Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI TINDAK PIDANA, OBAT

BERBAHAYA DAN LEMBAGA KEPOLISIAN

A. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsurnya

1. Pengertian Tindak Pidana

Ada beberapa istilah tindak Pidana yang dikenal dan dikemukakan para

ahli hukum, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing.

Meskipun sebetulnya istilah itu merupakan terjemahan dan bahasa Belanda yaitu

dan kata strafbaar feit atau delict, oleh karenanya interprestasi yang mereka

kemukakan juga berbeda-beda.

Dalam bahasa Indonesia istilah strafbaar feit diterjemahkan sebagai tindak

pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.

Sudah menjadi konsekuensi logis dengan adanya banyak pendapat yang

menafsirkan pengertian tindak pidana, akan ditemukan persaingan atau

perbedaan satu sama lain, karena memang Kitab Undang-undang Hukum Pidana

yang berlaku sekarang tidak memberikan penjelasan yang definitif.

Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah 1 :

kelakuan (handeling) yang diancami dengan pidana,


yang bersifat melawan hukum, yang perlindungan
dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.

Sedangkan Vos mengatakan tindak pidana adalah2:


1
Moeljatho, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hIm, 56.
2
E. Utrecht., Hukum Pidana. I. Penerbitan Universitas 1960, hlm. 253.
Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan undang-undang diberi
pidana; jadi kelakukan manusia yang pada umumnya dilarang dan
diancam dengan pidana“.

Pompe mengatakan tindak pidana adalah3:


Suatu pelanggaran kaedah (pelanggaran tata hukum, norm
overtreding) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, yang harus
diberikan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
penyelamatan kesejahteraan.

R. Tresna mengatakan bahwa tindak pidana adalah4:


”suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang
bertentangan dengan undang-undang atau aturan undang-undang
lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan hukum”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak

pidana ialah tindakan yang bertentangan dengan undang-undang yang dapat

mengakibatkan pidana bagi pelakunya

Di samping itu, perbuatan yang dilakukan itu harus betul-betul dirasakan

oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak patut atau tak boleh dilakukan. Oleh

karena itu, untuk terjadinya suatu tindak pidana selain harus memenuhi rumusan

undang-undang (formal) juga harus memenuhi syarat-syarat materiil yaitu sifàt

melawan hukum (wedderrechtelijk) bahwa perbuatan itu harus betul-betul

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak patut atau tak boleh

dilakukan.

Begitu pula dalam Rancangan KUHP Nasional, guna menghindari

pengertian yang beraneka ragam tersebut, tindak pidana diberikan pengertian

secara pasti pada Pasal 14 yaitu 5:

“Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau


tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
3
E. Utrecht Ibid, hlm. 257
4
R. Tresna., Azas-Azas Hukum Pidana, P.T. Tiara Jakarta Ltd, 1959, hlm. 27.
5
Moeljatho, Op.Cit., hlm.115
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana”.

Uraian di atas, diketahui bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatan

atau tindak pidana yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan atau perbuatan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan bagi

orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Sehingga antara larangan dan

ancaman pidana terdapat hubungan erat dengan orang yang menimbulkan

kejadian tersebut.

Moeljatno menyimpulkan dan pengertian strafbaar feit oleh Simons dan

Van Hamel, dalam istilah strafbaar feit pada pokoknya adalah 6:

a. Feit dalam strafbaar feit diartikan sebagai

handeling, kelakuan atau tingkah laku.

b. Pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan

kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.

Mengenai yang pertama, tidak sama dengan pengertian “perbuatan” dalam

“perbuatan pidana’, karena yang disamakan perbuatan adalah kelakuan beserta

akibatnya atau kejadian yang ditimbulkannya dan bukan hanya kelakuan.

Sedangkan yang kedua, berbeda pula dengan “perbuatan pidana’, sebab di sini

tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban

pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya

menunjuk pada sifat perbuatannya apakah melanggar hukum atau tidak,

tergantung pada keadaan batinnya dalam melakukan perbuatan itu, yaitu dengan

kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban

6
Moeljatho Ibid hlm 117
pidana, dipisahkan dengan kesalahan. Sedangkan dalam strafbaar feit,

mencakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan.

Untuk selanjutnya Penulis dalam skripsi ini menggunakan istilah tindak

pidana, karena lebih lazim digunakan. Seperti halnya KUHP terjemahan resmi

Tim Penerjemah Badai Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,

yang memakai istilah tindak pidana, dengan Sofjan Sastrawidjaja menyatakan

alasan-alasan sebagai berikut:7

a. Penggunaan istilah tindak pidana dipakai, oleh


karena jika ditinjau dan segi sosio-yuridis hampir
semua perundang-undangan pidana memakai
istilah tindak pidana;
b. Semua instansi penegak hukum dan hampir
seluruhnya para penegak hukum menggunakan
istilah tindak pidana;
c. Para mahasiswa. yang mengikuti “tradisi tertentu”
dengan memakai istilah perbuatan pidana, ternyata
dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan
menjembatani tantangan kebiasaan penggunaan
istilah tindak pidana.

Menurut penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana

merupakan bahasa yang dipakai oleh semua orang untuk menerangkan tindakan

yang bertentangan dengan hukum

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku, harus

diperhatikan unsur-unsur yang muncul dari bagian umum kitab undang-undang

atau asas hukum yang umumnya dapat diterima.8

7
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm.112.
8
Mr. J.M van Bemelen, Hukum Pidana I, Bandung, Binacipta, 1987, hlm. 99.
Menurut Simson unsur-unsur dari sebuah peristiwa pidana (tindak

pidana) adalah :9

a. Tindak pidana tersebut merupakan perbuatan manusia


(hendeling). Pelaku tindak pidana merupakan subjek tindak
pidana. Dalam KUHP, yang menjadi subjek tindak pidana
adalah seorang manusia. Ini dapat terlihat pada perumusan-
perumusan pasal, seperi kata “barang siapa”, yang menujukkan
suatu perbuatan itu dilakukan oleh manusia, juga terlihat dari
wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal
KUHP, dimana jenis sanksi tersebut hanya dapat diberlakukan
untuk manusia;
b. Perbuatan manusia itu melawan hukum (wederrechtelijk).
Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, dengan sendirinya
berlaku syarat bahwa perbuatan itu sifat melawan hukum, yang
dalam hal ini berarti bertentangan melawan hukum. Banyak
perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum misalnya
perampasan nyawa orang lain, pelaku dapat dikenakan Pasal
338 KUHP. Sekalipun pembunuhan orang lain hampir
melawan hukum, tetapi ada situasi dimana hal hukum dan satu-
satunya jalan adalah membunuh orang yang menyerangnya,
maka dia telah memenuhi rumus delik Pasal 338 KUHP, tetapi
perbuatannya itu tidak melawan hukum, karena ada alasan
pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya. Jadi
walaupun ia membunuh, ia tidak dapat dikenakan pidana;
c. Perbuatan manusia itu diancam dengan pidana oleh undang-
undang (strfbaar gesteld). Maka dalam hukum pidana dikenal
dengan Asas Legalitas, yaitu tiada suatu perbuatan dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan
yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini dalam
bahasa Latin dikenal sebagai Nullum delictum nula puna sine
praevia lege punali;
d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung
jawab. Pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab atas
segala perbuatan yang telah dilakukan, sepanjang tidak ada
sesuatu yang menyebabkan berlakunya penghapusan pidana.
Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang yang

9
Mustafa Abdullah, Intisari Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm.26
tidak mampu bertanggung jawab maka ia tidak dapat
dikenakan pidana atas perbuatannya tersebut;
e. Perbuatan itu harus karena kesalahan si pembuat. Untuk dapat
dipidananya sesorang akibat perbuatan yang dilakukannya,
tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini ia
mempunyai kesalahan. Hal ini sesuai dengan azas dalam
pertanggungjawaban pidana yaitu tindak pidana jika tidak ada
kesalahan (geen straf zonder schuld). Sesorang dapat
dikatakan mempunyai kesalahan, jika dari segi masyarakat
dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan
yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui
maka perbuatan tersebut dan seharusnya dapat menghindari
perbuatan itu.10

Romli Atmasasmita, bahwa di dalam setiap tindak pidana pada prinsipnya

harus memuat unsur-unsur11:

a. Conduct atau tindakan, dan

b. Keadaan-keadaan yang relevan yang menyertainya

atau “relevance circumstance”

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno, dibagi 2 (dua),

yaitu :12

a. Unsur-Unsur formal :
1) Perbuatan (manusia);
2) Perbuatan tersebut dilarang oleh suatu aturan
hukum;
3) Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu;
4) Larangan itu dilanggar oleh manusia
b. Unsur-Unsur Materiil :
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu
harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut
dilakukan.
10
Moeljanto, Op. Cit., hlm. 157.
11
Romli Atmasasmita, Op. Cit hlm 59
12
Moeljanto, Op.Cit, hlm.112.
Berbeda dengan unsur-unsur tindak pidana yang diberikan oleh ilmu

hukum pidana yang membaginya menjadi unsur objektif dan unsur subjektif

yang pada umumnya dalam KUHP terdapat unsur-unsur tersebut:

a. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pribadi si pelaku

tindak pidana. P.A.F. Lamintang mengartikan unsur ini sebagai

“unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu

di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dan si pelaku itu

harus dilakukan”.

Unsur-unsur objektif ini meliputi:

1) Perbuatan atau kelakuan manusia.

Perbuatan yang dimaksud ada yang aktif dalam arti berbuat dan

melakukan sesuatu, seperti mencuri (Pasal 362 KUHP), membunuh

(Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP), dan ada pula

yang pasif dalam arti tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu,

seperti tidak melaporkan suatu pemufakatan dalam kejahatan

kepada pihak yang berwajib atau pihak yang terancam meskipun

orang itu mengetahuinya (Pasal 164-165 KUHP), membiarkan

orang yang sedang menghadapi maut tanpa memberikan

pertolongan (Paaal 531KUHP).

2) Akibat yang menjadi syarat mutlak dan delik

Hal ini dapat kita temukan dalam delik-delik materiil atau yang

dirumuskan secara materiil, yaitu delik yang dianggap terjadi

setelah adanya atau terwujudnya akibat yang dilarang dan diancam


pidana oleh undang-undang. Sebagai contoh : pembunuhan (Pasal

338 KUHP), di mana delik ini baru dianggap terjadi apabila

korban benar-benar mati.

3) Unsur atau sifat melawan hukum

Sifat yang sama ada dalam setiap tindak pidana, yakni sifat atau

unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tidak ada suatu

tindak pidana tanpa sifat melawan hukum. Meskipun unsur ini

tidak dinyatakan secara tegas dalam perumusannya, tapi jangan

dikira bahwa perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum

dan sifat melawan hukum ini tidak perlu dirumuskan sebagai

unsur tersendiri.

Moeljatno dalam hal ini membagi unsur tersebut menjadi 2 (dua),

yaitu unsur melawan hukum objektif dan unsur melawan hukum

yang subjektif Di mana unsur melawan hukum yang objektif

menunjuk kepada keadaan lahir yang menyertai perbuatan.

Misalnya dalam Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang. Sifat

melawan hukumnya terbukti dan hal bahwa barang bukan

miliknya dan tak dapat izin dan pemiliknya untuk berbuat seperti

itu. Sedangkan sifat melawan hukum yang subjektif dan suatu

perbuatan, terletak dalam hati sanubari si pelaku. Seperti adanya

maksud atau niat dalam pencurian (Pasal 362KUHP).

b. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHPidana itu, pada

umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya


dibagi kedalam 2 (dua) macam unsur, yakni; unsur objektif dan unsur

subjektif. Lamintang menyatakan13:

Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-


unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang
berhubungan dengan diri sipelaku, dan termasuk di
dalamnya segala yang terkandung di dalam hatinya,
adapun yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif
adalah unsur-unsur yang ada hubunganya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan
mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :14

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);


2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau
poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat (1)
KUHPidana;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk yang tedapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad,
seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut pasal 340 KUHPidana
5. Perasaan takut atau vress seperti yang diantara lain
terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal
308 KUHPidana.

Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu

terdiri dari : 15

1. Sifat melanggar hukum atau wederechtelijkheif;


2. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut
pasal 415 KUHPidana atau “keadaan sebagai pengurus
atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam
kejahatan menurut pasal 398 KUHPidana
3. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai
akibat.
13
P.A.F., Lamintang., Op.Cit. hlm. 193.
14
Ibid, hlm. 193.
15
Ibid, hlm. 193
Menurut Wirdjono Prodjodikoro, selain unsur-unsur subjektif dan

unsur-unsur objektif di atas yang pada umumnya melekat pada suatu tindak

pidana, terdapat unsur-unsur khusus yang hanya ada pada berbagai tindak

pidana tertentu. Titel XXVII dari Buku II KUHPidana tentang “Kejahatan

Jabatan” memuat beberapa pasal yang menyebutkan sebagai unsur khusus

bahwa si pelaku harus ambtenar atau pegawai negeri.16

Titel XXIX dari Buku II KUHP tentang “Kejahatan Pelayaran”

memuat beberapa pasal yang menyebutkan sebagai unsur khusus bahwa si

pelaku harus si pengemudi kapal (schipper) atau anak-anak kapal

(schepelingen).

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Menurut Sofjan Sastrawidjaja jenis-jenis tindak pidana dapat

digolongkan ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu :17

KUHP itu terdiri dari atas 569 pasal, yang dibagi dalam tiga buku,

yaitu :

Buku I : Aturan Umum di atur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 103

Buku II : Kejahatan di atur dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 488

Buku III : Pelanggaran di atur dalam Pasal 489 sampai dengan Pasal 569

Dalam Buku I KUHP diatur tentang pengertian-pengertian dan asas-asas

hukum pidana yang berlaku umum untuk semua lapangan hukum pidana

positif, baik yang diatur dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam
16
Wirdjono Prodjodikoro, Ibid, hlm. 4.
17
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm.127.
peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP. Pengertian-

pengertian dan asas-asas hukum pidana tersebut secara umum harus

dipergunakan dalam menjalankan hukum pidana positif tersebut.

Pembagian KUHP tersebut di atas, dapatlah di ketahui bahwa jenis-jenis

tindak pidana menurut KUHP itu terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu :

1) Kejahatan (Misdrijven);

2) Pelanggaran (Overtredingen).

Menjadi dasar pembagian atas dua jenis tindak pidana tersebut

didasarkan kepada perbedaan asasi (prinsip), dikatakan kejahatan adalah “delik

hukum” (rechtsdelict), sedangkan pelanggaran adalah “ delik undang-undang”

(wetsdelict). Suatu perbuatan merupakan “delik hukum” (rechtsdelict), apabila

sejak semula sudah dapat dirasakan bahwa perbuatan tersebut telah

bertentangan dengan hukum, sebelum ditentukan dalam undang-undang.

Sedangkan delik undang-undang” (wetsdelict) baru dapat dirasakan sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan hukum setelah ditentukan dalam undang-

undang. Sebagai contoh dari delik hukum antara lain : pembunuhan, pencurian,

perkosaan, dan lain-lain, sedangkan contoh dari delik undang-undang antara

lain: pengemisan, gelandangan, pelanggaran lalulintas jalan, dan lain-lain.

Sedangkan jenis-jenis tindak pidana atau delik menurut Doktrin terdiri

dari :18

Delik formal (formeel delict) dan delik materiel (materiel delict)


Delik formal sering disebut juga dengan “delik dengan perumusan
formal” (delict met formale omschrijving), yaitu delik yang terjadi
dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang. Sebagai contohnya adalah :
18
Ibid, hlm 135
Pasal 160 KUHP-penghasutan, Pasal 209 dan 210 KUHP-
penyuapan atau penyuapan aktif, Pasal 263 KUHP- pemalsuan
surat, Pasal 362 KUHP –pencurian.
Delik materiel disebut juga dengan “delik dengan perumusan
materiel” (delict met materiel omschrijving), yaitu delik yang baru
dianggap terjadi setelah timbulnya akibat yang dilarang dan
diancam oleh undang-undang. Sebagai contohnya adalah : Pasal
338 KUHP-pembunuhan, Pasal 351 KUHP-penganiyaan.

Delik komisi (commisie delict) atau delik omisi (omissie delict).


Delik komisi (commisie delict) adalah delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan di dalam undang-undang. Delik
komisi ini dapat berupa delik formel, seperti Pasal 362 KUHP, dan
berupa delik materiel, seperti Pasal 338.
Delik omisi (omissie delict) adalah yang berupa pelanggaran
terhadap keharusan dalam undang-undang, sebagai contoh adalah :
Pasal 164, Pasal 165, Pasal 224, Pasal 478, Pasal 522, Pasal 531
KUHP.

Delik berdiri sendiri (zelfstanding delict) dan delik lanjutan


(voortgezette delict).
Delik berdiri sendiri (zelfstanding delict) adalah delik yang harus
terdiri atas satu perbuatan tertentu, misalanya: Pasal 338, Pasal 362
KUHP.
Delik lanjutan (voortgezette delict) adalah yang terdiri atas
beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri,
tetapi dalam perbuatan itu ada hubungan yang erat, sehingga harus
dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan.

Delik rampung (aflopend delict) dan delik berlanjut (voortdurend


delict).
Delik rampung (aflopend delict) adalah delik yang terdiri atas satu
atau beberapa perbuatan tertentu yang selesai dalam satu waktu
tertentu yang singkat, misalnya: Pasal 362 KUHP.
Delik berlanjut (voortdurend delict) adalah delik yang terdiri atas
satu atau beberapa perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan yang
dilarang oleh undang-undang, misalnya: Pasal 221, Pasal 261, Pasal
282, dan Pasal 333 KUHP.

Delik tunggal (enkelvouding delict) dan delik bersusun


(samengesteld delict)
Delik tunggal (enkelvouding delict) adalah delik yang hanya
satukali perbuatan , sudah cukup dikenakan pidana, misalnya: Pasal
480 KUHP.
Delik bersusun (samengesteld delict) adalah delik yang beberapa
kali dikenakan untuk dikenakan pidana. Misalnya delik kebiasaan
(gewoonte delicten) yaitu terdapat dalam Pasal 296 dan Pasal 481
KUHP.

Delik sederhana (eenvoudig delict), delik dengan pemberatan


(geqwalificeerd delict), dan delik berprevilis (gepreviligieerd
delict).
Delik sederhana (eenvoudig delict) adalah delik dasar atau delik
pokok (grood delict), misalnya: Pasal 338, dan Pasal 362 KUHP.
Delik dengan pemberatan (geqwalificeerd delict) atau delik delik
berkualitatif adalah yang mempunyai unsur-unsur yang sama
dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-
unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat daripada delik
dasar atau delik pokok, misalnya: Pasal 339 dan Pasal 363 KUHP.
Delik berprevilis (gepreviligieerd delict) adalah delik yang
mempunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar atau delik
pokok tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain, sehingga ancaman
pidananya lebih ringan darpada delik dasar atau delik pokok,
misalnya: Pasal 342 dan Pasal 344 KUHP.

Delik kesengajaan (dolus delict) dan delik kealpaan (culoops


delict).
Delik kesengajaan (dolus delict) adalah delik yang dilakukan
dengan sengaja, misalanya: Pasal 338 dan Pasal 351 KUHP.
Delik kealpaan (culoops delict) adalah delik yang dilakukan karena
kesalahannya atau kealpaannya, misalnya: Pasal 359 dan Pasal 60
KUHP.

Delik politik (politik delict) dan delik umum (gemeen delict).


Delik politik (politik delict) adalah delik yang ditunjukan terhadap
keamanan negara dan kepala negara, misalnya: ketentuan-ketentuan
yang di atur dalam Buku II Bab I – Bab V, Pasal 104, Pasal 181
KUHP.
Delik umum (gemeen delict) adalah yang tidak ditujukan kepada
keamanan negara atau kepala negara, misalnya: Pasal 362, dan
Pasal 372 KUHP.

Delik khusus (delicta propria) dan delik umum (delicta communia)


Delik khusus (delicta propria) adalah delik yang hanya dapat
dilakukan oleh orang tertentu saja, karena suatu kualitas, misalnya:
Bab XXVIII Buku II, Pasal 413-437 KUHP jo UU Tindak Pidana
Korupsi.
Delik umum (delicta communia) adalah delik yang dapat dilakukan
oleh setiap orang, misalnya: Pasal 338, Pasal 351, dan Pasal 362
KUHP.

Delik aduan (klacht delict) dan delik biasa (gewone delict)


Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut,
jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan, delik aduan ini
dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : delik aduan absolut dan delik
aduan relatif.
Delik biasa (gewone delict) adalah delik yang bukan delik aduan
dan untuk menuntutnya tidak perlu adanya pengadauan, yang
termasuk delik biasa adalah delik-delik di luar pasal-pasal delik
aduan, misalnya: Pasal 281, Pasal 338, Pasal 351, Pasal 362 KUHP.

B. Hukum Kesehatan

1. Pengertian Hukum Kesehatan.

Pasal 1 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa pengertian

kesehatan yaitu : Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Adapaun pengertian dari hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan

Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), hukum kesehatan adalah semua

ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan

kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban, baik dari

perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan

kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala

aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medis, ilmu

pengetahuan, kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber hukum lainnya19

Menurut van Der Mijn :

Hukum kesehatan adalah hukum yang berhubungan langsung


dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan
perangkat hukum perdata, pidana, dan tata usaha negara.
(Y.A.Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran,
Bayu Media Publising, Malang, 2007. Hlm 3)

19
Y.A.Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media Publising, Malang, 2007.
Hlm 4
Selanjutnya, menurut Leenen :20

Hukum kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yuridis dan


peraturan hukum dibidang kesehatan serta studi ilmiahnya.

2. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan.

Pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan

melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, masa

sekarang maupun masa yang akan datang. Namun dilihat dari sejarah

perkembangannya, telah terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran mengenai

upaya memecahkan masalah kesehatan. Proses orientasi perubahan pemikiran

yang dimaksud selalu berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan

sosial budaya. Kebijakan pembangunan dibidang kesehatan yang semula berupa

upaya penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang kearah

kesatuan upaya pembangunan kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan peran

serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang

mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud, dipengaruhi oleh faktor

lingkungan sosial budaya, termasuk ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang

bersifat dinamis dan kompleks.Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah

melalui sistem kesehatan nasional.Berupaya menyelenggarakan kesehatan yang

bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima, serta terjangkau oleh

seluruh lapisan masyarakat.Upaya tersebut diselenggarakan dengan menitik

20
Y.A.Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media Publising, Malang, 2007.
Hlm 3).
beratkan pada pelayanan kesehatan untuk masyarakat luas, guna mencapai derajat

kesehatan yang optimal.

Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks

dan luas, sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang

mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan. Jika

dilihat dari aspek yuridisnya, dengan dikembangkannya sistem kesehatan

nasional, sudah tiba saatnya untuk mengkaji kembali dan melengkapi peraturan

perundang-undangan bidang kesehatan, dengan mengeluarkan berbagai produk

pokok hukum yang lebih sesuai yang dapat ;21

a. Mendukung adanya sarana pelayanan, program dan kegiatan dalam seluruh

upaya kesehatan yang sudah atau yang akan dikembangkan, baik oleh

pemerintah maupun masyarakat termasuk sektor swasta.

b. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan

perundang-undangan di sektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan.

c. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan

dimasa mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat.

d. Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan.

e. Mengatur kewenangan dan tanggung-jawab pembiayaan upaya kesehatan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

f. Mengatur kewenangan dan tanggung-jawab serta dapat memberikan

perlindungan hukum, bagi penerima dan pemberi jasa upaya kesehatan.

g. Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah

dan masyarakat termasuk swasta.


21
Achmad Suardi, 2008 : 56
h. Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat

ini.

i. Memuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggar dapat

ditindak sebagaimana mestinya.

3. Pelayanan Kesehatan.

Pelayanan kesehatan (health services) merupakan salah satu upaya yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan maupun

kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.Pelayanan kesehatan juga harus

dilaksanakan dengan prosedur atau peraturan-peraturan yang berlaku untuk

menciptakan masyarakat yang sejahtera.

Menurut Lavey dan Loomba bahwa yang dimaksud dengan pelayanan

kesehatan ialah :

“Setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-


sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit
dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap
perseorangan, kelompok atau masyarakat” (Veronica
Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi
Terapeutik, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 78)

Menurut H.J.J. Leenen dalam buku “Pelayanan Kesehatan dan Hukum”

mengartikan pelayanan kesehatan yaitu :

“Suatu keseluruhan dari aktivitas-aktivitas profesional dibidang


pelayanan kuratif bagi manusia atau aktifitas bagi medis untuk
kepentingan orang lain dan untuk kepentingan pencegahan”
(H.J.J. Leenen dan P.A.F.Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan
Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1991 hlm 1).
Secara umum pelayanan kesehatan dapat dibedakan dalam dua macam,

yaitu pelayanan kedokteran (medical services), dan pelayanan kesehatan

masyarakat (public health services).Kedua macam pelayanan kesehatan tersebut

mempunyai ciri masing-masing.Secara umum disebutkan bahwa pelayan

kedokteran dapat diselenggarakan secara sendiri, dengan tujuan utamanya ialah

untuk mengobati (kuratif) penyakit dan memulihkan (rehabilitatif) kesehatan serta

sasaran utamanya adalah perseorangan, sedangkan pelayanan kesehatan

masyarakat umumnya diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu

organisasi bahkan harus selalu mengikutsertakan potensi masyarakat secara

keseluruhan.

4. Asas-asas Pelayanan Kesehatan.

a. Asas Legalitas.

