Anda di halaman 1dari 24

SEMINAR HASIL PENELITIAN

KEKUATAN HUKUM HASIL UJI BALISTIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA


PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

RACHMAT DHANI
0124-02-44-2016

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
BAB I
LATAR BELAKANG

A. LATAR BELAKANG
Pembuktian adalah salah satu proses peradilan pidana
Indonesia. Pembuktian merupakan dasar bagi hakim dalam
mengambil sebuah putusan hukum, yang didasarkan atas
keyakinan hakim berdasarkan fakta-fakta yang telah diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dan juga Penasehat Hukum atas terdakwa
itu sendiri. Adapun keyakinan hakim yang akan terbentuk pada
akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan
bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau keyakinan bahwa
terdakwa terbukti bersalah.
Pemenuhan kriteria alat bukti yang sah dalam ketentuan Pasal 184
maka harus relevan dengan fakta dan barang bukti yang berkaitan dengan
tindak pidana yang terjadi. Kemajuan zaman yang diiringi dengan
perkembangan teknologi, membawa pengaruh terhadap cara-cara penjahat
untuk melaksanakan perbuatannya. Pada umumnya penjahat dalam
melakukan kejahatannya berusaha sedemikian rupa agar tidak meninggalkan
bukti-bukti, dengan harapan pihak berwenang tidak dapat menangkapnya.
Pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, dikenal istilah ilmu
forensik. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau
pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum
dan keadilan.
Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik,
toksikologi forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, entomologi
forensik, antrofologi forensik, balistik forensik, fotografi forensik, dan
serologi/biologi molekuler forensik. Biologi molekuler forensik lebih dikenal
dengan ”DNA- forensic”
Permasalahan mengenai pembuktian untuk kasus kejahatan dengan
menggunakan senjata api merupakan suatu hal yang penting untuk dikaji
lebih dalam dikarenakan perkembangan kejahatan dengan menggunakan senjata
api begitu pesat dan teknologi yang digunakan semakin canggih serta cara yang
dilakukan para pelaku kejahatan begitu terorganisir dan cepat sehingga menjadi
tantangan tersendiri bagi pihak yang berwenang dalam mengungkapkan dan
membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan senjata api
tersebut.
Kajian mengenai uji balistik ini dapat diketahui cara mengungkapkan dan
membuktikan kejahatan dengan menggunakan senjata api dengan metode dan data
yang akurat untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan.
Sebaliknya, jika kajian tentang uji balistik ini tidak dilakukan maka sulit untuk
mengetahui tindakan-tindakan apa saja yang diambil oleh pihak yang berwenang dalam
mengungkapkan dan membuktikan suatu kejahatan yang dilakukan dengan senjata api
sehingga para pelaku kejahatan dengan senjata api akan semakin merajalela dan
mengganggu ketentraman dan kenyamanan lingkungan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian
tentang “Kekuatan Hukum Hasil Uji Balsitik Forensik dalam Pembuktian Perkara
Pidana Pembunuhan Berencana.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kedudukan hukum hasil uji balistik forensik
dalam pembuktian perkara pidana pembunuhan berencana?

