Anda di halaman 1dari 31

HUKUM PENITENSIER

I. Pengertian dan Tujuan Hukum Penitensier


A. Hukum Penintensier
Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan
atau peraturan-peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim
terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum.
Hukum penintensier adalah hukum yang berkenaan dengan tujuan daya kerja dan organisasi
dari lembaga-lembaga pemidanaan.
Secara harfiah hukum penintensier itu dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari norma-
norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan.
Menurut Bemmelan, hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja organisasi dari
lembaga-lembaga pemidanaan
W.H.A Jonkers menyebut penitentiar recht (hukum penetensier) sebagai strafrechttelijk atau
bahasa Indonesianya hukum sanksi kepidanaan (J.M van Bemmelen-J.P.Balkema-Th.W.van
Veen, 1987:28)
Tujuannya adalah apa yang ingin dicapai orang dengan pemidanaannya itu yaitu melalui
suatu organisasi.
Peraturan-peraturan Perundang-undangan yang mengandung norma-norma sebagai
keseluruhan yang disebut sebagai hukum penintensier adalah :
1. Buku I dan II KUHP
2. Ordonantie 27 Desember 1917 yaitu tentang ketentuan pembebasan bersyarat.
3. Ordonantie 6 November 1926
4. STBL No 4/1987 tentang peraturan pelaksanaan pemidanaan bersyarat
Hukum Penintensier yaitu bahagian dari hukum pidana yang mengatur/memberi aturan
tentang sistem sanksi dalam hukum pidana.
Aturan-aturan tersebut meliputi tentang ketentuan pemberian pidana tindakan serta eksekusi
sanksi pidana. Ketentuan-ketentuan pidana itu meliputi :
1. Jenis-jenis sanksi pidana
2. Ukuran pemidanaan
3. Bentuk dan cara pemidanaan
Masalah pokok didalam Hukum Penitensier:
1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3. Terpidana ( siapa yang diproses
B. Tujuan Hukum Penintensier
Tujuan dari hukum penintensier adalah agar yang berhubungan dengan hukuman seseorang
dapat dilaksanakan dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan apabila
sudah ada putusan dari hakim.
Di dalam hukum pidana terkandung ada 3 konsep yang dapat dianggap sebagai konsep-
konsep dasar dalam hukum pidana, ketiga konsep itu meliputi :
1. Tindak pidana/perbuatan pidana (criminal oppense)
2. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility)
3. Pemidanaan (Punishment)
Ketiga konsep dasar ini adalah oleh HERBERT dianggap sebagai Resionde Hukum Pidana,
sebab ketiganya akan tergambar adanya 3 permasalahan pokok dalam hukum pidana.
Konsep yang pertama (1) yaitu tindak pidana akan menggambarkan permasalahan pokok
mengenai apa ukuran yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
Konsep yang kedua (2) yaitu menyangkut ukuran apa yang dapat digunakan untuk
menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang yang dinyatakan sebagai pelaku tindak
pidana.
Konsep ketiga (3) yaitu menggambarkan permasalahan pokok menyangkut bentuk sanksi
yang bagaimanakah yang dapat ditimpakan kepada seseorang yang terbukti telah melakukan
suatu tindak pidana.
Selama ini boleh dikatakan bahwa perhatian ahli hukum pidana dan kriminologi lebih banyak
tertuju hanya kepada permasalahan yang tergambar pada konsep pertama (1) dan yang kedua
(2) saja. Sementara masalah pidana dan pemidanaan itu lebih berkesan dan seolah-olah hanya
dianggap sebagai anak tiri dalam hukum pidana. Anggapan seperti ini tidak dapat dibenarkan
karena pidana dan pemidanaan itu memiliki fungsi dan kedudukan yang strategis dalam
pemidanaan. Sebab tanpa adanya pidana dan pemidanaan itu tidak akan mungkin dinamakan
hukum pidana apabila tidak ada unsur pidana didalamnya.

II. Pidana dan Pemidanaan


A. Istilah Pidana
Prof.Van Hammel mengartikan pidana (straf) menurut hukum positif sebagai suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Penderitaan tersebut menurut Van Hammel dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai
pertanggung jawab ketertiban umum bagi seorang pelanggar, oerang tersebut penderitaan itu
dikenakan semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh Negara[1].
Sementara itu Prof.Simon juag mengartikan pidana (straf) sebagai suatu penderitaan yang
ditimpakan kepada seseorang, penderitaan tersebut oleh undang-undang pidana dikaitkan
dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah[2].
Kedua ahli hukum pidana Belanda ini memiliki pandangan yang sama dalam memberikan
batasan tentang pidana, yang pada hakikatnya adalah suatu penderitaan. Namun dapat
dipahami, bahwa penderitaan tersebut bukanlah merupakan suatu tujuan melainkan hanyalah
semata-mata sebagai alat yang digunakan oleh Negara untuk mengingatkan agar orang tidak
melakukan kejahatan.
Zeven Berger mengatakan bahwa hukum pidana itu merupakan ULTIMUM REMEDIUM
artinya sesuatu yang dapat dilakukan apabila tidak ada cara lain.
Prof.Mulyatno berpendapat bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata straf dan istilah
dihukum itu berasal dari perkataan wordt gestraf adalah istilah-istilah yang
konvensional[3].
Menurut Prof. Mulyatno, mengemukanan pengertian hukum pidana itu adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk[4]:
1. Menetukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang yang disertai atau
dikenai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2. Menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Jika dibaca pendapat W.P.J Pompe, mengenai hukum pidana yang mengatakan[5]: hukum
pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan-
perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya
terdapat. Hampir sama dengan itu,D.Hazeqinkel-Suringa mengatakan[6]: Jus Poenale
(hukum pidana materiel) adalah sejumlah pertaturan yang mengandung larangan dan perintah
atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi
barang siapa yang mewujudkannya
Para ahli hukum pidana Indonesia ternyata juga memiliki pandangan yang sama dalam
memahami dan memberikan alasan terhadapa konsep pidana.
Menurut Prof. Sudarto, secara tradisonal pidana dapat didefenisikan sebagai nestapa yang
dikenakan olehe Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa[7].
Sementar itu Prof. Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik dan ini
berujud suatu stapa yang dengan sengaja ditimpakn Negara pada pembuat delik itu[8].
Dalam memberikan pemahaman terhadap konsep pidana, maka setelah mengemukakan
berbagai defenisi akhirnya Prof. Muladi sampai kepada sebuah kesimpulan tentang unsure-
unsur atau cirri-ciri yang terkandung di dalam pidana yaitu[9]:

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenagkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.

Terdapat kesamaan pendapat dalam memahami penderitaan pidana, dimana salaha satu
karakteristiknya adalah adanya pengenaan atau penderitaan dengan sengaja. Ciri ini erat
kaitannya dengan sifta hukum pidana yang dengan sengaja mengenakan penderitaan dalam
mempertahankan norma-norma yang diakui didalam hukum. Pemberian nestapa atau
penderitaan yang (sengaja dikenakan kepada seorang pelaku yang melanggar ketentuan-
ketentuan hukum pidana adalah dimaksudkan untuk menimbulkan efek penjeraan, sehingga
orang tidak melakukan tindak pidana, dan pelaku tidak lagi mengulangi melakukan
kejahatan.

B. Istilah Pemidanaan

Setelah dipahami pengertian pidana, pertanyaan yang selanjutnya adalah apa yang dimaksud
dengan pemidanaan. Menurut Prof. Sudato perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan
istilah penghukuman. Penghukuman ini berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hhukumnya[10].
Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidaklah hanya menyangkut bidang hukum
pidana saja, tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu sepanjang menyangkut penghukuman
dalam lapangan hukum pidana, maka istilah penghukuman harus disempitkan artinya, yaitu
penghukuman dalam perkara pidana. Untuk menyebut penghukuman dalam perkara pidana
dapat dipakai perkataan pemidanaan atau pemberian (penjatuhan) pidana oleh hakim.
Pemidanaan adalah penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan realisasi dari ketentuan
pidana dalam undang-undang yang bersifat abstrak yang ditetapkan oleh hakim melalui
penetapan hukum dan memutuskan hukumnya.

C. Pemidanaan Anak

Masalah pemidanaan anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997


1. Tindak pidana anak
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa
suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur[11]:
- adanya perbuatan manusia
- perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
- adanya kesalahan
- orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum,
yaitu[12]:

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah
atau kabur dari rumah ;
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Namun terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan
kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses
kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang
cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai
kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak
seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.

Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak,
yaitu[13] :
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi/ sosial
3. Faktor psikologis

Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bahwa


seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari
yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum
yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak merupakan manifestasi
dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan
dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku
mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa
Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya
terabaikan / mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar
peraturan dan lain-lain.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku
yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat[14].

Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan


dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti
sosial yang didalamnya terkandung unsurunsur anti normatif[15].

Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut[16] :


Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak
muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara social pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.

Sedangkan Juvenile Deliquency menurut Romli Atmasasmita adalah[17] :


setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin
yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.

Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan
oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang
melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang
yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan
perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan
kenakalan (Deliquency).

Hal ini yang kemudian muncul sebuah teori oleh Sutherland (1966) yang disebut dengan teori
Association Differential yang menyatakan bahwa anak menjadi Delinkuen disebabkan oleh
partisipasinya ditengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu
dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu
semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi
semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferential tersebut dan semakin besar
pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.
Shanty Dellyana dalam bukunya wanita dan anak di mata hukum mengutip pendapat dari
Robert K Merton dan Nisbet mengemukakan bahwa:
anak-anak yang berumur dibawah 7 tahun dianggap tidak mampu untuk mempunyai
kehendak jahat (incapable of having the criminal intent)
Sedangkan mereka yang berumur antara 7 sampai 14 tahun pada umumnya dianggap mampu
untuk mempunyai kehendak jahat, berarti tidak dapat melakukan kejahatan (incapable of
crime)[18].

2.Faktor-faktor penyebab Anak melakukan tindak pidana

Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana, bahkan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNAIR pada tahun 2003 terhadap anak-
anak yang melakukan tindak pidana di Jawa Timur sebagian besar karena kondisi ekonomi
yang tidak mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan
masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak
harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar adalah karena
kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak 74,71%. Kondisi ekonomi
yang tidak mampu memang bisa membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan
keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa
berbentuk pencurian benda yang di inginkannya[19].
Selain itu, adanya dampak negative dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya sangat berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku anak Hal yang sama juga diperoleh melalui adegan-adegan
kekerasan secara visualisasi, khususnya melalui media elektronik (televisi). Melalui tingginya
frekuensi tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang di sebut dengan kultur
kekerasan. Hal ini akan menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada
tindak pidana sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk anak. Anak
juga bisa melakukan tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang bernuansa
pornografi dan pornoaksi. Sehingga dalam berbagai kasus ada anak yang sampai tega
memperkosa teman sepermainannya setelah menonton film porno.

2. Proses Pemidanaan terhadap Anak di bawah umur pada tingkat penyidikan

a. Kategori anak yang melakukan tindak pidana dan jenis pidana yang akan dijatuhkan
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada
tingkat penyidikan lebih lanjut, kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang
melakukan tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1
angka 2 yang berbunyi :

1. 1. Anak yang melakukan tindak pidana.


2. 2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam pasal 4, yaitu :
- Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
- Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di maksud dalam
ayat (1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas
umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan
ke sidang anak.
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah umur yang melakukan kejahatan
yang memang layak untuk diproses adalah anak yang telah berusia 8 tahun dan diproses
secara khusus yang berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada
prakteknya penegakan hukum kepada anak nakal terkadang mengabaikan batas usia anak.
Contohnya pada kasus Raju yang di sidang di Pengadilan Negeri Atabat Langkat, saat itu dia
baru berusia 7 tahun 8 bulan.
Tegasnya, anak yang melakukan kejahatan jika dia belum berusia 8 tahun seharusnya tidak
diproses secara hukum seperti anak yang telah berusia 8 tahun. Bagi anak yang melakukan
tindak pidana yang akan di ajukan ke sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim
yang khusus menangani perkara anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara
anak. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3
tahun1997 :
1. Penyidik adalah penyidik anak
3. Hakim adalah hakim anak
4. Hakim banding adalah hakim banding anak
4. Hakim kasasi adalah hakim kasasi anak

Dalam pelaksanaannya sidang pengadilan bagi anak adalah tertutup dan suasana pada
sidang anak harus menimbulkan keyakinan pada anak dan orang tua bahwa hakim ingin
membantu memecahkan masalah pada anak, sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 dan
pasal 8 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 6
Hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum serta petugas lainnya dalam sidang
anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Pasal 8
1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup
2. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
3. Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang
bersangkutan beserta orang tua, wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing
kemasyarakatan.
4. Selain mereka yang disebutkan dalam ayat 3, orang-orang tertentu atas ijin hakim atau
majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum
pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau
orang tua asuhnya.
Dalam hal jenis pidana dan berat ringannya pidana pada anak yang melakukan tindak pidana
dapat dilihat pada pasal 22 sampai pasal 32 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 22
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam
undang-undang ini.

Pasal 23 ayat 3 menetapkan :


Selain pidana pokok sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 terhadap anak nakal dapat
juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu atau
pembayaran ganti rugi.

Lalu pasal 24 ayat 1 menetapkan :


Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah :
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Pasal 26 ayat 1 menetapkan :
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal
1 angka 2 huruf a, paling lama dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pasal 26 ayat 2 menetapkan :
Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka2 huruf a, melakukan tindak
pidana yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana
penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
b. Proses pemidanaan pada tingkat penyidikan
Sebelum kita ketahui lebih jauh mengenai proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur
pada tingkat penyidikan, kita akan bahas terlebih dahulu mengenai pengertian penyidikan itu
sendiri.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Dalam KUHAP sendiri dikenal ada dua macam
pejabat penyidik, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik POLRI) dan
pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak-
anak pada umumnya adalah ketentuan yang dilanggar dari peraturan pidana yang ada di
KUHP, maka penyelidikannya dilakukan oleh penyidik umum yaitu penyidik POLRI.
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya
pembantu Letnan dua (PELDA) Polisi (sekarang Ajun Inspektur dua Polisi). Meskipun
penyidiknya adalah penyidik dari POLRI tapi bukan berarti penyidik POLRI bisa melakukan
penyidikan terhadap kasus anak nakal. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dikenal dengan adanya penyidik anak, penyidik inilah yang berwenang
melakukan penyidikan. Mengenai penyidikan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.3
tahun 1997, yang antara lain :
1. Penyidik terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang diterapkan berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
2.Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah :
Berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.
Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
3. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu tugas penyidik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dibebankan kepada :
Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa; atau
Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Lalu bagaimana proses dari pemidanaan itu sendiri pada tingkat penyidikan? Proses dari
pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan telah diatur dalam pasal
42 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Pasal 42 menetapkan :
1. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
2. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan
lainnya.
3. Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Setelah melakukan penyidikan dapat dilanjutkan dengan penahanan dan penangkapan
terhadap anak nakal, sebagaimana tercantum dalam pasal 43, 44 dan pasal 45 Undang-
Undang No.3 tahun 1997. Menurut pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan
dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan
penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut
umum atau hakim dengan penetapannya. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tidak
dicantumkan mengenai tindakan penangkapan anak, oleh karena itu dalam hal ini yang
digunakan adalah KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Untuk melakukan penangkapan seorang anak, maka penyidik anak wajib
memperhatikan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada yang ditangkap. Surat
perintah penangkapan itu berisi tentang identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat
tersangka diperiksa. Apabila seorang anak nakal tertangkap tangan, maka penangkapannya
tidak dilakukan dengan surat perintah dan yang melakukan penangkapan tidak harus
dilakukan oleh penyidik anak. Pasal 18 ayat (2) KUHAP memerintahkan kepada penyidik
bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Lamanya penangkapan anak nakal
sama dengan orang dewasa yaitu paling lama satu hari (pasal 19 ayat 1 KUHAP).
Pasal 43 menetapkan :
1. Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP
2. Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan
pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan, penahanan ialah
penempatan tersangka atau terdakwa ke tempat tertentu oleh penyidik anak atau penuntut
umum anak atau hakim anak dengan penetapan, Undang-Undang No.3 tahun 1997 dan
KUHAP menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Menurut pasal 21 ayat 1
KUHAP, alasan penahanan adalah karena adanya kekhawatiran melarikan diri, agar tidak
merusak atau menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi tindak pidana.
Sedangkan menurut Hukum Acara Pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak
merupakan keharusan tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum,
kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Pasal 44 menetapkan :
1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1)
dan ayat (3) huruf a berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang di duga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20
(dua puluh) hari.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentigan
pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut
umum yang berwenang untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
4. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah
harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada penuntut umum.
5. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas
perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
6. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan
Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 1997 menentukan bahwa untuk kepentingan
penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang di duga keras melakukan
tindak pidana (kenakalan) berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup kuat. Penahanan
dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun
ke atas atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh)
hari, untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10
(sepuluh) hari. Dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini apabila anak ditangkap
atau ditahan secara tidak sah (tidak memenuhih syarat yang sudah ditetapkan oleh Undang-
Undang), maka anak atau keluarganya atau penasehat hukumnya dapat meminta pemeriksaan
oleh hakim tentang sahnya penangkapan atau penahanan dalam sidang pra-peradilan.
Pasal 45 menetapkan bahwa :
1. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan
anak dan atau kepentingan masyarakat.
2. Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus di nyatakan secara tegas
dalam surat perintah penahanan.
3. Tempat penahanan anak harus di pisahkan dari tempat penahanan orang dewasa.
Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap di penuhi.
Sesuai dengan pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 1997 dalam tindakan
penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten seperti Psikolog,
Pembimbing kemasyarakatan, atau ahli lain yang diperlukan sehingga penyidik anak tidak
salah dalam mengambil keputusan.
Pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, pelanggaran dan kelalaian atas
pasal tersebut tidak diatur secara tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak.
Sanksi yang dapat diberikan kepada penyidik anak telah diatur tetapi akibat hukum dari
tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum di bidang pengadilan anak
semakin menunjukkan adanya kelemahan KUHAP, terutama yang menyangkut masalah pra-
peradilan.
Lalu pada pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, penahanan anak seharusnya di
tempatkan secara terpisah dari narapidana anak yang lain dan tidak boleh di gabung dengan
tahanan orang dewasa, hal ini untuk mencegah akibat negative dari pengaruh narapidana anak
dan orang dewasa apabila si anak belum terbukti melakukan kesalahan atau tindak pidana.
3. Hak-hak pada tersangka atau terdakwa anak
Selain anak mempunyai hak untuk di lindungi, anak juga mempunyai hak yang sama dengan
orang dewasa, adapun hak-hak tersebut menurut KUHAP adalah:
1. Setiap anak nakal sejak saat di tangkap atau di tahan berhak mendapat bantuan hukum
dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan.
2. Setiap anak nakal yang di tangkap atau di tahan berhak berhubungan langsung dengan
penasehat hukumnya tanpa di dengar oleh pejabat yang berwenang.
3. Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial harus di penuhi.
4. Tersangka anak berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya di ajukan
ke pengadilan.
5. Tersangka anak berhak untuk segera di adili oleh pengadilan.
6. Untuk mempersiapkan pembelaan tersangka, anak berhak di beritahukan dengan jelas
dalam bahasa yang di mengerti olehnya.
7. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka anak berhak untuk
setiap waktu mendapat juru bahasa, apabila ia tidak paham bahasa Indonesia.
8. Dalam hal tersangka anak bisu atau tuli, ia berhak mendapatkan bantuan penerjemah orang
yang pandai bergaul.
9. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasehat
hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP.
10. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak di beritahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau
terdakwa anak yang bantuannya di butuhkan oleh tersangka atau terdakwa anak.
11. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima kunjugan dari pihak
yang mempunyai hubungan keluarga dengan tersangka atau terdakwa anak.
12. Tersangka atau terdakwa anak berhak secara langsung atau dengan perantara penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak
ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan keluarga.
13. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima kunjugan rohaniawan.
14. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk di adili di sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum.
15. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi guna
memberikan keterangan.
16. Tersangka atau terdakwa anak tidak di bebani dengan kewajiban pembuktian.
17. Tersangka atau terdakwa anak berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana di
atur dalam pasal 95 KUHAP.
Dengan di aturnya hak-hak di atas walaupun tersangka atau terdakwa masih anak-anak,
petugas pemeriksaan tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya dan sebaiknya sejak
awal pemeriksaan sudah diberitahukan hak-hak tersebut.
Tentang anak ini bila melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu adalah
manusia yang belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang
baru lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil.
Di dalam UU No.3 tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang disebut
seorang anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung
mencbut pasal 44 tentang batasan usia.
Tentang hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan
tindakan pidana tidak diancam pidana mati, maka :
Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung 1/3 apabila tindakan pidan tersebut
dilakukan oleh orang dewasa.
Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan
kepada orang tuanya.
Dipidana sebagai anak negara untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan anak.
Proses pemidanaan bagi seorang anak yang melakukan tindak pidan berdasarkan UU No.3
Tahun 1997 antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di
pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak
menggunakan pakaian uniform (seragam dinas).
Pelaksanaan pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak pidana
ini harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah ditentukan
bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain terhadap seorang anak
tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana mati.

D. Perkembangan pemidanaan
Pada zaman dahulu kala bentuk pemidanaan yang dijatuhkan kepada suatu masyarakat yang
teratur kepada seorang penjahat adalah dalam bentuk :
1. Menyingkirkan/melumpuhkannya sehingga penjahat itu tidak lagi mengganggu
masyarakat pada masa yang akan datang. Penyingkiran itu dapat dilakukan dengan
bermacam-macam cara.
Misalnya : Membuang/mengirim si penjahat ke seberang lautan. Pidana berupa pembuangan
ini mencapai puncaknya di Inggris pada abad pertengahan dan akhir. Dimana banyak orang
Inggris yang melakukan kejahatan diasingkan ke Australia. Di Indonesia terutama pada
zaman Hindia Belanda pidana ini banyak juga dilakukan pada orang-orang politik.
2. Kerja paksa
Misalnya : Kerja paksa mendayung kapal yang banyak dilakukan pada abad ke-17. Cara-cara
kerja paksa seperti itu lama kelamaan menjadi hilang di Eropa. Pidana kerja paksa ini pernah
juga dilakukan dalam bentuk paksaan untuk memutar roda yang sangat banyak menguras
tenaga para napi sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberontak. Di Hindia
Belanda kerja paksa dalam bentuk pembuatan jalan raya/membuat lubang-lubang dalam
benteng pertahanan di zaman Jepang.
3. Pidana mati
Di deretan panjang jenis-jenis sanksi pidana dalam sejarah pemidanaan sanksi yang terberat
adalah menghabisi nyawa si penjahat yang disebut dengan pidana mati.
Cara-cara pidana mati pada zaman dahulu adalah sebagai kegiatan dengan ditarik kereta ke
jurusan berlawanan. Ada pula yang dikubur hidup-hidup, digoreng dengan minyak,
ditenggelamkan ke laut, jantungnya dicopet atau dirajam sampai mati.
Pidana mati seperti yang tersebut di atas lama kelamaan dilakukan dengan memberikan
perhatian terhadap kemanusiaan sehingga akhirnya dikenal dengan pidana mati dengan cara
dipotong, penggantungan di tiang gantungan, ditembak mati, disentrum dan sebagainya.
E. Konsep-Konsep Pemidanaan
Bahwa pemidanaan yang diatur dalam KUHP dimulai dari pasal KUHP. Pasal KUHP ini
sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan pemidanaan oleh hakim. Pasal 10 KUHP
menyebutkan dua jenis hukuman yaitu :
1. Hukuman Pokok
2. Hukuman tambahan
Termasuk hukuman pokok adalah hukuman tutupan, sedangkan hukuman tambahan adalah
perampasan, pengumuman keputusan hakim. Hal ini kemudian berkembang terutama
dalam tindak pidana diluar KUHP misalnya dalam delik ekonomi tindakan tata tertib
sementara.
Timbul permasalahan sampai detik ini pasal 10 KUHP belum berubah berubah baik
konsepnya maupun yuridisnya meskipun dalam praktek pelaksanaannya berbeda. Dalam
praktek tidak ada penjara yang ada lembaga pemasyarakatannya. Jadi, konsepnya berubah.
Konsep pidana masih tetap sama dengan konsep waktu W.V.S (Wet Boek van Strafrecht)
Belanda muncul pertama kali pada tahun 1811. Orang yang dijatuhi pidana penjara harus
masuk dan tinggal dibelakang tembok penjara.

Konsep dalam masalah pemidanaan :


Orang yang dipidana harus menjalani pidananya dibelakang tembok penjara. Ia diasingkan
dari masyarakat ramai, terpisah dari kehidupannya yang biasa. Seperti yang telah dikatakan
penjara itu sendiri berasal dari kata penjera, supaya orang itu jera tidak berbuat melanggar
hukum lagi. Pembinaan dilakukan dibelakang tembok penjara itu. Belakangan ini timbul
konsep dan usul baru dari kalangan masyarakat agar lebih diperhatikan perlakuan
kemanusiaan terhadap terpidana. Orang mulai memikirkan misalnya tentang kebutuhan
biologis dan sebagainya. Kalau sudah demikian maka tujuan pidana berupa penjeraan
terhadap terpidana dapat berubah. Sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah selain tujuan
penjeraan terhadap terpidana yang bagaimanapun tidak dapat dihilangkan dalam suatu system
pidana, perlu pula dipikirkan lebih mendalam tentang sosialisasi bukan hany masyarakat, hal
ini bias terjadi jika masyarakat mau menerima. Dan tidak akan terjadi jika masyarakat
beranggapan bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus dibina didalam tembok.
F. Tujuan Pemidanaan
Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada
perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam
masyarakat dengan memperhatukan kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku[20].
Atas dasar dan tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang
bersifat[21] :
- Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut, menjunjung tinggi harkat dan
martabat seseorang.
- Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya
atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan iamempunyai sikap jiwa yang positif dan
konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
- Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum
maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat)
Teori-teori pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana mempertimbangkan
berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai, didalam penjatuhan pidana, yang dalam hal ini
tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dihayati oleh para sarjana tersebut.
Secara tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan)
pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu[22]:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive/vergeiding theorien)
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian/doeltheorien)
Teori Absolut, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest)[23]. Menurut teori absolut
ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar.Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-
akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat
mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat kemasa depan. Utang pati nyaur pati, utang lara
nyaur lara. Yang berarti sipembunuh harus dibunuh, sipenganiaya harus
dianiaya.Pembalasan (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk
memidana suatu kejahatan.Apabila ada seseorang oknum yang langsung kena atau menderita
karena kejahatan itu, maka kepuasan hati itu terutama ada pada si oknum itu[24].
Dalam hal pembunuhan kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan
masyarakat umumnya. Dengan meluasnya kepuasan hati pada sekumpulan orang, maka akan
mudah juga meluapkan sasaran dari pembalasan pada orang lain dari pada sipenjahat, yaitu
sanak saudara atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan, meskipun dapat dimengerti
tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana.
Teori relative, menurut teori ini memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari
keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sasaran untuk
melindungi kepentingan masyarakat.Oleh karena itu menurut J.Andenaes, teori ini dapat
disebut sebgai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence)[25].
Sedangkan menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the
reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk
mengurangi frekuensi kejahatan[26].Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut
golongan Reducers (penganut teori reduktif).
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimabalan kepada orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat.Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
theory).Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan quita peccatumest (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne
peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan)[27].
Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti dikemukakan diatas,
terdapat teori ketiga yang disesut teori gabungan (Verenigings Theorieen).Penulis yang
pertama kali mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1818)[28].
Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana
tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun ia berpendirian bahwa pidana
mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan
prevensi general[29].
III. Jenis-jenis Pidana dalam KUHP
Jenis-jenis pidana dalam KUHP yang menentukan bahwa perbuatan pidana atau hukuman
dapat dipahami sebagai suatu penderitaan atau nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh
negara kepada setiap orang yang terbukti telah melanggar aturan-aturan pidana yang terdapat
dalam UU. Penderitaan berupa pidana yang dapat ditimpakan itu haruslah sesuatu yang
secara eksplisit ditentukan dalam UU. Artinya orang tidak dapat dikatakan sanksi berupa
pidana diluar dari apa yang telah ditentukan di dalam UU. Oleh karena itu dalam hal
penjatuhan pidana hakim tidak terikat pada jenis-jenis sanksi pidana yang telah ditetapkan
oleh UU.
Ini sudah merupakan pendirian dari Mahkamah Agung RI yang secara tegas menentukan
dalam putusan MA RI tanggal 11 Maret 1970 No. 59K/KR/1969 dan putusan MA RI tanggal
13 Agustus 1974 No. 61 K/KR/1973 yang menentukan bahwa : Perbuatan menambah jenis-
jenis pidana yang telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana adalah
terlarang.
Hukum pidana Indonesia menentukan jenis-jenis pidana itu atas pidana pokok dan pidana
tambahan. Hal tersebut disebutkan secara tegas pada pasal 10 KUHP yang berbunyi :
Pidana terdiri atas :
1. Pidana pokok
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Kemudian pada tahun 1946 dengan UU No. 20 tahun 1946 hukum pidana Indonesia
mengenal suatu jenis pidana pokok yang baru yaitu :
Pidana tutupan
Pidana tutupan ini pada hakekatnya adalah pidana penjara, namun dalam hal mengadili orang
yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati maka hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
Sehubungan dengan jenis-jenis sanksi pidana di atas, ada beberapa hal yang harus diketahui
dan patut dicatat sebagai suatu yang sangat penting dalam soal pemidanaan yaitu :
1. KUHP tidak mengenal suatu kumulasi (campuran) dari pidana pokok yang diancamkan
bagi suatu tindak pidana tertentu khususnya pidana penjara dan pidana denda. Artinya hakim
tidak dibenarkan untuk menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersama-sama terhadap
seorang terdakwa.
a. Menurut Memory van Tulijkting
Penjatuhan dari 2 jenis pidana pokok secara bersama-sama bagi seorang yang telah
melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dibenarkan dengan alasan : Bahwa pidana
berupa perampasan kemerdekaan dengan pidana berupa denda mempunyai sifat dna tujuan
yang sama.
Meskipun demikian di dalam UU Pidana Khusus (UU pidana di luar KUHP) telah terjadi
perkembangan baru yang memungkinkan untuk menerapkan kumulasi pidana.

b. Menurut Prof. Simons


Penjatuhan dari 2 macam pidana pokok pada suatu saat yang sama bagi seorang yang telah
terbukti melakukan suatu tindak pidana tertentu dapat dibenarkan khususnya apabila tindak
pidana tersebut telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu keuntungan. Ex : UU
anti korupsi.
Dengan dianutnya kumulasi-kumulasi pidana dalam waktu tersebut maka hakim
diperkenankan untuk menjatuhkan 2 jenis pidana sekaligus yaitu:
a. Pidana penjara
b. Pidana denda
Dalam arti kata dalam kasus tindak pidana korupsi hakim diberi oleh UU kekuasaan/alternatif
untuk menjatuhkan pidana penjara saja/pidana denda saja/kedua-duanya.
2. Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan selalu hanya dapat
dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya : Pidana tambahan akan
tergantung pada pidana pokok sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan pidana tambahan saja
tanpa pidana pokok.
Di samping menurut sistem pemidanaan yang dianut hakim pidana kita penjatuhan pidana
tambahan itu sendiri sifatnya addat fakultatif maksudnya : Hakim tidaklah selalu harus
menjatuhkan suatu pidana tambahan pada waktu ia menjatuhkan pidana pokok pada seorang
terdakwa. Hal itu sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim, sehingga ia bebas
menentukan besarnya pidana tambahan.
Perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan :
1. Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan pengecualian,
perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan kepada
pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita, sehingga pidana tambahan
dapat ditambahkan dengan tindakan, bukan pada pidana pokok.
2. Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai tindak pidana
dan kesalahan terdakwa hakim tersebut tidak harus menjatuhkan pidana tambahan, kecuali
untuk pasal 250, 250 BIS, 261 dan 275 KUHP. Yang bersifat imperatif, sebagaimana hakim
harus menjatuhkan pidana pokok jika tindak pidana dan kesalahn terdakwa terbukti. Dalam
penerapannya tiap-tiap pasal dalam KUHP digunakan sistem alternatif, artinya bila suatu
tindak pidana hakim hanya boleh memilih salah satu saja. Hal ini berbeda dengan sistem
kumulatif, dimana hakim dapat memilih lebih dari satu jenis pidana, bahkan diantara pasal-
pasal KUHP terdapat pasal-pasal yang hanya mengancam secara tunggal dalam arti terhadap
pelaku tindak pidana hakim harus menjatuhkan jenis yang diancam tersebut.

A. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati adalah :
- Makar, membunuh kepala Negara (pasal 104)
- Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 3 ayat 2)
- Member pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (pasal 24
ayat 3)
- Membunuh kepala Negara sahabat (pasal 140 ayat 3)
- Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan 340)
- Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam
atau dengan jalan membongkar dan sebagainya yang menjadikan ada orang yang terluka
berat atau mati (pasal 365 ayat 4)
- Pembajakan dilaut, pesisir, di pantai dan di kali sehingga ada orang mati (pasal 444)
- Pada waktu perang menganjurkan huru hara, pemberontakan dan sebagainya (pasal
124)
- Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal
127 dan 129)
- Pemerasan dengan pemberatan pasal 36b ayat 2
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan dengan mempergunakan sebuah
jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan
papan tempat orang tiu berdiri. Cara ini ialah menurut pasal 11 KUHP yang dipakai
Indonesia.
Akan tetapi, kemudian pelaksanaan pidana mati ditiang gantungan diubah dengan cara lain,
yaitu dengan cara ditembak sampai mati, sehingga ketentuan pasal 11 tersebut sudah tidak
ada lagi. Perubahan cara pelaksanaan pidana mati itu dilakukan didasari Penetapan Presiden
(PenPres) nomor 2 tanggal April 1964. Penetapan Presiden itu kemudian dengan Undang-
Undang Nomor 5 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Sehingga ia dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Nomor 2 PNPS tahun 1964.
Tentang pelaksanaan pidana mati diatur dalam pasal 2 sampai pasal 16 Undang-Undang
Nomor 2 PNPS tahun 1964 yang pada prinsipnya menentukan hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam jangka waktu 3x24 jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi
atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan
dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan
sesuatu maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut.
b. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan
pidana mati ditunda hingga anak yang dikandungnya itu lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidan mati ditentukan oleh menteri kehakiman, yakni didaerah
hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana mati yang bersangkutan.
d. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan
mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau jaksa yang telah melakukan
penuntutan pidana pada peradilan tingkat pertama.
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi dibawah pimpinan
dari seorang perwira polisi.
f. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan (perwira yang ditunjuk) harus menghadiri
pelaksanaan pidana mati sedangkan pembela dari terpidan atas permintaanya sendiri atau atas
permintaan terpidana dapat menghadirinya.
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan dimuka umum. Penguburan jenazah
terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat-sahabat terpidana dan harus
dicegah pelaksanaan penguburan bersifat demonstrasi, kecuali demi kepentingan umum maka
jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain.
h. Setelah pelaksanaan mati itu selesai dilaksanakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidan mati tersebut, dimana
isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan didalam surat keputusan dari
pengadilan yang bersangkutan.

b. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak yang
dihukum dengan menutup atau menempatkan terpidana didalam sebuah LAPAS dengan
mewajibkannya untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam LAPAS
tersebut. Pengaturan tentang pidana penjara didalam KUHP dirumuskan dalam pasal 12
KUHP.
Pasal 12 berbunyi:
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas
tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-
turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana
seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur
hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan
pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

Pasal 13 berbunyi :
Para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan
Orang-orang yang menjalani pidana penjara dibagi dalam beberapa golongan atau kelas,
pembagian kelas kelas terpidana penjara itu lebih lanjut diatur dalam peraturan
kepenjaraan.
Sehubungan dengan hal tersebut pada pasal 12 ayat 1 UU No. 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS
dilakukan penggolongan atas dasar :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Lama pidana yang dijatuhkan
4. Jenis kejahatan
5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan pembinaan.

Stelsel pidana Indonesia menurut KUHP membedakan pidana penjara ke dalam 2 bentu,
yaitu:
1. Pidana penjara seumur hidup
2. Pidana penjara selama waktu tertentu
Pengaturan tentang pidana penjara di dalam KUHP dirumuskan dalam beberapa pasal,
diantaranya adalah pasal 12 KUHP yang berbunyi :
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk 20 tahun berturut-turut
dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara
seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas 15 tahun
dapat dilampaui karena perbarengan, pengulangan atau karena yang ditentukan dalam pasal
52 dan 52 bis (Lembaga Negara 1958 No 127)
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari 20 tahun.
Dari pasal tersebut diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu dapat dijatuhkan seumur hidup
atau selama jangka waktu tertentu, yaitu minimal 1 hari, maksimal 15 tahun yang dalam hal-
hal tertentu dapat dilampaui, namun tidak boleh melebihi 20 tahun.
Menurut ketentuan pasal 13 KUHP, orang-orang yang menjalani pidana penjara dibagi dalam
beberapa golongan (kelas). Pembagian kelas-kelas terpidana penjara itu lebih lanjut diatur
dalam peraturan penjara.
Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 12 KUHP ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhdap narapidana di lembaga
pemasyarakatan (LAPAS) dilakukan penggolongan atas dasar :
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Lama pidana yag dijatuhkan
d) Jenis kejahatan
e) Krtiteria lainnya sesuia dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
Ditegaskan pula di dalam pasal 13 UU Pemasyarakatan tersebut, bahwa penggolongan
narapidana itu lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
c. Pidana Kurungan
Pidana kurungan terdiri dari :
- Kurungan principle
Lamanya minimal 1 hari maksimum 1 tahun, dan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan
dalam hal hal gabungan tindak pidana, penggabungan tindak pidana dan aturan dalam pasal
52 KUHP.
- Kurungan Subsidair
Lamanya minimal 1 hari maksimum 6 bulan dan dapat ditambah sampai 8 bulan dalam ini
gabungan tindak pidana, pengulangan tindak pidana dan aturan pelanggaran dalam pasal 52
KUHP.
Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seseorang yang dijatuhi pidana
denda yakni apabila ia tidak dapat/tidak mampu untuk membayar denda yang harus
dibayarnya.
Perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan antara lain :
1. Pidana penjara dapat dijatuhkan dalam LAPAS dimana saja sedangkan pidana kurungan
tidak dapat dijalankan diluar daerah dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana
itu dijatuhkan.
2. Orang yang dipidana penjara pekerjaaannya lebih berat daripada pidana kurungan dan
tanpa waktu bekerja tiap hari bagi terpidana penjara selama 9 jam sedangkan bagi pidana
kurungan hanya 8 jam.
3. Orang orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole yaitu hak untuk
memperbaiki keadaannya dalam rumah penjara atas biaya sendiri sedangkan terpidana
penjara tidak memiliki hak tersebut.
d. Pidana Denda
Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang. Pidana denda ini biasa
diancamkan/dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau
kejahatan ringan, oleh karena itu pidana denda adalah satu-satunya jenis pidana pokok yang
dapat dipikul orang lain selain terpidana, artinya walaupun pidana denda dijatuhkan kepada
seorang terpidana namun tidak ada halangan denda itu dibayar oleh orang lain atas nama
terpidana. Dalam KUHP pengaturan pidana denda ini diatur dalam pasal 30 dan 31 KUHP,
menentukan hal sebagai berikut :
Pasal 30 KUHP berbunyi :
- Pidana denda paling sedikit adalah Rp. 3, 75 sen
- Jika pidana denda tidak dibayar ia diganti demgam pidana kurungan
- Lamanya kurungan pengganti sedikitnya 1 hari dan paling lama 6 bulan.
- Pengganti ditentukan sbb, jika tindak pidana Rp.7,5 Sen atau kurungan dihitung 1 hari,
jika lebih Rp. 7,5 sen maka tiap tiap itu kelebihan itu dihitung 1 hari demikian pula sisanya
yang tidak cukup Rp. 7,5 sen.
- Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan
atau karena ketentuan pasal 52 KUHP maka pidana kurungan pengganti paling lama dapat
menjadi 8 bulan.
- Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih 8 bulan.
Pasal 31 KUHP berbunyi :
- Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda.
- Setiap waktu ia berhak dilepas dari kurungan pengganti jika ia membayar dendanya.
- Pembayaran sebahagian pidana denda baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalankan pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebahagian pidana
kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

B. Pidana Tambahan
a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Merupakan pidana tambahan yang diatur dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Hak-hak yang dapat
dicabut itu antara lain :
- Hak untuk mendapat segala jabatan/jabatan yang tertentu dengan maksud dengan
jabatan itu yaitu :
Tugas kepala negara/bagian-bagian dari negara
Hak untuk angkatan bersenjata
Hak ilmu aktif dan pasif anggota DPR
Hak untuk menjadi penasehat, wali dan lain-lain
Hak kuasa bapak dan sebagainya
Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu yaitu segala pekerjaan yang bukan
pegawai negeri.
Pencabutan beberapa hak tertentu ini diberikan apabila/kepada :
- Menyuruh melakukan dan mengeluarkan surat palsu kepada pembesar negeri/pejabat
pemerintah (dilihat pasal 317 KUHP)
- Perbuatan memfitnah sehingga orang lain melakukan tindak pidana (pasal 318 KUHP)
- Karena kekhilafan melakukan penahanan (pasal 334 KUHP)
- Menggugurkan kandungan baik dengan izin/tanpa izin wanita yang hamil tersebut (pasal
347 dan 348 KUHP)
- Melakukan pembunuhan
- Melakukan pencurian baik yang biasa/memberatkan/pencurian dengan
kekerasan/ancamannya berakibat luka/mati (pasal 362, 363, 365 KUHP)
- Tindak pidana penggelapan
- Tindak pidana penggelapan karena jabatan
- Tindak pidana penggelapan karena keberadaannya berada pada suatu organisasi (pasal
375 KUHP)
b. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Menurut pasal 39 KUHP ada 2 jenis barang yang dapat dirampas yaitu :
- Barang yang dirampas dari suatu kejahatan.
Misal : Uang palsu yang diperoleh karena kejahatan.
Barang-barang ini disebut dengan Corpora Deliari
- Barang yang digunakan untuk suatu kejahatan
Misal : Pisau/senpi yang digunakan untuk membunuh.
- Barang-barang ini disebut dengan Intrumenta Deliari
Dengan demikian pasal 39 KUHP ini memiliki 3 petunjuk data yaitu :
- Yang dapat dirampas adalah barang yang diperoleh dari kejahatan dan barang yang
digunakan untuk kejahatan.
- Hanya untuk kejahatan saja tidak untuk pelanggaran
- Barang yang dirampas milik yang terpidana saja
Pidana kurungan pengganti ada 2 bentuk yaitu :
- Pidana kurungan pengganti denda
- Pidana kurungan pengganti barang-barang
Seorang terpidana dibebaskan dari terpidana kurungan apabila pidana kurungan pengganti
perampasan barang dimana pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan yang besarnya sama
dengan nilai yang dirampas.
Pidana kurungan pengganti denda. Hanya dapat dibebaskan dengan membayar denda yang
ditetapkan dengan putusan hakim. Pidana kurungan ini dapat diperpanjang paling lama 6
bulan. Sedangkan pidana kurungan pengganti barang tidak dapat diperpanjang dari batas
maximum 6 bulan.
c. Pengumuman Putusan Pidana Hakim
Senantiasa diucapkan dimuka umum, akan tetapi bila dianggap perlu di samping sebagai
pidana tambahan putusan tersebut akan langsung disiarkan sejelas-jelasnya dengan cara yang
ditentukan oleh hakim, misalnya :
- Melalui televisi
- Melalui radio
- Melalui surat kabar dan lain-lain
Semuanya itu atas ongkos orang yang dihukum yang dapat dipandang sebagai suatu
pengecualian karena pada umumnya penyelenggaraan hukuman itu harus dipikul oleh negara.
C. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946,
yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa
dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana
tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan
yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa
pidana penjara lebih tepat.
Tempat dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan
UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948,
yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu berlaku
berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan rumah tutupan
itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat
kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa
makanan orang pidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang
rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat
diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendaptkan fasilitas dari pada nara
pidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan
orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut
dihormati.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang
berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak pada orang yang
dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh
maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang itu maupun PP
Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena
itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan
pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi hanya satu kali
hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada
Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan
sebutan peristiwa 3 Juli 1946.
IV. Lembaga-lembaga pemidanaan penindakan dan kebijaksanaan
Yang dimaksud dengan lembaga pemidanaan bukanlah lembaga-lembaga dimana para
terpidana hrus menjalankan pidana mereka atau yang dewasa ini dikenal dengan lembaga
pemasyarakatan, melainkan lembaga-lembaga hukum yang disebutkan didalam hukum positif
yang secara langsung ada hubungannya dengan pemidanaan-pemidanan yang dilakukan oleh
hakim, dan termasuk pula kedalam pengertiannya yaitu lembaga-lembaga pemasyarakatan
seperti yang telah disebut diatas.
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum
dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga
Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen
Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut
masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga
pemasyarakatan di sebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan
istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman
Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya
melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-
orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di
Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141
orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over
kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.

A. Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) terdapat pada pasal 14 KUHP. Pidana
bersyarat adalah : Suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim digantungkan pada
syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.
Ketentuan tentang pidana bersyarat itu terdapat pada pasal 14a 14 f KUHP diwaris dari
Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduanya.
Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada pasal 10 KUHP, hanya batas
pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.
Pasal 14 c KUHP menyatakan : Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama atau
pidana kurungan maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa pidana tidak
usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang memang lain disebabkan
karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan
dalam perintah tersebut di atas habis atau karena terpidana selama masa percobaan tidak
memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam perintah itu.
Pidana bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila hakim yakin bahwa
pembayaran denda betul-betul dirasakan berat oleh terpidana.
Berdasarkan pasal 14 c ayat (1) di atas pidana bersyarat dapat diadakan apabila : Hakim
menjatuhkan pidana paling lama 1 tahun/pidana kurungan.
Jadi yang menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan melainkan pidana penjara
yang dijatuhkan pada terdakwa. Terpidana yang diberikan pidana bersyarat haruslah
memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a. Syarat umum
Terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.
b. Syarat khusus
Ditentukan oleh hakim
Disamping itu juga dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana
yang harus dipenuhi dimana masa percobaan/selama sebagian masa percobaan.
Bilamana syarat umum dan khusus tidak dipenuhi maka berdasarkan pasal 14 f ayat (1)
KUHP hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat
diperintahkan supaya putusan pidana dapat dijalankan/ memerintahkan supaya atas namanya
diberikan peringatan kepada terpidana.
Masa percobaan dimulai sejak putusan tersebut mulai ditetapkan dan telah diberitahukan
kepada terpidana menurut tata cara yang ditentukan oleh UU.
Berdasarkan pasal 14 b (3) KUHP : Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada
pada tahanan sementara.
Dalam praktik, pengawasan oleh jaksa ini tidak berjalan semestinya. Seakan-akan
pengawasan hanya bersifat formalitas belaka. Dalam organisasi kejaksaan negeri, tidak ada
bagian khusus menangani pidana bersyarat yang sangat penting itu. Setelah perjanjian antara
terpidana dan jaksa seakan-akan masalah telah selesai. Akan tetapi jaksa dapat juga
memerintahkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pimpinan suatu
rumah penampungan atau kepada pejabat tertentu supaya memberi bantuan kepada terpidana
dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
Menurut pasal 14 KUHP, selanjutnya pidana bersyarat itu diatur dengan undang-undang.
Undang-undang yang dimaksud adalah Abld.1926 No.251 jo.486, berlaku mulai Januari
1927, diubah dengan Sbld.1934 No.172.
B. Tindakan dan kebijaksanaan
Yang dimaksud dengan tindakan atau yang didalam bahasa belanda juga sering disebut
dengan perkataan Maatregel adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum
positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili
perkara-perkara pidana. Akan tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan dan bukan
pula merupakan suatu kebijaksanaan.
Salah satu lembaga hukum yang disebutkan oleh para penulis Belanda yaitu tindakan atau
maatregel adalah lemabag penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah atau
lemabaga terbeschikingstelling van de regering, dimana seseorang itu dapat dimasukkan
kedalam suatu lemabaga pendidikan Negara atau dapat disebabkan kepada seseorang, kepada
sebuah lembaga atau kepada sebuah yayasan untuk dididik sesuai dengan keinginan dari
pemerintah, hingga orang tersebut mencapai usia delapan belas tahun.
Tentang perbedaan antara pidana dan tindakan atau pemidanaan dengan penindakan
Hazewinkel-Suringa menjelaskan[30], bahwa suatu pemidanaan itu pada hakikatnya
merupakan suatu kebijakasanaan untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang
pelaku tindak pidana, sedangkan pada suatu penindakan menurut hukum pidana unsure
kesengajanan untuk emberikan semacam penderitaan seperti itu tidak ada sama sekali.
Pemahaman yang lebih komprehensif tentang perbedaan antara pidana (punishment) dengan
tindan (treatment) dikemukakan oleh Alf Ross. Menurut Alf Ross[31] concept of
punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:
Pertama, pidana ditunjukkan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan.
Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku
Perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Alf Ross tidaklah didasarkan pada ada atau
tidak adanya unsure yang pertama (unsure penderitaan), akan tetapi harus didasarkan pada
ada tidaknya unsure kedua (unsure pencelaan).
Bentuk-bentuk tindakan yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia diantaranya adalah
penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah, penyerahan seorang anak kepada
sebuah lembaga untuk dididik sesuai dengan keinginan pemerintah sampai anak itu menjadi
dewasa, dan pengembalian seorang anak kepada orang tua atau walinya
Pasal 45 menyatakan bahwa :
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa
pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah
tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532,
536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap;
atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Menurut ketentuan pasal 45 KUHP, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan oleh hakim
dalam hal memberikan sanksi terhadap seorang anak di bawah umur (belum berumur 16
tahun) yang bukti melakukan tindak pidana yaitu:
1. Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya tanpa dipidana apapun, atau
2. Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana
apapun, atau
3. Menjatuhkan pidana.
Tentang batasan belum cukup umur atau belum dewasa (minderjaring) tidak ditemukan
adalah seragaman atau kesamaan dinatara berbagai undang-undang yang berlaku di
Indonesia. Ketentuan hukum perdata mencantumkan, bahwa yang dimaksud dengan anak
dibawah umur adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya tidak kawin
(pasal 330 KUHPerdata). Akan tetapi KUHP menentukan batas usia belum dewasa itu adalah
merekan yang melakukan kejahatan sebelum berusia 16 tahun. Namun dewasa ini yang
dipakai sebagai ukuran yuridis untuk menentukan usia belum dewasa itu adalah ketentuan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, yang menentukan bahwa
batas usia belum dewasa itu adalah 18 tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 angka 1).
Penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak nakal yang melakukan kejahatan dalam
Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dilakukan dengan cara :
1. Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana
tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat
juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diaturlebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja;
atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Keistimewaan penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan kejahatan bila dibandingkan
dengan orang dewasa adalah, didalam putusan hakim dapat ditentukan supaya yang bersalah
kepada orang tuanya tanpa pidana apapun. Biasanya bila hakim meyakini akan perbuatan
pidana dan kesalahan seseorang, maka hakim akan menjatuhkan pidana, sekalipun ada hal
yang meringankan. Akan tetapi dalam hal anak nakal tidaklah demikian.
Meskipun penempatan seorang anak nakal dibawah pengawasan pemerintah untuk dididik
atau dibina dapat disebut sebagai suatu tindakan dan bukan merupakan suatu pidana, namun
kiranya tidak dapat disangkal, bahwa tindakan seperti itu juga membawa suatu penderitaan
bagi anak.
Dengan keterangan seperti tersebut diatas Lamintang menyimpulakan[32] bahwa yang
dimaksud dengan tindakan (maatregel) adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan
dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam
mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu
kebijaksanaan. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah lembaga-lembaga
hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan
putusan hakim dalam mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan suatu
pemidanaan atau tindakan.
Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het verkeer
(penarik dari peredaran) yang disebut dalama pasal 35 b WvS Netherland. Disitu disebutkan
bahwa dengan putusan hakim, suatu benda yang telah disita dapat ditarik dari perdaran:
1.Dengan putusan hakim yang telah menyatakan seseorang yang telah melakukan suatu delik
2.Dengan putusan hakim berdasarkan pasal 9a tidak ada pidana yang dijatuhkan.
Sebagaimana diketahui pasal 9a WvS Nederland merupakan hasil sisipan yang menetukan
bahwa seseorang dengan putusan hakim dapat dinyatakan terbukti telah melakukan delik
yang didakwakan namun karena kecilnya arti perbuatan, keadaan pada waktu melakukan dan
sesudah melakukan (ada penyelesaian) maka tidak dijatuhkan pidana.Jadi, dalam hal itu
benda yang telah disita (barang bukti) dapat kenakan tindakan berupa penarikan dari
peredaran.
3. Dengan putusan hakim, tidak dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
ditentukan, bahwa suatu delik telah dilakukan.
4. Dengan penetapan hakim atas tuntutan penuntut umum.
Tindakan jenis ini mirip sekali dengan pidana tambahan berupa perampasan. Bagaimana
benda yang tidak bergerak, dapatkan dikenakan tindakan jenis ini? Hazewinkel-Suringa
menyatakan tidak dapat (Hazewinkel-Suringa Remmelink, 1989:647).
Tindakan jenis ini dapat dikenakan bersama dengan pidana dan tindakan yang lain, ketentuan
semacam ini perlu dimasukan juga kedalam rancangan KUHP baru.
Di Indonesia, sebenarnya dengan Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1955 tentang tindakan
pidana ekonomi, telah diperkenalkan beberapa jenis tindakan baru yang disebut tindakan
tata tertib seperti yang disebut dalam pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut.
Tindakan tata tertib ialah:
a.Penetapan perusahaan siterhukum, dimana dilakukan suatu tindakan pidana ekonomi di
bawah pengampuan waktu selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak pidana ekonomi itu
adalah kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu
selama-lamanya 2 tahun.
b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk
waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi adalah kejahatan, dalam
hal tindak pidana ekonimi adalah pelanggaran, uang jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya
lima puluh ribu rupiah untuk wwaktu selama-lamanya dua tahun.
c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut tafsiran
yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau tindak pidana-tindak pidana semacam itu, dalam
hal cukup bukti-bukti bahwa tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh siterhukum.
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan
tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua
atas biaya siterhukum, sekedar hakim tidak menetukan lain.
Jenis tindakan tata tertib ini dijatuhkan bersama-sama dengan pidana, kecuali dalam hal
diberlakukan pasal 44 KUHP (tidak dapat dipertanggungjawabkan) yang tersebut dalam butir
b tidak dapat diterapkan.
C. Pelepasan Bersyarat
Di samping pidana bersyarat, dikenal pula pelepasan bersyarat. Perbedaannya ialah pada
pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat
umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat
terpidana harus telah menjalani pidananya paling lama dua per tiganya. Pelepasan bersyarat
ini tidak imperative dan otomatis. Dikatakan dapat diberikan pelepasan bersyarat.
Salah satu bentuk lembaga kebijaksanaan dalam hukum pidana kita adalah apa yang dikenal
dengan pembebasan bersyarat (pelepasan bersyarat), yaitu pelepasan dari kewajiban untuk
menjalankan pidana penjara.Hal tersebut diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 KUHP.

Pasal 15
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan
bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap
sebagai satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak
termasuk masa percobaan.

Pasal 15a
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.]
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana,
asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam
pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata-
mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan
syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan
khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat
yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang
itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal
yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat
dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat
menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak
termasuk waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut
kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan
tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang
menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat
masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan
pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah
mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan
dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan
Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal
15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari
jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan
Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia
berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna
menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa
percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya.
Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan
penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu
dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan
undang-undang.

Keputusan untuk memberikan pelepasan bersyarat dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman


setelah mendengar pendapat penuntut umum dan tentu pejabat lemabaga pemasyarakatan,
yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya.
Maksud pelepasan bersyarat sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana
ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah,
sebelum diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan masak-
masak kepentingan masyarakat yang menerima berkas terpidana. Harus dipersiapkan
lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang telah diperolehnya selama
dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Pelepasan bersyarat dapat diberikan pada terpidana adalah apabila ia telah menjalani dua
pertiga dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya atau sekurang-kurangnya 9 bulan
(pasal 15 ayat 1 KUHP). Ketika memberikan pelepasan bersyarat, harus ditentukan pula masa
percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan itu
(pasal 15 ayat 2 KUHP). Masa percobaan itu sendiri lamanya adalah sama dengan sisa waktu
pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun dan untuk menentukan masa
percobaan tidak ikut diperhitungkan waktu selama terpidana berada dalam tahanan yang sah
(pasal 15 ayat 3 KUHP).
Sementara itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana dalam hal pelepasan
bersyarat ini terdiri dari sayarat umum dan syarat khusus :
1. Sayarat umum merupakan keharusan bagi terpidana, bahwa selama masa percobaan itu
ia tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya (pasal 15 a
ayat (1) KUHP). Syarat umum ini sifatnya adalah imperative.
2. Syarat khusus ialah sesuatu yang berkenaan dengan perilaku terpidana, asalkan syarat-
syarat itu tidak membatasi kebebasannya untuk beragama dan kemerdekaan berpolitik (pasal
15 a ayat (2) KUHP).
Menurut Schepper, advis dewan reglasering untuk diberikannya pelepasan bersyarat meliputi
hal berikut:
- Sifat delik itu sendiri.
Bagaimana pendapat masyarakat jiak diperikan pelepasan bersyarat, apakan tidak
menimbulkan tindak sewenang-wenang yang akan mengganggu ketertiban umum dan
peradilan.
Termasuk pula pertimbangan prevensi umum.
- Sikap dan kepribadian terpidana, berkaitan dengan pandangan masyarakat Indonesia, ini
merupakan masalah sikap dan tingkah laku terpidana selama dalam penjara.
- Tinjauan terhadap penghidupan terpidana sesudah itu, pekerjaannya, bantuan moral dan
sanak keluarga atau dari reklasering (Jonkers, 1946:189).
Jika terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pelepasan
(verlofpas), terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya. Pelepasan
bersyarat dapat dicabut kembali atas usul Jaksa di tempat terpidana berdiam dengan
pertimbanagn dewan pusat reklasering.
Jika ia melanggar perjanjian atasu syarat-syarat yang ditentukan, sambil menunggu putusan
Menteri Kehakilan, Jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama enam puluh hari.
Jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan tersebut, terpidana harus dikeluarkan
dari tahanan.
Dikatakan dalam pasal 6 ayat (3) bahwa jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu
selama dalam masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut,
jaksa dapat melakukan penahanan. Jika ada sangkaan kuat seperti tersebut, dapat dilakukan
penundaan (schorsing) oleh menteri kehakiman.
Perbedaan antara penundaan (schorsing) dengan penahanan ialah sebagai berikut.
1. Penundaan (Schorsing) oleh Menteri Kehakiman, sedangkan penahanan oleh jaksa
(dahulu asissten resident) dimana terpidana berdiam.
2. Penundaan mengakibatkan terpidana langsung diperlakukan sebagai narapidana,
sedangkan penahanan bersifat preventif.
3. Penundaan tidak ada jangka waktunya (berakhir pada waktu pidana berakhir),
sedangkan penahanan hanya untuk waktu 60 hari (Jonkers,1946:201)
Dalam praktek, pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan ole jaksa
ditempay ia berdiam, dengan paraf pada buku pelepasan bersyarat yang ditunjukkan oleh
terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Hal yang tidak diatur dapat diberikan pelepasan bersyarat ialah pidana seumur hidup
sehingga pidana penjara seumur hidup benar-benar dapat dijalani seumur hidup. Tidaklah
mungkin dapat dihitung dua per tiga dari seumur hidup. Di Netherland disebutkan bahwa
dalam hal pidana penjara seumur hidup, dapat diberikan pelepasan bersyarat jika pidana
penjaranya telah dijalani selama tiga belas tahun.
D. Izin hidup bebas diluar lembaga pemasyarakatan
Ketentuan ini diatur dalam pasal 20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menentukan:
1. Putusan hakim dapat ditetapkan, bahwa orang-orang yang dipidana dengan pidana
penjara atau pidana kurungan selama-lamanya satu bulan. Oleh jaksa dapat di izinkan untuk
dapat hidup secara bebas setelah jam kerja.
2. Jika seorang terpidana yang untuk kepentingannya telah dibuatkan suatu ketentuan yang
tersendiri, bukan karena hal-hal yang tidak tergantung pada kemauannya sendiri telah tidak
hadir pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan untuk melakukan pekerjaannya, maka
ia harus menjalankan pidananya seperti biasa.
3. Ketentuan seperti dimaksud dalam ayat (1) tidak diperlakukan pada waktu melakukan
tindak pidana, belum lampau waktu dua tahun sejak orang yang bersalah mejalankan pidana
penjara atau pidana kurungan.
Pembentuk undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
maksud dari pembentuk-pembentukan pasal 20 KUHP tersebut, dan di dalam pasal 64 dari
gestichtenreglement isinya hanya menentukan bahwa:
1. Orang-orang yang berdasarkan putusan hakim telah diizinkan untuk dapat hidup secara
bebas diluar lembaga pemasyarakatan setelah jam kerja, pada dasarnya harus dipandang dan
diperlakukan sebagai orang-orang yang bebas sesudah jam kerja.
2. Pabila mereka itu lain dari hal-hal yang tidak tergantung pada kemauan mereka tidak
hadir pada waktu dan ditempat yang telah ditentukan untuk melakukan pekerjaan yang telah
diperintahkan kepada mereka, atau apabila mereka itu ternyata telah berperilaku secaa tidak
baik, maka untuk selanjutnya mereka itu harus menjalankan pidana meraka dengan cara yang
biasa..
3. Apabila dianggap perlu, maka untuk menampung orang terpidana seperti yang
dimaksudkan dalam ayat (1), dapat dibangun suatu tempat kediaman yang baik yang letaknya
harus berdekatan dengan lembaga pemasyarakatan.

V.Grasi
- Penghapusan Denda
- Perubahan / penggantian
- Pengurangan pidana (Jumlah)
- Pengurangan denda
UU grasi -- UU no. 22 tahun 2002, pengganti UU no. 1 tahun 1950
Berlakunya grasi setelah putusan hakim yang incrahct.
A. Pengertian Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan
oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah
dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi merupakan pengampunan yang dapat menimbulkan kesalah pahaman, seolah-olah
dengan adanya pengampunan dari kepala negara, lantas keseluruhan kesalahan dari terpidana
menjadi diampuni atau seluruh akibat hukum dari tindak pidana menjadi ditiadakan. Untuk
menghilangkan kesalahfahaman itu pengampunan tidak boleh semata-mata diartikan sebagai
sesuatu yang sama sekali menghilangkan akibat hukum dari suatu tindak pidana yang
dilakukan terpidana.
Artinya pengampunan dimaksudkan tidaklah melulu berkenaan dengan diadakannya
penghapusan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakaim yang telah punya kekuatan hukum
tetap, melainkan juga dapat berkenaan :
1. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan hakim.
Misal : perubahan dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup.
2. Pengurangan lamanya pidana penjara, pidana tutupan dan pidana kurungan.
3. Pengurangan besarnya uang denda seperti yang telah diputuskan hakim bagi terpidana.
Menurut VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang
menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu menjadi
ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.
Menurut HATEWINKEL SURINGA , grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau
pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai pidana
tersebut.
Menurut Pasal 1 UU no. 22 tahun 2002, Grasi diartikan sebagai pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanan pidana kepada terpidana.
B. Bentuk Bentuk Grasi
Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim
bagi seorang terpidana yang telah punya kekuatan hukum tetap biasanya disebut grasi dalam
arti sempit. Akan tetapi secara komprehensif grasi dapat dibagi dalam 4 bentuk :
1. Grasi (dalam arti sempit) yaitu peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim yang
telah punya kekuatan hukum tetap.
2. Amnesti, yakni suatu pernyataan secara umum menurut ditiadakannya semua akibat
hukum. Menurut hukum pidana dari suatu tindak pidana atau dari suatu jenis tindak pidana
tertentu bagi semua orang, yang mungkin saja terlibat dalam tindak pidana tersebut, baik
yang telah dijatuhi pidana maupun yang belum dijatuhi pidana oleh hakim, baik yang sudah
dituntut maupun yang belum dituntut, baik yang disidik maupun yang yang belum disidik,
baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui oleh kekuasaan yang syah.
3. Abolisi, yaitu peniadaan dari hak untuk melakukan penuntutan menurut hukum pidana
atau penghentian dari penuntutan dari hukum pidana yang telah dilakukan.
4. Rehabilitasi, yaitu pengembalian kewenangan hukum dari seseorang yang telah hilang
berdasarkan suatu putusan hakima taupun berdasarkan suatu putusan hakim yang bersifat
khusus (militer).
Menurut Van Hamel, pengembalian kewenangan hukum yang tela hilang berdasarkan suatu
putusan hakim yang sifatnya khusus atau formal merupakan suatu kekhususan dari grasi
dalam arti yang sebenarnya.
C. Permohonan Grasi
Menurut UU no. 22 tahun 2002 tentang grasi, diatur prinsip prinsip dan tata cara pengajuan
grasi.
Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut pasal 2 Undang-undang nomor
2002 adalah :
1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana
dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
3. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali,
kecuali dalam hal :
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup
dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali
dalam hal putusan pidana mati (pasal 3)
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Agung.
Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
D. Pengajuan permohonan grasi
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang
yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan grasi menurut pasal 6 Undang-undang
Nomor 22 tahun 2002:
1 Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
2 Permohonan dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.
3 Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terpidana tanpa persetujuan terpidana.
E. Alasan Alasan Mengajukan Grasi
Menurut POMPE,
Adanya kekurangan dalam UU yang dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim
terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan
kebebasan yang lebih besar, akan menyebabkan seseorang itu dibebaskan, atau tidak diadili
seperti overmacht.

VI. Amnesti
Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan
status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.
Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan
legislatif atau badan yudikatif.
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat
penerapan sistem pembagian kekuasaan
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman,
yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak
pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti
ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara
diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan
kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
VII. Abolisi
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara,
dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang
presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara
yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
VIII. Rehabilitasi
Pompe berpendapat, bahwa lembaga rehabilitasi itu tidak ada artinya hukum pidana yang
bersifat merendahkan martabat manusia atau apa yang disebut onterende straffen itu tidak
dikenakan didalam hukum pidana kita.
Tentang hal tersebut Pompe mengatakan bahwa:
Rehabilitasi itu dapat dirumuskan orang sebagai suatu pernyataan tentang batalnya akibat-
akibat menurut hukum pidana, yang menurut hukum telah dikaitkan dengan pidana. Yang
menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah masalaha pencabutan dari wewenang-
wewenang, yakni yang misalnya dapat terjadi didalam apa yang disebut pidana-pidana yang
bersifat merndahkan martabat manusia. Mengingat bahwa pidana-pidana tersebut tidak
terdapat didalam hukum pidana kita, maka lembaga rehabilitasi itu tidak mempunyai arti bagi
kita.
Menurut hemat penulis lembaga rehabilitasi itu tidak selalu harus dihubungan dengan ada
atau tidak adanya lembaga onterende straffen didalam hukum pidana kita. Bukankah kita juga
mempunyai lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan? Bukankah hak-
hak seperti itu apabila telah dinyatakan sebagai dicabut dengan suatu putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat dipulihkan kembali oleh kepala
Negara dengan lembaga rehabilitasi?
Bagi kita di Indonesia, perlu atau tidak perlunya lembaga rehabilitasi tersebut kiranya tidak
dapat dipermaslahkan lagi, justru karena lembaga rehabilitasi itu merupakan salah satu hak
prerogratif dari kepala Negara dan diakui di dalam UUD 1945 kita.
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang
yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya
terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa
dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali.
Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak
tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya

IX. Ukuran-Ukuran Dalam Penjatuhan Pidana


Faktor-faktor yang dapat dijelaskan pedoman di dalam penjatuhan pidana bersyarat yaitu :
a. Sebelum melakukan tindak pidana tersebut dia :
1) Belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya
2) Terdakwa masih sangat muda
3) Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar
4) Terdakwa tidak menduga bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan
kerugian besar
5) Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan atas hasutan orang lain yang
dilakukan dengan intensitas yang besar
6) Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar
memaafkan perbuatannya
7) Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut
8) Terdakwa telah membayar ganti rugi/akan membayar ganti rugi kepada si korban atas
kerugian-kerugian/penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya
9) Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin
terulang lagi
10) Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak
pidana lain
11) Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang berat baik bagi
terdakwa atau keluarga.
12) Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non
konstitusional
13) Tindak pidana terjadi pada pihak keluarga
14) Tindak pidana terjadi karena kealfaan
15) Terdakwa sudah sangat tua
16) Terdakwa adalah pelajar/mahasiswa
17) Khusus terdakwa di bawah umur hakim kurang yakin dengan kemampuan orang tua
untuk mendidik

Anda mungkin juga menyukai