Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
10

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA, HUKUM ADAT,
TINJAUAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DALAM HUKUM
ADAT, PENGANIAYAAN, RESTORATIVE JUSTICE, GAMBARAN
UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. HUKUM PIDANA


2.1.1. Pengertian Hukum Pidana

Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

“Strafrecht”. Straf berarti pidana, recht berarti hukum. Straf sendiri secara

harfiah berarti hukuman. Jika digabungkan keduanya akan berarti hukum

hukuman. Istilah demikian dianggap tidak lazim menurut tata bahasa,

maka istilah “hukum-hukuman” itu diganti dengan hukum pidana.1

Muljanto mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara , yang mengadakan

dasar dasar dan aturan - aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan - perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal - hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah di ancamkan.

1
.Mukhlis, Tarmizi dan Ainal Hadi, 2018, Hukum Pidana Syiah Kuala University Press, Banda
Aceh hlm. 1
11

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.2

Terdapat banyak pengertian hukum pidana. Hal ini diakui oleh para

ahli hukum bahwa hukum pidana sulit untuk didefinisikan karena masing-

masing hukum memiliki pandangan yang berbeda. Berikut ini, penulis

mengutip beberapa pandangan dari para sarjana tentang pengertian hukum

pidana.

1. Menurut C.S.T. Kansil Hukum pidana adalah :

Hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-


kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 3
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah:
a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti Negara,
Lembaga-lembaga Negara, Pejabat Negara,Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan sebagainya.
b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh,
kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.

Definisi hukum pidana yang dikemukakan oleh Kansil juga tidak


lengkap, karena tidak mencakup hukum pidana materil dan hukum
pidana formil.

2. Menurut W.L.G. Lemaire,


Sebagaimana dikutip P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana terdiri
dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-
larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan
sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus.
2
Suryanto, 2018, Pengantar Hukum Pidana, Deepublish , Yogyakarta
3
Kansil C.S.T, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 257.
12

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan


suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-
tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan
dalam keadaan-keadaan mana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta
hukuman yang bagaimana dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan
tersebut. Lamintang lebih lanjut menjelaskan bahwa rumusan atau
batasan atau definisi hukum pidana oleh Lemaire seperti dikutip di atas,
mungkin saja benar apabila yang dimaksud adalah hukum pidana
materil. Padahal hukum pidana itu terdiri dari hukum pidana materil
dan hukum pidana formil.4

3. Menurut Moeljatno Hukum pidana adalah :


Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang atau
dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut. 5

Definisi hukum pidana yang disampaikan oleh Moeljatno adalah


definisi hukum pidana yang lengkap, artinya dalam definisi ini
terkandung hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Untuk
perbuatan dipakai asas legalitas, untuk pertanggungjawaban dipakai
asas tiada pidana tanpa kesalahan dan untuk cara pengenaan pidana
salah satu asasnya adalah asas praduga tak bersalah.6
2.1.2. Pengertian Tindak Pidana
4
Lamintang P.A.F, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 1-2.
5
Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal. 4.
6
Mukhlis, Tarmizi dan Ainal Hadi, 2018, Hukum Pidana , Syiah Kuala University Press, Banda
Aceh, hlm. 3-5
13

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaarfeit yang dimaksudkan untuk perbuatan
pidana. Istilah strafbaarfeit atau tindak pidana ini berasal dari tiga kata
yakni, straf, baar, dan feit. Straf yang artinya hukuman atau pidana. Baar
artinya dapat atau dalam Bahasa inggris “able”. Sedangkan feit artinya
perbuatan atau fakta. Sehingga strafbaarfeit berarti perbuatan yang dapat
dipidana atau perbuatan yang dapat dihukum.7
Berikut pandangan beberapa ahli hukum pidana terkait istilah dari
“strafbaar feit”:
1. Moeljatno mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana
adalah : Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa
saja yang melanggar aturan tersebut. Lebih lanjut, Moeljatno
mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan
tentang pengertian tindak pidana :
1) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana.
2) Larangan ditunjukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang,
sedangkan ancaman pidana ditunjukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.
3) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat
oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula.8

2. Menurut Roeslan Saleh, melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu


berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan
syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena
melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah
melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan ‘kesalahan’. Dalam
memaknai ‘kesalahan’,9 Roeslan Saleh menyatakan, ‘Kesalahan’ adalah
dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi

7
Masruchin Ruba'i, 2015. Tindak Pidana dalam Buku Ajar Hukum Pidana. Malang: Media Nusa
Creative
8
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.59
9
Roeslan Saleh. 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 89.
14

masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin


melakukan perbuatan tersebut.10
Sedangkan menurut Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah
“tindak pidana adalah tetap dipergunakan dengan istilah tindak pidana
atau dalam Bahasa Belanda strafbaar feit yaitu suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat
dikatakan merupakan subjek tindak pidana.”11
Tindak Pidana merupakan dasar suatu kesalahan dalam suatu
kejahatan. Untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan
perbuatan yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau
kealpaan. Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-
bentuk kesalahan, sedangkan istilah dari pengertian kesalahan yang
dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan tersebut
harus dipertanggungjawabkan dan bilamana telah terbukti benar terjadi
suatu tindak pidana maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman
pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan pengertian tindak pidana
pada umumnya merupakan perbuatan jahat yang dilakukan oleh
seseorang (pelaku) yang dimana perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
Negara, baik yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) maupun yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang lain.

2.1.3. Unsur – Unsur Tindak Pidana


Unsur-unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang
teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut pandang teoritis ialah
berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi
rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-undang adalah bagaimana
kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu
dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
1. Dari Sudut Teoritis

10
Ibid., hlm. 77.
11
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung,
hlm.55
15

Terdapat beberapa unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa


teoritisi yaitu sebagai berikut.
a. Menurut Moeljatno menyatakan :
Unsur-unsur tindak pidana adalah
1) Perbuatan;
2) Yang dilarang (oleh aturan hukum)
3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)
Perbuatan yang dimaksudkan diatas adalah perbuatan
manusia saja dan perbuatan tersebut dilarang dalam aturan
hukum pidana. Ancaman pidana diterapkan bagi setiap
pelanggar larangan pidana.
b. Menurut R.Tresna unsur-unsur tindak pidana, yaitu
1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
2) Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan;
3) Diadakan tindakan penghukuman.
c. Menurut Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara
panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
1) Kelakuan (orang yang);
2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
3) Diancam dengan hukuman;
4) Dilakukan oleh orang (yang dapat)

Sehingga dapat disimpulkan dari semua pendapat para teoritis


mengenai unsur-unsur tindak pidana, pada hakikatnya terdapat
kesamaan dari tiap pendapat yaitu sama-sama mengandung unsur
pembuat dan unsur perbuatan.

2. Dari Sudut Undang-Undang.


Berdasarkan rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam
KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu :
a. Unsur tingkah laku.
b. Unsur melawan hukum.
c. Unsur kesalahan
d. Unsur akibat konstitutif.
e. Unsur keadaan yang menyertai.
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.
16

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.


h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Berdasarkan 8 unsur tersebut di atas, di antaranya dua unsur


yakni kesalahan dan melawan hukum adalah berupa hukum objektif.
Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada di luar
keadaan batin manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai
pembuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang
melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak pidana. Sedangkan
unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang mengenai
batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.12

2.2. Hukum Adat


2.2.1. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda-Adat
Recht” yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. 13Tetapi
di tengah masyarakat, istilah hukum adat jarang digunakan. Dalam
kehidupan bermasyarakat, tidak ada pemisahan antara adat istiadat dengan
hukum adat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adat adalah hukum
adat dan sebaliknya hukum adat juga adalah adat istiadat. Namun
demikian, Roelof van Dijk sebagaimana dikutip Iman Sudiyat,
membedakan pengertian adat dengan hukum adat sebagai berikut:
“Adat diartikan sebagai segala kebiasaan yang menjadi tingkah laku rakyat
Indonesia, disebut hukum adat jika atas kebiasaan tersebut menimbulkan
akibat hukum atau memiliki sanksi”.14

Memang betapa sulitnya untuk membedakan antara hukum adat


dan adat ini karena keduanya merupakan unsur yang membentuk suatu
mekanisme pengendalian sosial di dalam masyarakat adat. Walaupun
kesulitan-kesulitan itu timbul, akan tetapi pada intinya sebenarnya terletak
pada tujuan hukum adat. Dengan mengetahui dan menghayati tujuan
12
Mukhlis, Tarmizi dan Ainal Hadi, 2018, Hukum Pidana, Syiah Kuala University Press, Banda
Aceh, hlm. 22-24
13
Iman Sudiyat, 1978, Asas-asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, hlm.1.
14
Ibid, hlm.11.
17

tersebut, maka akan ditetapkan ciri-ciri hukum adat yang merupakan tanda
pengenal yang membedakan antara hukum adat dan adat.

2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Hukum Adat Di Indonesia


Sejarah terbentuknya hukum adat tumbuh dari cita-cita dan alam
pikiran masyarakat Indonesia. Masa Sriwijaya Mataram Muno, dan
Majapahit menghasilkan beberapa inskripsi (prasasti) yang
menggambarkan perkembangan hukum yang berlaku (hukum asli). Oleh
karena itu, hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia
terdiri atas kerajaan-kerajaan, yang tersebar di seluruh Nusantara. Yang
telah mengatatur beberapa bidang berikut.
1. Aturan-aturan keagamaan, perekonomian, dan pertambangan dimuat
dalam Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah.
2. Aturan keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raj
Dewasimha tahun 760.
3. Hukum pertanahan dan pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja
Tulodong, di Kediri tahun 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat
jabatan pemerintahan, hak raja atas tanah, dan ganti rugi.
4. Hukum yang mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam
prasasti Bulai Rakai Garung, tahun 860.
5. Perintah Raja untuk menyusun aturan adat, dalam prasasti
Darmawangsa tahun 991.
6. Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan
berupa kepala burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak
istimewanya, dan penetapan pajak penghasilan yang mesti dipungut
pemerintah pusat.
7. Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan
ketatanegaraan kerajaan Majapahit, dan pembagian lembaga
pemerintahan. Setelah jatuhnya Majapahit, kerajaan Mataram sangat
dipengaruhi Islam, contoh dikenal peradilan qisas, yang memberikan
18

pertimbangan bagi Sultan untuk memutuskan perkara. Di pedalaman,


dikenal peradilan "padu", yaitu penyelesaian perselisihan
antarperseorangan oleh peradilan desa, yang dilakukan secara damai.
Bersamaan dengan itu, di Cirebon dikenal peradilan agama yang
memutus perkara yang membahayakan masyarakat umum; peradilan
digrama yang memutus pelanggaran adat dan perkara lain yang tidak
masuk peradilan agama; peradilan cilaga yang memutus dalam bidang
perekonomian, perdagangan, jual beli, dan utang piutang.

Hukum asli yang telah berlaku di berbagai daerah, yang sekarang


dikenal dengan nama Indonesia menunjukkan hukum yang bersumberkan
pada masyarakat asli, baik berupa keputusan penguasa maupun hukum
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat pada
saat di Indonesia di bagi menjadi 2 masa perkembangan, sebagai berikut :
1. Hukum adat pada masa politik Hindia Belanda
Pada awalnya hukum asli masyarakat yang dikenal dengan
hukum adat dibiarkan sebagaimana adanya. VOC hanya mencampuri
urusan perkara pidana untuk menegakkan ketertiban umum dalam
masyarakat, sedangkan hukum perdata dan hukum adat ditetapkan
oleh pribumi. Sedangkan pada masa Daendels, perkembangan hukum
adat bernasib sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu
disubordinasikan hukum Eropa, kecuali bagi hukum sipil. Adapun
tentang hukum perdata dan hukum dagang, Daendels tetap
membiarkan menurut hukum adat masing-masing.
Pada masa penjajahan Inggris (Raffles), perihal yang menonjol
adalah adanya keleluasaan dalam hukum dan peradilan dalam
menerapkan hukum adat, dengan syarat ketentuan hukum adat tidak
bertentangan dengan: the universal and acknowledged principles of
natural justice atau acknowledge priciples of substantial justice. Pada
perkembangan selanjutnya, politik hukum adat tampak pada
pemerintahan penjajahan Belanda, dengan dimulainya politik unifikasi
hukum dan kodifikasi hukum melalui Panitia Scholten, di antaranya:
19

Alegemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB),


Ketentuan umum tentang peraturan perundang-undangan di Hindia
Balanda; Burgerlijke Wetboek, Wetboek van Koopenhandel;
reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie (RO).

2. Hukum adat pada masa kemerdekaan


Merujuk pada pengertian hukum adat yang dikemukakan oleh
Soepomo, pembentukan hukum adat dapat dilakukan melalui legislatif
atau pengadilan. Hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber
pada nilai-nilai (values). Sekalipun demikian, hukum dan hukum adat
memiliki dua karakter, yaitu:
a. karakter bersifat netral; dan
b. karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan
nilai-nilai religius.

Pembedaan ini penting untuk memahami pembentukan atau


perubahan hukum yang akan berlaku dalam masyarakat. Hukum
netral - hukum lalu lintas- adalah hukum yang relatif longgar
kaitannya dengan nilai-nilai religius-susunan masyarakat adat. Hal ini
menyebabkan perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah
pembentukannya, dan pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk
perumusan hukum perundang-undangan (legislasi). Adapun hukum
adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai religius sehingga relatif
tidak mudah disatukan secara nasional, pembinaan dan perumusannya
dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.15

2.2.3. Unsur – Unsur Hukum Adat


Dalam proses pembentukan hukum adat ada dua unsur, yaitu unsur
kenyataan yang mempunyai makna adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakyat dan secara terus-menerus serta berkelanjutan
rakyat mentaati dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, unsur

15
Dewi Sulastri, 2015, Pengantar Hukum Adat, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 63-67
20

psikologis, setelah adat itu secara ajeng dan terus-menerus dijalankan


selanjutnya terdapat keyakinan pada rakyat bahwa adat dimaknai memiliki
kekuatan hukum. Unsur ilmiah yang mengakibatkan adanya kewajiban
hukum (oponio yuris necessitates).16

2.2.4. Delik Adat


Pengertian delik adat berdasarkan penjelasan Hilman Hadikusumah
yang dikutip dari Van Vollenhoven delik adat adalah perbuatan yang tidak
boleh dilakukan.Waluapun pada kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu
hanya sumbang(kesalahan) kecil saja. Menurut Ter Haar delik
(pelanggaran) itu ialah setiap gangguan dari suatu pihak atau dari
sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud, berakibat menimbulkan
reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat), suatu reaksi adat dan
dikarenakan adanya reaksi itu maka keseimbangan harus dapat dipulihkan
kembali / dengan pembayaran uang atau barang. (Hilman Hadikusumah,
23 :2003 ).

Jadi yang dimaksud delik adat adalah peristiwa atau


perbuatanmasyarakat yang mengganggu masyarakat lain sehingga
menibulkan reaksi darimasyarakat. Peristiwa atau perbuatan yang
berwujud atau tidak berwujud adalah perbutan manusia atau perbuatan
yang gaib.

Hilman Hadikusumah menjelaskan mengenai keseimbangan


masyarakat desa adalah apabila dalam masyarakat desa, masyarakat
menjadi terganggu keseimbangan dikarenakan timbulnya banyak penyakit,
tidak tenteram, selalu imbul kericuhan keluarga, maka masyarakat desa
melakukan meruat desa atau bersih desa dengan upacara adat dengan
memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar keseimbangan
masyarakat tidak terus menerus terganggu. Apabila keseimbangan yang
terganggu itu akibat peristiwa atau perbuatan perorangan maka yang

16
Sri Waejiyanti, 2020, ilmu Hukum Adat, Penerbit Deepublish, Yogyakarta, hlm.25
21

bersalah itu dikenakan hukum adat mengembalikan keseimbangan


masyarakat. (Hilman Hadikusuma, 231 : 2003)

Sifat delik adat menurut Hilman Hadikusuma, beliau mengemukakan


bahwa aturan-aturan hukum menurut pelanggaran adat pada umumnya
bersifat sebagai berikut :
1. Tradisional magis religieus, Artinya perbuatan yang tidak boleh
dilakukan dan perbuatan mana mengganggu keseimbangan
masyarakat itu bersifat turun temurun dan dikaitkan dengan
keagamaan.
2. Menyeluruh dan menyatukan, artinya Peristiwa atau perbuatan delik
adat itu bersifat menyeluruh dan menyatukan, artinya tidak memisah-
misah antara delik yang bersifat pidana atau bersifat perdata,
begitupula tidak dibedakan antara kejahatan sebagai delik hukum dan
pelanggaran sebagai delik Undang-Undang. Begitu juga tidak
dibedakan apakah delik itu merupakan perbuatan yang disengaja
(opzet) atau karena kelalaian (culpa). Kesemuanya bersifat
menyeluruh dan disatukan dalam cara menyelesaikannya sehingga
tidak juga dibedakan antara pelaku (dader), dengan yang turut
melakukan (mededader), atau yang membantu melakukan
(medeplichtiger) atau yang menghasut (uitloker).
3. Tidak Prae-Existente, artinya Hukum Adat delik menurut Soepomo
dalam Hilman Hadikusuma tidak menganut sistem prae-existante
regels, tidak seperti hukum pidana barat sebagai dinyatakan dalam
pasal 1 KUHP yang menganut adagium montesquieu yang berbunyi
“Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” (tiada suatu
delik melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang
yang telah ada lebih dulu dari perbuatan itu). Artinya bahwa delik
hukum pidana adat tidak menganut azas tersebut di atas.
4. Tidak menyama-ratakan, Apabila terjadi delik adat maka yang
terutama diperhatikan ialah timbulnya reaksi atau koreksi dan
terganggunya keseimbangan masyarakat, serta siapa pelaku perbuatan
22

delik itu dan apa latar belakangnya. Terhadap pelaku delik hukum
adat tidak menyama-ratakan, begitu pula peristiwa dan perbuatannya.
5. Terbuka dan lentur, artinya memiliki aturan hukum adat/delik bersifat
terbuka dan lentur (flexible) terhadap unsurunsur yang baru yang
berubah, baik yang datang dari luar ataupun karena perubahan dan
perkembangan masyarakat lingkungannya. Hukum adat tidak menolak
perubahan-perubahan itu asal tidak bertentangan dengan kesadaran
hukum dan keagamaan masyarakat bersangkutan.
6. Terjadinya delik adat, terjadinya delik adat apabila tata tertib adat
setempat dilanggar, atau dikarenakan adanya suatu pihak merasa
dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan
masyarakat menjadi terganggu. Misalnya perbuatan mencuri buah-
buahan di Aceh jika pelakunya memetik buahbuahan itu dari pohon
yang tidak dipelihara maka si pencuri dihukum membayar harganya.
7. Delik Aduan, Apabila terjadi delik adat, yang akibatnya mengganggu
keseimbangan keluarga, maka untuk menyelesaikan tuntutan atau
gugatan dari pihak yang dirugikan harus ada pengaduan, harus ada
pemberitahuan dan permintaan untuk diselesaikan kepada kepala adat.
8. Reaksi dan Koreksi, Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi
terhadap peristiwa atau perbuatan delik adalah untuk memulihkan
kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.
9. Pertanggungjawaban Kesalahan, Menurut hukum pidana (delik adat)
apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik yang dipersalahkan
bagaimana akibat perbuatan itu dan siapa yang harus dimintai
pertanggungjawaban. Sedangkan menurut hukum adat bukan saja
pribadi pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi juga
keluarga atau kerabat dan/atau kepala adatnya.
Jadi menurut penulis pertanggungjawaban kesalahan hukum pidana
adat ditanggung oleh keluarga, kerabat dan/atau kepala adatnya.
23

10. Tempat berlakunya hukum delik adat tidak bersifat nasional tetapi
terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu atau di pedesaan.
(Hilman Hadikusuma, ibid : 2013)17

2.2.5. Sanksi Adat


Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa
penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai
maksud unuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat
menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.
Lesquillier, di dalam disertasinya Het Adat Delictenrecht in de
magische wereldbeschouwing mengemukakan bahwa reaksi adat ini
merupakan tindakan-tindakan yang bermasud mengembalikan ketentraman
magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan
sosial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.
Dengan mengikuti pandangan para sarjana tersebut di atas,
dapatlah kita simpulkan bahwa sanksi adat atau disebut pula dengan reaksi
adat ataupun koreksi adat adalah merupakan bentuk tindakan ataupun
usaha-usaha untuk mengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula
ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang
merupakan pelanggaran adat.
Dalam alam pikiran tradisional Indonesia, yang penting ialah
adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara
dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang
seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan
yang menganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum
dan petugas hukum wajib mengambil Tindakan-tindakan yang perlu guna
memulihkan kembali perimbangan hukum.

17
Ukilah Supriatin dan Iwan Setiawan, 2016, Persepsi Mengenai Hukum Pidana Adat , Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, Volume 4 No. 2 September 2016, hlm. 161-164
24

Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai


stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan
dunia gaib.18

2.2.6. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat Di Indonesia


Hukum tidak tertulis yang ditegakkan oleh pengadilan Swaraja dan
peradilan adat adalah hukum adat. yang mendasar berlakunya hukum adat
legislatif, karena undang-undang tidak tertulis saat ini, yaitu:
1. Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959.
2. Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Harus dipahami bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan


membatalkan atau mengubah keberadaan hukum tidak tertulis (Hukum
Adat), tetapi memandu pengembangan dan aplikasi hukum untuk
pengadilan negeri. sebagai tujuan bahwa hakim memiliki tugas untuk
mempelajari, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
(living law) dengan integrasi ke dalam Implementasi, sehingga mereka
berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya Perhimpunan dan kesatuan
hukum seluruh Indonesia. Jadi Mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dengan cara ini, pengadilan negara dapat menerapkan hukum
tidak tertulis yang disebut hukum adat.19

2.3. Tinjauan Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Hukum Adat


2.3.1. Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Hukum Adat
Berdasarkan konsep negara hukum, kepastian hukum tidak hanya
bisa dicapai hanya dengan argument yang terkandung dalam UU tersebut.
Indonesia sebagai negara hukum tidak hanya berdasarkan pada hukum,
tetapi juga melihat perkembangan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, yaitu hukum adat. Keberadaan hukum adat dalam upaya

18
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, hlm. 8-9
19
Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 85
25

penyelesaian kasus masih memiliki tempat dan diadopsi dan


diimplementasikan di berbagai komunitas hingga saat ini. Berbagai jenis
sistem untuk mengimplementasikan penyelesaian sengketa melalui
lembaga adat untuk menyelesaikan kasus pidana adalah proses di luar
pengadilan atas keinginan dan perjanjian yang dapat diterima oleh semua
pihak.

Penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat merupakan proses


penyelesaian perkara diluar peradilan formal (Pengadilan).
Penyelenggaraan peradilan pidana adat merupakan mekanisme berkerjanya
aparat lembaga hukum adat mulai adanya laporan dari korban maupun
keluarga korban, memanggil para pihak terkait, saksi, melakukan
musyawarah dan sampai kepada pengambilan keputusan oleh para tetua
adat (Damang Adat maupun Mantir adat). Proses ini dilakukan untuk
mencapai tujuan dari upaya penyelesaian melalui hukum adat.

2.3.2. Sistem Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Hukum Adat


Sistem peradilan pidana adat merupakan mekanisme bekerjanya
apparat lembaga hukum adat, dimulai dengan penerimaan laporan,
pemanggilan para pihak, saksi, melakukan musyawarah, Proses ini
dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari upaya penyelesaian melalui
hukum adat. penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat merupakan
suatu jenis tatanan ataupun metode dalam menyelesaikan suatu perkara
melalui peradilan pidana adat. Adapun sistem yang pada umumnya
digunakan oleh lembaga hukum adat dalam penyelesaian perkara pidana,
yaitu :

1. Sistem Mediasai
Upaya alternatif pemidanaan sebenarnya dalam masyarakat
Indonesia penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana
dengan mediasi, hal ini dibuktikan dengan adanya penyelesaian
dengan pendekatan musyawarah. Bila dilihat secara historis kultur
26

(budaya) masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan


konsensus. mediasi merupakan peran yang ditunjukkan pihak ketiga
sebagai mediator dalam melakukan tugas demi menjadi penengah dan
melakukan penyelesaian suatu konflik atau sengketa antara pihak yang
terlibat. Definisi lain dari mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan
konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, tidak mempunyai
wewenang mengambil keputusan yang berusaha memihak pada yang
bersengketa meraih penyelesaian (Solusi) yang diterima oleh kedua
belah pihak.

Hukum yang mendasari mediasi adalah Undang-Undang No.


30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa: Perma No. 1 Tahun 2008; Pasal 1 Peraturan BMAI (Badan
Mediasi Asuransi Indonesia); Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008
tentang Mediasi; Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945; Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman; dan lain sebagainya.

2. Sistem Keadilan Restoratif (Restorative Justice)


Dalam penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan
restoratif, suatu konflik atau kerusakan yang timbul akibat tindak
pidana adalah dipandang sebagai suatu konflik yang terjadi dalam
hubungan antara anggota masyarakat yang harus diselesaikan dan
dipulihkan oleh seluruh pihak secara bersama-sama. Lingkaran
berpusat kepada Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian
Perkara Pidana keseimbangan terhadap korban untuk berperan dalam
proses penyelesaian tindak pidana.

konsep restoratif terhadap penyelesaian tindak pidana


merupakan konsep penyelesaian secara bersama-sama yang
menghadirkan para pihak baik korban serta pelaku serta melibatkan
masing-masing pihak keluarga melalui perwakilan atau pendampingan
pihak ketiga untuk melakukan proses perdamaian, dengan
27

mengembalikan keadaan yang timbul seperti kerusakan dan kerugian


yang diderita oleh korban.
Dalam proses penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan
restoratif, individu-individu dituntut untuk berperan aktif dalam
pemecahan masalah dan negara ditempatkan sebagai pihak yang harus
memberi dukungan bagi individu-individu atau masyarakat yang
mempunyai keinginan untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya.
Dalam pandangan restoratif sebenarnya individu-individulah yang
harus memainkan peran dan tanggung jawabnya dalam pemecahan
konflik secara kolektif dan bukan dibebankan kepada Negara, Negara
dianggap tidak mempunyai suatu peran eksklusif atau dominan dalam
proses penyelesaian tersebut.
Jadi, menurut dari pandangan penulis penyelesaian perkara
pidana melalui hukum adat merupakan proses penyelesaian
perkara diluar peradilan yang terdiri dari dari pertama, sistem mediasi
dengan pendekatan konsensus melalui musyawarah. Kedua, sistem
restoratif justice system penyelesaian perkara dengan maksud untuk
mengembalikan keadaan yang timbul oleh korban sehingga rasa
perasaudaraan antara masing-masing pihak terajut kembali. Dari
sistem tersebut menghasilkan kesepakatan kesepakatan yang bersifat
win-win solution, dijamin kerahasiaan permasalahan para pihak,
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, serta menyelesaikan masalah secara menyeluruh dalam
kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.20

2.4. Penganiayaan
2.4.1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

20
La Syarifuddin, 2019, Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian Perkara Pidana,
Risalah Hukum, Universitas Mulawarman, Volume 15, Nomor 2, hlm. 4-6
28

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata


penganiayaan adalah perlakuan yang sewenang-wenang (penyiksaan,
penindasan, dan sebagainya). Secara etimologis penganiayaan berasal dari
kata “aniaya” yang oleh W.J.S. Poerwadarmintamemberikan pengertian
sebagai perbuatan bengis seperti penyiksaan, penindasan dan sebagainya.
Hilman Hadikusuma memberikan pengertian aniaya sebagai perbuatan
bengis atau penindasan sedangkan yang di maksud dengan penganiayaan
adalah perlakuan sewenang-wenang dengan penyiksaan, penindasan dan
sebagainya terhadap teraniaya.21 Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma
memberikan pengertian aniaya sebagai perbuatan bengis atau penindasan
sedangkan yang di maksud dengan penganiayaan adalah perlakuan
sewenang-wenang dengan penyiksaan, penindasan dan sebagainya
terhadap teraniaya.22
Penganiayaan diatur dalam Buku Kedua Bab XX mulai Pasal 351
sampai dengan Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun
demikian dalam Undang-Undang ini tidak diberikan suatu penjelasan
resmi terhadap apa yang dimaksud dengan penganiayaan, oleh karena
tidak adanya pengertian yang dijelaskan dalam Undang-Undang ini maka
para ahli hukum pidana Indonesia dalam membahas pengertian
penganiayaan selalu berpedoman pada rumusan Memorie Van Toelichting,
yang merumuskan bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan ialah:

“mengakibatkan penderitaan pada badan atau kesehatan Kualifikasi


ancaman pidana dimaksud ada, karena penganiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikategorikan
dalam beberapa bentuk yaitu : penganiayaan biasa, penganiayaan ringan,
penganiayaan berat dan penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu.”
Dengan demikian berdasarkan beberapa pendapat mengenai
penganiayaan, dapat diartikan bahwa penganiayaan adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa

21
W.J.S. Poerwardaminata, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,hlm. 48
22
Hilman Hadikusuma, 1983. Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.
29

sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata
merupakan tujuan si pelaku.

J.M. Van Bammel, menegaskan bahwa untuk menentukan ada


tidaknya terjadinya suatu bentuk penganiayaan maka ada 3 (tiga) kriteria
yang harus dipenuhi, yaitu :23
1. Setiap tindakan yang dengan sengaja mengakibatkan perasaan sakit,
luka dan perasaan tidak senang, dilarang. Kekeculian dari larangan
menurut hukum pidana ini dibentuk oleh peristiwa-peristiwa dimana
dalam undang-undang dimuat dasar pembenaran yang diakui untuk
mengakibatkan dengan perasaan tidak senang ini, misalnya pembelaan
terpaksa, perintah jabatan, peraturan undang-undang, seperti bertindak
sesuai dengan aturan jabatan sebagai dokter, demikian pula
berdasarkan izin si korban sesuai dengan aturan yang diakui dalam
mengikuti olah raga tertentu (pertandingan tinju);
2. Kekecualian juga dapat timbul dari tidak adanya kesalahan sama
sekali yaitu dalam peristiwa dimana si pelaku dengan itikad baik atau
boleh menduga, bahwa ia harus bertindak sesuai dengan suatu dasar
pembenaran, akan tetapi dugaan ini berdasarkan suatu penyesatan
yang dapat dimanfaatkan.
3. Suku kata tambahan “Mis” mishandeling (penganiayaan) telah
menyatakan bahwa mengakibatkan rasa sakit, luka atau perasaan tidak
senang itu terjadi secara melawan hukum, dan bahwa dalam peristiwa
dimana Tindakan - tindakan dilakukan sesuai ilmu kesehatan tidak
boleh dianggap sebagai penganiayaan, dan oleh karena itu tidak
dilarang menurut hukum pidana, sehingga hakim harus membebaskan
terdakwa. Jadi untuk menentukan ada atau tidak adanya tindak pidana
penganiayaan harus diperhatikan ketiga kriteria tersebut di atas. Lebih
lanjut J.M.Van Bemmelen menegaskan bahwa penderitaan itu harus
diartikan sebagai rasa sakit.
Menurut doktrin penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut: 24
a. Adanya kesengajaan.
b. Adanya perbuatan.
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:
1) Rasa sakit pada tubuh, dan atau
23
J.M. Van Bammel, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 29
24
Chazawi Adami, 2000, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada,
Malang, hlm 10
30

2) Luka pada tubuh

2.4.2. Jenis dan Ketentuan Hukum Tindak Pidana Penganiayaan


Pada dasarnya tindak pidana adalah suatu perbuatan tindak pidana
yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan
yang dirumuskan dalam Pasal Undang- undang yang bersangkutan.25
Berbicara masalah tindak pidana penganiayaan tidak terlepas dari tindak
pidana.Karena tindak pidanapenganiayaan itu adalah bagian dari pada
tindak pidana dan dapat digolongkan sebagai tindak pidana tubuh atau
badan manusia.Seperti diketahui bahwa penganiayaan merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang
patut atau melewati batas yang diizinkan, sedangkan dalam kamus umum
besar bahasa Indonesia dikatakan bahwa penganiayaan adalah perlakuan
yang sewenang-wenang.26

Pada dasarnya penganiayaan ialah perbuatan yang sudah


melanggar norma dan ketentuan yang berlaku sehingga penganiayaan
diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini yaitu KUHP.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana
penganiayaan terdiri atas :

1. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana); Penganiayaan biasa diatur dalam Pasal 351 KUHP yang
berbunyi :27
a. Penganiayaan dipidana dengan pidana paling lama 2 tahun 8
bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
b. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
c. Jika mengakibatkan kematian, dipidana degan pidana penjara
paling lama 7 tahun.
d. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

25
Manulang Herlina I, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, UHN Press, Medan, hlm 72
26
Poerwadarminta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, balai pustaka, Jakarta, hlm 47
27
Kitab Undang – Undang Pidana Bab XX Pasal 351
31

2. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana); Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan
ringan oleh UU ialah penganiayaan yang dimuat dalam Pasal 352,
yang berbunyi :28
a. Kecuali yang tersebut dalam pasal 352 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian dipidana
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,- Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
b. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana

3. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana); Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai
penganiayaan berencana berbunyi sebagai berikut:29
a. Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun;
b. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun;
c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
4. Penganiayaan Berat (Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana); Penganiayaan berat yang dirumuskan dalam Pasal 354 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dengan rumusan sebagai berikut: 30
a. Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
8 tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

28
Ibid Pasal 352
29
Ibid Pasal 353
30
Ibid Pasal 354
32

5. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 Kitab Undang-Undang


31
Hukum Pidana); Jenis penganiayaan berat berencana diatur dalam
Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penganiayaan ini
pada dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat yang dilakukan
dengan rencana. Jenis penganiayaan ini merupakan gabungan antara
penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana. Oleh karena itu,
niat pelaku atau kesengajaan pelaku tidak cukup bila ditujukan
terhadap perbuatannya dan terhadap luka beratnya, tetapi kesengajaan
itu harus ditujukan terhadap unsur berencananya. Adapun Pasal 353
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai penganiayaan berat
berencana berbunyi sebagai berikut:
a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian , yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
6. Penganiayaan Terhadap Orang-orang Berkualiatas Tertentu Atau
Dengan Cara Tertentu yang Memberatkan. Penganiayaan dengan cara
dan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan
(pasal 356 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jenis
penganiayaan ini diatur dalam ketentuan dalam Pasal 356 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan :
“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiga” :
a. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya
menurut Undang-Undang, istrinya atau anaknya.
b. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau
karena menjalankan tugasnya yang sah.
c. Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan berbahaya
bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.32

31
Ibid Pasal 355
32
Ibid Pasal 356
33

2.5. Restorative Justice


2.5.1. Pengertian Restorative Justice
Di dalam praktek penegakan hukum pidana sering kali mendengar
istilah Restorative justice atau Restorasi Justice yang dalam terjemahan
bahasa Indonesia disebut dengan istilah keadilan restoratif. Keadilan
restoratif atau Restorative justice adalah Suatu pemulihan hubungan dan
penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana
(keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)
(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar
permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana
tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan
dan kesepakatan diantara para pihak. Keadilan yang selama ini
berlangsung dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah keadilan
retributive. Sedangkan yang diharapkan adalah keadilan restorative, yaitu
keadilan ini adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah
bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang. Keadilan
Restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan
pemulihan terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip utama
Restorative justice adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi
warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus, sehingga ada jaminan
anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di
masyarakat.
Restorative justice sendiri berarti penyelesaian secara adil yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam
suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap
tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula. Untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan
pelaku adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak
secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi
34

perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu
bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.33

Liebmann secara sederhana mengartikan Restorative justice


sebagai suatu sistem hukum yang bertujuan untuk mengembalikan
kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan,
dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.
Liebmann juga memberikan rumusan prinsip dasar Restorative justice
sebagai berikut:
a. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban
b. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
c. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
d. Ada supaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
e. Pelaku pelanggar harus memiliki kesadaran tentang bagaimana cara
menghindari kejahatan di masa depan
f. Masyarakat sepatutnya ikut serta memberikan peran membantu dalam
mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun pelaku.

Restorative justice (Keadilan restoratif) sebagai perkembangan


penting dalam pemikiran manusia didasarkan pada tradisi keadilan dari
Arab kuno, Yunani, Romawi dan peradaban yang diterima pendekatan
restoratif bahkan kasus pembunuhan, pendekatan restoratif dari majelis
umum (Moots) dari Jermanik masyarakat yang menyapu seluruh Eropa
setelah jatuhnya Roma, Hindu India sebagai kuno sebagai Weda
Peradaban untuk siapa “dia yang menebus diampuni”, dan Budha kuno,
Tao, dan tradisi Konfusianisme yang dilihatnya dicampur dengan
pengaruh Barat hari ini di Asia Utara.34

2.5.2. Hubungan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana


Indonesia
Restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan
kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi
dan korban/ masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari

33
Apong Herlina, 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 203
34
Marian Liebmann, 2007, Restorative Justice, How it Work, London and Philadelphia, Jessica
Kingsley Publishers, hlm. 25
35

solusi serta kembali pada pola hubungan balk dalam masyarakat.


Restorative justice lebih menitikberatkan pada adanya partisipasi atau ikut
serta langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses
penyelesaian perkara pidana. sehingg pendekatan ini populer disebut juga
dengan istilah “non state justice system” di mana peran Negara dalam
penyelesaian perkara pidana menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama
sekali. Namun demikian, kehadiran pendekatan atau konsep keadilan
restoratif atau keadilan Restorative Justice 129 pemulihan (restorative
justice) banyak diwarnai berbagai pertanyaan baik secara teoritis maupun
secara praktis.
Saat ini Indonesia telah memiliki dasar-dasar hukum yang baru
mengenai penerapan restorative justice antara lain berupa Surat Edaran
Nomor: Se/ 8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Peraturan
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor :
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Dengan adanya dasar hukum tersebut,
diharapkan masyarakat akan mendapatkan keadilan yang substansial yaitu
pulihnya kerugian korban.
Penerapan Surat Restorative justice di kepolisian dilakukan
berdasarkan Edaran Kapolri Nomor: Se/ 8/VII/2018 Tentang Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara
Pidana. Kasus-kasus yang dapat diterapkan Restorative justice yaitu
dengan tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan
(schuld atau mensrea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet)
terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk),
Pelaku bukan residivis, Pada tindak pidana dalam proses Penyelidikan dan
Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.
Kejaksaan juga dapat menerapkan Restorative justice berdasarkan
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang
36

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Syarat


penutupan tindak pidana dalam aturan ini meliputi Tersangka baru pertama
kali melakukan tindak pidana, Tindak pidana hanya diancam dengan
pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima
tahun, dan Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai
kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Pengadilan juga memiliki ketentuan dalam menerapkan Restorative
justice yaitu berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Berdasarkan surat
tersebut terdapat 4 penerapan Keadilan Restoratif (Restorative justice)
pada perkara tindak pidana antara lain Keadilan Restoratif (Restorative
justice) pada Perkara Tindak Pidana Ringan, Keadilan Restoratif
(Restorative justice) Pada Perkara Anak, Keadilan Restoratif (Restorative
justice) pada Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum,
Keadilan Restoratif (Restorative justice) pada Perkara Narkotika. 35

2.5.3. Hubungan Restorative Justice Dalam Pidana Adat


Konflik atau perang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
budaya dan sejarah hidup umat manusia. Konflik senantiasa hadir sebagai
ungkapan ekspresi emosional terhadap fenomena sosial budaya yang
terjadi, hidup dan berkembang di tengah masyarakat. 36 Pada dasarnya
konflik merupakan suatu keadaan yang timbul sebagai akibat dari
terganggunya hubungan antara dua pihak. Masing-masing pihak merasa
benar dan tidak mengakui kelemahannya, dan berupaya untuk
mempertahankan kehendaknya. Konflik dapat dipandang dari aspek positif
dan negatif. Dari aspek positif karena adanya konflik, maka ada upaya
untuk mempersatukan adanya perbedaan yang terjadi melalui mekanisme
yang disepakati. Dari aspek negatifnya bahwa konflik menyebabkan

35
Kurniawan Tri Wibowo dan Erri Gunrahti Yuni U, 2021, RESTORATIVE JUSTICE Dalam
Peradilan Pidana di Indonesia, CV Pena Indis, Makassar-Sulawesi Selatan, hlm. 128-130
36
Ismael Roby Silak. 2011. Konflik Perang dan Perdamaian Orang Yali di Angguruk, Pustaka
Refleksi, Makassar, hlm. 1
37

hubungan yang awalnya baik dan harmonis, maka menjadi retak dan tidak
harmonis lagi, dan hilang suasana keakrabannya.37
Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa sengketa
(konflik) hanya bisa diselesaikan melalui jalur Pengadilan, bahkan
sebagian besar kalangan profesional hukum pun berpandangan yang sama.
Sampai saat ini banyak dari kalangan mereka hanya terpaku memilih jalur
litigasi dan melupakan serta mengabaikan cara-cara penyelesaian sengketa
melalui jalur non-litigasi misalnya melalui Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR). Sebagaimana dikutib dalam bukunya I Made Widnyana,
bahwa Dispute Resolution yang biasa disebut "Alternative Dispute
Resolution" adalah serangkaian proses yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak.38
Sengketa atau konflik merupakan sebuah fenomena sosial di dalam
sebuah pergaulan di masyarakat.39 Menurut Randall Collins, konflik adalah
proses sentral dalam kehidupan sosial.40 Jadi, dalam kehidupan sosial/
bermasyarakat tentunya pasti akan selalu timbul konflik. Sebetulnya,
konflik dapat berimplikasi positif, yakni, dapat membantu individu-
individu/kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut menjadi lebih erat
hubungannya. Hal tersebut dapat menciptakan kohesi sosial yang dapat
mendorong terbentuknya stabilitas nasional. Akan tetapi, dalam
realitasnya, sisi positif tersebut jarang terjadi, justru sisi negatif dari
konflik, seperti terjadinya disintegrasi yang sering muncul. Di dalam
masyarakat tradisional (adat), konflik yang timbul biasanya diselesaikan
dengan cara-cara perdamaian. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya permusuhan, pertikaian, perpecahan (disintegrasi), dan
sebagainya. Dalam menyelesaikan suatu konflik masing-masing
individu/kelompok memiliki caranya masing-masing.

37
I Made Widnyana. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hlm. 6
38
I Made Widnyana. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hlm. 11
39
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad. 2010. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta, hlm. 44- 46
40
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003, Teori Sosiologi Modern. Kencana, Jakarta, hlm.
16
38

Menurut Nader dan Todd, ada beberapa cara/tahapan yang biasa dilakukan
seseorang dalam menyelesaikan konflik/sengketa yang dihadapinya, yaitu:
a. Membiarkan saja (lumping it) Dalam tahapan ini, pihak yang merasa
diperlakukan tidak adil/ dirugikan gagal dalam upaya menekan
tuntutannya. Ia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja
masalah/isu yang menimbulkan tuntutannya dan ia meneruskan
hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya.
Ini dilakukan karena berbagai kemungkinan, seperti kurangnya
informasi mengenai bagaimana proses mengajukan keluhan itu ke
peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan atau sengaja tidak
diproses ke peradilan karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih
besar dari keuntungannya (baik materiil maupun kejiwaannya).
b. Mengelak (avoidance). Pada tahapan ini, pihak yang merasa dirugikan
memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut.
Misalnya, dalam hubungan bisnis, hal semacam ini dapat terjadi.
Dengan mengelak, maka isu yang menimbulkan keluhan dielakkan saja.
Berbeda dengan pemecahan pertama, di mana hubungan-hubungan
berlangsung terus, isunya saja yang dianggap selesai, dalam bentuk
kedua ini, pihak yang dirugikan mengelakkannya dan menghentikan
hubungan-hubungan untuk sebagian atau keseluruhan.
c. Paksaan (coersion). Tahapan selanjutnya, yaitu paksaan (coersion) di
mana salah satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak lain. Ini
bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau
ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi
kemungkinan penyelesaian secara damai.
d. Perundingan (negotiation). Pada tahapan perundingan, dua pihak yang
berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari
permasalahan yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua,
mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampuri. Kedua
pihak berupaya untuk saling meyakinkan, jadi mereka membuat aturan
mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari
aturan-aturan yang ada.
e. Mediasi (mediation). Dalam cara ini, ada pihak ketiga yang membantiu
kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.
Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa atau ditunjukkan oleh yang berwenang untuk itu. Apakah
mediator hasil pilihan kedua pihak atau karena ditunjuk oleh orang
yang mempunyai kekuasaan, kedua pihak yang bersengketa harus
setuju bahwa jasa-jasa dari seorang mediator akan digunakan dalam
upaya mencari pemecahan. Dalam masyarakat-masyarakat kecil
(paguyuban) bisa saja ada tokoh-tokoh yang berperan sebagai mediator,
juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai hakim.
39

f. Arbitrage. Kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta


perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa
mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu.
g. Peradilan (adjudication). Di sini, pihak ketiga mempunyai wewenang
untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak
bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat dan menegakkan
keputusan itu artinya bahwa keputusan berupaya dilaksanakan.41
Merujuk pada pendapat Nader dan Todd tersebut, dapat diketahui
bahwa penyelesaian delik adat yang terjadi pada masyarakat hukum adat di
Indonesia ditempuh dengan menggunakan konsep keadilan restoratif
(restorative justice). Penerapan keadilan restoratif ini nampak ketika
penyelesaian tersebut melibatkan pelaku dan korban sebagai pihak yang
berkompeten dalam perkara tersebut. Para pihak berupaya untuk
melakukan dialog dan melakukan pertemuan untuk menyelesaikan secara
musyawarah dan mufakat sehingga tercapai kesepakatan.

2.6. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


2.6.1. Gambaran Umum Daerah Buntok Kota, Kecamatan Dusun
Selatan, Kabupaten Barito Selatan

Gambaran Peta Kota Buntok Via Google Earth

Buntok Kota (disingkat: BTK0) adalah salah satu kelurahan kota


yang berada di kecamatan Dusun Selatan, kabupaten Barito Selatan,
provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia yang juga merupakan pusat kota
dari Kabupaten Barito Selatan dan kecamatan Dusun Selatan.

2.6.2. Sejarah Kota Buntok

41
T.O Ihromi, 2001, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, hlm. 210-211
40

Sebagian kecil wilayah Barsel termasuk dalam Kesultanan Banjar


(1826-1860), tetapi sebagian besar termasuk Dusun Hilir yang menjadi
wilayah Hindia Belanda, menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië
tahun 1849, merupakan bagian dari zuid-ooster-afdeeling berdasarkan
Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.

2.6.3. Geografis Kota Buntok


Buntok Kota berada di pesisir Sungai Barito. Kota ini sebagai
penghubung antara Kota Palangkaraya dan kabupaten-kabupaten di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito seperti Barito Timur, Barito
Utara, Murung Raya, hingga kabupaten-kabupaten di Kalimantan
Selatan seperti Kabupaten Tabalong, dan Hulu Sungai Utara. Kota ini
awalnya terisolir tetapi saat ini telah di lewati Jalan Trans Kalimantan
poros Tengah yang menghubungkan provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur dengan Kalimantan Barat.

2.6.4. Demografi Kota Buntok


Kelurahan Buntok Kota memiliki luas wilayah 72,00 km2, dan
memiliki penduduk berjumlah 16.864 (2020), dengan kepadatan 234,00
jiwa/km². Suku asli yang berada di Kalimantan termasuk di kabupaten
Barito Selatan ialah suku Dayak, yang terdiri dari beragam etnis. Di Barito
Selatan suku Dayak Bawo, banyak mendiami kawasan tersebut, dan ada
pula suku Ngaju dan Melayu. Selain itu, suku pendatang dari luar daerah
juga banyak tinggal di daerah ini, khususnya suku Jawa dan Banjar, dan
suku lain seperti Bugis, Batak, Bali, dan lainnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020 mencatat
penduduk yang beragama Islam berjumlah 76,58%, kemudian Kristen
23,07% (Protestan 20,00% dan Katolik 3,07%), sebagian lagi memeluk
agama Hindu Kaharingan 0,33%, dan lainnya 0,02%. Sementara untuk
sarana rumah ibadah, terdapat 6 bangunan Masjid, 22 Mushola, 9 Gereja
Protestan dan 1 Gereja Katolik.
41

Anda mungkin juga menyukai