal pidana yang
mengaturnya. (i) PMH khusus yakni merujuk pada rumusan pasal pidana yang secara jelas
mencantumkan frasa “melawan hukum”. (ii) PMH umum yakni merujuk pada pasal pidana yang
tidak mencantumkan frasa “melawan hukum”, tetapi unsur melawan hukum dijadikan dasar
pemidanaan.

Contoh PMH khusus adalah Pasal 372 KUHP yang rumusannya “Barang siapa dengan sengaja
dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”.

Contoh PMH umum adalah Pasal 351 ayat (1) KUHP yang rumusannya, “Penganiayaan dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 4.500”.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pembedaan PMH
khusus dan PMH umum terlihat jelas dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3. Dimana, Pasal 2 secara
tegas mencantumkan frasa “melawan hukum”, sedangkan Pasal 3 tidak mencantumkan frasa
tersebut.

Yang menarik, frasa “melawan hukum” dalam Pasal 2 dijabarkan lebih lanjut meliputi PMH
formil maupun materil sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal. Namun, melalui
putusan permohonan pengujian undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) MK No. 003/PUU-
IV/2006, aspek PMH materilnya kemudian dihapus.

Putusan MK pada praktinya tidak dipatuhi sepenuhnya oleh penegak hukum, terutama hakim.
Sebagian dari mereka keukeuh berpegangan pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman
yang memberi ruang kepada hakim untuk menggali serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan masyarakat, sehingga PMH materil masih diterapkan.

5. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Tiada pidana tanpa kesalahan (Belanda: geen straf zonder schuld) merupakan salah satu asas
yang dianut dalam hukum pidana indonesia. Asas menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat
dihukum atas perbuatannya apabila pada dirinya terdapat kesalahan (Belanda; schuld). Dengan
kata lain, untuk dapat dihukumnya seseorang maka selain ia harus telah melakukan perbuatan
yang diancam pidana (Belanda; strafbaar handeling) juga padanya terdapat sikap batin yang
salah. Hal yang berkenaan dengan sikap batin yang salah ini dinamakan juga pertanggung
jawaban pidana (inggris; criminal liability).

Asas yang sama dikenal pula di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law,
seperti Amerika Serikat dan Inggris. Mereka mengenal asas”actus non facit reum, nisi menssit
rea”, yang biasanya disebut dalam bahasa inggris sebagai an act does not make a person guilty
unless the his mind a guilty, yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia sebagai;
perbuatan saja tidak membuat seseorang bersalah, kecuali jika batinnya juga bersalah.
Dengan demikian, menjadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud denagan kesalahan ?..

Definisi Kesalahan;
Mengenai pengertian kesalahan (schuld), oleh D. Simons dikatakan bahwa kesalahan adalah
keadaan psikis pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian
rupa, sehingga berdasarkan keadaan psikis tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya.

Unsur-Unsur Kesalahan ;
- Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pelaku.
- Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya
kesengajaan atau kealpaan.
= Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapusakan pertanggung
jawaban pidan pada diri pelaku.

6. Masalah Kriminalisasi dan Diskriminalisasi merupakan salah satu masalah dasar dalam


hukum pidana
Indonesia.

A.Kriminalisasi

adalah proses menjadikan perbuatan biasa menjadi perbuatan yang dapat dipidana

kriminalisasi dimulai sejak adanya UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum
pidana
kriminalisasi adalah konsekuensi dari asas legalitas pasal 1 (1) KUHP "tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang -
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. dalam bahasa latin "NULLUM
DELICTUM NULLA POENA  SINE PREVIA LEGE POENALI"

Kritetia pengadaan Kriminalisasi

1. harus memperhatikan tujuan hukum pidana


2. penentuan perbuatan yang tidak dikehendaki
3. prinsip biaya dan hasil
4. kemampuan aparat hukum

Contoh : Kasus pelecehan seksual yang menimpa Baiq Nuril

B. Dekriminalisasi
adalah proses menghilangkan ancaman pidana perbuatan yang semula tindak pidana
menjadi tindakan biasa.

dekriminalisasi berbeda dengan depenalisasi ( proses menghilangkan ancaman pidana


suatu perbuatan, akan tetapi masih bisa dituntut dengan cara yang lain. misalnya :
diancam dgn hukum perdata, administrasi negara dll.
dalam hal ini muncul POLITIK KRIMINAL (criminal politic)
adalah suatu usaha yang rasional dari penguasa/pemerintah di dalam menangani
kejahatan.
dapat dilaksanakan melalui 2 jalur
1. jalur hukum pidana (penal)
2. jalur non-hukum pidana (non-penal)

Contoh : Kasus Penyalahgunaan Narkoba/ Narkotika

B. Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana. Berbeda dengan actus reus yang
menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur
pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau
keadaan psikis pembuat

7. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan
menjadi tiga;

a. Alasan pembenar

yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuataan sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwah menjadi perbuatan yang patut dan benar.
b. Alasan pemaaf
yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Yakni perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa tetap bersifat melawan hukun dan tetap merupakan perbuatan pidana akan tetapi
terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

8. Sanksi sosial adalah satu dari beberapa sanksi untuk seseorang yang berbuat kesalahan (selain
sanksi yang bersifat administratif seperti sanksi hukum pidana/perdata). Sanksi sosial ini tidak
berupa tulisan hitam diatas putih dan seringkali bersifat implisit. Sanksi sosial terkadang mulai
muncul ditataran kerabat/tetangga terdekat, namun jika seseorang sudah melakukan berbagai
kesalahan yang diulang sekian lama, maka sanksi sosial ini akan semakin meruncing, sang
empunya salah akan mendapat sanksi sosial dari kelompok terkecil yaitu keluarga. Idealnya
keluarga akan menjadi tameng untuk si pembuat kesalahan, namun karena keluarga sudah
kecewa terhadap sikap dan tindakan yang dilakukan si pemilik salah, maka keluarga pun akan
ikut menjauh bahkan terkadang menjadi menyerang.
9.

Anda mungkin juga menyukai