Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN DAN ISTILAH PENYERTAAN

ARTIKEL
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Hukum Pidana
Dosen : Danel, SH. MH

Disusun oleh :
Lutfi Yasir Khotimi 1163020084

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017
A. Penyertaan Tindak Pidana
1. Pengertian dan Istilah Penyertaan
Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih
pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana.  Dalam praktek sering terjadi
lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku
ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.1
Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih
dari satu orang yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang
dilakukan,tetapi ada juga yang dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur
dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHp yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih
yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau
lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana dapat di sebutkan
bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang lain 2
Penyertaan ( deelneming ) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana
terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-
masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut.3

2. Deelneming ( penyertaan ) di atur dalam pasal 55 dan 56 KUHP


Pasal 55 KUHP berbunyi, dipidana sebagai pembuat (dader)  suatu
perbuatan pidana: 4
1. Mereka yang melakukan, yang meyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.
2. Mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan
atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan

1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm. 117.
2 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm. 174.
3 Prof.DR.H.Loebby Loqman,S.H., Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta: Universitas
Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995, hm. 59.
4 Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, 1991, hlm. 72.
memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk
perbuatan itu.
Pasal 56 berbunyi, dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Dari Pasal-Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa penyertaan adalah
apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana atau
kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu orang.
Sehubungan dengan pertanggungjawabannya, maka dikenal beberapa
penanggung jawab suatu tindak pidana yang masing-masing berbeda-beda
pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal itu, Mustafa Abdullah dan Ruben
Achmad menyatakan dalam hukum pidana penanggung jawab peristiwa pidana
secara garis besar dapat diklasifikasikan atas dua bentuk yaitu:5
1. Penaggung jawab penuh
2. Penaggung jawab sebagian.
Sehubungan dengan status dan keterlibatan seseorang dalam terjadinya
suatu tindak pidana, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP juga menentukan sistem
pemidanaannya yaitu:6
1. Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai dader atau pembuat delik
baik kapasitasnya sebagai pleger, doenpleger,
medepleger, maupunuitlokker maka ia dapat dikenai ancaman pidana
maksimum sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar. (penaggung jawab
penuh).
2. Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai medeplichtiger atau
pembantu bagi para pembuat delik, maka ia hanya dapat dikenai ancaman
pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang
dilanggar.(penanggung jawab sebagian).

3. Bentuk-bentuk Penyertaan
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut
ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
5 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989, hlm. 31-38.
6 Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm.
222.
1. Pleger (Orang yang melakukan)
Menurut pasal 55 KUHP, yang melakukan perbuatan disini tidak
melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara
sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan
tindak pidana itu. Jadi plegeradalah orang yang memenuhi semua unsur delik,
termasuk juga bila melalui orang-orang lain atau bawahan mereka.7
Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi
perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan atau
diartikan sebagai orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak
pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud.
Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan
perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan.
Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang
perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2. Doen plegen (menyuruh melakukan)
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam
pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi
apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya
merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat
dikenai hukuman dipana. Jadi si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka
yang dikendalikan oleh si penyuruh.
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara
orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan
demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor
intellectualis), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor
intellectualis).
3. Medeplegen (turut melakukan)
Medepleger adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia
turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah
disepakati.
Di dalam medepleger terdapat tiga cirri penting yang membedakannya
dengan bentuk penyertaan yang lain. Pertama,pelaksanaan perbuatan pidana
7 Ian Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Utama, 2003, hlm. 308.
melibatkan dua orang atau lebih.Kedua, semua orang yang terlibat benar-
benar melakukan kerja sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan pidana
yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan, tetapi
memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.
4. Uitlokking (penganjur)
Sebagaimana dalam dalam bentuk menyuruh melakukan
dalam uitlokker pun terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing
berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (actor intelectualis)  dan
orang yang dianjurkan (actor materialis).Bentuk penganjurannya adalah actor
intelectualismenganjurkan orang lain (actor materialis) untuk melakukan
perbuatan pidana.8
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu
tindakan dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan
penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain,
suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak.
Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana
sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi
persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai
kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.9
Penganjur adalah orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan pidana, dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi
anjurannya disebabkan karena terpengaruh atau tergoda oleh upaya-upaya
yang dilancarkan penganjur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1)
ke-2 KUHP.
5. Medeplichtigheid (pembantu)
Pembantu adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran,
informasi atau kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana.
B. Percobaan Tindak Pidana
1. Pengertian Percobaan Tindak Pidana
Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai
suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana
percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau
8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta , 2002, hlm. 124.
9 E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia
Grafika, 2002, hlm. 350-359.
aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum
pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai.
Unsur belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi persoalan.10
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan 
Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 KUHP
berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen
Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53:
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk  itu  telah ternyata
dari adanya permulaan  pelaksanaan,  dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok  terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi
sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam  dengan  pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya dapat dijatuhi
pidana jika perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai
kejahatan, sedangkan apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan
sebagai pelanggaran, maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata lain, mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana.11
Menurut MvT (memorie van toelichting = penjelasan UU) ialah sebuah
kalimat yang berbunyi: ”poging tot misdrijf is dan de bengonnen maar niet
voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van uitveoring
geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen”, yang artinya adalah suatu
kehendak seseorang untuk melakukan tindaka pidana yang telah tampak terwujud
dengan permulaan pelaksanaan (tapi belum selesai juga).12

2. Syarat (Unsur-Unsur) Percobaan


Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) disimpulkan unsur-unsur
tindakan  yang disebut sebagai percobaan, yaitu:

10 Wijono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT Eresco, 1989, hlm. 97.
11 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hm. 115.
12 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Abadi Bakti, 1997, hlm. 536.
1. Adanya niat
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia
berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk
mengetahui apa niat yang ada didalam hati orang lain. Niat seseorang akan
dapat diketahui jika ia mengatakanya pada orang lain. Namun niat itu juga
dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari
pelaksanaan niat. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk
melakukan percobaan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.13
2. Adanya Permulaan Pelaksanaan
Kehendak atau niat saja belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana,
sebab jika hanya berkehendak saja maka orang itu tidak diancam pidana,
berkehendak adalah bebas. Permulaan pelaksanaan berarti telah terjadinya
perbuatan tertentu.14
3. Keadaan, yakni tidak selesainya pelaksanaan bukan karena keinginan dalam
dirinya.
kejahatan yang telah dimulai pelaksanaanya oleh seseorang tersebut,
akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar dirinya atau
bukan atas kehendak sendiri. Misalnya, A hendak mencuri dirumah P. Setelah
diamatinya, A berencana masuk kerumah P melalui jendela samping yang
nampaknya mudah dirusak demikianlah, A mulai melakukan aksinya, namun
pada saat merusak jendela rumah petugas ronda malam mempergokinya
sehingga ditangkap.15

3. Sanksi Terhadap Percobaan


Sanksi terhadap percobaan di atur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)
yang berbunyi sebagai berikut:
(2) maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal
percobaandikurangi dengan sepertiga.
(3) kalau kejahatan itu di ancam dengan hukuman mati atau penjaraseumur
hidup, maka di jatuhkan hukuman penjara paling lama limabelas tahun.

13 Op.cit., Mahrus Ali, hlm. 117.


14 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 157.
15 Leden Merpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 96.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan
ayat (3) KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling
tinggi lima belas tahun penjara.16

4. Percobaan Yang Tidak Diancam Dengan Sanksi


Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi.
Ternyata KUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa
percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum antara
lain:
a. Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara
seseorang lawan seseorang.
b. Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan
terhadap binatang
c. Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan
penganiayaan dan penganiayaan ringan.
d. Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.

16 Ibid., hlm. 97.


Daftar Pustaka

Prodjodikoro, Wirjono. 2011. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika


Aditama.
Effendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Loqman, Loebby. 1995. Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana. Jakarta:
Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan.
Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia.
Abdullah, Mustafa & Achmad, Ruben. 1989. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Kholiq, Abdul. 2002. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Remmelink,  Ian. 2003. Hukum Pidana. Jakarta: Pustaka Utama.
Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi. 2002. Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Projodikoro, Wijono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco.
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Abadi Bakti.
Prasetyo, Teguh. 2013. Hukum Pidana. Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Merpaung, Leden. 2008. Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai