Anda di halaman 1dari 17

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHEL INDONESIA

HUKUM PIDANA (Kelompok 4)

DISUSUN OLEH :

Rafael Oktovianus Tanonggi (18111026) Lisnawati Sormin (18111018)

Grace Lydia Simangunsong (17111022) Matthew Marvell (18111021)

Patra (18111023) Rio Dwi Harto (18111028)

Rosalina Sihombing (18111029) Fransiskus Xaverius

Mesrawati Hutapea (18111022) Haniel

MAKALAH INI DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM


DAN HAM

Dosen Penagmpu : Dr. Hanan Soeharto, SH. MH

Program Studi Teologi

2020
PENDAHULUAN

Tujuan mempelajari pengantar hukum Indonesia adalah agar mengerti dan memahami
sistematika dan susunan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk mempertahankan,
memelihara, dan melaksanakan tata tertib di kalangan anggota masyarakat dan peraturan-
peraturan yang diadakan oleh negara.

Dengan mempelajari ilmu hukum Indonesia dapat diketahui perbuatan atau tindakan apa
yang memiliki akibat hukum dan perbuatan yang melawan hukum, juga bagaimana kedudukan
seseorang dalam masyarakat apa kewajiban dan wewenangnya menurut hukum Indonesia.

Mempelajari hukum Indonesia adalah mempelajari fungsi hukum Indonesia, yaitu ilmu
yang mengajarkan dan menanamkan dasar-dasar pengetahuan serta pengertian hukum di
Indonesia.
HUKUM PIDANA

Arti Dan Tujuan Hukum Pidana

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada suatu kebutuhan


yang mendesak, kebutuhan pemuas diri. Untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak,
biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran yang matang yang dapat merugikan
manusia yang lain. Hal itu akan menimbulkan akibat negatif. Untuk mengembalikan
suasana diperlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang menciptakan ketidak
seimbangan. Pertanggung jawaban yang wajib dilakukan berupa pelimpahan rasa ketidak
enakan masyarakat. Bagi penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan
perbuatannya, limpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi seseorang
yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan hukuman untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya.

Kepentingan masyarakat secara umum pengertiannya sangat luas. Demikian halnya


dalam hukum pidana. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan baik dengan ucapan
maupun dengan kegiatan anggota fisiknya ia akan dikenakan sangsi. Hanya saja yang
dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana karena merupakan pelaksanaan
pertanggung jawaban dari kegiatan yang dikerjakannya. Wujud dari sanksi pidana itu
sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.
Pelaksanaan hukuman itu sebagai tujuan hukum pidana untuk memenuhi rasa adil yang
dikehendaki oleh masyarakat.
Secara konkret tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah:
1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak
baik.
2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi
baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Tujuan hukuman pidana sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-


gejala sosial yang kurang sehat. Jadi hukum pidana ialah ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran
kepentingan umum .

Sifat Publik Hukum Pidana.

Sebelum hukum pidana dikenal, setiap peristiwa yang mengganggu keseimngan hidup
dan merugikan masyarakat yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat masih
dianggap sebagai pelanggaran terhadap kepentingan perseorangan. Korban berhak
membalas orang yang merugikan secara setimpal. Perbuatan pembalasan itu dinamakan
balas dendam.
Balas dendam disebut juga “dendam darah” .
Perbuatan balas dendam seringkali mengakibatkan pembunuhan besar-besaran.
Untuk menghindari kemusnahan manusia dan kelompoknya, mulai teratur asas Talio.
Asas itu diubah menjadi asas “pembayaran ganti rugi” dengan demikian korban atau
keluarga akan menerima ganti rugi sebagai penebus dosa.
Adanya perubahan itu berarti sifat hukumnya menjadi keperdataan. Maksudnya
hubungan hukum yang terjadi dilakukan sebagai sebab adanya peristiwa hukum antara
seseorang dengan orang lainnya.

Peristiwa Pidana

Peristiwa pidana atau tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman pidana. Peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa
pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Berikut unsur-unsur pidana dalam suatu
peristiwa yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana yaitu:

1. Objektif
Maksudnya adalah suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan
mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang
dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.
2. Subjektif

Maksudnya adalah perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa
pidana ialah sebagai berikut:

 Harus ada perbuatan. Maksudnya adalah memang benar-benar ada suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Perbuatan tertentu dapat dipahami oleh
orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
 Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya
perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku
pada saat itu. Pelakunya benar-benar berbuat seperti yang terjadi dan wajib
mempertanggungjawabkan akibat perbuatan itu. Adapun berkenaan dengan syarat ini
hendaklah dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan
dan pelakunya tidak perlu mempertanggungjawabkan contohnya seseorang atau beberapa
orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang
mengganggu keselamatan dan dalam keadaan darurat.
 Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Maksudnya bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan
sebagai suatu perbuatan yang disalah oleh ketentuan hukum.
 Harus berlawanan dengan hukum. Maksudnya suatu perbuatan yang berlawanan dengan
hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.
 Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya adalah kalau ada ketentuan yang
mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, ketentuan itu
memuat sanksi ancaman hukumannya.

Hukum pidana Indonesia

(sejarah singkat berlakunya KUHP)

Hukum pidana disebut juga “Ius Poenale” yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-
larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman.
Ius Peonalle merupakan hukum pidana dalam arti objektif yang terdiri dari:

1. Hukum pidana materiil


Berisikan peraturan tetang perbuatan yang diancam dengan hukuman, mengatur
pertanggunggan jawab terhadap hukum pidana.

2. Hukum pidana formil

Merupakan sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan


haknya untuk mengadili serta memberikan putusan terhadap seseorang yang diduga
melakukan tindakan pidana.

Selain hukum pidana objektif, ada juga hukum pidana subjektif yang disebut juga Ius
Puniendi, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan yang dilarang.

A. Ruang lingkup hukum pidana

Hukum pidana memiliki ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana
atau delik ataupun tindak pidana. Peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum
yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Unsur-unsur
peristiwa pidana yaitu,

1. Sikap tindak
2. Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana
3. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran
4. Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan

Sikap tindak yang dapat dikenai sanksi:

1. Perilaku manusia
2. Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum
3. Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan
pelanggaran hukum
4. Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tidak tersebut.

Unsur-unsur perumusan delik, dibedakan dalam:

1. Delik dasar, yang merumuskan suatu sikap tindak atau perilaku yang dilarang
2. Delik yang meringankan, yakni merumuskan sikap tindak yang karena suatu keadaan
mendapat keringanan hukuman
3. Delik yang memberatkan, yaitu merumuskan sikap tindak karena suatu keadaan diancam
hukuman yang lebih berat.
B. Sumber hukum pidana di Indonesia
1. Kitab Undang-Undang hukum pidana
2. Peraturan-peraturan tindak pidana diluar KUHP

Dalam hukum pidana ada suatu adagium, yang artinya tidak ada suatu perbuatan dapat
dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Asas-asas
berlakunya KUHP:

1. Asas teritorial atau wilayah, Undang-Undang hukum pidana berlaku didasarkan pada
tempat atau teritoir dimana perbuatan dilakukan.
2. Asas nasionalitas aktif atau asas personlitas, didasarkan pada kewarganegaraan atau
nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan.
3. Asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan, didasarkan oleh kepentingan hukum
negara yang dilanggar.
4. Asas universalitas, dapat diberlakukan terhadap siapapun yang melanggar hukum dari
seluruh dunia.

SISTEMATIKA KUHP

KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang


berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku
di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku
tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang
mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.

Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103).
b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488).

c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489- 569).

Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku
Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali
aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain (lihat Pasal 103 KUHP).

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan antara lain :

1.UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.

2.UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Narkoba.

3.UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. Dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya,
seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun
1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan
sebagainya.

ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

Pada dasarnya ada dua hal yeng menyangkut berlakunya hukum pidana, yaitu
berdasarkan Waktu dan Tempat Berlakunya Hukum Pidana.

Ruang Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu
dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang
bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula peona sine praevia lege poenali) Terdapat dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan
dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Asas ini dirumuskan
oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)”
dimana adagium nullum delictum nulla peona sine praevia lege poenali yang mengandung tiga
prinsip dasar :

1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)


2. Nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana
yang terlebih dulu ada).

Ruang Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Teori tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat
terjadinya. Perbuatan (Yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada
2 (dua) pendapat yaitu:

1. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi
diwilayah Negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain
(asas territorial).
2. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan
oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar
wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas persoalan atau prinsip nasional
aktif.

Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat:

1. Asas Teritorial.
Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan:
Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan:
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air ataupun pesawat
udara Indonesia.
2. Asas Personal (Nasional aktif)
Pasal 5 KUHP menyatakan:
 Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
Negara yang di luar Indonesia melakukan: salah satu kejahatan yang tersebut dalam
Bab 1 dan Bab II Buku kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah
satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan
Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.

 Penentuan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan. Sekalipun rumusan
pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar
wilayah Indonesia”, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi
sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan Nasional (asas
nasional pasif). Karena ketentuan pidana yang berlakukan bagi warga Negara diluar
wilayah territorial wilayah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang
dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.

 Asas Perlindungan (Nasional pasif)


Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini
memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar
wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan
nasional, yaitu:
- Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap
martabat/kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik
Indonesia (pasal 4 ke-1).
- Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau
segel/materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-
2)/
- Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang
yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
- Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat
udara Indonesia (pasal 4 ke-4).

 Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
dalam hukum Internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas
universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (Hukum Internasional).
Menurut Moeljatno, pada umunya pengecualian yang dilakukan meliputi:
- Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai
hak eksteritorial. Hukum Nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
- Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak
eksteritorial.
- Anak buah kapal perang Asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di
luar kapal. Menurut Hukum Internasional kapal perang adalam teritoir Negara
yang mempunyainya.
- Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan
Negara itu.

Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana

Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai
asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang Hukum Pidana. Asas Ruang Lingkup
berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat :

1. Asas teritorialitas
Ketentuan asas ini dicantumkan dalam pasa 2 yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana
dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di dalam wilayah
Indonesia melakukan tindak pidana”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, tegas bahwa bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, maka baginya
dikenakan anjuran pidana yang dicantumkan dalam undang-undang Indonesia
2. Asas Nasionalitas Aktif
Aturan Pidana di Indonesia tujuannya untuk melindungi kepentingan umum (nasional).
Dalam pasal 5 dinyatakan sebagai berikut.
Ayat 1 : ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga negara
Indonesia yang di luar Indonesia melakukan:
1. Salah satu kejahatan yang dituangkan pada Bab 1 dan 2 hukum kedua dan pada pasal
160, 161, 240, 279, 450, dan 451
2. Suatu peristiwa yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan-ketentuan
hukum pidana dalan Undang-Undang Indonesia dan dapat di pidana menurut undang-
undang negara tempat perbuatan itu dilakukan

Ayat 2 : penuntutan terhadap suatu peristiwa yang dimaksudkan pada kedua itu boleh
juga dijalankan jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia sesudah melakukan
peristiwa itu.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka bagi warga negara yang melakukan tindak pidana
di luar wilayah Indonesia yang menyangkut keamanan negara, kedudukan kepala negara,
penghasutan untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer,
perkawinan melebihi jumlah yang ditentukan dan pembajakan, maka pelakunya dapat
dituntut menurut aturan hukum pidana di Indonesia. Kepentingan nasionalnya adalah
agar warga negara Indonesia yang melakukan tindak idana tersebut tidak diadili menurut
hukum di negara tempat terjadinya peristiwa tersebut.

3. Asas Nasionalitas pasif


Asas ini yang juga disebut “asas perlindungan” yang bertujuan melindungi
kepentingan terhadap tindakan. Tindakan itu dapat dari warga negara sendiri maupun
orang asing yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia yang
dilakukannya untuk menjatuhkan wibawa dan martabat Indonesia. Asas ini tidak
melihat kewarganegaraan pelaku, akan tetapi tindak pidana yang terjadi itu
mengancam kepentingan nasional. Kitab undang-undang menetapkan hukuman
dalam:

- Pasal 4

Yang menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi


setiap orang yang bersalah karena di luar Indonesia :,
a. Melakukan kejahatan yang diterangkan pada pasal 104, 106, 107, 108,
110, 111, bis (1), 127, dan 131
b. Melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang
kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia
c. Pemalsuan dalam surat-surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan
Indonesia, daerah atau bagian suatu daerah termasuk talon, surat-surat
untuk sero atau surat-surat bunga uang yang sengaja mengikuti surat-surat
itu atau dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan
demikian itu seakan-akan surat itu benar dan tidak dipalsukan.

Ketentuan ini menurut Prof. Dr. Wirjono Prodijodikoro, SH adalah layak. Hal itu karena
hanya ada sedikit yang dikenakan prinsip nasionalitas pasif, yaitu yang berat saja dari
titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan materai
dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat utang atas beban Indonesia atau daerahnya.

- Pasal 8

Menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku


bagi nahkoda dan pelayar bahtera Indonesia yang di luar wilayah, walaupun tidak
berada diatas pelayaran, melakukan salah satu tindak pidana yang diterangkan
dalam Bab XXIX buku kedua dan Bab IX buku ketiga, demikian juga diterangkan
dalam peraturan umum tentang surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam
ordonansi kapal 1927.
Pasal ini merupakan perluasan asas nasionalisme pasif yang dikenakan kepada nahkoda
dan penumpang kapal Indonesia yang melakukan tindakan pidana di luar wilayah, di luar kapal,
seperti kejahatan pelayaran dan pelanggaran pelayaran.

4. Asas Universalitas
Asas universalitas melindungi kepentingan hubungan antarnegara tanpa melihat
kewarganegaraan pelakunya. Yang diperhatikan adalah kepentingan negara lain
sebagai tempat dilakukan suatu tindak pidana tertentu. Yang dimaksudkan tindak
pidana tertentu itu seperti tercantum dalam pasal 4 sub 4 yang menyatakan bahwa
“melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 438, 444-446 tentang
pembajakan dan yang ditentukan dalam pasal 447 tentang menyerahkan suatu bahtera
kepada kekuatan pembajak di laut.

Selain empat asas hukum pidana yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya, ditegaskan
juga bahwa bagi pegawai negeri Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu di luar
wilayah negara, maka aturan pidana tetap diberlakukannya, yang dimaksud ialah kejahatan
jabatan.

Sistem Hukuman

Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman yang
dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana, yaitu sbb:

1. Hukuman pokok (Hoofd Straffen)

 Hukuman mati
 Hukuman penjara
 Hukuman kurungan
 Hukuman denda

2. Hukuman tambahan ( Bijkomende Straffen)

Pencabutan beberapa hak tertentu


Perampasan barang-barang tertentu
Pengumuman putusan hakim
A. Hukum Pokok

1. hukuman mati

Sejak hukum pidana berlaku di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, tujuan diadakannya dan dilaksanakan hukuman mati
supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan
terhadap ketentraman yang sangat ditakuti umum.

Ketentuan pasal ini mengalami perubahan yang ditentukan dalam S 1945 : 123 dan mulai
berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari
apa yang tentang hal ini ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan
pada orang-orang sipil (Bukan Militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh Gubernur Jenderal
dilakukan secara menembak mati”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, hukuman mati dilaksanakan
dengan menembak mati terhukum.

2. Hukuman penjara

Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam
menjalankan hukumannya sesuai keputusan hakim. Terhukum selama menjalankan hukuman ada
yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukuman terbatas itu sekurang-kurangnya
satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun. hukuman yang lebih dari lima belas tahun dan
tidak kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan diancam
dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman plus karena rangkaian kejahatan yang
dilakukan (Pasal 52).

3. Hukuman kurungan

Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara hanya perbedaannya terletak
pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman hukumannya pun ringan. Dalam pasal 18
dinyatakan bahwa lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu
tahun empat bulan.

4. Hukuman denda
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam pasal 30-33.
Pembayaran denda tidak ditentukan harus terpidana dengan begitu dapat dilakukan oleh setiap
orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayarannya hal demikian akan
mengaburkan sifat hukumannya.

B. Hukuman Tambahan

Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam
putusan hakim ditetapkan hukuman tambahannya.

Perkembangan Hukum Pidana Indonesia

Sejak Indonesia Merdeka sampai sekarang, aturan-aturan hukum Pidana yang berlaku tidak saja
termuat dalam KUHP. Aturan-aturan itu juga terdapat di dalam Undang-Undang lain sebagai
hukum tertulis dan di kodifikasi dan yang tidak dikodifikasi. Undang-unang itu merupakan hasil
produk pemerintah dalam menasionalkan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mengembangkan peraturan hukum pidana tercantum dalam pasal 103 KUHP. Beberapa aturan
hukum pidana Indonesia yang perlu diketahui sebagai perkembangan aturan hukum selain
Undang-undang lalu lintas yang telah lama berlaku adalah sebagai berikut.

a. Pemberantasan kegiatan subversi, diatur berdasarkan penetapan presiden no. 11 tahun


1963.
b. Pemberantasan tindak pidana korupsi, diatur dalam Undang-undang no.3 tahun 1971
c. Pemberantasan narkotika, diatur dalam Undang-undang no.9 tahun 1976
d. Pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-undang no.31 tahun 1999
e. Penertiban perjudian, Undang-undang nomor 7 tahun 1974
f. Perbankan dengan sanksi pidana, Undang-unang no.7 tahun 1992. Undang-undang no.10
tahun 1998
g. Perlindungan konsumen, Undang-undang no.8 tahun 1999
KESIMPULAN

Hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut (Tindak pidana/ hukum pidana materil)

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
(pertanggungjawaban pidana/ hukum pidana materil)

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (hukum acara pidana/hukum pidana
formil)
d. hukum pidana juga dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai