Anda di halaman 1dari 74

SKRIPSI

PENERAPAN ASAS RESTORATIF JUSTICE PADA


TAHAP PENYIDIKAN DALAM PERKARA ANAK DI
WILAYAH HUKUM POLRES ROKAN HULU

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S1) Pada Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

OLEH:

BUDI AHARTONO
NIM 1735052

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS PASIR PANGARAIAN
FAKULTAS HUKUM
2021
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul

“Penerapan Asas Restoratif Justice Pada Tahap Penyidikan Dalam Perkara

Anak Di Wilayah Hukum Polres Rokan Hulu”, skripsi ini disusun sebagai salah

satu tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) dari Program

Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian. Penulis

menyadari bahwa selesainya Skripsi ini atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis seyogyanya mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada:

1. Bapak Dr Hardianto, M.Pd. Selaku Rektor Universitas Pasir Pangaraian yang

telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Universitas Pasir

Pangaraian.

2. Bapak Ibu Rise Karmila, SH.M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Pasir Pangaraian yang telah banyak membimbing penulis dalam mengarahkan

dan menasehati penulis.

3. selaku Ketua Prodi Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian yang telah

mendidik dan membimbing penulis.

4. Bapak Hendri, SH.MH, CPCLE.,CPCLE selaku Pembimbing I dalam penulisan

skripsi penulis yang telah banyak membimbing penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

5. Bapak Almadison, SH.,MH.,CPLC.,CPCLE selaku Pembimbing II dalam

penulisan skripsi dan membantu penulisan skripsi dalam menyelesaikan skripsi

saya.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

i
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian yang telah

memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga kepada penulis.

7. Kepada teman – teman kuliah di Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian.

8. Kepada semua pihak yang telah membantu tanpa bisa penulis sebutkan satu

persatu.

Penulis sadar skripsi ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan. Akhir kata, semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

Sekiranya skripsi yang dibuat ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang

yang membacanya, dan juga bisa menjadi bahan pembelajaran bersama. Sebelumnya

penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan

penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pasir Pengaraian, Juli 2021

BUDI HARTONO
NIM . 1735052

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

ABSTRAK ................................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1.Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

1.2.Rumusan Masalah ................................................................................... 7

1.3.Tujuan Dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7

1.4.Sistematika Penulisan ............................................................................. 8

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 10

2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 10

A. Tindak Pidana ................................................................................. 10

B. Restoratif Justice ............................................................................. 14

C. Penyidikan ....................................................................................... 23

BAB III METODE PENELITAIA ........................................................................ 28

3.1 Konsep Operasional ............................................................................. 28

3.2 Metode Penelitian ................................................................................ 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 34

4.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 34

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

iii
4.1.1 Penerapan Asas Restoratif Justice Terhadap Anak Dibawah Umur .... 34

4.1.2 Hasil Observasi .................................................................................... 34

a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................. 34

b. Fakta Kasus Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum .................... 36

4.1.3 Hasil Wawancara ............................................................................... 37

4.1.4 Hasil Dokumentasi ............................................................................ 40

4.2 Pembahasan ...................................................................................... 47

4.2.1 Penerapan Asas Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara

Tindak Pidana Anak Dibawah Umur Di Polres Rokan Hulu ............ 48

4.2.2 Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Di Kabupaten

Rokan Hulu ....................................................................................... 49

4.2.3 Tujuan Diversi Dalam Tindak Pidana Anak ..................................... 53

4.2.4 Hak-Hak Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ..................... 54

4.2.5 Upaya Pencegahan Terhadap Anak Dalam Melakukan Tindak

Pidana Di Polres Rokan Hulu ............................................................ 55

4.2.6 Hambatan Dalam Pelaksanaan Restoratif Justice Pada Tahap

Penyidikan Di Wilayah Hukum Polres Rokan Hulu ......................... 65

BAB V PENUTUP .................................................................................................. 65

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 65

5.2 Saran ................................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 67

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

iv
ABSTRAK

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Rokan Hulu


menunjukan adanya peningkatan, dalam kasus-kasus tertentu terhadap pelaku
tindak pidana anak dibawah umur yang menjadi perhatian. khususnya aparat
penegak hukum. Salah satu satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan
perkara tindak pidana anak adalah dengan pendekatan penerapan Asas Restorative
Justice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi). Diversi dilakukan
untuk memberikan perlindungan dan rehabilitas terhadap tindak pidana anak
dibawah umur.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
penyelesaian perkara dengan pendekatan Asas Restorative Justice terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang terjadi di Kabupaten Rokan
Hulu. Selain itu juga untuk mengetahui apakah yang menjadi hambatan bagi
Penyidik kepolisian dalam menerapkan Asas Restorative Justice dalam
penyelesaian perkara tindak pidana anak dibawah umur di Polres Rokan Hulu.
Motode penelitian menggunakan hukum empiris, dan yang menjadi subjek
penelitian ini adalah pihak yang bersangkutan yaitu Kasat Reskrim Rokan Hulu,
kanit PPA dan anggota penyidik. sumber data yang digunakan merupakan Data
Primer yaitu data yang diperoleh dari penelitian dilapangan dengan cara
melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi di Polres Rokan Hulu.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakan. analisis
datanya dengan cara kualitatif dan disajikan secara deskriptif yakni menguraikan,
menjelaskan, serta menggambarkan hasil dari penelitian ini sehingga di peroleh
suatu kesimpulan akhir.
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, adapun
tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dilakukan dengan diversi
menggunakan pendekatan Restorative Justice, yaitu tindak pidana yang ancaman
pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana. Selain itu tindak pidana dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh)
tahun diantaranya adalah penganiayaan, pencurian, pengerusakan barang dan
kejahatan terhadap kesopanan. Dapat disimpulkan penerapan Asas Restorative
Justice melalui konsep Diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak
di Kabupaten Rokan Hulu belum dapat dilaksanakan sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak. Faktor
penghambat dalam penerapan Asas Restotarive Justice terhadap pelaku tindak
pidana anak adalah kurangnya pengetahuan masyarakat yang tidak memahami
tentang Asas Restorative Justice, yang tidak mendukung penyelesaian perkara
diluar peradilan atau perdamaian.
Kata Kunci: Restorative Justice, Tindak Pidana Anak, Polres Rokan Hulu

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

v
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan suatu titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang didalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia sepenuhya, anak juga calon

generasi penerus Bangsa dan Negara. Oleh karenanya, anak sejak mulai dalam

kandungan hingga usia 18 tahun, perlu mendapatkan hak-hak anak yang sifatnya

melekat. Hal itu sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh

pemerintah Indonesia melalui keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang

mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi,

kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, serta

menghargai pendapat anak.1

Perlindungan Anak merupakan pekerjaan penting yang harus terus

dilakukan oleh seluruh unsur negara kita. Bentuk-bentuk perlindungan anak

inipun dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan pada keluarga, kontrol

sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan yang tepat melalui peraturan-

peraturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara.

Namun dalam perjalanan panjangnya hingga saat ini apa yang diamanatkan

dalam undang-undang tersebut terkendala dengan sarana dan prasarana yang

disediakan oleh Pemerintah, misalnya penjara khusus anak yang hanya ada di

kota-kota besar. Hal ini tentu saja menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak

sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dan Konvensi Hak Anak


1
Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak, Yogyakarta, CV. Budi Utama, 2016.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

1
2

tersebut. Selain itu kurangnya sosialisasi yang terpadu dan menyeluruh yang

dilakukan kepada aparat penegak hukum termasuk kepolisian hingga ke jajaran

paling bawah menyebabkan tidak efektifnya pemberian perlindungan hukum

terhadap anak.

Pada saat ini anak juga sering melakukan kejahatan ataupun perbuatan

kenakalan. Namun kenakalan anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya

tidaklah dihukum tetapi sebaiknya dilakukan suatu pembinaan atau bimbingan

terhadap anak tersebut, sehingga anak yang berkonflik dengan hukum dapat

berkembang secara baik dan normal. Pada kondisi tertentu anak juga mempunyai

situasi yang sulit sehingga memaksanya untuk melakukan suatu perbuatan yang

dilarang dan pada akhirnya anak tersebut harus berhadapan dengan hukum.

walaupun demikian hukuman tidaklah suatu sanksi yang layak untuk di

berlakukan kepada anak terutama apabila diterapkannya hukuman penjara

terhadap anak tersebut.

Perbuatan anak yang berkonflik dengan hukum dalam setiap tahunnya

meningkat, apabila diperhatikan secara cermat pertumbuhan tindak pidana yang

dilakukan oleh anak selama ini baik secara kualitas ataupun modus operandi yang

dilakukan anak, terkadang tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anak

dirasakan telah meresahkan seluruh pihak khususnya dari orang tua anak,

fenomena peningkatannya perbuatan tindak kekerasan yang di perbuat oleh anak

tidak sebanding dengan usia anak atau pelaku. selain itu berbagai upaya

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


3

pencegahan dan penanggulangan anak yang berkonflik dengan hukum perlu

segera dilakukan.2

Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang
berlaku di Indonesia tetap harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, namun
demikian mengingat pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses
penegakan hukumnya dilaksanakan secara khusus. Dalam perkembangannya
untuk melindungi anak, terutama perlindungan khusus yaitu perlindungan hukum
dalam sistem peradilan, salah satu peraturan Perundang-Undangan yang mengatur
tentang pradilan anak yaitu, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang telah berganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.3
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,

memberikan perlakuan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,

baik dalam hukum acaranya maupun pradilanya. Hal ini mengikat sifat anak dan

keadaan psikologinya dalam beberapa hal memerlukan perlakuan khusus serta

perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakan-tindakan yang pada

dasarnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak.

Pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak terkait

bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan penyidik yang ditentukan oleh

KUHAP, serta Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan

hukum, yang diterapkan penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana yang

dilakukan oleh anak.

Bertitik tolak dari kompleksnya permasalahan berkaitan dengan

perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan

2
Nandang Sambas, “Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia”, Yogyakarta, Graha
Ilmu, 2010, hal 103.
3
Wagiati Sutedjo dan Melani, 2013. Hukum Pidana Anak. Refika Aditama, Bandung, Hal 33.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


4

hukum tentu harus ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak

bangsa. Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki

tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang

Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut polisi harus

senantiasa melihat kepentingan masyarakat. Salah satu tugas polisi yang sering

mendapat sorotan masyarakat adalah penegakan hukum. Pada prakteknya

penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi senantiasa mengandung 2 (dua)

pilihan. Pilihan pertama adalah penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan

oleh undang-undang pada umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan

oleh polisi untuk menegakkan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur

dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan pilihan

kedua adalah tindakan yang lebih mengedepankan keyakinan yang ditekankan

pada moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan kepada

anggota masyarakat. Hal ini dikenal dengan nama diskresi. Tindakan tersebut

diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002, dimana polisi telah

diberi kebebasan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan hal tersebut.

Proses penyidikan terhadap anak dilakukan oleh Penyidik anak yang

ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


5

Penyidik umum tidak dapat melakukan penyidikan atas perkara anak. Syarat-

syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik adalah :

1. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa;

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.4

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak mengatur tentang Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.5
Anak sebagai pelaku tindak pidana tetap di proses secara pidana akan tetapi

harus memperhatikan hak-hak anak. Selama proses penyidikan diperlakukan asas

Restoratif Justice. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari

pemidanaan yang berupa perampasan hak. Dalam prakteknya proses penyidikan

yang dilakukan tidak semua penyidik melakukannya. Oleh karena itu Penyidik,

khususnya Penyidik Polresta Rokan Hulu, dituntut mampu melakukan tindakan

diversi dalam menangani perkara tindak pidana anak. Pengalihan proses peradilan

anak atau yang disebut dengan diversi berguna untuk menghindari efek negatif

dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak,

misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman. Dalam

melaksanakan diversi terhadap tindak pidana oleh anak, sebenarnya polisi telah

memiliki payung hukum baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

memberi wewenang untuk tindakan tersebut.

4
Pasal 41 ayat (2), Undang-undang Nomor 3 tahun 1997, tentang Peradilan Anak.LN Tahun 1997.
Nomor 3.TLNNo 3668, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/46/441, 24 Desember 2020
5
Yoachim Agus Tridianto, “Keadilan Restoratif”, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal
27

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


6

Berdasarkan uraian tersebut, anak yang telah melakukan tindak pidana

tetap diproses hingga tingkat pengadilan bahkan dititipkan di lembaga

pemasyarakatan. Oleh karena itu, penulis membahas permasalahan anak sebagai

pelaku tindak pidana dalam penelitian hukum dengan judul “Penerapan Asas

Restoratif Justice Pada Tahap Penyidikan Dalam Perkara Anak Di Wilayah

Hukum Polres Rokan Hulu”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan Asas Restoratif Justice terhadap anak yang

berkonflik dengan Hukum ?

2. Apa hambatan dalam pelaksanaan Asas Restoratif Justice pada tahap

penyidikan di wilayah hukum Polres Rokan Hulu ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan Asas Restoratif Justice

terhadap anak yang berkonflik dengan Hukum ?

2. Untuk mengetahui Apa hambatan dalam pelaksanaan Asas Restoratif

Justice pada tahap penyidikan di wilayah hukum Polres Rokan Hulu ?.

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Memberikan sumbangsi pemikiran bagi pemahaman dan

pengembangan hukum perlindungan anak di Indonesia, perlindungan

anak pelaku tindak pidana melalui diversi dalam sistem peradilan

pidana anak.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


7

b. Memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait khususnya

Kepolisian dalam kaitanya dengan hambatan yang dialami dalam 8

penegakan hukum pidana melalui upaya diversi kepada anak yang

berkonflik dengan hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan landasan ataupun pijakan bagi pengemban kewenangan

aparat penegak hukum, sehinga aparat penegak hukum lebih

proporsional dan professional dalam menghadapi anak yang

berkonflik dengan hukum.

b. Mampu menjadikan dasar bagi masyarakat yang sering

bersinggungan dengan prilaku nakal anak-anak, sehingga masyarakat

dapat memahami hak-hak normatif anak jika berhubungan dengan

pihak penegak hukum.

1.4 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.4 Sistematika Penulisan

BAB II : Pembahasan

2.1 Tinjauan Pustaka

BAB III : Isi

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


8

3.3 Konsep Operasional

3.4 Metode Penelitian

BAB IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

4.3 Penerapan Restoratif Justice Terhadap Anak Dibawah Umur

4.4 Hambatan Dalam Pelaksanaan Restoratif Justice Pada Tahap

Penyidikan Di Wilayah Hukum Polres Rokan Hulu.

BAB V: Penutup

5.3 Kesimpulan

5.4 Saran

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tindak Pidana Anak

Para ilmuwan menggunakan istilah Straafbaarfeit untuk merujuk kepada


Tindak Pidana. Dalam bahasa belanda Straafbaarfeit terdapat dua unsur
pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit adalah bahasa Belanda
yang diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum,
sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti „sebagian dari kenyataan
yang dapat dihukum‟. Pengertian dari perkataan Straafbaarffeit menurut
Moeljatmo adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat
bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada
orang yang menimbulkan kejahatan).6
Didalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang

merupakan “Landasan Yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai

perbuatan yang dapat dipidana (strafbaafeit). Namun apa yang dimaksud dengan

strafbaafeit tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang

tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaafeit) hanya ada dalam teori atau

pendapat para sarjana.7

Dengan tidak adanya batasan yuridis, dalam praktek selalu diartikan bahwa

tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-

undang. Hal ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP

yang mengandung asas “Nullum delictum sine lege” dan sekaligus mengandung

6
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, cet. Ke V, 2014, hal. 5
7
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan penyusunan
konsep KUHP baru), Kencana, Jakarta, 2008, cet ke 4, hal. 86

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

9
10

asas “sifat melawan hukum yang formal/positif”. Padahal secara teoritis dan

menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada

tindak pidana dan pemidanaan tanpa sifat melawan hukum (secara materiil)” atau

asas “sifat melawan hukum yang negatif”. Asas ini dikenal juga dengan sebutan

asas “ketiadaan sifat melawan hukum” (the absence of unlawfulness).8

Praktek peradilan anak di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sistem

peradilan pidana anak ialah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang

berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap

pembimbingan setelah menjalani pidana (Pasal 1 angka 1 UU SPPA). UU SPPA

ini bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang sungguh-sungguh menjamin

perlindungan terbaik terhadap kepentingan anak yang berhadapan dengan hukum.

Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas pelaksanaan sistem peradilan pidana

anak dalam Pasal 2 UU SPPA yaitu perlindungan. 9

Undang-Undang system peradilan pidana anak memberikan definisi anak di

bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18

tahun serta membedakan anak yang berhadapan dengan hukum menjadi 3 (tiga),

yaitu:

a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA.

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPPA);

dan;

8
Ibid., hal. 86
9
Theresia Adelina, A.A. Ngurah Yusa Darmadi, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan,

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


11

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 5 UU SPPA).

Hal baru yang sangat mendasar dan perlu mendapat perhatian dalam

kebijakan ke depan adalah masalah Diversi. Dalam UUSPPA yang dimaksud

dengan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana yang merupakan kesepakatan dari

masing-masing pihak (pelaku dan korban). Diversi merupakan perwujudan dari

keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan

pelaku, korban, keluarga. Pelaku atau korban dan pihak lain yang terkait untuk

bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan

kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Kebijakan formulasi

tentang Diversi ini banyak dilandasi Undang-Undang terkait sebelumnya, yaitu

Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Konsep Diversi senada dengan kehendak

Undang-Undang Kesejahteraan Anak, dengan adanya ketentuan- ketentuan

sebagai berikut :10

1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh kembang dengan wajar;

2) Orang tua yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya

kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

3) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan

yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam

10
Satino, Sulastri, Yuliana Yuli, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak
Pidana Melalui Diversi Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak Jurnal ESENSI HUKUM,
Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020, hlm. 15-270

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


12

masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan juga

diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan

pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.

4) Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,

pencegahan dan rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan atau

masyarakat

Konsep diversi juga senada dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu : “Setiap anak berhak untuk

mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik, mental,

penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan

orangtua atau walinya atau pihak lainnya yang bertanggungjawab atas

pengasuhan anak tersebut.”

Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia dapat dilihat dari keseluruhan proses hukumnya, mulai dari tahap

penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan, persidangan dan

pembinaan. Keseluruhan proses tersebut harus dilakukan berdasarkan ketentuan

UU SPPA dan harus memprioritaskan kebutuhan, perkembangan dan

pertumbuhan anak, baik mental, fisik, maupun sosial anak dan kepentingan

masyarakat.

2.2 Restorative Justice

Keadilan Restoratif atau istilah lain sering di sebut keadilan pemulihan

(restorative justice) merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


13

penyelesaian perkara pidana. Pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau

keadilan pemulihan (restorative justice) lebih menitikberatkan pada adanya

partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam

proses penyelesaian perkara pidana. sehingg pendekatan ini populer disebut juga

dengan istilah “non state justice system” di mana peran Negara dalam

penyelesaian perkara pidana menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.

Namun demikian, kehadiran pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau

keadilan pemulihan (restorative justice) banyak diwarnai berbagai pertanyaan

baik secara teoritis maupun secara praktis.11

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tetentu bersama-sama mengatasi masalah serta

menciptakan satu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik

dengan melibatan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk

memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan

pembalasan.

Filosofis lahirnya Restorative Justice dan implemetasinya dalam SPPA

adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu

Pancasila, yang dijabarkan ke dalam pencerminan keadilan, ketertiban, dan

kesejahteraan yang diinginkan masyarakat Indonesia, yang mengharuskan

perlindungan anak dan hak-haknya, sebagai amanah dan karunia Tuhan yang

Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk

11
Ahmad Faizal Azhar, Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam
Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal Kajian Hukum Islam 134 Vol. 4, No. 2, Desember
2019

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


14

perlindungan hukum itu diperlukan perlindungan khusus yang diwujudkan dalam

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mewajibkan

penerapan Restoratif Justice, agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar

menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum sebagai penerus bangsa.12

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice

diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang

dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang

dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan

sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana

sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk

menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian

banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan

keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat

perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis

dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab

dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut

diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku

daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.13

12
M. Virsyah Jayadilaga, S.Si.,M.PAsmadi dkk, Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud
Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, SN
1410-5632 Vol. 16 No. 4 , Desember 2016.
13
Op.Cit hal 30.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


15

Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu perkembangan dari

pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban

bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan bangsa Romawi dalam

menyelesaikan masalah termasuk penyelesaan masalah tindak pidana. Istilah

umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert

Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice yang dalam tulisannya

mengulas tentang reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu

alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan

keadilan rehabilitative.14

Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice

dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum

dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang

terkenal dengan Pancasilanya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep

restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan

pidana anak. Pada Sila ke-4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Artinya bangsa Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah

sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala

permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative

justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu

14
Albert Eglash, 1977, Beyonde Restitution: Creative Restitution, Lexington, Massachusset-USA,
hlm 95, yang dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan
Korporasi melalui Pendekatan Restoratif.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


16

kesepakatan yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan

ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai.

Restorative justice adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana

formal ke informal sebagai alternative terbaik penanganan terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu

tindak pidana tertentu baik korban, pelaku dan masyarakat untuk bersama-sama

memecahkan masalah tentang bagaimana menangani akibat tindak pidana

tersebut, menciptakan rekonsialisasi dan memuaskan semua pihak sebagai diversi,

keadilan restorative juga dilakukan diluar proses formal melalui pengadilan untuk

mewujudkan hukum dan keadilan secara benar.15

Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang

lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak.

Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan BangsaBangsa (PBB)

mendefnisikan restorative Justice sebagai suatu proses semua pihak yang

berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk

memecahkan masalah dan pemikiran bagaimana mengatasi akibat pada masa yang

akan datang.16

Lahirnya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

memberi warna yang berbeda terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak

di Indonesia. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

15
Marlina. 2009, Peradilan Anak Di Indonesia Dan Pengembangan Konsep Diversi Dan
Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, Hal 203
16
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009, hal 135

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


17

Anak ini menghadirkan konsep diversi dan restorative justice yang bertujuan

untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan

masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara.

Kebijakan peraturan perundang-undangan mengenai anak sendiri dimulai

dari konvensi-konvensi internasional hingga kepada peraturan

perundangundangan nasional yang ada di Indonesia. Perlindungan untuk anak

berupa peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dari lahirnya Pasal

330 BW yang memberikan batasan orang belum dewasa, pasal 45, 46, 47, 72

KUHP, Pasal 153 secara eksplisit disebutkan oleh KUHAP, UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No.

12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, UU no. 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.

3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Ratifikasi Konvensi Hak Anak dalam

Kepres no. 36 tahun 1990 dan peraturan pelaksana lainnya. Peraturan

perundangundangan di atas masih belum mumpuni dalam menyelesaikan

penanganan anak salah satu kelemahannya adalah tidak adanya pengaturan secara

tegas terhadap kewajiban aparat penegak hukum mencegah anak secara dini

masuk ke dalam peradilan formal.17

Restorative Justice harus dilakukan sebagai perlindungan terhadap anak

yang berhadapan dengan hukum, karena pada dasarnya anak tersebut tidak dapat

dilepaskan dari konteks yang melingkupinya, yaitu keluarga, lingkungan, dan

17
Rahmaeni Zebua Analisis Diversi Dan Restorative Justice Dalam Undang-undang No. 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Karya Ilmiah, hal 2.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


18

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dirinya, termasuk faktor ekonomi. Oleh

karenanya, menjadi tidak adil apabila anak yang berkonflik dengan hukum itu

dokenai sanksi pembalasan (retributif) atas pelanggaran hukum yang

dilakukannya, tanpa memperhatikan keberadaannya dan kondisi yang melingkupi

dirinya.

Konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) harus

dilaksanakan secara terintegrasi. Hal ini menjadi penting mengingat apabila salah

satu dari komponan tersebut tidak menerapkan konsep atau pendekatan keadilan

restoratif (restorative justice) maka putusan yang restoratif tidak mungkin dapat

terlaksana. Misalnya, kepolisian dan kejaksaan telah menganut konsep keadilan

restoratif namun hakim masih menganut pola pikir yang legistis, dalam kasus

seperti ini hakim akan menjatuhkan putusan yang sangat normatif sehingga

lembaga pemasyarakatanpun tidak bisa menerapkan konsep keadilan restoratif.

Oleh karenanya, pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice)

harus dilaksanakan secara terintegrasi antara komponen yang satu dengan

komponen yang lainnya. Sebaliknya, apabila satu komponen tidak menjalankan

pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) maka pendekatan

atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri tidak akan

terealisasi dengan baik.18

Salah satu produk dari restorative justice adalah diversi yaitu banyak pihak

yang berkepentingan di dalamnya guna memperoleh suatu tujuan yang baik

18
Kristian & Christine Tanuwijaya , Penyelesaian Perkara Pidana Dengan Konsep Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia, Jurnal
Mimbar Justitia, Vol. I No. 02 Edisi Juli-Desember 2015.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


19

dengan mengikutsertakan korban, anak, kepolisian, BAPAS, dan pihak yang

berkepentingan guna mencapai suatu tujuan sebagai mana tercantum dalam Pasal

6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

yaitu mencoba mengupayakan mencapai perdamaian antara korban dan pelaku

kemudian menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan yang bertujuan

untuk menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Selain itu masyarakat

juga dituntut berperan aktif dalam melaksanakan diversi agar anak menjadi lebih

baik di kemudian hari.

Pasal 27 UU NO. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing

kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan untuk melakukan

penyidikan terhadap perkara anak. Penyidik juga dapat meminta pertimbangan

atau saran (dalam hal diangap perlu), dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater,

tokoh agama, pekerja sosial professional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan

tenaga ahli lainnya dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan

anak saksi, penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial professional

atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan dan diadukan.

Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada penyidik

dalam waktu paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan

penyidik diterima.

Setelah terjadinya kesepakatan diversi maka penyidik akan berupaya

menentukan tempat dan waktu untuk melakukan musyawarah diversi. Adapun

pihak yang berhak mengikuti proses diversi antara lain telah diatur dalam Pasal 15

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


20

Ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 65 tentang Pedoman Pelaksanaan

Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun antara

lain: penyidik, anak dan atau orangtua atau walinya, korban atau anak korban dan

atau orangtua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, serta Pekerja Sosial

Profesional. Pihak-pihak lain yang dipandang perlu dan berkompeten dalam

mengukuti diversi tersebut antara lain yang dapat dihadirkan dalam proses diversi,

jika para pihak setuju untuk mengikuti proses antara lain tokoh agama, guru,

pendamping dan atau advokat atau pemberi bantuan hukum.

Dapat dikatakan bahwa konsep Restorative Justice merupakan sebuah

terobosan hukum yang harus dan wajib digunakan dalam setiap perkara anak yang

berkonflik dengan hukum, dan mempunyai peran yang besar dalam masa depan

peradilan anak di Indonesia, karena Restorative Justice atau keadilan restoratif

mengangkat harkat dan martabat anak seperti yang dituangkan dalam Konvensi

Hak Anak. Restorative Justice mengupayakan perdamaian dalam perkara anak,

menyelesaikan konflik yang melibatkan anak, sehingga menanamkan rasa

tanggung jawab kepada anak serta dapat memberikan dampak positif dalam masa

depan anak yang berkonflik dengan hukum.

Konsep Restorative Justice bisa dijadikan masukan dalam rangka

memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan

utama dari Restorative Justice adalah perbaikan atau pergantian kerugian yang

diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh korban

atau masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


21

dan masyarakat.19 Restorative Justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan

masyarakat, memperbaiki diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku

berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakanya. Contoh

pertanggungjawaban kepada korban dalam tindak pidana pencurian, anak sebagai

pelaku dapat mengganti kerugian, atau mengembalikan barang yang telah dia curi

dari korban.

Proses penerapan melalui pendekatan restorative justice terhadap tindak

pidana anak di bawah umur berbeda dengan proses penerapan hukuman pada

umumnya. Restorative justice tidak diatur secara terperinci di dalam Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana, tetapi dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa

proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang

tua/walinya, korban dan orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan

Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Penjelasan dari Pasal 8 ini dapat dibuat kesimpulan bahwa penerapan

restorative justice mengikuti mekanisme dari diversi, yaitu pengalihan hukum dari

proses peradilan pidana ke proses luar peradilan pidana. Proses pengalihan hukum

(diversi) tidak akan berjalan apabila tidak menggunakan restorative justice sebagai

penyelesaiannya. Diversi terdapat dalam setiap tahap mulai dari tahap penyidikan,

19
Prakoso Abintoro, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, 2013,
Surabaya, hal 161

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


22

penuntutan, sampai pada tahap pemeriksaan perkara anak di pengadilan negri

(Pasal 7 (1) UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak). 20

2.3 Penyidikan

Dalam proses penegakan hukum, selain adanya seperangkat peraturan

perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen penggeraknya. Instrumen

penggerak itu yaitu institusi penegak hukum dan implementasinya melalui

mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice System). Dalam perspektif sistem peradilan pidana (SPP), kekuasaan

kehakiman (kekuasaan penegakan hukum) dibidang hukum pidana mencakup

seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu

kekuasaan penyidikan oleh badan/lembaga penyidik, kekuasaan penuntutan oleh

badan/lembaga penuntut umum, kekuasaan mengadili oleh lembaga peradilan, dan

kekuasaan pelaksana putusan/pidana oleh badan/lembaga permasyarakatan. 21

Polri sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia mempunyai

peran yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana. Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Polri adalah Penyelidik dan

Penyidik. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Fungsi

kepolisian adalah menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara dalam tugas

penegakan hukum selain perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

20
Reyner Timothy Danielt, Jurnal Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anak
Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur, Lex et Societatis, Vol. II/No. 6/Juli/2014, hal 21
21
Armunanto Hutahaean, Erlyn Indarti, Lembaga Penyidik Dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu Di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16 No.1 - Maret 2019

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


23

Kemudian dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g dinyatakan bahwa Polisi berwenang

melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh tindakan

penyelidikan oleh penyelidik.22

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
23
dan guna menemukan tersangkanya. Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No 8 tahun

1981 berbunyi, Penyidik adalah (a) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; (b)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

Undangundang. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa Penyidik

adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

Penyidikan anak dilakukan oleh penyidik khusus yang telah ditetapkan

berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau

pejabat lain yang ditunjuk. Artinya penyidik khusus anak telah memenuhi

persyaratan, yaitu telah berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai minat,

perhatian dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan teknis

tentang peradilan anak.24

22
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Laksbang Mediatama,
Surabaya, 2007, cet. 1, hal. 27.
23
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 1 angka 2
24
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, 2015, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (Studi Terhadap Undang-undang Peradilan Anak Indonesia dan Peradilan Adat
Aceh), Jurnal Fakultas Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, h. 8.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


24

Mekanisme penyelesaian penerapan Restorative Justice terhadap tindak

pidana oleh anak di bawah umur menggunakan mediasi atau musyawarah dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dalam menyelesaikan

konflik anak. Penyelesaian secara musyawarah ini tidak akan terealisasikan

apabila tidak ada kerjasama antara korban, pelaku tindak pidana, masyarakat dan

penyidik. Penyidik atau pihak kepolisian sebagai pintu gerbang dari Sistem

Peradilan Pidana Anak dan pihak yang berwenang pertama kali menentukan

posisi seorang anak yang berhadapan dengan hukum. Pihak kepolisian harus

menngunakan kewenangan diskresi yang merupakan bagian dari proses

pengalihan hukum (diversi) yang menggunakan pendekatan restorative justice

sebagai pertimbangan hukum yang sesuai dengan undang-undang dan

kepentingan terbaik bagi anak.25

Proses penahanan menurut Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak, penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal

anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak

akan melarikan diri, tidak akan merusak atau menghilangkan barang bukti,

dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.26

Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh penyidik yang

ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

25
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal 226
26
Lihat Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


25

Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap kasus anak juga mempunyai

beberapa syarat diantaranya syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu dalam Pasal 26 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 meliputi:

a. Telah berpengalaman sebagai penyidik;

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak;

c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradian anak

Pada proses penegakan hukum pidana anak didasarkan pada Pasal 9 ayat

(1), maka aparat baik itu penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan

diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil

penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan

masyarakat. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan atau

keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Hal ini

mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam

proses diversi agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan

keadilan restoratif.

Dalam melakukan proses penyidikan, penyidik melakukan upaya

penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan

keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak, wajib melibatkan balai

pemasyarakatan, orangtua dan/atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana

serta tokoh masyarakat setempat. Pendekatan restorative justice telah dilakukan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


26

untuk menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 27

Penerapan restorative justice menitik beratkan kepada proses keadilan yang dapat

memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban dan

masyarakat yang terganggu akibat adanya tindakan pidana tersebut

27
Wagiati Sutedjo dan Melani, 2013. Hukum Pidana Anak. Refika Aditama, Bandung, Hal 136

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Dilihat dari sudut metode yang di pakai maka penelitian ini dapat di

golongkan kedalam jenis penelitian Sosiologis (empiris) dimana yang dimaksud

dengan penelitian hukum positif terhadap kehidupan masyarakat, dikarenakan

penelitian ini penulis langsung terjun ke lapangan untuk mencari kebenaran dan

gambaran secara lengkap dan jelas mengenai fenomena hukum yang akan diteliti

oleh penulis. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya deskriptif, adalah peneliitian

yang memberikan gambaran dengan jelas dan terperinci mengenai penerapan teori

Restoratif Justice yang salah satunya penerapanya adalah diversi terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum berdasarkan UndangUndang Sistem Peradilan

Pidana Anak, Nomor. 11 Tahun 2012 di Polres Rokan Hulu.

3.1.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah hukum Polres Rokan Hulu

dikarenakan jumlah kasus tindak kejahatan dominan dilakukan oleh anak dibawah

umur dan dari banyaknya kenakalan-kenakalan anak tersebut hanya beberapa

kasus anak saja yang berhasil dilakukan upaya diversi oleh karena itu penulis

tertarik untuk melakukan penelitian diwilayah 18 tersebut untuk mencari apa-apa

saja faktor yang menghambat dalam upaya penerapan diversi berlandaskan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

27
28

Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

pada tahap penyidikan.

3.1.3 Populasi

a. Populasi

Populasi ialah seperangkat objek yang akan di teliti berdasarkan

tempat penelitian yang terlebih dahulu telah di tentukan sebelumnya yang

berkaitan dengan penelitian ini. Di dalam penelitian ini penulis telah

menetapkan populasi penelitian yang berhubungan dengan objek

penelitian penulis di Kepolisian Resot Rokan Hulu, yaitu :

Penyidik unit perlindungan perempuan dan anak di Kepolisian

Resot Rokan Hulu .

3.1.4 Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer

Data primer adalah data yang didapatkan oleh penulis langsung

dari narasumber melalui wawancara baik wawancara secara terbuka

maupun wawancara secara tertutup dan responden atau sampel. Adapun

data yang diperoleh oleh penulis berasal dari pihak-pihak yang terkait

dengan perbuatan kenakalan yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum

Polres Rokan Hulu.28

28
Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta, Rajawali Persh, 2014, hal 12

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


29

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh penulis secara tidak

langsung dari sumbernya (objek penelitiannya) tetapi melalui sumber lain,

seperti dari buku-buku literatul yang mendukung pokok masalah yang

akan dibahas oleh penulis. Selain dari buku-buku literatul, penulis juga

memperoleh data sekunder dari skripsi, tesis, jurnal, kamus, dan sumber-

sumber lain yang mendukung untuk menjawab dari pokok masalah

penulis.29

1. Bahan hukum primer

Yaitu bahan hukum yang berasal dari penelitian kepustakaan yang

didapat dari Undang-Undang seperti Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, dan Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

2. Bahan hukum sekunder

Sumber-sumber penelitian yang erat kaitanya dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan

hukum primer yang terdapat di dalam kutipan-kutipan literatul dan hasil

karya ilmiah dari peneliti hukum yang berhubungan dengan pokok

pembahasan dari penelitian ini.

29
Suteki, “Metode Penelitian Hukum”, Depok, Rajawali Persh, 2018, hal 215.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


30

3. Data tersier

Adalah sumber-sumber penelitian yang terdapat didalam

ensiklopedia dan sejenisnya yang mendukung data primer, data sekunder

dan kamus bahasa Indonesia.

3.1.5 Teknik Pengumpulan Data

Agar mendapat data yang dapat dipercaya dan dapat

dipertanggungjawabkan, oleh karena itu peneliti memakai teknik

pengumpulan data dengan metode sebagai berikut :

a. Wawancara/Interview

Yaitu dengan mengumpulkan berbagai pertanyaan yang

berhubungan terhadap konsep permasalahan kemudian langsung

mempertanyakan terhadap responden dan para pihak-pihak yang

mempunyai keterkaitan terhadap konsep permasalahan yang di

angkat didalam skripsi ini.

b. Kajian Kepustakaan

Ialah dengan memakai teknik pengumpulan data baik

dengan membaca buku-buku, Jurnal, yang berhubungan dengan

penelitian ini sehingga dengan membaca berbagai sumber tersebut

dapat membantu penulis untuk meyelesaikan penelitian ini.

3.1.7 Analisis Data

Dalam hal analisis data, penelitian ini memakai pengolahan data

secara kualitatif, ialah beberapa uraian-uraian yang diberlakukan terhadap

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


31

datadata yang terkumpul dan tidak berupa angka-angka yang disusun

secara logis dan sistematis tanpa menggunakan rumusan statistik sehingga

data dapat dipahami. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan secara

deduktif yaitu kesimpulan yang didapat dari hal-hal yang umum dari hal-

hal khusus.

3.1.8 Definisi Operasional

Konsep operasional merupakan batasan-batasan mengenai terminologi

yang terdapat di dalam judul dan ruang lingkup penelitian atau

memberikan suatu pemahaman mengenai istilah di dalam judul

penelitian, adalah sebagai berikut :

1. Penerapan adalah proses, cara, membuat, menerapkan,

pemasangan.

2. Restoratif Justice adalah penyelesian perkara tindak pidana

dengan melibatkan, pelaku, korban, keluarga pelaku, serta

pihak-pihak yang berkaitan untuk sama-sama mencari solusi

yang adil dengan bertujuan memulihkan keadaan semula, dan

bukan upaya pembalasan. 30

3. Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman

sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam

KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainya. 31

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas)

tahun, dan termaksud anak yang masih di dalam kandungan. 32


30
Jonaedi Efendi, Ismu Gunandi Widodo, Fifit Fitri Lutfianingsi, “Kamus Istilah Hukum
Populer”, Jakarta, Prenadamedia Groub, 2016, hal 360
31
Ibid hal 400

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Penerapan Restoratif Justice Terhadap Anak Dibawah Umur

Berdasarkan hasil penelitian, data yang diuraikan dan dibahas adalah

tentang hasil observasi, wawancara dan dokumentasi terkait dengan Penerapan

Asas Restorative Justice dalam penyelesaian perkara Tindak Pidana Anak

dibawah umur di Kabupaten Rokan Hulu.

4.1.2 Hasil Observasi

a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini dilaksanakan di Polres Kabupaten

Rokan Hulu, adapun gambaran umum lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Labuhan

Batu, Provinsi Sumatera Utara.

2. Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar

3. Barat berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat,

Propinsi Sumatera Barat

4. Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir.

Sejarah singkat Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul)

merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Riau dengan ibu kotanya terletak di

32
Laurensius Arliman S, “Perlindungan Anak”, Yogyakarta, CV. Budi Utama, 2016. Hal 1

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

32
33

Pasir Pangaraian. Berdasarkan Permendagri No.66 Tahun 2011, Kabupaten Rokan

Hulu memiliki luas wilayah sebesar 7.588,13 km² dengan jumlah penduduk

sebanyak 513.500 jiwa. Secara administratif, kabupaten ini memiliki 16 daerah

kecamatan, 7 daerah kelurahan dan 149 daerah desa. Kabupaten Rokan Hulu

dikenal dengan sebutan "NEGERI SERIBU SULUK". Kabupaten Rokan Hulu

terletak pada garis lintang 00°25‟20-010°25‟41 LU 1000°02‟56-1000°56‟59 BT.

Secara geografis, Kabupaten Rokan Hulu memiliki batas-batas wilayah sebagai

berikut:

1. Utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Labuhan

Batu, Provinsi Sumatera Utara.

2. Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar

3. Barat berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat,

Propinsi Sumatera Barat

4. Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir.

Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari 16 kecamatan, yaitu sebagai berikut :

1. Kecamatan Bangun Purba,

2. Kecamatan Kabun,

3. Kecamatan Kepenuhan,

4. Kecamatan Kunto Darussalam,

5. Kecamatan Rambah,

6. Kecamatan Rambah Hilir,

7. Kecamatan Rambah Samo,

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


34

8. Kecamatan Rokan IV Koto,

9. Kecamatan Tambusai,

10. Kecamatan Tambusai Utara,

11. Kecamatan Tandun,

12. Kecamatan Ujungbatu,

13. Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam,

14. Kecamatan Bonai Darussalam,

15. Kecamatan Kepenuhan Hulu,

16. Kecamatan Pendalian IV Koto.

b. Fakta Kasus Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum

Tindak pidana yang terjadi saat ini di masyarakat bukan saja pelakunya

orang dewasa, bahkan terjadi kecenderungan pelakunya adalah masih tergolong

usia anak-anak. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan

kenakalan anak perlu segera dilakukan. Salah satu upaya pemerintah dalam

melakukan pencegahan dan penanggulangan kenakalan yaitu dengan

menyelenggarakan sistem peradilan pidana anak (Juvenile Justice System) melalui

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dilakukan

dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang berar-benar menjamin

perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

sebagai penerus bangsa.

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Anak menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Anak yang

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


35

berkonflik dengan hukum adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 33

Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai anak yang

disangka, dituduh, atau diakui sebagai anak yang telah melanggar Undang-

Undang Hukum Pidana (Pasal 40 ayat (1) Konvensi Hak anak. Dalam prespektif

Konvensi Hak Anak, anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai

anak dalam situasi yang khusus.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 11 sampai 13

Januari 2021 terlihat banyak sekali anak yang terlibat dalam kasus tindak pidana.

hal ini dinyatakan sesuai yang peneliti dapatkan datanya bahwa kasus tindak

pidana yang dilakukan oleh anak di Polres Kabupaten Rokan Hulu yaitu terdiri

dari berbagai macam tindak pidana, diantaranya yaitu; kasus pencurian,

penganiayaan, kekerasan, pemerasan disertai dengan pengancaman, penggelapan,

narkoba dan yang paling memprihatinkan adalah kasus dimana seorang anak

dapat melakukan tindakan pencurian. Berdasarkan katagori perbuatan anak suatu

peristiwa hukum yang dilakukan oleh anak dibawah umur melakukan perbuatan

tindak pidana pencurian sangat meresahkan masyarakat, seperti peristiwa hukum

yang terjadi diwilayah hukum pengadilan negeri Rokan Hulu bahwa anak terbukti

melakukan tindak pidana pencurian. Kasus-kasus pencurian tersebut dapat

memberikan gambaran masih banyaknya jumlah anak bermasalah dengan hukum

yang harus menjalani proses peradilan pidana.

33
Pasal 1 ayat (3) , Undang-Undang No.11 Tahun 2012

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


36

4.1.3 Hasil Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak kasat reskrim

AKP Ranly Labolang, selaku Kasat Polres Rokan Hulu pada tanggal 11 Juni 2021

beliau mengatakan :

“Penerapan asas Restorative justice atau upaya diversi selalu dilakukan

bagi setiap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Dalam beberapa

kasus upaya diversi tersebut dapat memperoleh kesepakatan oleh masing

masing pihak sehingga perkara tidak dilanjutkan ke tingkat penuntutan.

upaya diversi ini juga digunakan apabila yang melakukan tindak pidana

ringan. Dan tidak dapat dilakukan asas tersebut apabilla pelaku tersebut

sudah pernah melakukan diversi. Dan nantinya Meski anak dibawah umur

ketika melakukan pidana berat akan tetap diadili sesuai dengan aturan

yang berlaku karena ketika menerapkan asas Restorative justice ini harus

ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Jika pihak korban ingin

memproses kasusnya maka diversi tersebut bisa gagal sehingga

mengakibatkan akan ada anak dipenjarakan. Dan penyidik dari Kapolsek

Rokan Hulu telah melakukan proses penyidikan terhadap perkara-perkara

yang pelakunya adalah anak dibawah umur, sesuai dengan undang-undang

nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, yaitu dengan

melakukan upaya Restorative justice melalui diversi terhadap anak yang

tersangkut dalam perkara pidana”.

Hal serupa juga, dengan yang diungkapkan oleh Selaku Kanit PPA reskrim

Polres Rokan Hulu beliau menjelaskan :

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


37

Penyelesaian dengan Restorative justice tetap dilakukan bagi setiap anak

yang melakukan tindak pidana di Polres Rokan Hulu. Dan peneyelesaian dengan

pendekatan Restorative justice/diversi ini juga dianggap sudah tepat untuk

menyelesaikan perkara dengan mempertemukan pihak terkait baik dari pelaku,

korban, keluarga korban/pelaku, pekerja sosial maupun pembimbing

kemasyarakatan dan dari penegak hukum itu sendiri. dan juga ada beberapa

keuntungan yang akan diperoleh jika diversi dilakukan pada tahap penyidikan

oleh kepolisian, yaitu:

1. Dapat mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara dimengadilan

banyaknya kasus yang diajukan kepengadilan menyebabkan proses

perkara sering kali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta

sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2. Meningkatkan keterlibatan masyarakat atau memberdayakan pihakpihak

yang bersengketan dalam proses penyelesaian sengketa.

3. Memperbesar peluang masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

4. Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang

menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga

para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi.

5. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.

6. Bersifar tertutup atau rahasia, sehingga mengurangi rasa malu keluarga.

7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan yang

dikarenakan keputusan yang diambil merupakan kehendak para pihak.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


38

Sehingga hubungan pihak-pihak yang bersengketa dimasa depan masih

dimungkinkan terjalin dengan baik.

8. Mengurangi merebaknya mafia hukum baik ditingkat penyidikan,

penuntutan, pengadilan maupun pada tingkat pelaksanaan utusan

pengadilan.34

Perkara anak di kepolisian Resort Rokan Hulu menjadi berakhir sering

dengan pemberian peringatan formal, peringatan formal ini perlu dicatat dalam

buku catatan kepolisian dan tidak perlu disampaikan ke ketua pengadilan negeri

untuk memperoleh penetapan.

4.1.4 Hasil Dokumentasi

Penelitian terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai fakta

hukum yang terjadi seperti penulis temukan datanya. Dibawah ini ditemukan

dalam tabel, data mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak di

wilayah hukum Kepolisian Resort Rokan Hulu selama kurun waktu tahun sampai

dengan tahun 2020, dapat digambarkan seperti berikut :

Tabel 1.
Data Jumlah Anak yang melakukan Tindak Pidana Di Kepolisian Resort Rokan
Hulu Tahun

No Jenis Tindak Tahun Wilayah Dominan


Pidana 2019 2020
1 Pembunuhan 4 10 Tambusai Utara
2 Pencurian 30 27 Tandun
Jumlah 34 37
Sumber : Polres Rokan Hulu

34
Wawancara Dengan Ipda Sopianto, Tanggal 12 Juni 2021, jam 14.00 Wib

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


39

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi terhadap

jumlah tindak pidana yang dilakukan anak dari tahun ke tahun. Hal ini dapat

dilihat dari tabel 1 diatas tahun 2019 terjadi 34, namun mengalami peningkatan

yang signifikan ditahun 2020 menjadi 37 kasus. Peneliti tidak mencari apa yang

menyebabkan terjadinya peningkatan kasus ini, hanyalah memaparkan terjadinya

kasus-kasus mengenai tindak pidana anak. Kemudian di tahun 2020 terjadi 37

kasus tindak pidana anak.

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa masih banyak anak yang kemudian

melakukan tindak pidana, baik penganiayaan mengakibatkan kematian maupun

pencurian dan sebagainya. Tentunya dengan adanya undang-undang nomor 11

tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, mengupayakan penyelesaian

tindak pidana oleh anak melalaui diversi dengan pendekatan Restorative Justice.

Proses pemulihan menurut konsep restorative justice adalah melalui

diversi yaitu Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian

perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan secara mediasi sistem peradilan

pidana anak harus mengacu pada due process of law, sehingga hak asasi anak

yang diduga melakukan tindak pidana dan atau telah terbukti melakukan tindak

pidana dapat dilindungi.

Penyelesaian perkara pidana anak yang berorientasi pada kepentingan

pelaku sebagaimana menjadi tujuan pendekatan restorative justice, sesuai dengan

ketentuan Pasal 10 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


40

setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi

dengan menghormati martabat yang melekat pada dirinya. Restorative justice

merupakan upaya untuk memperlakukan anak yang berkonflik dengan hukum

sesuai dengan martabatnya.

Dengan adanya aturan ini juga diharapkan mampu untuk memberi rasa

keadilan bagi pihak korban dan pelaku tindak pidana. Selain itu dapat

mempercepat proses penyelesaian perkara karena kasus dapat tidak dilanjutkan ke

tahap penuntutan jika proses diversi berhasil mendapatkan kesepakatan anatara

pihak. Dibawah ini akan dikemukakan tindak pidana anak yang diselesaikan

dengan diversi melalui pendekatan Restorative justice.

Karakteristik pelaksanaan restorative justice di Kabupaten Rokan

Hulu yaitu :35

1. Pelaksanaan Restorative Justice ditujukan untuk membuat pelanggar

bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang dimbulkan oleh

kesalahannya;

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan

kemampuan dan kualitasnya dalam bertanggung jawab atas kerugian

yang ditimbulkannya, disamping itu untuk mengatasi rasa bersalah

secara konstruktif;

3. Penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan melibatkan korban

atau para korban, orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan

keluarga korban, sekolah dan teman sebaya;

35
Wawancara dengan kasatreskrim Rokan Hulu, Tanggal 10 Januari 2010, Jam 10 wib

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


41

4. Penyelesaian dengan konsep restorative justice ditujukan untuk

menciptakan forum untuk bekerjasama menyelesaikan masalah yang

terjadi;

5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan

reaksi sosial

Pada proses Penyidikan, Penyidik Anak wajib mengupayakan diversi

dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan proses

diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi.

Proses diversi berhasil mencapai kesepakatan penyidik menyampaikan berita

acara diversi kepada Ketua pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan, apabila

diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara

penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian

kemasyarakatan. Berdasarkan UU SPPA juga mengatur ketentuan pidana untuk

para penyidik yang tidak melaksanakan kewajibannya .Pasal 98 UU SPPA juga

mengatur ketentuan pidana untuk para penyidik yang tidak melaksanakan

kewajibannya yaitu mengupayakan diversi, yang berbunyi: “Penyidik yang

dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.

Hasil wawancara dengan Penyidik anak di Polresta Rokan Hulu

mengemukakan bahwa Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah

ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara

telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan

berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


42

mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang

waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hukum penyerahan berkas perkara

sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan

proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang

bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan tanggung jawab

yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung

jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita

Setelah proses diversi berhasil dan memperoleh kesepakatan maka para

pihak harus membubuhkan tanda tangannya dalam berita acara kesepakatan

diversi. Lalu penyidik menyampaikan surat kesepakatan diversi dan berita acara

kesepatan diversi kepada atasan penyidik lalu dalam jangka waktu 3 (tiga) hari

terhitung dari tanggal tersebut maka penyidik menyampaikan surat kesepakatan

diversi dan berita acara diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk memperoleh

penetapan36

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik harus bersifat baik dan

ramah dengan menunjukkan Kartu Tanda Penyidik dan Surat Perintah

Penahanan.37 Sementara itu dalam proses pemeriksaan tersangka harus dengan

suasana kekeluargaan (Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012). Penyidik harus bersikap

ramah terhadap tersangka anak dan tidak boleh melakukan intimidasi terhadap

anak tersebut supaya pemeriksan berjalan dengan lancar, karena seorang anak

yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan

36
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 tahun.
37
Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan Hlm 39

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


43

untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Waktu

pemeriksaan, pelaku anak wajib didampingi oleh pihak yang berkepentingan

ataupun berhak memberikan pendampingan kepada sang anak.38

Pelaksana diversi juga harus bijak dan seksama dalam melihat umur anak

yang terjerat tindak pidana karena ada ketentuan tersendiri mengenai batasan

umur anak dalam melakukan diversi sebagai mana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah anak yang

telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Selain Pasal 21

UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dalam hal

anak yang belum mencapai usia 12 tahun melakukan tindak pidana, maka polisi

mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orangtuanya atau

mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan

di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggara kesejahteraan paling lama 6

(enam) bulan.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 10 Juni 2021

sesuai yang peneliti dapatkan datanya bahwa di Kepolisian Resort Rokan Hulu

belum melakukan diversi secara keseluruhan terhadap tindak pidana yang

dilakukan oleh anak. Diversi ini sebagian mendapatkan kesepakatan Hanya anak

yang melakukan tindak pidana ringan saja, dan untuk tindak pidana berat yang

dilakukan oleh anak itu kadang ada yang mendapatkan kesepakatan diversi dan

ada juga yang tidak mendapat kesepakatan diversi, yang artinya anak yang terlibat

38
Anggota PPA Polresta Rokan Hulu, Wawancara Pribadi, Rokan Hulu, 18 Juni 2021, Pukul
13.00 WIB

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


44

kasus tindak pidana berat seperti kasus pemerkosaan, itu akan tetap dilanjutkan

dikarenaka adanya pihak-pihak yang menolak sehingga dikatakan diversi itu gagal

dan juga akan ada anak yang dipenjarakan.Dari hasil wawancara yang dilakukan

pada tanggal 19 juni 2021 dengan Selaku Kanit PPA Reskrim Polres Rokan

Hulu. Melalui pedoman wawancara secara garis besar beliau mengatakan: “dari

sejumlah kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang masuk laporannya

ke pihak polres Rokan Hulu mulai dari tahun 2019 sampai dengan tahun 2020

adalah sejumlah 71 kasus dan kasus yang berhasil diproses atau diselesaikan

melalui penerapan restorative justice hanya 20 kasus saja. Dari sejumlah kasus

yang begitu banyak yang masuk laporan ke pihak kepolisisan hanya sebagian

kecil yang mampu diselesaikan oleh pihak Kepolisisan Resort Rokan Hulu.

Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan. apabila perkara

tersebut sudah diselesaiakan secara damai. dimana pihak korban atau orang tua

korban tidak bersedia melakukan perdamaian dengan adanya surat pernyataan

yang ditandatangani oleh orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke

jaksaan.

Fakta ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan kewenangan

diskresinya dalam menangani perkara anak. Alasan pihak kepolisian tidak

menggunakan kewenangan diskresi mereka secara maksimal dikarenakan ada

beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus

pencabulan (pemerkosaan) dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana

ringan seperti kasus penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan diversi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kanit Pidum Kapolres Rokan Hulu, bahwa :

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


45

“Untuk diversi biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau

kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau

narkoba semua dilimpahkan”

Penerapan asas restorative justice di Kabupaten Rokan Hulu belum

terlaksana dengan baik, karena banyak kasus yang terjadi tidak bisa di selesaikan

dengan cara diversi, disebabkan para pihak tidak mau berdamai, seperti kasus

pencurian yang meresahkan masyarakatnya.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan dokumentasi dalam

penelitian ini bahwa penerapan Restorative justice dalam penyelesaian tindak

pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di Kabupaten Rokan Hulu. Setelah

adanya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

dan PERMA No 4 Tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam

sistem peradilan pidana anak, maka setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anak

diselesaikan dengan diversi melalui pendekatan Restorative justice sesuai dengan

aturan yang berlaku. Tentunya dalam pelaksanaan diversi tersebut memiliki

syarat-syarat tertentu dalam melaksanakannya. Diversi yang dilaksanakan melalui

pendekatan Restorative justice dengan mempertemukan masing-masing pihak

untuk kemudian memperoleh kesepakatan.

1.2.1 Penerapan Asas Restoratif justice Dalam penyelesaian perkara Tindak

Pidana pencurian yang dilakukan oleh Anak Di Polres Rokan Hulu

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


46

Pendekatan Restorative justice dalam penyelesaian Tindak Pidana

yang Dilakukan anak di polres Rokan Hulu diselesaikan melalui pendekatan

restorative justice, yang proses penyelesaian hukumnya terjadi dilakukan dengan

membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu

pertemuan untuk bersama-sama berbicara proses model keadilan restorative yang

dimana peran polisi sebagai mediator, fasilitator, atau pengawas. Dalam hal ini

polisi menunjukan pasal-pasal dan ketentuan perundang-undangan peradilan anak,

lalu para masyarakat dipersilahkan mencari jalan keluar terbaik agar terjadi proses

perbaikan, pemulihan hubungan, konsiliasi dan rekonsiliasi antara korban dan

pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, dengan penerimaan masyarakat

kembali terhadap pelaku tanpa stigmatisasi apapun terhadap pelaku.

Penyidik dari polsek Rokan Hulu telah melakukan proses penyidikan

terhadap perkara-perkara yang pelakunya adalah anak dibawah umur, sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana

anak, yaitu dengan melakukan upaya restoratif justice melalui diversi terhadap

anak yang tersangkut dalam perkara pidana. Berdasarkan hasil penelitian dalam

penyelesaian yang dilakukan dengan pendekatan restorative justice di Polres

Rokan Hulu adalah proses mediasi sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah,

dalam penerapan asas restorative justice di Polres Rokan Hulu yang dilakukan

oleh pihak kepolisian yaitu dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti Mediasi

korban dengan pelaku/pelanggar; musyawarah kelompok keluarga, yang bersifat

pemulihan baik bagi korban maupun pelaku dimana keterlibatan dalam proses

penyelesaian yakni korban dan pelaku serta pihak ketiga yakni pihak kepolisian

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


47

yang menjadi mediator dan fasilitator untuk menjebatani kedua belah pihak untuk

mencapai kesepakatan dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses

musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan luka yang telah

diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut. Dengan demikian, dampak

negative akibat anak yang melakukan tindak pidana ketika berhadapan dengan

aparat penegak hukum dapat diminimalisir. Polisi selaku pemangku kewenangan

diversi dari tanggung jawab untuk menentukan kebijakan mekanisme yang akan

ditempuh dalam menerapkan diversi.

1.2.2 Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana di Kabupaten

Rokan Hulu

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan

selaku anggota penyidik Polres Rokan Hulu pada tanggal 10 Juni 2021

Faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana di Kabupaten

Dompu sebagai berikut :

1. Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kenakalan oleh anak,

merupakan aspek kepribadian yang berasal dari dalam diri anak seperti konsep

diri yang rendah. Anak yang terlibat dalam kasus tindak pidana biasanya kurang

mampu melakukan penyesuai sosial atau adaptasi pada situasi lingkungan yang

kompleks.

2. Faktor Lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


48

Lingkungan diantara rumah dan sekolah yang sehari-hari anak alami, Juga

membawa dampak terhadap munculnya anak melakukan tindak pidana. Sekolah

pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya

menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas

pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya

untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan

dengan pengajaran, Tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya). Kemudian

Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antara orangtua atau pada

anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak ketika meningkat remaja, belajar

bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya sehingga adalah hal yang wajar kalau

ia melakukan kekerasan ulang. Sebaliknya, orangtua yang terlalu melindungi

anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan

tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan

teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya

sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor anak melakukan kejahatan, latar

belakang ekonomi keluarga yang tidak mampu memenuhi segala kebutuhan anak

menyebabkan anak mencari pemenuhan kebutuhannya dari lingkungan luar.

Dengan demikian perekonomian keluargan yang berada dibawah garis kemiskinan

sangat mendorong anak melakukan tindak pidana pencurian. Tekanan yang ada

dalam kelompok sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Dan berdasarkan

hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa anak-anak terjerat kasus hukum

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


49

baik kasus pencurian, penganiayaan dan kekerasan dikarenakan pengaruh

temantemannya. kurangnya pengawasan orang tua dan lingkungan membuat anak

itu. ikut-ikutan bersama temannya (ajakan), dan adanya kesempatan. Sehingga

Kelompok sosial dan teman sebaya memberikan tekanan yang sangat kuat kepada

anak untuk melakukan tindak pidana.

Modernisasi dan kemajuan dan teknologi tidak hanya membawa dampak

positif bagi generasi muda namu juga membawa dampak negative, salah satu

dampak negatifnya adalah keterlibatan anak dalam melakukan tindak pidana,

antara lain :

1. Faktor Keluarga dan Lingkungan

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, namun mempunyai

peranan yang sangat besar dalam mempengruhi kehidupan dan perilaku anak.

Lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang jasmani dan rohani

serta akal anak sejak si anak lahir hingga dewasa adalah keluarga. Baik dan

buruknya perilaku anak tergantung bagaimana pola asuh orangtua dan dengan

siapa si anak bergaul. Dari sekian banyak anak yang melakukan tindak pidana

adalah anak-anak yang kurang pengawasan dan mengalami polah asuh yang salah

dari orangtua.

2. Faktor Pendidikan

Pendidikan juga berpengaruh terhadap prilaku anak, kebanyakan

anakanak yang melakukan tindak pidana, pendidikannya rata-rata hanya tamat

sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Dengan pendidikan yang minim

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


50

maka pola pikir mereka akan mudah dipengaruhi oleh keadaan sosial sehingga

pergaulan dalam lingkungannya mereka mudah mengekspresikan tingkah laku

yang kurang baik lewat perbuatan yang merugikan masyarakat, misalnya

pencurian, perkelahian, menganiayaan, serta perjudian.

3. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah salah satu hal yang penting didalam kehidupan manusia,

desakan ekonomi, gaya hidup, kebutuhan keluarga yang harus segera dipenuhi,

sementara mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, membuat seseorang menjadi

nekat dan termotivasi untuk melakukan tindak pidana.

4. Faktor Penegakan Hukum

Adakalanya pihak penegak hukum kadang-kadang menyimpang dari

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga ada pelaku kejahatan

anak yang melakukan tindak pidana yang mendapat hukuman terlalu ringan atau

aparat penegak hukum memilih model penyelesaian tindak pidana yang tidak

tepat (misalnya program diversi tapi diberikan pada pelaku yang tidak tepat),

maka karena hukuman yang diberikan tidak menimbulkan efek jera bagi si anak

akibatnya anak kembali melakukan pengulangan tindak pidana. Demikian juga

terhadap anak yang telah menjalani proses penghukuman didalam lapas anak

namun tidak diberikan pendidikan, keterampilan serta bimbingan rohani akhirnya

setelah bebas kembali lagi menjadi resedivis.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


51

Syarat-Syarat Untuk Melakukan Restorative justice/Diversi39

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya Restorative

justice, yaitu

a. Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku

b. Harus ada persetujuan dari pihak korban untuk melaksanaka

penyelesaian diluar sistem peradilan pidana anak yang

bersangkutan.

c. Persetujuan dari kepolisisan atau dari kejaksaan sebagai institusi

yang memiliki kewenangan diskresioner.

4.2.3 Tujuan Diversi Dalam Tindak Pidana Anak

Prinsip pelaksanaan konsep diversi yaitu memberikan kesempatan

kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Diversi sebagai usaha mengajak

masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum Negara. Pelaksanaanya tetap

mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian

kesenmpatan kepada pelaku untuk menempu jalur non pidana seperti ganti rugi.

Kerja sosial atau pengawasan orang tua. Langkah pengalihan dibuat untuk

menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya dan untuk dukungan

komunitas, disamping itu pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh

negative dari tindakan hukum berikutnya yang dapat menimbulkan stigmatisasi .

39
Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice. 2. Medan: PT Refika Aditama.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


52

Tujuan dilakukan diversi berdasarkan ketentuan undang-undang nomor

11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pasal 6 Diversi bertujuan

untuk :

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak,,

b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,

d. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

4.2.4 Hak-Hak Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Setiap warga Negara memiliki hak yang sama yang melindungi oleh

undang-undang, begitu pula dengan anakanak yang dilindungi oleh konstitusi dan

deklarasi hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut,

terdapat dalam standar minimum. Pasal 7 ayat 1 menegaskan bahwa jaminan -

jaminan procedural mendasar dan bersifat umum (basis procedural cafeguards)

yang harus dijamin dalam setiap tahap proses peradilan pidana anak.40

Ada beberapa hak-hak anak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan

pelaksanaannya secara bersama-sama, yaitu :

1. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah,

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan

yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial,

3. Hak untuk mendapatkan pendamping dari penasehat hukum,

40
Wagiati Soetedjo dan Melani, 2013, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 53

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


53

4. Hak untuk mendapatkan fasilitas transport serta penyuluhan dalam ikut

serta memperlancar pemeriksaan,

5. Hak untuk menyampaikan pendapat,

6. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya,

7. Hak untuk pembinaan yang manusiawi sesuai dengan pancasila dan

undang-undang dasar 1945 dan ide permasyarakatan,

8. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya

persiapan yang matang sebelum sidang dimulai,

9. Hak untuk dapat berhubungan dengan orangtua dan keluarganya

Memperhatikan hak-hak anak yang telah diatur diberbagai peraturan

perundang-undangan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum, kiranya tidak mungkin hak-hak anak nakal akan

terabaikan dalam penerapannya, tetapi dalam pelaksanaannya masih ada anak

nakal yang belum bisa mendapatkan hak-haknya sebagai terdakwa anak, hal ini

terlihat bahwa penahan terdakwa anak dengan terdakwa orang dewasa masih

disatukan, hal ini disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana, yang

dimana akan mengakibatkan terganggunya perkembangan fisik, mental dan sosial

anak. Pengembangan anak hak-hak anak dalam proses peradilan pidana

merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak

hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan penegak hukum

perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan

hakhak anak demi kesejahteraan anak.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


54

4.2.5 Upaya Pencegahan Terhadap Anak Dalam Melakukan Tindak Pidana

Anak Di Polres Rokan Hulu

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kasatreskrim polres

Rokan Hulu pada tanggal 18 Juni 2021 menyatakan bahwa peran kepolisian

sebagai penegak hukum untuk mencegah terhadap anak yang melakukan tindak

pidana dapat dilakukan dengan upayaupaya sebagai berikut :

1. Upaya Preventif (Pencegahan)

Upaya preventif adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya

tindak pidana. Upaya ini merupakan tindakan yang dilakukan secara

sistematik, terencana, terpadu dan terarah kepada tujuan untuk menciptakan

suasana yang kondusif guna menekan terjadinya tindak pidana anak di

Rokan Hulu. Upaya prevensif dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Melakukan sosialisasi/penyuluhan

Penyuluhan dilakukan di sekolah-sekolah, kantor desa dan

kecematan ditunjukan kepada warga desa atau kecematan yang secara

khusus adalah kepada anak dan juga kepada karang taruna yang

beranggotakan para pemuda dan anak didesa atau kecematan setempat

maupun di instansi pemerintahan untuk memberi pemahaman tentang apa

itu tindak pidana dan sanksi hukum yang akan dijatuhkan apabila

melakukan tindak pidana. Memberi pemahaman ini bertujuan agar anak

tidak melakukan tindak pidana dan tahu akan bahaya yang ditimbulkan

apabila melakukan tindak pidana. Dengan dilakukan penyuluhan ini

diharapkan masyarakat khususnya anak dapat ikut serta berpartisipasi

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


55

dalam membantu tersebut serta jika ditemukan atau mengalami suatu

tindak pidana oleh anak segera melaporkan kepada pihak kepolisian

tentang adanya tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

b. Melakukan kerja sama dengan berbagai kompenen antara lain lembaga

pembinaan khusus anak, lembaga penempatan anak sementara, lembaga

penyelenggaraan kesejahteraan sosial, balai permasyarakatan, dan

instansi-instansi lain yang terkait.

c. Upaya pencegahan yang dilakukan kepolisisan resort Rokan Hulu seperti

melakukan patroli, pengawasan oleh babinsa yang dibantu oleh

masyarakat dalam hal melakukan ronda malam mencari anak-anak yang

suka melakukan tindak pidana seperti pencurian.

2. Tindakan Represif

Upaya represif adalah tindakan yang dilakukan pihak kepolisian setelah

tindak pidana tersebut terjadi. Upaya represif baru diterapkan apabila upaya

lain sudah tidak memadai atau tidak efektif lagi untuk mengatasi suatu tindak

pidana anak kemudian upaya represif yaitu upaya ini dimaksudkan untuk

menindak para pelaku tindak pidana anak sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang mereka

lakukan adalah perbuatan yang melanggar hukum. Langkah awal dalam upaya

mengatasi hal tersebut diatas, dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan

secara rinci kepada anakanak tentang beberapa aspek yuridis yang relevan

dengan perbuatan-perbuatan nakal yang sering kali mereka lakukan. Dengan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


56

demikian, anak-anak akan dapat memiliki pemahaman atau pengertian,

penghayatan dan perilaku hukum yang sehat.

Usaha untuk mencintai tingkat kesadaran hukum dikalangan anak-anak

maupun remaja dapat dilakukan melalui beberapa aktivitas, akan tetapi yang

paling sederhada dengan kehidupannya yakni melalui penyuluhan hukum yang

nantinya akan memberikan kesadaran bagi anak. Selain aspek sedaran hukum,

dan aspek lain dapat membimbing anak untuk dapat menjadi anggota

masyarakat dengan perilaku positif.41

Internalisasi nilai-nilai kaidah sosial dan internalisasi nilai-nilai norma

agama dapat pendidikan anak memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan

dan memiliki penghayatan serta perilaku yang sesuai dengan perintah agama,

dan meninggalkan larangan agama yang dianutnya. Perspektif ini akan mampu

meberikan sumbangan bagi terwujudnya kehidupan sosial serta lingkungan

yang sehat secara material maupun secara moral/spiritual. Oleh karena itu

upaya penanggulangan terhadap kenakalan anak haruslah dilakukan secara

terpadu, salah satunya adalah dengan memaksimalkan upaya preventif. Upaya

previntif yang dapat dilakukan adalah dengan memaksimalkan fungsi lembaga-

lembaga berikut ini :

a. Keluarga

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyain

peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perilaku anak.

Kedudukan dan fungsi keluarga dalam kehidupan manusia bersifat

41
Achjani Zulfa, Eva, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, hal 163-
164

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


57

fundamental, karena hakikatnya keluarga merupakan wadah pembentuk watak

dan perilaku anak. Karena itu keluarga mempunyai peranan dominan dalam

pendidikan anak, ditangan orangtualah yang baik dan buruknya perilaku anak

terbentuk.

Pendidikan dan pembinaan akhlak merupakan hal yang penting dan

sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas hidup. Dari

beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, terlihat bahwa

kebanyakan anak pelaku tindak pidana adalah anak-anak yang menjalani hidup

secara bebas, tanpa pengawasan dan perhatian dari orangtua, serta anakanak

yang berasal dari anak keluarga “brokenhume” hal ini tidak akan terjadi jika

orang tua mengadakan pelarangan jam keluar malam bagi anak-anak,

mengontrol pergaulan anak, mengenal dan mencari tahu dengan siapa saja anak

bergaul. Demikian juga dengan kasus penganiayaan, kasus perjudian yang

dilakukan oleh anak, kasus narkotika dan pencurian juga kebanyakan dilakukan

oleh anak-anak kurang yang mendapat pengawasan dan perhatian dari

keluarga.

b. Masyarakat

Peran masyarakat dalam usaha pencegahan kenakalan anak adalah

dalam bentuk penyelenggaran kegiatan-kegiatan, misalnya pembentukan/

kegiatan organisasi-organisasi pemuda/remaja/anak sehingga pemuda lebih

banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan positif dan memacu kreatifitas

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


58

anak. Masyarakat juga harus menyediakan pelayanan fasilitas rekreasi yang

secara mudah bisa didapat oleh para remaja/anak.

c. Media Massa

Agar media massa dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi dalam

upaya pencegahan kenakalan anak, maka salah satu cara yang dapat ditempuh

adalah media massa didorong agar memperkecil tingkat pornografi,

penayangan obat terlarang dan kekerasan dan media massa harus menyadari

tanggung jawab dan peran sosialnya yang besar, seperti kampanye

penyalagunaan obat-obatan terlarang.

d. Pendidikan

Lembaga pendidikan baik formal maupun informal juga dapat

berpengaruh dalam pembentukan karakter anak, penjegahan kenakalan anak

melalui pendidikan dapat dilakukan dengan cara penyelenggaraan kegiatan

pendidikan yang mencakup :

1. Pengajaran dan penanaman nilai dasar dan pengembangan

penghormatan terhadap identitas dan pola kebudayaan masing-

masing anak.

2. Memajukan dan mengembangkan kepribadian, kecakepan dan

kemampuan mental, fisik anak menuju potensi maksimalnya.

3. Melibatkan anak secara aktif dalam proses Pendidikan.

4. Mendorong anak untu menghormati perbedaan pendapat dan

pandangan serta perbedaan lainnya.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


59

5. Menghidari dari perlakuan salah dan penghukuman yang keras.

6. Pemeliharaan dan perhatian khusus terhadap anak yang menghadapi

resiko sosial.

7. Membuat peraturan dan kebijakan yang adil terhadap seluruh siswa.

8. Sekolah memberikan bantuan khusus bagi anak yang mengalami

kesulitan dalam memenuhi prasarat disekolah, untuk hadir disekolah,

dan bagian anak yang terancam putus sekolah.

Dari beberapa tindak pidana/kenakalan anak yang terjadi selama ini

terlihat bahwa sekolah belum menjalankan fungsinya secara maksimal. Sebaiknya

sistem peradilan juga harus bekerja sama dengan orang tua, organisasi

masyarakat, serta badan-badan yang terkait dengan aktivitas anak.

4.2.6 Hambatan Yang Dialami Oleh Pihak Kepolisian Dalam Menerapkan

Asas Restorative justice Di Polres Rokan Hulu

Penerapan Restorative Justice dalam penanganan tindak pidana yang

dilakukan oleh anak diwilayah hukum Polres Rokan Hulu dalam hal ini

diwujudkan dalam bentuk diversi secara konseptual akan lebih sesuai dalam

melakukan upaya penindakan dan sanksi perdamaian terhadap anak pelaku tindak

pidana dengan korban dalam rangka perlindungan anak terhadap stigma (cap

jahat) ketika seorang anak melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran

hukum. Namun demikian dalam sistem peradilan pidana anak dindonesia, ide

diversi dan pendekatan restorative justice tersebut tidak mudah untuk

diimplementasikan. upaya penerapan asas restorative justice dalam penyelesaian

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


60

tindak pidana yang dilakukan oleh anak dipolres Rokan Hulu oleh penyidik

kepolisian belum terlaksana secara efektif. Dari tahap ketahap yang dilalui oleh

penyidik kepolisian dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana yang

dilakukan oleh anak dapat dikatakan semuanya belum berhasil. Dikarenakan ada

saja hambatan yang dialami oleh penyidik kepolisian.

Pihak Kepolisian Resort Rokan Hulu juga belum menggunakan

kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak. Alasan kepolisian tidak

menggunakan kewenangan diskresi mereka secara maksimal dikarenakan ada

beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus

pencabulan (pemerkosaan) dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana

ringan seperti kasus penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan diversi.

Dengan demikian diharapkan dengan adanya aturan ini juga mampu untuk

memberi rasa keadilan bagi pihak korban dan pelaku tindak pidana. Selain itu

dapat mempercepat proses penyelesaian perkara karena kasus dapat tidak

dilanjutkan ke tahap penuntutan jika proses diversi berhasil mendapatkan

kesepakatan antar pihak.

Walaupun keadilan Restoratif Justice dan Diversi sudah mulai dikenal

sebagai alternatif penanganan anak berhadapan dengan hukum dari peradilan

pidana dan mulai mendapatkan dukungan banyak pihak masih banyak hambatan

yang dihadapi oleh sistem peradilan anak yaitu:

1) Kebutuhan yang semakin meningkat tidak sebanding dengan

sumber daya (baik personel maupun fasilitas).

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


61

2) Pemahaman yang berbeda dalam penanganan anak berhadapan

dengan hukum dan korban di antara aparat penegak hukum.

3) Kurangnya kerja sama antara pihak yang terlibat (aparat penegak

hukum dan pekerja sosial anak).

4) Permasalahan etika dan hambatan birokrasi dalam penukaran data

dan informasi antara aparat penegak hukum.

5) Belum ada persamaan persepsi antar-aparat penegak hukum

mengenai penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk

kepentingan terbaik bagi anak.

6) Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan anak berhadapan

dengan hukum selama proses pengadilan.

7) Kurangnya kebijakan formulasi untuk melaksanakan proses

rehabilitasi sosial anak nakal dalam hal ini Departemen social atau

organisasi sosial kemasyarakat yang bergerak dibidang pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja sehingga dapat dikirim kepanti sosial

untuk dibina secara khusus diberi pemulihan mental dan perilaku.

8) Kurangnya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana

namun kehendak demikian tidaklah mudah dilakukan karena

kerena ketentuan dalam sistem pemasyakatan anak saat ini tidak

memberi peluang yang demikian.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan pihak Reserse

Kepolisian dalam hal ini Bapak Ranly Labolang selaku Kasat reskrim Polres

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


62

Rokan Hulu pada tanggal 10 Juni 2021, Polres Rokan Hulu dan beliau

mengatakan masih ada hambatan, yaitu :

1. Kurangnya pemahaman dari masyarakat terkait dengan sistem restorative

maupun diversi karena istilah tersebut asing di telinga masyarakat, ketika

masyarakat kurang paham dengan sistem diversi ini maka akan banyak

anak yang dihakimi secara masal tentu saja hal ini akan mempengaruhi

mental dan perkembangan anak dimana anak seharusnya diberi

perlindungan dan pembinaan yang baik bukan untuk dihakimi.

2. Dalam proses peradilan yang menjadi faktor penghambat penerapan asas

Restorative justice atau diversi adalah pemahaman masyarakat tentang

anak yang melakukan tindak pidana, dan kurangnya pemahaman tentang

tanggungjawab Negara terhadap anak. Faktor tersebut dapat diartikan

sebagai seringkali kegagalan proses diversi dalam tahapan peradilan

adalah karena kurangnya pemahaman para pihak terutama orang tua dan

masyarakat luas terkait anak yang melakukan tindak pidana, sehingga

masyarakat cenderung enggan untuk menerima kembali atau memaafkan

seorang anak yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini tentu

mengakibatkan proses diversi jarang berhasil atau gagal.

3. Dalam hal telah tercapainya diversi seringkali pihak kepolisian,

khususnya pihak kepolisian di Polres Rokan Hulu mengalami kendala

pada anak yang tidak mempunyai keluarga, misalnya anak terlantar.

4. Proses penyidikan, faktor yang menjadi penghambat adalah pihak

pelapor dan/atau keluarga korban tidak menghadiri proses diversi di

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


63

tingkat penyidikan dan adanya keinginan dari pihak ini untuk

melanjutkan proses penyidikan.

Berdasarkan yang dipaparkan diatas dapat penulis simpulkan bahwa,

hambatan yang dihadapi oleh fasilitator diversi dalam hal ini penyidik di Polres

Rokan Hulu dalam menerapkan Restorative justice sebagai penyelesaian perkara

anak yang berhadapan dengan hukum adalah sikap keluarga korban yang

beranggapan adanya Restorative justice belum bisa mewakili pertanggungjawaban

bagi anak yang melakukan tindak pidana dan anak akan lepas dari tanggung jawab

atas perbuatannya. Dan hambatan ini terjadi juga karena adanya faktor dari

masyarakat yang kurang memahami tentang kesadaran dari penegakan hukum.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


64

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian skripsi

ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penerapan Asas Restorative Justice Terhadap Anak Dibawah Umur Di

Wilayah Hukum Polres Rokan Hulu

Pelaksanaan Restorative Justice di Polres Kabupaten Rokan Hulu

terhadap anak dibawah umur yang berkonflik dengan hukum masih belum

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

sistem peradilan pidana anak, yang diterapkan dengan pelaksanaan diversi.

Dalam Penerapan Restorative justice/upaya diversi selalu dilakukan bagi

setiap anak yang menjadi pelaku tindak pidana, tetapi dalam beberapa kasus

upaya diversi tersebut tidak memperoleh kesepakatan oleh masing masing

pihak sehingga perkara dilanjutkan ke tingkat penuntutan. Oleh karena itu

Penerapan Restorative Justice di Kepolisian Resort Rokan Hulu belum efektif

dikarenakan belum terlaksana tujuan diversi yang penyelesaian nya dengan

musyawarah antar pelaku, korban dan keluarga, para pelaku tidak mau

berdamai dan memilih untuk dilanjutkan pada tahap penuntutan yang

dilakukan oleh anak di Kabupaten Rokan Hulu dan khususnya di pihak

Kepolisian Resort Rokan Hulu.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

64
65

2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Asas Restoratif Justice Pada Tahap

Penyidikan Di Wilayah Hukum Polres Rokan Hulu

a. Adanya perbedaan pemahaman mengenai makna keadilan oleh para

pelaku diversi baik itu dari pihak pelaku, korban, dan atau

keluarganya, aparat penegak hukum, dan masyarakat terhadap

penerapan restorative justice dalam pelaksanaan diversi.

b. Penyidik Polres Rokan Hulu dalam menerapkan Restorative Justice

sebagai penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum

adalah sikap keluarga korban yang beranggapan adanya Restorative

justice belum bisa mewakili pertanggungjawaban bagi anak yang

melakukan tindak pidana dan anak akan lepas dari tanggung jawab atas

perbuatannya, oleh karena itu keluarga korban tidak mau berdamai

sehingga tidak dapat di terapkan dengan pelaksanaan diversi.

5.2 Saran

Dari permasalahan yang dikemukakan, maka penulis menyarankan

kepada aparat penegak hukum khususnya instansi kepolisian di Kabupaten

Rokan Hulu dalam rangka meningkatkan upaya penerapan Asas Restorative

Justice terhadap tindak pidana anak dibawah umur tersebut :

1. Bagi instansi kepolisian sebaiknya dilakukan perbaikan internal,

khususnya dalam membuat standar operasiaonal, prosedur penanganan

anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan

Restorative Justice.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


66

2. Diharapkan kepada pihak kepolisian resort Rokan Hulu untuk memberikan

pemahaman kepada masyarakat dengan melakukan pembinaan kesadaran

hukum dikalangan masyarakat dan pemerintah, agar dapat terciptanya

ketertiban, ketentraman dalam bermasyarkat dan yang taat akan hukum.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


67

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Achjani Zulfa, Eva, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk


Agung.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan
penyusunan konsep KUHP baru), Kencana, Jakarta, 2008
Evi Hartanti, Tindak pidana korupsi, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, cet. Ke
V, 2014
Jonaedi Efendi, Ismu Gunandi Widodo, Fifit Fitri Lutfianingsi, “Kamus Istilah
Hukum Populer”, Jakarta, Prenadamedia Groub, 2016,
Laurensius Arliman S, “Perlindungan Anak”, Yogyakarta, CV. Budi Utama,
2016.

Nandang Sambas, “Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia”,


Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010,

Marlina., Peradilan Anak Di Indonesia Dan Pengembangan Konsep Diversi Dan


Restorative justice, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Prakoso Abintoro, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika,


2013, Surabaya

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri),


Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007

Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta, Rajawali Persh, 2014,

Suteki, “Metode Penelitian Hukum”, Depok, Rajawali Persh, 2018,

Wagiati Sutedjo dan Melani, 2013. Hukum Pidana Anak. Refika Aditama,
Bandung,

Yoachim Agus Tridianto, “Keadilan Restoratif”, Yogyakarta, Cahaya Atma


Pustaka, 2016

B. Praturan Prundang-undangan

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997, Pasal 41 ayat (2), tentang Peradilan


Anak.LN Tahun 1997.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


68

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 1 angka.

C. Jurnal

Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, 2015, Perlindungan terhadap Anak


yang Berhadapan dengan Hukum (Studi Terhadap Undang-undang Peradilan
Anak Indonesia dan Peradilan Adat Aceh), Jurnal Fakultas Hukum UIN Ar-
Raniry, Banda Aceh,

Ahmad Faizal Azhar, Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative


Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal Kajian Hukum
Islam 134 Vol. 4, No. 2, Desember 2019

Armunanto Hutahaean, Erlyn Indarti, Lembaga Penyidik Dalam Sistem


Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16 No.1

Kristian & Christine Tanuwijaya , Penyelesaian Perkara Pidana Dengan


Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu Di Indonesia, Jurnal Mimbar Justitia, Vol. I No. 02 Edisi Juli-Desember
2015.
M. Virsyah Jayadilaga, S.Si.,M.PAsmadi dkk, Perspektif Restorative Justice
Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, SN 1410-5632 Vol. 16 No. 4 , Desember 2016.

Reyner Timothy Danielt, Jurnal Penerapan Restorative Justice Terhadap


Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur, Lex et Societatis,
Vol. II/No. 6/Juli/2014

Satino, Sulastri, Yuliana Yuli, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang


Melakukan Tindak Pidana Melalui Diversi Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana
Anak Jurnal ESENSI HUKUM, Vol. 2 No. 1 Bulan Juni Tahun 2020,

Theresia Adelina, A.A. Ngurah Yusa Darmadi, Perlindungan Hukum


Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan,

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

Anda mungkin juga menyukai