Asas ini tersirat di dalam Pasal 23 UU No 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan, yang menyatakan bahwa guna pemerataan dan peningkatan mutu

pelayanan, kepastian, dan perlindungan bagi terlaksananya otonomi profesional

tenaga kesehatan, guna mengantisipasi penanam modal asing dalam

menyelenggarakan praktek pelayanan medik swasta yang cenderung berorientasi

komersil semata-mata, maka setiap penyelenggaraan pelayanan medis harus

memenuhi perizinan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UU

No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang telah berlaku sejak tanggal 6

Oktober 2005. Persyaratan tentang perizinan bagi praktik kedokteran tercantum

dalam Pasal 29 ayat (1) sampai dengan (3), Pasal 36 dan Pasal 38 ayat (1) dan (2).
b. Asas Keseimbangan.

Di dalam hukum, asas ini termasuk asas yang berlaku umum sebagaimana

tercantum dalam penjelasan Pasal 2 butir (2) UU No.36 tahun 2009, tidak khusus

untuk transaksi terapeutik saja, karena disamping hukum memberikan kepastian

dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, hukum juga harus bisa

memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu kembali kepada

keadaan semula. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan

secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan

mental, antara material dan spiritual.Di dalam pelayanan medik, dapat juga

diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil,

antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari upaya medik yang

dilakukan.Asas ini erat kaitannya dengan masalah keadilan ssesuai dengan

penjelasan Pasal 2 butir (6) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

c. Asas Tepat Waktu.

Dalam pelayanan kesehatan, asas ini merupakan asas yang cukup penting,

karena akibat kelalaian memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan

dapat menimbulkan kerugian pada pasien sebagaimana tercantum dalam Pasal 29

UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Asas ini perlu diperhatikan oleh dokter

sebagai tenaga kesehatan, karena hukum tidak bisa menerima alasan apapun

dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena

keterlambatan dokter dalam menangani pasiennya, bahkan setiap orang berhak


atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan

(Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009)

d. Asas Itikad Baik.

Asas ini bersumber pada prinsip etis berbuat baik (beneficence) yang perlu

diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien, sesuai standar

profesinya (Pasal 27 ayat (2) UU No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan.Kewajiban untuk berbuat ini tentunya bukan tanpa batas, karena

berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri

sendiri.Dalam pelayanan medik yang didasarkan pada kepercayaan pasien maka

dokter dengan itikad baiknya berkewajiban memberikan pertolongan profesional

yang bermutu dan bermartabat kesungguhan niat sesuai tanggung jawabnya.

Seseorang berkewajiban menolong orang lain sepanjang tidak menimbulkan risiko

bagi dirinya sendiri, dan orang yang ditolong telah mencoba menolong dirinya

sendiri. Dasar hukum asas ini selain UU Kesehatan juga KUH Perdata Pasal 1338

point (3) dan Pasal 1354 mengenai Zaakwarneming atau prinsip berbuat baik.

e. Asas Kejujuran.

Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat

menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter.Berdasarkan asas kejujuran

dokter berkewajiban untuk memberikan pertolongan sesuai dengan yang

dibutuhkan oleh pasien, juga sesuai standar profesinya.


Asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi

yang benar, baik oleh pasien maupun dokter dalam berkomunikasi.Kejujuran

dalam menyampaikan informasi sangat membantu dalam kesembuhan

pasien.Kebenaran informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk

mengetahui kebenaran.

Walaupun demikian tidak berarti semua informasi harus disampaikan

kepada pasien, apabila dokter berpendapat bahwa pemberitahuan tersebut justru

dapat merugikan pasien yang bersangkutan.Oleh karena itu dokter selalu sadar

bahwa setiap informasi harus berorientasi kepada kepentingan pasien. Sehingga

dalam wawancara pengobatan, sikap dan kualitas komunikasi harus senantiasa

memperhatikan dampak yang akan terjadi kepada pasien.

Asas kejujuran ini melandasi kewajiban dokter untuk memenuhi standar

profesi dan menghormati hak pasien (Pasal 7, 8 dan Pasal 56 UU No. 36 tahun

2009 tentang Kesehatan).

f. Asas Kehati-hatian.

Sebagai seorang profesional di bidang medik, tindakan dokter harus

didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya,

karena kecerobohan mengakibatkan dokter terkena tuntutan pidana.

Setiap orang sebelum melakukan sesuatu dalam hubungannya dengan

orang lain harus bersikap berhati-hati. Jika seseorang tidak dapat berbuat baik,

sekurang-kurangnya tidak merugikan orang lain (Primun Non Nocere) dengan

sengaja atau secara langsung.Bahwa dokter selaku profesional bertanggung jawab


atas kesalahan dalam melaksanakan profesinya (Pasal 58 UU No. 36 tahun 2009

tentang Kesehatan).

g. Asas Keterbukaan.

Salah satu asas yang diuraikan dalam penjelasan Pasal 2 UU No. 36 tahun

2009, asas keterbukaan yang didasarkan pada kemampuan, keterampilan dan

pengalaman dengan cara komunikasi secara terbuka antara dokter dengan pasien.

Dalam asas ini pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya kesehatan yang

harus dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna, dan hanya tercapai bila

ada kerjasama antara dokter dengan pasien yang didasarkan sikap saling

percaya.Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara

dokter dengan pasien dalam hal ini pasien memperoleh penjelasan atau informasi

dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.

C. Tinjauan Pustaka Mengenai Obat

Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang siap

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi

(Kebijakan Obat Nasional, 2005).

Defenisi menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang

digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati

atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.


Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat di atas, maka

peran obat secara umum adalah sebagai berikut:

1. Penetapan diagnosa

2. Untuk pencegahan penyakit

3. Menyembuhkan penyakit

4. Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan

5. Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu

6. Penigkatan kesehatan

7. Mengurangi rasa sakit

Berdasarkan Jenisnya obat di bagi menjadi :

1. Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas Obat Bebas merupakan obat yang bisa

dibeli bebas di apotek, bahkan warung, tanpa resep dokter, ditandai lingkaran

hijau bergaris tepi hitam, obat Bebas Terbatas (dulu disebut daftar W =

Waarschuwing = peringatan), yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu

masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai lingkaran biru

bergaris tepi hitam

2. Obat keras (dulu disebut obat daftar G = Gevaarlijk = berbahaya), yaitu obat

berkhasiat keras yang untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter,

memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di

dalamnya.

3. Psikotropika dan Narkotika, Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat

menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan

menimbulkan kelainan prilaku, narkotika adalah zat atau obatyang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menimbulkan pengaruh- pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan

dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia.

Berdasarkan Mekanisme Kerja Obat, Obat digolongkan menjadi lima jenis :

1. Obat yang bekeja terhadap penyebab penyakit, misalnya penyakit

karena bakteri atau mikroba, contoh: antibiotik.

2. Obat yang bekerja mencegah keaadan patologis dari penyakit,

contoh: serum, vaksin.

3. Obat yang menghilangkan gejala penyakit = simptomatik, missal

gejala penyakit nyeri, contoh: analgetik, antipiretik.

4. Obat yang bekerja untuk mengganti atau menambah fungsi-

fungsi zat yang kurang, contoh: vitamin, hormon.

5. Pemberian placebo, adalah pemberian sediaan obat yang tanpa

zat berkhasiat untuk orang-orang yang sakit secara psikis,

contoh: aqua proinjection

Selain itu, obat dapat dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya misalkan

antihipertensi, cardiaca, diuretic, hipnotik, sedative dan lain-lain.

Berdasarkan Tempat atau Lokasi Pemakaiaannya, Obat dibagi dua golongan:

1.Obat Dalam, misalnya obat-obat peroral. Contoh: antibiotik,

acetaminophen

2.Obat Topikal, untuk pemakaian luar badan. Contoh sulfur, antibiotik

Berdasarkan Cara Pemberiannya


1.Oral, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui mulut,

Contoh: serbuk, kapsul, tablet sirup.

2.Parektal, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui

rectal. Contoh supositoria, laksatif.

3.Sublingual, dari bawah lidah, kemudian melalui selaput lendirdan

masuk ke pembuluh darah, efeknya lebih cepat. Untuk penderita

tekanan darah tinggi, Contoh: tablet hisap, hormone.

4.Parenteral, obat suntik melaui kulit masuk ke darah. Ada yang

diberikan secara intravena, subkutan, intramuscular, intrakardial.

5.Langsung ke organ, contoh intrakardial.

6.Melalui selaput perut, intraperitoneal

Berdasarkan Efek yang Ditimbulkannya

1. Sistemik: masuk ke dalam system peredaran darah, diberikan secara oral

2. Lokal : pada tempat-tempat tertentu yang diinginkan, misalnya

pada kulit, telinga, mata.

Penamaan obat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Nama Kimia, yaitu nama asli senyawa kimia obat.

2. Nama Generik (unbranded name), yaitu nama yang lebih mudah yang

disepakati sebagai nama obat dari suatu nama kimia.

3. Nama Dagang atau Merek, yaitu nama yang diberikan oleh masing-

masing produsen obat. Obat bermerek disebut juga dengan obat paten

Anda mungkin juga menyukai