TINJAUAN PUSTAKA
10
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA, HUKUM ADAT,
TINJAUAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DALAM HUKUM
ADAT, PENGANIAYAAN, RESTORATIVE JUSTICE, GAMBARAN
UMUM LOKASI PENELITIAN
“Strafrecht”. Straf berarti pidana, recht berarti hukum. Straf sendiri secara
b. Menentukan kapan dan dalam hal - hal apa kepada mereka yang telah
1
.Mukhlis, Tarmizi dan Ainal Hadi, 2018, Hukum Pidana Syiah Kuala University Press, Banda
Aceh hlm. 1
11
larangan tersebut.2
Terdapat banyak pengertian hukum pidana. Hal ini diakui oleh para
ahli hukum bahwa hukum pidana sulit untuk didefinisikan karena masing-
pidana.
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaarfeit yang dimaksudkan untuk perbuatan
pidana. Istilah strafbaarfeit atau tindak pidana ini berasal dari tiga kata
yakni, straf, baar, dan feit. Straf yang artinya hukuman atau pidana. Baar
artinya dapat atau dalam Bahasa inggris “able”. Sedangkan feit artinya
perbuatan atau fakta. Sehingga strafbaarfeit berarti perbuatan yang dapat
dipidana atau perbuatan yang dapat dihukum.7
Berikut pandangan beberapa ahli hukum pidana terkait istilah dari
“strafbaar feit”:
1. Moeljatno mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana
adalah : Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa
saja yang melanggar aturan tersebut. Lebih lanjut, Moeljatno
mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan
tentang pengertian tindak pidana :
1) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana.
2) Larangan ditunjukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang,
sedangkan ancaman pidana ditunjukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.
3) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat
oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula.8
7
Masruchin Ruba'i, 2015. Tindak Pidana dalam Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Media Nusa
Creative
8
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.59
9
Roeslan Saleh. 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 89.
14
10
Ibid., hlm. 77.
11
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung,
hlm.55
15
tersebut, maka akan ditetapkan ciri-ciri hukum adat yang merupakan tanda
pengenal yang membedakan antara hukum adat dan adat.
15
Dewi Sulastri, 2015, Pengantar Hukum Adat, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 63-67
20
16
Sri Waejiyanti, 2020, ilmu Hukum Adat, Penerbit Deepublish, Yogyakarta, hlm.25
21
delik itu dan apa latar belakangnya. Terhadap pelaku delik hukum
adat tidak menyama-ratakan, begitu pula peristiwa dan perbuatannya.
5. Terbuka dan lentur, artinya memiliki aturan hukum adat/delik bersifat
terbuka dan lentur (flexible) terhadap unsurunsur yang baru yang
berubah, baik yang datang dari luar ataupun karena perubahan dan
perkembangan masyarakat lingkungannya. Hukum adat tidak menolak
perubahan-perubahan itu asal tidak bertentangan dengan kesadaran
hukum dan keagamaan masyarakat bersangkutan.
6. Terjadinya delik adat, terjadinya delik adat apabila tata tertib adat
setempat dilanggar, atau dikarenakan adanya suatu pihak merasa
dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan
masyarakat menjadi terganggu. Misalnya perbuatan mencuri buah-
buahan di Aceh jika pelakunya memetik buahbuahan itu dari pohon
yang tidak dipelihara maka si pencuri dihukum membayar harganya.
7. Delik Aduan, Apabila terjadi delik adat, yang akibatnya mengganggu
keseimbangan keluarga, maka untuk menyelesaikan tuntutan atau
gugatan dari pihak yang dirugikan harus ada pengaduan, harus ada
pemberitahuan dan permintaan untuk diselesaikan kepada kepala adat.
8. Reaksi dan Koreksi, Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi
terhadap peristiwa atau perbuatan delik adalah untuk memulihkan
kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.
9. Pertanggungjawaban Kesalahan, Menurut hukum pidana (delik adat)
apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik yang dipersalahkan
bagaimana akibat perbuatan itu dan siapa yang harus dimintai
pertanggungjawaban. Sedangkan menurut hukum adat bukan saja
pribadi pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi juga
keluarga atau kerabat dan/atau kepala adatnya.
Jadi menurut penulis pertanggungjawaban kesalahan hukum pidana
adat ditanggung oleh keluarga, kerabat dan/atau kepala adatnya.
23
10. Tempat berlakunya hukum delik adat tidak bersifat nasional tetapi
terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu atau di pedesaan.
(Hilman Hadikusuma, ibid : 2013)17
17
Ukilah Supriatin dan Iwan Setiawan, 2016, Persepsi Mengenai Hukum Pidana Adat , Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, Volume 4 No. 2 September 2016, hlm. 161-164
24
18
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, hlm. 8-9
19
Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 85
25
1. Sistem Mediasai
Upaya alternatif pemidanaan sebenarnya dalam masyarakat
Indonesia penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana
dengan mediasi, hal ini dibuktikan dengan adanya penyelesaian
dengan pendekatan musyawarah. Bila dilihat secara historis kultur
26
2.4. Penganiayaan
2.4.1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
20
La Syarifuddin, 2019, Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian Perkara Pidana,
Risalah Hukum, Universitas Mulawarman, Volume 15, Nomor 2, hlm. 4-6
28
21
W.J.S. Poerwardaminata, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,hlm. 48
22
Hilman Hadikusuma, 1983. Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.
29
sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata
merupakan tujuan si pelaku.
25
Manulang Herlina I, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, UHN Press, Medan, hlm 72
26
Poerwadarminta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, balai pustaka, Jakarta, hlm 47
27
Kitab Undang – Undang Pidana Bab XX Pasal 351
31
28
Ibid Pasal 352
29
Ibid Pasal 353
30
Ibid Pasal 354
32
31
Ibid Pasal 355
32
Ibid Pasal 356
33
perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu
bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.33
33
Apong Herlina, 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 203
34
Marian Liebmann, 2007, Restorative Justice, How it Work, London and Philadelphia, Jessica
Kingsley Publishers, hlm. 25
35
35
Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni U, 2021, RESTORATIVE JUSTICE Dalam
Peradilan Pidana di Indonesia, CV Pena Indis, Makassar-Sulawesi Selatan, hlm. 128-130
36
Ismael Roby Silak. 2011. Konflik Perang dan Perdamaian Orang Yali di Angguruk, Pustaka
Refleksi, Makassar, hlm. 1
37
hubungan yang awalnya baik dan harmonis, maka menjadi retak dan tidak
harmonis lagi, dan hilang suasana keakrabannya.37
Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa sengketa
(konflik) hanya bisa diselesaikan melalui jalur Pengadilan, bahkan
sebagian besar kalangan profesional hukum pun berpandangan yang sama.
Sampai saat ini banyak dari kalangan mereka hanya terpaku memilih jalur
litigasi dan melupakan serta mengabaikan cara-cara penyelesaian sengketa
melalui jalur non-litigasi misalnya melalui Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR). Sebagaimana dikutib dalam bukunya I Made Widnyana,
bahwa Dispute Resolution yang biasa disebut "Alternative Dispute
Resolution" adalah serangkaian proses yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak.38
Sengketa atau konflik merupakan sebuah fenomena sosial di dalam
sebuah pergaulan di masyarakat.39 Menurut Randall Collins, konflik adalah
proses sentral dalam kehidupan sosial.40 Jadi, dalam kehidupan sosial/
bermasyarakat tentunya pasti akan selalu timbul konflik. Sebetulnya,
konflik dapat berimplikasi positif, yakni, dapat membantu individu-
individu/kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut menjadi lebih erat
hubungannya. Hal tersebut dapat menciptakan kohesi sosial yang dapat
mendorong terbentuknya stabilitas nasional. Akan tetapi, dalam
realitasnya, sisi positif tersebut jarang terjadi, justru sisi negatif dari
konflik, seperti terjadinya disintegrasi yang sering muncul. Di dalam
masyarakat tradisional (adat), konflik yang timbul biasanya diselesaikan
dengan cara-cara perdamaian. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya permusuhan, pertikaian, perpecahan (disintegrasi), dan
sebagainya. Dalam menyelesaikan suatu konflik masing-masing
individu/kelompok memiliki caranya masing-masing.
37
I Made Widnyana. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hlm. 6
38
I Made Widnyana. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hlm. 11
39
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad. 2010. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta, hlm. 44- 46
40
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003, Teori Sosiologi Modern. Kencana, Jakarta, hlm.
16
38
Menurut Nader dan Todd, ada beberapa cara/tahapan yang biasa dilakukan
seseorang dalam menyelesaikan konflik/sengketa yang dihadapinya, yaitu:
a. Membiarkan saja (lumping it) Dalam tahapan ini, pihak yang merasa
diperlakukan tidak adil/ dirugikan gagal dalam upaya menekan
tuntutannya. Ia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja
masalah/isu yang menimbulkan tuntutannya dan ia meneruskan
hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya.
Ini dilakukan karena berbagai kemungkinan, seperti kurangnya
informasi mengenai bagaimana proses mengajukan keluhan itu ke
peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan atau sengaja tidak
diproses ke peradilan karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih
besar dari keuntungannya (baik materiil maupun kejiwaannya).
b. Mengelak (avoidance). Pada tahapan ini, pihak yang merasa dirugikan
memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut.
Misalnya, dalam hubungan bisnis, hal semacam ini dapat terjadi.
Dengan mengelak, maka isu yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
Berbeda dengan pemecahan pertama, di mana hubungan-hubungan
berlangsung terus, isunya saja yang dianggap selesai, dalam bentuk
kedua ini, pihak yang dirugikan mengelakkannya dan menghentikan
hubungan-hubungan untuk sebagian atau keseluruhan.
c. Paksaan (coersion). Tahapan selanjutnya, yaitu paksaan (coersion) di
mana salah satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak lain. Ini
bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau
ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi
kemungkinan penyelesaian secara damai.
d. Perundingan (negotiation). Pada tahapan perundingan, dua pihak yang
berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari
permasalahan yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua,
mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampuri. Kedua
pihak berupaya untuk saling meyakinkan, jadi mereka membuat aturan
mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari
aturan-aturan yang ada.
e. Mediasi (mediation). Dalam cara ini, ada pihak ketiga yang membantiu
kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.
Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa atau ditunjukkan oleh yang berwenang untuk itu. Apakah
mediator hasil pilihan kedua pihak atau karena ditunjuk oleh orang
yang mempunyai kekuasaan, kedua pihak yang bersengketa harus
setuju bahwa jasa-jasa dari seorang mediator akan digunakan dalam
upaya mencari pemecahan. Dalam masyarakat-masyarakat kecil
(paguyuban) bisa saja ada tokoh-tokoh yang berperan sebagai mediator,
juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai hakim.
39
41
T.O Ihromi, 2001, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, hlm. 210-211
40