Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS YURIDIS PEMBELAAN TERPAKSA DALAM TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN ( STUDI PUTUSAN NO: 32/PID.B/2021/PN DGL)

Abstrak

Penelitian ini mengkaji tentang ranah Hukum Acara Pidana dengan mengacu pada putusan
bebas Pengadilan Negeri dalam perkara yang melibatkan tindak pidana penganiayaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim dalam Memutus Lepas
Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaan dalam putusan NO:
32/PID.B/2021/PN DGL). Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, penelitian
kualitatif merupakan metodologi penelitian yang digunakan untuk mengetahui kejadian
secara langsung melalui literatur dan sumber hukum putusan dan juga undang-undang.
Penelitian ini bersifat terapan dan preskriptif. Bahan hukum primer dan sekunder digunakan
dalam pengumpulan bahan hukum yang dilengkapi dengan bacaan literatur. Temuan
penelitian mendukung kesimpulan bahwa majelis hakim yang menjatuhkan putusan
pemberhentian perkara dalam putusan NO: 32/PID.B/2021/PN DGL telah mengambil
keputusan yang tepat. majelis hakim menyimpulkan bahwa penganiayaan yang dilakukan
terdakwa disebabkan oleh pembelaan yang dipaksakan (Noodweer), sehingga tidak dapat
dinyatakan bersalah. Alhasil, terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan sesuai Pasal
191 ayat (2) KUHAP.
Kata Kunci: Noodweer, Penganiayaan, Pertimbangan Hakim

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tingginya angka kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat ditunjukkan dengan
semakin banyaknya kasus yang terjadi. Tindakan penganiayaan terkadang dilakukan
oleh seseorang karena paksaan untuk mempertahankan diri dari ancaman yang
dihadapinya; ini bukanlah sesuatu yang mereka lakukan dengan sengaja; Sebaliknya,
mereka melakukannya untuk menjaga diri mereka sendiri dan orang lain aman dari
bahaya. Selain itu, tindakan biasanya timbul dari perasaan pengkhianatan atau
kebencian, perasaan bahwa orang lain telah merendahkan harga dirinya, ancaman atau
intimidasi, dan motivasi lain yang mungkin dilakukan secara bersamaan atau sendiri-
sendiri dan yang mungkin mendorong korban untuk mengambil tindakan. menyakiti
pelaku secara pribadi. Biasanya, orang yang merugikan orang lain atau melakukan
kejahatan disebut sebagai pelaku karena kesalahannya dianggap telah menimbulkan
kerugian badan terhadap orang atau pihak lain. Namun, jika seseorang berada dalam
keadaan terpuruk, ia dapat mempertahankan diri dengan cara bertarung menggunakan
tangan kosong atau dengan bantuan alat.
Penganiayaan diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk menimbulkan kesakitan fisik pada orang lain, menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan orang tersebut, mengakibatkan luka-luka mulai dari ringan
hingga berat, atau bahkan menimbulkan korban jiwa. Menurut KUHP, setiap
perbuatan yang memenuhi syarat suatu delik dapat digolongkan sebagai tindak
pidana. 1. Mengenai hal yang akan diperiksa, KUHP memuat dalil-dalil yang dapat
menyangkal kesalahan pelaku dan menghilangkan kemungkinan hukuman. Alasan
pengampunan dalam KUHP terdapat pada Pasal 44 yang menunjukkan bahwa pelaku
tidak mampu menerima tanggung jawab, pada Pasal 49 ayat (1) yang mengatur
pembelaan paksa (Noodweer), dan pada Pasal 51 ayat (1). 2), yang berkaitan dengan
itikad baik pelaku pelaksanaan suatu perintah jabatan yang melanggar hukum.
Dalam penerapannya, tentu ada batasan bagaimana suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa. Sehingga, tidak semua perbuatan
pembelaan diri yang dilakukan seseorang dapat dijustifikasi oleh pasal ini sebagai
perbuatan pembelaan diri. Pasal ini digunakan sebagai alasan pemaaf, namun bukan
alasan yang membenarkan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan seseorang
yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran
hukum yang mendahului perbuatan itu. Salah satu kasus yang membahas mengenai
pembelaan terpaksa sebagaimana dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri
donggala NO: 32/PID.B/2021/PN DGL yang mana menyangkut mengenai Tindak
Pidana Penganiayaan.
Pada kasus ini, terdakwa yakni Khofifa telah melukai seseorang hingga
menyebabkan lebam lebam dibagian pipi dan perut dinyatakan terbukti oleh Majelis
atas tindak pidana penganiayaan yang telah menyebabkan luka pada orang lain
berdasarkan Pasal 351 ayat (1) KUHP namun, perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan sehingga Majelis memberikan putusan yang melepaskan
Terdakwa dari segala tuntutan berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP dikarenakan
alasan pembelaan terpaksa (Noodweer). Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin
mengetahui Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Memutus Lepas Terdakwa
dalam Perkara NO: 32/PID.B/2021/PN DGL trntang Tindak Pidana Penganiayaan
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Memutus Lepas Terdakwa dalam Perkara
Tindak Pidana Penganiayaan dalam putusan NO: 32/PID.B/2021/PN DGL?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui Pertimbangan
Hakim dalam Memutus Lepas Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaan
dalam putusan NO: 32/PID.B/2021/PN DGL
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat dari penelitian iadalah:
1. berkontribusi dari segi pemikiran untuk kalangan akademisi hokum berkaitan
dengan pembelaan terpaksa dalam kerangka tindak pidana penganiayaan
2. memberikan pandangan dan wawasan kepada masyarakat luas berkaitan
pertimbangan hakim seperti apa yang bisa membebaskan terdakwa dari hukuman
pidana penganiayaan mengacu pada studi dalam putusan no: 32/pid.b/2021/pn dgl

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian normatif. Peter Mahmud


Marzuki mendefinisikan penelitian normatif sebagai praktik mengidentifikasi prinsip
dan standar hukum dengan tujuan menyelesaikan permasalahan hukum. Penelitian
normatif dilakukan untuk menghasilkan cara pandang, teori, atau konsepsi baru dalam
menilai suatu permasalahan hukum. adapun pendekatan yang digunakan oleh peneliti
adalah pendekatan teori hukum pidana dan pendekatan undang-undang. Pendekatan
yang dilakukan oleh peneliti ini merupakan pendekatan yang relevan dengan metode
penelitian normative.

Selain itu kajian kepustakaan akan digunakan untuk penelitian ini. Dalam
kajian kepustakaan penulis dapat mempelajari pemikiran dan/atau sudut pandang
literatur dari para profesional yang telah melakukan penelitian atau mempublikasikan
di masa lalu tentang tindak pidan penganiayaan dan analisi dalam studi putusan
pengadilan.Kemudian, dengan menggunakan buku-buku dan sumber perpustakaan
lainnya yang terkait dengan topik, pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan
pengumpulan data. Untuk mendapatkan landasan teoretis terhadap topik-topik yang
menjadi pokok penulisan, seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana


Istilah tindak pidana berasal dari hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.
Istilah tersebut terdapat dalam Wetboek van Stafrecht (W.v.S) Belanda yang saat ini
dikenal secara umum sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yaitu “straf”, “baar” dan “feit”. Istilah straf
diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Kata baar diterjemahkan sebagai dapat dan
boleh. Sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan. Dalam bahasa Inggris disebut delict, artinya suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Dalam memahami pengertian tindak pidan disini penulis akan memberikan
beberapa pendapat yang disampaikan oleh ahli hukum mengenai tindak pidana yaitu:
1. Moeljanto menggunakan istilah “tindak pidana” yang berarti perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang dan disertai ancaman hukuman bagi yang
melanggar larangan tersebut. Moeljanto lebih sederhana untuk mendefinisikan
tindak pidana adalah sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum dan
diancam dengan pidana.
2. Utrecht menggunakan istilah tindak pidana, dengan alasan bahwa istilah
“peristiwa pidana” meliputi suatu perbuatan (positif) atau suatu melalaikan
(negatif) maupun akibatnya yaitu keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan
atau melalaikan itu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat menjadi


subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum yang melakukan suatu
tindakan yang dilarang sebagaimana terdapat dalam rumusan tindak pidana dalam
KUHP, yang mempunyai daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana.
Selain itu, jika melihat bentuk-bentuk hukuman pidana yang termuat dalam
pasalpasal KUHP yakni dapat berupa hukuman penjara, kurungan dan denda.

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mencantumkan


perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dikenakan sanksi, untuk menentukan apakah
suatu perbuatan tertentu termasuk dalam kategori pidana. Untuk membedakan secara
jelas larangan tersebut dengan perbuatan lain yang tidak dilarang, KUHP memuat
beberapa unsur atau syarat yang mendefinisikan larangan tersebut. Simons
berpendapat bahwa komponen atau unsur tindak pidana

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld).

c. Melawan hukum (onrechtmatig).

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand).

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

B. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hukum


Tahap yang disebut “pertimbangan hukum” terjadi ketika para hakim panel
mengevaluasi informasi yang diungkapkan selama konferensi persidangan. Hal ini
mencakup pemeriksaan terhadap tuduhan, tuntutan, dan kasus ketidakjujuran yang
didukung oleh bukti-bukti yang memenuhi syarat formil dan substantif serta
disampaikan dalam bentuk pembelaan. Pasal-pasal peraturan hukum yang menjadi
landasan pengambilan keputusan juga dimasukkan dalam pertimbangan hukum.
Salah satu faktor penentu terwujudnya nilai putusan hakim yang mencakup kepastian
hukum dan keadilan (ex aequo et bono) adalah pertimbangan hakim. Selain itu, hal ini
juga memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat, sehingga pertimbangan
hakim perlu dipikirkan secara matang matang. Apabila pertimbangan hakim tidak
komprehensif, sehat, dan hati-hati, maka Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi
akan membatalkan putusan hakim yang merupakan hasil pertimbangan hakim.
Dalam mengadili suatu perkara, hakim juga memerlukan alat bukti yang
temuannya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Tahap
paling krusial dalam pemeriksaan lapangan adalah pembuktian. Tujuan pembuktian
adalah untuk memberikan keyakinan bahwa suatu fakta atau peristiwa yang disajikan
benar-benar terjadi sehingga membantu hakim mencapai kesimpulan yang adil dan
akurat. Untuk memberikan kesan adanya hubungan hukum antara para pihak, maka
hakim tidak dapat mengambil keputusan sebelum terbukti bahwa peristiwa atau fakta
tersebut benar-benar terjadi, yaitu sampai kebenarannya dapat dipastikan.
Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan yang
dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum
memutus kasus. Menurut Rusli Muhammad dalam melakukan pertimbangan hakim
ada dua macam yaitu:
a) Pertimbangan secara Yuridis Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim
yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan
oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.
Hal-hal yang dimaksud tersebutantara lain:
1. Dakwaan Penuntut Umum:
2. Keterangan terdakwa
3. Keterangan saksi
4. Keterangan barang bukti
b) Pertimbangan secara sosiologis, dalam pertimbangan sosiologis hal yang perlu
diperhatikan oleh hakim dalam memutuskan sebuah sengketa atau perkara adalah
sebagai berikut:
1. Latar Belakang terdakwa
2. Akibat perbuatan terdakwa
3. Kondisi diri terdakwa
4. Agama terdakwa
C. Tinjauan Umum Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa (noodweer) diatur pada Pasal 49 ayat 1 KUHP yang
berbunyi “Tidak dipidana barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat
dekat pada saat itu yang melawan hukum”.
Seseorang dapat dikatakan melakukan pembelaan terpaksa hanya jika
memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan dasar hukumnya. Hal
tersebut dikarenakan tidak semua perbuatan pembelaan diri dapat dilegitimasi oleh
pasal ini. Syarat-syarat pada Pasal 49 ayat 1 KUHP ini berfungsi sebagai batasan bagi
Hakim untuk mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana adalah
termasuk pembelaan terpaksa (noodweer) atau tidak.
Karena pembelaan terpaksa (noodweer) menghilangkan aspek ilegal dari
tindakan seseorang, maka tindakan tersebut tidak dapat dihukum. Ketika seseorang
melanggar hukum kemudian menggunakan kekerasan untuk membela diri, maka ia
tidak bertanggung jawab atas perbuatannya karena pada awalnya ia dibenarkan
melanggar hukum. Dalam arti yang lebih luas, Van Hamel berpendapat bahwa
pembelaan terpaksa tidak dapat dipidana karena merupakan hak yang sah dan
mempunyai landasan hukum yang dituangkan dalam KUHP, yang memungkinkan
pembelaan paksa digunakan sebagai pembelaan yang sah. Undang-undang
menyatakan bahwa apabila pembelaan paksa digunakan di luar kehendak seseorang,
maka hal tersebut harus dilakukan dengan maksud untuk membela diri, artinya tidak
setiap tindakan melawan hukum memerlukan pola pikir mengalah dengan kondisi
yang diterima.
Alasan penghapusan tindak pidana memiliki hubungan erat dengan tanggung
jawab seseorang. Pertanggungjawaban pidana mengarah kepada subjek hukum, yakni
seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Oleh sebab itu, yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana adalah orang yang melakukan perbuatan pidana
tersebut. Secara umum, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk
bisa bertanggung jawab, yaitu adanya perbuatan pidana yang dilakukan dan adanya
unsur kesalahan (schuld) yang terdiri dari kesengajaan (dolus/opzet), kealpaan atau
culpa, adanya kemampuan bertanggung jawab

D. Tinjauan Umum Penganiayaan

Secara umum kita mengenal pengertian tindak pidana terhadap tubuh manusia
dalam KUHP disebut penganiayaan. Dari segi bahasa, penganiayaan merupakan kata
sifat yang memiliki kata dasar ”aniaya” dan mendapatkan awalan “pe” serta akhiran
“an” selanjutnya penganiayaan sendiri berasal dari kata benda aniaya yang
menunjukkan subyek atau orang yang melakukan penganiayaan itu. Akan tetapi tidak
semua perbuatan yang mengakibatkan sakit serta luka terhadap orang lain merupakan
suatu tindakan penganiayaan, seperti untuk menjaga keselamatan diri atau orang lain.
Untuk mengatana bahwa seseorang sudah melakukan tindakan penganiayaan, maka
orang yang dituduh tersebut harus memiliki niat untuk sengaja untuk membuat rasa
sakit atau luka pada tubuh orang lain atau pun pelaku dalam memiliki niat untuk
merusak kesehatan orang lain.

Tindak pidana penganiayaan merupakan perlakuan sewenang-wenang dalam


rangka menyiksa atau menindas orang lain. Penganiayaan yang mendatangkan rasa
sakit atau luka pada badan atau anggota badan orang lain merupakan tindakan
melawan hukum.

Dalam Pasal 90 KUHP dijelaskan secara rinci kategori luka, yaitu:

1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian.
3. Kehilangan salah satu panca indera.
4. Mendapat cacat berat.
5. Menderita sakit lumpuh.
6. Terganggu daya pikir selama empat minggu atau lebih.
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Tindak pidana penganiayaan dapat terjadi secara sengaja dan terkadang karena
kesalahan. Penganiayaan yang disengaja mengindikasikan kesengajaan yang
dilakukan oleh pelaku dengan sikap permusuhan. Ada enam jenis-jenis bentuk tindak
pidana penganiayaan, yaitu:
1. Penganiayaan biasa dalam Pasal 351 KUHP mendefinisikan penganiayaan biasa
pada hakekatnya adalah kompilasi yang tidak ringan dan berat.
2. Penganiayaan ringan
i. Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan
berupa bukan penganiayaan berencana, bukan penganiayaan yang dilakukan
terhadap ibu/bapak/anak/istri, pegawai yang bertugas, memasukkan bahan
berbahaya bagi nyawa, serta tidak menimbulkan penyakit maupun halangan
untuk menjalankan pekerjaan, dan pencaharian.
ii. Penganiayaan ringan diancam maksimum hukuman penjara tiga bulan atau
denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan
Pasal 356 KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk
menajalankan pekerjaan.
3. Penganiayaan berencana
i. Ada tiga macam penganiayaan berencana yang tertuang di dalam Pasal 353
KUHP, yaitu penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau
kematian dan dihukum penjara paling lama 4 tahun, lalu penganiayaan
berencana yang berakibat luka berat dan dihukum penjara selama-lamanya 4
tahun, serta penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang dapat
dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.
ii. Seseorang yang melakukan penganiayaan berencana melakukannya dengan
kehendak dan suasana batin yang tenang.
4. Penganiayaan berat
i. Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP yaitu barang siapa sengaja
melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat
dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.
ii. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. Perbuatan penganiayaan berat
dilakukan dengan sengaja oleh orang yang melakukannya.
5. Penganiayaan berat berencana
i. Penganiayaan berat berencana tertuang dalam gabungan Pasal 354 ayat 1
KUHP tentang penganiayaan berat dan Pasal 353 ayat 2 KUHP tentang
penganiayaan berencana. Dalam pidana ini harus memenuhi unsur
penganiayaan berat maupun penganiayaan berencana.
6. Penganiayaan terhadap orang

PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Lepas Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana
Penganiayaan dalam putusan NO: 32/PID.B/2021/PN DGL

Seseorang yang diserang secara tiba-tiba dan dalam keadaan terdesak tidak
sempat meminta bantuan, sehingga Pasal 49 ayat 1 KUHP memberikan kewenangan
untuk melakukan tindakan menghentikan penyerangan itu sendiri tanpa bantuan pihak
lain. . Serangan melanggar hukum yang terjadi tanpa peringatan mengarah pada
undang-undang atau peraturan yang mengizinkan siapa pun mengambil tindakan apa
pun untuk melindungi kepentingannya sendiri atau orang lain.

Pembelaan terpaksa (noodweer) yang ditemukan dalam tindak pidana


penganiayaan yang menyebabkan kematian pada putusan Pengadilan Negeri
Donggala Nomor PUTUSAN NO: 32/PID.B/2021/PN DGL, menurut alat bukti dan
fakta terungkap dipersidangan, khofifah alias fifa sebagai terdakwa telah meyakinkan
melakukan tindak pidana penganiayaan . Akibat 2 pukulan yang di lakukan oleh
terdakwa kepada pipi korban dan tendakan diperut korban, menyebabkan korban
lebam di perut dan di pipi Tindak pidana yang dilakukan terdakwa telah memenuhi
unsur delik Pasal 351 ayat sayat 1.

Proses penegakan hukum pidana diwujudkan secara konkrit melalui


pelaksanaan hukum pidana, yang prosedur pengaturannya diatur dalam hukum acara
pidana. Prosedur penegakan hukum diakhiri dengan adanya putusan hakim. Mengenai
penjatuhan putusan akhir (vonis) oleh hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 191
KUHAP dapat digolongkan menjadi 3, yaitu putusan bebas dari segala dakwaan
hukum (vrijspraak,Putusan Lepas (Onslag Van Alle Rect Vervolging), dan putusan
pemidanaan (veroordeling)

Seorang hakim akan mempertimbangkan faktor non-yuridis dan hukum ketika


menentukan hukuman. Pertimbangan yuridis mengacu pada faktor-faktor yang
menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Faktor-faktor ini
ditentukan oleh undang-undang dan didasarkan pada informasi yang diungkapkan
selama konferensi. Sementara itu, faktor sosiologis juga dapat disebut sebagai
pertimbangan non-yuridis. Tanggung jawab utama seorang hakim adalah memberikan
keputusan dalam suatu kasus yang diajukan kepadanya. Keputusan ini, secara teori,
menentukan apakah suatu hak, kejadian, atau kesalahan dianggap telah terbukti.
Selain itu, keberadaan alat bukti ditentukan oleh hakim berdasarkan integritas moral
yang kuat.

