Anda di halaman 1dari 12

Nama : Mavelda Regina

Npm : 19.4301.123
Matakuliah : Pengantar Hukum Indonesia

Pengertian Hukum Pidana


Hukum Pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata ‘pidana” (leed) sama dengan
derita atau siksaan, yang berarti hal yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa
dillmpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan sebagai
suatu penderitaan, tetapi harus dengan alasan tertentu untuk melimpahkan pidana ini. Alasan
tersebut selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang di dalamnya seorang oknum
yang bersangkutan, seperti akibat bertindak kurang baik (melakukan kejahatan atau
pelanggaran). Maka unsur ‘hukuman” sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata pidana.
Tetapi kata “hukuman” sebagai istilah tidak dapat mengganti kata ‘pidana”, sebab ada istilah
‘hukum pidana” disamping “hukum perdata” seperti misalnya ganti kerugian berupa
pembayaran sejumlah uang penyitaan barang disusut dengan pelelangan.
lstilah hukum pidana mutai dipergunakan pada masa pendudukan Jepang untuk pengertian
strafecht dan bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dan istilah hukum perdata untuk
pengert!an burgeljk recht atau privaatrecht dan bahasa Belanda.
Ada dua unsur pokok dan hukum pidana, yaltu:
1. Adanya suatu norma”, yaitu suatu larangan atau suruhan.
2. Adanya “sanksi” atas pelanggaran norma itu bewpa ancaman dengan hukuman pidana.
Kaidah Hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum yang bersifat publik, yaitu
hubungan hukum yang teratur dan titik beratnya tidak berada pada kepentingan seseorang
individu yang inconcreto secara Iangsung dirugikan, melainkan terserah kepada pemerintah
(aparatur penegak hukum) sebagai wakil dan kepentingan umum.
Berkaitan dengan pengertian hukum pidana ini, dikatakan oleh Prof. Van Hamel, dalam
bukunya (Inleiding Studie Ned. Strafrecht, 1927), bahwa :

“Hukum pldana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara
dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde), yaltu melarang apa yang
bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar
larangan—larangan tersebut’.
Kemudian menurut Prof. Simons, dalam bukunya (Leer boek Naderlands Strafrecht, 1937),
bahwa
“Hukum pidana adalah kesemua perintah-perintah dan larangan larangan yang diadakan oleh
negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya,
kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan
kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut”
Selanjutnya menurut Prof. Pompe, dalam bukunya (Handboek Nederlands Strafrecht, 1953),
Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-
perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Hukum Pidana adalah
bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-
dasar dan aturan-aturan untuk:
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancarnkan:
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Sifat Kaidah Hukum Pidana


Kaidah Hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum yang bersifat publik, yaltu
hubungan hukum yang teratur dan titik beratnya tidak berada pada kepentingan seseorang
individu yang ¡nconcreto secara langsung dirugikan, melainkan terserah kepada pemerintah
(aparatur penegak hukum) sebagai waku dan kepentingan umum”. Seperti dikemukakan oleh
beberapa pakar, antara lain:
a. Van Apeldooren (Inleiding tot de studie van bet Nederlandserecht, beranggapan bahwa :
“Hukum pidana adalah hukum public, karera ia memandang dalam suatu tindak pidana, yaitu
suatu pelanggaran tata tertib hukum dan tidak melihat dalam penistiwa tindak pidana itu
suatu pelanggaran kepentingan khusus danipada individual. Penuntutannnya tidak dapat
diserahkan kepada individual yang dirugikan, akan tetapi harus dijalankan oleh pemerintah
(Jaksa Penuntut Umum).
b. Prof. Van Hamel, memandang hukum pidana sebagai hukum public, karena yang
menjalankan hukum pidana ¡tu sepenuhnya terietak di tangan pemerintah.
c. Prof. Simons, memandang hukum pidana sebagai hukum public, karena hukum pidana itu
mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat. Hukum Pidana dijalankan untuk
kepentingan masyarakat dan juga dijalankannya, karena kepentingan masyarakat itu benar-
benar memerlukannya.
Berdasarkan beberapa pandangan para pakar di atas, maka jelaslah bahwa hukum pidana
adalah hukum public, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan Negara
dan masyarakat, dan hukum pidana itu dilaksanakan untuk kepentingan umum (public).
Ditinjau dan sifatnya, maka ilmu hukum pidana itu bersifat dogmatis, yang dituangkan dalam
kata-kata hukum. Untuk mendapat kejelasan tentang apa-apa yang dimaksud oleh kata-kata
itu, maka diperlukan adanya penafsiran hukum. Selanjutnya objek ilmu hukum pidana adalah
hukum pidana positif.

Ruang lingkup Hukum Pidana


Berdasarkan Pengertian hukum pidana di atas, maka ruang lingkup hukum pidana dapat
dibagi menjadi 2 bagian , yaltu:
a. lus Poenale (hukum pidana materil)
Hukum Pidana (lus poenale) merupakan sejumlah peraturan yang mengandung perumusan
peristiwa pidana serta ancaman hukuman nya, yang dikenal dengan Hukuman pidana
substantif (hukum pidana materil), yaitu aturan hukum mengenal delik yang diancam dengan
hukuman pidana, mengenai hal-hal: apa, siapa dan bagaima na sesuatu hukuman dapat
dijatuhkan, yang dimuat dalam KUHP dan peraturan-peraturan pidana lainnya di luar KUHP.
b. lus Poeniendi (hak memidana/hukum pidana formil)
yaitu aturan hukum mengenai hak negara untuk menghukum seorang yang melakukan
sesuatu peristiwa pidana, ketentuan hukum yang menyangkut cara proses pelaksanaan
penguasa menindak warga yang didakwa dan pertanggungjawaban atas sesuatu delik yang
dilakukannya. ini merupakan realisasi hukum pidana substantif materil, yaitu hukum acara
pidana yang dimuat dalam KUHAP (UU No.8 tahun 1981) dan ketentuan-ketentuan hukum
acara pidana lainnya, yang khusus terdapat di luar KUHAP. Hak-hak negara tersebut
meliputi:
a. Hak untuk mengancam hukuman
b. Hak untuk menjatuhkan hukuman.
c. Hak untuk melaksanakan hukuman.
Dan segi lain, maka hukum pidana substantif atau hukum pidana materil dapat dianggap
sebagai hukum sanksi. Kata sanksi (Belanda) merupakan penegasan yang bersifat positif
berupa anugerah, hadiah maupun negatif berupa hukuman, tormasuk hukuman pidana.
Ilmu hukum pidana dapat dipandang dari 2 sudut:

1. Bilamana dipandang dan sudut delict, maka ia merupakan delictenrecht (hukum tentang
delik).

2. Bila dipandang dan sudut sanksi, maka ia adalah merupakan sancsjerecht (hukum tentang
sanksi), karena:
1). Sebagai akibat hukum (rechtsgavoIg).
2). Sebagai jaminan untuk dipatuhi (naveling).
Istilah Peristiwa Pidana
Peristiwa pidana dalam bahasa Belanda secara umum digunakan dalam 2 (dua) istilah,
strafbaar feit dan delict. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka istilah strafbaar
feit maupun delict memiliki banyak isitilah, antara lain adalah: Perbuatan yang dapat
dihukum, tercantum dalam pasal 3 LN 1951 nomor 78; Tindak Pidana, istilah ini dipakai
dalam ENGELBRECHT, Kitab-kitab Undang-undang dan peraturan-peraturan serta Undang-
undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Perbuatan yang boleh dihukum, istilah yang
dipergunakan oleh KARNI dan VAN SCHRAVENDIJK; Pelanggaran pidana, istilah yang
dipakai oleh TIRTAADMADJA; Perbuatan pidana, istilah yang dipakai oleh MOELJATNO;
Peristiwa pidana, istilah yang dipakai oleh E. UTRECHT.

Istilah peristiwa pidana memiliki arti, bahwa “peristiwa” meliputi suatu perbuatan (handelen
atau doen) atau suatu melalaikan (verzuim, niet doen atau nalaten) maupun akibatnya (akibat
dari perbuatan atau melalaikan sesuatu). Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum
(rechtsfeit) yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh
hukum.
Keseluruhan istilah tersebut di atas mengacu pada pemakaian istilah strafbaar feit dan delict.
Namun, VAN DER HOEVEN menolak penggunaan istilah strafbaar feit, karena bukan
peristiwanya yang dihukum, melainkan pelaku dari peristiwa tersebut, sehingga Van der
Hoeven menggunakan istilah Strafwaardig feit.
Definisi Peristiwa Pidana
Berbicara mengenai peristiwa pidana, banyak penulis memberikan rumusan tentang peristiwa
pidana, sama banyaknya seperti penggunaan istilah dalam peristiwa pidana. Beberapa definisi
tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut VOS, peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang
oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman;
Menurut POMPE, peristiwa pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang
teoritis dan sudut pandang hukum positif. Menurut sudut pandang teoritis, peristiwa pidana
adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum, normovertreding) yang terjadi
karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan
tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Secara teoritis, peristiwa pidana
memiliki unsur-unsur:
1. Suatu perbuatan melawan hukum (onrechmatig atau wederrechtelijk);
2. Suatu pebuatan yang dilakukan karena pelanggar bersalah (aan schuld (van de overtreder)
te wijten);
3. Suatu perbuatan yang dapat dihukum (strafbaar).
Menurut sudut pandang hukum positif, peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.
Menurut VAN HATTUM, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan
seseorang mendapat hukuman atau dapat dihukum. Berdasarkan definisi tersebut, unsur
peristiwa dan pembuat peristiwa sama sekali tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengisyaratkan,
bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan bahwa peristiwa tersebut adalah suatu peristiwa
yang melanggar hukum, maka perlu dilihat terlebih dahulu kondisi dari pelaku peristiwa
tersebut, baik kondisi psikis maupun psikologis;
Menurut SIMONS, peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang oleh hukum diancam
dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan
orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut E. UTRECHT, peristiwa pidana hendaknya dibedakan secara definitive antara
pengertian dalam hukum pidana dan kriminologi. Persitiwa pidana dalam hukum pidana
dibagi dalam kejahatan dan pelanggaran.
Unsur – unsur Peristiwa Pidana
Rumusan peristiwa pidana sebagaimana disinggung dalam sub bagian di atas, secara umum
peristiwa pidana adalah suatu perbuatan manusia yang dapat dipertanggungjawabkan karena
suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian seseorang patut atau
tidak mendapat suatu hukuman karena perbuatannya bergantung pada dua hal, yaitu harus
ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan seorang yang melakukan
perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu peristiwa pidana harus memuat unsur perbuatan yang melawan hukum (element van
wederrechtelijk) dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid can het feit)
serta unsur kesalahan pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut
(element van schuld).
a. Unsur Melawan Hukum (wederrechtelijkeheid)
Beberapa definisi tentang peristiwa pidana antara lain oleh SIMONS (yang diikuti oleh
JONKERS) dan VOS menggambarkan peristiwa pidana sebagai suatu kelakukan manusia
yang melawan hukum (wederrechtelijke) atau bertentangan dengan hukum (onrechmatig) dan
oleh sebab itu harus dijatuhkan hukuman.
Mengenai unsur melawan hukum dalam peristiwa pidana terdapat 2 (dua) pendapat besar,
yaitu yang menyatakan unsur melawan hukum sebagai anasir tetap (constant in permanent)
tiap peristiwa pidana yang artinya suatu persitiwa pidana tidak cukup hanya perbuatan yang
sesuai dengan rumusan delik namun harus suatu perbuatan yang melawan hukum
(HAZEWINGKEL – SURINGA). Pendapat kedua menyatakan, unsur melawan hukum
sebagai suatu anasir konstitutif (constitutief element) tiap peristiwa pidana yang artinya unsur
melawan hukum adalah unsur mutlak dari suatu peristiwa pidana (VAN HAMEL).
Dalam teori hukum pidana Jerman permulaan abad 20, diterima suatu pendapat bahwa yang
menjadi syarat untuk adanya suatu peristiwa pidana adalah suatu perbuatan sesuai dengan
rumusan delik (omschrijving) atau disebut dengan Tatbestandmassigheid. Menurut
RUTGERS, unsur melawan hukum tersebut termasuk dalam Tatbestandmassigheid, dan
unsur konstitutif dalam peristiwa pidana menurut RUTGERS adalah Tatbestandmassige
onrechtmatigheid serta unsur kesalahan.
Dalam perkembangannya, Tatbestandmassigheid mulai ditinggalkan. Pada tahun 1930 dalam
ilmu hukum pidana Jerman diterima sebuah teori baru yang disebut Wesenschau. Menurut
ajaran Wesenschau, VAN BEMMELEN menerjemahkannya sebagai berikut, bahwa
peristiwa pidana tidak hanya sebagai suatu perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik
(delictomschrijving) dalam ketentuan pidana yang bersangkutan akan tetapi perbuatan
tersebut haruslah suatu perbuatan yang sesuai dengan makna inti dari ketentuan pidana yang
bersangkutan (dem wesen nach). Oleh VOS ajaran Wesenschau disebut sebagai idée
materielle wederrechtelijkheid (ajaran melawan hukum material).
POMPE memberikan suatu pemikiran, bahwa unsur melawan hukum bukanlah suatu unsur
mutlak dalam suatu peristiwa pidana. Pompe melihat unsur melawan hukum sebagai unsur
peristiwa pidana apabila unsur melawan hukum tersebut secara tegas dirumuskan dalam
undang-undang. Namun Pompe masih mengakui adanya unsur yang menghapuskan unsur
melawan hukum sehingga tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman. Pendapat ini oleh
SCHEPPER ditentang secara tegas. Schepper menyatakan, bahwa tidak disebutkannya unsur
melawan hukum dalam suatu ketentuan pidana tidak berarti unsur melawan hukum tersebut
bukanlah unsur peristiwa pidana yang bersangkutan.
Perdebatan mengenai unsur melawan hukum sebagai unsur mutlak atau bukan dalam unsur
peristiwa pidana membawa suatu pemikiran baru tentang suatu ide yang disebut dengan
materielle wederrechtelijkheid (ajaran melawan hukum material). VOS sebagai tokoh yang
memandang unsur melawan hukum sebagai unsur konsitutif atau mutlak dari setiap peristiwa
pidana memperluas definisi hukum dalam unsur melawan hukum itu sendiri. Hukum disini
tidak terbatas pada hukum tertulis melainkan juga hukum yang tidak tertulis atau asas-asas
hukum umum (algemene beginselen van recht). Jadi menurut VOS, melawan hukum tidak
hanya formelle wederrechtelijkheid (melawan hukum positif tertulis) tetapi juga materielle
wederrechtelijkheid (melawan asas-asas hukum umum/ hukum tidak tertulis).
Ajaran VOS tersebut banyak mendapat tentangan dari para penulis klasik sendiri seperti
SIMONS, ZEVENBERGEN dan VAN HATTUM. VAN HATTUM mengemukakan, bahwa
sejarah penetapan (wetshistorie) dari Wetboek van Strafrecht tidak terdapat bukti bahwa
wederrechtelijk tidak terbatas pada hukum tertulis, yang artinya secara luas termasuk
diantaranya hukum tidak tertulis. Sebaliknya, POMPE dengan penafsiran yang sama
memberikan pendapat yang berlainan dengan VAN HATTUM. Menurut POMPE, arti
wederrechtelijk yang luas sesuai dengan arti onrechmatig yang mana menurut Hoge Raad
tertanggal 31 Januari 1919 perbuatan yang tergolong bertentangan dengan asas-asas hukum
(onrechtmatige daad) adalah membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang melanggar
hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan asas-asas
pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang orang lain.
Pendapat Pompe didukung oleh VAN BEMMELEN yang menyatakan, wederrechtelijk
dalam hukum pidana diartikan sama dengan onrechtmatig dalam pasal 1365 BW.
Namun, POMPE tetap berpendapat, bahwa unsur melawan hukum hukanlah unsur mutlak
dalam setiap peristiwa pidana walaupun POMPE mengakui unsur melawan hukum materiil.
Pendapat mana bertentangan dengan VOS dan JONKERS yang menyatakan unsur melawan
hukum merupakan unsur mutlak dari setiap peristiwa pidana, walaupun undang-undang tidak
secara tegas menyatakan itu sebagai unsur peristiwa pidana. Pendapat VOS ini kemudian
berkembang menjadi unsur melawan hukum secara diam-diam.
b. Unsur Kesalahan (Schuld)
Seperti halnya unsur melawan hukum, pengarang klasik seperti VAN HAMEL, SIMONS,
ZEVENBERGEN dan SCHEPPER memandang unsur kesalahan sebagai unsur konstitutif
dalam setiap peristiwa pidana.
Dalam hukum pidana, yang dimaksud dengan kesalahan atau pertanggungjawaban adalah
suatu pertanggungjawaban menurut hukum pidana (verantwoordelijkheid volgens het
strafrecht). Menurut etika, setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi
dalam hukum pidana, hanya perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hal hakim
menjatuhkan hukuman dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Pertanggungjawaban
itu adalah pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas 3 unsur:
1. Toerekeningsvatbaarheid dari pembuat;
Menurut VAN HAMEL, Toerekeningsvatbaarheid adalah suatu keadaan normal psikis dan
kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan (kecakapan), yaitu mampu untuk dapat
mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri; mampu untuk
menyadari bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat dan mampu
untuk menentukan kehendak berbuat.
Menurut POMPE, Toerekeningsvatbaarheid adalah suatu kemampuan berpikir pada pembuat
yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya dan oleh
sebab itu pembuat dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya sehingga pembuat dapat
menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. Intinya bahwa pelaku mampu
menyadari arti perbuatannya dan sesuai dengan kesadarannya tentang arti perbuatannya dapat
menentukan kehendaknya. Pompe tidak membatasi pada suatu keadaan normal sebagaimana
dikemukakan oleh Van Hamel maupun Von Liszt.
2. Suatu sikap psikis pembuat dengan perbuatannya, yakni unsur sengaja dan culpa;
Menurut Teori Kehendak (wilstheorie) sebagaimana dikemukakan oleh VON HIPPEL,
sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat
karena tindakan itu. Sedangkan menurut Teori Membayangkan (voorstellingstheorie) yang
dikemukakan oleh FRANK, adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena
suatu perbuatan dibayangkan dengan maksud perbuatan itu dan oleh sebab itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan antara 3 (tiga) macam sengaja, yaitu:
a. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);
Menurut VOS, sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat (dader) menghendaki akibat
perbuatannya. Dengan kata lain, seandainya pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa
akibat perbuatannya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia takkan pernah melakukan
perbuatannya.
b. Sengaja dengan sadar kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatan itu.
c. Sengaja dengan sadar kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewusstzijn)
Berbeda halnya dengan definisi kesengajaan sebagai maksud maupun kesengajaan dengan
sadar kepastian, kesadaran dengan sadar kemungkinan memiliki banyak pendapat. VOS
menyatakan adanya kesulitan untuk mengukur jiwa pembuat persitiwa masing-masing
sehingga batasan dalam kesengajaan ini dapat ditentukan secara kasuistis. POMPE
mengatakan, bahwa dengan adanya sadar kemungkinan maka tidak ada kesengajaan, yang
ada adalah culpa atau kurang hati-hati.
Berbeda dengan sengaja, culpa memiliki arti kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku peristiwa
pidana yang tidak seberat kesengajaan. VOS memberikan criteria unsur-unsur culpa, antara
lain:
a. Pembuat dapat menduga terjadinya akibat kelakuannya (voorzienbaarheid van het gevolg
voor de dader);
b. Pembuat kurang hati-hati (onvoorzichtigheid)
Menurut POMPE, unsur-unsur culpa adalah sebagai berikut:
a. Pembuat dapat menduga (kunnen verwachten) terjadinya akibat perbuatannya;
b. Pembuat melihat adanya kemungkinan (voorziender mogelijkheid) akan terjadinya akibat
perbuatannya;
c. Pembuat sebelumnya melihat adanya kemungkinan (kunnen voorzien der mogelijkheid)
akan terjadinya akibat perbuatannya.
3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat
(toerekenbaarheid).
KUHPidana mengenal dua macam ontoerekeningsvatbaarheid, yaitu karena gebrekkige
ontwikkeling of ziekelijke storing implementasinya dalam pasal 44 KUHPidana dan
ontoerekeningsvatbaarheid karena minderjarigheid (belum dewasa) impelementasi dalam
pasal 45.
Ontoerekeningsvatbaarheid karena gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing sesuai pasal
44 KUHPidana adalah suatu keadaan kegilaan yang dapat disebabkan sudah ada sejak lahir
atau yang disebabkan kemudian karena suatu penyakit jiwa. Keadaan tersebut harus terus
menerus atau permanen.
Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika
tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh
sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan
sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam
melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk


membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal
ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali
kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak
normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap
keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya
masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak
berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan
berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 7

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1


KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak
dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal
dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila
hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus
memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat
psikologis.
Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit
berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena
suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus. b) Syarat psikologis ialah
gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu
suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat
menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman8

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang


buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan


kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut
adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan
tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang
tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,
dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian
itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban


pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana
atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka
orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan
kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa
setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani
yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia
memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain
untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai