Anda di halaman 1dari 24

KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

PROPOSAL

Oleh:

Nama : Niken Angelica Larasati

Npm : 191000274201110

Program Studi : Ilmu Hukum

Mata Kuliah : Metode Penelitian Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATRA BARAT

BUKITTINGGI

2021/2022
1

KEDUDUKAN SAKSI VERBALISAN SEBAGAI ALAT BUKTI


DALAM PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum. Tidak

berdasarkan atas keksuasaan. Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

dalam penjelasan umum Undang-undang Dasar 1945 secara jelas menegaskan

bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.1 Sebagai negara hukum,

Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,

keamanan, keadilan serta kesajehtraan bagi warga negaranya. Konsekuensi

dari itu semua yaitu bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan

oleh warga negara Indonesia.

Hukum dapat dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk

menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh

karena itu, hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tingkah laku dan

karena itu pula hukum berupa norma. Di mana hukum mengikatkan diri pada

masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.2

Dalam aturan hukum itu ditentukan apa yang menjadi hak dan

kewajiban setiap orang ataupun warga Negara. Hukum bisa dilihat sebagai

perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan

dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara

1
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/295-ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-
pengetahuan-modern.html (Ditelusuri pada tanggal 11 februari 2020 Jam 18.00)
2

memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu hukum dapat

berupa norma.3

Terkait hubungan dengan hak dan kewajiban, Sudikno Mertokusumo

menyatakan bahwa setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum

selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak sebagai hak sedangkan

di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada

kewajiban tanpa hak. Hal inilah yang membedakan hukum dengan hak dan

kewajiban, walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hak dan kewajiban

menjadi lebih tegas berlaku pada saat hukum dilibatkan dalam kasus konkret.

Hak dan kewajiban, bukanlah kumpulan peraturan atau kaidah, melainkan

pertimbangan kekuasaan dalam bentuk hak induvidual di satu pihak tercermin

pada kewajiban pihak lain. Dengan kata lain, hak dan kewajiban merupakan

kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hokum.4

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun1945 menjelaskan secara jelas bahwa Negara Republik Indonesia

adalah Negar yang berdasarkan hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas

kekuasaan belaka (machstaat). Hukum pada dasarnya adalah sesuatu yang

abstrak sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tentang defenisi

hukum, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.

Apabila Undang-Undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak

langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu sesuai dengan tujuan dari

falsafah negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan
3
Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, Jakarta; Konstitusi Press, 2015, hlm 3
4
Sudikno Mertokusumo, MENGENAL HUKUM SUATU PENGANTAR, Jakarta:pustaka
Refleksi, 2010, Hlm 5
3

hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Ideal sebuah negara hukum

adalah terselenggaranya kekuasaan yang berkaitan erat dengan kedaulatan

hokum sebagai kekuasaan tertinggi. Ciri penting negara hukum adalah

Supremacy of Law: Equality Before The Law: Due Process of Law.

Tanggal 24 September 1981 telah ditetapkan hukum acara pidana

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana atau disingkat dengan KUHAP dan diundangkan dalam

Lembaran Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan

Lembaran Negara (TLN) No. 3209.

Peraturan untuk pelaksanaan KUHAP sebelum Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana diundangkan, maka pada tanggal 4 Februari 1982 telah

dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pedoman pelaksanaan ini

bertujuan untuk menjamin adanya kesatuan pelaksanaan hukum acara pidana

berdasarkan KUHAP itu sendiri, yaitu sejak dari penyidikan, penuntutan,

pemutusan perkara, sampai pada penyelesaian tingkat (lembaga)

pemasyarakatan.5

Berbagai fokus pembahasan ilmu hukum, salah satu dari kajian ilmu

hukum yang sangat penting adalah kajian ilmu hukum pidana. Hukum pidana

dapat bermakna jamak karena dalam arti objektif sering disebut ius poenale

5
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/peraturan/detail/
11e9da0047e2f6c8bd3d313733373135.html (ditelusuri pada tanggal 29 November 2021)
4

dalam arti subjektif disebut ius puniendi, yaitu peraturan yang menetapkan

tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, dan pelaksanaan pidana.6

Salah satu kajian ilmu hukum yang sangat penting adalah kajian ilmu

hukum pidana. Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang

menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana apa yang

dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut. Hukum pidana

merupakan larangan-larangan dan keharusan yang ditentukan oleh negara

atau kekuasaan yang lain berwenang untuk menentukan peraturan pidana.

Larangan, atau keharusan itu disertai ancaman pidana dan apabila hal ini

dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan

pidana, melaksanakan pidana.7

Tujuan peradilan pidana adalah menemukan kebenaran materiil.

Bahwa kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya.

Majelis hakim akan meletakkan kebenaran yang ditemukannya dalam putusan

yang akan dijatuhkan, maka kebenaran tadi harus diuji dengan alat-alat bukti

yang ada. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kebenaran materiil

diperoleh hakim melalui proses pemeriksaan alat-alat bukti yang dihadirkan

dalam pemeriksaan di persidangan dengan mengkaitkan alat bukti satu

dengan alat bukti lainnya sehingga ditemukan fakta hukum secara utuh dan

lengkap, dengan ketentuan bahwa dalam mempergunakan dan menilai alat

6
Satjipto Rahardjo, ilmu hokum, Jakarta:Pt Raja Grafindo, 2005, hlm 15
7
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika,2004, hlm
60
5

bukti tersebut harus dilaksanakan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh

undang-undang. Proses ini disebut pembuktian.8

Pembuktian sendiri diatur dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya.” Masalah pembuktian merupakan bagian yang penting dalam

hukum acara pidana, oleh karena itu tugas utama dari hukum acara pidana

adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil atau kebenaran yang

sejati. Dalam menemukan kebenaran tersebut, dititik beratkan pada mencari

bukti-bukti.9

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang diberikan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan-ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-

undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang

didakwakan.10

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam

perkara perdata, sebab di dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara

pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil, yaitu kebenaran


8
Ibid,Hlm 35
9
Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian,Jakarta:Bumi Aksara, 2006, Hlm 17
10
M. Yahya Harapah, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kosasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009,hlm. 273
6

sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata

(hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil

artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para

pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formil cukup

membuktikan dengan preponderance of evidencesedangkan hakim pidana

dalam mencari kebenaran materil maka peristiwanya harus terbukti (beyond

reasonable doubt).

Berdasarkan ketentuan KUHAP, alat-alat bukti memegang peranan

yang sangat penting dalam proses pembuktian sebagai dasar bagi hakim

menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Alat bukti sendiri adalah suatu hal

yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk

memperkuat dakwaan, tuntutan, atau gugatan, maupun guna menolak

dakwaan atau tuntutan. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti yang sah

adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana

alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna

menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak

pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.11

Ketentuan Pasal 183 KUHAP mensyaratkan bahwa hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut

11
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pekalongan/baca-artikel/13073/Pembuktian-
Dalam-Upaya-Memenangkan-Perkara-Pidana.html (ditelusuri pada tanggal 29 November 2021)
7

maka jelaslah bahwa majelis hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana

apabila tidak ada alat bukti, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

yang kemudian dapat memberikan keyakinan hakim bagi hakim bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam

KUHAP tersebut majelis hakim dalam mengambil putusannya harus

mempertimbangkan setiap alat bukti yang diajukan ke persidangan dalam

tahap pembuktian.

Alat bukti yang dinilai sebagai alat bukti yang sah dan yang

dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat

bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang

disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tidak mempunyai nilai serta tidak

mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Adapun alat bukti yang sah

menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184

ayat (1) KUHAP, Yaitu:12

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk, dan

e. Keterangan terdakwa

B. Rumusan Masalah
12
Andi hamzah, Hukum Acara Perdana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika: 2010, hlm 124
8

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana Kedudukan hukum Saksi Verbalisan sebagai alat bukti perkara

di Pengadilan Negeri Bukittinggi ?

2. Bagaimana peranan Saksi Verbalisan sebagai alat bukti perkara di

Pengadilan Negeri Bukittinggi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui Kedudukan hukum saksi verbalisan sebagai salah satu

alat bukti bagi hakim dalam memeriksan dan memutus perkara (Studi di

Pengadilan Negeri Bukittinggi)

2. Untuk Mengetahui Peranan saksi Verbalisan sebagai salah satu alat bukti

bagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Studi di Pengadilan

Negeri Bukittinggi)

3. Untuk mendapatkan gelar sarjana hokum di Universitas Muhammadiyah

Sumatera Barat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

1. Untuk menambah wawasan penulis terkait masalah saksi verbalisan

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum

pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, terutama

mengenai kedudukan saksi verbalisan (Saksi Penyidik) sebagai alat

bukti di persidangan dalam pembuktian perkara.

2. Manfaat Praktis
9

Untuk dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang membutuhkan

pokok bahasan yang dikaji, dengan disertai pertanggungjawaban secara

ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum

1. Penegakan hukum

penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparatur

penegakan hukum tertentu untuk dapat menjamin dan memastikan

bahwa aturan hukum itu berjalan sebagaimana yang telah diatur

seharusnya oleh aturannya. Hal ini untuk memastikan tegaknya hukum,

apabila diperlukan untuk itu, maka aparatur penegak hukum

diperbolehkan akan menggunakan upayadaya paksa. Di dalam sudut

pandang objeknya, yaitu dari aspek hukumnya penegakan hukum itu

adalah pengertiannya juga mencakup makna luas dan sempit. Dalam arti

luas, maka penegakan hukum mencakup pula adanya nilai-nilai

keadilan yang terkandung dalam bunyi aturan formal atau nilai-nilai

keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal yang berbeda di dalam

arti yang sempit, maka penegakan hukum hanya terbatas kepada

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja dan

dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan aturan

tersebut. Namun di lapangan penegakan hukum itu tidak seindah yang

digambarkan oleh teori-teori hukum dan peraturan yang telah

mengaturnya. Terdapat lebih dari satu masalah-masalah penegakan


10

hukum dan untuk dapat membahas penegakan hukum lebih dalam dan

dapat lebih jelas permasalahannya, maka dengan memperhatikan faktor-

faktor apa saja yang dapat mempengaruhi efektifitas dari penegakan

hukum.13

2. Factor-Faktor Penegakan hukum

a. faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksudkan adalah

Undang-Undang (“UU”) atau peraturan tertulis yang berlaku umum

dan dibuat oleh Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud adalah

bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah.

b. faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak

hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak

langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa,

Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum

(Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan.

Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau

kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan

yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan

untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam

kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang

lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan

bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh

suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan

13
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/penegakan-hukum-masalahnya-apa/
(ditelusuri pada tanggal 29 november 2021)
11

juga bijaksana. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu,

sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam

koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami

kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing

penegak hukum.

c. faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau

fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum

berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga

manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang

baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan

seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah

penegakan hukum dapat mencapai tujuannya.

d. faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia

merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian

banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan

yang berbeda. Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi

sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan

beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada.

e. faktor Kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,

mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat,

yaitu untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana


12

seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika

berhubungan dengan orang lain.14

2. System Peradilan di Indonesia

Sistem Peradilan Indonesia menganut sistem peradilan Belanda,

yang menganut sistem peradilan Eropa Kontinental walaupun sudah ada

modifikasi. Lembaga peradilan merupakan lembaga yang dibentuk oleh

pemerintah Indonesia untuk memutus perkara pidana dan perdata dalam

rangka penegakan hukum. Sistem peradilan nasional adalah keseluruhan

komponen peradilan nasional, pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki

kelembagaan peradilan, maupun aspek aspek yang bersifat prosedural yang

saling berkait, sehingga terwujud keadilan hokum. Sistem hukum

merupakan seperangkat aturan yang tersusun secara teratur serta berasal dari

berbagai pandangan, asas, teori para pakar. Sementara peradilan merupakan

segala sesuatu yang berhubungan dengan perkara hukum. Sistem hukum

dan peradilan saling berhubungan satu sama lain.

1. Landasan Hukum system peradilan di Indonesia

Landasan awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di

Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar

1945 (“UUD 1945”). Dalam Pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa: (1)

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Jenis-Jenis Peradilan di Indonesia

14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Press, Jakarta, 1983.
13

a. Peradilan umum menangani perkara pidana dan perdata secara

umum. Badan pengadilan yang menjalankannnya adalah

Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan

Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat bandingnya.

b. Peradilan agama ini adalah peradilan yang khusus menangani

perkara perdata tertentu bagi masyarakat beragama Islam. Yang

sangat umum diperkarakan adalah perkara perdata seperti

perceraian dan waris secara Islam.

c. Peradilan ini khusus menangani perkara gugatan terhadap pejabat

administrasi negara akibat penetapan tertulis yang dibuatnya

merugikan seseorang atau badan hukum tertentu.

d. Peradilan militer hanya menangani perkara pidana dan sengketa

tata usaha bagi kalangan militer. Badan yang menjalankan terdiri

dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan

Militer Utama.

e. Peradilan Konstitusi Menangani pengujian kesesuaian isi undang-

undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan kewenangan lain

yang diatur dalam UUD 1945. Dasar hukum peradilan ini adalah

berdasarkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi jo. UU No.8 Tahun 2011 jo. UU No.4 Tahun

2014.15

3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan

15
https://indonesiare.co.id/id/article/jenis-jenis-peradila-di-indonesia (ditelusuri pada
tanggal 29 November 2021)
14

1. Pengadilan

Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan

sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

2. Wewenang Pengadilan

Wewenang Pengadilan Negeri tercantum dalam UU Nomor 2

Tahun 1986 Pasal 50, yang berbunyi: "Pengadilan Negeri bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan

perkara perdata di tingkat pertama. Berdasarkan bunyi UU , maka tugas

dan wewenang Pengadilan Negeri ialah memeriksa, memutus serta

menyelesaikan perkara pidana dan perdata untuk rakyat pencari keadilan

pada umumnya, kecuali jika UU menentukan hal lainnya.

3. Fungsi Pengadilan

a. Fungsi mengadili

Fungsi ini berarti Pengadilan Negeri menerima, memeriksa,

mengadili serta menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangkan

pengadilan tingkat pertama.

b. Fungsi Pembinaan

Fungsi ini berarti Pengadilan Negeri memberi pengarahan,

bimbingan serta petunjuk kepada pejabat struktural serta fungsional

yang berada di bawah jajarannya.

c. Fungsi Pengawasan
15

Fungsi ini berarti Pengadilan Negeri melakukan pengawasan

atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,

Panitera Pengganti serta Jurusita di bawah jajarannya

4. Umum Tinjauan tentang Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah proses perbuatan, cara membuktikan sesuatu

yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Menurut Darwan Prints,

pembuktian adalah perbuatan membuktikan bahwa benar suatu peristiwa

pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,

sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Dalam hal ini pembuktian

menurut pemahaman umum adalah menunjukkan ke hadapan tentang

suatu keadaan yang bersesuaian dengan induk persoalan, atau dengan

kata lain mencari kesesuaian antara peristiwa induk dengan akar-akar

peristiwanya. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan

dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian

ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat

bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari

hukuman, sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan

alat-alat bukti yang disebut dalam pasal 184, terdakwa dinyatakan

bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman.16

16
Rahman Amin, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Dan Perdata,Jakarta:Sinar
Grafika, 2017, Hlm 11
16

Dikaji dari persfektif hukum acara pidana, hukum pembuktian

ada, lahir, tumbuh dan berkembang dalam rangka untuk menarik suatu

konklusi bagi hakim di depan sidang pengadilan untuk menyatakan

terdakwa terbukti ataukah tidak melakukan suatu tindak pidana yang

didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, dan akhirnya

dituangkan hakim dalam rangka penjatuhan pidana kepada terdakwa.17

Dikaji secara umum, pembuktian berasal dari kata bukti yang

berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk

memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian

adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi

(memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,

melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.18 Dikaji dari

makna leksikon, pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan

membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa

dalam sidang pengadilan. Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M.

Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-

undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang

boleh digunakan.hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.

17
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, jakarta : alumni,2012, hlm. 164.
18
Eddy O. S. Hariej. Teori dan hukum pembuktian,Jakarta : Sinar Grafika,2013 hlm. 7
17

F.Metode Penelitian

1..Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Yaitu penelitian yang bertujuan

untuk menjelaskan suat keadaan, peristiwa, objek apakah orang, atau segala

sesuatu yang terkait dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik

dengan angka maupun kata-kata.19 Berkaitan dengan jenis penelitian yang

diatas maka penelitian ini akan mengambarkan mengenai saksi verbalisan di

pengadila Negeri Bukittinggi.

2.Metode Pendekatan

Dalam penulisan ini penulis melakukan pendekatan masalah dengan

menggunakan metode yuridis empiris, dikenal juga sebagai penelitian

lapangan adalah pengumpulan materi yang harus diupayakan atau di cari

sendiri karena belum tersedia.20 Kegiatan ini dilakukan dengan cara

wawancara dan melakukan pengamatan (observasi).

3.Sumber data dan bahan hokum

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder. Data yang digunakan Penulis adalah sebagai berikut:

a. Data primer

Data yang langsung diperoleh dari lapangan. Data primer yaitu

data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, dalam hal ini adalah

tentang praktik penggunaan saksi verbalisan mulai dari pemeriksaan

sampai dengan putusan di Pengadilan Negeri Bukittinggi.


19
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, Hlm 99
20
https://id.scribd.com/document/329308499/Pengertian-Penelitian-Yuridis-Empiris
(ditelusuri pada tanggal 15 januari 2020 Jam 01.23)
18

b. Data sukunder

Data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti buku-buku,

dokumen-dokumen, koran, internet, peraturan perundang-undangan dan

sebagainya yang terkait dengan pokok bahasan yang diteliti Penulis.

Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum

1) Bahan hokum primer

a. Kitab Undang Undang Hukum Pidana;

b. Kitap undang-undang hokum acara pidana

2) Bahan hokum sekunder

Bahan hukum skunder, yaitu: hasil karya ilmiah dari kalangan

hukum, hasil-hasil penelitian, artikel koran dan internet serta bahan

lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.

4.Teknik Pengumpulan data

Untuk mempermudah pengumpulan data dalam penelitian ini,

adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut:

a. Wawancara, wawancara adalah upaya penulis untuk mendapatkan

keterangan dari narasumber penelitian dengan mengajukan beberapa

pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian.21 Wawancara dilakukan

menggunakan metode wawancara terstruktur, di mana peneliti

melakukan wawancara terhadap narasumber penelitian terlebih dahulu

membuat daftar pertanyaan yang akan diberikan ketika melakukan

wawancara. Wawancara akan dilakukan terhadap beberapa orang

21
https://www.gurupendidikan.co.id/Pengertian-wawancara/ (ditelusuri pada tanggal 11
februari 2020 Jam 21.17)
19

narasumber yaitu, Hakim, Terdakwa, dan Saksi Verbalisan yang

dianggap mampu memberikan data bagi kepentingan penelitian

b. Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan oleh penulis untuk

mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan cara mengamati fenomena

yang terjadi di masyarakat.22

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan

data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema

dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Penulis menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis),

yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu

mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan.23 Dalam model

ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang

terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data

yang mendukung penyusunan laporan penelitian. Tiga tahap tersebut adalah:

a. Reduksi data

Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,

membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari

catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-terus

menerus sampai laporan akhir penelitian selesai.

b. Pengajian data

22
https://www.romadecade.org/pengertian-observasi/ ( ditelusuri pada tanggal 11 februari
2020 Jam 12.00)
23
https://www.maxmanroe.com/vid/menajemen/analisis-data.html ( ditelusuri pada
tanggal 11 februari 2020 Jam 12.03)
20

Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset

dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, dan

tabel dan sebagainya.

c. Menarik kesimpulan

Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai

hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan,

pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur

sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan. Ketiga komponen

yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dengan

verifikasi dimulai dengan pengumpulan data. Setelah pengumpulan data

selesai dilakukan maka peneliti menarik kesimpulan dengan verifikasi

sehingga akan dapat memperoleh data yang benar-benar dapat menjawab

permasalahan yang diteliti.

6. Analisis Data

Data atau bahan-bahan yang di dapat selama penelitian ini

menggunakan metode deskriptif selanjutnya dianalisa secara kualitatif dan

dijadikan dalam bentuk kalimatyntuk mencapai kejelasan.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari 4 bab yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.


21

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan mengenai pokok pokok pendahuluan penelitian proposal

yang berisikan penguraian tentang tinjauan umum tentang

penegakan hukum tinjauan umum tentang pengadilan,tinjauan

tentang pembuktian.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ke tiga ini berisikan mengenai kedudukan saksi verbalisan

sebagai sebagai alat bukti di persidangan.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab penutup ini berisikan tentang bagian penutup penulisan

proposal yang berisikan penguraian tentang apa yang dapat ditarik

sebagai kesimpulan akhir penelitian mengenai kedudukan saksi

verbalisan sebagai alat bukti di persidangan.


22

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Alfitra, Hukum pembuktian,Yogyakarta:Liberty, 2011

--------,Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan

Korupsi di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses,2001

Andi hamzah, Hukum Acara Perdana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika:

2010

Hari Sasangka dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana,Bandung: PT Maju Mundur, 2003

Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan

Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, Jakarta; Konstitusi

Press, 2015

Sudikno Mertokusumo, MENGENAL HUKUM SUATU

PENGANTAR, Jakarta:pustaka Refleksi, 2010

Satjipto Rahardjo, ilmu hokum, Jakarta:Pt Raja Grafindo, 2005, hlm 15

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia,

Jakarta:Sinar Grafika,2004

Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian,Jakarta:Bumi Aksara,

2006

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983


23

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double

Track System & Implementasinya, Jakarta:Kencana, 2018

M. Yahya Harapah, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kosasi dan

Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

---------, Pembahasan Permasalahan & Penetapan

KUHAP,Jakarta:Sinar grafika, 2008

Muhadar, Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan

Pidana, Bandung:Alfabeta, 2010

B.PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 184

C.INTERNET

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/peraturan/detail/

11e9da0047e2f6c8bd3d313733373135.html (ditelusuri pada tanggal 17

Februari 2022)

https://indonesiare.co.id/id/article/jenis-jenis-peradila-di-indonesia (ditelusuri

pada tanggal 17 Februari 2022)

Anda mungkin juga menyukai