2. Bagaimanakah kekuatan hukum hasil uji balistik sebagai alat


bukti dalam pembuktian perkara pidana pembunuhan
berencana?
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif, bertujuan untuk mencari
pemecahan atas isu hukum serta permasalahan yang timbul didalamnya, sehingga
hasil yang akan dicapai kemudian adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang
seharusnya atas isu hukum yang diajukan. Peter Mahmud Marzuki menyatakan
bahwa penelitian hukum merupakan penelitian hukum merupakan proses untuk
menentukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35)
B. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian ini, maka ada dua metode pendekatan
yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan berdasarkan peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian ditelaah lebih lanjut sesuai
dengan perumusan masalah sehingga uraian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
yang bersifat logis. Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan
untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial,
sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial, yang dikenal hanya
bahan hukum. Jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan
memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-
Menurut Syahrruddin Nawi (2017:61) pada tidak, ada sembilan jenis
penelitian hukum normatif (penelitian hukum doktrinal) yang dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Penelitian inventarisasi hukum
b. Penelitian sinkronisasi hukum vertikal
c. Penelitian hukum sinkronisasi hukum horisontal
d. Penelitian asas-asas hukum
e. Penelitian substansi hukum
f. Penelitian sejarah hukum
g. Penelitian perbandingan hukum
h. Penelitian materi muatan peraturan perundang-undangan
i. Penelitian bentuk atau fomat peraturan perundang-undnagan.
Pendekatan Konseptual merupakan pendekatan yang berpijak pada
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum sehingga akan ditemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian hukun, konsep hukum dan asas hukum yang
relevan dengan permasalahan yang diteliti. (Peter Mahmud Marzuki, 2005:117)
Pendekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan aturan-aturan dan
teori-teori yang berkaitan dengan Kekuatan Hukum Hasil Uji Balisitik dalam
pembuktian perkara pidana, yang diatur sesuai Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana dan penyelesaian perkara pidana sesuai dengan KUHP.
C.Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Penulisan penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga)
sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Untuk lebih
jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer


Sumber Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan secara hierarki dan putusan-putusan pengadilan.
Data primer diperoleh melalui bahan yang mendasari dan berkaitan dengan
penulisan ini, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana;
d. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman;
g. Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalisitik Tempat Kejadian Perkara dan
Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, artinya menganalisa rumusan masalah dengan

mengambil materi yang terdiri dari buku atau literatur-literatur hukum,

jurnal ilmu hukum, koran, tabloid, laporan penelitian hukum, televisi,

internet serta semua bahan yang terkait dengan permasalahan yang

dibahas.

c. Bahan Hukum Tersier

Adalah bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan

hukum primer dan sekunder yaitu berupa kamus hukum.


D. Pengumpulan Bahan Hukum
Metode yang digunakan untuk pengumpulan bahan hukum
adalah dengan melakukan studi kepustakaan yaitu penelitian
yang diperoleh dengan membaca literatur yang ada kaitannya
dengan tema Skripsi “Kekuatan Hukum Hasil Uji Balisitik dalam
Pembuktian Perkara Pidana”.

E. Analisis Bahan Hukum


Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan analisis preskriktif yaitu analisis yang
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, norma-norma hukum yang
terkait isu hukum yang diteliti oleh penulis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Kedudukan Alat Bukti Forensik Dalam Pembuktian
Perkara Pidana Pembunuhan Berancana
Hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang
pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan
suatu tindak pidana;
b. Apakah betul peristiwa merupakan suatu tindak
pidana;
c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi, dan
d. Apakah orangnya telah bersalah berbuat peristiwa
itu.
Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat
esensial dalam upaya penemuan kebenaran materiil suatu
perkara pidana, sehingga dalam proses pembuktian perkara di
pengadilan diperlukan alat bukti dan barang bukti yang benar-
benar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang
disangkakannya.

Untuk menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang


selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa sehingga akan
membuat terang tindak pidana apa yang terjadi dan siapa
pelakunya, maka masalah pembuktian menduduki tempat yang
sangat penting. Membuktikan sesuatu berarti :
a. Menunjukkan hal-hal yang dapat di tangkap oleh panca
indra;
b. Mengutarakan hal-hal tersebut;
c. Berpikir secara logika.
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia,
khususnya KUHAP tidak diberikan pengaturan secara
eksplisit mengenai pengertian Visum Et Repertum (VER).
Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan
pengertian mengenai VER yaitu Staatsblad Tahun 1937
Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad
tersebut bahwa visa reperta van genesskundigen yang
banyak dilampirkan dalam BAP (Berita Acara
Pengadilan):
“VER adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan
(pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat
dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti,
berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan,
serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-
baiknya”
VER merupakan laporan ahli dan berdasarkan LN
1937-380 RIB/306 melalui ketentuan Pasal 1
angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187
huruf c KUHAP. Selanjutnya, permintaan keterangan
ahli dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli
yang bersangkutan membuat “laporan” yang
berbentuk “surat keterangan” atau VER.
Terkait dengan peranan dokter dalam membantu
penyidik memberikan keterangan medis mengenai
keadaan korban pembunuhan, hal ini merupakan
upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada
diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah
benar terjadi suatu tindak pidana pembunuhan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan
secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan
medis yang disebut dengan visum et repertum.
Tugas seorang dokter dalam bidang ilmu kehakiman
adalah membantu para petugas Kepolisian, Kejaksaan
dan Kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana
yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan
dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus obyektif
dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan
menghubungkan satu sama lain secara logis untuk
kemudian mengambil kesimpulan. Maka olehkarenanya
pada waktu memberi laporan dalam “pemberitaan” visum
et repertum itu harus sesungguh-sungguhnya dan
seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan
ditemukan pada waktu pemeriksaan, dan dengan
demikian visum et repertum merupakan kesaksian tertulis.
Visum et repertum mempunyai kekuatan sebagai
alat bukti sebab yang dimuat dalam
pemberitaannya merupakan kesaksian tertulis
tentang semua hal atau keadaan yang dilihat dan
ditemukan pada waktu melakukan pemeriksaan, jadi
sama halnya dengan seseorang yang melihat dan
menyaksikan sendiri.
Sedangkan kesimpulan dalam visum et repertum
dibuat untuk memudahkan hakim atau jaksa untuk
mengetahui tentang apa yang diperiksa. Kesimpulan
harus dibuat dengan logis agar dapat diterima oleh
hakim atau jaksa, tetapi jika kesimpulannya tidak
logis maka hakim atau jaksa dapat menolak hasil
visum et repertum serta menentukan jalan sendiri.
Visum et repertum termasuk dalam alat bukti keterangan ahli
yaitu Pasal 186 KUHAP dan alat bukti surat pada Pasal
187 huruf c. ” Visum et repertum menjadi alat bukti
keterangan ahli bila dokter atau ahli forensik memberikan
keterangan di persidangan. Sedangkan visum et
repertum dijadikan alat bukti surat maka harus dibacakan
dalam suatu persidangan. Konsekuensi jika visum et repertum
tidak dibacakan dalam persidangan maka visum tersebut tidak
dapat dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan dan
perkara itu tetap harus diperiksa dan diputus.
Umumnya Hakim tidak mungkin tidak sependapat dengan
hasil pemeriksaan dokter pada bagian pemeriksaan karena
dokter melukiskan keadaan yang sebenarnya dari apa
yang dilihat dan didapatinya pada korban baik hidup
maupun mayat. Tetapi, Hakim dapat tidak sependapat
dengan dokter pada bagian kesimpulan karena kesimpulan ini
ditarik berdasarkan pengamatan yang subjektif.
B. Kekuatan Hukum Hasil Uji Balistik Dalam
Pembuktian Perkara Pidana Pembunuhan
Berencana.
1. Kekuatan Hukum Balistik Forensik Sebagai
Novum Dalam Putusan Nomor 117/PK/PID/2011
Mahkamah Agung)
Berdasarkan analisis penulis mengenai kekuatan
hukum hasil uji balistik terhadap pembuktian kasus
pembunuhan berencana dalam putusan Nomor
177/PK/PID/2011 Mahkamah Agung bahwa alat bukti
yang di ajukan oleh pemohon mengenai hasil uji balistik
