Anda di halaman 1dari 15

Analisis Teori dan Praktik Peradilan Pidana di Indonesia

Abdul Manaf, Moch Aswin Firmansyah, Revi Maulida

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

05040421100@uinsby.co.id

Abstrak

Analysis of criminal justice theory and practice in Indonesia is a complex and important topic
in the context of the justice system in this country. This article will begin by outlining the legal
framework of criminal justice in Indonesia by focusing on the 1945 Constitution and the
KUHAP (Criminal Procedure Code). Furthermore, this article will also discuss criminal
justice practices in the field, including the investigation process, investigations, independent
judicial power, adjudicatory power, and post-New Order judicial power. This article aims to
provide a better understanding of criminal justice theory and practice in Indonesia, as well as
highlight efforts to improve this system to achieve better justice for all citizens.
Keywords: Theory, Practice, Criminal Justice, Indonesia

Abstrak

Analisis teori dan praktik peradilan pidana di Indonesia merupakan topik yang kompleks dan
penting dalam konteks sistem peradilan di negara ini. Artikel ini akan memulai dengan
menguraikan kerangka hukum peradilan pidana di Indonesia dengan berfokus pada Undang-
Undang Dasar 1945 dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selanjutnya,
dalam artikel ini juga akan dibahas mengenai praktik peradilan pidana di lapangan, termasuk
proses penyelidikan, penyidikan, kekuasaan kehakiman yang merdeka, kekuasaan mengadili,
serta kekuasaan kehkiman pasca orde baru. Artikel ini bertujuan untuk untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang teori dan praktik peradilan pidana di Indonesia, serta
menyoroti upaya-upaya untuk meningkatkan sistem ini guna mencapai keadilan yang lebih
baik bagi semua warga negara.

Kata Kunci: Teori, Praktik, Peradilan Pidana, Indonesia

1
Pendahuluan

Hukum merupakan sesuatu yang kompleks dan teknis sehingga kita sering menjumpai
orang yang menghadapi hukum dengan tidak sabar atau sini, demikian kata Harold J. Berman.
Beliau juga mengatakan, “akan tetapi, hukum merupakan salah satu perhatian umat manusia
beradab yang paling pokok dimana-mana, karena hukum itu dapat menaarkan perlindungan
terhadap tirani di suatu pihak dan terhadap anarki di lain pihak”. Sering di temui perbedaan
dalam penerapan hukum yang ada di tengah masyarakat dengan yang telah dirumuskan dalam
Undang-Undang. Hal demikian sering terjadi di semua bidang hukum, termasuk di dalamnya
pada praktik implementasi dalam hukum pidana.1

Hukum pidana memberikan pedoman yang jelas tentang perlindungan terhadap


manusia. Sebaliknya, ia juga menghancurkan yang seharusnya dilindungi. Oleh karena itu,
hukum pidana termasuk hukum acara pidana dan hukum acara pidana sering disorot, dianalisis,
dikritik oleh berbagai pihak tidak hanya dari kalangan hukum maupun dari kalangan on hukum.
Hal ini memang benar karena hukum pidana mencakup seluruh kehidupan manusia baik
perorangan, kelompok, maupun penguasa secara langsung atau tidak langsung. Sebagai suatu
kaidah, hukum pidana menarik perhatian setidak-tidaknya dari mereka yang ada hubungannya
dengan hukum tersebut baik secara langsung seperti para prkatisi hukum, pencari keadilan,
pembentuk undang-undang maupun secara tidak langsung, yaitu masyarakat umum antara lain
akademisi. Hukum pidana di samping menjamin ketertiban, dikatakan juga memberi jaminan
terhadap kebebasan atau hak asasi manusia serta menjamin penegakan keadilan dan
kebenaran.2

Hukum acara pidana telah ditetapkan pada 24 September 1981 dengan Undang-Undang
RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 76/1981 dan Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) No.
3209. Untuk pelaksanaan KUHAP sebelum Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP diundangkan, maka pada 4 Februari 1982 telah dikeluarkan
Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pada 28 Juli 2010
diundangkan PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Selanjtnya
ditetapkan pada 8 Desember 2015, PP No. 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP

1
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, Hal 1.
2
Ibid.

2
No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pedoman pelaksanaan ini bertujuan untuk menjamin adanya kesatuan pelaksanaan hukum
acara pidana berdasarkan KUHAP itu sendiri., yaitu sejak penyidikan, penuntutan, pemutusan
perkara, sampai pada penyelesaian di tingkat (lembaga) permasyarakatan. Selain itu,
diharapkan dapat meningkatkan peran penyidik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.3

Proses peradilan didasarkan pada rule of the game yang dalam hal ini tidak lain
merupakan hukum acara pidana. Hukum acara pidana sendiri (hukum formil) adalah hukum
yang mempertahankan hukum pidana (hukum materiil). Prosedur yang diatur dalam peradilan
pidana diadakan untuk mencari kebenaran atau mengungkapkan kebenaran dan perkara atau
kasus yang hendak diselesaikan, dan kemudian memberikan keadilan bagi pencari keadilan
baik secara langsung terlibat dengan perkara tersebut maupun secara tidak langsung seperti
masyarakat yang mendambakan hukum untuk memberikan keadilan dan kebenaran.4

A. Pengertian dan Mekanisme Penyelidikan


Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang di atur dalam Undang - undang.5
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam Undangundang ini. Fungsi penyidik
dilakukan sebelum dilakukan penyelidikan hanya bertugas untuk mengetahui dan
menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas mambuat berita
acara serta laporannya nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
Penyelidikan dilakukan berdasarkan :
a. Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh
penyelidik/penyidik
b. laporan polisi
c. Berita Acara pemeriksaan di TKP
d. Berita Acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi

3
Andi Muhammad Sofyan dkk, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Kencana, 2020, Hal 1.
4
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, Hal 3.
5
M. Husein harun. Penyidik dan penuntut dalam proses pidana. PT rineka cipta. Jakarta. 1991 hlm 56.

3
Proses penyidikan tindak pidana penyelidikan dilakukan untuk :

a. Mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu peristiwa


yang di laporkan atau diadukan, apakah merupakan tindak pidana atau bukan.
b. Melengkapi keterangan dan bukti-bukti yang telah di proses agar menjadi
jelas sebelum dilakukan penindakan selanjutnya
c. Persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.

Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri melainkan hanya merupakan salah
satu metode atau sub dari fungsi penyidikan.6

Jika kita mengacu pada KUHAP Bab I pasal 1 butir 5 penyelidikan adalah suatu proses
tindakan guna mencari dan membuktikan suatu peristiwa yang masih diduga sebagai
kejadian tindak pidana supaya dapat menentukan dilanjut atau tidaknya sebuah rangkaian
proses penyelidikan sesuai dengan undang-undang ini. Jika kita mengacu pada pengertian
tersebut, maka dapat diartikan penyelidikan ialah proses yang pertma kali dilakukan untuk
membuktikan ada atau tidaknya sebuah tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh
Polisi NKRI.7

Penyelidikan disini bertujuan untuk menemukan atau mencari serta membuktikan


bahwa telah ada suatu kejahatan tindak pidana yang masih diragukan atau diduga-duga
benar atau tidaknya kejahatan tersebut. Dan jika apabila telah ditemukan atau benar adanya
tindak pidana tersebut maka dari sini penyelidik akan menentukan dilanjut atau tidaknya
ke tahap yang selanjutnya yakni penyidikan. Dan juga penyelidikan disini juga berfungsi
sebagai penguji kebenaran atas sebuah informasi atau laporan atas terjadinya sebuah tindak
pidana dan dari laporan tersebut penyelidiki akan menelusuri apakah benar ada sebuah
tindak pidana seperti dalam laporan tersebut. Alasan kenapa harus ada penyelidikan karena
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam penangkapan karena tidak dilakukannya
penyelidikan tadi.

Tujuan utama dari adanya penyelidikan seperti diatas adalah untuk mengumpulkan
bukti yang digunakan untuk: 1) menentukan apakah perbuatan tersebut masuk kedalam

6
Himpunan bujuklak,bujuklap,bujukmin. Proses penyidikan tindak pidana. Jakarta, 1990 hlm 17.
7
Diah Resti Vilana, dkk, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru,
Jurnal Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora, Vol. 2 No. 2, 2023, 109.

4
sebuah tindak pidana khusus atau bukan; 2) siapa yang bertanggung jawab dalam
perbuatan tindak pidana tersebut; 3) persiapan pelaksanaan tahap penindakan.8

B. Pengertian dan Mekanisme Penyidikan


Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada Tahun 1961, yaitu sejak
dimuatnya dalam Undang-Undang pokok kepolisian No. 13 Tahun 1961. Sebelumnya
dipakai istilah pengusutan yang merupakan terjemah dari bahasa Belanda, yaitu opsporin.
Pasal 1 butir 2 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP diuraikan bahwa :
“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang, mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Berbicara mengenai penyidikan tidak lain dari membicarakan masalah pengusutan
kejahatan atau pelanggaran, orang Inggris lazim menyebutnya dengan istilah ”criminal
investigation"9
Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan
memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya. Untuk
mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dengan fakta atau
peristiwa-peristiwa tertentu. Penyidikan yang diatur dalam undang-undang, ini dapat
dilaksanakan setelah diketahui bahwa suatu peristiwa telah terjadi tindak pidana dimana
dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP berbunyi bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi guna menemukan tersangkanya.10 Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak
pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :
a. Tindak pidana apa yang telah dilakukan
b. Kapan tindak pidana itu dilakukan
c. Di mana tindak pidana itu dilakukan
d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan

8
Inyoman Agus Rana Wijaya, Proses Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Pungutan Liar (Studi Polres Kota
Mataram), Jurnal Ilmiah, 2019, 5.
9
Marpaung,leden. Proses penegakan perkara pidana, sinar grafika, jakarta, 1992 hlm 43.
10
Ibid, 46.

5
g. Siapa pembuatnya

Proses penyidikan tindak pidana, bahwa penyidikan meliputi :


a. Penyelidikan
b. Penindakan
c. Pemeriksaan
d. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara

Kegiatan penyidikan:

a. Penyidikan berdasarkan informasi atau laporan yang diterima maupun yang


di ketahui langsung oleh penyidik, laporan polisi, berita acara pemeriksaan
tersangka, dan berita acara pemeriksaan saksi.
b. Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik/penyidik
pembantu terhadap orang maupun barang yang ada hubungannya dengan tindak
pidana yang terjadi. Penindakan hukum tersebut berupa pemanggilan tersangka dan
saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
c. Pemeriksaan adalah merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan
dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti ataupun unsur-
unsur tindak pidana yang terjadi sehingga kedudukan dan peranan seseorang
maupun barang bukti didalam tindak pidana menjadi jelas dan dituangkan dalam
berita acara pemeriksaan . yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah
penyidik dan penyidik pembantu.
d. Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara, merupakan kegiatan akhir dari
proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik dan penyidik
pembantu.

Penyidikan termuat pada BAB I pasal 1 butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara
(KUHAP) yang berbunyi: “Penyidikan merupakan rangkaian proses atau
perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh penyidik sesuai dengan cara yang telah diatur
dalam Undang-undang guna mencari seseorang yang telah menjadi pelaku tindak pidana
dari alat bukti yang telah dikumpulkan”.11

Dari ketentuan pada pasal 1 butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara (KUHAP)
diatas dapat dipahami perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan. Apabila

11
Diah Resti Vilani, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru, Jurnal
Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol. 2 No. 2, 2023, Hal 114.

6
penyelidikan adalah proses yang dilakukan untuk mengkaji kebenaran suatu peristiwa
tindak pidana, maka penyidikan lebih mengarah pada suatu tindakan untuk menemukan
siapa orang atau pelaku/tersangka yang masih diduga melakukan tindak pidana tersebut.

Proses penyidikan dimulai setelah dilakukannya penangkapan oleh pihak yang


berwajib. Penyidikan dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum yang ditugaskan
untuk mengumpulkan bukti-bukti yang lebih mendalam tentang tindak pidana yang diduga
terjadi. Selama penyidikan, tersangka, saksi, dan bukti-bukti akan diperiksa lebih lanjut
untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Di dalam KUHAP ditemukan dalam
beberapa pasal yang tercantum mengenai tindakan penyelidik, yang diantaranya adalah
kegiatan penyitaan dan penggeledahan yang bertujuan mencari benda untuk disita sebagai
kebutuhan pembuktian.12

Wewenang dari pejabat penyidik termuat dalam Pasal 7 ayat 1 Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana, yaitu:13

1. Mendapat atau menerima aduan/laporan dari seseorang atas peristiwa terkait


adanya tindak pidana
2. Pada saat di lokasi kejadian akan melakukan suatu tindakan pertama
3. Menghentikan seseorang yang dicurigai/tersangka serta mengecek identitas
tersangka
4. Melakukan suatu tindakan seperti penyitaan, penggeledahan, penangkapan serta
penahanan
5. Melakukan penyitaan surat serta pemeriksaan
6. Memotret seseorang yang tersangka serta mengambil sidik jarinya
7. Melakukan wawnacara dengan memanggil seorang tersangka atau saksi untuk
diperiksa
8. Dalam melakukan pemeriksaan diperlukan bantuan seseorang yang ahli seperti
psikolog dan lainnya
9. Penyidikan akan dilakukan pemberhentian
10. Melakukan suatu tindakan lain sesuai dengan hukum

12
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
13
Diah Resti Vilani, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru, Jurnal
Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol. 2 No. 2, 2023, Hal 115.

7
Pada Pasal 109 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah mengatur tentang
penghentian penyidikan, antara lain:14

1. Ayat (1), mengatakan bahwa penyidik harus mengumumkan kepada penuntut


umum apabila penyidik telah melaksanakan proses penyelidikan peristiwa yang
masih diduga sebagai tindak pidana.
2. Ayat (2), menyatakan penghentian penyidikan dilakukan karena:
a. Suatu peristiwa yang masih diduga sebagai tindak pidana masih tidak cukup
bukti untuk diungkapkan atau,
b. Peristiwa yang awalnya diduga sebagai tindak pidana ternyata tidak termasuk
dalam kejahatan tindak pidana atau,
c. Penyidikan terpaksa harus dihentikan demi hukum, maka penyidik harus
memberitahu kepada penuntut umum, pelaku serta keluarga.

C. Pengertian dan Praktik Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam arti independen tersebut, ditegaskan pada
Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat 3 UUD NRI Tahun 1945. kekuasaan kehakiman yang
merdeka dalam arti independen, terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, maka hal itu
ditemukan kembali penegasannya dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman maupun dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah di rubah dengan UU. No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU. No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung junto UU. No. 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas UU. No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pasal 1 Butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan:
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara hukum Republik Indonesia. Asas kebebasan kekuasaan kehakiman Dalam UU
tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman meliputi:
a. Bebas dan campur tangan kekuasaan
negara dan lainnya.

14
Diah Resti Vilani, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru, Jurnal
Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol. 2 No. 2, 2023, Hal 115.

8
b. Bebas dari paksaan, direktif atau
relomendasi dari pihak ekstra judicial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh
UU (I Gusti Ketur Irawan, 2010 ). Penjelasan Resmi Angka I UU No. 48

UUD NRI Tahun 1945 menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan berdasarkan pada konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945 telah
diatur kekuasaan kehakiman yaitu dalam pasal 24 serta 25 Bab IX diantaranya sebagai
berikut:15
1. Pada Pasal 24 ayat 1, menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dapat
dilaksanakan oleh sebuah lembaga diantaranya Mahkamah Agung serta lembaga
kehakiman lainnya yang telah diberi wewenang oleh Undang-undang. Selain itu,
suatu struktur dari Kekuasaan Badan Kehakiman juga telah diatur oleh UU.
2. Pada Pasal 25, sesuai dengan Undang-Undang, untuk menjadi hakim maka terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi dan apabila telah menjadi hakim maka terdapat
peraturan yang harus dipatuhi agar tidak sampai diberhentikan untuk menjadi
hakim. Selanjutnya dalam penjelasannnya mengatakan bahwa “Suatu kekuasaan
kehakiman yakni sebuah kekuasaan yang merdeka, merdeka yaitu terlepas dari
campur tangan kekuasaan pemerintahan”.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 huruf (a) tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa “Menurut UUD 1945 kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang
berkuasa merdeka yang hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung serta badan peradilan
dibawahnya, dan dilakukan dibawah serta Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan
sebuah peradilan untuk menegakkan keadilan hukum”. Dapat diketahui bahwa
dilaksanakannya kekuasaan kehakiman oleh lembaga yudikatif antara Mahkamah Agung
dan juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh
negara yang merdeka tanpa campur tangan orang lain dan memiliki tujuan untuk
menegakkan kebenaran hukum sesuai dengan falsafah bangsa.16

15
Diah Resti Vilani, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru, Jurnal
Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol. 2 No. 2, 2023, Hal 117.
16
Diah Resti Vilani, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru, Jurnal
Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol. 2 No. 2, 2023, Hal 118.

9
Selain penjelasan diatas, dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman bahwa konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan
“Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang berlandaskan sebuah aturan/norma
perundang-undangan dalam setiap langkah kehidupannya”. Sejalan dengan aturan tersebut
maka sebuah keyakinan penting bagi negara hukum dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang merdeka harus terbebas dari segala bentuk campur tangan dari lembaga
kekuasaan lainnya guna menegakkan keadilan hukum.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menegaskan bahwa “Dalam terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia maka
diperlukan sebuah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman inilah yang dibutuhkan
bagi kekuasaan negara yang merdeka guna menegakkan keadilan hukum tanpa campur
tangan kekuasaan lain.”17

D. Kekuasaan Mengadili
Kekuasaan mengadili adalah salah satu dari tiga kekuasaan utama dalam sistem
pemerintahan yang dikenal sebagai “pemisahan kekuasaan”. Kekuasaan ini merujuk
kepada kemampuan sistem peradilan atau badan pengadilan untuk memutuskan sengketa
hukum, menerapkan hukum, dan menjatuhkan hukuman jika diperlukan. Kekuasaan ini
bertujuan untuk memastikan keadilan, menegakkan hukum, dan melindungi hak-hak
individu dalam masyarakat.
Kewenangan mengadili sendiri terdapat dua jenis yaitu tidak berwenang secara absolut
yang didasarkan pada faktor perbedaan lingkungan peradilan berdasarkan UU Kekuasaan
Kehakiman dan juga tidak berwenang secara relatif.18 Pedoman dalam menentukan
kewenangan mengadili berdasar pada pasal-pasal yang diatur dalam Bab X, yang
diantaranya adalah:19
1. Pengadilan Negeri
Dalam hal kekuasaan mengadili pada pengadilan negeri terdapat dua macam
kekuasaan/kompetensi/kewwenangan, yaitu:
a. Kekuasaan (kompetensi) mutlak (absolute kompetentie)

17
Ibid.
18
H. Suyanto, Hukum Acara Pidana, Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2018, Hal 118.
19
Andi Muhammad Sofyan dkk, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Kencana, 2020, Hal 30

10
Kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan
mengadili kepada satu pengadilan (pengadilan negeri), bukan kepada
pengadilan lain. Jadi, untuk mengadili dan memeriksa perkara hanya satu
pengadilan negeri saja yang berwenang mengadilinya, dan tanpa adanya
kewenangan pengadilan lain atau kekuasaan mengenai perkara apa yang ia
berwenang mengadilinya.
Adapun kompetensi absolut pengadilan negeri dicantumkan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, yaitu:20
1) Pasal 50 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang RI No.
8 Tahun 2004 jo. Undang-Undang RI No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum.
2) Pasal 77 KUHAP
3) Pasal 27 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Selain beberapa peraturan tersebut, masih terdapat beberapa peraturan yang


memuat kompetensi absolut pengadilan negeri, yaitu:21

1) Acara pemeriksaan pelanggaran lali lintas jalan (Pasal 211 KUHAP)


2) Acara pemeriksaan cepat (Pasal 205 KUHAP)
3) Acara pemeriksaan singkat (Pasal 203 KUHAP)
4) Pemeriksaan biasa (Pasal 183 KUHAP).
b. Kekuasaan (kompetensi) relatif (relatieve kompetentie)
Kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan
mengadili di antara satu pengadilan (pengadilan negeri), atau kekuasaan
mengadili perkara-perkara berhubung dengan daerah hukumnya. Jadi, untuk
mengadili dan memeriksa perkara dapat juga dilakukan oleh pengadilan negeri
lain yang berwenang mengadilinya, adanya kewenangan pengadilan lain
sebagaimana diatrur dalam ketentuan bagian kedua Bab X, yang diantaranya
adalah:22
1) Pasal 84 KUHAP ayat 1, 2, 3 dan 4
2) Pasal 85 KUHAP
3) Pasal 86 KUHAP

20
Andi Muhammad Sofyan dkk, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Kencana, 2020, Hal 31.
21
Ibid.
22
Ibid.

11
2. Pengadilan Tinggi
Dalam hal kekuasaan mengadili pada pengadilan tinggi sebagaimana diatur dalam
undang-undang, yaitu:23
a. Pasal 87 KUHAP
b. Pasal 51 Undang-Undang RI NO. 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang RI No. 8
Tahun 2004 jo. Undang-Undang RI No. 49 Tahun 2009
c. Prorrogais mengenai perkara perdata (Pasal 3 ayat (1) dan (2) UUD No. 1 Tahun
1951, Pasal 128 ayat (2) RO, Pasal 85 Rbg).
3. Mahkamah Agung
Dalam hal kekuasaan mengadili pada Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
undang-undang, yaitu:24
a. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2,
Pasal 29
b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 88 KUHAP
c. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-
Undang RI No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang RI No. 14
Tahun 1985 jo. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
Undang-undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Pasal 28
ayat (1), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan
Pasal 56).

E. Kekuasaan Kehakiman Pasca Orde Baru


Pada masa kekuasaan orde baru kakuasaan kehakiman ditempatkan dibawah dan
tunduk pada kekuasaan presiden, pasalnya pada masa tersebut kelembagaan yudikatif
dibuat hanya untuk pelengkap kekuasaan eksekutif dan harus melayani eksekutif.
Pengaturan kekuasaan yang seperti itu, justru menyebabkan ketimpangan kekuasaan dan
menyimpang dari ketentuan dari UUD 1945, pasalnya UUD 1945 menginginkan adanya
pembagian kekuasaan yang seimbang antara cabang-cabang kekuasaan baik dari legislatif,
eksekutif dan yudikatif atau biasa disebut dengan trias politica. Oleh karena itu, setelah
selesainya masa orde baru dan untuk memperbaiki hubungan antar cabang kekuasaan

23
Andi Muhammad Sofyan dkk, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Kencana, 2020, Hal 33.
24
Ibid.

12
negara, dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945 yang bertujuan untuk memperbaiki
hal tersebebut. Dalam mereposisi kekuasaan kehakiman terdapat pada amandemen UUD
1945 jetiga. Salah satu isi dari amandemen UUD 1945 ketiga ialah untuk mengembalikan
kedudukan, wewenang dan peran kekuasaan kehakiman atau yudikatif sebagai
penyelenggara negara.25
Dalam amandemen UUD 1945 kekuasaan yudikatif sebagai salah satu cabang
kekuasaan negara diberi kekuasaan yang seimbang dan sederajat dengan cabang
kekuasaan eksekutif dan legislatif juga peran yang layak yang sama pentingnya dengan
cabang kekuasaan yang lain sebagai penyelenggara negara. Karena terdapat perubahan
mendasar pada UUD 1945 maka perubahan-oerubahan juga terjadi pada peraturan-
peraturan dibawahnya. Peraturan-peraturan yang ikut berubah tentang kekuasaan
kehakiman dianataranya:
a. UU No. 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (mencabut UU
No. 14/1970).
b. UU No. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang No. 14 tahun 1985
tatnag mahkamah agung.

Kesimpulan

Penyelidikan dan penyidikan adalah dua hal yang berbeda. Penyelidikan ialah
serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang, seperti yang terkandung dalam KUHAP bab I pasal 1
butir 5. Penyelidikan disini adalah proses pertama yang dilakukan untuk membuktikan ada
atau tidaknya tindak pidana. Sedangkan penyidikan menurut KUHAP Bab I pasal 1 butir 2
ialah rangkaian proses atau perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh penyidik sesuai dengan
cara yang telah diatur dalam UU guna mencari seseorang yang telah menjadi pelaku tindak
pidana dari alat bukti yang dikumpulkan. Perbedaan diantara keduanya ialah penyelidikan
berfokus kepada mencari ada atau tidaknya tindak pidana, sedangkan penyidikan berfokus
kepada siapa pelaku tindak pidana tersebut berdasarkan alat bukti yang dikumpulkan pada saat
penyelidikan.

25
Diah Resti Vilana, dkk, Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia Pasca Orde Baru,
Jurnal Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora, Vol. 2 No. 2, 2023, 109.

13
Pengertian kekuasaan kehakiman dijelaskan dalam banyak undang-undang,
daiantaranya pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Yang dalam undang-undang
tersebut menjeaskan tentang kekuasaan kehakiman yang independen dalam arti mandiri. Juga
terdapat dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menjelaskan
tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti bebas dari intervensi pihak lain. dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman diperlukanlah juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan
mengadili ialah kemampuan sistem peradilan untuk memutuskan sengketa hukum,
menerapkan hukum, dan menjatuhkan hukuman jika diperlukan. Kekuasaan mengadili
bertujuan untukmemastikan keadilan, menengakkan hukum, dan melindungi hak-hak individu
dalam masyarakat.

Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia juga mengalami timpang tindih


dalam pelaksanaannya. Pasalnya dulu sebelum orde baru kekuasaan kehakiman tidak berjalan
semestinya yakni yudikatif sebagai pelaksana kehakiman dibuat tunduk terhadap kekuasaan
eksekutif yang harusnya antara keduanya harus melaksanakan tugasnya bersama. Oleh sebab
itu, setelah masa orde baru selesai dilakukanlah perbaikan terhadap UUD 1945 yang dalam
hal ini UUD 1945 bertugas sebagai Konstitusi negara yang mengatur antara tiga cabang
kekuasaan. Terjadilah amandemen UUD 1945 untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang
mana dalam salah satu isi amandemen tersebut yaitu mengembalikan kedudukan, wewenang
dan peran yudikatif sebagai pelaksana kehakiman. Yang juga dalam amandemen tersebut
mengembalikan keseimbangan antara ketuga cabang kekuasaan.

Daftar Pustaka

Harun, M. Husein. Penyidik dan penuntut dalam proses pidana. Jakarta: PT Rineka
Cipta. 1991.

Himpunan bujuklak, bujuklap, bujukmin. Proses penyidikan tindak pidana. Jakarta.


1990.

Husin, Kadri dan Budi Rizki Husin. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika. 2016.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Marpaung, Leden. Proses penegakan perkara pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

14
Sofyan, Andi Muhammad dkk. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Kencana. 2020.

Suyanto, H. Hukum Acara Pidana. Sidoarjo: Zifatama Jawara. 2018. Hal 118.

Vilani, Diah Resti. Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan dan Mengadili di Indonesia


Pasca Orde Baru. Jurnal Riset Rumpun Ilmu Sosial. Politik dan Humaniora Vol. 2 No. 2.
2023.

15

Anda mungkin juga menyukai