1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenagkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.
Terdapat kesamaan pendapat dalam memahami penderitaan pidana, dimana salaha satu
karakteristiknya adalah adanya pengenaan atau penderitaan dengan sengaja. Ciri ini erat
kaitannya dengan sifta hukum pidana yang dengan sengaja mengenakan penderitaan dalam
mempertahankan norma-norma yang diakui didalam hukum. Pemberian nestapa atau
penderitaan yang (sengaja dikenakan kepada seorang pelaku yang melanggar ketentuan-
ketentuan hukum pidana adalah dimaksudkan untuk menimbulkan efek penjeraan, sehingga
orang tidak melakukan tindak pidana, dan pelaku tidak lagi mengulangi melakukan
kejahatan.
B. Istilah Pemidanaan
Setelah dipahami pengertian pidana, pertanyaan yang selanjutnya adalah apa yang dimaksud
dengan pemidanaan. Menurut Prof. Sudato perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan
istilah penghukuman. Penghukuman ini berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hhukumnya[10].
Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidaklah hanya menyangkut bidang hukum
pidana saja, tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu sepanjang menyangkut penghukuman
dalam lapangan hukum pidana, maka istilah penghukuman harus disempitkan artinya, yaitu
penghukuman dalam perkara pidana. Untuk menyebut penghukuman dalam perkara pidana
dapat dipakai perkataan pemidanaan atau pemberian (penjatuhan) pidana oleh hakim.
Pemidanaan adalah penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan realisasi dari ketentuan
pidana dalam undang-undang yang bersifat abstrak yang ditetapkan oleh hakim melalui
penetapan hukum dan memutuskan hukumnya.
C. Pemidanaan Anak
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa
suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur[11]:
- adanya perbuatan manusia
- perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
- adanya kesalahan
- orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum,
yaitu[12]:
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah
atau kabur dari rumah ;
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan
kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses
kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang
cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai
kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak
seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak,
yaitu[13] :
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi/ sosial
3. Faktor psikologis
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa
Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya
terabaikan / mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar
peraturan dan lain-lain.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku
yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat[14].
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan
oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang
melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang
yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan
perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan
kenakalan (Deliquency).
Hal ini yang kemudian muncul sebuah teori oleh Sutherland (1966) yang disebut dengan teori
Association Differential yang menyatakan bahwa anak menjadi Delinkuen disebabkan oleh
partisipasinya ditengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu
dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu
semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi
semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferential tersebut dan semakin besar
pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.
Shanty Dellyana dalam bukunya wanita dan anak di mata hukum mengutip pendapat dari
Robert K Merton dan Nisbet mengemukakan bahwa:
anak-anak yang berumur dibawah 7 tahun dianggap tidak mampu untuk mempunyai
kehendak jahat (incapable of having the criminal intent)
Sedangkan mereka yang berumur antara 7 sampai 14 tahun pada umumnya dianggap mampu
untuk mempunyai kehendak jahat, berarti tidak dapat melakukan kejahatan (incapable of
crime)[18].
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana, bahkan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNAIR pada tahun 2003 terhadap anak-
anak yang melakukan tindak pidana di Jawa Timur sebagian besar karena kondisi ekonomi
yang tidak mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan
masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak
harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar adalah karena
kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak 74,71%. Kondisi ekonomi
yang tidak mampu memang bisa membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan
keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa
berbentuk pencurian benda yang di inginkannya[19].
Selain itu, adanya dampak negative dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya sangat berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku anak Hal yang sama juga diperoleh melalui adegan-adegan
kekerasan secara visualisasi, khususnya melalui media elektronik (televisi). Melalui tingginya
frekuensi tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang di sebut dengan kultur
kekerasan. Hal ini akan menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada
tindak pidana sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk anak. Anak
juga bisa melakukan tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang bernuansa
pornografi dan pornoaksi. Sehingga dalam berbagai kasus ada anak yang sampai tega
memperkosa teman sepermainannya setelah menonton film porno.
a. Kategori anak yang melakukan tindak pidana dan jenis pidana yang akan dijatuhkan
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada
tingkat penyidikan lebih lanjut, kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang
melakukan tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1
angka 2 yang berbunyi :
Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam pasal 4, yaitu :
- Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
- Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di maksud dalam
ayat (1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas
umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan
ke sidang anak.
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah umur yang melakukan kejahatan
yang memang layak untuk diproses adalah anak yang telah berusia 8 tahun dan diproses
secara khusus yang berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada
prakteknya penegakan hukum kepada anak nakal terkadang mengabaikan batas usia anak.
Contohnya pada kasus Raju yang di sidang di Pengadilan Negeri Atabat Langkat, saat itu dia
baru berusia 7 tahun 8 bulan.