sebagai alat bukti baru dalam putusan tidak dapat
diterima oleh majelis hakim dikarenakan bahwa
pengajuan alat bukti yang dimajukan hanya pada
putusan yang menganlisis menganai korelasi fakta dan
bukti.
Sedangkan dalam proses pengajuan Peninjuan Kembali,
hakim hanya mempertimbangkan hubungan hukum
antara meninggalkan korban Nasruddin dengan anjuran
sebagaimana yang didakwakan pada Terpidana, bukan
mengenai bagaimana caranya pembunuhan dilakukan
atau dengan apa dilakukan atau dimana dilakukan dan
dimana keberadaan terpidana, yang terpenting dalam
perkara tersebut adalah rangkaian perbuatan dengan
fakta hukum yang telah terjadi telah menunjukkan
adanya korelasi dan adanya tujuan yang tercapai berupa
terbunuhnya korban Nasrudin.
Dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 (a) mengenai syarat
dilakukannya peninjauan kembali yaitu adanya bukti baru,
yang sebagaimana telah yang diajukan oleh pemohon
Peninjauan Kembali, salah satunya mengenai perbedaan
bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan korban. Hal ini
dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 mengenai alasan-alasan
diajukannya Peninjauan Kembali menurut penulis tidak dapat
dikualifikasikan sebagai alat bukti baru dikarenakan yang
ditekankan dalam pengajuan Peninjuan Kembali mengenai
alat bukti hasil uji balistik hanya menjelaskan bagaimana
korban terbunuh, sehingga tidak memenuhi kriteria tentang
kekeliruan nyata yang dilakukan oleh hakim pada judex juris,
tetapi dalam putusan hakim lebih mempertimbangkan
hubungan korelasi antara terbunuhnya korban dengan
anjuran sebagaimana yang didakwakan terhadap terdakwa.
Dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 (a) mengenai syarat
dilakukannya peninjauan kembali yaitu adanya bukti baru, yang
sebagaimana telah yang diajukan oleh pemohon Peninjauan
Kembali, salah satunya mengenai perbedaan bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan korban. Hal ini dalam ketentuan Pasal
263 ayat 2 mengenai alasan-alasan diajukannya Peninjauan
Kembali menurut penulis tidak dapat dikualifikasikan sebagai alat
bukti baru dikarenakan yang ditekankan dalam pengajuan
Peninjuan Kembali mengenai alat bukti hasil uji balistik hanya
menjelaskan bagaimana korban terbunuh, sehingga tidak
memenuhi kriteria tentang kekeliruan nyata yang dilakukan oleh
hakim pada judex juris, tetapi dalam putusan hakim lebih
mempertimbangkan hubungan korelasi antara terbunuhnya korban
dengan anjuran sebagaimana yang didakwakan terhadap terdakwa.
Menurut penulis, hasil uji balistik dalam putusan ini memang tidak
perlu diajukan sebagai alat bukti baru atau keadaan baru
dikarenakan dalam putusan judex juris hanya mempertimbangkan
penerapan hukum yang didakwakan terhadap terdakwa.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Visum et repertum menjadi bagian dari ilmu kedokteran forensik dan
medikolegal. Visum Et Repertum suatu laporan tertulis dari dokter yang
telah disumpah dan telah memiliki kewenangan tentang apa yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta
memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan
peradilan, yaitu dalam tingkat penyidikan untuk menetapkan tersangka,
tingkat penuntutan sebagai dasar untuk penuntutan, dan tingkat sidang
pengadilan untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa meski
tidak mengikat pada hakim sebagai alat bukti.
2. Kekuatan hukum hasil uji balistik dalam konsepsi alat bukti tidak
disebutkan secara langsung dalam Pasal 184 KUHAP dan juga
tidak diatur secara khusus dalam jenis peraturan lainnya. Kekuatan
pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat bukti dalam
persidangan kasus pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP
bersifat bebas, artinya di dalam keterangan ahli tidak ada melekat nilai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada
penilaian hakim.
B. Saran
Hendaknya ada pengaturan secara khusus mengenai
jenis-jenis alat bukti yang baru yang belum diatur dalam
Pasal 184 KUHAP mengingat perkembangan
masyarakat dan teknologi yang sangat pesat dan
dinamis sehingga dapat memungkinkan timbulnya
jenis-jenis tindak pidana yang memanfaatkan teknologi
yang canggih dengan modus-modus baru. Hakim
hendaknya lebih cermat, tepat, adil dan bijaksana
dalam memberikan putusan berdasarkan alat-alat bukti
dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan.
Semua alat-alat bukti yang dihadirkan dalam sidang
tersebut pada dasarnya merupakan alat bantu bagi
hakim dan untuk dapat memperkuat keyakinannya
terhadap fakta-fakta hukum yang dihadirkan dalam
persidangan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai