Anda di halaman 1dari 14

TUGAS RESUME POLITIK HUKUM PIDANA

Dosen Pengampu :

Dodik Prihatin AN, SH., M.Hum.

Disusun oleh :

Nila Tri Hartiningrum

190710101170

Politik Hukum Pidana B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2021
A. POLITIK HUKUM PIDANA, KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI SERTA
BEBERAPA PERKEMBANGAN ASAS DALAM RUU KUHP

Pembahasan tentang Politik Hukum pidana (criminal law politics) pada dasarnya
adalah aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan
tersebut. Sehingga, disini proses pengambilan keputusan (decision making proses) atau
pemilihan melalui seleksi di antara berbagai alternatif yang ada, mengenai apa yang menjadi
tujuan dari sistem hukum pidana mendatang. Dalam maksud pengambilan keputusan dan
pilihan tersebut, disusun pelbagai kebijakan (policies) yang berorientasi pada berbagai
permasalahan pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum,
kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan pelbagai alternaif sanksi yang baik yang
merupakan pidana (straf) maupun tindakan (maatregel).

Sepanjang mengenai perbandingan hukum, berbagai KUHP negara-negara modern


telah di kaji baik yang masuk kategori keluarga hukum Eropa Kontinental, Negara-negara
Anglo Saxon, Sosialis, Timur Tengah dan Timur Jauh, kecenderungan Internasional di amati
melalui berbagai konvensi Internasional, model-law, resolusi PBB, code of conduct, standar
minimum rules, deklarasi, priciple, rules, safeguards, basic principles, guidelines, model
treaty, hasil pelbagai kongres Internasional, hasil seminar asiosiasi hukum pidana,
kriminologi, viktimologi Internasioanl, jurnal-jurnal ilmiah dan hasil-hasil riset dari lembaga-
lembaga terkemuka. Sehingga jika disimpulkan sumber kebiajakan untuk proses
kriminalisasi dalam penyusunan RKUHP adalah;

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih berlaku;

2. Konsep BAS

3. UU lain diluar KUHP

 PEMBAHARUAN KUHP

Melakukan pembaharuan terhadap kodifikasi hukum pidana yang telah berumur 100
tahun lebih sama sekali tidak mudah. Nedherlandse Wetboek van Strafrecht lahir
berdasarkan UU tanggal 2 Maret 1881 Stb.35 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886
atas dasar UU Pengesahan (invoeringswet) tnaggal 15 April 1886 Stb.640. KUHP Belanda ini
mempengaruhi hukum pidana Indonesia secara mendasar melalui tiga jalur yaitu pertama
melalui asas konkordasi zaman Hindia Belanda, kedua melalui doktrin hukum yang
berkembang pada saat KUHP tersebut disusun (MvT) dan ketiga melalui Text Book hukum
pidana yang ditulis oleh para sarjana hukum Belanda serta melalui kajian yurispudensi. Di
samping itu tak dapat dikesampingkan perkembangan akibat harmonisasi dengan
perkembangan Internasioanl. Catatan : Di Era reformasi ―criminal law reform‖ mendapat
misi baru yaitu melakukan demokratisasi hukum pidana seperti promosi dan perlindungan
HAM dan sebagainya1.

Untuk dapat memahami hukum pidana yang berlaku disuatu bangsa (hukum positif)
termasuk ―ius constituendum‖ hukum pidana Indoneia berupa RUU KUHP Indonesia, secara
strategis perlu di pahami aliran hukum pidana yang dianut dan tujuan pemidanaan yang
diadopsi.

1. Aliran pertama yang lahir sebagai reaksi terhada[ adanya ―ancien regim)

2. Aliran Modern/ aliran positivisme

3. Aliran Neo-Klasik.

Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, perumusan empat tujuan
pemidanaan dalam RUU KUHP tersimpul pandangan mengenai perlindungan masyarakat
(social defence), pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pandangan ini
dipertegas lagi dengan mencantumkan tentang pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat yang mengerucut pada dua kepentingan, yakni
perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku2

 KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI

Makna asli dari kriminalisasi (criminalization) adalah proses untuk menjadikan


suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Sedangkan
Dekriminalisasi adalah sebaliknya yakni proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang
semula merupakan tindak pidana menjadi bukan merupakan tindak pidna. Dalam
perkembangan selanjutnya kriminalisasai dapat diartikan pula sebagai mengaktualisasikan
peraturan hukum pidana agar supaya lebih efektif. Contohnya adalah apabila delik
lingkungan pada masa lalu dapat dianggap sebagai ―ultimum remedium‖ tetapi tuntutan

1
Prof. DR. Muladi S.H, dkk. ―Bahan Pengantar Diskusi Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal
Dalam RUU KUHP‖ (Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 28 September 2006), 72.
2
Noveria Devy Irmawanti dan Barda Nawawi Arief, ―Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan
Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana,‖ Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia 3, no. 2 (2021): 224.
internasional menghendaki agar fungsi hukum pidana dalam ―echo-crime‖ menjadi ―primum
remedium‖.

Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai usaha untuk memperluas berlakunya


hukum pidana. Sebagai contoh diaturnya ―corporate criminal liability‖ yang bersifat umum
dalam RUU KUHP seperti Pasal 51 KUHP Belanda saat ini. Mengenai ukuran kriminalisasi dan
dekriminalisasi secara doctrinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:

a. Kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan ―overcriminalization‖ yang masuk


kategori ―the misuse of criminal sanction‖
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing), bisa actual bisa pula
potensial.
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum
remedium;
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang ―enforceable‖
f. Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support);
g. Kriminalisasi harus mengandung unsur ―subsosialiteit‖ (mengakibatkan bahaya bagi
masyarakat, sekalipun lecil sekali);
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi
kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk
mengekang kebebasan itu;
Sepanjang mengangkut dekriminalisasi, di samping pedoman kriminalisasi tersebut
yang secara terbalik bisa dimanfaatkan, kiranya perlu diingat bahwa Pasal V UU No.1 Tahun
1946 yang memberlakukan WvS ke seluruh wilayah Indonesia juga memberikan ukuran
sebagai berikut: ―V. Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak
dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau
tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak
berlaku‖.

B. PENGGOLONGAN DELIK

Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan disusun di dalam Buku II
KUHP dan pelanggaran disusun di dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya
memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti
yang jelas. Oleh karena itu, sederhana sekali bahwa berbagai macam delik, khususnya yang
terdapat di dalam KUHP, dapat digolongkan ke dalam dua kategori, pertama adalah delik
kejahatan dan kedua adalah delik pelanggaran. Berikut dijelaskan mengenai perbedaan
antara Kejahatan dengan Pelanggaran.

 Kejahatan

Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negara Belanda membuat


ukuran kejahatan atas dasar teoritis bahwa kejahatan adalah ―rechtdelicten‖. Ilmu
Pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa rechtdelicten merupakan perbuatan dalam
keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan disamping itu
juga sebagai perbuatan tidak adil menurut undang-undang. Kejahatan adalah ―crimineel-
onrecht‖, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum. Ada juga
yang memberikan pendapat lain bahwa arti crimineel-onrecht sebagai perbuatan
bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan
oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum.

 Pelanggaran

Bahwa penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negara Belanda membuat


ukuran kejahatan atas dasar teoritis bahwa pelanggaran adalah ―wetsdelicten‖. Ilmu
Pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa wetdelicten merupakan perbuatan yang
menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru
dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.

Pelanggaran adalah ―politie-onrecht‖, yaitu merupakan perbuatan yang tidak


mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Politie-onrecht ini
menitikberatkan sebagai perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh peraturan penguasa
atau negara.

Sebagai kesimpulan, Bambang Poernomo menjelaskan, bahwa perbedaan antara


kejahatan dan pelanggaran dikarenakan sifat dan hakikatnya, seperti ukuran perbedaan
yang telah diuraikan terdahulu, akan tetapi adapula perbedaan kejahatan dan pelanggaran
didasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat
dibandingkan dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara
kualitatif dan kuantitatif3.

3
―Penggolongan Delik,‖ diakses 6 Desember 2021,
https://www.hukumindo.com/2019/07/penggolongan-delik.html.
C. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Kata "kebijakan" diambil dari istilah "policy" dalam Bahasa Inggris atau "politick"
dalam bahasa Belanda. Dengan demikian, maka istilah "kebijakan hukum pidana" bisa
diartikan pula dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam kepustakaan asing, istilah
"politik hukum pidana" ini juga dikenal dengan berbagai istilah yang lain, diantaranya adalah
"penal policy", "criminal law policy‖ atau "strafrechtspolitiek‖.4

Membicarakan masalah politik hukum pidana, maka akan terkait dengan politik
hukum dan politik kriminal. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum.
Mahfud menjelaskan sebagaimana yang dikutip Teguh P. dan Abdul H.B., bahwa hukum
merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variable
terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable berpengaruh). Dengan
asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai :

―Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi
hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan
dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-
pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang
sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan
oleh politik baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya maupun dalam
implementasi dan penegakannya‖

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan Penal


Policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya dilakukan
melalui beberapa tahap:
a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/ yudicial);
c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/ administratif).

Tahap kebijakan formulasi merupakan tahap awal dan sumber landasan dalam
proses kongkritisasi bagi penegakan hukum pidana selanjutnya, yaitu tahap aplikasi dan
eksekusi. Adanya tahap formulasi menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan juga menjadi tugas dan kewajiban dari para pembuat hukum,

4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Kencana Prenada Media
Grup, 2002), 22.
bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum. Apalagi tahap formulasi ini merupakan
tahap yang paling strategis, karena adanya kesalahan pada tahap ini akan sangat
menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan pada tahap aplikasi dan eksekusi5.

D. POKOK-POKOK PEMIKIRAN PENAL REFORM

Pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara ad-hoc
(partial) tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik dalam bentuk rekodifikasi
yang mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana yaitu;

1. Perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act),

2. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) baik dari pelaku berupa


manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan

3. Pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.

 POKOK PEMIKIRAN TENTANG “TINDAK PIDANA”

Pengertian dan sifat tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan
hukum, baik secara formal maupun secara materiel. Tindak pidana ialah perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundangundangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Dengan menegaskan bahwa setiap tindak pidana dianggap selalu bertentangan dengan
hukum, maka sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak dari tindak pidana. Artinya
walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan
hukum, namun delik itu harus selalu dianggap bersifat melawan hukum. Jadi rumusan
ukuran obyek untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Ukuran
formal/obyektif itu masih harus diuji secara materiel pada diri si pelaku, apakah ada alasan
pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul-betul bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyat.

Selanjutnya tidak lagi dibedakan kualifikasi tindak pidana berupa ―kejahatan dan
pelanggaran‖, Kebijakan ini didasarkan pada resolusi Seminar Hukum Nasional 1 tahun 1963
dan hasil Lokakarya Buku II KUHP tahun 1985. Di dalam resolusi butir VI bidang hukum

5
Rizka Andi Fitriono, ―Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Melindungi Transaksi E - Commerce
Di Indonesia,‖ Jurnal Law Reform 7, no. 1 (1 Oktober 2011): 85–86.
pidana diserukan agar di dalam bagian khusus KUHP tidak lagi diadakan penggolongan
dalam dua macam delik, kejahatan dan pelanggaran.

 POKOK PEMIKIRAN TENTANG “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA”

Mengenai pertanggungjawaban pidana, bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan


monodualistik, bahwa asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan pasangan dari asas
legalitas yang harus dirumuskan secara eksplisit oleh UU. Secara eksplisit asas tiada pidana
tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), yang di dalam KUHP tidak ada. Dengan adanya
asas ini, maka seseorang tidak boleh dipidana, kecuali apabila ia terbukti bersalah telah
melakukan tindak pidana, baik secara melakukan perbuatan (aktif) maupun tidak melakukan
(pasif) yang diancam dengan pidana dalam Undang-Undang. Seseorang dikatakan bersalah
melakukan perbuatan pidana, jika ia melakukannya dengan sengaja (dolus) atau karena
alpa (culpa) dengan segala jenisnya. Jadi rumusan yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban pidana yang berdasarkan
kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus). Dapat
dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara
tegas oleh undang-undang, sedang pertanggungjawaban terhadap akibat tertentu dari
suatu tindakpidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya
dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya tidak dapat menduga kemungkinan
terjadinya akibat itu apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Jadi tidak menganut doktrin
menanggung akibat secara murni, namun tetap diorientasikan pada asas kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana merupakan substansi yang sangat penting beriringan


dengan masalah pengaturan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana adalah
implementasi ide keseimbangan, antara lain sebagai berikut: Adanya asas tiada pidana
tanpa kesalahan (asas culpabilitas/asas geen straf zonder schuld) yang merupakan asas
kemanusiaan sebagai pasangan dari asas legalitas (principle of legality) yang merupakan
asas kemasyarakatan.

 POKOK PEMIKIRAN TENTANG “PIDANA DAN PEMIDANAAN”

Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan ini, perlu dirumusan terlebih dahulu
mengenai tujuan pemidanaan (the aims of punishment). Dasar dirumuskannya tujuan
pemidanaan tersebut bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Pengidentifikasian tujuan pemidanaan tersebut
bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu ―perlindungan masyarakat‖ termasuk
korbankejahatan dan ―perlindungan/ pembinaan individu pelaku tindak pidana‖.

Bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka syarat dan hakikat
pemidanaan juga bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, antara
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu; antara faktor objektif dan faktor
subjektif. Oleh karena itu syarat pemidanaan juga bertolak dari dua pilar yang sangat
fundamental di dalam hukum pidana, yaitu ―asas legalitas‖ (yang merupakan asas
kemasyarakatan) dan ―asas kesalahan/asas culpabilitas‖ (yang merupakan ―asas
kemanusiaan‖). Dengan perkataan lain, pokok pemikiran mengenai pemidanaan
berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana seperti telah dikemukakan di atas.6

E. PERLINDUNGAN HAM DALAM PENAL REFORM

Apa yang dilakaukan adalah suatu re-kodifikasi KUHP Hindia Belanda (terjemahan
Indonesia) yang berlaku di Indonesia sejak Tahun 1915. Rancangan berusaha untuk
menegaskan kembali asas-asas utama dan aturan-aturan umum hukum pidana Indonesia.
Diusahakan pula untuk merumuskan sebanyak mungklin tindak piodana yang dianggap
penting oleh Tim dalam pembangunan hukum di suatau masyarakat yang berkembang ke
arah Industrialisasi. Aturan-aturan yang dianggap ―kuna‖ ELSAM (Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat) 67 Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP
(terutama dalam Buku Ketiga, yang digabung ke dalam Buku Kedua) dihapus kan atau
dirumuskan kembali, dan aturan-aturan baru yang nerkaitan dengan masyarakat modern
ditambahkan (misalnya mencampuri urusan pribadi dengan alat teknolofgi modern‖-pasal
263; menimbulkan suasasna teroro‖-pasal 302; ―genocida‖-pasal 304: ―pencemnaran
lingkungan ―-pasal 329; ―dengan cara curang (deceit;fraud) menimbulkan kerugian orang
lain‖-pasal 546; ―money laundering‖-pasal 641; ―penyanderaan (politik dan ekonomi)‖-pasal
465; dan ―perlakuan tidak manusiawi (torture and inhuman tretment) terhadap tahanan—
pasal 472; dan lain-lain.7

Rancangan juga telah memperhatikan perlindungan terhadap HAM. Beberapa prinsip


yang terkandung dalam penyususnan Rancangan adalah antara lain :

6
―Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
( KUHP )‖ (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesi, 2019), 30–35.
7
Prof. DR. Muladi S.H, dkk. ―Bahan Pengantar Diskusi Beberapa tulisan terkait kebijakan kriminal
dalam RUU KUHP,‖ 67.
(a) Bahwa hukum pidana juga dapat dipergunakan untuk menegsakan (atau
menegaskan kembali) nilai-nilai sosial yang mendasar (basic social values) bagi
pembentukan perilaku hidup bersama;

(b) Bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya digunakan dalam keadaan dimana
cara lain melakukan pengendalian sosial (social control) tidak dapat efektif (asas ultimum-
remedium dan asas subsidiaritas);

(c) Dalam menggunakan hukum pidana sesuai kedua aturan (a) dan (b) di atas,
harus di usahakan agar caranya seminimal mungkin menggangu hak dan kebeebsan
individu (tanpa mengurangi perlindungan terhadap[ kepentingan koletifitas dalam
masyarakat demokratik yang modern).

F. PEMIDANAAN DALAM RKUHP


Dalam RKUHP terdapat pasal tentang pedoman pemidanaan hakim dalam
menjatuhkan pidana yaitu pada Pasal 53. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya disparitas
dalam penjatuhan pidana oleh hakim. Karena modern ini banyak sekali disparitas atau
perbedaan dalam penjatuhan pidana, seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh eks menteri
hanya dijatuhi pidana 11 tahun penjara, sedangkan bupati Bintan yang sama-sama
melakukan korupsi dituntut penjara seumur hidup.
Dalam Pasal 64 RKUHP pidana sendiri terdiri atas;

a. pidana pokok;

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang.

Untuk pidana mati dalam RKUHP sudah dihapuskan dari pidana pokok dan menjadi suatu
pidana alternatif. (Pasal 67 RKUHP)

Pasal 65 Pidana Pokok terdiri dari;

a. pidana penjara: penjelasan lebih lanjut terdapat pada Pasal 68

b. pidana tutupan : penjelasan lebih lanjut pada Pasal 74

c. pidana pengawasan: penjelasan lebih lanjut pada Pasal 75


d. pidana denda: penjelasan lebih lanjut pada Pasal 71, kategori Pidana denda terdapat
pada Pasal 79

e. pidana kerja sosial : penjelasan lebih lanjut pada Pasal 85

Pasal 66 Pidana Tambahan terdiri dari; (Pidana tambahan dapat dijatukan lebih dari 1
jenis)

a. pencabutan hak tertentu; penjelasan lebih lanjut pada Pasal 86 (jika dijatuhi pidana
mati/ seumur hidup, pencabutan hak dilakukan selamanya, jika pidana penjara, tutupan
atau pengawasan, encabutan hak minim 2 tahun dan paling lama 5 tahun)

b. perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan; penjelasan lebih lanjut pada Pasal 91

c. pengumuman putusan hakim; penjelasan lebih lanjut pada Pasal 93

d. pembayaran ganti rugi; penjelasan lebih lanjut pada Pasal 94

e. pencabutan izin tertentu; penjelasan lebih lanjut pada Pasal 95

f. pemenuhan kewajiban adat setempat ; penjelasan lebih lanjut pada Pasal 96

proses pengesahan RKUHP pada tahun 2019 menuai banyak pro dan kontra dari
masyarakat, dikarenakan terdapat beberapa Pasal yang menimbulkan kontroversi. Dalam
RKUHP lebih menekankan penjatuhan pidana menggunakan restorative justice yang mana
tidak hanya fokus pada pembalasan perbuatan pelaku tindak pidana akan tetapi juga
mempertimbangkan tujuan dan manfaat pemidanaan tersebut, sesuai dengan Pasal 51 dan
52 RUHP tentang Tujuan Pemidanaan. Untuk penjatuhan pidana mati sendiri dalam Pasal
98 RKUHP menyatakan bahwa ―Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya
terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat‖.

G. URGENSI PEMBAHARUAN SISTEM PEMIDAAN

RUU KUHP merupakan wujud dari adanya pembaharuan hukum pidana di Indonesia
yang telah dimulai sejak tahun 1964. Pembaharuan dilakukan karena adanya alasan
filosofis, politis, sosiologis, dan praktis. Secara filosofis, KUHP yang disusun oleh pemerintah
kolonial Belanda perlu diganti karena landasan filosofinya yang berbeda. Secara sosiologis,
banyak pasal di KUHP yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Serta adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat berbagai pengaturan
tindak pidana di dalam KUHP tidak memadai dan ketinggalan oleh zaman.

RUU KUHP bertujuan melakukan penataan ulang bangunan sistem hukum pidana
nasional. Hal ini tentunya berbeda dengan pembuatan atau penyusunan RUU biasa yang
sering dibuat selama ini. Perbedaannya dapat diidentifikasi sebagai penyusunan RUU biasa
dan penyusunan RUU KUHP. Penyusunan RUU biasa bersifat parsial atau fragmenter yang
pada umumnya hanya mengatur delik khusus/tertentu, masih terikat pada sistem induk
WvS, hanya merupakan ―subsistem‖, tidak membangun atau merekonstruksi ―sistem hukum
pidana‖. Sedangkan penyusunan RUU KUHP bersifat menyeluruh/integral, mencakup semua
aspek, menyusun/menata ulang (rekonstruksi/reformulasi) ―rancang bangun sistem hukum
pidana nasional dan terpadu‖ (Arief, 2017).

Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya


untuk melakukan reorientasi dan reformasi Hukum Pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sentralsosio-politik, sosio filosofik dan sosio cultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia (Arief,
2016).Berkenaan dengan hal ini Barda Nawawi Arief menyatakan: Salah satu kajian
alternative/perbandingan yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide Pembaharuan
Hukum Nasional saat ini ialah kajian terhadap Keluarga Hukum (Family Law) yang lebih
dekat dengan karakter masyarakat dan sumber hukum di Indonesia. Karakteristik
masyarakat Indonesia lebih bersifat monodualistik dan pluralistik dan berdasarkan berbagai
kesimpulan seminar Nasional, sumber Hukum Nasional diharapkan berorientasi pada nilai-
nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu yang bersumber dari nilai-nilai Hukum adat
dan Hukum Agama.

Pembaharuan Hukum Pidana pada dasarnya adalah bagian dari Kebijakan Hukum
Pidana. Istilah kebijakan dalam istilah asingnya ―Policy‖ (Inggris) atau ―Politiek‖ (Belanda).
Bertolak dari kedua istilah asing ini maka istilah Kebijakan Hukum Pidana dapat pula disebut
dengan istilah Politik Hukum Pidana atau ―Penal Policy‖, ―Criminal Law Policy‖,
―Strafrechtspolitiek‖.

Pembaharuan Hukum Pidana dalam arti memperbaharui secara menyeluruh dan


bukan secara parsial meliputi Substansi hukum (Legal Substance), Struktur hukum (Legal
Structure) dan Budaya hukum (Legal Culture). Kebijakan formulasi/kebijakan legislatif dapat
diartikan sebagai kebijakan merumuskan Hukum Positif agar lebih baik dan juga untuk
memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang- undang tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan demikian sering disebut dengan ―penal policy‖
yang merupakan bagian dari ―Modern Criminal Science‖ di samping ―Criminology‖ dan
―Criminal law―.

Pembaharuan dalam bidang substansif hukum ini diartikan sebagai upaya melakukan
reformasi dan revaluasi masalah pokok dalam hukum pidana yaitu masalah menentukan dan
menetapkan perbuatan yang dilarang/tindak pidana masalah pertanggungjawaban pidana
atau kesalahan dan masalah pidana dan pemidanaan8.

8
Noveria Devy Irmawanti dan Barda Nawawi Arief, ―Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan
Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana,‖ Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia 3, no. 2 (2021): 219.
DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Kencana Prenada
Media Grup, 2002.
dkk, Prof. DR. Muladi, S.H. ―Bahan Pengantar Diskusi Beberapa tulisan terkait kebijakan
kriminal dalam RUU KUHP.‖ Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 28
September 2006.
―Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( KUHP ).‖ Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesi, 2019.
Fitriono, Rizka Andi. ―Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Melindungi Transaksi E -
Commerce Di Indonesia.‖ Jurnal Law Reform 7, no. 1 (1 Oktober 2011): 76.
https://doi.org/10.14710/lr.v7i1.12479.
Irmawanti, Noveria Devy, dan Barda Nawawi Arief. ―Urgensi Tujuan Dan Pedoman
Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana.‖
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3, no. 2 (2021): 11.
―Penggolongan Delik.‖ Diakses 6 Desember 2021.
https://www.hukumindo.com/2019/07/penggolongan-delik.html.

Anda mungkin juga menyukai