Tegasnya, anak yang melakukan kejahatan jika dia belum berusia 8 tahun seharusnya tidak
diproses secara hukum seperti anak yang telah berusia 8 tahun. Bagi anak yang melakukan
tindak pidana yang akan di ajukan ke sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim
yang khusus menangani perkara anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara
anak. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3
tahun1997 :
1. Penyidik adalah penyidik anak
3. Hakim adalah hakim anak
4. Hakim banding adalah hakim banding anak
4. Hakim kasasi adalah hakim kasasi anak
Dalam pelaksanaannya sidang pengadilan bagi anak adalah tertutup dan suasana pada
sidang anak harus menimbulkan keyakinan pada anak dan orang tua bahwa hakim ingin
membantu memecahkan masalah pada anak, sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 dan
pasal 8 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 6
Hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum serta petugas lainnya dalam sidang
anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 8
1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup
2. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
3. Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang
bersangkutan beserta orang tua, wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing
kemasyarakatan.
4. Selain mereka yang disebutkan dalam ayat 3, orang-orang tertentu atas ijin hakim atau
majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum
pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau
orang tua asuhnya.
Dalam hal jenis pidana dan berat ringannya pidana pada anak yang melakukan tindak pidana
dapat dilihat pada pasal 22 sampai pasal 32 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 22
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
D. Perkembangan pemidanaan
Pada zaman dahulu kala bentuk pemidanaan yang dijatuhkan kepada suatu masyarakat yang
teratur kepada seorang penjahat adalah dalam bentuk :
1. Menyingkirkan/melumpuhkannya sehingga penjahat itu tidak lagi mengganggu
masyarakat pada masa yang akan datang. Penyingkiran itu dapat dilakukan dengan
bermacam-macam cara.
Misalnya : Membuang/mengirim si penjahat ke seberang lautan. Pidana berupa pembuangan
ini mencapai puncaknya di Inggris pada abad pertengahan dan akhir. Dimana banyak orang
Inggris yang melakukan kejahatan diasingkan ke Australia. Di Indonesia terutama pada
zaman Hindia Belanda pidana ini banyak juga dilakukan pada orang-orang politik.
2. Kerja paksa
Misalnya : Kerja paksa mendayung kapal yang banyak dilakukan pada abad ke-17. Cara-cara
kerja paksa seperti itu lama kelamaan menjadi hilang di Eropa. Pidana kerja paksa ini pernah
juga dilakukan dalam bentuk paksaan untuk memutar roda yang sangat banyak menguras
tenaga para napi sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberontak. Di Hindia
Belanda kerja paksa dalam bentuk pembuatan jalan raya/membuat lubang-lubang dalam
benteng pertahanan di zaman Jepang.
3. Pidana mati
Di deretan panjang jenis-jenis sanksi pidana dalam sejarah pemidanaan sanksi yang terberat
adalah menghabisi nyawa si penjahat yang disebut dengan pidana mati.
Cara-cara pidana mati pada zaman dahulu adalah sebagai kegiatan dengan ditarik kereta ke
jurusan berlawanan. Ada pula yang dikubur hidup-hidup, digoreng dengan minyak,
ditenggelamkan ke laut, jantungnya dicopet atau dirajam sampai mati.
Pidana mati seperti yang tersebut di atas lama kelamaan dilakukan dengan memberikan
perhatian terhadap kemanusiaan sehingga akhirnya dikenal dengan pidana mati dengan cara
dipotong, penggantungan di tiang gantungan, ditembak mati, disentrum dan sebagainya.
E. Konsep-Konsep Pemidanaan
Bahwa pemidanaan yang diatur dalam KUHP dimulai dari pasal KUHP. Pasal KUHP ini
sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan pemidanaan oleh hakim. Pasal 10 KUHP
menyebutkan dua jenis hukuman yaitu :
1. Hukuman Pokok
2. Hukuman tambahan
Termasuk hukuman pokok adalah hukuman tutupan, sedangkan hukuman tambahan adalah
perampasan, pengumuman keputusan hakim. Hal ini kemudian berkembang terutama
dalam tindak pidana diluar KUHP misalnya dalam delik ekonomi tindakan tata tertib
sementara.
Timbul permasalahan sampai detik ini pasal 10 KUHP belum berubah berubah baik
konsepnya maupun yuridisnya meskipun dalam praktek pelaksanaannya berbeda. Dalam
praktek tidak ada penjara yang ada lembaga pemasyarakatannya. Jadi, konsepnya berubah.
Konsep pidana masih tetap sama dengan konsep waktu W.V.S (Wet Boek van Strafrecht)
Belanda muncul pertama kali pada tahun 1811. Orang yang dijatuhi pidana penjara harus
masuk dan tinggal dibelakang tembok penjara.
A. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati adalah :
- Makar, membunuh kepala Negara (pasal 104)
- Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 3 ayat 2)
- Member pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (pasal 24
ayat 3)
- Membunuh kepala Negara sahabat (pasal 140 ayat 3)
- Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan 340)
- Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam
atau dengan jalan membongkar dan sebagainya yang menjadikan ada orang yang terluka
berat atau mati (pasal 365 ayat 4)
- Pembajakan dilaut, pesisir, di pantai dan di kali sehingga ada orang mati (pasal 444)
- Pada waktu perang menganjurkan huru hara, pemberontakan dan sebagainya (pasal
124)
- Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal
127 dan 129)
- Pemerasan dengan pemberatan pasal 36b ayat 2
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan dengan mempergunakan sebuah
jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan
papan tempat orang tiu berdiri. Cara ini ialah menurut pasal 11 KUHP yang dipakai
Indonesia.
Akan tetapi, kemudian pelaksanaan pidana mati ditiang gantungan diubah dengan cara lain,
yaitu dengan cara ditembak sampai mati, sehingga ketentuan pasal 11 tersebut sudah tidak
ada lagi. Perubahan cara pelaksanaan pidana mati itu dilakukan didasari Penetapan Presiden
(PenPres) nomor 2 tanggal April 1964. Penetapan Presiden itu kemudian dengan Undang-
Undang Nomor 5 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Sehingga ia dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Nomor 2 PNPS tahun 1964.
Tentang pelaksanaan pidana mati diatur dalam pasal 2 sampai pasal 16 Undang-Undang
Nomor 2 PNPS tahun 1964 yang pada prinsipnya menentukan hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam jangka waktu 3x24 jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi
atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan
dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan
sesuatu maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut.
b. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan
pidana mati ditunda hingga anak yang dikandungnya itu lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidan mati ditentukan oleh menteri kehakiman, yakni didaerah
hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana mati yang bersangkutan.
d. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan
mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau jaksa yang telah melakukan
penuntutan pidana pada peradilan tingkat pertama.
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi dibawah pimpinan
dari seorang perwira polisi.
f. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan (perwira yang ditunjuk) harus menghadiri
pelaksanaan pidana mati sedangkan pembela dari terpidan atas permintaanya sendiri atau atas
permintaan terpidana dapat menghadirinya.
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan dimuka umum. Penguburan jenazah
terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat-sahabat terpidana dan harus
dicegah pelaksanaan penguburan bersifat demonstrasi, kecuali demi kepentingan umum maka
jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain.
h. Setelah pelaksanaan mati itu selesai dilaksanakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidan mati tersebut, dimana
isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan didalam surat keputusan dari
pengadilan yang bersangkutan.
b. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak yang
dihukum dengan menutup atau menempatkan terpidana didalam sebuah LAPAS dengan
mewajibkannya untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam LAPAS
tersebut. Pengaturan tentang pidana penjara didalam KUHP dirumuskan dalam pasal 12
KUHP.
Pasal 12 berbunyi:
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas
tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-
turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana
seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur
hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan
pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Pasal 13 berbunyi :
Para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan
Orang-orang yang menjalani pidana penjara dibagi dalam beberapa golongan atau kelas,
pembagian kelas kelas terpidana penjara itu lebih lanjut diatur dalam peraturan
kepenjaraan.
Sehubungan dengan hal tersebut pada pasal 12 ayat 1 UU No. 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS
dilakukan penggolongan atas dasar :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Lama pidana yang dijatuhkan
4. Jenis kejahatan
5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan pembinaan.
Stelsel pidana Indonesia menurut KUHP membedakan pidana penjara ke dalam 2 bentu,
yaitu:
1. Pidana penjara seumur hidup
2. Pidana penjara selama waktu tertentu
Pengaturan tentang pidana penjara di dalam KUHP dirumuskan dalam beberapa pasal,
diantaranya adalah pasal 12 KUHP yang berbunyi :
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk 20 tahun berturut-turut
dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara
seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas 15 tahun
dapat dilampaui karena perbarengan, pengulangan atau karena yang ditentukan dalam pasal
52 dan 52 bis (Lembaga Negara 1958 No 127)
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari 20 tahun.
Dari pasal tersebut diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu dapat dijatuhkan seumur hidup
atau selama jangka waktu tertentu, yaitu minimal 1 hari, maksimal 15 tahun yang dalam hal-
hal tertentu dapat dilampaui, namun tidak boleh melebihi 20 tahun.
Menurut ketentuan pasal 13 KUHP, orang-orang yang menjalani pidana penjara dibagi dalam
beberapa golongan (kelas). Pembagian kelas-kelas terpidana penjara itu lebih lanjut diatur
dalam peraturan penjara.
Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 12 KUHP ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhdap narapidana di lembaga
pemasyarakatan (LAPAS) dilakukan penggolongan atas dasar :
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Lama pidana yag dijatuhkan
d) Jenis kejahatan
e) Krtiteria lainnya sesuia dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
Ditegaskan pula di dalam pasal 13 UU Pemasyarakatan tersebut, bahwa penggolongan
narapidana itu lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
c. Pidana Kurungan
Pidana kurungan terdiri dari :
- Kurungan principle
Lamanya minimal 1 hari maksimum 1 tahun, dan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan
dalam hal hal gabungan tindak pidana, penggabungan tindak pidana dan aturan dalam pasal
52 KUHP.
- Kurungan Subsidair
Lamanya minimal 1 hari maksimum 6 bulan dan dapat ditambah sampai 8 bulan dalam ini
gabungan tindak pidana, pengulangan tindak pidana dan aturan pelanggaran dalam pasal 52
KUHP.
Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seseorang yang dijatuhi pidana
denda yakni apabila ia tidak dapat/tidak mampu untuk membayar denda yang harus
dibayarnya.
Perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan antara lain :
1. Pidana penjara dapat dijatuhkan dalam LAPAS dimana saja sedangkan pidana kurungan
tidak dapat dijalankan diluar daerah dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana
itu dijatuhkan.
2. Orang yang dipidana penjara pekerjaaannya lebih berat daripada pidana kurungan dan
tanpa waktu bekerja tiap hari bagi terpidana penjara selama 9 jam sedangkan bagi pidana
kurungan hanya 8 jam.
3. Orang orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole yaitu hak untuk
memperbaiki keadaannya dalam rumah penjara atas biaya sendiri sedangkan terpidana
penjara tidak memiliki hak tersebut.
d. Pidana Denda
Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang. Pidana denda ini biasa
diancamkan/dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau
kejahatan ringan, oleh karena itu pidana denda adalah satu-satunya jenis pidana pokok yang
dapat dipikul orang lain selain terpidana, artinya walaupun pidana denda dijatuhkan kepada
seorang terpidana namun tidak ada halangan denda itu dibayar oleh orang lain atas nama
terpidana. Dalam KUHP pengaturan pidana denda ini diatur dalam pasal 30 dan 31 KUHP,
menentukan hal sebagai berikut :
Pasal 30 KUHP berbunyi :
- Pidana denda paling sedikit adalah Rp. 3, 75 sen
- Jika pidana denda tidak dibayar ia diganti demgam pidana kurungan
- Lamanya kurungan pengganti sedikitnya 1 hari dan paling lama 6 bulan.
- Pengganti ditentukan sbb, jika tindak pidana Rp.7,5 Sen atau kurungan dihitung 1 hari,
jika lebih Rp. 7,5 sen maka tiap tiap itu kelebihan itu dihitung 1 hari demikian pula sisanya
yang tidak cukup Rp. 7,5 sen.
- Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan
atau karena ketentuan pasal 52 KUHP maka pidana kurungan pengganti paling lama dapat
menjadi 8 bulan.
- Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih 8 bulan.
Pasal 31 KUHP berbunyi :
- Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda.
- Setiap waktu ia berhak dilepas dari kurungan pengganti jika ia membayar dendanya.
- Pembayaran sebahagian pidana denda baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalankan pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebahagian pidana
kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
B. Pidana Tambahan
a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Merupakan pidana tambahan yang diatur dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Hak-hak yang dapat
dicabut itu antara lain :
- Hak untuk mendapat segala jabatan/jabatan yang tertentu dengan maksud dengan
jabatan itu yaitu :
Tugas kepala negara/bagian-bagian dari negara
Hak untuk angkatan bersenjata
Hak ilmu aktif dan pasif anggota DPR
Hak untuk menjadi penasehat, wali dan lain-lain
Hak kuasa bapak dan sebagainya
Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu yaitu segala pekerjaan yang bukan
pegawai negeri.
Pencabutan beberapa hak tertentu ini diberikan apabila/kepada :
- Menyuruh melakukan dan mengeluarkan surat palsu kepada pembesar negeri/pejabat
pemerintah (dilihat pasal 317 KUHP)
- Perbuatan memfitnah sehingga orang lain melakukan tindak pidana (pasal 318 KUHP)
- Karena kekhilafan melakukan penahanan (pasal 334 KUHP)
- Menggugurkan kandungan baik dengan izin/tanpa izin wanita yang hamil tersebut (pasal
347 dan 348 KUHP)
- Melakukan pembunuhan
- Melakukan pencurian baik yang biasa/memberatkan/pencurian dengan
kekerasan/ancamannya berakibat luka/mati (pasal 362, 363, 365 KUHP)
- Tindak pidana penggelapan
- Tindak pidana penggelapan karena jabatan
- Tindak pidana penggelapan karena keberadaannya berada pada suatu organisasi (pasal
375 KUHP)
b. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Menurut pasal 39 KUHP ada 2 jenis barang yang dapat dirampas yaitu :
- Barang yang dirampas dari suatu kejahatan.
Misal : Uang palsu yang diperoleh karena kejahatan.
Barang-barang ini disebut dengan Corpora Deliari
- Barang yang digunakan untuk suatu kejahatan
Misal : Pisau/senpi yang digunakan untuk membunuh.
- Barang-barang ini disebut dengan Intrumenta Deliari
Dengan demikian pasal 39 KUHP ini memiliki 3 petunjuk data yaitu :
- Yang dapat dirampas adalah barang yang diperoleh dari kejahatan dan barang yang
digunakan untuk kejahatan.
- Hanya untuk kejahatan saja tidak untuk pelanggaran
- Barang yang dirampas milik yang terpidana saja
Pidana kurungan pengganti ada 2 bentuk yaitu :
- Pidana kurungan pengganti denda
- Pidana kurungan pengganti barang-barang
Seorang terpidana dibebaskan dari terpidana kurungan apabila pidana kurungan pengganti
perampasan barang dimana pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan yang besarnya sama
dengan nilai yang dirampas.
Pidana kurungan pengganti denda. Hanya dapat dibebaskan dengan membayar denda yang
ditetapkan dengan putusan hakim. Pidana kurungan ini dapat diperpanjang paling lama 6
bulan. Sedangkan pidana kurungan pengganti barang tidak dapat diperpanjang dari batas
maximum 6 bulan.
c. Pengumuman Putusan Pidana Hakim
Senantiasa diucapkan dimuka umum, akan tetapi bila dianggap perlu di samping sebagai
pidana tambahan putusan tersebut akan langsung disiarkan sejelas-jelasnya dengan cara yang
ditentukan oleh hakim, misalnya :
- Melalui televisi
- Melalui radio
- Melalui surat kabar dan lain-lain
Semuanya itu atas ongkos orang yang dihukum yang dapat dipandang sebagai suatu
pengecualian karena pada umumnya penyelenggaraan hukuman itu harus dipikul oleh negara.
C. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946,
yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa
dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana
tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan
yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa
pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan
UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948,
yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku
berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan
itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat
kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa
makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang
rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat
diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendaptkan fasilitas dari pada nara
pidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan
orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut
dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang
berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yang
dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh
maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP
Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena
itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan
pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali
hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada
Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan
sebutan peristiwa 3 Juli 1946.
IV. Lembaga-lembaga pemidanaan penindakan dan kebijaksanaan
Yang dimaksud dengan lembaga pemidanaan bukanlah lembaga-lembaga dimana para
terpidana hrus menjalankan pidana mereka atau yang dewasa ini dikenal dengan lembaga
pemasyarakatan, melainkan lembaga-lembaga hukum yang disebutkan didalam hukum positif
yang secara langsung ada hubungannya dengan pemidanaan-pemidanan yang dilakukan oleh
hakim, dan termasuk pula kedalam pengertiannya yaitu lembaga-lembaga pemasyarakatan
seperti yang telah disebut diatas.
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum
dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga
Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen
Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut
masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga
pemasyarakatan di sebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan
istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman
Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya
melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-
orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di
Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141
orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over
kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.
A. Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) terdapat pada pasal 14 KUHP. Pidana
bersyarat adalah : Suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim digantungkan pada
syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.
Ketentuan tentang pidana bersyarat itu terdapat pada pasal 14a 14 f KUHP diwaris dari
Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduanya.
Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada pasal 10 KUHP, hanya batas
pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.
Pasal 14 c KUHP menyatakan : Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama atau
pidana kurungan maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa pidana tidak
usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang memang lain disebabkan
karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan
dalam perintah tersebut di atas habis atau karena terpidana selama masa percobaan tidak
memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam perintah itu.
Pidana bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila hakim yakin bahwa
pembayaran denda betul-betul dirasakan berat oleh terpidana.
Berdasarkan pasal 14 c ayat (1) di atas pidana bersyarat dapat diadakan apabila : Hakim
menjatuhkan pidana paling lama 1 tahun/pidana kurungan.
Jadi yang menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan melainkan pidana penjara
yang dijatuhkan pada terdakwa. Terpidana yang diberikan pidana bersyarat haruslah
memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a. Syarat umum
Terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.
b. Syarat khusus
Ditentukan oleh hakim
Disamping itu juga dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana
yang harus dipenuhi dimana masa percobaan/selama sebagian masa percobaan.
Bilamana syarat umum dan khusus tidak dipenuhi maka berdasarkan pasal 14 f ayat (1)
KUHP hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat
diperintahkan supaya putusan pidana dapat dijalankan/ memerintahkan supaya atas namanya
diberikan peringatan kepada terpidana.
Masa percobaan dimulai sejak putusan tersebut mulai ditetapkan dan telah diberitahukan
kepada terpidana menurut tata cara yang ditentukan oleh UU.
Berdasarkan pasal 14 b (3) KUHP : Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada
pada tahanan sementara.
Dalam praktik, pengawasan oleh jaksa ini tidak berjalan semestinya. Seakan-akan
pengawasan hanya bersifat formalitas belaka. Dalam organisasi kejaksaan negeri, tidak ada
bagian khusus menangani pidana bersyarat yang sangat penting itu. Setelah perjanjian antara
terpidana dan jaksa seakan-akan masalah telah selesai. Akan tetapi jaksa dapat juga
memerintahkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pimpinan suatu
rumah penampungan atau kepada pejabat tertentu supaya memberi bantuan kepada terpidana
dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
Menurut pasal 14 KUHP, selanjutnya pidana bersyarat itu diatur dengan undang-undang.
Undang-undang yang dimaksud adalah Abld.1926 No.251 jo.486, berlaku mulai Januari
1927, diubah dengan Sbld.1934 No.172.
B. Tindakan dan kebijaksanaan
Yang dimaksud dengan tindakan atau yang didalam bahasa belanda juga sering disebut
dengan perkataan Maatregel adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum
positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili
perkara-perkara pidana. Akan tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan dan bukan
pula merupakan suatu kebijaksanaan.
Salah satu lembaga hukum yang disebutkan oleh para penulis Belanda yaitu tindakan atau
maatregel adalah lemabag penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah atau
lemabaga terbeschikingstelling van de regering, dimana seseorang itu dapat dimasukkan
kedalam suatu lemabaga pendidikan Negara atau dapat disebabkan kepada seseorang, kepada
sebuah lembaga atau kepada sebuah yayasan untuk dididik sesuai dengan keinginan dari
pemerintah, hingga orang tersebut mencapai usia delapan belas tahun.
Tentang perbedaan antara pidana dan tindakan atau pemidanaan dengan penindakan
Hazewinkel-Suringa menjelaskan[30], bahwa suatu pemidanaan itu pada hakikatnya
merupakan suatu kebijakasanaan untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang
pelaku tindak pidana, sedangkan pada suatu penindakan menurut hukum pidana unsure
kesengajanan untuk emberikan semacam penderitaan seperti itu tidak ada sama sekali.
Pemahaman yang lebih komprehensif tentang perbedaan antara pidana (punishment) dengan
tindan (treatment) dikemukakan oleh Alf Ross. Menurut Alf Ross[31] concept of
punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:
Pertama, pidana ditunjukkan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan.
Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku
Perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Alf Ross tidaklah didasarkan pada ada atau
tidak adanya unsure yang pertama (unsure penderitaan), akan tetapi harus didasarkan pada
ada tidaknya unsure kedua (unsure pencelaan).
Bentuk-bentuk tindakan yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia diantaranya adalah
penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah, penyerahan seorang anak kepada
sebuah lembaga untuk dididik sesuai dengan keinginan pemerintah sampai anak itu menjadi
dewasa, dan pengembalian seorang anak kepada orang tua atau walinya
Pasal 45 menyatakan bahwa :
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa
pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah
tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532,
536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap;
atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Menurut ketentuan pasal 45 KUHP, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan oleh hakim
dalam hal memberikan sanksi terhadap seorang anak di bawah umur (belum berumur 16
tahun) yang bukti melakukan tindak pidana yaitu:
1. Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya tanpa dipidana apapun, atau
2. Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana
apapun, atau
3. Menjatuhkan pidana.
Tentang batasan belum cukup umur atau belum dewasa (minderjaring) tidak ditemukan
adalah seragaman atau kesamaan dinatara berbagai undang-undang yang berlaku di
Indonesia. Ketentuan hukum perdata mencantumkan, bahwa yang dimaksud dengan anak
dibawah umur adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya tidak kawin
(pasal 330 KUHPerdata). Akan tetapi KUHP menentukan batas usia belum dewasa itu adalah
merekan yang melakukan kejahatan sebelum berusia 16 tahun. Namun dewasa ini yang
dipakai sebagai ukuran yuridis untuk menentukan usia belum dewasa itu adalah ketentuan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, yang menentukan bahwa
batas usia belum dewasa itu adalah 18 tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 angka 1).
Penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak nakal yang melakukan kejahatan dalam
Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dilakukan dengan cara :
1. Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana
tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat
juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diaturlebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja;
atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Keistimewaan penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan kejahatan bila dibandingkan
dengan orang dewasa adalah, didalam putusan hakim dapat ditentukan supaya yang bersalah
kepada orang tuanya tanpa pidana apapun. Biasanya bila hakim meyakini akan perbuatan
pidana dan kesalahan seseorang, maka hakim akan menjatuhkan pidana, sekalipun ada hal
yang meringankan. Akan tetapi dalam hal anak nakal tidaklah demikian.
Meskipun penempatan seorang anak nakal dibawah pengawasan pemerintah untuk dididik
atau dibina dapat disebut sebagai suatu tindakan dan bukan merupakan suatu pidana, namun
kiranya tidak dapat disangkal, bahwa tindakan seperti itu juga membawa suatu penderitaan
bagi anak.
Dengan keterangan seperti tersebut diatas Lamintang menyimpulakan[32] bahwa yang
dimaksud dengan tindakan (maatregel) adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan
dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam
mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu
kebijaksanaan. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah lembaga-lembaga
hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan
putusan hakim dalam mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan suatu
pemidanaan atau tindakan.
Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het verkeer
(penarik dari peredaran) yang disebut dalama pasal 35 b WvS Netherland. Disitu disebutkan
bahwa dengan putusan hakim, suatu benda yang telah disita dapat ditarik dari perdaran:
1.Dengan putusan hakim yang telah menyatakan seseorang yang telah melakukan suatu delik
2.Dengan putusan hakim berdasarkan pasal 9a tidak ada pidana yang dijatuhkan.
Sebagaimana diketahui pasal 9a WvS Nederland merupakan hasil sisipan yang menetukan
bahwa seseorang dengan putusan hakim dapat dinyatakan terbukti telah melakukan delik
yang didakwakan namun karena kecilnya arti perbuatan, keadaan pada waktu melakukan dan
sesudah melakukan (ada penyelesaian) maka tidak dijatuhkan pidana.Jadi, dalam hal itu
benda yang telah disita (barang bukti) dapat kenakan tindakan berupa penarikan dari
peredaran.
3. Dengan putusan hakim, tidak dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
ditentukan, bahwa suatu delik telah dilakukan.
4. Dengan penetapan hakim atas tuntutan penuntut umum.
Tindakan jenis ini mirip sekali dengan pidana tambahan berupa perampasan. Bagaimana
benda yang tidak bergerak, dapatkan dikenakan tindakan jenis ini? Hazewinkel-Suringa
menyatakan tidak dapat (Hazewinkel-Suringa Remmelink, 1989:647).
Tindakan jenis ini dapat dikenakan bersama dengan pidana dan tindakan yang lain, ketentuan
semacam ini perlu dimasukan juga kedalam rancangan KUHP baru.
Di Indonesia, sebenarnya dengan Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1955 tentang tindakan
pidana ekonomi, telah diperkenalkan beberapa jenis tindakan baru yang disebut tindakan
tata tertib seperti yang disebut dalam pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut.
Tindakan tata tertib ialah:
a.Penetapan perusahaan siterhukum, dimana dilakukan suatu tindakan pidana ekonomi di
bawah pengampuan waktu selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak pidana ekonomi itu
adalah kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu
selama-lamanya 2 tahun.
b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk
waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi adalah kejahatan, dalam
hal tindak pidana ekonimi adalah pelanggaran, uang jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya
lima puluh ribu rupiah untuk wwaktu selama-lamanya dua tahun.
c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut tafsiran
yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau tindak pidana-tindak pidana semacam itu, dalam
hal cukup bukti-bukti bahwa tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh siterhukum.
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan
tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua
atas biaya siterhukum, sekedar hakim tidak menetukan lain.
Jenis tindakan tata tertib ini dijatuhkan bersama-sama dengan pidana, kecuali dalam hal
diberlakukan pasal 44 KUHP (tidak dapat dipertanggungjawabkan) yang tersebut dalam butir
b tidak dapat diterapkan.
C. Pelepasan Bersyarat
Di samping pidana bersyarat, dikenal pula pelepasan bersyarat. Perbedaannya ialah pada
pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat
umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat
terpidana harus telah menjalani pidananya paling lama dua per tiganya. Pelepasan bersyarat
ini tidak imperative dan otomatis. Dikatakan dapat diberikan pelepasan bersyarat.
Salah satu bentuk lembaga kebijaksanaan dalam hukum pidana kita adalah apa yang dikenal
dengan pembebasan bersyarat (pelepasan bersyarat), yaitu pelepasan dari kewajiban untuk
menjalankan pidana penjara.Hal tersebut diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 KUHP.
Pasal 15
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan
bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap
sebagai satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak
termasuk masa percobaan.
Pasal 15a
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.]
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana,
asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam
pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata-
mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan
syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan
khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat
yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang
itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal
yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat
dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat
menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak
termasuk waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut
kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan
tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang
menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat
masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan
pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah
mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan
dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan
Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal
15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari
jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan
Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia
berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna
menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa
percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya.
Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan
penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu
dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan
undang-undang.
V.Grasi
- Penghapusan Denda
- Perubahan / penggantian
- Pengurangan pidana (Jumlah)
- Pengurangan denda
UU grasi -- UU no. 22 tahun 2002, pengganti UU no. 1 tahun 1950
Berlakunya grasi setelah putusan hakim yang incrahct.
A. Pengertian Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan
oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah
dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi merupakan pengampunan yang dapat menimbulkan kesalah pahaman, seolah-olah
dengan adanya pengampunan dari kepala negara, lantas keseluruhan kesalahan dari terpidana
menjadi diampuni atau seluruh akibat hukum dari tindak pidana menjadi ditiadakan. Untuk
menghilangkan kesalahfahaman itu pengampunan tidak boleh semata-mata diartikan sebagai
sesuatu yang sama sekali menghilangkan akibat hukum dari suatu tindak pidana yang
dilakukan terpidana.
Artinya pengampunan dimaksudkan tidaklah melulu berkenaan dengan diadakannya
penghapusan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakaim yang telah punya kekuatan hukum
tetap, melainkan juga dapat berkenaan :
1. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan hakim.
Misal : perubahan dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup.
2. Pengurangan lamanya pidana penjara, pidana tutupan dan pidana kurungan.
3. Pengurangan besarnya uang denda seperti yang telah diputuskan hakim bagi terpidana.
Menurut VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang
menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu menjadi
ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.
Menurut HATEWINKEL SURINGA , grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau
pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai pidana
tersebut.
Menurut Pasal 1 UU no. 22 tahun 2002, Grasi diartikan sebagai pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanan pidana kepada terpidana.
B. Bentuk Bentuk Grasi
Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim
bagi seorang terpidana yang telah punya kekuatan hukum tetap biasanya disebut grasi dalam
arti sempit. Akan tetapi secara komprehensif grasi dapat dibagi dalam 4 bentuk :
1. Grasi (dalam arti sempit) yaitu peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim yang
telah punya kekuatan hukum tetap.
2. Amnesti, yakni suatu pernyataan secara umum menurut ditiadakannya semua akibat
hukum. Menurut hukum pidana dari suatu tindak pidana atau dari suatu jenis tindak pidana
tertentu bagi semua orang, yang mungkin saja terlibat dalam tindak pidana tersebut, baik
yang telah dijatuhi pidana maupun yang belum dijatuhi pidana oleh hakim, baik yang sudah
dituntut maupun yang belum dituntut, baik yang disidik maupun yang yang belum disidik,
baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui oleh kekuasaan yang syah.
3. Abolisi, yaitu peniadaan dari hak untuk melakukan penuntutan menurut hukum pidana
atau penghentian dari penuntutan dari hukum pidana yang telah dilakukan.
4. Rehabilitasi, yaitu pengembalian kewenangan hukum dari seseorang yang telah hilang
berdasarkan suatu putusan hakima taupun berdasarkan suatu putusan hakim yang bersifat
khusus (militer).
Menurut Van Hamel, pengembalian kewenangan hukum yang tela hilang berdasarkan suatu
putusan hakim yang sifatnya khusus atau formal merupakan suatu kekhususan dari grasi
dalam arti yang sebenarnya.
C. Permohonan Grasi
Menurut UU no. 22 tahun 2002 tentang grasi, diatur prinsip prinsip dan tata cara pengajuan
grasi.
Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut pasal 2 Undang-undang nomor
2002 adalah :
1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana
dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
3. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali,
kecuali dalam hal :
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup
dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali
dalam hal putusan pidana mati (pasal 3)
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Agung.
Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
D. Pengajuan permohonan grasi
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang
yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan grasi menurut pasal 6 Undang-undang
Nomor 22 tahun 2002:
1 Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
2 Permohonan dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.
3 Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terpidana tanpa persetujuan terpidana.
E. Alasan Alasan Mengajukan Grasi
Menurut POMPE,
Adanya kekurangan dalam UU yang dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim
terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan
kebebasan yang lebih besar, akan menyebabkan seseorang itu dibebaskan, atau tidak diadili
seperti overmacht.
VI. Amnesti
Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan
status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.
Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan
legislatif atau badan yudikatif.
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat
penerapan sistem pembagian kekuasaan
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman,
yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak
pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti
ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara
diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan
kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
VII. Abolisi
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara,
dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang
presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara
yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
VIII. Rehabilitasi
Pompe berpendapat, bahwa lembaga rehabilitasi itu tidak ada artinya hukum pidana yang
bersifat merendahkan martabat manusia atau apa yang disebut onterende straffen itu tidak
dikenakan didalam hukum pidana kita.
Tentang hal tersebut Pompe mengatakan bahwa:
Rehabilitasi itu dapat dirumuskan orang sebagai suatu pernyataan tentang batalnya akibat-
akibat menurut hukum pidana, yang menurut hukum telah dikaitkan dengan pidana. Yang
menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah masalaha pencabutan dari wewenang-
wewenang, yakni yang misalnya dapat terjadi didalam apa yang disebut pidana-pidana yang
bersifat merndahkan martabat manusia. Mengingat bahwa pidana-pidana tersebut tidak
terdapat didalam hukum pidana kita, maka lembaga rehabilitasi itu tidak mempunyai arti bagi
kita.
Menurut hemat penulis lembaga rehabilitasi itu tidak selalu harus dihubungan dengan ada
atau tidak adanya lembaga onterende straffen didalam hukum pidana kita. Bukankah kita juga
mempunyai lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan? Bukankah hak-
hak seperti itu apabila telah dinyatakan sebagai dicabut dengan suatu putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat dipulihkan kembali oleh kepala
Negara dengan lembaga rehabilitasi?
Bagi kita di Indonesia, perlu atau tidak perlunya lembaga rehabilitasi tersebut kiranya tidak
dapat dipermaslahkan lagi, justru karena lembaga rehabilitasi itu merupakan salah satu hak
prerogratif dari kepala Negara dan diakui di dalam UUD 1945 kita.
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang
yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya
terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa
dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali.
Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak
tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya