Anda di halaman 1dari 7

TINDAK PIDANA TERTENTU DILUAR KUHP

Disusun :
Nama : Christiano K Unmehopa
Nim : 201821600 (V.A)

UNIVERSITAS PATTIMURA
FAKULTAS HUKUM
2021
KUHP merupakan bentuk aturan hukum pidana yang dihimpun dalam satu dokumen atau buku sebagai
suatu kesatuan atau yang dinamakan sebagai kodifikasi. Didalamnya terdapat berbagai jenis tindak
pidana, seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, penganiayaan, pemalsuan dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, KUHP merupakan himpunan dari berbagai tindak pidana yang disusun
secara sistematis dalam satu dokumen. Dengan memahami KUHP sebagai suatu kodifikasi atau himpunan
tindak pidana, maka dari sini dapat disimpulkan tujuan adanya kodifikasi tersebut adalah untuk
mempermudah penegak hukum mau pun masyarakat luas menemukan macam-macam tindak pidana
karena sudah terhimpun dalam satu buku.
Selain himpunan peraturan, KUHP juga berisikan asas-asas hukum pidana yang mengatur batasan-
batasan dari penerapan pasal-pasal dari tindak pidana tersebut. Asas yang dimaksud bukan merupakan
hukum acara pidana yang mengatur tata cara penegak hukum menjalankan peradilan pidana yang diatur
dalam peraturan sendiri. Asas-asas hukum pidana ini terdapat dalam buku I KUHP yang mengikat
penerapan pasal-pasal tindak pidana yang tercantum dalam Buku II dan Buku III KUHP dan yang diatur
diluar KUHP sepanjang tidak ditentukan lain (Pasal 103 KUHP).
Semenjak Indonesia merdeka, hukum pidana positif ternyata tidak hanya yang tersedia dalam KUHP atau
hukum pidana yang terkodifikasi. Setidaknya ada 3 jenis hukum pidana tertulis diluar KUHP, yakni : (1)
undang-undang yang merubah/menambah KUHP, (2) undang-undang pidana khusus; dan (3) aturan
hukum pidana dalam undang-undang yang bukan mengatur hukum pidana. Undang-undang pidana
khusus yang murni mengatur tindak pidana diluar KUHP (generic crime) misalnya seperti tindak pidana
ekonomi, tindak pidana subversif, tindak pidana terorisme, tindak pidana Hak Asasi Manusia, tindak
pidana narkotika, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan lain sebagainya. Sementara,
aturan hukum pidana dalam undang-undang bukan hukum pidana sering juga disebut sebagai tindak
pidana administrasi (administratif penal law), seperti tindak pidana dibidang perbankan, tindak pidana
pajak, tindak pidana dibidang konstruksi dan sebagainya.
Perkembangan hukum pidana diluar KUHP tersebut menjadi salah satu persoalan yang mengemuka
dalam revisi KUHP. Beberapa pengaturan hukum pidana diluar KUHP dianggap jauh menyimpangi
KUHP dan memunculkan ‘dualisme hukum pidana’ nasional. Dalam naskah akademik RKUHP
disebutkan beberapa masalah undang-undang pidana dilauar KUHP, yakni:

1. banyak perundang-undangan khusus tidak menyebutkan/ menentukan kualifikasi tindak


pidana sebagai ”kejahatan” atau ”pelanggaran”;
2. Mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, tetapi tidak disertai dengan aturan
pemidanaan/penerapannya.
3. Subjek tindak pidana ada yang diperluas pada korporasi, tetapi ada yang tidak disertai dengan
ketentuan ”pertanggungjawaban pidana korporasi.
4. Pemufakatan jahat dipidana sama dengan tindak pidananya, namun tidak ada ketentuan yang
memberikan pengertian/batasan/syarat-syarat kapan dikatakan ada ”pemufakatan jahat”
seperti halnya dalam KUHP (Pasal 88).

Dalam naskah RKHUP terdapat beberapa undang-undang diluar KUHP dan undang-undang tindak pidana
khusus masuk menjadi bagian Buku II KUHP. Kekeliruan perumusan undang-undang pidana diluar
KUHP dan undang-undang pidana khusus tersebut kemudian menjadi landasan perumus untuk melakukan
sinkronisasi, dengan memasukkannya kedalam RKUHP dengan segala konsekuensi yuridis dari sistem
kodifikasi.
Pada dasarnya, sangat tidak mungkin memasukkan semua aturan pidana diluar KUHP karena jumlahnnya
yang begitu banyak. Namun, hampir seluruh undang-undang tindak pidana khusus masuk menjadi
bahagian dalam KUHP. Perumus melupakan bahwa eksistensi undang-undang pidana diluar KUHP juga
disebabkan oleh kekhususan yang dimiliki masing-masing peraturan yang menyimpangi ketentuan asas-
asas hukum pidana dalam KUHP. Pertanyaannya kemudian, apakah mengkodifikasi undang-undang
pidana khusus yang sudah berkembang diluar KUHP harus menjadi pilihan utama atas permasalahan
tersebut? Mengingat kesalahan yang muncul cenderung terjadi pada wilayah praktik perumusan, bukan
pada konsep penyimpangan itu sendiri yang memang berdasarkan ilmu pengetahuan hukum merupakan
suatu keniscayaan.

Hukum pidana khusus

Dalam konteks akademik, memang sebaiknya hukum pidana memiliki kesatuan asas yang dapat
dipraktikkan kepada seluruh aturan hukum pidana. Namun ternyata dalam perkembangan, harus ada
aturan khusus yang kemudian menyimpangi atau menegecualikan asas-asas hukum pidana umum karena
kebutuhannya yang mengharuskannya demikian. Namun penyimpangan tersebut tetap harus didasari oleh
landasan atau pertimbangan yang cukup, tidak semata-mata hanya berdasarkan kehendak pembentuk
undang-undang saja.
Bambang Poernomo dalam bukunya yang berjudul Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi
Hukum Pidana menjelaskan, fenomena kemunculan beberapa peraturan hukum pidana diluar hukum
pidana kodifikasi (KUHP) di Indonesia tersebut. Walaupun tidak menjelaskan mengenai konstruksi
teoritik atau bahkan filosofis dari konsep hukum penyimpangan, namun setidaknya titik pijaknya berawal
dari adanya perobahan sosial dalam masyarakat. Hukum penyimpangan menurutnya diartikan sebagai
paradigma yang mengorientasikan hukum pidana sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, yang
dalam kepustakaan ilmu pengetahuan dikenal sebagai “hukum eksepsional”.
Penyimpangan yang dimaksud disini adalah terkait dengan norma dalam buku I KUHP tentang asas-asas
penerapan pasal-pasal tindak pidana. Dalam padanan lain, disebut menyimpangi hukum pidana materil
yang merupakan salah satu ciri dari hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus mempunyai ciri
mengatur hukum pidana material dan formal yang berada diluar hukum kodifikasi, dengan memuat
norma, sanksi, dan asas hukum yang disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap
hukum pidana yang mengandung, peraturan dari anasir-anasir kejahatan yang konvensional”. Sementara
menurut Utrecht dan Pompe, kebutuhan terhadap hukum pidana khusus untuk mengatur beberapa subyek
hukum dan/ atau perbuatan pidana khusus, dan oleh sebab itu memuat ketentuan dan asas yang
menyimpang dari peraturan hukum pidana umum. Misalnya hukum pidana militer, hukum pidana fiskal,
hukum pidana ekonomi dan hukum pidana politik. Dari pandangan tersebut maka jelas suatu
penyimpangan tertentu terhadap materi formal dan materil dalam hukum pidana khusus membuatnya
berada diluar KUHP.
Sejarah mencatat sistem kodifikasi mulai dilakukan pada abad ke XVI-XIX di Eropa dan Amerika latin
yang pada dasarnya agar hukum itu sederhana, tersusun secara rapi, serasi dan logis, serta mempunyai
sifat tertentu dan pasti. Selain itu juga untuk menggantikan keadaan hukum yang berbeda-beda dari
berbagai propinsi atau wilayah, dengan membentuk satu sistem hukum yang bersifat kesatuan dan
nasional seperi politik hukum di Jerman tahun 1907. Khusus untuk politik kodifikasi hukum di Indonesia
pada masa kolonial yang bernama Hindia Belanda pada waktu itu adalah untuk dapat memberikan
kepastian hukum yang lebih besar kepada setiap kepemilikan harta dan setiap langkah usaha, dan
khususnya juga kepada setiap bentuk transaksi aktivitas ekonomi yang diharapkan dapat cepat
berkembang.
Kodifikasi bukanlah suatu hal yang tanpa cacat, karena pada dasarnya waktu terus berputar dan
menimbulkan suatu perkembangan pemikiran dalam masyarakat. Masalah-masalah baru bermunculan
yang tidak dapat diramalkan sebelumnya yang menimbulkan tumbuhnya filsafat baru dalam kehidupan
masyarakat. Beberapa sarjana yang mengkritik sistem kodifikasi (walaupun tidak untuk menghapuskan
kodifikasi) misalnya datang dari Von savigny dan Paul Scholten, yang mana pada intinya menyatakan
bahwa undang-undang tidaklah mungkin sempurna memuat ketentuan yang diharapkan karena kesukaran
teknis perumusan, pengaruh kepentingan yang bersifat politis pada penyusunan, dan mengabstrasikan
norma-norma yang sudah ada dalam hukum. Artinya, kodifikasi tidak menjawab persoalan kompleksitas
kejahatan yang muncul dalam masyarakat yang selalu berkembang. Tidak mungkin kejahatan yang baru
muncul kemudian dipaksa masuk dalam kodifikasi mengikuti asas yang ada didalamnya.
Namun demikian, adanya penyimpangan dalam hukum pidana khusus tidak juga bisa serampangan. Ia
harus memiliki landasan dan sejumlah persyaratan yang ketat. Dalam hal ini misalnya, Dr. Loebby
Loqman menyatakan bahwa pembentukan undang-undang pidana khusus haruslah mempunyai alasan
yang memadai dan haruslah masih dalam suatu rangkaian sistematis asas-asas umum yang berlaku dalam
hukum pidana umum. Ia kemudian menekankan bahwa, harus benar diperhatikan keseimbangan antara
tujuan yang hendak dicapai dari adanya penyimpangan-penyimpangan asas-asas hukum pidana umum
tersebut.
Adapun sejumlah kriteria dalam hal pembentukan hukum pidana khusus yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut: Pertama, penyimpangan boleh dilakukan karena bila dipergunakan asas yang lama justru
akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Kedua, untuk kepentingan kemudahan
pembuktian. Ketiga, jika dimasukkan dalam kodifikasi maka akan mengacaukan atau merusak sistem
kodifikasi tersebut. Keempat, suatu perbuatan dalam undang-undang tersebut untuk mengatur suatu
keadaan tertentu, yakni keadaan darurat dengan catatan, apabila kondisi darurat sudah dilalui hukum
pidana khusus seketika tidak dapat diberlakukan lagi. Ketatnya kriteria dalam merumuskan hukum pidana
khusus menandakan bahwa pada dasarnya hukum pidana yang utama tetaplah yang terkodifikasi.
Beberapa bentuk penyimpangan dalam hukum pidana khusus misalnya terdapat dalam sistem
“pertanggungjawaban pidana fiksi” dalam tindak pidana pers yang dapat dijatuhkan kepada redaktur,
padahal bukan ia yang senyatanya menulis berita yang melanggar hukum. Delik percobaan dalam tindak
pidana korupsi yang dianggap delik selesai, dan adanya kumulasi sanksi pidana pokok antara penjara dan
denda. Ketidakberlakuan asas berlaku surut (retroactive) dalam tindak pidana HAM berat dan
paradigma in rem (aset) dalam tindak pidana pencucian uang yang sama sekali berbeda dengan KUHP
yang mengedapkan tuntutan kepada subjek hukum (im personal).
korupsi merupakan salah satunya, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, Ada dua pandangan
sebenarnya mengenai hal ini. Ada yang beranggapan bahwa korupsi merupakan kejahatan biasa, namun
di negara ini sifatnya telah masif dan endemik maka butuh penanganan khusus. Ordinary crimes that need
extraordinary efforts to combat it. Kira-kira begitu bahasa inggrisnya. Sama halnya dengan ulat bulu
misalnya. Ulat bulu hanya serangga biasa yang menimbulkan gatal-gatal biasa, tapi jika tiba-tiba ulat bulu
menjadi mewabah seperti kejadian beberapa tahun yang lalu, maka butuh penanganan yang extra untuk
mengatasinya, tidak cukup hanya mengandalkan daun pisang yang dihangatkan misalnya, tapi ya harus
ada penanganan khusus atas ulat bulunya itu sendiri bukan semata gatal-gatal yang ditimbulkannya. Saya
merupakan penganut pandangan ini. Korupsi adalah kejahatan biasa yang endemik yang membutuhkan
penanganan yang ekstra.
Pandangan kedua menganggap korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa, extra ordinary
crimes. Pandangan ini mendasarkan pada UU KPK khususnya Penjelasan Umum UU 30 Tahun 2002
yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Perhatikan kutipan penjelasan umum UU
KPK dibawah ini:
1. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya.
2. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak
lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa.
Bandingkan misalnya dengan penjelasan Umum UU 20 Tahun 2001 dibawah ini:
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa . Dengan
demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain
penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Ketidakjelasan parameter

Masuknya beberapa undang-undang pidana diluar KUHP kedalam RKUHP tidak didasari dengan
parameter yang jelas, karena tidak semua undang-undang yang memiliki sanksi pidana dimasukkan.
Apakah yang masuk hanya tindak pidana yang bersifat mala in se (kejahatan yang secara natural
bertentangan dengan moral dan kepaturan) atau juga mala prohibita (kejahatan karena undang-undang)?
atau hanya terhadap undang-undang pidana yang dianggap menimbulkan kekacauan dalam sistem hukum
pidana karena pengaturannya tidak lengkap atau tidak mengikuti asas hukum pidana?
Sebagai contoh, terdapat beberapa tindak pidana yang bersifat administratif penal law yang masuk dalam
RKUHP seperti tindak pidana penerbangan dan pelayaran, namun tidak termasuk tindak pidana dalam
undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan. Kemudian dalam RKUHP dimasukkan tindak pidana
perasuransian, tindak pidana terhadap persaingan usaha tidak sehat, namun tidak memasukan tindak
pidana tentang perlindungan konsumen yang masih dalam lingkup yang sama.
Tindak pidana narkotika dan psikotropika yang dimasukkan dalam RKUHP tapi tidak memasukkan
beberapa aspek penjelasan yang berkaitan dengan pasal tersebut. Misalnya rumusan Pasal 507 RKUHP :
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,…”. Dalam RKUHP dan
Penjelasan tidak dimasukkan apa yang disebut dengan Golongan I tersebut yang merujuk kepada
Lampiran UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dimana disitu dijelaskan secara detail jenis-jenis
narkotika Golongan I tersebut. Maka, jika rumusan dalam RKUHP tidak mencantumkan lampiran
tersebut, maka untuk memahami pasal tindak pidana narkotika, harus melihat lagi lampiran dalam UU
No. 35 Tahun 2009. Dengan demikian tujuan kodifikasi untuk menyederhanakan atau memudahkan
dalam menemukan rumusan tindak pidana malah tidak tercapai.
Lalu bagaimana dengan tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme,
HAM. Dalam Naskah Akademis dijelaskan, bahwa KUHP nantinya akan menjadi sumber utama dan satu-
satunya sumber norma hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana
(asas-asas hukum pidana) dan memuat perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi
pidana) yang termasuk kategori kejahatan/independent crimes/generis crime. Dari sini dapat dipahami
bahwa, perumus hendak menghilangkan tindak pidana khusus yang sudah eksis diluar KUHP yang
memiliki sifat eksepsionalitas/pengecualian/ penyimpangan. Dimana, hal ini merupakan bagian dari
perkembangan hukum pidana yang tidak mungkin dihilangkan.

Menertibkan yang diluar, memperbaiki yang didalam

Memasukkan beberapa tindak pidana diluar KUHP dalam RKUHP, baik yang bersifat administratif penal
law atau tindak pidana khusus tanpa alasan dan paramater yang jelas akan menimbulkan kerumitan
tersendiri dalam pembahasan RKHUP. Kalaupun mau dimasukkan, harus dipilih mana tindak pidana
yang keberadaannya diluar KUHP tidak ada sifat kekhususan dan pengaturan yang terperinci mengenai
aspek-aspek administatif atau petunjuk dari pasal-pasal tindak pidananya. Hal ini sesuai dengan semangat
kodifikasi untuk menyederhanakan pasal-pasal tindak pidana yang bertebaran diluar kodifikasi tanpa
urgensi apapun.
Sistem kodifikasipun sebenarnya bukan hanya untuk tindak pidana dalam KUHP semata. Melainkan
berlaku juga untuk tindak pidana diluar KUHP, sepanjang tidak ditentukan lain. Artinya, walaupun
berada diluar KUHP, sebenarnya beberapa undang-undang pidana diluar KUHP (khususnya tindak pidana
administratif) adalah bagian dari kodifikasi KUHP. Jikapun banyak diantara undang-undang tersebut
yang menyalahi (bukan menyimpangi) kodifikasi dalam pengaturannya, maka dapat dilakukan revisi
terhadap undang-undang yang bersangkutan.
Lebih baik menertibkan aturan pidana yang diluar KUHP agar kembali merujuk kepada aturan kodifikasi
hukum pidana nasional. Termasuk terhadap aturan yang memiliki sejumlah kekhususan atau
penyimpangan agar mengikuti kriteria penyimpangan hukum yang dibolehkan. Hal ini penting agar
pembentuk undang-undang juga tidak sembarangan dalam menentukan hukum pidana khusus.
Mengingat kompleksnya permasalahan dalam RKUHP, lebih baik pemerintah dan DPR fokus pada
pembenahan tujuan-tujuan pemidanaan yang dinilai semakin jauh dari cita-cita reformasi. Dalam
menunjang masyarakat yang demokratis, seharusnya RKHUP lebih mengedepankan semangat
pemberdayaan, humanis dan anti-diskriminatif. Namun, faktanya perkembangan pengaturan sanksi
pidana di Indonesia pasca reformasi lebih ditujukan sebagai strategi kontrol sosial, yakni untuk
memastikan masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan yang telah diundangkan dan bukan untuk
menyelesaikan masalah kriminalitas. Beberapa ancaman sanksi pidana dalam RKUHP untuk tindak
pidana yang sama malah lebih berat ketimbang dalam KUHP. Hal ini menandakan RKHUP yang saat ini
diharapkan sebagai produk hukum nasional ternyata lebih represif dan eksesif ketimbang hukum pidana
kolonial.

Implikasi Diaturnya Tindak Pidana di Luar KUHP pada Hukum Acara Pidana dan Konsistensi dalam
Penerapannya Bagian ini akan membahas mengenai identifikasi kekhususan (hukum acara pidana) tindak
pidana di luar KUHP yang bersifat lex specialis. Peraturan yang berkaitan dengan hukum acara pada
undang-undang pidana khusus di luar KUHAP jumlahnya cukup banyak,karena keterbatasan media yang
ada maka tulisan ini tidak membahas semua tindak pidana di luar KUHP yang ada namun dipilih 2 (dua).
Sumber (utama) hukum acara pidana adalah KUHAP (UU No.8 tahun 1981). Kemudian menjadi lebih
luas akibat munculnya undangundang pidana khusus yang juga mengatur hukum acara pidana (secara
khusus). Sifat “kekhususan”dari hukum acara pidana tersebut dapat berupa “penambahan” dan atau
“perluasan” apa yang telah diatur dalam KUHAP baik mengenai subyek maupun obyeknya16. Menurut
hemat penulis inilah yang sering dikatakan sebagai aspek “penyimpangan”. Penyimpangan hukum acara
pidana dari induknya (KUHAP) mempunyai “ciri khas” terutama berkaitan dengan “identitas” masing-
masing undang-undang khusus tersebut. Ciri khas ini berkaitan dengan aspek perlindungan kepentingan
hukum (yang hendak dilindungi) oleh undang-undang (acara) pidana khusus tersebut, Sehingga undang-
undang pidana korupsi berciri lain dengan undangundang pidana terorisme, dan demikian pula apabila
dibandingkan dengan undang-undang khusus lainnya seperti, undang-undang perlindungan anak dan
seterusnya. Kedua undang-undang yang secara sengaja dipilih untuk mengetahui aspek kekhususannya
(hukum acara pidana) tersebut adalah UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dan UU No. 15
tahun 2003untuk lebih jelasnya sebagaimana terurai dalam Tabel I di bawah ini. Kesimpulan yang dapat
ditarik adalah bahwa undang-undang tindak pidana khusus yang berkaitan dengan hukum acara umumnya
menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Penyimpangan tersebut menurut hemat penulis
terkait dengan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang tindak pidana khusus tersebut.
Dengan demikian di pandang dari sudut kepentingan hukum yang hendak dilindungi, contoh atau sampel
undang-undang khusus sebagaimana terdapat pada tabel 1 di atas menegaskan bahwa pengaturan (hukum
acara pidana) dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (untuk beberapa hal) berbeda
dibandingkan dengan undang-undang pemberantasan terorisme. Sebagaimana telah terurai diatas bahwa
substansi hukum acara pidana khusus umumnya menyimpang dari KUHAP. Bentuk “penyimpangan”
dapat berupa pengaturan yang lebih mendetail, lebih terperinci, lebih memberi kelonggaran dan
sebagainya. Hal ini sebagai konsekuensi syarat keberadaan peraturan yang bersifat lex specialis (lihat
uraian kajian kepustakaan). Beberapa hal yang menyimpang seperti, mengenai batas waktu penangkapan
menurut KUHAP: 1 x 24 jam (Pasal 19 ayat (1)), sedangkan dalam UU pemberantasan terorisme: 7 x 24
jam (Pasal 26 ayat (2) UU No.15 tahun 2003). Terkadang diperlukan penafsiran terhadap pasal-pasal
(baik pada KUHAP maupun undang-undang pidana khusus) pada tahap implementasi. Tujuannya untuk
memperjelas pengertian agar terdapat kesamaan pandang/pengertian di antara aparat penegak hukum
sehingga menjamin kepastian hukum. Untuk itulah diterbitkan semacam SEMA, SEJAMPIDSUS,
SEJAMPIDUM, PERKAP dan suatu bentuk kerjasama (SKB) diantara aparat penegak hukum.
Berdasarkan penelusuran penulis17 bentuk “penjelasan” aturan dan atau kerjasama antar penegak hukum
tersebut teridentifikasi sebagai berikut: SEMA (surat edaran Mahkamah Agung) sebanyak: 44 buah, SK
MA sebanyak: 3 buah, SEJAMPIDSUS sebanyak: 21 buah, SEJAMPIDUM sebanyak: 26 buah, SEJA
(Surat Edaran Jaksa Agung) sebanyak: 8 buah, PERKAP (Peraturan Kepolisian Negara RI) sebanyak: 8
buah, dan 3 SKB (surat keputusan bersama) antara Ketua MA, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman,
Gubernur BI, dan Kapolri. Beragam surat edaran seperti SEJA, SE JAMPIDSUS, SE JAMPIDUM,
SEMA dan SKB meliputi berbagai “tema” pengaturan yang umumnya berupa penjelasan dan atau
instruksi internal di lingkungan instansi terkait seperti, instansi Kejaksaan, Mahkamah Agung dan
Kepolisian terutama berkaitan dengan tugas dan kewenangan. Beberapasurat edaran, surat keputusanyang
berkaitan dengan pelaksanaan lebih lanjut hukum acara pidana khusus antara lain sebagaimana terlibat
pada tabel 2. Bentuk lain dari pelaksanaan hukum acara pidana adalah kerjasama bersama (SKB) antara
lain seperti, SKB Ketua MA, Menteri Kehakiman, Kejagung, Kapolri tanggal 19 Juni1993 tentang
penanganan Perkara Lalu lintas Tertentu, SKB Kejaksaan Agung, Kapolri dan Gubernur BI tahun 2004,
tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perbankan, dan SKB Makehjapol: MA,
Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian tanggal 5 Februari 1998 tentang pemantapan, keterpaduan dalam
penanganan dan penyelesaian perkara-perkara pidana. Berbagai surat edaran dan bentuk kerja sama antar
aparat penegak hukum tersebut bermaksud melakukan harmonisasi dan atau penyelarasan peraturan
dengan aturan yang bersifat umum dan yang khusus. Dengan maksud agar terdapat satu pemahaman
dalam penafsiran peraturan hukum acara pidana di masing masing instansi penegak hukum. Hal yang
perlu diingat bahwa asas yang dianut KUHAP dalam pendistribusian kewenangan dalam proses
penegakan hukum adalah deferensial fungsional18 artinya adanya pemisahan fungsi kewenangan dari
masing masing sub sistem peradilan pidana. Berlakunya asas ini berpotensi menimbulkan perilaku yang
bersifat “egoisme” sektoral dalam proses penegakan hukum.

Anda mungkin juga menyukai