Hakim dalam Putusan Nomor NO: 32/PID.B/2021/PN DGL telah


menguraikan berbagai pertimbangan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka dakwaan JPU yang berupa dakwaan tunggal berdasarkan Pasal 351 ayat (1)
KUHP telah puas dengan tindakan pembelaan yang dilakukan terdakwa khofifah.
Hakim memasukkan pertimbangan hukum pasal 49 ayat (1) dalam putusan tersebut,
yang menjadi alasan Khofifah dicabut hukumannya. Pertimbangan hakim
sebagaimana tertuang dalam surat putusan menyebutkan, meskipun perbuatan
Khofifah terhadap maghfiroh melanggar hukum berdasarkan Pasal 351 ayat (1)
KUHP, namun tidak dipidana karena dilakukan dalam rangka pembelaan diri atas
kehormatan dan kesusilaan.

Hakim dalam kasus penganiayaaan ini dalam pertimbangannya menyebutkan


bahwa terdakwa melakukan pemukulan hanya mempertahankan kesusilaanya karena
mempertahankan umur kehamilanya 7 bulan dengan melakukan pembelaan terpaksa
(noodweer). Pembelaan terpaksa yang dilakukan terdakwa dalam kasus penganiayaan
dibuktikan telah memenuhi syarat-syarat yang tertuang pada Pasal 49 ayat 1 KUHP
sebagai dasar hukumnya, adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan


(membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan
lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang
dilakukan dengan serangannya;
2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-
kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang
diri sendiri atau orang lain;
3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-
konyong atau pada ketika itu juga

Terdakwa kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian putusan NO:


32/PID.B/2021/PN DGL, oleh Penuntut Umum didakwa melakukan sebagaimana
Pasal 351 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Penganiayaan diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”. Berdasarkan pertimbangan hakim melalui fakta-
fakta hukum yang telah diuraikan dalam persidangan sesuai denganisi putusan
pada halaman 14 memilih dakwaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat
1 KUHP yang unsurunsurnya adalah sebagai berikut:

a. Barang siapa
bahwa yang dimaksud dengan “barangsiapa” adalah orang-perorangan
sebagai subjek hukum (natuurlijke person) yang kepadanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang telah di lakukannya. Dalam
hal ini, telah dihadapkan di muka persidangan, Terdakwa atas nama
KHOFIFA ALIAS FIFA yang telah membenarkan identitasnya sebagaimana
dimaksud oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, sehingga Hakim
berpendapat bahwa terhadap dakwaan tersebut adalah benar ditujukan kepada
Terdakwa atas nama KHOFIFA ALIAS FIFA dan tidak terdapat “error in
persona” atau salah dalam mengadili seseorang; Menimbang, bahwa
berdasarkan keterangan Saksi-Saksi dan ditegaskan pula oleh pengakuan
Terdakwa, ternyata identitas Terdakwa adalah sama dengan berkas perkara
maupun surat dakwaan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut di atas, maka Hakim berpendirian bahwa unsur
“Barangsiapa” telah terpenuhi
b. Yang dengan sengaja melakukan penganiayaan
Bahwa pengertian “dengan sengaja” adalah kesengajaan dalam arti
sempit, yaitu kesengajaan sebagai maksud, yakni pelaku harus menghendaki
perbuatan tersebut dan juga harus mengerti akan akibat dari perbuatannya;
menurut P.A.F. Lamintang S.H. dalam Buku Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, bahwa untuk menyebut seseorang itu telah melakukan
penganiayaan terhadap orang lain maka orang tersebut harus mempunyai suatu
kesengajaan untuk:
1. menimbulkan rasa sakit pada orang lain;
2. menimbulkan luka pada tubuh orang lain; atau
3. merugikan kesehatan orang lain;

menurut analisis penulis, hakim dalam memutuskan perkara


Pembelaan terpaksa (Noodweer) adalah salah satu diantara alasan pembenar
yang ketentuannya diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barangsiapa terpaksa melakukan
perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan
seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain,
tidak dipidana”. dengan demikian, Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dapat
dijadikan sebagai pembelaan yang sah di muka pegadilan dan sebagai
pertimbangan hakim dalam memberikan putusan suatu kasus tindak pidana.
Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (Noodweer)
harus memenuhi unsur sebagai berikut:

a. Pembelaan itu bersifat terpaksa


Pembelaan paksa merupakan strategi pembelaan hukum yang sah
karena jika terjadi serangan seketika yang melanggar hukum, korban harus
meminta bantuan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan masyarakat—dalam hal ini Kepolisian Negara Republik
Indonesia—agar dapat melakukan hal tersebut. untuk mengakhiri serangan
itu. jika tidak mungkin seseorang dapat terhindar dari serangan, maka boleh
saja melakukan hal tersebut, meskipun hal tersebut melanggar hukum. Hal
ini dapat diterima karena pemerintah tidak mampu melindungi setiap warga
negara dari serangan mendadak.
b. Melakukan pembelaan terpaksa dalam rangka mempertahankan diri sendiri
atau orang lain
Dalam Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sudah membatasi kepentingan-kepentingan yang dapat dibela
dalam rangka pembelaan terpaksa. Kepentingan kepentingan tersebut
adalah diri sendiri atau orang lain (lijf), kehormatan kesusilaan
(eerbaarheid), dan harta benda (goed) sendiri atau orang lain. mencakup
nyawa (hidup) dan badan manusia. Serangan terhadap nyawa (hidup)
adalah serangan untuk merampas nyawa (pembunuhan), sedangkan
serangan terhadap badan, adalah misalnya serangan dengan tujuan untuk
menganiaya. Tentang kehormatan kesusilaan (eerbaarheid), yang dimaksud
dengan “eerbaarheid” adalah integritas badan (awak) manusia dalam hal
seksual misalnya yaitu serangan dengan tujuan untuk memperkosa seorang
wanita, sedangkan tentang harta benda “goed” yaitu serangan dengan
dimaksudkan merampas harta benda diri sendiri maupun orang lain.
c. Harus ada serangan yang dilakukan secara seketika,
yang mengancam secara langsung dan melawan hak seseorang.
Menurut unsur ini pembelaan diri dapat dilakukan terhadap suatu serangan
atau terhadap suatu ancaman serangan. Mengenai pengertian “serangan
seketika” (ogenblikkelijk aanranding) diberikan penjelasan oleh Van Hamel
bahwa pembelaan terpaksa itu dapat dilakukan terhadap serangan yang
seketika itu dalam hal serangan dimaksud telah dimulai dan selama
berlangsungnya serangan itu, maka seseorang dibenarkan untuk melakukan
noodweer. Namun, jika serangan tersebut selesai maka noodweer exces itu
tidak dapat dilakukan lagi. Banyak pertimbangan bahwa seseorang yang
melakukan pembelaan terpaksa ini harus adanya syarat serangan yang
bersifat seketika, dengan adanya kata seketika maka seseorang yang
mendapat serangan tersebut tidak dapat lagi meminta pertolongan baik
kepada aparat penegak hukum (polisi) maupun kepada orang sekitarnya
sehingga orang yang mendapat serangan secara seketika itu dibenarkan
untuk menghalau serangan tersebut walaupun dengan sifat melawan hukum
sekalipun

Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Terdakwa yang dituduhkan


melakukan penganiayaan dengan sengaja melakukan perbuatannya, harus dibuktikan
lebih dahulu dengan pebuatan materiil yang dilakukannya. Setelah melihat fakta di
persidangan, terungkap bahwa peristiwa tersebut dilakukan hanya satu pihak
Terdakwa yang terlibat adu mulut hingga menyebabkan korban, Maghfiroh
mengalami sejumlah lebam di perut dan di pipi. Selanjutnya, Majelis Hakim juga
mencermati seluruh keterangan saksi-saksi, baik para saksi yang memberatkan (a
charge) maupun para saksi yang meringankan (a de charge). Berdasarkan uraian fakta
hukum tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan Terdakwa atas nama
Kholifah dengan memukul korban maghfiroh di bagian pipi dan perut yang mana
menyebabkan luka pada diri korban, dengan demikian Majelis menilai unsur dari
“Melakukan Penganiayaan” telah terpenuhi.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, penulis beranggapan bahwa benar bahwa
Terdakwa melakukan Tindak Pidana Penganiayaan, namun sepakat dengan Majelis
Hakim jika perbuatan tersebut tidak dapat dipidana dikarenakan didahului oleh
adanya perbuatan melawan hukum sebelumnya. Oleh karena itu sudah sepatutnya
apabila Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan sebagaimana dalam Pasal 191 ayat
(2) KUHAP atas dakwaan Tindak Pidana Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351
ayat (1) KUHP, dikarenakan perbuatan yang dilakukan Terdakwa merupakan
tindakan yang dibenarkan atau dilepaskan karena alasan pembenar yakni pembelaan
(Noodweer) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP.

KESIMPULAN

Penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri


Donggala terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP sudah
tepat dalam menentukan putusan pembebasan dalam perkara Tindak Pidana
Penganiayaan, berdasarkan uraian tersebut. hasil penelitian dan pembahasan
penelitian dalam keputusan NO: 32/PID.B/2021/PN DGL. Mengingat dasar pemikiran
Pasal 49 KUHP, khususnya tentang pembelaan, maka Majelis Hakim telah
membebaskan Khofifah alias iffah dari segala tuntutan pidana yang diajukan terhadap
dirinya (Noodweer). Meskipun berdasarkan prinsip yang tercantum dalam pasal 351
KUHP penganiayaan yang dilakukan oleh khofifah sudah memenuhi unsur unsur
penganiayaan, akan tetapi berdasarkan peryimbangan hakim dan kebijaksanaanya
dalam sidang di pengadilan menyatakan apa yang dilakukan oleh Khofifah merupakan
pembelaan terpaksa untuk mempertahankan diri khususnya kandungan yang berusia 7
bulan. Sehingga atas pertimbangan itu khofifah sebagai terdakwa terbebas dari hukum
pidana akibat penganiayaan.

SARAN

Perlindungan yang dilakukan oleh individu Ketika diancam oleh pihak luar
yang mengancam keselamatan dirinya telah diatur dalam KUHPidana dengan Istilah
Noodweer Excess. Sehingga saran yang bisa penulis berikan berkaitan dengan karil
ini yaitu Masyarakat harus sdadar hukum jangan ampai mau dibodohi berkaitan
dengan sesuatu yang seakan akan benar padahal dalam hal penerapanya jelas-jelas
salah.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Jimly Asshiddiqie, 2014, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstutusi Press
(konpres).

Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)

Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum (edisi revisi). Jakarta: Prenada Media
Group

Ridlwan, Z. (2014). Negara Hukum Indonesia Kebalikan Nachtwachterstaat. Jurnal


Ilmu Hukum.

Ruslan, A. (2015). Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang


Undangan di Indonesia. Yogyakarta: Rangka Education.

Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. (Jakarta:


Kencana Prenada Media Group,

Syaruddin Nawi, 2013, Penelitian Hukum Normatif versus Empiris, PT Umi Toha
Ukhuwa Grafika, Makassa
Witanto, D. Y., & Dkk. (2013). Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantif dalam Perkaraperkara Pidana. Bandung: Alfabeta

JURNAL

Asmak UI Hosnah, dkk (2020). The Implementation of Noodweer Exceedsto


Perpetrators of Murder in the Practice of Criminal Justice Practices in
Indonesia. IJMMU. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Indonesia. Vol.7 (2)

Dewa Agung Ari Aprillya Devita Cahyani Anak Agung Sagung Laksmi Dewi dan I
Made Minggu Widyantara (2019). “Analisis Pembuktian Alasan Pembelaan
Terpaksa Yang Melampaui Batas Dalam Tindak Pidana Yang Menyebabkan
Kematian”. Jurnal Analogi Hukum, 1 (2)

Krisnha Gumelar (2021). Keguncangan Jiwa sebagai Alasan Penghapus Pidana:


DIlema antara Kepastian Hukum dan Keadilan. Jurnal Hukum dan SYari’ah
Kejaksaan Neeri Singaraja Bali, Vol. 1 (1)

Revani Engeli K. L. (2020). “Syarat Proporsionalitas dan Subsidaritas dalam


Pembelaan Terpaksa Menurut Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana”. Lex Crimen, Vol. IX, No. 2

Angelia Tumbihahu. 2021. “Kajian Pembelaan Terpaksa Dalam Kasus Pengadilan


Negeri ToluTolu” Lex Spesialis, Vol. IV. No.4

Anda mungkin juga menyukai