Anda di halaman 1dari 174

Kelompok 1

Rodiatul Adawiyah Harahap


Aji Syaputra Lubis
Nazri Adlani Nasution
BAB I

A. Pengertian Hukum Perdata Materiil dan Formil


Dalam kaidah hukum yang menentukan setiap orang diharuskan untuk
bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya
akan terjaga dan dilindungi apabila kaidah hukum tersebut dilanggar, maka kepada yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman. Perlu ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan kepentingan adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yang
diatur dalam hukum perdata meteriil. Sebagai lawan hukum perdata materiil adalam
hukum perdata formil. Berikut pengertian dari hukum perdata meteriil dan hukum
perdata formil.1

1. Hukum Perdata Materiil


Hukum perdata materiil Adalah suatu kumpulan dari peraturan perundangan-
undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban keperdataan antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya. Hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau
yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang
bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.
Ketentuan-ketentuan seperti: “siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan
niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum.... dsb”, “siapa yang karena salahnya
menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang
lain tersebut”, itu semuanya merupakan pedoman atau kaidah yang pada hakekatnya
bertujuan melindungi kepentingan orang.2
Peraturan atau kaidah yang ada dalam masyarakat baik yang tertulis maupun
tidak tertulis sangatlah dibutuhkan dalam suatu pergaulan maupun bisnis, yang pada
umumnya peraturan atau kaidah tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman oleh
masyarakat untuk menjalin hubungan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.
1
Retnowulan dan Iskandar, Hukum Acara Perdata dalam TeoRi dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju,
2019), H. 1.
2
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 1.

1
Misalnya perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pemborangan kerja, perjanjian hutang
piutang, perjanjian jaminan, perjanjian jual-beli, perjanjian gadai, dan sebagainya. Maka
dari itu telah dibentuk peratiran yang mengatur seluruh kegiatan tersebut agar dapat
mengihindari Tindakan kesewenang-wenangan dan atau eigenrichting yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam suatu hubungan keperdataan.Kitab Undang-udang Hukum
Pidana, Kitab Undang-Udang Hukum Perdata, HIR, RBg, Kitab Undang-Undangan
Hukum Dagang, Peraturan Perundang-undangan tentang Hak Cipta, Hak Merk, Hak
Paten, Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang tentang Kepailitan dan lain
sebagainya.3

2. Hukum Perdata Formil


Secara umum mekanisme penyelesain sengketa perdata dapat diselesaikan
melalui dua cara, pertama diselesaikan secara damai di luar pengadilan atau yang
dikenal dengan non litigasi yaitu dengan menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa
alternatif seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrasi, serta cara penyelesaian
sengketa secara konvensional melalui pengadilan sengketa dilakukan melalui
pengadilan (litigasi) maka proses penyelesaian didasarkan pada hukum acara yang
berlaku, dalam hal ini hukum acara perdata.4 Hukum perdata formil adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi hukuman terhadap para
pelanggar hak-hak keperdataan sesuai dengan hukum perdata materiil mengandung
sanksi yang sifatnya memaksa. Hukum perdata formil atau hukum acara perdata
umumnya merupakan suatu aturan pelaksanaan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di dalam masyarakat atau yang biasa disebut dengan hukum positif. Misal:
kitab undang-undang hukum acara perdata, HIR dan RBg.5
Dalam tataran praktik, dapat dikatakan hukum acara perdata mengatur
bagaimana sengketa dalam lapangan keperdataan diselesaikan melalui jalur litigasi
(jalur pengadilan) dan jalur nonlitigasi (jalur di luar pengadilan). Bahkan lebih jauh dari
itu, hukum acara perdata juga menyiapkan bagaimana tata cara untuk memperoleh
kepastian hukum dalam keadaan tidak bersengketa, atau mencegah terjadinya sengketa

3
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 3.
4
Efa Laela Fakhriah, Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Bandar Maju, 2019),
H.1.
5
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 4.

2
di kemudian hari.6 Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata
mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak
lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.
Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melak sanakan hak menurut
kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan
menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal hendak memperjuangkan atau
melaksanakan hak tersebut.7
Secara defenitif, beberapa ahli hukum perdata memberikan definisi mengenai
hukum acara perdata yaitu sebagai berikut,8
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-
peraturan yan memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
b. R. Subekti berpendapat hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, maka
dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu
diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.
c. M.H Tirtaamidjaja mengatakan hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul
dari hukum perdata materil.
d. Soepomo mengatakan dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan
tata hukum perdata (Burgelijke Rechtorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh
hukum dalam suatu perkara.
e. Sudikno Mertokusumo, mendefinisikan hukum acara perdata sebagai peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
meteriil dengan perantara hakim.9

6
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 1.
7
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 2.
8
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata. (Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015), H. 10-11.
9
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 1-2.

3
f. Abdul Kadir Muhammad mendefinisikan bahwa hukum acara perdata ialah
peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim
(pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan keputusan
hakim.
g. Retnowulan dan Iskandar mengatakan bahwa hukum acara perdata sebagai semua
kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil.
Dapat disimpulakan hukum acara perdata adalah serangkaian tata cara
pelaksanaan tuntutan hak di pengadilan baik itu dalam berupa gugatan atau
permohonan. Umumnya untuk beracara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya
(pasal 182 HIR jo Pasal 145 ayat (4) RBg. jo. Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) undang-
undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman). Biaya perkara tersebut
meliputi biaya kepaniteraan dan biaya pemanggilan, pemberitahuan para pihak yang
sedang berperkara serta biaya meterai, kecuali bagi mereka yang tidak mampu untuk
membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan beracara tanpa biaya atau cara
predeo (Pasal 237 HIR jo. Pasal 273 RBg).10

B. Sejarah Hukum Acara Perdata


Berbicara mengenai sejarah hukum acara perdata, maka ada dua hal yang akan
diuraikan yaitu tentang sejarah ketentuan perundang-undangan yang mengatur hukum
acara di peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia. Sebagaiman diketahui
bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum
adalah Herziene Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata
dan di bidang pidana. Dengan berlakunya UU No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHAP), maka pasal pasal yang mengatur hukum acara
pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi.
Nama semula dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) adalah Indonesich
Reglement yang berarti reglemen bumiputera, yang dirancang oleh MR HL Wichers, di
mana pada waktu itu Presiden Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di
Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal

10
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 7-8.

4
Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No 3, Mr Wischers diberi tugas untuk
merancang sebuah reglemen (peraturan) tentang administrasi polisi dan proses perdata
serta proses pidana bagi golongan bumiputera. Dengan uraian yang panjang itu
dimaksudkan: Hukum acara perdata dan pidana.11 Bagi mereka pada waktu itu berlaku
Staatblad 1819 No. 20 yang memuat 7 pasal perihal hukum acara perdata. Hanya dalam
waktu 8 bulan, Jhr.Mr.H.L, Wichers selesai dengan rancangannya (tanggal 6 Agustus
1847) serta peraturan penjelasannya. Kemudian pendapat para Hakim Agung didengar.
Di antara mereka itu ada yang setuju dengan rancangan Wichers tersebut, ada pula yang
menganggap bahwa rancangan itu terlalu sederhana, mereka ingin agar ditambah
dengan lembaga penggabungan, penjaminan, intervensi dan rekes sipil seperti apa yang
terdapat dalam R.V. Jhr.Mr.H.L., Wichers tidak setuju atas penambahan tersebut
dengan memberikan alasan antara lain:
(a) Kalau ditambah-tambah menjadi tidak terang, dan bukan sederhana lagi:
(b) R.V. saja yang diberlakukan kalau maksudnya ingin lengkap.
Akan tetapi sebagai seorang hakim yang berpengalaman luas, yang mau
mendengar pendapat orang lain, akhirnya beliau mendekati kehendak para pengusul
tadi, dan karenanya ditambahkan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum, yang
setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang terpenting dari H.I.R., ialah pasal
393 H.I.R., termuat dalam Bab kelima belas yang mengatur tentang berbagai-bagai
aturan. Pasal tersebut di atas merupakan pasal yang penting, oleh karena di dalamnya
dinyatakan dengan tegas bahwa H.I.R. yang berlaku, akan tetapi apabila benar-benar
dirasakan perlu dalam perkara perdata dapat dipergunakan peraturan lain yang lebih
sesuai yaitu yang mirip dengan peraturan yang terdapat dalam R.v12
Rancangan Wichers tersebut di atas diterima oleh Gubernur Jenderal dan
diumumkan pada tanggal 5 April 1848 dengan Stbl. 1848 No. 16 dengan sebutan
“Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de
strafvordering onder de Indonesiers en de vreemde Oosterlingen op Java en Madoera”
atau lazim disebut Het Inlands Reglement, disingkat I.R., dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Mei 1848. Pada tanggal 29 September 1849 I.R. Ini disyahkan dan dikuatkan
dengan Firman Raja No. 93 dan diumumkan dalam Stbl. 1849 No. 63, dan oleh karena
11
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata. (Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015), H. 11-12.
12
Retnowulan dan Iskandar, Hukum Acara Perdata dalam TeoRi dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju,
2019), H. 7.

5
pengesahan ini I.R, sifatnya menjadi Koninklijk besluit. Perubahan dan tambahan terjadi
beberapa kali. Suatu perubahan yang mendalam terjadi dalam tahun 1941, di mana
didirikan Lembaga Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, anggota-anggotanya bukan lagi
ditempatkan di bawah pamongpraja, melainkan langsung ada di bawah Jaksa Tinggi dan
Jaksa Agung. Penuntut umum ini disebut parket dan merupakan kesatuan organisasi
yang tidak terpecah-pecah (ondeelbaar).
Oleh karena adanya perubahan yang mendalam ini, yang dalam bahasa Belanda
diaebut herzien, maka I.R. selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglement
atau disingkat H.I.R. Dengan terjemahan yang telah dilakukan setelah negara kita
merdeka, maka H.I.R. disebut pula R.I.B., ialah disingkat dari Reglemen Indonesia
diperbaharui atau Reglement Indonesia baru.13 Dalam waktu yang relatif singkat yaitu
belum sampai satu tahun, Mr Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana peraturan
acara perdata dan pidana yang terdiri dari 432 Pasal.
Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah tanggal 5
April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848. Pembaharuan IR menajdi HIR dalam
tahun 1849 ternyata tidak membawa perubahan suatu apapun pada hukum acara perdata
di muka pengadilan negeri. Yang dinamakan pembaruan pada HIR itu sebenarnya hanya
terjadi dalam bidang pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada
perubahan. Terutama pembaruan itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau
penuntut umum (Openbare Ministries) yang berdiri sendiri dan langsung berada di
bawah pimpinan Procureur General, sebab dalam IR apa yang dinamakan jaksa itu
pada hakikatnya tidaklah lain dan tidak lebih daripada seorang bawahan dari asisten
residen.
Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan di
bagi atas peradilan gubernemen dan peradilam pribumi. Peradilan gubernemen di Jawa
dan Madura di satu pihak dan di luar Jawa di lain pihak. Dibedakan peradilan untuk
golongan Eropa (Belanda) dan untuk bumiputera. Pada umumnya peradilan gubenemen
untuk golongan Eropa ada tingkat peradilan pertama ialah Raad Van Justtitie sedangkan
untuk golongan Bumiputera ialah Landraad. Kemudian Raad Van Justitie ini juga
menjadi peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh Landraad.
Hakimhakim pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu. Banyak orang Eropa
13
Retnowulan dan Iskandar, Hukum Acara Perdata dalam TeoRi dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju,
2019), H. 8.

6
(Belanda) menjadi hakim Landraad dan adapula orang bumiputera di Jawamenjadi
hakim pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang Eropa. Dalam
perkembangan selanjutnya selama hampir 100 tahun sejak berlakunya Reglemen ini
ternyata telah banyak sekali mengalami perubahan dan penambahan yang disesuaikan
dengan kebutuhan praktek peradilan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam
reglemen tersebut. Dengan demikian ketentuanketentuan dalam reglemen itu hanya
merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis.
Sebenarnya yang paling banyak mengalami perubahan dan penambahan adalah
bagian hukum acara pidana. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura untuk menjamin
adanya kepastian hukum acara tertulis di muka pengadilan gubernemen bagi golongan
Bumiputera dan timur asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang), maka pada
tahun 1927 GubernurJenderal Hindia Belanda mengumumkan reglemen hukum acara
untuk daerah seberang dalam Stb No 227 Tahun 1927 dengan sebutan Rechtrglement
voor de Buitengewesten disingkat RBg. Ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada
dalam Inlandsch Reglement untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan
Madura ditambah ketentuanketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku
di kalangan mereka sebelumnya. Dengan terbentuknya RBg ini maka di Hindia Belanda
terdapat tiga macam reglemen hukum acara untuk pemeriksaaan perkara di muka
pengadilan gubernemen pada tingkat pertama, yaitu:
1. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (BRv) untuk golongan Eropa yang
berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie Gerecht.
2. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing
di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
3. Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk golongan Bumiputera dan
Timur Asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang) yang berperkara di muka
Landraad.
Pada zaman pendudukan Jepang, setelah penyerahan kekuasaan oleh pemerintah
Belanda kepada balatentara Dai Nippon pada bulan Maret 1942, maka pada tanggal 7
Maret 1942 untuk daerah Jawa dan Madura pembesar balatentara Dai Nippon
mengeluarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1942. Dalam pasal 3 ditentukan:

7
“semua badan pemerintah dan kekuasannya, undang-undang dari pemerintah
yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan pemerintah militer”
Berdasarkan undang-undang ini, maka peraturan hukum acara perdata untuk
Jawa dan Madura masih tetap berlaku HIR. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura
badan kekuasaan balatentara Dai Nippon juga mengeluarkan peraturan yang sama
seperti di Jawa dan Madura. Dengan demikian hukum acara perdata untuk luar Jawa dan
Madura masih tetap berlaku RBg. Pada bulan April 1942 pemerintah balatentara Dai
Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susunan dan kekuasaan pengadilan.
Dalam peraturan tersebut ditentukan:14
‘Untuk semua golongan penduduk kecuali orang-orang bangsa Jepang hanya
diadakan satu jenis pengadilan sebagai pengadilan sehari-hari yaitu Pengadilan
Negeri (Tihoo Hooin) untuk pemeriksaan perkara tingkat pertama dan pengadilan
Tinggi (Kootoo Hooin) untuk pemeriksaan perkara tingkat kedua”
Berdasarkan peraturan tersebut, semua golongan penduduk termasuk golongan
Eropa tunduk pada satu jenis pengadilan untuk pemeriksaaan perkara pada tingkat
pertama yaitu: Pengadilan Negeri menggantikan Landraad dulu. Sedangkan Raad van
Justitie dan Residente Gerecht dihapuskan. Dengan demikian BRv, sebagai hukum
acara yang diperuntukkan bagi golongan Eropa tidak berlaku lagi, ketentuan hukum
acara perdata yang masih berlaku untuk pemeriksaan perkara perdata di muka
pengadilan negeri adalah HIR untuk Jawa dan Madura dan RBg untuk daerah di luar
Jawa dan Madura. Sedangkan bagi semua mereka yang hukum materialnnya termuat
dalam BW dan WvK masih dapat mengikuti ketentuan BRv, sepanjang itu dibutuhkan
karena tidak diatur dalam HIR dan RBg. Perkembangan peraturan hukum acara setelah
kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih memakai ketentuan pada masa pemerintahan
balatentara Dai Nippon yang didasarkan atas Ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan
Pasal IV Undang-undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 Juncto Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 194515

C. Sumber Hukum Acara Perdata


14
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata. (Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015), H. 15.
15
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata. (Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015), H. 16.

8
Hukum acara perdata yang berlaku di indonesia sampai saat ini, berdasarkan
pasal 5 ayat (1) UU darurat No. 1 tahun 1951 yang mengatur tentang tindakan-tindakan
untuk melenggarakan susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil, adalah het
herzienne indonesisch reglement (HIR atau reglemen indonesia yang diperbaruhi: Stb.
1848 no. 16 Stb. 1941 no. 44) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg atau
Reglemen daerah sekarang Stb. 1927 no. 227). Baik HIR maupun RBg keduanya
mengatur hal yang sama yaitu tentang hukum acara perdata, hanya wilayah hukum
berlakunya yang berbeda. Namun demikian antara keduanya tidak dapat disatukan
dalam arti satu berlaku untuk seluruh indonesia, karena secara formal sampai saat ini
belum ada satu ketentuan yang mempersatukan HIR dan RBg untuk diberlakukan
disemua wilayah yang sama. Karenanya sampai saat ini hukum acara perdata yang
berlaku di Indonesia masih dualisme.16 Meskipun demikian ada beberapa undang-
undang lain yang menjadi sumber hukum acara perdata yaitu sebagai berikut.
1. Herziene Indonesisch Reglement (HIR) HIR ini dibagi dua yaitu bagian hukum acara
pidana dan acara perdata, yang diperuntukkan bagi golongan Bumiputra dan Timur
Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka Landraad. Bagian acara pidana
dari Pasal 1 sampai dengan 114 dan Pasal 246 sampai dengan Pasal 371. Bagian
acara perdata dari Pasal 115 sampai dengan 245. Sedangkan titel ke 15 yang
merupakan peraturan rupa-rupa (Pasal 372 s.d 394) meliputi acara pidana dan acara
perdata.

2. Reglement Voor de Buitengewesten (RBg) Rbg yang ditetapkan dalam Pasal 2


Ordonansi 11 Mei 1927 adalah pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen
yang tersebar dan berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk
di luar Jawa dan Madura.

3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (RV atau Reglemen hukum acara


perdata untuk golongan Eropa: S. 1847 no. 52, 1849 no. 63) Adalah reglemen yang
berisi ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus untuk golongan
Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad Van
Justitie dan Residentie Gerecht.17 Menurut Supomo, dengan dihapuskannya Raad
16
Efa Laela Fakhriah, Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2019),
H. 2.
17
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Modul Pengantar Hukum Acara Perdata. (Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015), H. 17.

9
Justitie dan Hooggerechtshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga dengan
demikian hanya HIR dan Rbg. sajalah yang berlaku). Timbullah pertanyaan, hukum
acara perdata yang manakah yang diperlakukan, apabila seseorang yang tunduk pada
BW mengajukan gugat cerai? Di dalam praktek, acara dari Rv yang diterapkan.18

4. Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, meskipun


sebagai kodifikasi hukum perdata materiil, namun juga memuat hukum acara
perdata, terutama dalam buku IV tentang pembuktian dan daluwarsa (pasal 1865
sampai denga pasal 1993). Selain itu juga terdapat dalam beberapa pasal Buku I,
misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (pasal 17 sampai denga pasal 25), serta
beberapa pasal Buku II dan Buku III (misalnya pasal 533, pasal 535, pasal 1244 dan
pasal 1365). 19

5. Ordonansi tahun 1867 Nomor 29, memuat ketentian hukum acara perdata tentang
kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia
(pribumi) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal ordonasi ini diambil
alih dalam penyusunan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).

6. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, adalah tentang kepailitan dan penundaan


kewajiban pembayaran utang yang memuat ketentuan-ketentuan hukum acara
perdata khusus untuk kasus kepailitan.

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, memuat tentang peradilan ulangan di jawa


dan madura yang berlaku sejak 24 juni 1947, dengan adanya undang-undang ini
peraturan mengenai banding dalam HIR pasal 188-194 tidak berlaku lagi.

8. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, mengenai Tindakan-tindakan


sementara untuk melenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-
pengadilan sipil yang berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951.

9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, adalah memuat tentang kekuasaan


kehakiman yang berlaku sejak diundangkan tanggal 15 Januari 2004. Ketentuan
hukum acara perdatanya termuat dalam pasal 5 ayat (2) dan pasal 36 ayat (3),

18
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 7.
19
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 3.

10
selainnya juga memuat hukum acara pada umumnya. Undang-undang ini telah
diganti dengan undang-undang baru yaitu undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.

10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, memuat tentang ketentuan-ketentuan hukum


acara perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan serta
menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan
perkawinan, pembatalan perwakinan, dan perceraian yang dapat dalam pasal 4, 5, 6,
7, 9, 17, 18, 25, 28, 38, 39, 40, 55, 60, 63, 65, dan 66. Undang-undang ini diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

11. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985


adalah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak
diundangkan tang- gal 30 Desember 1985, yang kemudian mengalami perubahan
pertama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, kemudian diubah lagi
dengan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetapi
hukum acara perdata yang ada dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 diatur mengenai kedudukan, susunan. kekuasaan dan hukum acara bagi
Mahkamah Agung (Pasal 40-78). Hukum Acara bagi Mahkamah Agung yang
termuat dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 terdiri dari lima
bagian yaitu:
a. Bagian Pertama Pasal 40 s/d Pasal 42 tentang ketentuan umum;
b. Bagian Kedua Pasal 43 s/d Pasal 55 tentang pemeriksaan kasasi;
c. Bagian Ketiga Pasal 56 s/d Pasal 65 tentang pemeriksaan sengketa perihal
kewenangan mengadili;
d. Bagian Keempat Pasal 66 s/d Pasal 77 tentang pemeriksaan penin- jauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap; dan
e. Bagian Kelima Pasal 78 tentang pemeriksaan sengketa yang timbul karena
perampasan kapal.

12. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986


adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal

11
8 Maret 1986. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai
kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pasal-pasal yang memuat Peraturan Hukum Acara Perdatanya, antara lain termuat
dalam Pasal 50, 51, 60, dan 61. Undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004, tetapi tidak mengenai hukum acara perdata. Undang-undang
ini kemudian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun
2009.

13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003


adalah Undang-Undang tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan
tanggal 5 April 2003. Selain undang undang di atas dapat juga dijadikan sumber hu-
kum acara perdata adalah UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industri dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.20

14. Yurisprudensi, Yurisprudensi merupakan sumber pula dari pada hukum acara
perdata. Antara lain dapat disebutkan putusan M.A. tanggal 14 April 19 no.
99K/Sip/1971 yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka
yang tunduk pada BW, dengan tidak membedakan antara permohonan untuk
mendapatkan izin guna mengajukan gugatan perceraian dan gugatan perceraian itu
sendiri, yang berarti bahwa hakim harus usahakan perdamaian di dalam persidangan,
seperti yang diatur dalam pasal 53 HOCI.21

15. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), merupakan sumber hukum acara perdata.
Dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan pengaturan Mahkamah
Agung ini termuat dalam pasal 79 undang-undang Nomor 14 tahun 1985.22

16. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Instruksi dan surat edaran
Mahkamah Agung sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata
materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana undang-undang. Akan tetapi instruksi
dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara
perdata maupun hukum perdata materiil.

20
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), H. 5-7.
21
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 8-9.
22
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), H. 8.

12
17. Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara perdata juga,
sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Tetapi doktrin itu sendiri
bukanlah hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan, karena didukung oleh para
pengikutnya ser- ta sifat obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan
putusan hakim bernilai obyektif juga.

18. Adat kebiasaan, Wirjono Prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan yang juga
dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata, bagai sumber
dari pada hukum acara perdata. Adat kebiasaan yang tidal tertulis dari hakim dalam
melakukan pemeriksaan itu akan beraneka ragam Tidak mustahil adat kebiasaan
seseorang hakim berbeda, bahkan berten tangan dengan adat kebiasaan hakim lain
dari pengadilan yang sama dalam melakukan pemeriksaan. Mengingat bahwa hukum
acara perdata dimaksud kan menjamin dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum
perdata materiil, yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, maka pada
azasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Adat kebiasaan hakim
yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian
hukum. 23

D. Asas dan Tujuan Hukum Acara Perdata


1. Hakim Bersifat Menunggu (index ne procedat ex officio)
Asas ini dapat ditemukan pada Pasal 10 ayat (1) undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 dan pasal 142 RBg/pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan
bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang
pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya. Hakim bersifat
menunggu artinya insiatif pengajuan gugatan berasal dari pihak yang berkepentingan.
Apabila tidak diajukannya gugutan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Hakim
baru berkerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau
perkara diajukan kepadanya, maka pengadilan/hakim dilarang menolak untuk
memerikasa, mengadili dan memutus suatu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas.24

23
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 5.
24
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 5.

13
2. Hakim Bersifat Pasif
Adalah adanya tuntutan hak dari penggugat kepada tergugat timbulnya insitiaf
sepenuhnya ada pada pihak penggugat. Asas hakim bersifat pasif di sisni dalam suatu
perkara diajukan ke pengadilan atau tidak untuk penyelesaiannya insiatif sepenuhnya
tergantung kepada para pihak yang sedang berperkara bukan kepada hakim yang
memeriksa karena sebelum perkara diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif,
sedangkan jika suatu perkara yang dihadapi oleh para pihak telah diajukan ke
persidangan pengadilan, maka hakim harus bersifat aktif untuk mengadili perkara
tersebut seadil-adilnya tanpa pandaga bulu. Hakim di dalam menangani setiap perkara
yang diajukan ke pengadilan tidak diperbolehkan atau dilarang memberikan putusan
yang tidak dituntut oleh para pihak yang sedang berperkara karena akan berakibat
keputusannya cacat hukum dan dapat batal demi hukum (Pasal 178 HIR jo. Pasal 189
RBg) jadi maksud asas hakim bersifat pasif di sini batasnya hanya pada perkara yang
belum diajukan ke pengadilan, tetapi setelah perkara diajukan ke pengadilan batasan
tersebut telah hilang dan berubah menjadi bersifat aktif untuk mengadili perkara sesuai
dengan tuntuntan yang diajukan oleh pihak penggugat.25 Berikut beberapa makna Asas
hakim bersifat pasif diantaranya:26
a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan
dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.
b. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap
sesuatu yang tidak dituntut (Pasal 189 RBg/Pasal 178 HIR).
c. Hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti-
bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan
hakim.
d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak
mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan
perdamaian.

3. Persidangan Terbuka untuk Umum


Dalam hal ini menangani suatu perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan
haruslah terbuka untuk umum karena jika ternyata hakim dalam menangani sutu perara
25
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 18.
26
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 6.

14
tidak terbuka untuk umum, keputusan yang dibuat oleh hakim tidak sah dan atau cacat
hukum serta dapat batal demi hukum (Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan Kehakiman). Asas terbukanya persidangan ini pada dasarnya negara
Indonesia sebagai negara hukum menghendaki adanya penegakan rule of law yang
betul-betul dapat dilaksankan secara objektif dan hakim dalam menangani suatu perkara
dilarang berpihak kepada salah satu pihak. Apabila hakim dalam menangani suatu
perkara dapat menempatkan dirinya sebagai hakim yang baik atau tidak berpihak
kepada salah satu pihak, maka hakim akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
khusunya terhadap para pencari keadilan dan dapat dijadikan tumpuan akhir untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi oleh masyarakat dengan cara yang seadil-
adilnya.
Asas terbukanya persidangan dimaksudkan agar publik dapat menyaksikan
langsung jalannya persidangan sekaligus menjadi pengawas hakim dalam menangani
suatu perkara objektif apa tidak atau berpihak kepada salah satu pihak atau tidak.
Dalam praktik persidangan yang terbuka untuk umum, persidangannya dilaksanakan
dalam ruang yang pintunya terbuka setiap orang tanpa terkecuali dapat menyaksikan
jalannya persidangan sedangkan sidang yang tertutup untuk umum dalam pelaksanaan
persidangannya dalam ruangan yg pintunya ditutup, sehingga tidak semua orang bisa
masuk terkecuali para pihak yang berperkara dan para saksi.
Sidang yang terbuka untuk umum terdapat pengecualiannya, yaitu khusus untuk
perkara-perkara perceraian persidangannya tertutup untuk umum. Persidangan khusus
perceraian ini pelaksanaannya tertutup untuk umum dan tidak boleh diketahui oleh
orang lain karena berkaitan dengan rahasia keluarga. Hakim dalam menangani perkara-
perkara yang sifatnya tertutup untuk umum tidak diizinkan atau dilarang untuk
melaksanakan persidangan dengan terbuka untuk umum, karena keputusannya akan
berakibat tidak sah dan atau cacat hukum serta dapat batal demi hukum (Pasal 13 UU
No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 29 RO).27
Hakim dapat memerintahkan dilakukannya pemeriksaan sepenuhnya atau
sebagiannya dengan pintu tertutup yaitu:
a. Untuk perkara kesopanan atau kesusilaan;
b. Untuk perkara kepentingan anak-anak di bawah umur

27
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 19.

15
c. Untuk persidangan rahasia dalam perkara paten
Prinsip keterbukaan digunakan sebagai dasar beracara perdata yang memiliki arti
priventif dengan maksud untuk menjamin keobjektifan pemeriksaan pengadilan.
Musywarah Hakim (Raad kamer) dilakukan dengan pintu tertutup sehingga pendapat
hakim yang berbeda (dissenting opinion) dalam musyawarah diahasiakan. Sementara di
beberapa negara seperti Amerika Serikat, hasi musyawarah hakim berserta dissenting
opinion-nya terbuka untuk diketahui publik.28

4. Mendegar Kedua Belah Pihak (Horen Van Beide Partijen)


Asas ini tercermin dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009, ppasal 145 RBg, pasal 121 dan 132 HIR. Pengadilan harus memperlakukan kedua
belah pihak sama, memberi kesepmatan yang sama kepada para pihak untuk memberi
pendaptanya dan tidak memihak. Pengadilan tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak sebagai benar, apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang
beperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil
serta masing- masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak
memihak dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang beperkara harus
sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus
diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar
lebih dikenal dengan asas “audi et alterampartem” atau “eines mannes redeist keines
mannes rede, man soll sie horen alle beide”. Bahwa hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau
tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.29 Kecuali jika ternyata pihak
yang tergugat setelah dipanggil dengan patut 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir
(purge) dan tidak memberikan wakilnya atau kuasa hukumnya serta tidak
mempergunakan haknya untuk didengar keterangannya hakim dapat memberikan
28
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 7.
29
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), H. 11.

16
putusan verstek. Akan tetapi, setelah hakim memberikan putusan verstek dan ada
perlawanan (verzet) dari pihak tergugat, maka hakim juga diharuskan mendengarkan
keterangan pihak tergugat dan memberikan keputusan yang seadiln-adilnya tanpa
pandang bulu (pasal 121 ayat (2), 132 a. HIR jo pasal 145 ayat (2), 157 RBg. jo. pasal
47 Rv. jo pasal 4 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).30

5. Putusan Harus disertai Alasan (Motivering plicht-voeldoende gemotiveerd)


Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan
dasar untuk mengadili. Oleh karena alasan tersebut dimaksudkan sebagai
pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak,
pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga oleh karenanya memiliki nilai
objektif. Kewajiban mencantumkan alasan-alasan ditentukan dalam pasal 25 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal 618 RBg, pasal 184 ayat (1) dan pasal 319 HIR,
pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.31
Dalam Pasal 50 (1) UU No. 48 Tahun 2009 yang menentukan "Putusan
pengadilan selain harus memuat ala- san dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu
dari peraturan per- undang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili. Mahkamah Agung juga dalam berbagai
putusannya menggariskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertanggung- jawabkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi
dan harus dibatalkan.32
Dalil-dalil atau dasar hukum positif yang ada dimaksudkan untuk
pertanggungjawaban dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim dalam
persidangan di pengadilan, sehingga pihak lawab tidak akan mudah atau akan kesulitan
untuk mencari celah-celah atau kelemahan dari pada kepurusan yang telah dikeluarkan.
Hakim dalam menerapkan dalil-dalil atau dasar hukum positif harus betul-betul jeli dan
cermat serta harus sesuai dengan sengkerta yang dihadapi oleh para pihak, karena jika
dalam suatu penerapan tentang dasar hukumnya salah dan atau tidak sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi oleh para pihak, maka keputusan pengadilan yang telah
dikeluarkan akan berakibat cacat hukum dan dapat dibatalkan, diubah, dan diperbaiki di

30
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 21.
31
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 9.
32
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), H. 12.

17
tingkat banding. Jadi, penerapan dasar hukum yang benar dan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapo oleh para pihak yang sedang berperkara dimaksudkan
selian untuk mempertanggungjawabkan keputusan yang telah dikeluarkan juga dapat
mencerminkan adanya keadilan, sehingga keputusan yang telah dikeluarkan oleh
pengadilan apabila diajukan upaya hukum lain tidak berakibat dibatalkan, diperbaiki
dan diubah di tingkat banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
Dalam praktik jika lawan yang dikalahkan dalam suatu perkara di persidangan
tingkat pertama mengajukan upaya hukum lain berupa banding tidak mempuyai alasan-
alasan yang kuat, maka permohonan banding atas keputusan pengadilan di tingkat
dengan alasan bahwa perlawanannya tidak beralasan. Untuk itu, dalam upaya hukum
lain pihak yang dikalahkan dalam persidangan harus menggunakan alasan yang sah
dengan harapan agar diterima baik di tingakat banding, kasasi maupun peninjauan
Kembali sehingga upaya hukumnya tidak sia-sia. Di samping itu kuasa hukumnya harus
dapat menjelaskan secara detail kepada pemberi kuasa atau pihak yang dikalahkan
dalam persidangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika tidak
disertao alasan-alasan yang sah. 33

6. Beracara Dikenakan Biaya


Dalam hal beracara dikenakan biaya ini diatur dalam pasal 2 ayat (4) undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009, pasal 145 ayat (4), pasal 192-194 RBg, dan pasal 121
ayat (4), pasal 182-183 HIR. Biaya perkara ini dipakai untuk biaya kepaniteraan,
panggilan, pemberitahuan, material, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seperti
biaya pemeriksaan setempat. Namun, dimungkinkan juga bagi yang tidak mampu untuk
berperkara secara “pro deo” atau berperkara secara Cuma-Cuma sebagaimana yang
diatru dalam oasal 273 RBg dan 237 HIR, yang menentukan penggugat atau tergugat
yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa
biaya.
Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkata dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-
Cuma (professional deo) dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang
diabuut oleh kepala polisi (pasal 237, 238, 239 HIR. jo 273, 274, 275 RBg). Dalam
praktik, surat keterangan tidak mampu ini cukup dibuat oleh kepala desa yang
33
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 25.

18
disahakan oleh camat di daerah yang berkepentingan menetap. Permohonan perkara
secara prodeo ini akan ditolak hakim, bila ternyata penggugat bukan orang yang tidak
mampu.34

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan dalam Beracara


HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang
lain, sehingga pemerikasaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung
berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya
kalau dikehendakinya (ps. 123 HIR, 147 RBg). Dengan demikian, hakim tetap wajib
memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan
kepada seorang kuasa.35
Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat
mengetahui lebih jelas persoalannya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak
dapat dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu
atau diwakil harus seorang ahli atau sarjana hukum. Di dalam praktek sebagian besar
dari pada kuasa yang mewakili para pihak adalah sarjana hukum. Rv mewajibkan para
pihak mewakilkan kepada orang lain (procureur) dalam beracara di muka pengadilan.
Perwakilan ini merupakan suatu keharusan, dengan akibat batalnya tuntutan hak (ps.
106 ayat 1 Rv) atas diputusnya di luar hadir tergugat (ps. 109 Rv) apabila para pihak
ternyata tidak diwakili. Menurut RO ada persyaratannya untuk bertindak sebagai
procureur. Antara lain ia harus sarjana hukum (ps. 186). Pada hakikatnya tujuan
daripada perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak
lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan
dan memperoleh putusan yang adil.36 Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara
lain:
a. Ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak di bawah umur oleh orangtua atau
wali, sakit ingatan oleh pengampunya.
b. Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau
penasihat hukum.

34
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 9.
35
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 16.
36
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 17.

19
c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau
beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).
Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak
berlaku bagi Penerima Kuasa. Selanjutnya peradilan dilakukan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).
Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya
bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap putusan pengadilan harus
mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar
putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan
putusan secara paksa apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan
dengan sukarela.37

8. Bebas dari Campur Tangan Para Pihak di Luar Pengadilan


Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendin dan bebas dari
campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakima untuk menyelenggarakan
peradilan demi terselenggaranya negara hukum (ps. 1, 4 ayat 3 UU. 14/1970, 11 ayat 1
TAP VI/MPR/1973). Kebebasan kekuasaan kehakiman, yang penyelenggaraannya
diserahkan kepada badan-badan peradilan, merupakan salah satu ciri khas dari pada
negara hukum. Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada
setiap peradilan. Hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya Kebebasan dalam melaksanakan
wewenang judicieel menurut UU. 14/1970 Itupun tidak mutlak sifatnya, karena tugas
dari pada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dengan jalan menasirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.38
Dalam peradilan asas ini harus betul-betul diterapkan oleh para hakim karena
apbila hakim yang menangani suatu perkara tidak bisa mener[akan “asas bebas dari
campur tangan para pihak di luar pengadilan” dan tidak bisa menempatkan dirinya di

37
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), H. 13.
38
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), H. 18.

20
tengah-tengah para pihak yang sedang berperkara (berpihak kepada salah satu pihak),
maka sudah dapat dipastikan bahwa keputusannya akan dilawan oleh pihak yang
dikalahkan dengan proses litigasi akan menjadi berkepanjangan, sehingga
memgakibatkan banyak perkara yang menumpuk di tingkat banding, kasasi, dan
peninjauan kembali. 39

9. Putusan Harus Dilaksanakan Setalah 14 Hari Lewat


Setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan setelah tenggag wajtu 14
hari telah lewat dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak ada upaya
hukum lain dari pihak yang dikalahkan, kecuali dalam putusan “provisional dan putusan
uit voerbaar bij voorraad”. Jadi dalam asas ini menghendaki keputusan pengadilan
terhadp para pihak yang sedang bersengketa di pengadilan pelaksanaan eksekusinya
terhadap barang-barang baik bergerak maupun tidak bergerak baru dapat dilaksanakan
dengan cara paksa jika keputusannya telah in kracht van gewijsde atau telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap tidak ada perlawanan dari pihak yang dikalahkan, kecuali
dalam putusan provisional dan putusan uit voerbaar bij voorraad.
Dalam putusan provisional walaupun belum memberikan keputusan akhir dalam
persidangan eksekusi terhadap objek sengketa terhada barang-barang bergerak milik
penggugat yang berada di tangan tergugat atau berada di tangan pihak ketiga dapat
dilaksanakan terlebih dahulu. Jika ada dugaan bahwa tergugat akan menggelapkan
barang-barang milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau berada di tangan
pihak ketiga tanpa persetujuan penggugat. Sedangkan dalam putusan “uit voerbaar bij
voorraad” atau putusan serta pelaksanaan eksekusi terhadap barang-barang jaminan
baik bergerak maupun tidak bergerak dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada
upaya hukum lain atau banding oleh pihak lawan yang dikalahkan dalam persidangan
dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dengan catatan bahwa dalam petitum gugatan
penggugat harus disebutkan bahwa putusan pengadilan dapat dilaksanakan dengan ada
jaminan yang jumlah nominalnya sama dengan nilai objek yang disita.

10. Peradilan Secara Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan


Maksudnya adalah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu

39
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 22.

21
lama. Maksud dari kalimat “sederhana” dapat diartikan bahwa hakim dalam
pelaksanaannya mengadili para pihak yang sedang berperkara di dalam memberikan
pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan keterangan yang akurat dari para pihak dan
para saksi diupayakan memakai Bahasa (kalimat) yang sederhana yang mudah dipahami
dan dimengerti oleh para pihak yang sedang berperkara dan berusaha semaksimal
mungkin agar perkaranya dapat diupayakan perdamaian dengan cara memberikan
keterangan tentang akibat negative adanya keputusan pengadilan yang dapat
dilaksanakan dengan cara paksa, jika para pihak tetap mempertahankan kehendaknya
dan tidak mau damai, maka perkaranya baru diselesaikan melalui persidangan. Dalam
upaya perdamain yang ditawarkan oleh hakim diusahakan sedapat mungkin
memberikan penyuluhan tentang akibat-akibatnya apabila diselesaikan melalui
persidangan, sehingga dapat menyentuh dan menyadarkannya para pihak yang
berperkara khsusunya pihak yang merasa telah melakukan pelanggaran hak dan
merugikan pihak lain untuk menyelesaikan sengkertanya dengan jalan damai.
Dalam suatu perkara apabila dapat diupayakan dengan jalan perdamaian antara
kedua belah pihak, maka pelaksanaan persidangan yang sederhana akan tecapai (pasal
130 HIR jo. Pasal 154 RBg. jo. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasan Kehakiman). Adapun yang dimaksud pada kalimat “cepat” dalam
suatu persidangan adalah bahwa hakim dalam memeriksa para pihak yang sedang
berperkara harus mengupayakan agar proses penyelesaiannya setelah ada bukti-bukti
yang akurat dari para pihak dan para saksi segera memberikan keputusan dan waktunya
tidak di ulur-ulur atau mengadakan penundaan persidangan yang jarak waktu antara
persidangan yang pertama dan kedua dan seterusnya tidak terlalu lama.40 Berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1992 tentang penyelesaian perkara
di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri tanggal 21 Oktober 1992, ditetapkan oleh
Mahkamah Agung RI tenggang waktu penyelesaian perkara paling lambat 6 (enam)
bulan dengan ketentuan apaila tenggang waktu tersebut terlampaui harus melaporkan
keterlambatan tersebutu kepada pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.41
Apabila kalimat “sederhana dan cepat” telah dilaksanakan oleh hakim
pengadilan khsusunya dalam hal hakim dapat menguapayakan perdamaian maupun

40
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), H. 23.
41
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish, 2020), H. 11.

22
memberikan keputusan serta merta dalam suatu perkara, sudah tentu biaya yang
dikeluarkan oleh para pihak juga semakin ringan. Begitu juga sebaliknya apabila belum
terlaksana para pihak yang sedang berperkara akan semakin banyak biaya karena
perlawanan dari pihak yang dikalahkan terhadap keputusan hakim. Jadi agar dalam
suatu persidangan dapat dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka
hakim menyelesaikan sengketa harus professional dan betul-betul orang yang ahli di
bidangannya serta penuh dengan kearifan di dalam suatu perkara, sehingga
permasalahan yang dihadapi oleh para pihak dapat diselesaikan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.

11. Asas Negara Hukum Indonesia


Asas negara hukum Indonesia merupakan salah satu asas terpenting dari
Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya menjadi salah satu asas penting pula dari
hukum tata negara dan peradilan. Dalam konteks pembangunan nasional umumnya dan
pembangunan hukum nasional khusunya, asas negara hukum mutlak dijadikan sebagai
salah satu asas pembangunan. Asas negara hukum Indonesia mempunyai korelasi erat
dengan peradilan, sebab salah satu unsur negara hukum Indonesia adalah peradilan,
sehingga baik secara teoritis maupun yuridis jaminan eksistensi peradilan menemukan
landasan dalam konsep negara hukum Indonesia. Karena itu secara teoritis-yuridis
sangat tepat dan beralasan apabila asas negara hukum Indonesia, dijadikan dasar utama
dalam konsiderans dan penjelasan umum Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Mengingat Asas Negara Hukum Indonesia merupakan salah satu asas penting
dari asas peradilan, maka asas tersebut tidak dapat dipisahkan dari asas-asas lainnnya,
bahkan merupakan satu kesatuan yang saling terkait dengan asas lainnya, yakni asas
demokrasi, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan, dan keserasian, peradilan bebas
dan merdeka, musyawarah dan persamaan di hadapan hukum dan lain-lain.

23
DAFTAR PUSTAKA

A. Zainal. 2015. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta: Prenadamedia Group)

H. Endang & Lukman Hakim. 2020. Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan
Eksekusi dan Mediasi. (Yogyakarta: Deepublish)

L. Efa. 2019. Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Bandar Maju)

M. Laila Rasyid & Herinawati, 2015. Modul Pengantar Hukum Acara Perdata.
(Lhokseumawe: Unimal Press)

Retnowulan & Iskandar. 2019. Hukum Acara Perdata dalam TeoRi dan Praktek.
(Bandung: Mandar Maju)

Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Pratik. (Jakarta: Sinar Grafika)

Sudikno. 1985. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta)

24
Kelompok 2
Febi Febonecci S.Brahmana 0205212083
Fakhry wahyuda soregar 0205212073
Muhammad faiz abdullah 0205212063

BAB II

TUNTUTAN

HAK

A. Pengertian Tuntutan Hak

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan


hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrighting” (main
hakim sendiri). Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-
wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan
menimbulkan kerugian. Tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan
dalam hal kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.1

Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan


akan perlindunga hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memeperoleh
perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke
pengadilan, Kiranya sudah selayaknya apabila disyaratkan adanya kepentingan
untuk mengajukan tuntutan hak. Seseorang yang tidak menderita kerugian
mengajukan tuntutan hak, tidak mempunyai kepentingan. Sudah wajar kalau
tuntutannya itu tidak diterima oleh pengadilan. Akan tetapi tidak setiap
kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak.

25
Sebagai contoh, A hutang uang kepada B. Setelah jangka waktu yang
telah ditetapkan lewat, A tidak maumelunasi hutangnya. Kemudian C ( kakak
B ) yang bertanggunga jawab atas adiknya dan merasa wajib membelanya, tanpa
medapat kuasa dari B, menggugat A agar melunasi hutangnya kepada B. Tidak
dapat di sangkal bahwa C mempunyai kepentingan. Akan tetapi kepentingannya
itu kurang cukup untuk timbulnya hak guna menuntut baginya agar dapat
diterima oleh pengadilan untuk diperiksa.

Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan


tuntutan hak semaunya ke pengadilan. Kalau dibiarkan setiap orang mengajukan
tuntutan hak, dapat dibayangkan bahwa pengadilan akan kebanjiran tuntutan
hak. Untuk mencegah agar setiap orang tidak asal saja mengajukan tuntutan

hak ke
1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2006, Hal 2

26
pengadilan yang akan menyulitkan pengadilan makan hanya kepentingan yang
cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima
sebagai dasar tuntutan hak.

Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang


cukup, merupakan syarat utama untuk diterimanya tuntutan hak itu oleh
pengadilan guna diperiksa: point d’ interet, point d’ action. Ini berarti bahwa
tuntutan hak yang ada kepentingan hukumannya pasti dikabulkan oleh pengadilan.
Hal itu masih tergantung pada pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti
didasarkan atas suatu hak, pasti akan dikabulkan. Mahkamah Agung dalam
putusannya tanggal 7 Juli 1971 no. 294 K/ Sip/ 1971 mensyaratkan bahwa
gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.

B. Pengajuan Tuntutan Hak

Pada dasarnya, persoalan yang dihadapi seseorang yang diajukan ke


pengadilan perdata dalam bentuk tuntutan hak ada dua macam:

1. Berupa persoala yang mengandung konflik


2. Berupa persoalan yang tidak mengandung konflik

Tuntutan hak dalam Pasal 142 ayat (1) Rbg/ Pasal 118 ayat (1) HIR
disebut gugatan perdata ( burgerlijke vordering), yaitu merupakan tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah “eigenrichting” atau main hakim sendiri. Tuntutan hak harus
mempunyai kepentingan yang cukup. Dengan demikian, ada dua macam tuntutan
hak yang bertitik tolak pada ada atau tidak adanya sengketa, yaitu:

1. Perkara contentiosa (gugatan), yaitu tuntutan hak yang mengandung


sengketa disebut gugatan, dimana terdapat sekurang- kurangnya dua
pihak yaitupenggugat dan tergugat. Contoh: Sengketa hak milik, sengketa
warisan, dan lain- lain.
2. Perkara voluntaria (permohonan), yaitu tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada
satu

27
pihak saja, yaitu pemohon. Contoh: Permohonan penetapan waris,
Permohonan pengangkatan anak, dan lain- lain.2

Dalam istilah lain, sistem peradilan perdata juga dibedakan menjadi dua,
yaitu (voluntaire jurisdicte/ jurisdictio voluntaria) atausering pula disebut
oeradilan “ tidak sesungguhnya” karena memeriksa dan memutuspermohonan
yang mana tidak ada unsur sengketa dan terdiri dari satu pihak saja, dan peradilan
contensius (contentieuse jurusdicte/ jurisdictio contentiosa) atau sering pula
disebut peradilan “sesungguhnya”, karena sifatnya yang mengadili perkara antar
dua pihak atau lebih.3

Adapun secara sistematis. perbedaan antara peradilan contentiosa dengan


Peradilan voluntaria dapat digambarkan dari beberapa aspek, yaitu:

1. Pihak yang berperkara

Pada peradilan contetiosa, ada dua pihak yang berperkara, sedangkan pada
peradilan voluntaria, hanya ada satu pihak yang berkepentingan.

2. Aktivitas pengadilan yang memeriksa

Pada peradilan contentiosa, aktivitas pengadilan terbatas pada yang


dikemukakan dan diminta oleh pihak- pihak, sedangkan pada peradilan
voluntaria, aktivitas pengadilan dapat melebihi apa yang dimohonkan karena
tugas pengadilan bercorak administratif yang bersifat mengatur (administratif
regulation)

3. Kebebasan pengadilan

Pada pengadilan contentiosa, pengadilan hanya memerhatikan dan


menerapkan apa yang telah ditentukan oelh undang- undang dan tidak berada di
bawah pengaruh atau tekanan pihak mana pun. Pengadilan hanya menerapkan
ketentuan hukum positif. Sedangkan pada peradilan voluntaria, pengadilan selalu
memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaan yang dipandang perlu untuk
mengatur suatu hal.

2
Endang, Hadrian. Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi.Yogyakarta.
CV Budi Utama. Hal.12.

3
Nyoman, A Martana. Hukum Acara Dan Praktek Peradilan Perdata. Hal.6.

28
4. Kekuatan mengikat keputusan pengadilan

Pada peradilan contentiosa, putusan pengadilan hanya mempunyai


kekuatan mengikat pihak- pihak yang bersengketa. Sedankan pada peradilan
voluntaria, putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua
orang. Pada peradilan contentiosa, putusan pengadilan dapat diajukan upaya
hukum seperti banding dan kasasi. Sementara pada peradilan voluntaria,
penetapan atas permohonan merupakan keputusan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir, yang tidak dapat dimohonkan banding atau kasasi.

Berkaitan dengan peradilan voluntaria, unsur- unsur yang harus dipenuhi


suatu perkara yang diajukan melalui permohonan adalah:

1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata ( for the


benefit of one party only);
2. Permasalah yang dimohonkan penyelesaiannya kepada pengadilan
negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain ( without
disputes or differences with another party);
3. Tidak ada orang lain atau pihak ketigayang ditarik sebagai lawan,tetapi
bersifat ex parte artinya benar- benar murni dan mutlak satu pihak tanpa
menarik pihak lain sebagai lawan;
4. Kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal- hal yang ditentukan
oleh peraturan perundang- undangan yang bersangkutan;
5. Tidak menimbulkan hukum baru

Selanjutnya dalam peradilan voluntaria, perbuatan hakim lebih merupakan


perbuatan dibidang administratif, sehingga putusannya merupakan suatu
penetapan ( pasal 272 RBg, pasal 236 HIR). Bagi peradilan voluntaria pada
umumnya tidak berlaku peraturan tentang pembuktiam dari BW buku IV.
Demikian pula, RBg dan HIR pada umumnya disediakan untuk peradilan
contentiosa. Penyelesaian perkara dalam peradilan contentiosa disebut putusan,
sedangkan penyelesaian perkara peradilan voluntaria disebut penetapan.

Adakah persyaratan mengenai isi gugatan atau surat gugatan itu? Dengan
perkara lain, apakah yang harus dimuat dalam surat gugatan?

29
C. Isi Gugatan

HIR dan Rbg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan,


sedang tentang persyaratan mengenai isi dari pada gugatan tidak ada
ketentuannya. Bagi kepentingan para pencari keadilan kekurangan ini di atasi oleh
adanya pasal 119 HIR ( ps. 143 Rbg), yang memberi wewenang Kepada Ketua
Peradilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan kepada pihak penggugat
dalam pengajuan gugatanya. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan
gugatan- gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.

Permohonan gugatan dapat diajukan secara tertulis atau secara lisan jika
penggugat tidak dapat menulis sebagaimana yang diatur di dalam pasal 120 HIR/
pasal 144 RBg, sekalipun hal ini sangat jarang sekali dilakukan. Permohonan
gugatan secara tertulis disebut dengan surat gugatan. Sesuai dengan pasal 8 No. 3
Rv, surat gugatan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu terdapat:

1. Identitas para pihak;


2. Posita ( fundamentum petendi); dan
3. Petitum tuntutan

Berikut

penjelasannya:

1. Identitas para pihak

Dalam perkara perdata biasanya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak
penggugat danpihak tergugat. Para pihak dapat beracara secara langsung didepan
pengadilan atau dapat mewakilkannya kepada seorang kuasa dengan kuasa
khusus. Para pihak itu dibedakan atas: pihak materiil dan pihak formil. Pihak
materiil adalah pihak yang berkepentingan secara langsung, yaitu penggugat dan
tergugat. Pihak formil yaitu pihak yang secara formil tampil dan beracara di depan
pengadilan, yaitu penggugat dan tergugat dan kuasa hukum.

Identitas para pihak tiada lain adalah jati diri atau ciri- ciri masing- masing
pihak baik penggugat maupun tergugat, terutama nama dan alamat/ tempat
tinggal/ domisili/ tempat kedudukan. Di samping itu untuk menambah
kelengkapan dan kejelasannya biasanya perlu dicantumkan pula umur, pekerjaan,

30
status perkawinan. Untuk perkara tertentu, perlu pula dicantumkan agama, seperti
dalam perkara perceraian.

2. Posita

Posita ( fundamentum petendi )adalah dalil- dalil dari penggugat yang


menjadi dasar- dasar atau alasan- alasan gugatan penggugat. Posita ini memuat
dua hal pokok dalam uraiannya, yaitu:

a. Dasar- dasar atau alasan- alasan yang mengurikan mengenai fakta- fakta
atau peristiwa- peristiwa atau kejadian- kejadian yang mendeskripsikan
duduknya masalah.
b. Dasar- dasar atau alasan- alasan yang menguraikan mengenai hukumnya,
yaitu memuat hubungan hukum antara pengugat dengan tergugat,
hubungan hukum penggugat dan/ atau tergugat dengan materi atau
objek sengketa.

Dalam penyusunan posita, dikenal adanya dua teori terkait dengan luasnya
uraian dalam posita, yaitu:

a. Substantierings theorie. Menurut teori ini, penyusunan posita tidaklah


cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum
yang menjadi dasar gugatn, melainkan harus diuraikan pula bagaimana
sejarahnya sampai terjadi peristiwa dan hubungan hukum itu.
b. Individualiserings theori. Menurut teori ini, penyusunan suatu posita
adalah sudah dipandang cukup dengan menguraikan peristiwa dan
hubungan hukum tanpa menguraikan secara detail sejarah dari peristiwa
dan hubungan hukum tersebut.

Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, sedang


uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan. Uraian yuridis ini bukanlah merupakan
penyebutan peraturan- peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan. Dari pasal
163 HIR (ps. 238 Rbg, 1865 BW) yang berbunyi “ Barang siapa yang mengaku
mempunyai suatu hak atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa itu” kiranya dapat disimpulkan, bahwa hak atau

31
peristiwa yang harus dibuktikan di persidangan nanti, harus dimuat didalam
fundamentum petendi sebagai dasar dari tuntutan, yang memberi gambaran
tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu.

Sampai berapa jauhkah harus diberikan perincian tentang peristiwa yang


menjadi dasar tuntutan?Ada yang berpendapat, bahwa didalam gugatan tidak
cukup disebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, akan tetapi
harus pula disebutkan kejadian- kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa
hukum yang menajdi dasar guagatn itu, yang menjadi sebab timbulnya peristiwa
hukum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut miliknya misalnya, tidak cukup
disebutkan dalam gugatannya bahwa ia adalah pemiliknya, harus disebutkan juga
bahwa ia menjadi penuntut miliknya karena barang itu telah dibelinya. Oleh
karena itu penggugat masih ada kesempatan untuk membuktikan tentang asal
mula diperolehnya hak itu dipersidangan, maka dirasakan kurang perlunya
memuat sejarah diperolehnya hak, sehingga sekarang telah ditinggalkan.

3. Petitum

Petitum adalah apa yang dimohonkan atau dituntut supaya diputus


demikian oleh pengadilan. Dalam putusan pengadilan, petitum ini mendapat
jawaban dalam amar atau dictum putusan pengadilan. Petitum gugatan haruslah
dirumuskan dengan jelas dan cermat karena berimplikasi luas baik dalam proses
persidangan maupun nanti setelah putusan dimohonkan eksekusi. Permusan
petitum harus mempunyai keterkaitan yang jelas dengan perumusan posita. Setiap
tuntutan dalam petitum harus dapat dicarikan dasarnya dalam posita. Dengan kata
lain, tidak ada bagian dari tuntutan dalam petitum yang tidak ada uraiannya dalam
posita.

Tuntutan/ petitum dibedakan menjadi tuntutan primer dan tuntutan


subsider/ tuntutan pengganti/ tuntutan alternatif. Sebagai contoh tuntutan primer
dalam perkara perceraian : “ menyatakan perkawinan antara penggugat dan
tergugat putus karena perceraian”. Sementara tuntutan subsidernya: “ menyatakn
hubungan penggugat tergugat tidak dalam hubungan perkawinan yang sah”.

32
Lebih lanjut, terkait dengan petitum primer dalam praktik dikenal adanya
tutuntutan/ petitum pokok dan tuntutan/ petitum tambahan. Tuntutan pokok ini
merupakan tuntutan yang langsung tertuju kepada pokok perkara. Misalnya,
dalam perkara perceraian : “ menyatakan perkawinan antar penggugat dengan
tergugat putus karena perceraian”; dalam perkara hutang piutang: “ Menghukum
tergugat membayar hutang sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
kepada penggugat. Tuntutan tambahan, yang merupakan pelengkap tuntutan
pokok misalnya: tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara,
tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij
voorraad), tuntutan agar tergugat dihukum membayar uang paksa.

Petitum atau tuntutan ialah apa yang oleh penggugat diminta atau
diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Maka oleh karena itu penggugat harus
merumuskn petitum dengan jelas dan tegas (“een duidelijke bepaalde concluise”:
ps. 8 Rv). Tuntuntan yang tidak jelas atau tidak sempurn dapat berakibat tidak
diterimanya tuntutan tersebut.4 Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-
pernyataan yang bertentangan satu sama lain, yang disebut “ obscuur libel”
(gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak
tergugat sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan berakibat tidak diterimanya
gugatan tersebut).

D. Kompetensi

Dalam hukum acara dikenal dua macam kompetensi/ kewenangan, yaitu:

1) Kompetensi/ kewenangan absolut ( atributie van rechtspraak); dan


2) Kompetensi/ kewenangan relatif ( distributie van rechtspraak)

1. Kompetensi absolut

Kompetensi absolut adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa


jenis perkara tertentu yang secara absolut/ mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
peradilan lain baik dalam lingkungan peradilan yang sama ( pengadilan

4
M. A 16 Des. 1970 No. 492 K/Sip/1970, J.I. Pen, I/71, hal.52.

33
negeridengan pengadilan tinggi, yang sama- sama dalam lingkungan peradilan
umum) maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda (eg.pengadilan negeri
yang berada dalam lingkungan peradilan umum, dengan pengadilan agama yang
berada dalam lingkungan peradilan agama). Jadi demikian kompetensi absolut ini
adalah untuk menjawab pertanyaan: pengadilan macam apa ( dalam pengertian
lingkungan peradilannya dan jenjangnya) yang berwenang untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara tertentu tersebut?.

Tiap- tiap lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung secara umum


mempunyai kompetensi absolutnya sendiri- sendiri. Selanjutnya, masing- masing
tingkat dalam setiap lingkungan peradilan mempunyai kompetensi absolutnya
tersendiri. Pengadilan di lingkungan peradilan umum memiliki kewenangan
absolut untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana dan perkara
perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Sehubungan dengan
kewenangan absolut ini, Pasal 50 ayat UU No. 2/ 1986 tentang Peradilan Umum
menentukan: Pengadilan Negeri bertugas memeriksa, memutus dan meyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Tentang Pengadilan Tinggi
Pasal 51 ayat (1) menetukan: Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang
mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding.

Kekuasaan pengadilan negeri dalam perkara perdata meliputi semua


sengketa tentang hak milik atau hak- hak yang timbul karenanya atau hak- hak
keperdataan lainnya ( ps. 2 ayat 1 RO), kecuali apabila dalam undang- undang
ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya (TLN 81), misalnya
perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam menjadi wewenang
Pengadilan Agama (ps. 14 PP. 9/1975 jo.UU. 1/1974 tentang perkawinan),
tentang perselisihan perburuhan oleh P4D atau P4P ( UU. 2/ 1957). Perkara sewa
menyewa rumah semula sepenuhnya menjadi wewenang Kepala Kantor Urusa
Perumahan (PP. 49/ 1963 ps. 3 ayat 2 jo. ps. 24, baca juga SEMA 5/1964 dan 18/
1964). Kemudian dengan PP.55/1981 (24 Des 1981) tentang perubahan atas PP.
49/1963 tentang hubunga sewa menyewa perumahan, khususnya mengenai
penghentian hubungan sewa menyewa perumahan tanpa kata sepakat kedua belah
pihak, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan negeri (ps. I E). Jadi
sengeketa khususnya mengenai penghentian sewa menyewa tanpa kata sepakat

34
menjadi wewenangpengadilan negeri. Tetapi sengketa mengenai harga sewa
masih tetap menjadi wewewang Panitia Perumahan(ps. I C ). Pengosongan rumah
yang sengketa sewa menyewa harus diputus oleh pengadila negeri
pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan negeri. Tetapi kekosongan rumah
diluar sengketa sewa menyewa yang di putus oleh pengadilan negeri tetap
menjadi wewenang Kepala KUP (ps. IV A/J). Perlu diketahui bahwa penggunaan
perumahan tanpa suatu hak merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan
pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda setinggi- tingginya Rp
3000.000,--(ps. IV A/M).

2. Kompetensi relatif

Kompetensi relatif sering pula disebut dengan kewenangan nisbi, yang


menyangkut pembagian kewenangan mengadili antar pengadilan sejenis
berdasarkan yuridiksi wilayahnya. Artinya, bahwa suatu pengadilan hanya
berwenang mengadili perkara yang subyeknya atau objeknya berada pada wilayah
pengadilan yang bersangkutan. Misalnya: antar pengadilan negeri Denpasar
dengan pengadilan negeri Gianyar. Jadi konpetensi relatif dalm hukum acara
perdata adalah untuk menjawab: ke pengadilan negeri mana gugatan yang harus
diajukan?

Kompetensi relatif ini pokonya diatur dalam pasal 142 Rbg/ 118 HIR
sebagai berikut:

1. Gugatan diajukan pengadilan negeri yang wilayahnya hukumnya meliputi


tempat tinggal tergugat. Atau, jika tidak diketahui tempat tinggalnya,
gugatan diajukan kepengadilan negeri yang wilayahnya hukumnya
meliputi tempat kediaman senyatanya dari tergugat. Ketentuan sesuai
dengan asas actor sequiter forum rei.
2. Apabila tergugat lebih dari satu, yang tempat tinggalnya tidak terletak
dalam wilayah satu pengadilan negeri, gugatan diajukan ke pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi salah satu tempat tinggal
tergugat, yang dipilih penggugat. Apabila para tergugat berkedudukan
sebagai debitur dan penanggungnya, maka gugatan diajukan ke
pengadilan

35
negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang berhutang
pokok (debitur)
3. Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui demikian juga tempat
kediaman senyatanya tidak diketahui, atau tergugat tidak dikenal,
gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tingal penggugat atau salah satu penggugat.
4. Apabila telah dilakukan pilihan tempat tinggal dengan suatu akta, gugatan
diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal yang dipilih tersebut.
5. Dalam hal gugatannya mengenai barang tetap, gugatan diajukan ke
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak barang tetap
tersebut. Jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa
pengadilan negeri, gugatan diajukan ke salah satu pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi letak barang tetap itu.

E. Kumulasi atau Penggabungan Gugatan

Dalam perkara perdata sekurang- kurangnya ada dua pihak, yaitu


penggugat dan tergugat. Masing- masing pihak dapat terdiri dari satu orang atau
lebih dari satu orang. Demikian pula tuntutannya dalam satu gugatan. Apabila
pihak terdirilebih dari satu orang atau tuntutannya lebih dari satu, maka disebut
telah terjadi kumulasiatau pengabungan gugatan. Kumulasi ini ada dua jenis,
yaitu: kumulasi subyektif dan kumulasi obyektif.

Kumulasi subyektif terjadi apabilapara pihak terdiri dari lebih dari satu
orang atau subyek hukum. Syarat untuk kumulasi subyektif adalah bahwa
terhadap tuntutan yang diajukan tersebut haruslah ada hubungan yang erat antara
satu subyek/ orang dengan subyek/ orang lainnya. Apabila hubungan itu tidak ada,
maka harus digugat secara tersendiri.

Kumulasi obyektif adalah penggabungan beberapa tuntutan dalam satu


perkara sekaligus. Kumulasi obyektif pada umunya tidak disyaratkan bahwa
tuntutan itu harus berhubungan erat satu sama lain. Akan tetapi dalam tiga hal
komulasi obyektif itu tidak dibolehkan.

36
1. Kalau untutk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara
khusus, sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara
biasa, maka kedua tuntutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugatan.
2. Demikian pula apabila hakim tidak wewenang (tidak relatif) untuk
memeriksa salah atau tuntutan yang diajukan bersama- sama dalam satu
gugatan dengan tuntutan lain, maka kedua tuntutan itu tidak boleh
diajukan bersama- sama dalam satu gugatan
3. Tuntutan tentang “bezit” tidak boleh diajukan bersama- sama dengan
tuntutan tentang “eigendom” dalam satu gugatan

F. Upaya- Upaya untuk Menjamin Hak


Penggugat sangat berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan.
Oleh karena itu ia berkepentingan pula bahwa sekiranya gugatannya
dikabulkan atau ia dimenangkan, terjamin haknya atau dapat dijamin
bahwa putusannya dapat dilaksanakan. Sebab ada kemungkinannya bahwa
pihak lawan atau tergugat, selama sidang berjalan mengalihkan harta
kekayaannya kepada orang lain, sehingga apabila kemudian gugatan
penggugat diakbulkan oleh pengadilan, putusan pengadilan tersebut tidak
dapat dilaksanakan, disebabkan tergugat tidak mempunyai harta kekayaan
lagi.
Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya
gugatannya dikabulkan nanti, undang- undang menyediakan upaya untuk
menjamin hak tersebut, yaitu denga penyitaan. Penyitaan ini merupakan
tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan
perdata. Barang- barang yang disita untuk kepentingan kreditur
(penggugat) dibekukan, ini berarti bahwa barang- barang itu disimpan
untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (ps.197 ayat 9, 199
HIR, 212, 214 Rbg). Oleh karena itu penyitaan ini disebut juga sita
conservatoir atau sita jaminan.
Dengan adanya penyitaan itu maka debitur atau tergugat
kehilangan wewenangnya untuk menguasai barangnya, sehingga dengan
demikian tindakan- tindakan debitur atau debitur atau tergugat untu

37
mengasingkan atau mengalihkan barang- barang yang disita adalahtidak
sah dan merupakan perbuatan pidana (ps. 231, 232 KUHP). Penyitaan
dilakukan oleh panitera Pengadilan Negeri, yang wajib membuat verita
acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita
kalau ia hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh
dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara (ps. 197 ayat
2, 5 dan 6 HIR, 209 ayat 1 dan 4, 210 Rbg).
Kalau permohonan sita jaminan itu dikabulkan, maka lalu
dinyatakan sah dan berharga ( van waarde verlkaard) dalam putusan,
sesudah mana penyitaan itu mempunyai titel eksekutorial, sehingga
berubah menjadi sita eksekutorial, yang berarti bahwa tuntutan penggugat
dapat dilaksanakan. Sita jaminan ini tidak meliputi seluruh harta kekayaan
daro pada debitur atau tergugat, tetapi hanya beberapa barang tertentu saja
yang dilakukan oleh seorang debitur.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang
miliknya sendiri (pemohon) dan sit jaminan terhadap barang milik debitur.
1. Sita Jaminan terhadap Barang Miliknya Sendiri

Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditur (penggugat) yang


dikuasai oleh orang lain. Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan
berupa uang, malainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau
kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita. Sita jaminan
terhadap miliknya sendiri ini ada dua macam: sita revindicatoir dan sita maritaal

a. Sita Revindicatoir (ps. 226 HIR, 260 Rbg)


Pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan orang lain
dapat minta, baik secara lisan maupun tertulis kepada Ketua Pengadilan
Negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal agar
barang tersebut disita. Penyitaan ini disebut sita revindicatoir. Jadi yang
dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak
yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 197 ayat 2, 1751 BW).
Demikian pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak dari
padapenjual barang bergerk untuk minta kembali barangnya apabila harga
tidak dibayar, dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir (ps. 1145

38
BW, 232 WvK). Tuntutan revindicatoir ini dapat dilakukan langsung
terhadap orang yang menguasai barang sengketa tanpa minta pembatalan
dahulu tentang jual beli dari barang yang dilakukan, oleh orang tersebut
dengan pihak lain
Yang dapat disita secara sita ravendictoir adalah barang bergerak
milik pemohon. Barang tetap tidak dapat disita secara revindicatoir oleh
karena kemungkinan akan dialihkan atau diasingkannya barang tetap
tersebut pada umumnya tidak ada atau kecil, disebabkan karena pada
umumnya peralihan atau pengasingan atau barang tetap itu tidak semudah
peralihan barang bergerak. Oleh karena pemohon sita ravendicatoir itu
pada hakikatnya sudah menilai pokok sengketa, maka permohonan sita
ravendicatoir itu diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan dan ia pulalah yang memberi perintah penyitaan dengan
surat penetapan.
b. Sita Maritaal (ps. 823- 823 j Rv)

Sita maritaal bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau peyerahan
barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya
adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian
di pengadilan berlangsung antar pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau
membekukan barang- barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di ditangan
pihak ketiga. Oleh karena sifatnya hanyalah menyimpan maka sita maritaal ini
tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila dikabulkan. Pernyataan sah dan
berharga itu diperlukanuntuk memperoleh titel eksekutorial yang mengubah sita
jaminan menjadi sita eksekutorial, sehingga putusan dapat dilaksanakan dengan
penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita maritaal tidak berakhir dengan
penyerahan atau penjualan barang yang disita.

2. Sita Jaminan terhadap Barang Milik Debitur

Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir


ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat
dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang

39
debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Dengan diletakkan
penyitaan pada suatu barang berarti bahwa barang itu dibekukan dan tidak dapat
dialihkan atau dijual. Tidak jarang terjadi bahwa sita conservatoir itu kemudian
tidak sampai berakhir dengan penjualan barang yang disita, karena debitur
memenuhi prestasinya sebelum putusan dilaksanakan, sehingga sifat sita jaminan
itu lebih merupakan tekanan.

Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan


Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat (ps. 227 ayatb 1 HIR , 261 ayat 1
Rbg). Yang dapat disita secara conservatoir ialah: barang bergerak milik debitur,
barang tetap milik debitur, dan barang bergerak milik debitur yang ada di tangan
orang lain.

a. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur (ps. 227 jo. 197 HIR,
261 jo. Rbg)

Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau
tersita untuk dismpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau
mengalihkannya (ps. 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg). Atau barang bergerak yang disita
itu dapat pula dismpan ditempat lain, misalnya di gudang tertentu atau di gedung
Pengadilan Negeri kalau sekiranya ada tempatnya, guna mencegah barang yang
diista itu menjadi rusak.Jadi denganadanya sita conservatoir itu tersita atau
tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan wewenangngnya atas
barang miliknya.

b. Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur (ps. 227,197,198,199HIR,


261, 208, 214 Rbg)

Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual,
penyitaan itu harus diumumkan dengan memberiperintah kepada kepala desa
supaya penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui oleh orang
banyak. Kecuali itu salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Tanah (ps. 30 PP. 10/1961 jo. ps. 198 ayat 1 HIR, 213 ayat 1 Rbg).
Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita di tempat barang- barang itu
terletak dengan mencocokkan batas- batasnya dan disaksikan oleh pamong desa,

40
jadi tidak hanya di rumah pemilik barang tetap itu atau hanya ditempat kediaman
lurah.

c. Sita conversatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada ditangan
pihak ketiga (ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)

Apabila debitur mempunyai pihutang kepada pihak ketiga, maka kreditur


untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang milik
debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita conservatoir ini, yang disebut
derdenbeslag, diatur dalam pasal 728 Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta
otentik atau akta di bawah tangan, uang dan barang ketiga. Dalam hal ini
dibolehkan sita rangkap (ps. 747 Rv)

41
BANTUAN HUKUM

1.PENGERTIAN BANTUAN HUKUM

Banyak berbagai istilah dan nama bagi mereka yang profesinya memberikan jasa
dalam bidang hukum,maupun pelayanan hukum bagi mereka para pencari keadilan
dalam sebuah perkara baik itu perkara pidana maupun perdata. Dalam menjalankan
profesinya mereka terikat pada perundang undangan yang mengatur baik tentang
kesopanan maupun kode etik.

Diatur dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan


Pokok Kekuasaan Kehakiman,pasal 36 dan 37 terdapat pada ayat tersebut istilah
“Penasehat Hukum” yang mana mereka berkewajiban menasehati ataupun
memeperlancar perkara dengan menjunjung tinggi niali Pancasila. Menteri kehakiman
dalam surat putusan Nomor;M.02.UM.09.08 Tahun 1980 menjadi awal lahirnya istilah
“Bantuan Hukum” yang mana pada putusan tersebut membahas tentang petunujuk
pelaksanaan bantuan hukum. Sedangkan pengertian badan hukum secara umum ialah “
jasa yang memberikan nasihat hukum di luar pengadilan dan bertindak baik sebagai
pelaku dari seseorang yang tersangkut perkara pidana atau sebagai kuasa dalam perkara
perdata atau tata usaha negara”42

Sedangkan menurut Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum


Dapartemen Kehakiman secara umum memeberikan pengertian tentang bantuan hukum
tersebut,yaitu bantuan memberikan jasa untuk:

1. Memberikan nasihat hukum

42
Abdurrahman, Beberapa Aspek tentang Bantuan Hukum di Indonesia, Ditulis dalam Rangka Proyek
Pengembangan Kuliah Program Penunjang Bantuan Hukum, Indonesia Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1980, h.17.

42
2. Bertindak sebagai pendamping atau kuasa seseorang untuk menyelesaikan
masalah yang timbul karena adanya perselisihan hukum yang menyangkut hak
dan kewajiban seseorang baik di muka pengadilan maupun di luar pengadilan;
3. Bertindak sebagai pendamping dan pembela seseorang yang dituduh melakukan
kejahatan dalam perkara pidana atau perkara perdata ataupun tata usaha negara.43

Pada pengertian sebelumnya kebanyakan berasal dari pendapat yang diberikan


oleh kalanga penegak hukum praktis,sedangkan menurut pendapat yang diberikan oleh
kalangan pendidikan tinggi yang mana hukum dikaitkan dengan tri darma perguruan
tinggi khususnya dalam bidang hukum dan kemanusiaan. Yang mana bantuan hukum
dikaitkan dengan tri darma perguruan tinggi dilakukan dengan jalan

1. Memberikan konsultasi hukum


2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya pencari keadilan untung
menjunjung tinggi norma norma huku
3. Memberikan hukum bantuan hukum secara aktif dan langsung secara merata
kepada masyarakat.

Pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indoneisa sebagai negara hukum memiliki 3
prinsip dasar:supremasi hukum, , persamaan di hadapan hukum, dan penegakan hukum
dengan tata cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum. 44 Setiap orang berhak
atas pengakuan,perlindungan,jaminan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan
yang seadil adilnya dihadapan hukum pasal 28 huruf D ayat (1) tersebut diartikan
secara dinamis.

Menurut Aristoteles,keadilan harus diberikan kepada semua warga negara yang


mana hukum mempunyai tugas menjaga keadilan bagi setiap orang tanpa terkecuali
baik mereka yang mampu maupun tidak mampu harus memiliki akses keadilan yang
sama. Dalam bantuan hukum ini orang yang dimaksud disini adalah seorang pengacara
atau advokat yang mana dia menjadi orang yang memberi nasehat ataupun orang yang
memperlancar agar bagaimana sebuah perkara itu dapat diselesaikan baik didalam
pengadilan maupun diluar pengadilan.

43
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, Penyuluhan Hukum
Ketiga Tentang Bantuan Hukum, Edisi Kedua, 1982, h.11
44
(Zen & Hutagalung, 2009:34).

43
. Luas wilayah dari negara juga bisa menjadi faktor terbatasnya bantuan hukum
pada negara tersebut,tetapi meskipun pelayanan bantuan hukum yang bergitu terbatas
diharapkan bantuan hukum ini dimanfaakan sebaik-baiknya bagi mereka yang
memerlukan bantuan hukum untuk menyelesaikan sebuah perkara. Bantuan hukum
meliputi:

1. Menjalankan kuasa
2. Mendampingi,mewakili,membela,atau
3. Melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima Bantuan
Hukum.45

2.SEJARAH BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

A.Bantuan Hukum Di Zaman Penjajahan Belanda

Dari awal pertama masuknya pihak kompeni(VOC) ke Indonesia mereka


berketetapan menghormati hukum lokal,yang mana disini mereka pada ummnya tidak
dapat mengesampingkan hukum lokal tersebut kecuali bila kepentingan dagang menjadi
taruhan. Hal initidak mereka hormati dan ambisi mereka pun cenderung tidak
menghormati hubungan hubungan ekonomi dan politik yang selamanya merupakan
sumber pokok hukum lokal46. Sekitar tahun 1900-an selama kebijakan etis,pembaruan
hukum siap dilaksanakan,namun dilihat dari tempat berpijak masyarakat Indonesia
sebagian perubahan ini hanyalah penghalusan bentuk yang sudah terbentuk sebelumnya.
Semua itu penting bagi masyarakat Belanda yang kadang kadang memperlakukan
bangsa Indonesia secara lain (misalnya;vervreemdingsverbod tahun 1870,yang melarang
pemindahan hak milik atas lahan orang Indonesia kepada orang asing) tetapi tidak
pernah selain hanya sebagai pemantas saja dengan tujuan menentang adanya perbedaan-

45
Pengadilan negeri sarolangun,”Hak Bantuan Hukum”,
https://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/layanan-hukum/hak-hak-pokok-masyarakat-pencari-
keadilan/hak-bantuan-hukum#:~:text=Bantuan%20hukum%20tersebut%20meliputi
%20menjalankan,Hukum%20untuk%20mendapatkan%20akses%20keadilan.

46
Daniel S. Lev ,Hukum dan politik di Indonesia:Kesinambungan dan Perubahan,Khususnya bab yang
berjudul Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia,Hal.438-473

44
perebdaan unsur kemajemukan ekonomi,sosial,dan politik kolonial,biasanya mereka
justru memperkokoh perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih canggih dan
halus.

Dalam hal perdilan ditemukan hubungan yang serupa yaitu dalam bidang
peradilan dengan perbedaab penting bahwa tapal batas etnis diterobos ke satu arah,ke
pihak Belanda yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat
pertama,Raad van Justitie untuk tingkat banding,dan Mahkamah Agung
(Hooggerechtshof) di Jakarta (Batavia). Tenaga bagi kedua pengadilan yang terakhir itu
adalah para ahli hukum yang terlatih yang semakin dipererat kaitannya dengan
rechtsstaat negeri induknya melalui pendidikan tradisi,pengetahuan turu-
temurun,gaya,dan ilmu hukum. Wewenang pengadilan Eropa ini diperluas untuk
mengadili semua perselisihan dagagang eksternal dan sebagian besar perselisihan
dagang internal,hubungan perdata dalam orang Eropa,dan sudah barang tentu,perbuatan
pidana yang dilakukan oleh orang Eropa.

Negara asal Eropa mempunyai dua kitab undang undang hukum acara,satu
membahas perkara perdata (Burgelijk Rechtsvordering)dan satu lagi membahas tentang
perkara pidana(Strafvordering). Dan tahun 1950-an kedua kitab undang undang ini
memuat ketentuan ketentuan,termasuk jaminan hak hak pribadi,yang termaktub dalam
kitab undang-undang di Belanda. Untuk orang indonesia di sediakan satu kitab undang
undang baik untuk perkara perdata ataupun perkara pidana,yang mana dalam kitab ini
menetapkan acara acara peradilan pangreh praja maupun landraad dan pengadilan
pengadilan yang lebih rendah yang mana kitab Undang-undang ini disebut H.I.R.

B.Bantuan Hukum Di Zaman Penjajahan Jepang

Dalam masa pendudukan Jepang,terhadap golongan Eropa dan Tionghoa


diberlakuka Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel
(W.v.K.),sedangkan untuk golongan indonesia berlaku hukum adat. Bagi golongan
golongan lainnya berlaku hukum yang diperlakukan bagi mereka menurut peraturan
dahulu. Berdasarkan penjelasan Pemerintahan Pendudukan Jepang pada tanggal 10 Mei
1944,dinyatakan bahwa semenjak pemerintahan Balatentara dijalankan di
Indonesia,perkara perkara perdata dan pidana untuk penduduk sipil bangsa Jepang dan

45
orang orang militer yang tidak diadili oleh Gunpokaigi dan Gunritukaigi (Mahkamah
Militer),diadili oleh Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara).

Dalam osamu seirei No.24 tahun 1944 tentang mengadili rakyat


Nippon,ditetapkan bahwa baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana
pengusutan,penuntutan,pemeriksaan,dan pengadilannya terhadap orang orang Jepang
adalah menurut undang undang Jepang,kecuali mengenai perkara-perkara yang tidak
dapat diselesaikan menurut undang undang tersebut karena keadaan istimewa.
Ketentuan tersebut tidak menghalang halangi berlakunya Gunseirei bagi mereka perkara
akan diperiksa dan diadili oleh Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri),sedangkan hakim atau
jaksa yang memeriksanya terdiri atas orang-orang Jepang yang memang telah diangkat
menjadi hakim atau jaksa di Jepang.

Ada 5 organisasi peradilan pada masa pemerintahan pendudukan Jepang antara


lain:

1. Gunritukaigi (Mahkamah Militer)


2. Kaikyoo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
3. Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
4. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
5. Saikoo Hooin (Peradilan Agung)

C.Bantuan Hukum Di Indonesia

Para pendiri Republik Indonesia dalam membentuk negara kesatuan Republik


Indonesia itu berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan merupakan yang berdasarkan
kekuasaan (machtsstaat). Di tulis dalam sebuah buku yang berjudul Pengertian tentang
Negara Hukum, Moh.Yamin emendefinisikan bahwa negara hukum atau government of
laws sebagai berikut:

“Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah hanya berdasarkan dan berasal dari
undang-undang dan sekali kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata,kekuasaan
sewenang wenang,atau kepercayaan bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan
segala pertikaian dalam negara.”47
47
Sudargo Gutama,Pengertian Tentang Negara Hukum,Bandung,Penerbit Alumni,1983,hal.22.

46
Sering kali juga bantuan hukum ini diasosiasikan sebagai belas kasihan terhadap
masyarakat miskin. Seharusnya pengertian bantuan hukum ini jangan diliat dari arti
sempit nya saja tetapi harus dikaji juga secara mendalam dengan arti yang luas. Tujuan
lain dari bantuan hukum ini juga merupaka gerakan moral yang memeperjuangkan hak
asasi manusia48. Padahal hak seseorang dalam mendapatkan keadilan dimata hukum itu
harus diberlakukan sama tidak ada pembeda bagi dia yang mampu ataupun tidak
mampu sehingga terciptalah keadilan bagi semua (justice for all). Pada pasal 34 UUD
1945 mengatur bahwa fakir miskin dan anak terlantar itu merupakan tanggung jawab
negara sehingga boleh dikatakan bantuan terhadap orang miskin,termasuk bantuan
hukummenjadi kewajiban negara dalam memfasilitasinya. Bantuan hukum yang
berkaitan atau relevan dengan persamaan dihadapan hukum (equality before teh law)
dijamin dalam UUD 1945 dan instrumen intrenasional seperti Universal Declaration
Of Human Rights. Dan sering kita jumpai masyarakat miskin diperlakukan tidak
adil,disiksa,dihuku,dan diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabatnya
sebagai manusia dimata hukum bukan malah mendapat pembelaan atas hak nya malah
mendapat hal yang merugikan atas ketidakadilan tersebut.

3.FUNGSI DAN TUJUAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

Manusia sebagai mahluk yang kehidupannya tidak jauh dari yang namanya
bersosialisasi selayaknya manusia itu hidup harus memiliki aturan agar terciptanya
hidup berdampingan yang damai dan tentram karena hukum tidak akan mungkin lahir
kalau bukan karena campur tangan manusia itu sendiri. Ketika di tengan tengah
masyarakat terjadi konflik atau hak dari masyarakat tersebut terancam maka disitulah
hukum yang diatur sebelumnya memiliki peran guna untuk mendamaikan antar
masyarakat.

Maka pada hal ini disinilah dibutuhkan bantuan hukum tersebut yang mana ini
diharapkan mempunyai komitmen sosial dalam membantu pelayanan hukum terutama
bagi masyarakat yang kurang mampu. Dalam hal ini disinilah terlihat bagaimana
seorang profesi pengacara/advokat memiliki tanggung jawab moral bagi orang awam

48
Abdurrahman,Op.Cit,hal.141.

47
yang dirugikan karena ketidaktahuan mereka atas hak hak nya. Menurut Zen patra&
Hutagalung bantuan hukum ini merupakan upaya yang diberikan untuk membantu
orang yang tidak mampu dalam bidang hukum demi tercapainya sebuah keadilan,dalam
arti sempit bahwa bantuan hukum ini merupakan jasa bantuan hukum yang diberikan
secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu49.

Dalam UU No.16 Tahun 2011 pasal 1 ayat (1) menagatakan bahwa “bantuan
hukum itu adalah bantuan yang diberikan pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada penerima bantuan hukum. Dan pada ayat 3 disebutkan pemberi bantuan hukum
itu antara lain yaitu lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang
memberikan layanan bantuan hukum.50 Pemberian Bantuan Hukum – berdasarkan pasal
5 ayat (1) PP No. 42 tahun 2013 – meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, serta
tata usaha negara, baik secara Litigasi maupun Non Litigasi.51

Adapun fungsi dan tujuan bantuan hukum ini dikembangkan lebih dalam yaitu
antara lain:

1. Manambah pengetahuan dan kesadaran hukum di lingkungan masyarakat


tentang pentingnya memenuhi hak hak mereka yaitu sosialisasi baik secara
langsung maupun dari media elektronik khusus nya bagi para pemuda dengan
cara memebrkan pelatihan bantuan hukum.
2. Mendorong pusat/pemerintah untuk menciptakan regulasi yang memebahas dan
mengatur bantuan hukum kepada masyarakat.
3. Kerja sama antara elemen masyarakat dan berbagai organisas kemasyarakatan
untuk mendesak pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih memeperhatikan
terhadap bantuan hukum
4. Mendorong pemerintah pusat ataupun daerah untuk menyisihkan APBN/APBD
untuk keperluan bantuan hukum dikalangan masyarakat miskin.

49
(Zen, Patra & Hutagalung, 2009:33)
50
Pengadilan negeri sarolangun,”Hak Bantuan Hukum”,
https://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/layanan-hukum/hak-hak-pokok-masyarakat-pencari-
keadilan/hak-bantuan-hukum#:~:text=Bantuan%20hukum%20tersebut%20meliputi
%20menjalankan,Hukum%20untuk%20mendapatkan%20akses%20keadilan
51
Syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum/UU No 42
Tahun 2013/peraturan pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan
penyaluran dana bantuan hukum/

48
5. Dan,mendorong lembaga pendidikan tinggi untuk memasukkan advokasi dan
bantuan hukum untuk dimasukkan kedalam kurikulum pembelajaran pendidikan
hukum dan HAM.52

4. JENIS JENIS BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa jenis bantuan hukum yang tersedia guna
untuk memastikan akses keadilan bagi mereka yang membutuhkannya. Berikut adalah
beberapa jenis bantuan hukum yang umum di Indonesia.

1. Bantuan hukum gratis;Pemerintah Indonesia menyediakan Bantuan Hukum


Gratis(BHG) bagi masyarakat yang tidak mampu secara finansial ,BHG meliputi
pemberian nasehat hukum,pendampingan dalam proses hukum,dan pengacara
yang ditugaskan untuk mewakili mereka dalam persidangan.BHG disediakan
oleh Lembaga Bantuaan Hukum(LBH) yang dibiayai oleh pemerintah.
2. Bantuan hukum berbayar;Masyarakat juga dapat memeilih untuk menggunakan
jasa pengacara independen maupun kantro hukum swasta. Pilihan ini melibatkan
pembayaran langsung kepada penasehat langsung yang dipilih dan biaya yang
dikeluarka tersebut teragntung kesepakatatan anatara klien dan pengacara.
3. Bantuan hukum dari Organisasi non pemerintah selain LBH,ada juga organisasi
non-pemerintah di Indonesia yang menyediakan bantuan hukum. Contohnya
adalah komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan(KontarS),Indonesia
legal aid foundation dan Yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia(YLBHI)
organisasi inti sering fokus pada isu-isu hak asasi manusia,konflik lahan,dan
perlindungan masyarakat
4. Posbakum(Pos Bantuan Hukum)merupakan lembaga yang didirikan oleh
kementerian hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Dibentuknya posbakum
ini bertujuan untuk memberikan bantuan hukum pada narapidana,terpidana,dan
tahanan yang tidak mampu secara finansial.
5. Bantuan Hukum Prodeo,bantuan hukum ini dalan bantuan hukum yang
diberikan oleh pengacara yang bersedia menjadi penasihat atau pembela dalam
52
(Kusnadi, 2012:84).

49
perkara pidana secara sukarela atau dengan honorarium yang disubsidi oleh
pemerintah. Bantuan ini diberikan kepada tersangka atau terdakwah yang tidak
mampu membiayai jasa pengacara sendiri.

5. LANDASAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA

Landasan hukum bagi perwakilan di muka Pengadilan ialah pasal 123 Reglemen
Indonesia yang diperbaharui(RIB) yang memberikan kemungkinan kepada pihak yang
berperkara untuk diwakili oleh orang lain yang diberi surat kuasa khusus. Apabila
pemberi kuasa hadir dalam persidangan,maka ia mewakilkan atau menguasakan lisan
terhadap hakim. Para pihak yang seang dala perkara dapat membawa pembantu atau
yang sering disebut penasihat menurut pasal 123 Reglemen Indonesia di muka
persidangan,di dalam RIB tidak ditentukan atau diatur tentang syarat-syarat yang
bertindak sebagai wakil pihak yang berperkara ,tetapi sebaiknya sebagai seorang yang
diberi kuasa atau penasihat seharusnya dia merupakan seorang ahli hukum ataupun
sarjaa hukum.

Berhadapan dengan perwakilan yang tidak diwajibkan,maka ada lembaga


perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) di muka Raad van
Justitie (pengadilan bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan) dan
Hooggerechthof,sebagai pengadilan tingkat pertama,banding,ataupun kasasi yang mana
ini diatur dalam Rglement op de Rechtsvordering (Rv). Yang mana disini para pihak
yang berperkara diwakili oleh seorang advokat dan procureur,dengan suatun sanksi jika
salah satu pihak tidak menunjuk seorang advokat sebagai kuasanya,pihak itu akan
dijatuhi dengen putusan verstek,meskipun pihak itu sendiri hadir di muka persidangan
yang bersangkutan53. Sistem perwakilan yang diwajibkan tidak dianut dalam RIB.

Pada pasal 123 ayat 2 RIB meberikan peluang bahwa seorang jaksa yang
bertindak atas nama Pemerintah sebagai wakil atau mewakili Negara sebagai salah satu
pihak yang harus ada dalam satu pihak yang berperkara yang mana jaksa harus selalu
berada dalam setia persidangan. Maka jaksa tidak wajib memerlukan surat kuasa
khusus,selain jaksa maka dapat ditunjuk sebagai wakil negara yaitu seroang advokat

53
Prof. Dr. R. Soepomo .S.H.alm,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,cetakan tahun 1963,Bab
VII,halaman 44 dan seterusnya; Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo S.H.Hukum Acara Perdata Indonesia
cetakantahun 1979,halaman 14 dan seterusnya.

50
negara atau landsadvocaat. Perlu kita ketahui juga secara rinci disini tentang dengan
berlakunya Undang-undang Darurat tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan,kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan
sipil,Undang-undang Darurat No.1 Drt. Tahun 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun
1950,maka Pengadilan Negeri merupakan hakim shari-hari bagi selurub golongan
penduduk di Indonesia ,maka Reglement op de Rechtsvordering(RV) tidak berlaku lagi
dan satu satunya pedoman bagi penyelenggara pada peradilan umum ialah Reglement
Indonesia yang diperbaharui (RIB)

Kemudian dengan berlakunya Kitab Undang Undang Acara Pidana Undang-


undang Nomor 8 Tahun 1981,Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981,telah dicabut
Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB Staatblad tahun 1944 Nomor 44
dihubungkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 1 Drt. Tahun 1951 Lembaran
Negara Tahun 1971 Nomor 9,Tambahan Lembaran Negara Nomor 81 beserta semua
peraturan pelaksanaannya,dengan ketentuan sepanjang hal itu mengenai hukum acara
pidana;dengan kata lain;bahwa untuk hukum acara perdata masih berlaku RIB untuk
daerah Jawa dan Madura dan Reghtsreglement Buitengewesten (Rbg/Reglement Daerah
Sebrang ) Staatblad tahun 1927 nomor 227,untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dan
ada pula landasan umum untuk bantuan hukum dalam perkara perdata yaitu sebagai
berikut :

1. Konstitusi dan perundang-undangan; banyak negara memiliki ketentuan dalam


konstitusi atau perundang-undangan yang menjamin terhadap bantuan hukum
dalam perkara perdata. Ketentuan ini dapat mencakup hak setiap individu untuk
memiliki penasehat hukum,baik secara gratis atau dengan biaya yang terjangkau.
2. Hukum acara perdata di berbagai yurisdiksi sering kali mengatur prosedur dan
mekanisme untuk memperoleh bantuan hukum,misalnya ada ketentuan untuk
permohonan penangguhan biaya pengadilan bagi pihak yang tidak mampu
secara finansial,pengakatan penasehat hukum publik,atau pengaturan terkait
biaya litigasi.
3. Prinsip keadilan dan kesetaraan;prinsip-prinsip dasar keadilan dan kesetaraan
juga dapat menjadi landasan bagi bantuan hukum dalam perkara perdata. Ini
mencakup prinsip bahwa setiap individu memiliki hak untuk mempertahankan

51
hak-haknya di hadapan hukum,dan bantuan hukum diperlukan untuk
memastikan akses setara kedalam sistem peradilan.
4. Kewajiban negara; Dalam beberapa kasus,negara memiliki kewajiban untuk
menyediakan bantuan hukum kepda meraka yang tidak mampu secara finansial
dalam perkara perdata,hal ini berkaitan dengan prinsip perlindungan hak asasi
manusia dan keadilan sosial.

Jadi perlu diketahu bahwa landasan hukum dan mekanisme bantuan hukum dalam
perkara perdata dapat bervariasi di setiap negara. Oleh karena itu,penting bagi setiap
individu yang membutuhkan bantuan hukum untuk mencari informasi spesifik yang
berlaku di yurisdiksi (peradilan) hukum mereka.

6. KEDUDUKAN PENASEHAT HUKUM DALAM BANTUAN HUKUM


PERKARA PERDATA

Jika membahas tentang bantuan hukum baik dalam perkara pidana,perkara


perdata ataupun perkara tata usaha tidak jauh dari seorang advokat/pengacara,jadi pada
sub-bab ini kita membahas tentang kedudukan penasehat hukum dalam bantuan hukum
dibidang perkara perdata. Di Indonesia sendiri menganut sistem pengangkatan bagi para
penasihat hukum. Dalam surat keputusan Menteri Kehakiman mengatakan bahwa
mereka yang bergelar sarjana hukum-lah yang bisa menjadi seroang advokat. Hal ini
berdasarkan atasperaturan RO pasal 186.

Apakah dalam perkara perdata,tergugat ataupun penggugat perlu memperoleh


atau meminta pendamping atau penasihat hukum untuk membela haknya? Jawabannya
bisa tidak atau tidak perlu untuk memerlukan penasehat hukum tergantung perkara yang
sedang berjalan dan tergantung pada para penggugat dan tergugat itu sendiri,berbeda
dengan perkara pidana ataupun tata usaha yang lebih dominan harus didampingi oleh
penasehat hukum-Nya. Dalam perkara perdata dengan landasan hukum 123 RIB yang
memberikan kemungkinan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain
yang mana orang lain ini diberi kuasa melalui surat kuasa khusus sebagaimana yang
dijealskan sebelumnya dalam RV yang dengan adanya keharusan dalam sengketa

52
perdata mewakilkan kepada advokat dan procureur baik di muka Raad van Justitie dan
Hooggrerechthof maka posisi penasihat hukum dalam perkara perdata adalah:

1. Mewakili dan membantu yang berperkara dalam proses peradilan,yakni


mempersiapkan semua pekerjaan perkara hingga putusan hakim diucapkan;hal
demikian disebut procurator. Perkataan procurator berasal dari bahasa latin
yaitu procura dan procuratie dari bahasa belanda atau power of
attorney/proxy dalam bahasa inggris yang memiliki arti pemegang kuasa penuh
dimana ia bertindak untuk yang berperkara dan atas namanya.
2. Disamping itu seorang penasihat hukum harus memberikah nasihat-nasihat
hukum kepada yang berperkara karena penasehat hukum memiliki pengetahuan
dan pengalaman yang mendalam dalam hukum perdata. Seorang advokat
memberi nasihat terhadap yang berperkara mengenai hak-hak dan kewajiban
mereka serta prosedur hukum terkait dengan perkara perdata yang dihadapi;hal
tersebut disebut sebagai legal adviser dalam bahasa inggris,juridis adviser
dalam bahasa belanda yang berarti sebagai pemberi nasihat hukum.
3. Mengumpulkan bukti; Penasehat hukumbertanggung jawab untuk
mengumpulkan bukti yang relevan dengan perkara perdata yang dihadapi.
Seorang penasehat hukum dapat melakukan penyelidikan,mengajukan
permintaan informasi,dan mempersiapkan saksi-saksi yang akan memberikan
kesaksian di pengadilan.
4. Negosiasi penyelesaian;selain menghadapi persidangan,penasehat hukum juga
dapat terlibat dalam negosiasi penyelesaiaan di luar pengadilan. Mereka dapat
berunding dengan pihak lawan atau mediator untuk mencapai kesepakatan yang
memuaskan para klien mereka.

Dengan demikian kedudukan penasihat hukum dalam proses peradilan dalam


perkara perdata yaitu memiliki pekerjaan rangkap,yakni sebagai pemegang kuasa dan
sebagai pemberi nasihat hukum dan perlu jua diketahui bahwa peran dan kewajiban
penasehat hukum dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi hukum yang berlaku dan
peraturan yang mengatur praktik hukum disuatu negara.

7. CARA UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM

53
Bantuan hukum di Indonesia dibutuhkan dan populer,akan tetapi masyarakat dan
pemerintah belum sama dan belum ada pengetahuan yang memadai tentang bantuan
hukum. Oleh karena itu,bantuan hukum (legal aid) perlu dibudayakan dalam
masyarakat sebagai (legal culture). Melalui pembentukan Undang-undang Advokat
yang mengatur profesi advokat dan bantuan hukum diharapakan adanya persepsi yang
sama tentang bantuan hukum anatara polisi,jaksa,advokat,pengadilan,petugas
pemasyarakatan,dan masyarakat.

Namun yang membuat persepsi masyarakat dan pemerintah itu tidak sama
karena sebagian besar LBH berkonsentrasi dan bekerja di kota-kota besar tidak
beroperasi hingga ke desa-desa. Padahal,persentase desa miskin dan tertinggal di tanah
air menurut Bapennasmasih cukup tinggi. Menurut sumber Biro Pusat Statistik(BPS)
pada tahun 1996 jumlah penduduk desa yang masih tergolong miskin adalah 22.439.700
atau sesbesar 11.34%.54

Pada dasarnya akan sangat bermanfaat jika bantuan hukum diberikan oleh orang
yang paham akan hukum untuk menjunjung tinggi rasa keadilan atas hak seseorang. 55
Untuk memperoleh bantuan hukum pemohon bantuan hukum tersebut harus terlebih
dahulu memenuhi syarat-syarat yang di atur di dalam pasal 14 ayat 1,Undang-undang
No 16 tahun 2016 tentang bantuan hukum sebagai berikut:

a) Mengajukan permohonan tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas


pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan
Bantun Hukum
b) Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara;dan Melampirkan surat
keterangan miskin dari lurah,kepala desa,atau
c) Pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

Pasal 8 ayat(1) dan (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum mengatur pelaksannan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum
yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang,yaitu berbadan hukum,terakreditasi

54
BAPENNAS,Op. Cit .,tahun1993-1996
55
A. Patra M Zein dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, YLBHI dan PSHK, hlm.
48

54
berdasarkan undang-undang,memiliki kantor atau sekretariat tetap,memiliki pengurus
dan memiliki program bantuan hukum. Dengan uraian diatas,dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,pemberian bantuan hukum
sekarang tidak hanya di tangan seorang advokat saja,tetapi juga dapat di lakukan oleh
lembaga lembaga bantuan hukum lain ataupun organisasi kemasyarakatan yang
memeberi layanan bantuan hukum. Menurut pasal 5 Undang-undang No. 11 Tahun
2016 tetntang bantuan hukum,yang berhak mendapatkan bantuan hukum yaitu sebagai
berikut:

1. Penerima bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat(1)meliputi


setiap orang atau kelompok miskin yanag tidak memenuhi hak.
2. Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas
pangan,sandang,layanan kesehuatan,layanan pendidikan,pekerjaan dan
berusaha,dan/perumahan.

Dalam undang undang bantuan hukum penerima bantuan hukum tidak


disebutkan dengan jelas kalangan yang bagaimana saja yang berhak mendapatkan
bantuan hukum. Namun pada prinsipnya harus mengacu pada ketentuan sebagaimana
disebutkan dalam pasal 5 undang-undang bantuan hukum tersebut. sehingga secara
menyelurh kriteria subjek penerima bantuan hukum adalah sebagai berikut:

1. Orang yang memiliki masalah hukum keperdataan,pidana,dan tata usaha


Negara,baik litigasi maupun non-litigasi (mengacu pada pasal 4 undang-undang
bantuan hukum)
2. Orang orang yang hak konstitusionalnya dilanggar oleh oknum penegak hukum.
3. Orang orang yang tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan keadilan.
4. Orang orang yang teraniaya oleh masalah hukum yang sedang dihadapinya.
Keempat kriteria ini bukan suatu syarat untuk mendapatkan bantuann hukum
secara Cuma-Cuma. Sebab keempatnya harus tetap mengacu pada ketentuan
pasal 5 ayat(1) undang-undang bantuan hukum,yaitu yang mendapatkan
bantuann hukum ialah orang atau kelompok yang benar benar miskin,yang
dibuktikan dengan persyaratan yang ditentukan oleh negara. Negara mengakui
adanya hak-hak dalam ekonomi,sosial,budaya,sipil dan politik bagi fakir miskin

55
secara konstitusional orang miskin berhak untuk diwakili dan dibela didalam
maupun diluar pengadilan. Jadi bantuan hukum adalah hak dari orang yang tidak
mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran
persamaan hak di hadapan hukum. Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan yang diatur dalam UUBH.56

56
Iwan Wahyu Pujiarto, “Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang Undang No.
16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum,” USU Law Journal 2, no. 3 (2015). Hlm. 87-88,
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/law/article/view/1072 9, diakses pada tanggal 21 Oktober 2020

56
DAFTAR PUSTAKA

Frans Hendra Winarta,S.H.,M.H. 2000.Bantuan Hukum:Suatu Hak Asasi


Manusia Bukan Belas Kasihan. Jakarta:PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia
Martiman Prodjohamidjojo,S.H. 1987. Penasihat Dan Bantuan Hukum
Indonesia(latar belakang dan sejarahnya). Jakarta:Ghalia Indonesia
Prof.Dr.Soerjono Soekanto,S.H.,M.H.1983.Bantuan Hukum Suatu Tinjauan
Sosio Yuridis. Jakarta:Ghalia Indonesia
Prof.Dr.Andi Muhammad Sofyan,S.H.,M.H,Dr.Abd.Asis,S.H.,M.H,
Dr.H.Amir Ilyas,S.H.,M.H.2022.Hukum Acara Pidana. Jakarta:KENCANA
Runtuwen,Sandy,Stevanus.2021.”Kajianyuridis pemberian bantuan hukum
dalam proses penyelesaian perkara perdata”dalam Lex Privatum Vol. IX/No.
3/Apr/2021
Adi,Wijaya,Irwan.2020.” Hukum dan Keadilan: Bantuan Hukum LBH Mega
Bintang dalam Perkara Perdata Masyarakat Tidak Mampu”dalam Jurnal Studi
Islam dan Sosial Volume 1, Nomor 1, Juni 2020 Hal. 143-152.

Hafni Zahra charity (0205212046)


Afwan Luthfi nathoras (0205212092)
Boy Keke Syahriadi (0205212075)

KOMPETENSI MENGADILI

57
A. Pengertian Kompetensi Dan Kewenangan Pengadilan

Kompetensi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan


(kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi atau
kewenangan mengadili adalah untuk menentukan pengadilan mana yang
berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara, sehingga pengajuan perkara
tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak
berwenang mengadilinya.

Tujuan dari membahas kompetensi/yurisdiksi atau mengadili, adalah


untuk memberi penjelasan tentang masalah pengadilan, pengadilan mana yang
berhak dan berwenang untuk mengadili suatu sengketa atau kasus. Agar
pengajuan dan penyampainnya tidak keliru, namun apa bila pengajuan nya
keliru gugatan tidak dapat di terima atas alasan pengadilan yang dituju berada di
luar ke wewenangannya atau berada di luar yurisdiksi pengadilan tersebut.57

Adapun beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu


pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara: pertama,
bisa dapat dilihat dari pokok sengketanya. Kedua, dengan melakukan
pembedaan atas atribusi dan delegasi. Ketiga, dengan melakukan pembedaan
atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Dilihat dari pokok sengketanya,
apabila pokok sengketanya terletak dalam domain hukum privat, maka sudah
tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum).
Apabila pokok sengketanya terletak dalam domain hukum public, maka sudah
tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim
PTUN).58

Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan


dari berbagai faktor intansi peradilan yang membedakan eksistensi antara
peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi berhadapan
dengan peradilan tingkat pertama. karena faktor ini dengan sendirinya
menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instantisional, suatu

57
Ending Hadrian & Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi Dan
Mediasi, Deepublish Agustus 2020, h, 20.
58
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Prenadamedia Group Cet; 3 Juni 2018, h,83

58
perkara yang menjadi kewenangan pengadilan yang lebih rendah tidak dapat di
ajukan langsung pada peradilan yang lebih tinggi. Kemudian juga apabila
sengketa yang harus di selesaikan pada tingkat pertama, tidak dapat di ajukan
langsung pada peradilan kasasi atau banding, begitupun sebaliknya.
Permasalahan yurisdiksi mengadili merupakan syarat formil keabsahan gugatan.
Apa bila terjadi nya kekeliruan dalam mengajukan gugatan maka akan
mengakibatkan gugatan tidak diterima dan dinyatakan tidak sah dengan alasan
gugatan tidak termasuk yurisdiksi absolut atau relatif pengadilan yang
bersangkutan.59

B. Jenis – Jenis Kompetensi

Adapun dalam hukum acara perdata di kenal dua macam


kompetensi/kewenangan, yaitu :

1. Kompetensi/kewenangan absolut (Atributie Van Rechtspraak)


Kompetensi absolut adalah kewenangan badan peradilan yang
memeriksa jenis perkara tertentu. Tertentu yang di maksud adalah mutlak
tidak dapat di periksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan
yang sama (pengadilan tinggi dan pengadilan negri yang sama-sama
dalam lingkungan peradilan umum) maupun dalam lingkungan peradilan
yang berbeda (peradilan negeri yang berada dalam lingkungan peradilan
umum, dengan pengadilan agama yang berada dalam lingkungan
peradilan agama.
Sebagimana diketahui dalam pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) undang-
undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehaikaman (judicial
power) yang berada di bawah mahkamah agung (MA), dilakukan dan
dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari:
- Peradilan umum
- Peradilan agama
- Peradilan miter
- Peradilan tata usaha negara.

59
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang gugatan, persidangan, pembuktian,penyitaan, dan
putusan pengadilan, Jakarta: sinar grafika Cet; Pertama Agustus 2017, h, 229

59
Keempat pengadilan lingkungan tersebut merupakan
penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif, maka dari itu
secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam
kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court). Dengan
demikian, pasal 24 ayat (2) UUD dan pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU
N0.4 tahun 2004 merupakan landasan sistem peradilan. negara ( state
court system) di Indonesia, yang di bagi dan terpisah berdasarkan
yurisdiksi atau separiton court system based on jurisdiction.
Setiap lingkungan peradilan yang berada di bawah mahkamah
agung secara umum memiliki kompetensi absolutnya masing-masing.
Pengadilan di peradilan umum memikiki kewenangan untuk menerima,
memeriksa, dan memutus suatu perkara pidana ataupun perkara perdata
bagi rakyat pencari keadilaan pada umumnya. Dan di dalam pasal 50
undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum
menentukan bahwa “ pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat banding’’.60
Adapun terkait tentang kewenangan mengadili secara absolut
meliputi :
a) Peradilan umum, berdasarkan undang-undang Nomor 2
tahun 1986 tentang perdilan umum ( memeriksa,
memutus, perkara dalam hukum pidana umum dan khusus
dan perdata umum memeriksa sengketa perdata dan dalam
peradilan umum itu juga terdapat juga peradilan niaga
yang memeriksa perkara merek dan perkara kepailitan ,
serta industrial pancasila).Pasal 50 undang-undang nomor
2 tahun 1999
b) Peradilan agama, berdasarkan UU No. 7 tahun 1989
tentang peradilan agama, memeriksa dan memutus
tentang peradilan agama, memeriksa dan memutus
perkara perkawinan kewarisan, wakaf, dan sedekah. Jadi

60
Ibid, h,231

60
jelas juga disini bahwa kompetensi absolut dari
pengadilan agama adalah memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara-perkara orang yang beragama islam
dalam bidang kewarisan, perkawinan, warisan, wasiat,
hibah, wakaf, dan sedekah. Pasal 49 UU No. 50/2009
c) Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan UU No. 5
tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara,
kompetensi absolut dari peradilan ini adalah memeriksa,
mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara akibat di keluarkannya suatu keputusan tata usaha
negara termasuk sengketa kepegawaian ( pasal 1 ayat 4
UU No. 09/2004 PTUN) dan tidak di kekuarkannya suatu
keputusan yang di mohonkan oleh seseorang sampai batas
waktu di tentukan dalam suatu peraturan perundang-
undangan, sedangkan itu merupakan kewajiban badan
atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (pasal 3
UU No. 09/2004 PTUN).
d) Peradilan militer, berwenang memeriksa dan perkara
pidana yang mana terdakwa nya anggota TNI yang
memiliki pangkat tertentu. Kompetesi absolut dari
peradilan militer adalah memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh
anggota militer baik angkatan darat, laut, udara, dan
kepolisian. Berdasarkan UU No. 35 tahun 1999 tentang
kekuasaan kehakiman (perubahan atas UU No. 14 tahun
1970) di sebutkan bahwa tindak pidana yang di lakukan
secara bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam
peradilan umum dan linkungan peradilan militer di
periksa dan di adili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan ketua

61
mahkamah agung perkara itu harus di periksa dan di adilli
oleh pengadilan dalam lingkungan peradlian militer.
e) Mahkamah kontitusi, kompetensi absolut mahkamah
konstitusi ditemukan dalam pasal 24c ayat (1) UUD 45,
MK berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusan nya bersifat final untuk
- Menguji UU
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangan nya di berikan oleh UUD 45
- Memutus pembubaran parpol
- Memutus perseilisihan tentang hasil pemilu.61

2. Kompetensi/kewenangan relatif (Distributie Van Rechtspraak)


Kompetensi ini sering di sebut dengan kompetensi nisbi, yang
menyangkut tentang pembagian kewenangan mengadili antar pengadilan
yang sejenis berdasarkan yurisdiksi wilayahnya. Artinya ialah pengadilan
yang berwenang untuk memgadili perkara yang subjek atau objeknya
berada di wilayah pengadilan yang bersangkutan.
Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi
relatif bagi setiap PN. Walaupun perkara yang di sengketakan termasuk
yurisdiksi absolut lingkungan peradilan umum, sehingga secara absolut
PN berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolut itu di batasi
oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika suatu perkara yang terjadi
berada di luar daerah hukumnya, maka secara relatif PN tersebut tidak
berwenang untuk mengadilinya. Kemudian apabila adanya pelampauan
batas kewenangan (exceeding its power). Makan tindakan tersebut akan
mengakibatkan, pemeriksaan dan putusan yang di jatuhkan dalam
perkara itu tidak sah, maka dari itu harus di batalkan atas alasan
pemeriksaan dan putusan yang di jatuhkan, dilakukan oleh PN yang tidak
berwenang untuk itu.

61
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Prenadamedia Group Cet; 3 Juni 2018, h, 85-86

62
Kompetensi relatif di atur dalam pasal 142 RBg/118 HIR, sebagai
berikut :
- Gugatan di ajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tinggal terguggat, atau jika tidak di ketahui tempat
tinggalnya, gugatan di ajukan ke pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kediaman senyatanya dari tergugat.
Ketentuan sesuai dengan asas actor “sequitur forum rei”.
- Apabila tergugat lebih dari satu, yang tempat tinggalnya tidak
terletak di wilayah satu peradilan negeri, gugatan di ajukan ke
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi salah satu
tempat tinggal terguggat, yang dipilih penggugat. Apabila para
tergugat berkedudukan sebagai debitur dan penanggungnya, maka
gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tinggal yam berhutang pokok (debitur).
- Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui demikian juga tempat
kediaman senyatanya tidak di ketahui, atau tergugat tidak dikenal,
gugatan di ajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukunmya
meliputi tempat tinggal yang di pilih tersebut.
- Apabila telah dilakukan pilihan tempat tinggal dengan suatu akta,
gugatan di ajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya
meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.
- Dalam hal gugatan mengenai barang tetap, gugatan di ajukan ke
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak barang
tetap tersebut. Jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah
beberapa pengadilan negeri, gugatan di ajukan ke salah satu
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak barang
tetap itu.62
- Kemudian menyangkut tentang permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada PN dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsung kan atau di tempat tinggal kedua suami-istri, suami atau
istri (pasal 25 juncties pasal 63 (1) b UU No. 1 Tahun 1974, pasal 38
62
Ending Hadrian & Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi Dan
Mediasi, Deepublish Agustus 2020, h,21-22

63
(1) dan (2) PP No. 9 tahun 1975). Gugatan perceraian dapat di ajukan
kepada pengadilan negeri di tempat kediaman penggugat. Apabila
tergugat berada diluar negeri maka ketua pengadilan negeri
menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui
perwakilan RI setempat (pasal 40 Jis pasal 63 (1) b UU perkawinan,
pasal 20 (2) PP No. 9 tahun 1975).
- Menurut pasal 207 BW gugat perceraian diajukan kepada PN tempat
tinggal suami. Namun apabila suami meninggalkan tempat tinggal
dengan maksud jahat, maka gugatan diajukan ke PN tempat
kediaman istri yang sebenarnya.
- Mengenai pegawai negeri, yang berhak mengadilinya adalah
pengadilan negeri di daerah mana ia bekerja (pasal 29 BW) buruh
yang menginap di tempat majikannya, maka yang berwenang
mengadillinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikan
(pasal 22 BW).
- Hak kepailitan, yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang
menyatakan terguggat pailit (pasal 99 (15) RV) jo. Pasal 33 UU
No.37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Tentang penjaminan yang berwenang adalah PN
yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (pasal 99 ayat 14 RV).

Pada suatu perkara terkadang memiliki beberapa orang yang


tergugat dan terkadang setiap tergugat tidak berada atau tinggal
dalam suatu wilayah hukum yanag sama, maka dari itu penggugat
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat. Dan
kepada penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari
beberapa orang dan masing-masing tinggal di daerah hukum
pengadilan negeri yang berbeda, namun apabila tergugat terdiri lebih
dari satu orang, dimana tergugat yang satu berkedudukan sebagai
debitur pokok sedangkan tergugat lain sebagai penjamin. Maka
kewenangan relatif pengadilan negeri yang mengadili perkara

64
tersebut jatuh kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal debitur pokok tersebut.

Adapun pilihan lainnya yaitu gugatan diajukan kepada


pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, yaitu dengan patokan namun apabila tempat
tinggal tergugat tidak diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh
penggugat, tidak diketahui tempat tinggal tergugat itu perlu
mendapatkan surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan yang
menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui, misalnya
surat dari kepala desa.63

C. Eksepsi Kewenangan Pengadilan

Dalam konteks hukum acara perdata eksepsi memiliki makna tangkisan


atau bantahan. Bisa juga berarti pembelaan yang diajukan tergugat terhadap
materi gugatan penguggat. Jika tergugat mengajukan jawabang yang berupa
tangkisan (eksepsi), maka menurut ketentuan pasal 136 HIR, kecuali tangkisan
tentang tidak berwenang nya pengadilan, tangkisna itu tidak boleh diajukan dan
di pertimbangkan secara terpisah, melainkan harus diperiksa dan di putus
bersama-sama dengan pokok perkara.64

Tujuan dari pengajuan eksepsi adalah agar peradilan mengakhiri proses


pemeriksaan tanpa lebih dahulu masuk dalam pemeriksaan pokok perkara.
Pengakhiran yang diminta bertujuan untuk pengadilan menjatuhkan putusan
negative, yang menyatakan gugatan tidak dapat di terima, berdasarkan putusan
negative itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesain
materi pokok. Misalnya, tergugat mengajukan eksepsi, namun gugatan
penggugat tidak jelas (obscuur libel). Apabila eksepsi diterima dan dibenarkan
oleh PN. Maka proses penyelesaian perkara diakhiri dengan putusan negatif,
yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat di terima.
63
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Prenadamedia Group Cet; 3 Juni 2018, h, 90-91
64
Bambang Sugeng & Sujayadi, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi Perkara Perdata, prenada
media group cet ; 1 jakarta 2011, h, 35

65
Adapun contoh dari putusan MA NO.716 K/Sip/ 1973. Tergugat
mengajukan eksepsi tentang kewenangan mengadili, eksepsi tersebut diterima
dan dibenarkan pengadilan dan menyatakan gugattan tidak dapat dierima, karena
yang berwenang mengadili mengeluarkan izin bangunan diatas tanah sengketa
dalam lingkungan wilayah kotamadya adalah walikota, dan bukan kewenangan
PN. Maka dari itu gugattan penggugat mengenai pencabutan izin bangunan atas
tanah HGB NO. 171 atas nama tergugat, tidak dapat diterima dengan alasan
karena apa yang disengketakan pada berada di luar yurisdiksi PN.

Mengenai tentang eksepsi, istilah eksepsi sendiri adalah kata istilah yang
telah diterima secara umum baik dalam penulisan dan praktik pengadilan. Istilah
itu telah memberi pengertian yang khusus, dan maksud tujuannya juga mudah
dipahami dari pada dengan istilah bantahan atau perlawanan. Kedua istilah ini
juga memiliki konotasi yang erat dengan pengertian verzet.

Kemudian adanya cara mengajukan eksepsi, pengajuan eksepsi diatur


dalam beberapa pasal dalam HIR yakni pasal 125 ayat (2), Pasal 134, dan Pasal
136, mengenal perbedaan cara pengajuan eksepsi yaitu :65

a. Cara Mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut


Eksepsi ini diatur dalam pasal 134 Pengajuan eksepsi ini diatur dalam
Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv. Berdasarkan kedua pasal tersebut
digariskan hal sebagai berikut:
1. Dapat diajukan setiap saat.
eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat,
hal ini sebagaimana keentuan Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Rv,
eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat pada
proses pemeriksaan persidangan berlangsung di sidang tingkat
pertama (PN) dan dapat juga diajukan sejak proses pemeriksaan
dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan.
2. Secara Ex-Officio hakim harus menyatakan diri tidak berwenang
tentang hal ini, lebih jelas diatur dalam Pasal 132 Rv, yang berbunyi

65
Kusbianto & rina melati, bunga rampai hukum acara perdata, cv enam media medan September 2020,
h, 44

66
“dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya,
maka meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidak-
wewenangnya karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak
berwenang”. (dikutip M. Yahya Harahap:2015:420).
3. Dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi. Dalam yuridiksi
absolut merupakan persoalan ketertiban umum (public order). Oleh
karena itu tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadapnya batal demi
hukum. Dengan landasan itu Tergugat dapat mengajukan eksepsi
pada tingkat banding dan kasasi atas alasan telah terjadi cara
mengadili melampaui batas kewenangan. Meskipun hal itu tidak
diajukan dalam mememori hakim tingkat banding dan kasasi wajib
memeriksa dan memutus tentang hal itu berdasarkan fungsi ex-
officio yang digariskan Pasal 134 HIR.

b. Cara mengajukan Eksepsi kompetensi relatif (Relatif Competentie)


Pengajuan kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal
133 HIR. Bertitik tolak dari dua pasal tersebut dapat dikemukakan
yakni : (dikutip M. Yahya Harahap:2015:420)
1. Bentuk pengajuan
- Berbentuk lisan
Pasal 133 HIR, memberikan hak kepada tergugat untuk
mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Oleh
karenanya udnang-undang sendiri mengakui keabsahannya
berbentuk lisan, dimana Pengadilan tidak boleh menolak dan
mengenyampingkannya, serta hakim wajib menerima dan
mencatatnya dalam berita acara sidang untuk dinilai dan
dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Hakim yang tidak
mempertimbangkan dan menolak eksepsi lisan, dianggap
melanggar tata tertib acara dan tindakan itu dikualifikasikan
sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of authority).
- Berbentuk tulisan

67
Bentuk tulisan ini diatur dalam Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal
121 HIR. Sebagaimana dikemukakan Tergugat pada hari
sidang yang ditentukan diberi hak mengajukan jawaban
tertulis. Dan lebih lanjut Pasal 125 ayat (2) menyatakan
dalam surat jawaban tergugat dapat mengajukan eksepsi
kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang
disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN. Oleh
karenanya eksespsi yang dikemukakan dalam surat jawaban
merupakan pengajuan bersama-sama dan merupakan bagian
yang tidak terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.
Pasal 125 ayat (2) HIR dan Pasal 133 HIR, pengajuan eksepsi
diajukan pada sidang pertama dan bersamaan saat
mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara.
Tetapi jika dalam sidang pertama belum diajukannya
jawaban, tidak akan digugurkan hak mengajukan eksepsi
kompetensi relatif. Contohnya pada hari sidang pertama pihak
penggugat atau tergugat tidak hadir baik berdasarkan alasan
yang sah atau tidak. Berdasarkan peristiwa tersebut sidang
dimundurkan. Maka patokan sidang pertama untuk
mengajukan eksepsi adalah pada sidang berikutnya saat
tergugat mengajukan jawaban pertama. Atau para pihak hadir
pada saat sidang pertama, dimana tergugat meminta sidang
diundur untuk menyusun jawaban.66

Meskipun undang- undang hanya menyebut eksepsi kompetensi


mengadili secara absolut dan relatif, masih banyak eksepsi lain yang diakui
keabsahan nya dan kebradaanya oleh doktrin hukum dan praktik peradilan.
Sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi,
diakui secara tersirat dalam dalam pasal 136 HIR, pasal 114 Rv, yang berbunyi “
perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie),
kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan

66
Ibid h, 45-46

68
ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-
sama dengan pokok perkara’’.

Ditinjau dari doktrin dan praktik sangat banyak bentuk eksepsi lain
diluar eksepsi kompetensi, dengan cara pengajuan yang di jelaskan sebagai
berikut;

1. Saat pengajuannya
Mengenai saat pengajuannya, lebih jelas diatur dalam pasal 114 Rv.
Ketentuan tersebut, telah dijadikan pedoman oleh kalangan praktisi
hukum, yang menggariskan:
 Semua eksepsi, kecuali kompetensi absolut, harus
disampaikan bersama-sama pada jawaban pertama terhadapa
pokok peerkara
 Dengan ancaman, apabila tidak diajukan bersama pada
jawaban pertama terhadap pokok perkara, hilang hak tergugat
untuk mengajukan eksepsi

Antara pasal 136 HIR dan pasal 114 Rv, tidak terdapat perbedaan
mengenai cara pengajuan eksepsi kompetensi relatif dengan eksepsi
lain yaitu mesti diajukan pada jawaban pertama, bersama-sana dengan
jawaban terhadap pokok perkara.

2. Bentuk pengajuan
Jika bertitik tolak dari sistem proses persidangan yang dianut HIR
atau RBG, yaitu beracara secara lisan atau mondelinge procedure
(oral hearing), pemeriksaan sengjeta diantara para pihak berlangsung
secara Tanya jawab dengan lisan dalam persidangan, sehingga dapat
disimpulkan bentuk pengajuan eksepsi:
 Dapat dilakukan dengan lisan
Apabila pengajuannya secara lisan, hakim memerintahkan
untuk mencatat dalam berita acara persidangan, yang penting
menjadi pegangan eksepsi tersebut diajukan pada jawaban

69
pertama bersama-sama dengan jawaban terhadap pokok
perkara.
 Berbentuk tertulis
Yang paling baik, diajukan dalam bentuk tertulis dengan cara
mencantumkannya dalam jawaban pertama mendahului
uraian bantahan terhadap pokok perkara (verwer ten
principale). sekarang ini jarang terjadi pengajuan eksepsi
secara lisan, tetapi diajukan dalam bentuk tertulis dengan
syarat diajukan dalam jawaban pertama.67

Adapun cara penyelesain eksepsi tergantung pada pada jenis eksepsi yang
diajukan yaitu:

I. Eksespsi menyangkut kompetensi


Harus dijelaskan hakim atas kompetensi yang diajukan tergugat
serta sekaligus dibicarakan mengenai upaya hakim yang dapat
diajukan terhadap putusan yang diambil pengadilan kepadanya,
II. Diperiksa dan diputus sebelum memeriksa pokok perkara dimana
apabila tergugat mengajukan eksepsi kompetensi absolut atau
relatif ketentuan pasal 136 HIR memerintahkan hakim :
- Memeriksa dan memutus dulu tentang eksepsi.
- Pemeriksaan dan pemutusan tentang itu diambil dan
dijatuhkan sebelum pemeriksaan pokok perkara.

Berarti apabila tergugat mengajukan eksepsi yang berisi pernyataan


PN tidak berwenang mengadili perkara, baik secara absolut dan
relatif

- Hakim menunda pemeriksaan pokok perkara.


- Tindakan yang dapat dilakukan memeriksa dan memutus
eksepsi lebih dahulu sebelum ada putusan yang menegaskan
apakah PN yang bersangkutan berwenang atau

67
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang gugatan, persidangan, pembuktian, penyitaan, dan
putusan pengadilan, Jakarta: sinar grafika Cet; Pertama Agustus 2017, h, 486-487

70
memeriksannya. Hakim bebas menjatuhkan putusan menolak
atau mengabulkan eksepsi.
III. Penolakan atas eksepsi kompetensi, dituangkan dalam putusan sela
(interlocutory).
Apabila hakim berpendapat bahwa ia berwenang memeriksa dengan
mengadili perkara dengan alasan apa yang di perkarakan termasuk
yuridksi absolut atau relatif PN yang bersangkutan maka :
1. Eksepsi tergugat ditolak
2. Penolakan dituangkan dalam bentuk putusan sela
(interlocutory), dan
3. Amar putusan berisi penegasan:
 Menyatakan bahwa PN berwenang mengadili
 Memerintahkan kedua belah pihak melanjutkan
pemeriksaan pokok perkara.
IV. Pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk putusan
akhir (eind vonnis).
Apabila eksepsi kompetensi yang diajukan teguggat beralasan dan
dibenarkan oleh hakim, tindakan yang harus dilakukan PN adalah
mengabulkan eksepsi. Berbarengan dengan itu:
1. Menjatuhkan putusan.
2. Putusan itu berbentuk putusan akhir yang berisi amar:
 Mengabulkan eksepsi tergugat
 Menyatakan PN tidak berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan.

Putusan yang mengabulkan eksepsi kompetensi bersifat putusan akhir


(eind vonnis, final judgement) seperti yang diindikasikan oleh pasal 9
ayat (2) UU No. 20 tahun 1974 yang berbunyi “ putusan dalam mana PN
menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkaranya dianggap
sebagai putusan penghabisan”. Oleh karena itu eksepsi dikabulkan dan
hakim menyatakan tidak berwenang mengadili perkara, putusan yang
dijatuhkan dianggap sebagai putusan akhir.

71
V. Cara penyelesain eksepsi diluar eksepsi kompetensi absolut, diperiksa
dan di putus bersama-sama dengan pokok perkara.
berdasarkan pasal 136 HIR, penyelesaian lain di luar eksepsi kompetensi
dilkukan :
1. Diperiksa dan di putus bersama-sama dengan pokok perkara
2. Dengan demikian pertimbangan dana mar putusan mengenai eksepsi
dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam
putusan akhir.
Semua jenis eksepsi kecuali kompetensi di periksa, di pertimbangkan
dan diputus secara bersama-sama dengan pokok perkara, tidak
diperiksa can diputus secara terpisah dengan pokok perkara. Oleh
karena itu tidak boleh di putus dan dituangkan lebih dahulu dalam
putusan sela. Sebagimana ketentuan putusan MA No. 935K/Sip/1985
bahwa eksepsi yang bukan kompetensi absolut atau relatif di periksa
dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara acuan
penerapannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Mengabulkan eksepsi tergugat, dan
 Menyatakan gugatan tidak dapat di terima.68

Kemudian berikut ini adanya jenis dari eksepsi, seperti di jelaskan pada pasal 125 ayat
(2), dan pasal 133 HIR, hanya memperkenalkan eksepsi kompetensi absolut dan relatif,
namun pada pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi, sebagian
besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal peraturan perundang-undangan
tertentu, misalnya, eksepsi ne bis in idem, ditarik dan dikonstruksi dari pasal 1917 KUH
perdata. Eksepsi yang diajukan, sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dan untuk
memahami ruang llingkup eksepsi akan di uraikan jenisnya dari pendekatan teoritis.

a. Eksespi prosesual
Eksespsi ini berdasrakan hukum acara yaitu, eksepsi yang menyangkut dengan
syarat formil gugatan, apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil
maka gugagatn yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan
tidak dapat diterima.

68
Ibid h, 489-495

72
Eksepsi prosesual sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
- Eksepsi tidak berwenang mengadili disebut juga exceptio declinatior
atau incompetency. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan, tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang
untuk mengadilinya. Lebih lanjut eksepsi ini di klasifikasi kan sebagai
berikut:
o Tidak berwenang secara absolut, mengenai eksepsi ini sudah
dijelaskan pada pembahasan secara singkat
o Tidak berwenang secara relatif ini juga sudah di jelaskan pada
bagian kewenangan mengadili.

b. Eksepsi Prosesual Diluar Ekspesi Kompetensi


Eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi, juga terdiri dari beberapa bentuk
atau jenis. Tetapi yang terpenting dan yang paling sering diajukan dalam
prakitik, yaitu
1. Eksepsi surat kuasa khusus tidak sah, terhadap surat kuasa dapat
diajukan berbagai bentuk eksespi, antara lain:
- Surat kuasa bersifat umum, surat kuasa bersifat umum biasanya
digunakan untuk melakukan tindak kepentingan pengurusan harta
kakayaan untuk pemberi kuasa, merupakan surat kuasa umum
berdasarkan pasal 1795 KUH perdata, bukan surat kuasa khusus.
Oleh karena itu tidak sah dipergunakan untuk dan atas pemberi
kuasa di depan pengadilan.
- Surat kuasa tidak memenuhi syarat formil yang digariskan dalam
pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 01 tahun 1971 (23
januari1971 ) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 oktober 1994 ).
Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, surat kuasa tidak sah
Karena mengandung cacat formil.
- Surat kuasa dibuat orang tidak berwenang, dasar umum
pemberian kuasa, harus diberikan, dibuat, dan ditanda tangani
orang yang berwenang untuk itu.

73
2. Eksepsi error in persona, Tergugagat dapat mengajukan eksepsi ini,
apabila gugatan mengandung cacat error in persona, bentuk atau jenis
eksepsi ini yang dapat diajukan meliputi peristiwa sebagai berikut;
- Eksepsi diskualifikasi atau gemis aanhoedanigheid
Yang bertindak sebagai penggugat, bukan orang yang berhak,
sehingga orang tersebut tidak mempunyai hak dan kapasitas
untuk menggugat. Misalnya anak yang dibawah umur atau orang
yang di bawah perwalian. Perseroan yang belum disahkan
sebagai badan hukum bertindak atas nama perseroan. Atau yang
bertindak bukan direksi perseroan berdasarkan pasal 82 undang-
undang No. 1 tahun 1995. Atau yang bertindak memgajukan
gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Maka demikian,
tergugat dapat mengajukan exceptio in pesona atas alasan
diskualifikasi in person. Yaitu orang yang berhak dan
mempunyai kedudukan hukum untuk itu.
- Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat
Misalnya ada perjanjian jual beli antara A dan B. kemudan A
menarik si C sebagai tergugat agar memenuhi perjanjian. Di
dalam kasusu ini mernarik si C sebagai tergugat adalah sebuah
kekeliruan. Karena sebelumnya si C tidak mempunyai hubungan
hukum dengan A tentang kasus yang diperkarakan. Maka dari itu
si C dapat mengajukan exceptio in pesona dengan alasan pihak
yang ditarik sebagai terguggat keliru.
- Exceptio plurium litis consortium
Alasan mengajukan eksepsi ini, yaitu apabila orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap. Atau ada orang yang harus ikut
dijadikan sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang
harus ikut dijadikan sebagai penggugat dan terguggat, maka
sengketa yang di persoalkan dapat diselesaikan secara tuntas dan
menyeluruh.

74
3. Exception res judicata atau ne bis in dem, kasus perkara yang sama tidak
dapat diperkarakan dua kali, jika suatu kasus perkara sudah pernah
diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya telah di jatuhkan putusan,
serta putusan tersebut telah memproleh kekuatan hukum tetap maka
terhadap kasus perkara itu, tidak boleh lagi diajukan gugatan baru untuk
memperkaranya kembali.69

A. Mediasi dalam persidangan

1. Tahap pra mediasi

Pada Hari Sidang Pertama yang dihadiri kedua belah pihak Hakim mewajibkan para
pihak untuk menempuh mediasi.

Hakim Menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses


mediasi paling lama 30 Hari Kerja.

Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Para pihak
memilih Mediator dari daftar nama yang telah tersedia, pada hari Sidang Pertama atau
paling lama 2 hari kerja berikutnya.

Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat bersepakat
memilih Mediator yang dikehendaki.

Ketua Majelis Hakim segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk
menjalankan fungsi Mediator.

Jika Mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secara


tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut
kepada Hakim.

69
Ibid, h 496-504

75
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang
untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan Putusan.

Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.

2. Tahap proses mediasi

Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk Mediator yang
disepakati atau setelah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing – masing pihak
dapat menyerahkan resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk.

Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 hari kerja sejak Mediator dipilih oleh para
pihak atau ditunjuk oleh Majelis Hakim.

Mediator wajib memperseiapkan jadwal pertemuan Mediasi kepada para pihak untuk
disepakati.

Apabila dianggap perlu Mediator dapat melakukan “Kaukus”. Mediator berkewajiban


menyatakan mediasi telah Gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau Kuasa
Hukumnya telah 2 kali berturut – turut tidak menghadiri pertemuan Mediasi sesuai
jadwal yang telah disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.

3. Mediasi mencapai kesepakatan

Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara


tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan Mediator.

Jika mediasi diwakili oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara
tertulis persetujuan atau kesepakatan yang dicapai.

Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari Sidang yang telah
ditentukan untuk memberi tahukan kesepakatan perdamaian tersebut.

Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada Hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk “Akta Perdamaian”.

76
Apabila para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk
Akta perdamaian maka harus memuat clausula pencabutan Gugatan dan atau clausula
yang menyatakan perkara telah selesai.

4. Mediasi tidak mencapai kesepakatan

Jika Mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secara


tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut
kepada Hakim.

Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang
untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan Putusan.

Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.1

B. Verstek

Dalam sidang peradilan perdata khususnya perkara-perkara yang membuat tergugat


merasa dirinya akan kalah pada persidangan, biasanya pihak tergugat akan memilih
untuk tidak menghadiri sidang tersebut walaupun sudah dipanggil secara resmi dan
patut. Jika hal ini terjadi maka hakim boleh tetap memutuskan perkara tersebut, dan
putusan ini disebut putusan verstek.

Dalam hukum acara perdata Indonesia mengenai putusan verstek ini diatur dalam Pasal
125 HIR/149 RBg. Ketidakhadiran pada pihak tergugat pada hari sidang yang telah
ditentukan adalah salah satu syarat untuk bisa dijatuhkannya putusan verstek oleh hakim
Pengadilan Negeri yang memimpin sidang dalam perkara perdata. Putusan verstek
sebagai salah satu bentuk putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim
Pengadilan Negeri dalam perkara perdata diluar hadirnya pihak tergugat, putusan
verstek ini kekuatan hukumnya belum tetap. Jadi jika dalam menjatuhkan putusan
tersebut hakim Pengadilan Negeri tidak berhati-hati serta bijaksana pada berikutnya
akan menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak tergugat.

Jika setelah melewati 3 (tiga) kali pemanggilan ternyata tergugat tidak hadir maka
jatuhlah bagi pihak yang tidak hadir tersebut putusan verstek. Putusan verstek adalah

77
putusan hakim yang bersifat declaratoir (op tegenspraak) tentang ketidakhadiran
tergugat meskipun menurut hukum acara harus datang. Terhadap kondisi verstek ini,
tuntutan penggugat tidak berarti serta-merta akan dikabulkan seluruhnya. Perkara tetap
diperiksa menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 125 HIR menentukan, bahwa untuk
putusan verstek yang mengabulkan gugatan harus memenuhi syarat-syarat seperti
petitum tidak melawan hukum dan memiliki cukup alasan.

Yang menjadi masalah adalah soal tenggang waktu di mana sejak putusan cerai
dibacakan oleh hakim sampai dengan juru sita pengadilan melakukan pemberitahuan
putusan tersebut tidak jarang memakan waktu yang cukup lama. Bisa jadi memakan
waktu sampai satu tahun sejak putusan dibacakan.

Implikasi hukum dari putusan verstek dalam perceraian adalah menyampingkan Pasal
18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perceraian itu terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan. Perceraian dengan putusan
verstek mensyaratkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung sejak putusan perceraian itu
diberitahukan kepada pihak yang verstek bukan terhitung sejak perceraian tersebut
dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini sebagaiman aturan hukum Pasal 128
ayat (1) HIR yang menyatakan, bahwa keputusan hakim yang menyatakan verstek, tidak
boleh dijalankan sebelum lewat 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan. Jadi,
berdasarkan Pasal 128 ayat (1) HIR, seorang penggugat cerai tidak bisa langsung
mendaftarkan putusan cerai tersebut kepada kantor catatan sipil di mana perceraian itu
terjadi. Penggugat cerai masih harus menunggu masa pemberitahuan putusan cerainya.
Di dalam praktik peradilan, dapat terjadi Pengadilan Negeri memberikan keputusan
yang bersifat verstek.2

C. Jawaban tergugat

78
Dalam sidang perdata biasanya sidang dilaksanakan sebanyak delapan kali, dan dalam
sidang kedua biasanya merupakan kesempatan tergugat untuk memberikan jawaban
atau pernyataan nya terhadap pertanyaan hakim.

Berikut merupakan proses dalam sidang kedua:

A. Apabila para pihak dapat berdamai maka ada 2 (dua) kemungkinan, Yaitu gugatan
dicabut atau mereka mengadakan perdamaian di luar atau di muka sidang

B. Apabila perdamaian dilakukan di luar sidang maka hakim tidak ikut campur, kedua
belah pihak berdamai sendiri. Ciri dari perdamaian diatur pengadilan adalah apabila
salah satu pihak ingkar janji, Permasalahannya dapat diajukan lagi kepada Pengadilan
Negeri.

C. Apabila perdamaran dilakukan di muka hakim, maka ciri-cirinya adalah sebagai


berikut.

1) Kekuatan perdamaian sama dengan putusan pengadilan.

2) Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji, perkara tida dapat diajukan kembali
(bentuk perdamaian di muka pengadija, dapat dilihat dalam lampiran).

3) Apabila tidak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjut kan dengan
penyerahan jawaban dari pihak tergugat. Jawaban in dibuat rangkap tiga, lembar
pertama untuk penggugat, lemba kedua untuk hakim, dan lembar ketiga untuk arsip
tergugat sendiri.

D. Gugatan Rekonvensi

Sebetulnya istilah seperti konvensi, rekonvensi, eksepsi, dan provisi tidak hanya
ditemui dalam putusan arbitrase saja, tetapi juga ada didalam putusan perkara perdata di
pengadilan. Arbitrase yang pada dasarnya adalah salah satu bentuk penyelesaian

79
sengketa perdata tetapi tidak melalui jalur pengadilan sebagaimana biasanya. Hal ini
sesuai dengan pengertian arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun
1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang bunyinya adalah:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan


umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersangkutan.”

Maka dari itu, istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dan provisi yang dikenal dalam
arbitrase sama dengan yang dikenal dalam proses penyelesaian perkara perdata di
pengadilan.70

1. Konvensi

Istilah ini sebetulnya adalah istilah untuk menyebut gugatan awal. Istilah ini memang
jarang digunakan jika dibandingkan dengan istilah gugatan. Karena istilah ini akan
dugunakan apabila ada gugatan balik dari pihak tergugat. Artinya bahwa, apabila
penggugat asal si A digugat balik oleh tergugat si B, maka gugatan si A disebut dengan
gugatan konvensi (gugatan awal) dan si B disebut dengan rekonvensi (gugatan balik).

2. Rekonvensi

Didalam istilah ini, seorang tergugat dapat mengajukan gugat balas kepada
penggugat. Pasal 132 a ayat (1) HIR yang maknanya serupa seperti yang dirumuskan
dalam Pasal 244 RV menyatakan gugatan rekovensi adalah gugatan balik yang diajukan
tergugat kepada penggugat pada suatu proses perkara perdata yang sedang berjalan.

Untuk mengajukan gugatan balik (rekonvensi) menurut Pasal 132 b ayat (1) harus
diajukan secara bersama-sama dengan jawabannya baik tertulis maupun lisan. Gugatan
balik (rekonvensi) ini merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara
perdata kepada tergugat dengan tujuan menyederhanakan tegaknya azas peradilan
dalam suatu perkara. Karena dengan system ini penyelesaian perkara yang harusnya
dilakukan dalam dua proses yang terpisah tetapi dengan system ini dapat diselesaikan
secara bersama dalam suatu proses. Selain itu dapat menghemat biaya dan waktu.

70
Yulia, Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), h. 45.

80
Sehingga dalam menyelesaikan perkara dapat dilakukan seefektif mungkin dan dapat
terhindar dari putusan yang saling bertentangan.

Pasal 157 Rbg juga menjelaskan tentang gugatan balik (rekonvensi), yaitu (1)
Tergugat berwenang untuk mengajukan gugatan balik dalam segala hal, kecuali bila
penggugat dalam konvensi bertindak dalam suatu kedudukan, sedangkan gugatan balik
mengenai diri pribadinya dan sebaliknya. (2) Bila pengadilan negeri yang menangani
gugatan asalnya tidak berwenang mengadili persoalan yang menjadi inti gugatan balik
yang bersangkutan. (3) Tentang perselisihan mengenai pelaksanaan suatu keputusan
hakim. (4) Jika dalam tingkat pertama tidak diajukan gugatan balik, maka hal itu tidak
dimungkinkan dalam tingkat banding.

Maka dari itu, gugatan balik (rekonvensi) ini beserta gugatan konvensinya harus
diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu surat putusan, kecuali jika pengadilan
berpendapat bahwa satu perkara harus diselesaikan terlebih dahulu dari pada perkara
yang lain.

3. Eksepsi

Eksepsi secara umum memiliki arti pengecualian. Tetapi dalam konteks hukum
acara, berarti bantahan atau tangkisan yang ditujukan kepada hal-hal mengenai syarat-
syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima.
Tujuan utama pengajuan eksepsi adalah agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa
lebih lanjut memeriksa pokok perkaranya. Eksepsi diatur dalam Pasal 136 HIR, yang
bunyinya: Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie),
kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang
masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok
perkara.

4. Provisi

Gugatan provisi merupakan permohonan kepada hakim (arbiter) agar ada tindakan
sementara mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara. Contohnya melarang
meneruskan pembangunan di atas tanah yang diperkarakan dengan ancaman membayar

81
uang paksa. Apabila dikabulkan, maka disebut putusan provisionil. Putusan provisionil
adalah salah satu jenis putusan sela.

Di dalam penjelasan Pasal 185 HIR dinyatakan bahwa putusan provisionil adalah
keputusan atas tuntutan, supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang
pemeriksaan pokok perkara itu sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan
yang gunanya untuk kemanfaatan salah satu pihak atau ke dua belah pihak.

Pasal 191 Rbg dinyatakan bahwa, (1) Pengadilan negeri dapat memerintahkan
pelaksanaan putusannya meskipun ada perlawanan atau banding jika ada bukti yang
otentik atau ada surat yang ditulis dengan tangan yang menurut ketentuan-ketentuan
yang berlaku mempunyai kekuatan pembuktian, atau karena sebelumnya sudah ada
keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, begitu juga jika ada suatu
tuntutan sebagian yang dikabulkan atau juga mengenai sengketa tentang hak besit; (2)
Pelaksanaan sementara sekali-kali tidak boleh meluas sampai ke soal penyanderaan.

Pengajuan gugatan provisi dapat dilakukan dengan cara bersama dengan gugatan
pokok perkara dan juga dapat diajukan secara terpisah. Syarat formil mengajukan
gugatan provisi di dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2000, yaitu: Pertama, harus memuat
dasar alasan permintaan yang menjelaskan urgensi dan relevansinya, contohnya tergugat
membangun rumah di atas objek sengketa. Kedua, mengemukakan dengan jelas
tindakan sementara apa yang harus diputuskan, contohnya tindakan sementara tersebut
adalah menghentikan pembangunan di atas objek sengketa sampai putusan yang akhir
dikeluarkan. Ketiga, gugatan provisi tidak dibolehkan menyangkut pokok perkara dan
jika terdapat gugatan provisi, maka harus didahulukan pemeriksaan gugatan provisi dan
sistem pemeriksaan provisi dengan prosedur singkat.

Dengan demikian apabila terdapat tuntutan provisi dalam proses pemeriksaan


gugatan, maka pemeriksaan gugatan pokok akan ditangguhkan. Hakim akan
mendahulukan pemeriksaan tuntutan provisi menggunakan prosedur singkat. Walaupun
maksudnya untuk diputus hari itu juga, namun Pasal 285 RV menyatakan bahwa
penundaan pemeriksaan tuntutan provisi dapat dilakukan jika penundaan tersebut tidak
menyebabkan terjadinya kerugian yang besar atau kerugian yang tidak dapat diperbaiki.

82
Hakim memiliki tiga pilihan dalam memutus tuntutan provisi, yaitu: Pertama,
menyatakan tuntutan atau gugatan provisi tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi
persyaratan formil. Kedua, menyatakan menolak gugatan atau tuntutan provisi oleh
hakim apabila tidak ada urgensi dan relevansinya dengan gugatan pokok. Sehingga
tindakan sementara yang dimohonkan tidak bisa dilakukan. Ketiga, menyatakan
mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi apabila: (i) memenuhi syarat formil. (ii)
alasan yang diajukan sebagai dasar tuntutan memiliki relevansi dan urgensi mengenai
gugatan pokok. (iii) jika tindakan sementara yang dimohonkan tidak dilakukan, akan
menimbulkan kerugian yang sangat besar.

Putusan provisionil dalam aturan arbitrase dapat ditemukan dalam Pasal 32 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan
Sengketa, yang bunyinya:

“Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat
mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur
ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan,
memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang
yang mudah rusak.”

E. Replik

Replik adalah tahapan yang dilakukan setelah proses pengajuan jawaban tergugat di
pengadilan. Replik merupakan jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas
gugatannya. Replik dapat diajukan secara tertulis (maupun lisan), yang gunanya untuk
meneguhkan gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam
penolakan yang dikemukakan oleh tergugat di dalam jawabannya. Maka dari itu, replik
adalah lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan
negeri setelah tergugat mengajukan jawabannya.

Replik ini berasal dari dua kata, yaitu re yang artinya kembali dan pliek yang artinya
menjawab. Dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab. Menurut JTC
Simorangkir replik adalah jawaban balasan atas jawaban oleh tergugat di dalam suatu
perkara perdata. Replik juga harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam
jawaban tergugat. Maka dari itu, replik akan merespons penggugat atas suatu jawaban

83
yang diajukan tergugat. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk membuka peluang
kepada penggugat agar mengajukan replik ini. Replik penggugat ini bisa saja berisi
pembenaran terhadap suatu jawaban oleh tergugat atau juga boleh jadi penggugat
menambahkan keterangan dengan maksud dan tujuan untuk memperjelas dalil yang
diajukan penggugat di dalam gugatannya tersebut.

Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam
H.I.R/R.Bg. Akan tetapi di atur dalam Pasal 142 Rv, yakni replik itu biasanya berisi
dalil-dalil atau hak-hak tambahan yang berguna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si
penggugat. Penggugat di dalam replik ini juga bisa mengemukakan sumber-sumber
pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan, doktrin, dan sebagainya. Peranan
yurisprudensi juga sangat penting dalam replik, mengigat karena kedudukanya adalah
salah satu dari sumber hukum. Untuk itu, penyusunan replik biasanya cukup sekiranya
dengan cara mengikuti poin-poin jawaban oleh pihak tergugat.

Maka dari itu, agar menjunjung asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Berdasarkan Pasal 117 Rv tahapan proses jawab-menjawab para pihak diberikan
kesempatan menyampaikan replik maupun juga duplik sekali saja. Walaupun
sebenarnya tidak ada larangan. Hal ini karena pengajuan replik-duplik yang berulang
kali akan membuat pemeriksaan menjadi tidak efektif dan tidak efisien.

Duplik

Duplik adalah istilah yang digunakan dalam proses hukum di pengadilan. Dalam
konteks pemeriksaan perkara di pengadilan, duplik merujuk pada tahap dalam
persidangan di mana pihak tergugat atau terdakwa memberikan tanggapan atau jawaban
atas gugatan atau tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat atau jaksa penuntut
umum.

Setelah menerima gugatan atau tuntutan yang diajukan, pihak tergugat atau terdakwa
biasanya diberikan waktu untuk menyusun duplik. Duplik ini berfungsi sebagai
kesempatan bagi pihak tergugat atau terdakwa untuk memberikan penjelasan, argumen,
atau fakta yang mendukung posisinya dalam perkara tersebut. Duplik ini juga dapat

84
berisi bantahan terhadap klaim atau tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat atau
jaksa penuntut umum.

Pada tahap ini, pihak penggugat atau jaksa penuntut umum biasanya telah mengajukan
gugatan atau tuntutan secara tertulis dan memberikan alasan dan fakta yang mendukung
klaim mereka. Duplik merupakan kesempatan bagi pihak tergugat atau terdakwa untuk
memberikan respons tertulis mereka terhadap klaim atau tuntutan tersebut.

Setelah duplik diajukan oleh pihak tergugat atau terdakwa, persidangan akan berlanjut
dengan tahap-tahap berikutnya, seperti sidang pembuktian di mana pihak-pihak yang
terlibat akan mempresentasikan bukti-bukti mereka. Proses persidangan akan terus
berlanjut sampai ada putusan akhir dari pengadilan berdasarkan semua bukti dan
argumemn tersebut disampaikan oleh pihak pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.

Sumber referensi mengenai duplik dalam pemeriksaan perkara di pengadilan dapat


ditemukan dalam berbagai sumber hukum, termasuk:

Undang-Undang: Undang-Undang tentang tata cara peradilan di negara masing-masing


akan memberikan informasi tentang prosedur persidangan, termasuk tahap duplik. Anda
dapat merujuk pada undang-undang peradilan yang berlaku di negara Anda untuk
memahami persyaratan dan proses yang terkait dengan duplik.

85
Buku Hukum: Buku-buku hukum yang membahas tentang proses peradilan atau hukum
acara perdata atau pidana dapat menyediakan penjelasan lebih rinci tentang duplik.
Pilihlah buku yang diakui dan ditulis oleh ahli hukum yang terkemuka.

Jurnal Hukum: Jurnal-jurnal hukum yang berfokus pada hukum acara perdata atau
pidana juga dapat menjadi sumber referensi yang baik. Anda dapat mencari artikel-
artikel yang membahas tentang tahap duplik dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.

Panduan Praktis: Ada beberapa panduan praktis atau buku panduan yang ditulis untuk
membantu para praktisi hukum dalam memahami proses hukum. Panduan semacam ini
dapat memberikan penjelasan yang lebih praktis dan langkah-langkah yang terkait
dengan duplik.

Keputusan Pengadilan: Anda juga dapat merujuk pada keputusan-keputusan pengadilan


sebelumnya yang berkaitan dengan proses duplik dalam perkara di pengadilan.
Keputusan-keputusan ini akan memberikan wawasan tentang bagaimana duplik
dihadapi dan diterapkan dalam konteks kasus-kasus sebelumnya.

Penting untuk memastikan bahwa Anda merujuk pada sumber-sumber yang terpercaya
dan sah, seperti undang-undang yang berlaku atau karya-karya dari ahli hukum yang
terkemuka, untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang duplik dalam
pemeriksaan perkara di pengadilan. Duplik dalam pengadilan merujuk pada dokumen
yang diajukan oleh pihak tergugat sebagai tanggapan terhadap gugatan yang diajukan
oleh pihak penggugat dalam suatu perkara perdata. Dokumen duplik ini berisi argumen

86
dan fakta-fakta yang digunakan oleh pihak tergugat untuk mempertahankan posisinya
dan menanggapi klaim yang diajukan oleh pihak penggugat.

Dalam proses peradilan, langkah-langkah umum yang terkait dengan duplik adalah
sebagai berikut:

Pengajuan Duplik: Setelah menerima gugatan dari pihak penggugat, pihak tergugat
memiliki waktu tertentu yang ditentukan oleh hukum atau peraturan pengadilan untuk
mengajukan duplik. Biasanya, waktu yang diberikan untuk mengajukan duplik adalah
setelah menerima salinan gugatan.

Isi Duplik: Duplik berisi argumen dan fakta yang digunakan oleh pihak tergugat untuk
membantah klaim yang diajukan oleh pihak penggugat. Dokumen duplik ini dapat berisi
pernyataan hukum, bantahan terhadap fakta yang diajukan oleh pihak penggugat, dan
bukti-bukti yang mendukung posisi pihak tergugat.

Pemberitahuan kepada Pihak Penggugat: Setelah duplik diajukan, salinan duplik akan
diberikan kepada pihak penggugat atau kuasanya. Pihak penggugat kemudian akan
diberi kesempatan untuk menanggapi duplik yang diajukan oleh pihak tergugat dalam
waktu tertentu yang ditentukan oleh hukum atau peraturan pengadilan.

87
Persidangan Lanjutan: Setelah kedua belah pihak menyerahkan duplik dan tanggapan,
pengadilan dapat melanjutkan persidangan untuk mempertimbangkan argumen dan
bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak.

Perlu diperhatikan bahwa prosedur duplik dapat bervariasi antara yurisdiksi dan jenis
perkara (perdata, pidana, administratif, dll.), dan persyaratan yang terkait dengan duplik
dapat diatur oleh hukum acara yang berlaku di negara tersebut. Oleh karena itu, penting
untuk merujuk pada undang-undang atau peraturan pengadilan yang berlaku di negara
Anda untuk memahami persyaratan spesifik terkait dengan duplik dalam pengadilan.

Intervensi

Intervensi pemeriksa dalam perkara di pengadilan dapat terjadi dalam beberapa


situasi di mana pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam perkara tersebut ingin
ikut serta dalam proses persidangan. Intervensi pemeriksa adalah langkah hukum yang

88
memungkinkan pihak ketiga untuk ikut campur dalam perkara yang sedang berlangsung
di pengadilan.

Tujuan dari intervensi pemeriksa adalah untuk melindungi atau mempertahankan


kepentingan pihak ketiga yang terkait dengan perkara tersebut. Pihak ketiga tersebut
biasanya memiliki hubungan langsung dengan subjek perkara atau kepentingan yang
dapat terpengaruh oleh hasil dari perkara tersebut. Dengan melakukan intervensi, pihak
ketiga dapat mengajukan argumen, bukti, atau klaim yang mendukung posisinya dalam
perkara tersebut.

Proses intervensi pemeriksa dapat bervariasi di setiap sistem peradilan dan dapat diatur
oleh undang-undang atau peraturan pengadilan yang berlaku. Namun, umumnya
langkah-langkah yang harus diambil dalam intervensi pemeriksa meliputi:

Pengajuan permohonan: Pihak ketiga yang berkepentingan harus mengajukan


permohonan intervensi kepada pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
Permohonan ini harus berisi argumen dan alasan yang mendukung mengapa pihak
ketiga tersebut memiliki kepentingan yang sah dan relevan dalam perkara tersebut.

Pemberitahuan kepada pihak terkait: Permohonan intervensi harus diberitahukan kepada


pihak-pihak yang terkait dalam perkara tersebut, seperti penggugat dan tergugat. Pihak-
pihak terkait memiliki hak untuk menanggapi permohonan intervensi dan memberikan
tanggapan mereka.

89
Persidangan intervensi: Pengadilan akan mengadakan persidangan khusus untuk
mempertimbangkan permohonan intervensi. Pihak ketiga yang mengajukan intervensi
akan diberikan kesempatan untuk mempresentasikan argumen dan bukti yang
mendukung posisinya.

Keputusan pengadilan: Setelah mempertimbangkan argumen dan bukti yang diajukan,


pengadilan akan mengeluarkan keputusan mengenai permohonan intervensi. Pengadilan
dapat memutuskan untuk menerima atau menolak permohonan intervensi berdasarkan
pertimbangan hukum dan fakta yang relevan.

Intervensi pemeriksa memungkinkan pihak ketiga untuk memiliki pengaruh langsung


dalam perkara yang sedang berlangsung di pengadilan. Hal ini penting untuk
melindungi kepentingan yang terkait dan memastikan bahwa perspektif dan argumen
yang relevan dapat diperhitungkan dalam proses peradilan. Intervensi pengadilan
merujuk pada situasi di mana pengadilan atau hakim dalam suatu perkara mengambil
tindakan atau langkah untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terlibat atau
menjaga keteraturan proses peradilan. Intervensi pengadilan dapat terjadi dalam
berbagai konteks dan dapat melibatkan berbagai tindakan atau keputusan yang diambil
oleh pengadilan atau hakim. Berikut adalah beberapa contoh umum intervensi
pengadilan:

-Pengaturan Tindakan Sementara: Pengadilan dapat mengeluarkan perintah atau


tindakan sementara untuk melindungi kepentingan pihak yang terlibat dalam perkara
sebelum keputusan akhir diambil. Contohnya adalah pengadilan mengeluarkan perintah
penangguhan sementara, perintah larangan, atau perintah pembayaran uang jaminan.

-Interupsi Persidangan: Dalam beberapa situasi tertentu, pengadilan dapat melakukan


interupsi atau penangguhan persidangan jika ada kebutuhan mendesak, misalnya untuk

90
memberikan waktu kepada pihak yang terlibat untuk mempersiapkan argumen atau
bukti tambahan, atau jika terjadi peristiwa yang mengganggu proses persidangan.

-Pengumpulan Informasi Tambahan: Pengadilan dapat memerintahkan pengumpulan


informasi tambahan dalam rangka memperoleh bukti yang relevan atau pemahaman
yang lebih baik tentang perkara tersebut. Misalnya, pengadilan dapat memerintahkan
penyelidikan lebih lanjut atau memerintahkan pihak-pihak yang terlibat untuk
menyampaikan informasi tertentu.

-Pembatasan Publikasi: Jika diperlukan untuk menjaga kerahasiaan atau melindungi


kepentingan pihak yang terlibat, pengadilan dapat memerintahkan pembatasan publikasi
terkait dengan perkara yang sedang berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menjaga
integritas proses peradilan dan melindungi privasi pihak-pihak yang terlibat.

-Penunjukan Pelindung Hukum: Dalam kasus yang melibatkan anak-anak, pihak yang
rentan, atau orang yang tidak mampu secara finansial atau hukum, pengadilan dapat
melakukan intervensi dengan menunjuk pelindung hukum yang akan melindungi
kepentingan mereka dan memastikan bahwa keadilan terpenuhi.

diperhatikan bahwa intervensi pengadilan dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi


dan jenis perkara yang sedang berlangsung. Persyaratan dan prosedur intervensi dapat
diatur oleh hukum acara yang berlaku di negara. Untuk memahami lebih lanjut tentang
intervensi pengadilan, disarankan untuk merujuk pada undang Perlu -undang dan
peraturan yang berlaku di negara atau berkonsultasi dengan ahli hukum yang
berpengalaman.

91
MEDIASI

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah:


Hukum Acara Perdata

Dosen Pengampu: Syaddan Dintara Lubis, MH

92
Disusun oleh:
Kelompok 8
Sem. IV/HPI4C

0205212038 Meisarah Tri Anjani


0205212042 Sandra Ayu Wandira

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2023

93
A. Pengertian Mediasi
Penyelesaian konflik dalam kehidupan masyarakat mengacu pada prinsip
“kebebasan” yang menguntungan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa yang
dapat memuaskan para pihak dapat ditenpuh melalui mekanisme musyawarah dan
mufakat. Penerapan prinsip musyawarah umumnya dilaksanakan di luar
pengadilan. Penerapan musyawarah ini di hukum Indonesia juga berdasarkan dari
ideologi bangsa yakni Pancasila. Dalam sila keempat Pancasila disebutkan bahwa
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Hal ini juga di lanjut dalam UUD 1945 dan sejumlah
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Nilai musyawarah mufakat
terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti
mediasi, arbitrase, negoisasi, fasilitasi, dan lain-lain.71
Dalam menyelesaikan sengketa, selain menggunakan jalur litigasi juga
menggunakan jalur non-litigasi. Jalur non-litigasi terdiri dari negoisasi, mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase. Namun, jalur non-litigasi ini masih beredar di kalangan
tertentu seperti kaum intelektual dan praktisi hukum. Penyebab masyarakat lebih
memilih jalur litigasi selain mereka belum mengenal penyelesaian non-litigasi
terlalu dalam adalah karena dalam pandangan mereka segala yang berhubungan
dengan negara lebih kuat dan terjamin.72
Secara bahasa, kata mediasi berasal dari bahasa latin yaitu mediare yang
berarti berada di tengah. Arti ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menegahi dan menyelesaikan
sengketa antar pihak.73 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
mediasi mempunyai arti yaitu proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi secara bahasa lebih
menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang berada ditengah-tengah para pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Pengertian mediasi
secara istilah dikemukakan oleh para ahli resolusi konflik, yaitu Laurence Bolle dan
J. Folberg. Laurence Bolle menyatakan bahwa “mediation is a decision making
process in which the parties are assisted by a mediator. The mediator attempt to
improve the process of decision making and to assist the parties the reach an
outcome to which of them can assent.” Sedangkan J. Folberg menyatakan “...the
process by which the participants, together with the assistance of a neutral
persons, systematically isolate dispute in order to develop options, consider
alternative, and reach consensual settlement that will accommodate their needs”.
Pengertian yang dijabarkan oleh kedua ahli tersebut lebih menggambarkan esensi
kegiatan mediasi dan peran mediator sebagai pihak ketiga. Ahli pertama
menekankan pada pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan para pihak
71
Syahrizal Abbas, “Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional”, (Depok:
KENCANA, 2017), h. 2.284-285.
72
Maskur Hidayat, “Strategi Dan Taktik Mediasi (Berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2016 Rentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan), (Jakarta: KENCANA, 2016), h. 5-6.
73
Syahrizal Abbas, Op. Cit., h. 2.

94
yang bersengketa, mediator hanya sebagai pembantu proses pengambilan keputusan
tersebut. Sedangkan ahli kedua menekankan pada konsep mediasi pada upaya yang
dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi.74
Mediasi merupakan sebuah solusi dalam penyudahan permasalahan yang
dilakukan dengan cara perundingan agar dapat menemukan celah dan titik tengah
terhadap permasalahan persengketaan yang terjad pada duabelah pihak yang
dibantu oleh seorang mediator, berikut ini arti mediasi dari beberapa persefektif,
yakni:75
1. Mediasi diambil dari kata bahasa Inggris yang memiliki makna menyudahi
sengketa dengan cara menengahi. Mediasi adalah sebuah metode negosiasi
untuk memutuskan masalah, yang mana pihak luar yang tidak berkontribusi
dan memihak (impartial) melakukan sebuah hubungan kerjasama dengan
pihak yangmemiliki masalah persengketaan agar mendapat titik tengah.
Mediator tidak mempunyai hak dalam pemutusan permasalahan sengketa,
tetapi mediator hanya berperan sebagai pembantu pihak yang bersengketa
untuk persoalan-persoalan yang dibebankan kepadanya.
2. Christopher W. Moore memberikan persefektifnya mengenai mediasi yang
rarti bintervensi pada suatu sengketa atau negosiasi dari pihak ketiga yang
bisa di terima, tidak memhiak pada suatu kelompok danhanya bersifat netral
dan tidak memiliki hak untuk mengambil dan memberikan sebuah
keputusan, tugasnya adalah memberikan pelayanan dan jalan keluar agar
pihak bersengketa mendapatkan titik tengah atas permasalah mereka.
3. Folberg dan Taylor mengartikan mediasi merupakan sebuah proses yang
mana pihak memiliki bantuann dari satu orang atau beberapa orang lain,
yang dilakukan secara sistematis dalam menyudahi perkara yang menjadi
bahan persengketaan,selain itu mediasi juga memiliki arti sebagai suatu
metode jalan keluar alternatif serta menggapai penyelesaian yang bisa
mengakomodasi keperluan mereka.
4. Pada UU no.30 1999 mengenai Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan
sebuah badan tempat penyudahan suatu sengketa atau selisih pendapat yang
dilakukan sesuai prosedur yang disetujui kedua belah pihak, yang mana

74
Syahrizal Abbas, Op. Cit., h. 2-5.
75
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, “Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Permasalahan Eksekusi
dan Mediasi)”, (Yogyakarta: DEEPUBLISH, 2020), h. 38-40.

95
penyudahan perkara itu dilakukan diluar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
5. Pada Bank Indonesia/PBI No.8/5/PB/2006 memaparkan mediasi merupakan
sebuah proses penyudahan sengketa yang mengikutkan mediator dalam
berkontribusi untuk membantu kedua belah pihak yang tengah bersengketa
yang bertujuan untuk menyelesaikanmasalah tersebut melalui sebuah
kesepakatan sukarela baik itu sebagian maupun seluruh dari permasalahan
yang disengketakan
Secara umum, perdamaian atau juga dikenal dengan mediasi adalah sebuah
upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui
mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi
para pihak, tetapi menunjang fasilitator demi terlaksananya percakapan antar pihak
yang bersangkutan dengan suasana ketebukaan, kejujuran, dan tukar pendapat
untuk tercapainya kesepakatan (mufakat).76 Perdamaian ini merupakan tahap
pertama yang dilaksanakan oleh hakim untuk para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Fungsi dari
perdamaian atau mediasi ini salah satunya adalah adil, yang mana jika pelaksanaan
mediasi ini berhasil, maka akan menimbulkan keadilan yang tidak ada siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Mediasi berguna untuk tetap menjaga kerukunan dan
kekeluargaan, sebagaimana juga dalam pandangan Islam yang mengajarkan kepada
umat manusia untuk menyelesaikan masalah perselisihan yang terjadi anatar
manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian. Sebagaimana hal ini
tercantum dalam Al-qur’an surah al-Hujurat ayat 9, yaitu:77
۟ ِ َ‫ان ِمن ٱلْم ِمنِني ٱ ْقتتلُو ۟ا ف‬
ْ ‫ت ِإ ْح َد ٰى ُه َما َعلَى‬
‫ٱُأْلخَر ٰى‬ ْ َ‫َأصل ُحوا َبْيَن ُه َما ۖ فَِإ ۢن َبغ‬
ْ ََ َ ‫َوِإن طَٓاِئَفتَ ِ َ ُ ْؤ‬
۟ ِ ِ ۟ ِ َ‫َف ٰقتِلُو ۟ا ٱلَّىِت تبغِى حىَّت ت ِف ٓىء ِإىَل ٰ ٓى َأم ِر ٱللَّ ِه ۚ فَِإن فَٓاءت ف‬
َ‫َأصل ُحوا َبْيَن ُه َما بِٱلْ َع ْدل َوَأقْسطُ ٓوا ۖ ِإ َّن ٱللَّه‬
ْ َْ ْ َ َ ٰ َ َْ َ
‫ني‬ ِِ ُّ ِ‫حُي‬
َ ‫ب ٱلْ ُم ْقسط‬
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku

76
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Op. Cit., h. 83-84.
77
Abdul Manan, “Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta:
PRENADA, 2016), h. 159-160.

96
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S al-
Hujurat [49]: 9)
Mediasi ini dalam sistem hukum perdata Indonesia, dijalankan dengan
sebutan lembaga perdamaian, yang mana jika lembaga ini secara jangka panjang
mampu mendapatkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa, maka lembaga
ini akan terus digunakan dalam praktik penyelesaian sengketa.
Adapun perdamaian ini menimbulkan keuntungan bagi hakim yang berarti
para pohak yang bersengketa telah ikut menunjang terlaksananya asas peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan. Perdamaian juga menguntungkan para pihak
yang bersengketa yang jika terjadinya perdamaian akan membuat hemat ongkos
beperkara, mempercepat penyelesaian, dan menghindari putusan yang
bertentangan.78
Dalam mediasi terdapat elemen antara lain sebagai berikut:79
1. Melakukan penyelesaian masalah secara sukarela
2. Intervensi atau bantuan
3. Pihak tengah yang tidak memihak siapapun
4. Pengambilan keputusan secara konsensus
5. Dilakukan dengan kontribusi aktif pada semua yang ikut dalam
permasalahan persengketaan termasuk mediator.
B. Dasar Hukum Perdamaian atau Mediasi
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui dading (perdamaian) diatur dalam
Pasal 130 HIR dan Pasal 1851 KUHPerdata. Dari kedua pasal tersebut disimpulkan
bahwa syarat formal perdamaian meliputi:80
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa,
2. Putusan perdamaian di dasarkan pada sengketa yang telah ada,
3. Persetujuan perdamaian harus dituangkan dalam bentuk tertulis, dan
putusan dading (perdamaian) mengakhiri sengketa yang timbul.
Perdamaian juga diatur dalam hukum perdata formal dan hukum perdata
materiil. Dalam hukum perdata formil telah diatur dalam hukum acara perdata,
yaitu Pasal 130 HIR/154 RBg. Menurut Pasal 130 ayat 1 HIR disebutkan
bahwasannya “jika pada hari yang ditentukan ittu, kedua belah pihak datang, maka
Pengadilan Negeri dengan pertolongan ketua akan mencoba memperdamaikan.”
Adapun dalam bidang hukum perdata materiel, perdamaian (dading) diatur dalam
buku III titel XVIII BW mulai dari Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864.81
C. Prinsip-prinsip Mediasi

78
Abdul Manan, Op. Cit., h. 160.
79
Abdul Manan, Op. Cit., h. 173.
80
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Op. Cit., h. 84.
81
Maskur Hidayat, Op. Cit., h. 31.

97
Mediasi memiliki beberapa prinsip di dalamnya, yaitu:82
1. Mediasi memiliki sifat Sukarela
Berprinsip pada insiatif serta pilihan dalam penyelesaian sengketa
melalui mediasi tunduk dan dari kemufakatan pada pihak yang
bersengketa. Ini dapat kita perhatikan pada sifat kekuatan yang mengatur
pada keputusan yang telah disepakati dari hasil mediasi yang didasarkan
pada kekuatan hasil kesepakatan yang terdapat pada pasal 1338 KUH
Perdata. Dengan demikian, prinsip mediasi patuh pada kemauan dari para
pihak yang bersengketa.
Prinsip kesukarelaan ini dibentuk atas dasar bahwa setiap individu
akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan
mereka, jika mereka hadir ke tempat musyawarah atas pilihan mereka
sendiri. Walaupun para pihak yang bersengketa memilih mediasi sebagai
cara menyelesaikan sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi
mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut.
Sifat sukarela yang didasari fakta bahwasannya mediator sebagai
penengah dalam permasalahan tersebut, hanya memiliki peran untuk
membantu mencari solusi yang terbaik untuk sengketa tersebut. Sehingga
dapat disimpulkan, mediator tidak memiliki sebuah kekuasaan untuk
memutuskan sengketa sebagaimana layaknya seorang hakim atau arbiter.
Mediasi bersifat sukarela diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU No. 8
Thaun 1999 yang berbunyi: “Penyelesaian sengketa konsumen dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”83
2. Lingkup Sengketa pada Prinsipnya Bersifat Keperdataan
Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana
lingkungan hidup. Kemudian, berdasarkan Pasal 75 ayat (1) Undang-
Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan peyelesaian snegketa
kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana
sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan tersebut. Dalam ketentuan Pasal
5 ayat (1) berbunyi, “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa”.
Dengan demikian, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa perdagangan dan sengketa yang bersifat keperdataan.
3. Proses Sederhana
82
Abdul Manan, Op. Cit., h.176.
83
Susanti Adi Nugroho, “Manfaat Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa”, (Jakarta:
KENCANA, 2019), h. 45.

98
Aktivitas mediasi lebih sederhana daripada proses beracara formal
di Pengadilan. Para pihak yang bersengketa bisa memilih cara-cara yang
lebih sederhana mengenai penyelesaian masalah mereka dibandingkan
dengan proses beracara formal di pengadilan.
4. Menjaga Kerahasiaan Sengketa
Sebelum melakukan mediasi, maka perlu diperhatan dan juga
dipahami beberapa aspek dalam proses mediasi, seperti faktor
kerahasiaan. Kemungkinan akan ada pihak yang tidak memiliki itikad
baik yang mungkin melihat proses ini sebagai peluang untuk
mendapatkan informasi sebanyakmungkin sebelum akhirnya memutuskan
untuk berlitigasi.
Para pihak mediasi dilaksanakan ditempat yang tertutup sehingga
tidak sembarangan orang yang dapat ikut dalam proses perundingan untuk
mendapatkan kemufakatan dalam proses mediasi. Pastinya ini sangat
berbeda dengan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum.
Prinsip kerahasiaan atau confidentiality yang dimaksud disini
adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diadakan
oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan
kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Begitupun mediator,
harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut. Mediator juga tidak
dapat dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang prakarsai
penyelesaiannya melalui mediasi.
5. Mediator Bersifat Netral
Hasil dari solusi penyelesaian sengketa atau dalam mediasi tidak
harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses
kreativitas. Maka demikian, hasil mediasi akan lebih banyak mengikuti
kemauan dari kedua belak pihak, yang berhubungan dengan konsep
pemberdayaan masing-masing pihak.
D. Mediator dan Pihak Yang Melakukan Mediasi
Mediator merupakan seseorang yang berada ditengah-tengah para pihak yang
bersengketa. Maka demikian, mediator memiliki peran penting dalam hal ini yakni
peran menentukan dalam suatu proses mediasi. Unsur pendukung adanya mediasi
yang berjalan sampai saat ini adalah karena kemampuan profesional mediator.
Mengenai pihak yang menjadi mediator di pengadilan sampai saat ini masih
didominasi oleh hakim yang diberi tugas untuk menjalankan fungsi mediator karena
para pihak yang berperkara tidak ingin melakukan pembayaran atas fee terhadap
mediator non hakim.84

84
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Op. Cit., h. 91-92.

99
Berdasarkan PP No. 54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator
lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan, yakni:85
1. Cakap melakukan tindakan hukum,
2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun,
3. Memiliki pengalaman serta aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5
tahun,
4. Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka
waktu satu bulan),
5. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
Mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa mesti orang atau
lembaga yang netral dan mampu menengahi kemauan dari para pihak. Peran
mediator sangat penting, sehingga hal ini menjadikan mediator harus mempunyai
keahlian dibidangnya masing-masing dan harus mendapatkan training dari suatu
lembaga yang khusus untuk mempersiapkan tenaga ahli untuk menajdi mediator,
sebagaimana yang dilakukan oleh Conflict Management Agency (CMA).86
Dalam menjalankan tugas menjadi seorang penentu dalam suatu proses
mediasi, mediator dikelompokkan menajdi beberapa tipe oleh Christopher W
Moore, yaitu:87
1. Social network mediators, yakni orang-orang yang oleh pihak telah
dikenal baik dan dapat dipercaya oleh para pihak yang bertikai. Esensinya
adalah upaya untuk mempertahankan keserasian atau hubungan baik
dalam sebuah komunitas karena mediator dan para pihak menjadia bagian
di dalamnya.
2. Autoritative Mediators, yakni mediator yang berusaha membantu pihak-
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan
memiliki posisi yang kuat, sehingga mereka memiliki potensi atau
kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses mediasi.
Akan tetapi autoritative mediator selama menjalankan perannya tidak
menggunakan kewenangan atau pengaruhnya. Hal ini didasarkan pada
keyakinan atau pandangan bahwa pemecahan yang terbaik terhadap
sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya sendiri selaku pihak yang

85
Gatot P. Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta: PT Gramedai Pustaka Utama,
2006), h. 133.
86
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 57.
87
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 25-27.

10
0
berpengaruh, melainkan harus dihasilkan oleh upaya pihak-pihak yang
bersengketa sendiri.
3. Independent Mediators, yakni mediator yang menjaga jarak terhadap para
pihak yang bersengketa atau menjaga jarak dengan persoalan yang
dihadapi. Mediator tipe ini banyak ditemukan dalam masyarakat yang
telah mengembangkan tradisi kemandirian dan telah menghasilkan
mediator profesional.
E. Prosedur Pengajuan Mediasi
Pengajuan mediasi tentu memiliki proses atau tahap-tahapnya sebelum proses
mediasi itu dimulai, untuk melakukan mediasi, diperlukan pemahaman mengenai
prosedur pengajuan dading (perdamaian) di pengadilan negeri, yaitu:88
1. Pengajuan surat gugatan yang berisi dalil-dalil dari para pihak yang
berperkara.
2. Surat gugatan tersebut didaftarkan di pengadilan negeri. Surat gugatan
ditujukan pada Ketua Pengadilan Negeri dengan membayar uang muka
penyelsaian perkara yang disesuaikan dengan banyak pihak-pihak yang
berperkara.
3. Surat gugatan kemudian diberi nomor perkara dan tanggal pendaftaran
4. Ketua Pengadilan Negeri kemudai membentuk majelis hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut.
5. Ditetapkan hari sidang pertama dengan mempertimbangkan jauhnya jarak
tempat tinggal para pihak. Biasanya diberi jangka waktu antara tiga sampai
sepuluh hari.
6. Majelis hakim mempelajari berkas perkara.
7. Pada sidang pertama, apabila pihak-pihak yang berperkara telah hadir,
Hakim mengupayakan agar pengguggat dan tergugat mau melakukan
perdamaian.
8. Upaya perdamaian dapat senantiasa dilakukan selama perkara belum
diputus, para pihak selalu diberi kesempatan untuk menyelesaikan
sengketa melalui perdamaian.
9. Bila para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa secara dading,
maka kesepakatan itu harus dituangkan dalam bentuk perjanjian damai.

88
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Op. Cit., h. 84-86.

10
1
10. Perjanjian damai tersebut harus dibawa di hadapan majelis hakim.
Keputusan pengadilan akan diambil berdasarkan isi perjanjian dading
tersebut.
11. Bila ada barng-barang yang harus disita, maka barang itu dapat
dimasukkan dalam materi perjanjian. Bila ada ingkar janji, maka
diperbolehkan mengajukan penyitaan barang-barang dalam perkara.
12. Ongkos-ongkos perkara yang ditetapkan oleh majelis hakim harus dibayar
oleh pihak-pihak yang berperkara atau salah satu pihak, tergantung
kesepakatan para pihak ketika membuat perjanjian dading.
13. Dading bersifat final, artinya keputusan dading tidak bisa diajukan banding
atau kasasi.

Namun, dapat dipahami juga bahwa jika para pihak yang sedari awal sudah
datang ke pengadilan, maka ia sedari awal juga tidak memiliki niat untuk
melakukan persetujuan perdamaian. Alasannya adalah sudah sangat jelas bahwa
kedatangannya ke pengadilan, menandakan ia sedari awal ingin penyelesaian
permasalahannya melalui pengadilan.

F. Proses Mediasi
Mediasi dapat dipahami adalah makna lain dari proses negosiasi. Dimana
para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan masalah mereka secara
pihak ke pihak dan memerlukan pihak ketiga sebagai pihak yang netral untuk
membantu permasalahan tersebut.
Adapun mengapa beberapa orang tidak ingin menyelesaikan masalah
perselisihannya di peradilan adalah karena peradilan bersifat memberlakukan
undang-undang yang berlaku untuk menyelesaikan sengketa, maka dalam proses
mediasi yang digunakan oleh mediator adalah nilai-nilai (value) dan fakta untuk
mendapatkan penyelesaian akhir. Nilai-nilai yang dimaksud disini adalah hukum,
kejujuran, dasar agama, moral, dan etika.
Adapun tahap-tahap proses mediasi, yaitu:89
6. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjukkan mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
7. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal
memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
89
Zainal Asikin, “Hukum Acara Perdata Di Indonesia”, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2018), h.
185-186.

10
2
8. Proses mediasi berlangsung paling lama sekitar 40 (empat puluh) hari
kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua
majelis hakim.
9. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa
40 (empat puluh) hari.
10. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan
perkara.
11. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat
dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
Mediator memiliki kewajiban untuk menyatakan bahwa mediasi telah gagal
apabila salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali
berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan
mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa adanya alasan setelah dipanggil secara patut.
G. Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Proses Mediasi
Pada saat pembahasan kasus, mediator wajib memberitahukan bahwa tidak
semua kasus layak atau cocok untuk bisa diselesaikan melalui cara mediasi.
Sebelum proses mediasi dimulai, mediator harus lebih dahulu memastikan apakah
masalahnya tepat dan bisa diselesaikan dengan cara mediasi dan juga apakah para
pihak sudah siap untuk melakukan proses dari mediasi. Seorang mediator harus
dengan jelas menerangkan mengenai perannya sebagai pihak netral ketika bersama
dengan semua pihak yang bersengketa.
Mediator harus menjelaskan mengenai kredibilitas pengalamannya, sifatnay
yang sebagai penengah, mengenai tujuan mediasi ini untuk menyelesaikan
sengketa, proses mediasi yang akan memberikan setiap pihak dengan kesempatan
yang sama baik secara tersendiri atau bersama, proses mediasi yang bersifat
rahasia, dan mengenai keputusan akhir.90
H. Mengakhiri Sengketa Dalam Perdamaian
Berdasarkan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg menyatakan bahwa bilamana
perdamaian sudah bisa dilaksanakan, maka dibuat putusan perdamaian yang lazim
yang disebut akta perdamaian. Akta perdamaian yang dibuat harus benar-benar
mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak yang berperkara,
sehingga, jika putusan perdamaian itu tidak dapat mengakhiri sengketa antara pihak
yang berperkara, maka putusan perdamaian tersebut dianggap tidak memenuhi

90
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 40-41

10
3
syarat formal atau tidak sah dan tidak mengikat kepada pihak-pihak yang
berperkara.91
Putusan perdamaian yang dibuat di dalam persidangan harus benar-benar
bukyi untuk mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantar para pihak yang
bersengketa. Permasalahan tersebut harus benar-benar selesai secara tuntas,
sehingga diharapkan dikemudian hari tidak terjadi permasalahan yang sama
diantara pihak tersebut. Para hakim juga diharapkan untuk paham tentang pokok
permasalahan para pihak yang bersengketa melalui persetujuan perdamaian, yang
mana diharapkan dengan keahliannya dapat mengakhiri sengketa antara pra pihak
yang bersengketa dan memunculkan sebuah persetujuan perdamaian.
I. Persetujuan Perdamaian
Menurut Abdul Manan jika dilihat dari segi bentuk persetujuan perdamaian
yang dihubungkan dengan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu
sendiri, maka dapat dibedakan dua bentuk persetujuan perdamaian, yakni:92
1. Putusan perdamaian
Jika para pihak yang bersengketa mengadakan perdamaian terhadap suatu
masalah yang disengketakan, mereka membuat akta perdamaian secara tertulis.
Para pihak yang bersengketa memohon kepada Majelis Hakim agar persetujuan
perdamaian tersebut dikukuhkan dalam suatu keputusan yang disebut dengan
putusan perdamaian. Rangkaian isi dari perjanjian perdamaian tersebut dibuat
sendiri oleh para pihak yang berperkara yang dituangkan dalam suatu akta, lalu
pihak-pihak yang bersengketa menandatangani akta perdamaian tersebut.
Dengan demikian, atas dasar akta perdamaian tersebut, hakim menjatuhkan
putusan perdamaian sesuai dengan isi persetujuan itu dengan diktum
menghukum kepada pihak-pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi
perjanjian tersebut. Persetujuan damai dibuat sendiri oleh pihak yang
bersengketa, baru kemudian persetujuan perdamaian itu diajukan pada
pengadilan atau hakim yang menyidangkan perkara tersebut untuk dikukuhkan
sebagai putusan perdamaian dengan memberikan titel eksekusi.
Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan Majelis Hakim
mempunyai kekuatan hukum mengikat, mempunyai kekuatan hukum eksekusi,
dan mempunyai nilai pembuktian. Nilai daripada putusan perdamaian itu adalah
sama dengan putusan pengadilan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan tingkat penghabisan. Dikatakan mempunyai kekuatan hukum
mengikat adalah karena putusan perdamaian itu mengikat para pihak yang
membuatnya, juga mengikat pihak luar atau orang-orang yang mendapat hak
dan manfaat daripadanya.
Putusan perdamaian dikatakan memiliki kekuatan eksekusi karena putusan
perdamaian itu dapat langsung dieksekusi apabila pihak-pihak yang membuat

91
Abdul Manan, Op. Cit., h. 163.
92
Abdul Manan, Op. Cit., h. 165-166.

10
4
persetujuan perdamaian itu tidak mau melaksanakan persetujuan yang
disepakati secara sukarela. Sehingga jika ada pihak yang merasa bahwa ia
dirugikan karena tidak ditaati persetujuan perdamaian tersebut, maka dapat
meminta pengadilan yang membuat putusan perdamaian untuk melaksanakan
eksekusi.
Eksekusi dapat berupa sejumlah uang, hal ini tergantung dari apa yang
disepakati dalam perjanjian damai yang telah dibuat oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Putusan perdamaian yang menyangkut eksekusi pembayaran
sejumlah uang berlaku pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 195 sampai
dengan Pasal 200 HIR.
2. Akta perdamaian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Akta adalah surat tanda bukti berisi
pernyataan tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang
berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Sedangkan berdasarkan
Pasal 1868 KUH Perdata, Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Bentuk persetujuan damai yang tertulis di dalam akta perdamaian tersebut
dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa. Adapan cara membuatnya
yaitu para pihak yang bersengketa merumuskan sendiri persetujuan itu dengan
tujuan untuk mengakhiri sengketa yang terjadi di antara mereka. Akta
perdamaian ini dapat berbentuk akta autentik dan bisa berbentuk di bawah
tangan. Namun, lebih dianjurkan untuk membuat akta autentik agar isi dan
tanda tangan tidak bisa dipungkiri.
Adapun unsur-unsur Akta Perdamaian menurut Pasal 1868 KUH Perdata
jika dijabarkan adalah sebagai berikut:93
a. Bahwa akta dibuat serta diresmikan sesuai dengan yang ditentukan oleh
undang-undang,
b. Bahwa akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang,
c. Bahwa akta dibuat di hadapan pejabat yang berwenang di tempat yang telah
ditentukan.
J. Keuntungan dan Kerugian dari Proses Mediasi94
1. Keuntungan dari proses mediasi adalah diilustrasikan sebagai proses yang hati-
hati, teliti, tidak mahal dan prosedurnya sederhana. Mediator yang bersifat pasif
dan netral dapat bertindak menjadi pendengar yang baik dan membuat suatu
pihak membuka tabir masalah, yang mana tidak mungkin dan sulit klau
dilaksanakan di peradilan.
93
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Op. Cit., h. 96.
94
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h. 32-33.

10
5
Mediasi memerlukan faktor kerahasiaan secara mutlak. Kerahasiaan yang akan
membantu untuk membangun kepercayaan di antara para pihak dengan
mediator, yang akan dengan terbuka membuka informasi yang dibutuhkan
mediator yang digunakan dalam penyelesaian.
2. Kekurangan dari proses mediasi ini adalah seperti proses ini berdiri sendiri di
luar sistem hukum yang ada. Sehingga tata caranya benar-benar diserahkan
kepada pihak yang bersengketa. Sementara itu kendala untuk menetapkan
mekanisme proses mediasi di antara para pihak dapat menjadi kendala potensial
dalam memulai awal proses. Kemudian, faktor kejujuran dan iktikad baik
merupakan faktor yang sulit diukur dari para pihak, yang mana faktor-faktor
tersebut sangat esensial dalam proses ini.
K. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan bentuk jalan alternatif
yang berada di luar pengadilan. Dalam melakukan mediasi, tentu memiliki suatu
tujuan di dalamnya. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pihak
yang bersangkutan dengan melibatkan pihak yang ketiga sebagai pihak yang netral.
Menurut Syahrizal Abbas, dalam mediasi para pihak yang bersengketa pro
aktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Sedangkan
mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya
membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan
kesepakatan damai mereka.95 Suatu mediasi yang hanya berhak atau memiliki
wewenang adalah para pihak yang bersengketa, mediator sebagai jalan penengah
atau sebagai pihak yang netral untuk membantu menyelesaikan putusan
kesepakatan mereka.
Menyelesaikan sebuah permasalahan atau sengketa melalui jalur perdamaian
atau mediasi memiliki manfaat yang sangat dirasakan. Dimana para pihak yang
bersengketa melakukan perundingan untuk menemukan sebuah solusi dari masalah
mereka, sehingga sampai mereka menemukan sebuah kesepakatan bersama secara
adil dan saling menguntungkan.

Kelompok: 9

Nama: Tagor Indra Mulia Lubis (0205212148)

Prasetyo Seto Putra (0205212094)

Ardina Nur Inaya (0205212056)

95
Syahrizal Abbas, Op. Cit., h. 24-25.

10
6
ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN

A. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti jelas adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum,
yang dinyatakan baik oleh peng gugat maupun oleh tergugat dalam perkara
perdata.
Lebih jelasnya apa yang dikatakan oleh Milton C. Jacobs96 bahwa:
“Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence”.

Alat bukti adalah keterangan informasi, benda, atau dokumen yang digunakan
untuk membuktikan suatu fakta atau tuntunan dalam suatu perkara di
pengadilan. Alat bukti ini memberikan bukti nyata untuk mendukung atau
menyangkal tuntutan atau tuduhan yang diajukan di pengadilan.

Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertukusumo, S.H.97 menyatakan bahwa:

Suatu barang bukti tidak tergantung pada apakah sesuatu itu terjadi/diajukan
dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya, bukan apakah sesuatu
diperkenalkan dipersidangan atau tidak. Jadi, barang bukti adalah sesuatu yang
sebelum diajukan ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti.
Sebagai contoh: akta notaris, meskipun tidak dihadirkan dipengadilan, sudah
merupakan bukti.

Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita:

“Alat Bukti adalah setiap perbuatan yang dimana dengan alat bukti tersebut
dapat dijadikan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim
akan kebenaran suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.”

Sedangkan Darwan Prinst mengatakan bahwa:

96
Ahmad Ali dan Wiwie Heryani, Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: 2012), hal. 73.
97
Ahmad Ali dan Wiwie Heryani, Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta: 2012), hal. 73.

10
7
“Alat bukti hukum merupakan alat yang berkaitan dengan tindak pidana dan alat
tersebut dapat dirgunakan sebagai alat pembuktian, untuk memberikan
keyakinan kepada hakim, tentang kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.”

Alat-alat bukti dan pembuktian adalah unsur-unsur yang digunakan dalam


sistem hukum untuk menegaskan atau membuktikan klaim atau pernyatan dalam
suatu perkara. Alat-alat ini memainkan peran penting dalam mendukung proses
peradilan yang adil dan memastikan bahwa keputusan hukum didasarkan pada
bukti yang sah dan kredibel.

Dibawah ini adalah beberapa contoh alat-alat bukti dan pembuktian yang biasa
digunakan dalam sistem hukum:

Dokumen tertulis: Ini termasuk surat, kontrak, sertifikat, laporan, atau dokumen
terkait lainnya yang memiliki relevansi dengan kasus yang sedang diproses.
Dokumen-dokumen ini harus asli atau dikeluarkan oleh otoritas yang kompeten.

Kesaksian: Kesaksian adalah pernyataan yang diberikan oleh seseorang yang


memiliki informasi yang relevan tentang kasus yang bersangkutan. Kesaksian
bisa berasal dari saksi mata atau ahli dengan keahlian khusus dalam bidang
tertentu.

Bukti fisik: Barang fisik seperti senjata, obat-obatan, peralatan kejahatan, atau
barang lain yang dapat dijadikan bukti langsung dalam proses pidana atau
perdata.

perekaman audio atau video: Rekaman audio atau video dapat menjadi alat bukti
yang kuat dalam kasus yang melibatkan percakapan atau peristiwa tertentu.
Rekaman ini harus asli, dan jelas, dan tidak mengalami manipulasi.

Forensik digital: Dalam kasus kejahatan komputer atau kejahatan digital, bukti
elektronik seperti data komputer, data pemblokiran, atau jejak digital dapat
menjadi bukti penting. Pakar forensik digital biasanya terlibat dalam
pengumpulan dan analisis bukti elektronik ini.

Pemeriksaan medis atau forensik: Laporan medis atau forensik dari dokter atau
ahli forensik dapat menjadi bukti penting dalam kasus cidera parah atau
kematian.

10
8
Survei atau penelitian: Dalam kasus yang berkaitan dengan investigasi atau
penelitian, data statistik dapat digunakan sebagai bukti untuk mendukung
dugaan atau klaim tertentu.
Penting untuk diingat bahwa alat bukti harus valid dan relevan dengan
kasus yang dihadapi. Pengadilan memiliki kekuatan untuk menolak atau
mengabaikan bukti yang tidak sah atau kurang berbobot.

Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang digunakan sebagai bukti bahan
sebelum ke persidangan. Misalnya akta notaris merupakan bukti tersendiri
meskipun tidak dihadirkan di pengadilan. Sering terjadi kesalahpahaman di
kalangan ahli hukum, mereka menganggap bahwa yang dimaksud dengan alat
bukti hanyalah alat bukti tertulis, padahal tidak demikian, selain alat bukti
tertulis masih banyak lagi pengertian alat bukti. Oleh karena itu berikut penulis
memberikan klasifikasi alat bukti.

B. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
Pembuktian dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah
bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui
batas-batas yang diajukan oleh para pihak beperkara. Jadi, hakim dalam mencari
kebenaran formal cukup membuktikan dengan "preponderance of eviden
sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran material, maka peristiwanya
harus dibuktikan (tidak diragukan lagi).
Istilah pembuktian" berasal dari kata "bukti", artinya "sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa", kemudian mendapat awal "pem" dan
akhiran "an", maka pembuktian artinya "proses perbuatan cara membuktikan
sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peris tiwa", demikian pula pengertian
membuktikan yang mendapat awalan "mem" dan akhiran "an", artinya
memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti.98
Hukum pembuktian dalam hukum perdata menempati tempat yang
sangat penting. Kita ketahui bahwa tujuan hukum acara atau hukum formal
hendak memelihara dan mempertahankan hukum material. Jadi secara formal
hukum pembuktian mengatur tentang pembuktian seperti terdapat di dalam RBg
dan HIR.

98
Andi Muhammad Sofyan dkk, Hukum Acara Pidana (Jakarta: Kencana, 2014), hal.226.

10
9
Menurut J.C.T. Simorangkir bahwa pembuktian adalah upaya yang
berwenang untuk menyampaikan kepada hakim sebanyak-banyaknya fakta-fakta
yang berkenaan dengan perkara yang bertujuan untuk digunakan oleh hakim
sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara."

Menurut Darwan Prints, baliwa pembuktian adalah "membuktikan


bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya, sehingga harus dipertanggung jawabkan.

Jadi, pembuktian adalah penyajian alat bukti yang sah menurut hukum
dihadapan hakim yang memeriksa atau mengadili suatu perkara untuk
menetapkan kebenaran peristiwa yang diajukan.99

Pembuktian diperlukan saat perselisihan disidangkan dipengadilan


(juridicto contentiosa) dan dalam perkara-perkara permohonan yang
mengahasilkan suatu keputusan (juridicto voluntair). Salah satu tugas hakim
dalam perkara perdata adalah memeriksa apakah suatu hubungan hukum yang
mendasari gugatan itu benar ada atau tidak.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan


kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya
oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu
pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa
perkara tersebut yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang
berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak
yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenangmembebankan
kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-
adilnya.

Dalam melakukan pembuktian seperti yang telah disebuntukan di atas,


para pihak yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di
persidangan harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian

99
H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm. 83.

11
0
yang mengatur tentang carapembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat
bukti serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian
ini termuat dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di
wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg
( Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan
Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan
pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk Wetboek ) atau
KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.100

Dalam pengambilan bukti, masing-masing pihak harus mengumpulkan


bukti-bukti yang mendukung klaim atau tuduhannya. Pada prinsipnya beban
pembuktian ada pada pihatk penggugat, artinya mereka harus mengajukan bukti-
bukti yang meyakinkan kepada pengadilan untuk mendukung gugatan mereka.
Namun, ada juga situasi di mana beban pembuktian dialihkan kebeberapa pihak,
misalnya pembelaan diri atau dalam pembuktian keberatan terhadap bukti yang
diajukan.

Proses pembuktian meliputi pemaparan bukti di pengadilan, pemeriksaan


saksi, dan argumentasi hukum yang relevan. Pengadilan akan mengevaluasi
kekuatan dan keandalan alat bukti yang diajukan mengambil suatu keputusan
yang berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku.

Penting untuk diingat bahwa alat bukti harus valid dan relevan dengan
kasus yang sedang dihadapi. Pengadilan memiliki kekuatan untuk menolak bukti
yang tidak dapat diterima atau tidak mempertimbangkan bukti yang tidak sah
atau yang menganggapnya tidak cukup relevansi.

Sebelum membahas lebih dalam lagi mengenai macam-macam alat


bukti, maka terlebih dahulu harus mengetahui dan dimengerti beberapa
pengertian tentang bukti dan juga beberapa teori pembuktian.

1. Bukti lemah

Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan penggugat yang


sedikitpun tidak memberikan pembuktian atau memberikan pembuktian
100
Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata, CV. NATA KARYA, 2017, hal.60.

11
1
tetapi tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima dalil-
dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti
permulaan ( kracht van begin bewijs ).

2. Bukti sempurna

Bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang


bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan
alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan
bukti sangkalan ( tengen bewijs).

3. Bukti pasti/menentukan ( Beslissend Bewijs )

Akibat diajukan pembuktian dengan alat bukti yang mempunyai daya


bukti pasti/menentukan, maka terhadap pembuktian tersebut tidak
diperbolehkan untuk memajukan bukti sangkalan.

4. Bukti yang mengikat ( Verplicht Bewijs )

Dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya bukti mengikat, maka
hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian
tersebut

5. Bukti sangkalan ( Tengen Bewijs )

Bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan


terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan.
Seperti telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para
pihak bukan olehhakim. Namun, hakim yang memerintahkan kepada
para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.101

C. Sebutkan Macam-Macam Alat Bukti


Dari antara alat bukti dalam sidang perdata, bukti tulisan atau surat
merupakan alat bukti yang paling terpenting dalam sidang perdata. Berbeda
dengan pembuktian dalam persidangan pidana di mana keterangan saksi
merupakan alat bukti yang paling penting. Hal ini karena pelaku yang

101
Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata ( jakarta: CV Nata Karya 2017) hal. 74-76.

11
2
melakukan tindak pidana selalu menyingkirkan atau melenyapkan alat bukti
tulisan dan segala sesuatu yang memungkinkan terbongkarnya tindak pidana
yang dilakukan oleh para pelakunya, sehingga bukti harus dicari bukti dari
orang-orang yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami
kejadian itu sendiri yang merupakan tindak kejahatan tersebut. Sebaliknya,
orang yang dalam praktek perdata, misalnya dalam perjanjian jual-beli, tukar-
menukar, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan, perwasiatan,
pengangkutan, asuransi, dan sebagainya orang-orang yang melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut biasanya dilakukan dengan sengaja.

Bentuk tulisan sebagai alat bukti pada saat dibutukan nanti, misalnya jika
suatu saat ketika timbul perselisihan tentang dokumen atas perbuatan tersebut,
maka dmasalah dan kebenarannya dapat dibuktikan dengan dokumen yang
bersangkutan. Atas dasar tersebut, alat bukti tulisan atau surat dianggap sebagai
alat bukti yang paling penting dan menentukan dalam perkara perdata.

Selain lima macam alat bukti yang disebuntukan dalam Pasal 1866
KUHPerdata maupun Pasal 284 RBg/164 HIR, RBg/HIR masih mengenal alat
pembuktian lain yaitu pemeriksaan setempat dan keterangan ahli, seperti yang
ditentukan dalam pasal-pasal berikut :

Pasal 180 RBg/153 HIR ayat (1) menyatakan :

“ Jika dianggap dan berguna, maka Ketua dapat mengangkat seorang atau dua
orang komisaris daripada pengadilan itu, yang dengan bantuan Panitera akan
memeriksa sesuatu keadaan setempat, sehingga dapat menjadi keterangan
kepada hakim.“

Pasal 181 RBg/153 HIR ayat (1) menyatkan:

“Jika menurut pertimbangan pengadilan, bahwa perkara itu dapat


menjadi lebih terang, kalau diadakan pemeriksaan seorang ahli, maka dapat ia
mengangkat seorang ahli, baik atas permintaan kedua belah pihak, maupun
karena jabatannya.”

11
3
Ada juga alat bukti yang tidak disebuntukan dalam undang-undang yaitu
foto, film, rekaman video/tape/CD serta mikrofilm dan mikrofische. 102 Menurut
surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor
37/TU/88/102/Pidana tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische dapat
dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya yang
dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku
terhadap perkara-perkara pidana maupun perdata. Dalam sistem hukum
pembuktian di Indonesia, terdapat beberapa doktrin pengelompokkan alat bukti,
yang membagi alat-alat bukti ke dalam kategori :103

1) Oral Evidence
a. Perdata ( keterangan saksi, pengakuan dan sumpah ).
b. Pidana ( keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa
).
2) Documentary Evidence
a. Perdata ( surat dan persangkaan ).
b. Pidana ( surat dan petunjuk ).
3) Material Evidence
a. Perdata ( tidak dikenal )
b. Pidana ( barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang
yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan
hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak
pidana dan informasi dalam arti khusus ).
4) Electronic Evidence
Konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan
elektronik. Konsep ini terutama berkembang di negara-negara common
law. Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas
cakupan alat bukti yang masuk kategori documentary evidence.
Adapun menurut KUHPerdata maupun RBg/HIR alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata terdiri atas:

102
Hari Sasangka, op cit, hlm. 41.
103
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 100.

11
4
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian alat bukti tulisan, antara lain:

a) Menurut A. Pitlo,
“ alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat adalah
pembawa tanda tangan bacaan yangberarti menerjemahkan suatu isi pikiran.”
b) Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”
Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan
akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di
bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :
1. Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat
sebagai bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.
Oleh karena itu, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian
akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus
ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.
Kehadiran tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk identifikasi
yaitu untuk mengetahui ciri-ciri atau untuk membedakan akta yang satu dengan
akta yang lainnya. Dan dengan menandatangani, seseorang dianggap menjamin
tentang kebenaran tersebut ada ditulis dalam akta tersebut. Penandatanganan
adalah penerapan suatu tanda tulisan tangan yang merupakan spesialisasi sesuatu
surat atas nama si pembuat.
Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh orang yang
bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol
dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan
yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang
berwenang dikenal dengan waarmerking.
Ditinjau dari segi hukum pembuktian akta mempunyai beberapa fungsi,
a. Akta Berfungsi sebagai Formalitas Kausa

11
5
Maksudnya, suatu akta berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan
adanya suatu perbuatan hukum.Apabila perbuatan hukum yang
dilakukan tidak dengan akta, maka perbuatan hukum tersebut dianggap
tidak pernah terjadi.
b. Akta Berfungsi sebagai Alat Bukti
Fungsi utama akta ialah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama
membuat akta memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat
bukti. Dalam masyarakat arakat sekarang, segala aspek kehidupan
dituangkan dalam bentuk akta.104
c. Akta Berfungsi sebagai Probationis Kausa
Artinya, akta sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah
membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi, fungsi akta tersebut
merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu,
tanpa akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat
dibuktikan.Kedudukan dan fungsi akta tersebut bersifat spesifik.

A. Bukti dengan saksi-saksi

Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan


kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan denganjalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.105

Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :

a) Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan


lurus dari salah satu pihak;
b) Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c) Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;

104
M. Yahya Harahap, op cit, hlm. 564
105
Teguh Samudera, op cit. hlm. 51

11
6
d) Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak
dapat didengar sebagai saksi adalah :
a) Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar
sebagai saksi;
b) Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan
retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c) Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah
memberikan kesaksian.

Adapun saksi menurut keadaannya, dapat digolongkan ke dalam :

a) Saksi tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau
mendengar ataupun mengalami sendiri perbuatan atau peristiwa hukum
yang menjadi perkara.
b) Saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada saat perbuatan hukum
tersebut dilakukan telah diminta dengan sengaja oleh para pihak untuk
menyaksikan perbuatan hukum tersebut.

B. Prasangka-prasangka

Persangkaan-persangkaan Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310


RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata.
Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk
mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang
harus dibuktikan.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah
dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang
belum terbukti.

Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut :

11
7
a) Persangkaan atas dasar kenyataan (feitelijke/rechtelijke vermoedens atau
praesumptiones facti) Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan
berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat dengan
peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian.
b) Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang
(wettelijke/rechtsvermoedens atau praesumptiones juris)Dalam hal ini
undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang
diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.106

Persangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :

a) praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang


memungkinkan adanya pembuktian lawan.
b) praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum
yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.

Contoh-contoh persangkaan undang-undang :

1) Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang
harus dibayar kepada sipembawa, maka barangsiapa yang menguasainya
dianggap sebagai pemiliknya ( Pasal 1977 ayat ( 1 ) KUHPerdata ).

C. Pengakuan

Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal
312 RBg/175 HIR, Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan
Pasal 1928 KUHPerdata.

Ada beberapa pendapat mengenai defenisi pengakuan :

1) Menurut A. Pitlo,
“ pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu
perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan
atau sebagian dari apa yang dikemukakan pihak lawan. “

106
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op cit, hlm.68.44 H

11
8
Pengakuan dibeda-bedakan sebagai berikut :

a) Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai


sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak,
tidak ada syarat apapun.
b) Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian tuntutan si penggugat.
c) Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
D. Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185
RBg/Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR,
Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.

Para ahli hukum memberikan pengertiannya, yaitu antara lain :

Menurut M. H. Tirtaamidjaja,

“ Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika
orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia
bersedia dikutuk Tuhan. “107

Krisna Harahap,

“ Sumpah adalah pernyataan untuk memastikan sesuatu, yang disampaikan atas


nama Yang Maha Kuasa. “108

Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam :

a) Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk
menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus
( sumpah decissoir );
b) Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah
satu pihak, yakni :

107
Hari Sasangka, op cit, hlm. 113.
108
Hari Sasangka, op cit, hlm. 113.

11
9
c) sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan
d) sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).
E. Pemeriksaan setempat

Hakim terutama pada Pengadilan Negeri sebagai judex facti harus


memeriksa fakta-fakta dari suatu perkaradengan sebaik-baiknya, sehingga ia
mengetahui dengan jelas segala seluk beluknya, dengan itu ia akan dapat
mempertimbangkan sebaik-baiknya dan memberikan putusan yang seadil-
adilnya, menurut peraturan hukum yang berlaku. Akan tetapi, untuk mengetahui
dengan jelas segala seluk-beluk suatu perkara kadang kala bukanlah merupakan
hal yang mudah, apalagi bila keterangan yang disampaikan pihak-pihak yang
berperkara bertentangan satu sama lain.

Dengan melakukan pemeriksaan setempat hakim dapat melihat atau


mengetahui secara langsung bagaimana keadaan atau fakta-fakta dari suatu
perkara. Suatu pemeriksaan setempat dapat dilakukan dengan adanya alasan :

a) selisih atau perbedaan batas-batas tanah yang disengketakan oleh


penggugat maupun tergugat,
b) letak suatu bangunan yang disengketakan,
c) barang-barang yang sangat besar dan terletak di suatu tempat atau suatu
bangunan, yang sulit di bawa ke depan persidangan,
d) suatu kerugian yang timbul akibat perbuatan salah satu pihak terhadap
suatu bangunan.

yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan


mengenai fakta-fakta atau keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan
hakim karena jabatannya di tempat objek perkara perdata. Pemeriksaan
setempat diatur dalam Pasal 180 RBg/153 HIR.

Dalam praktek pemeriksaan setempat dilakukan oleh hakim ketua


sidang, hakim-hakim anggota, dan panitera pengganti serta dihadiri oleh
pihak-pihak yang berperkara. Jika dipandang perlu pemeriksaan setempat
dapat dilakukan dengan mengikutsertakan apparat keamanan (polisi), dan

12
0
para teknisi seperti juru ukur dan juru gambar dari Kantor Agraria untuk
membantu demi kelancaran pemeriksaan setempat tersebut.

Pemeriksaan setempat bukan dilakukan oleh hakim secara pribadi,


melainkan dilakukan karena jabatannya yang dilakukan jika dianggap perlu
dan berguna bagi pemeriksaan suatu perkara. Meskipun pemeriksaan
setempat ini dilakukan hakim karenajabatannya, namun pihak-pihak yang
berperkara dapat memohon agar pemeriksaan setempat tersebut dilakukan,
tetapi yang menentukan tetap hakim ketua sidang pengadilan. Walaupun
tidak ditetapkan dalam Pasal 284 RBg/164 HIR, pemeriksaan setempat
sesungguhnya juga merupakan alat bukti karena pemeriksaan setempat
disamakan dengan penglihatan hakim atau penyaksian hakim yang dapat
dipakai sebagai pengetahuannya sendiri dalam usaha pembuktian yang
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim, sebab pemeriksaan
setempattersebut dilakukan dalam upaya agar hakim memperoleh kepastian
tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

F. Keterangan ahli

Mengenai keterangan ahli diatur dalam Pasal 181RBg/154 HIR yang


menentukan jika menurut pertimbangan pengadilan suatu perkara dapat menjadi
lebih jelas bila dimintakan keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara
atau karena jabatan,hakim dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan
pendapatnya mengenai sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa. Keterangan
ahli ini dikuatkan dengan sumpah. Maksudnya tidak lain agar keterangan tersebut
disampaikan seobjektif mungkin.Dari ketentuan Pasal 181 RBg/154 HIR ayat ( 2 ).

Sampai sekarang keterangan seorang ahli tidak dianggap sebagai alat bukti
dalam perkara perdata sebab keterangan ahli bukan mengenai terjadi atau tidaknya
suatu keadaan dalam suatu perkara, tetapi mengenai pendapat seseorang tentang
sesuatu hal yang memerlukan keahlian.

12
1
DAFTAR PUSTAKA

Imron Ali, Dan Iqbal Muhammad, Hukum Pembuktian, Unpam Press.

Ali Achmad, dan Heryani Wiwie, Asas-asas hukum pembuktian perdata, kencana,
jakarta 2012

Sukarna Kadi, Alat bukti petunjuk menurut KUHP, Unnes Press, Semarang 2016.

Safira Eri Martha, Hukum acara perdata, CV Nata Karya, Ponogoro 2017.

PRODUK-PRODUK PENGADILAN

1. KEPUTUSAN

A. Pengertian

12
2
Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan
adanya sengketa. Putusan mengikat kepada kedua belah pihak. Putusan
mempunyai kekuatan pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan eksekusi. Dalam literatur yang lain
putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk
umum dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa antara pihak
yang berperkara.109
Sudikno Mertokusumo (1982: 167), mendifinisikan putusan hakim suatu
sebagai pernyataan yang oleh hakin, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Dalam menlaksanakan fungsi peradilan, PARA HAKIM Peradilan
Agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas hakim adalah menegakkan
hukum dan keadilan. Berkatan dengan hal tersebut, Dalam setiap putusan yang
hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaukan suatu
perkara, perlu dipertimbangkan tiga hal, yaitu: keadilan, kemanfaatan dan
kepastian.110

B. Jenis-jenis

a. Dilihat dari segi fungsinya:111


1) Putusan akhir, yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara di
persidangan dan putusan ini merupakan produk utama dasi suatu
persidangan.
2) Putusan sela, yaitu putusan yang dijatuhkan masih dalam proses
persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan untuk
meperjelas dan meperlanjar persidangan. Putusan sela terdiri dari :
109
Dr. Sudirman L., M.H. Hukum Acara Peradilan Agama, (IAIN Parepare Nusantara
Press,2021) h.110
110
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 291
111
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hlm. 119

12
3
a) Putusan preparatoir adalah putusan persidangan mengenai jalannya
pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan
putusan akhir. Misalnya, putusan untuk menolak pengunduran
pemeriksaan saksi.
b) Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian.
c) Putusan incidentieel adalah putusan yang berhubungan dengan
insident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan
biasa.
d) Putusan provisioneel adalah putusan yang menjawab tuntutan
provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan
tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan.112
3) Putusan serta-merta, yaitu putusan pengadilan agama yang pada putusan
tersebut oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan
upaya hukaum baik vezet, banding maupun kasasi dan memakan waktu
relatif lama, lalu ada suatu gugatan dari salah satu pihak, agar putusan
yang telah dijatuhkan oleh pengadilan agama dilaksanakan terlebih
dahulu, tidak lagi menunggu putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.

b. Dilihat dari segi isinya :113


1) Niet Onvankelijk Verklaart (N.O.) Niet Onvankelijk Verklaart (N.O.)
berarti tidak dapat diterima gugatannya, yaitu putusan pengadilan yang
yang diajukan oleh Penggugat tidak dapat diterima karena ada alasan
yang dibenarkan oleh hukum. Adapun alasan tidak diterimanya gugatan
penggugat ada beberapa kemungkinan sebagai berikut:
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum
Gugatan yang diajukan oleh penggugat harus betul-betul ada,
juga harus jelas dasar hukumnya.

112
DR.Yulia,S.H,M.H ,Hukum Acara Perdata,(Unimal Press,2018) h.82
113
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 299-306

12
4
b) Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri pengguat
Tidak semua orang yang mempunyai kepentingan hukum dapat
mengajukan gugatan apabila kepentingan itu tidak langsung melekat
pada dirinya. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 7 Juli
1971 Reg. No.194 K/Skip/1971 mensyaratkan bahwa gugatan harus
diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum. Kalau hal
ini tidak terpenuhi maka gugatan tidak diterima.
c) Gugatan kabur (obscuur libel)
Pada posita dan petitum dalam gugatan tidak saling mendukung
atau dalil gugatan kontradiksi. Mungkin objek yang disengketakan
tidak jelas. Mungkin juga petitum tidak jelas atau tidak diperinci
secara jelas tentang apa yang diminta.
d) Gugatan masih prematur
Gugatan belum semestinya diajukan karena ketentuan undang –
undang belum terpenuhi. Misalnya, utang belum masanya untuk
ditagih atau belum jatuh tempo. Tetapi penggugat telah memaksanya
untuk membayar, sehingga timbul perselisihan sehingga timbul
perselisihan yang mengakibatkan penggugat mengajukan gugatan ke
pengadilan. Gugatan seperti ini tentu tidak akan diterima oleh hakim.
e) Gugatan Nebis In Idem
Gugatan yang diajukan penggugat sudah pernah diputus oleh
pengadilan yang sama, dengan objek sengketa yang sama dan
pihakpihak yang bersengketa juga sama.
f) Gugatan error in person
Gugatan salah alamat. Misalnya seorang ayah mengajukan
gugatan cerai ke pengadilan untuk anak perempuannya, ia menggugat
suami anaknya dengan tuntutan agar pengadilan menceraikan
anaknya dengan suaminya. Jadi bukan anaknya sendiri yang
mengajukannya.
g) Gugatan telah lampau waktu (daluwarsa)

12
5
Gugatan yang diajukan oleh penggugat telah melampaui waktu
yang telah ditentukan undang-undang. Misalnya dalam pasal 27
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
h) Pengadilan tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang, baik menyangkut kewenangan absolut maupun relatif,
akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya
tidak berhak mengadili perkara atau gugatan itu.
2) Gugatan dikabulkan Apabila suatu gugatan yang diajukan kepada
pengadilan dapat dibuktikan kebenaran dalil gugatanya, maka gugatan
tersebut dikabulkan seluruhnya. Jika sebagian saja yang terbukti
kebenaran dalil gugatanya, maka gugatan tersebut dikabulakan sebagian.
3) Gugatan ditolak Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat ke
pengadilan dan di depan sidang pengadilan penggugat tidak dapat
mengajukan bukti-bukti tentang kebenaran dalil gugatannya, maka
gugatannya ditolak. Penolakan itu dapat terjadi seluruhnya atau hanya
sebagian saja, tergantung si penggugat dapat mengajukan bukti
gugatannya.
4) Gugatan didamaikan Pasal 130 ayat (1) HIR dan pasal 154 ayat (1) R.Bg
mengemukakan bahwa hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua
belah pihak yang bersengketa sebelum diputus. Jika hakim lalai tidak
melaksanakan perdamaian, maka akibat hukum terhadap pelaksanaan
persidangan adalah pihak tergugat/termohon dapat mengajukan eksepsi
bahwa pelaksanaan persidangan batai demi hukum. Putusan yang
dijatuhkan oleh hakim tingkat pertama dapat dimintakan pembatalan
dalam tingkat banding.
5) Gugatan digugurkan Berdasarkan pasal 124 HIR dan pasal 148 R.Bg,
jikalau penggugat tidak hadir menghadap pengadilan pada hari yang
telah ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya

12
6
padahal ia telah dipanggil secara patut, sedangkan tergugat hadir, maka
untuk kepentingan tergugat yang sudah mengorbankan waktu dan
mungkin juga uang, putusan haruslah diucapkan. Dalam hal ini gugatan
penggugat dinyatakan gugur dan dihukum untuk membayar ongkos
perkara.
6) Gugatan dibatalkan Apabila penggugat sudah pernah hadir dalam sidang
pengadilan, kemudian pada sidang-sidang selanjutnya tidak pernah hadir
lagi, maka panitera berkewajiban untuk memberitahukan kepada
penggugat agar ia hadir dalam sidang dan membayar ongkos perkara
tambahan sesuai dengan yang ditetapkan. Apabila dalam tempo satu
bulan sejak tanggal pemberitahuan itu penggugat tidak juga hadir untuk
menghadap sidang dan membayar tambahan biaya perkara, maka
gugatannya dinyatakan dibatalkan.
7) Gugatan dihentikan Penghentian gugatan disebabkan karena adanya
perselisihan kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri. Kalau terjadi hal seperti ini, maka baik Pengadilan
Agama maupun Pengadilan Negeri harus menghentikan pemeriksaan
tersebut dan kedua badan peradila itu hendaknya menirim berkas perkara
ke Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk ditetapkan siapa yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

c. Dilihat dari segi sifatnya :114


1) Putusan declaratoir

Putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan atau


menerangkan keadaan atau status hukum. Putusan declaratoir biasanya
bersifat menetapkan saja tentang keadaan hukum, tidak bersifat
mengadili karena tidak ada sengekta. Fungsinya sebagai penegas dari
suatu keadaan yang sudah ada, atau keadaan yang sudak tidak ada.
Misalnya pernyataan adanya hubungan suami istri dalam perkara

114
Dr. Sudirman L., M.H. Hukum Acara Peradilan Agama, (IAIN Parepare Nusantara
Press,2021) h.114-115

12
7
perceraian yang perkainannya tidak tercatat pada Pegawai Pencatat
Nikah Setempat.

2) Putusan constitutif

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu


keadaan hukum danmenimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
Putusan constitutif biasanya tidak diperlukan pelaksanaan dengan
paksaan karena dengan diucapkannya putusan itu sekaligus keadaan
hukum yang lama terhenti dan timbul keadaan hukum baru. Misalnya
putusan perceraian semula terikat dalam perkawinan menjadi
perkawinannya putus karena perceraian.

3) Putusan condemnatoir

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum


kepada salah satu pihak yang kalah untuk memenuhi suatu kewajiban
atau prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Misalnya menghukum tergugat
untuk menyerahkan tanah dan bangunan untuk dibagi waris.

d. Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan,
putusan dibagi sebagai berikut:
1) Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah
hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon
putusan. Putusan gugur dijatuhkan pada siding pertama atau sesudahnya
sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan. Putusan gugur dapat
dijatuhkan apabila telah memenuhi syarat:
a) Penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir
dalam sidang hari itu
b) Penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam siding tersebut, dan
tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir,serta ketidak
hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
c) Tergugat/termohon hadir dalam sidang
d) Tergugat/termohon mohon keputusan

12
8
Dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir
semua, maka dapat pula diputus gugur. Dalam putusan gugur,
penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara.Tahapan putusan
ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi.

2) Keputusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/


termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi,
sedang penggugat hadir dan mohon putusan.Verstek artinya tergugat
tidak hadir. Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau
sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan
jawaban tergugat,sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum
hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan
patut.Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat:
a) Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang
hari itu
b) Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula
mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu
karena suatu halangan yang sah
c) Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
d) Penggugat hadir dalam sidang
e) Penggugat mohon keputusan
Dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir
semua,maka dapat pula diputus verstek. Putusan verstek hanya bernilai
secara formil surat gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran
dalil-dalil tergugat. Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan
hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat,
sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus
dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara
perceraian
Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka
putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan
verstek. Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan

12
9
perlawanan (verzet). Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum
ia menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang
banding.Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan
banding. Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak
boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan
banding. Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib
membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang
cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek.
Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek
menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya.
Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat). Apabila
perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil
pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan
putusan verstek dan menolak gugatan penggugat. Tetapi bila perlawanan
itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan
menguatkan verstek. Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan
banding. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula
dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3) Keputusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para
pihak. Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik
penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap
putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.115

C. Kekuatan hukum putusan


Putusan pengadilan memiliki tiga kekuatan, yaitu sebagai berikut:116
1. Kekuatan mengikat

115
DR.Yulia,S.H,M.H ,Hukum Acara Perdata,(Unimal Press,2018) h.83-84
116
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika,2009), hlm. 122

13
0
Putusan hakim mengikat para pihak yang berperkara dan
kekuatan mengikat suatu putusan yang ada yang dalam arti positif dan
dalam arti negatif. Dalam arti positif yaitu bahwa yang telah diputus
hakim harus dianggap benar (res judicato pro veritate habetur). Dalam
arti negatif yaitu bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang
sama, popok perkara yang sama dan pihak yang sama (nebis in idem).
2. Kekuatan pembuktian
Putusan harus dibuat secara tertulis, tujuannya untuk dapat
dipergunakan sebagai alat bukti oleh para pihak, yang mungkin
dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi, atau juga untuk
eksekusi.117 Putusan hakim telah memperoleh kepastian hukum, bukti
kebenaran hukum dan mempunyai kekuatan hukam tetap serta dapat
dijadikan bukti dalam sengketa perdata yang sama.
3. Kekuatan eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kekuatan mengikat
saja dari suatu putusan pengadilan belum cukup dan tidak berarti apabila
putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena putusan
itu memetapkan dengan tegas hak dan hukumnya untuk kemudian
direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial.118Kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan
putusan peradilan itu secara paksa oleh aparat negara (executorial e
kracht,executorial power).
putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende
(innsufficien judgement). alasan-alasan hukum yang menjadi dasar
pertimbangan betitik tolak dari ketentuan:pasal-pasal tertentu peraturan
perundang-undangan,
hukum kebiasaan,
yurisprudensi,atau

117
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 310
118
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2009),
hlm. 221

13
1
doktrin hukum.
hal ini ditegaskan dalam pasal 23 yang UU No.14 Tahun
1970,sebagaimanaa diubah dengan UU No.3 Tahun 1999 sekarang
dalam Pasal 25 ayat (l) uu No.4 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa
segala putusan Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan
tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau
berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin
hukum. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena
jabatannyaatau secara ex officio, wajib mencukupkan segala alasan
hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang beperkara.
Untuk memenuhi kewajiban itu, Pasal 27 ayat(1) UU No.14
Tahun 1970,sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999,
sekarang dalam Pasal 28ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 memerintahkan
hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.Menurut penjelasan pasal ini, hakim berperan dan
bertindak sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di
kalangan masyarakat.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal-pasal yang dikemukakan di
atas,putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis.
Akibatnya,putusan yang seperti itu, dapat dibatalkan pada tingkat
banding atau kasasi.Hal itu ditegaskan dalam Putusan MA No.443
K/Pdt/1986.' Dalam perkara ini penggugat dalam dalil gugatan
mengatakan utang tergugat Rp13.134.312,00tambah bunga. Akan tetapi,
Pengadilan dalam putusannya menetapkan utangtergugat sebesar
Rp14.300.000,0 tanpa disertai pertimbangan dan alasan-
alasanhukum,mengapa jumlahnya demikian.
Padahal setelah Majelis kasasi meneliti surat pernyataan
tergugat,suratmana tidak dibantah tergugat, berarti tergugat
mengakui,bahwa jumlahutangnya sebesar Rp21.132.230,00 yang terdiri
dari utang pokok dan bunga.Demikian juga putusan MA No.2461

13
2
K/Pdt/1984, Judex facti dianggap salah menerapkan hukum,dan
sekaligus putusan yang dijatuhkan dinyatakan

D. Unsur-unsur
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal- hal
sebagai berikut:119
1) Kepala putusan
Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi “Putusan”,
kemudian diikuti dibawahnya dengan nomor putusan yang diambil dari
nomor
perkara, lalu dilanjutkan dengan kalimat“Bismillahirrahmanirrahim”
sesuai dengan pasal 57 ayat 2 UU No. 7 tahun 1989. Kemudian
dilanjutkan dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa”.
2) Nama pengadilan dan jenis perkara
Pengadilan Agama mana yang memeriksa perkara misalnya
Pengadilan Agama Surakarta yang memeriksa perkara gugat cerai pada
pengadilan tingkat pertama.
3) Identitas para pihak
Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama, alamat,
umur, agama, dan dipertegas dengan status para pihak sebagai penggugat
dan tergugat.
4) Duduk perkara Memuat tentang:
a. Uraian lengkap isi gugatan .
b. Pernyataan sidang dihadiri para pihak.
c. Pernyataan upaya perdamaian.
d. Uraian jawaban tergugat.
e. Uraian replik.
f. Uraian duplik.
g. Uraian kesimpulan para pihak.
h. Pembuktian para pihak.
119
Dr. Sudirman L., M.H. Hukum Acara Peradilan Agama, (IAIN Parepare Nusantara
Press,2021) h.111-114

13
3
5) Pertimbangan hukum
Putusan hakim juga harus memberikan pertimbangan hukum
terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan hukum biasanya
dimulai dengan kata-kata “Menimbang … dan seterusnya”. Dalam
pertimbangan hukum hakim mempertimbangkan peristiwa, dalil gugatan,
bantahan, eksepsi tergugat, pasal-pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis, serta
dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada. Setelah itu hakim menarik
kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya gugatan itu.
6) Amar putusan
Amar putusan merupakan isi dari putusan itu sendiri dan jawaban
petitum dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat. Amar
putusan dimulai dengan kata “Mengadili” kemudian diikuti petitum
berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal- hal yang
dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima. Para hakim
dalam menyusun amar putusan haruslah memperhatikan hal-hal berikut:
a. Harus bersifat tegas dan lugas.
b. Terperinci dan jelas maksudnya (tidak samarsamar).
c. Memperhatikan sifat dari putusan yang akan dijatuhkan apakah
konstitutif, deklaratoir atau condemnatoir.
d. Ditulis secara ringkas, padat, dan terang.61
7) Penutup
Memuat kapan putusan dijatuhkan dan dibacakan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum, majelis hakim yang memeriksa,
panitera yang membantu, kehadiran para pihak dalam pembacaan
putusan. Putusan ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera yang
ikut sidang dan pada akhir putusan dimuat perincian biaya perkara.

13
4
2. PENETAPAN

A. Pengertian

Penetapan disebut al-Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda) yaitu


yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya
yang diistilahkan jurisdicto voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang
sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu sedangkan ia tidak perkara dengan lawan.Dalam
literature lain penetapan adalah salah satu produk Pengadilan Agama dalam
memeriksa,mengadili, dan menyelesaikan perkara. Penetapan merupakan
keputusan atas perkara permohonan. Penetapan bertujuan untuk menetapkan
suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon. Amar putusan dalam
penetapan bersifat declaratoir yaitu menetapkan atau menerangkan saja.
Penetapan mengikat pada diri pemohon dan penetapan tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial.120

B. Kekuatan hukum penetapan

Putusan volunter hanya mempunyai kekuatan hukum sepihak, pihak lain


tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kebenaran hal-hal yang dideklarasikan
dalam putusan volunter, karena itu pula maka putusan volunteer tidak

120
Dr. Sudirman L., M.H. Hukum Acara Peradilan Agama, (IAIN Parepare Nusantara
Press,2021) h.120

13
5
mempunyai kekuatan hukum sebagai pembuktian.121 Penetapan mengikat pada
diri pemohon dan penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.122

C. Unsur-unsur

Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan bentuk dan isi putusan namun
terdapat sedikit perbedaan yaitu:123

a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat


identitas termohon.Kalaupun dimuat identitas termohon akan tetapi
termohon bukanlah pihak.
b. Tidak akan ditemui kata-kata “Berlawanan Dengan”seperti pada putusan.
c. Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang Duduknya Perkara” seperti pada
putusan melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
d. Amar penetapan bersifat declaratoire atau constitutoire.
e. Kalau ada putusan didahului kata-kata “Memutuskan” maka pada penetapan
dengan kata “Menetapkan”.
f. Biaya perkara selalu ditanggung oleh pemohon sedangkan pada putusan
dibebankan kepada salah satu pihak yang kalah atau ditanggung bersama-
sama oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan
tetap selalu kepada penggugat atau pemohon.
g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau
vrijwaring.

D. Teori dan Dasar Hukum Penetapan Pengadilan

Dalam hal tidak ada perselisihan dan dalam hal pemohon tidak mohon
putusan atau keadilan dari hakim, namun hanya mohon penetapan saja maka
121
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika,
2009), hlm. 123
122
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat
dalam Praktik
Hukum Acara di Peradilan Agama,(Bandung: CV Madar Maju, 2018), hlm. 161
123
Dr. Sudirman L., M.H. Hukum Acara Peradilan Agama, (IAIN Parepare Nusantara
Press,2021) h.121

13
6
perkara disebut sebagai perkara permohonan. Jika ada dua pihak yang
bersengketa dan para pihak mohon putusan maka disebut sebagai perkara
gugatan (Hatta &Yustanti, 2013: 4). Pemeriksaan untuk perkara permohonan
sangat singkat, sedangkan dalam perkara gugatan dilakukan pemeriksaan dan
pembuktian yang detail dan lengkap. Khususnya dalam hukum acara perdata
bahwa hakim harus mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem).
Hakim tidak boleh mendengar keterangan dari salah satu pihak sebagai yang
benar sehingga pihak lawan tidak diberi kesempatan mengeluarkan pendapat
serta tidak didengar. Dalam hal memeriksa perkara perdata hakim harus
mendengar dan mempertimbangkan keterangan kedua belah pihak yang
bersengketa dan mengajukan alat bukti harus di depan sidang yang dihadiri
kedua belah pihak (Chandera & Tjandra, 2012: 4).

Penetapan adalah putusan yang berisi diktum penyelesaian permohonan


yang dituangkan dalam bentuk ketetapan pengadilan. Sifat dari penetapan
pengadilan adalah sebagai berikut:

a. Diktum bersifat deklaratoir, yakni hanya berisi penegasan pernyataan atau


deklarasi hukum tentang hal yang diminta;
b. Pada penetapan pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir
(yang mengandung hukuman) terhadap siapapun;
c. Pada penetapan diktum tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang
menciptakan suatu keadaan baru (Harahap, 2014: 40). Penetapan pengadilan
dapat dipersamakan dengan putusan pengadilan pada tingkat pertama dan
terakhir. Sesuai dengan doktrin dan praktik yang berlaku bahwa penetapan
yang dijatuhkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair
pada umumnya dapat dipersamakan dengan putusan pada tingkat pertama
dan terakhir.

Penetapan pengadilan yang dapat memberikan kepastian hukum haruslah


bersifat: (1) melakukan solusi autoritatif; (2) efisiensi, artinya dalam prosesnya
harus cepat, murah, dan biaya ringan; (3) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; (4) mengandung aspek stabilitas, yaitu dapat memberikan rasa tertib

13
7
dan rasa aman dalam masyarakat; dan (5) mengadung equality, artinya
mengandung kesamaan bagi siapa saja (Wantu, 2012: 483).

Bahwa penetapan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh pengadilan


merupakan produk yang diterbitkan oleh hakim dalam menyelesaikan masalah
yang diajukan kepadanya sehingga dengan sendirinya penetapan tersebut
merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 huruf b Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Setiawan, 2012: 399).

Apabila selama proses permohonan penetapan, pihak yang merasa dirugikan


dapat mengajukan perlawanan, dalam hal ini perlawanan bermanfaat untuk
menghindari penetapan yang keliru sehingga bagi pihak yang dirugikan dapat
mengajukan perlawanan (derden verzet). yang bersifat quasi derden verset
selama proses permohonan penetapan berlangsung. Dalam hal ini pelawan
meminta agar permohonan ditolak serta perkara diselesaikan secara contradictoir
(Elmiyah & Sujadi, 2005: 335).

SITA DAN PENYITAAN

A. Pengertian Sita
Sita merupakan salah satu tahapan atau prosedur yang dilakukan oleh pihak yang
berkepentingan untuk menyita atau mengamankan barang tertentu yang menjadi objek
sengketa dalam suatu perkara perdata. Sita dilakukan untuk melindungi hak dan
kepentingan pihak yang mengajukan sita tersebut, serta untuk mencegah pihak lain
untuk menggunakan atau mengalihkan barang tersebut selama proses perkara
berlangsung.

Sita dalam hukum acara perdata dapat dilakukan atas berbagai jenis barang, seperti
tanah, bangunan, kendaraan bermotor, peralatan, inventaris, dan aset lainnya yang dapat
dieksekusi oleh pihak berwenang. Tujuan dari sita adalah untuk memastikan bahwa
barang yang menjadi objek sengketa tidak hilang, rusak, atau dialihkan secara tidak sah
oleh pihak yang mungkin berupaya menghindari pelaksanaan putusan pengadilan.

Prosedur sita dalam hukum acara perdata umumnya melibatkan pengajuan permohonan
kepada pengadilan oleh pihak yang berkepentingan, yang kemudian diikuti dengan
penetapan pengadilan yang mengizinkan sita dilakukan. Setelah sita dilaksanakan,
barang yang disita akan ditempatkan di bawah kendali pengadilan atau pihak yang

13
8
ditunjuk oleh pengadilan. Barang tersebut kemudian akan tetap berada di bawah sita
hingga ada putusan pengadilan yang menentukan nasib barang tersebut, seperti
pengembalian kepada pemilik sah atau pengalihan kepemilikan kepada pihak yang
berhak.

Sita dalam hukum acara perdata merupakan instrumen yang digunakan untuk
melindungi hak dan kepentingan pihak yang bersengketa, serta untuk menjaga kepastian
hukum dalam penyelesaian perkara perdata.124

sita merujuk pada tindakan hukum di mana harta benda seseorang atau entitas diambil
alih secara paksa oleh pihak berwenang untuk tujuan pelaksanaan putusan pengadilan
atau pemenuhan klaim hukum yang sah. Sita dilakukan dalam rangka memastikan
bahwa harta benda tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban atau putusan
yang ada.

Proses sita biasanya melibatkan pengambilan fisik atau pengendalian terhadap harta
benda oleh pihak yang berwenang, seperti pengadilan atau penasihat hukum yang
ditunjuk oleh pengadilan. Harta benda yang dapat disita termasuk tetapi tidak terbatas
pada uang tunai, kendaraan bermotor, properti, rekening bank, atau aset berharga
lainnya.

Sita dalam hukum acara perdata sering kali dilakukan sebagai langkah praeksekusi atau
sebagai upaya untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam beberapa kasus,
sita juga dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan untuk mencegah hilangnya atau
dilanggarnya hak-hak hukum tertentu.

Pihak yang terkena sita biasanya diberikan pemberitahuan dan kesempatan untuk
memberikan tanggapan atau melakukan pembelaan dalam hal tersebut. Situasi dan
prosedur yang terkait dengan sita dapat berbeda-beda tergantung pada yurisdiksi hukum
yang berlaku, sehingga disarankan untuk memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku
di wilayah hukum yang relevan.

Adapun pengertian lain yang mencangkup dari sita dan penyitaan sebagai berikut

1. Tindakan hukum
Dalam Tindakan hukum sita merujuk pada proses hukum dimana properti atau aset
seseorang disita oleh pihak berwenang sebagai bagian dari penegakan hukum atau
eksekusi putusan pengadilan .
Sita bisa terjadi saat penyelidikan atau penuntutan terhadap seseorang yang diduga
melakukan tindakan kriminal. Misalnya, jika seseorang diduga terlibat dalam
perdagangan narkotika, pihak penegak hukum dapat menyita barang bukti berupa

124
M.yahya harahap, hukum acara perdata:Tentang Sita Penyitaan ,Jakarta:Sinar Grafika,2007,h 167

13
9
narkotika, uang tunai, kendaraan, atau properti lain yang digunakan dalam atau hasil
dari kegiatan ilegal tersebut.
Dalam konteks hukum perdata, sita dapat terjadi sebagai bagian dari upaya untuk
menyelesaikan sengketa atau melaksanakan putusan pengadilan. Misalnya, jika
seseorang gagal membayar hutang kepada kreditur, kreditur dapat mengajukan gugatan
dan meminta pengadilan untuk mengeluarkan perintah sita terhadap properti atau aset
debitor sebagai jaminan untuk memastikan pembayaran hutang.125
Pelanggaran peraturan tertentu, seperti pajak yang tidak dibayar atau tunggakan pajak,
juga dapat menyebabkan pihak berwenang menyita properti atau aset sebagai penegakan
hukum. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk menyita
harta benda tertentu yang dimiliki oleh individu atau perusahaan yang memiliki
kewajiban pajak yang belum terpenuhi.
Proses sita biasanya melibatkan tindakan hukum yang meliputi pemberitahuan kepada
pihak yang terkena dampak, persidangan, dan perintah pengadilan yang memungkinkan
penyitaan properti atau aset tersebut. Setelah sita dilakukan, properti atau aset tersebut
bisa ditarik atau dilelang untuk memenuhi keperluan hukum yang relevan, seperti
membayar ganti rugi kepada korban, memenuhi kewajiban finansial, atau melaksanakan
putusan pengadilan

2. Tindakan hakim
Tindakan hakim dalam sita dapat mencakup beberapa langkah yang diambil oleh hakim
dalam konteks proses hukum sita. Berikut ini adalah beberapa tindakan yang mungkin
diambil oleh hakim:
 Perintah Sita: Hakim dapat mengeluarkan perintah sita berdasarkan permohonan
dari pihak yang berkepentingan, seperti penuntut umum, kreditur, atau pihak yang
mengajukan gugatan. Perintah sita merupakan perintah resmi yang memberi
wewenang kepada pihak berwenang untuk menyita properti atau aset yang terkait
dengan kasus tersebut.
 Pemeriksaan Bukti: Hakim dapat memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh pihak
yang berkepentingan untuk memastikan adanya cukup alasan untuk melakukan
sita. Hakim akan mengevaluasi argumen hukum dan mempertimbangkan

125
Abdul manan,Penerapan hukum acara perdata ,Jakarta:Kencana,2008,h. 76

14
0
kelayakan serta keabsahan bukti yang diajukan sebelum mengeluarkan perintah
sita.
 Pemberitahuan dan Persidangan: Hakim akan memastikan bahwa pihak yang
terkena dampak dari sita diberi pemberitahuan yang memadai tentang proses
hukum tersebut. Hal ini memberi kesempatan kepada pihak tersebut untuk
memberikan tanggapan atau melakukan pembelaan terhadap sita yang diajukan.
Hakim juga dapat mengadakan persidangan untuk mendengarkan argumen dari
kedua belah pihak sebelum membuat keputusan akhir.
 Penentuan Properti yang Akan Disita: Hakim juga dapat terlibat dalam penentuan
properti atau aset yang akan disita. Hal ini dapat melibatkan penilaian terhadap
nilai properti dan pertimbangan lainnya, seperti kepentingan publik, hak-hak
pihak lain, dan keadilan dalam menentukan properti yang akan disita.
 Pelaksanaan Sitasi: Hakim dapat memerintahkan pihak berwenang, seperti
penegak hukum atau petugas pengadilan, untuk melaksanakan sita sesuai dengan
perintah pengadilan. Mereka bertanggung jawab untuk melaksanakan proses sita
dengan mengambil properti atau aset yang ditentukan oleh hakim.
Tindakan hakim dalam sita akan bervariasi tergantung pada yurisdiksi hukum dan jenis
kasus yang sedang dipertimbangkan. Pada dasarnya, hakim bertindak sebagai otoritas
yang memastikan bahwa proses sita dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan
memastikan perlindungan hak-hak semua pihak yang terlibat.126

3. Bersifat eksepsional
Sifat eksepsional adalah istilah hukum yang mengacu pada situasi di mana sita
dilakukan dalam keadaan yang di luar kebiasaan atau dilakukan dalam keadaan darurat.
Berikut adalah beberapa sifat eksepsional yang mungkin terkait dengan sita:
 Situasi Darurat: Sita eksepsional dapat terjadi dalam keadaan darurat, di mana ada
ancaman serius terhadap kepentingan publik atau keamanan masyarakat. Contoh
situasi darurat yang mungkin memicu sita eksepsional adalah dalam kasus
bencana alam, penyalahgunaan narkoba massal, atau kegiatan teroris yang
mengancam kehidupan orang banyak.

126
Riduan Syahroni, op.cit,h. 219

14
1
 Sita Tanpa Pemberitahuan: Dalam keadaan tertentu, sita dapat dilakukan tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak yang terkena dampak. Hal ini
biasanya terjadi jika pengungkapan pemberitahuan sebelumnya dapat
membahayakan tujuan dari sita tersebut, seperti dalam kasus-kasus di mana ada
risiko penghilangan barang bukti atau pelarian pelaku.
 Perlindungan Korban: Sita eksepsional juga dapat dilakukan untuk melindungi
korban atau mencegah kerugian lebih lanjut. Misalnya, jika seseorang
dikhawatirkan akan melakukan kekerasan fisik terhadap orang lain atau
melanjutkan tindakan kriminal yang merugikan korban, sita dapat dilakukan untuk
mengamankan situasi dan melindungi kepentingan korban.
 Situasi Berbahaya: Sita eksepsional juga dapat terjadi jika ada risiko bahaya yang
nyata terhadap properti atau aset yang akan disita. Misalnya, jika ada risiko
kebakaran, kerusakan struktural, atau risiko kesehatan yang serius terkait dengan
properti tersebut, sita dapat dilakukan untuk mencegah bahaya tersebut.
 Penegakan Hukum yang Mendesak: Sita eksepsional dapat dilakukan jika ada
kebutuhan mendesak untuk penegakan hukum, terutama jika ada risiko hilangnya
bukti atau kegagalan menegakkan hukum secara efektif. Ini terutama berlaku
dalam kasus-kasus di mana ada dugaan serius terhadap kegiatan kriminal yang
memerlukan tindakan cepat untuk mencegah kejahatan lebih lanjut.127
Penting untuk dicatat bahwa sita eksepsional biasanya memerlukan pembenaran yang
kuat dan harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia serta
batasan hukum yang berlaku. Pada umumnya, sifat eksepsional dalam sita hanya dapat
diterapkan dalam keadaan yang benar-benar membutuhkan tindakan yang di luar
kebiasaan guna melindungi kepentingan publik atau mencegah ancaman serius.

4. Adanya permohonan dari pihak bersengketa


Permohonan sengketa dalam sita mengacu pada proses di mana pihak yang terkena
dampak oleh sita properti atau aset dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
atau otoritas yang berwenang untuk menyengketakan sita tersebut.

127
Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata Dalam Teori Praktek , Bandung:Mandar Maju, 1989
h. 90

14
2
Permohonan sengketa bertujuan untuk mempertanyakan legalitas, keabsahan, atau
keadilan dari sita yang dilakukan terhadap properti atau aset mereka. Berikut adalah
langkah-langkah umum yang terkait dengan permohonan sengketa dalam sita:128
 Konsultasikan dengan Ahli Hukum: Jika seseorang merasa bahwa sita yang
dilakukan terhadap properti atau aset mereka tidak sah atau tidak adil, langkah
pertama yang disarankan adalah berkonsultasi dengan ahli hukum. Ahli hukum
akan memberikan nasihat hukum yang sesuai dan membantu dalam proses
permohonan sengketa.
 Persiapkan Dokumen-dokumen Pendukung: Pihak yang mengajukan
permohonan sengketa harus mempersiapkan dokumen-dokumen yang
mendukung argumen mereka. Dokumen-dokumen ini dapat berupa bukti
kepemilikan, kontrak, perjanjian, atau dokumen lain yang relevan untuk
menunjukkan alasan mengapa sita tersebut harus disengketakan.
 Ajukan Permohonan Sengketa: Dalam hal ini, pihak yang terkena dampak
harus mengajukan permohonan sengketa kepada pengadilan atau otoritas yang
berwenang yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Permohonan sengketa
harus berisi argumen hukum yang jelas dan rinci yang menjelaskan alasan
mengapa sita tersebut harus dicabut atau dimodifikasi.
 Persidangan dan Penyelesaian: Setelah permohonan sengketa diajukan, proses
persidangan akan dimulai di mana pihak yang mengajukan permohonan dan
pihak yang menyita dapat menyampaikan argumen dan bukti mereka.
Pengadilan atau otoritas yang berwenang akan mempertimbangkan argumen
dan bukti yang diajukan dan membuat keputusan berdasarkan hukum yang
berlaku.
 Banding atau Upaya Hukum Lainnya: Jika hasil persidangan tidak memuaskan
bagi pihak yang mengajukan permohonan sengketa, mereka dapat
mempertimbangkan untuk mengajukan banding atau melibatkan upaya hukum
lainnya, seperti mengajukan peninjauan kembali atau meminta intervensi dari
instansi atau lembaga hukum yang relevan.
Proses permohonan sengketa dalam sita akan bervariasi tergantung pada yurisdiksi
hukum yang berlaku dan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Penting untuk

128
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta:1993, h.70

14
3
mencari nasihat hukum yang kompeten untuk memastikan bahwa langkah-langkah
yang diambil sesuai dengan hukum yang berlaku dan prosedur yang berlaku.

5. Mengamankan barang-barang sengketa


Untuk mengamankan barang yang menjadi sengketa sitaan, beberapa langkah dapat
diambil untuk memastikan keamanan dan integritas barang tersebut. Berikut ini adalah
beberapa tindakan yang bisa dilakukan:129
 Penyimpanan yang Aman: Pastikan barang yang disita disimpan di tempat
yang aman dan terkendali. Hal ini bisa dilakukan dengan menyimpan barang di
gudang penyimpanan yang memiliki sistem keamanan yang baik, seperti
pengamanan fisik, pengawasan, dan pengendalian akses yang ketat.
 Penandaan dan Inventarisasi: Setiap barang yang disita harus ditandai secara
jelas dan dicatat dalam inventaris. Tandai barang dengan label yang
menyebutkan nomor kasus, nama pihak terkait, dan deskripsi barang yang
jelas. Buat catatan yang rinci tentang barang yang disita, termasuk kondisi,
nilai, dan informasi penting lainnya.
 Pembatasan Akses: Batasi akses terhadap barang yang disita hanya kepada
pihak yang berwenang. Tentukan siapa yang memiliki izin untuk mengakses
barang tersebut, seperti petugas penegak hukum, pihak berwenang, atau
pengawas penyimpanan. Ini akan membantu mencegah manipulasi, kerusakan,
atau pencurian barang yang disita.
 Pengamanan Fisik: Jika diperlukan, pertimbangkan untuk menggunakan
metode pengamanan fisik tambahan, seperti kunci ganda, gembok, sistem
pengawasan CCTV, atau sistem pengamanan elektronik lainnya. Hal ini akan
memberikan lapisan keamanan tambahan untuk melindungi barang dari akses
yang tidak sah atau kegiatan yang merusak.
 Pengawasan Rutin: Lakukan pengawasan rutin terhadap barang yang disita
untuk memastikan keamanan dan integritasnya. Hal ini dapat mencakup
pemeriksaan fisik, pencocokan inventaris, dan pemantauan secara berkala
untuk memastikan bahwa barang tetap dalam kondisi yang sama seperti saat
disita.

129
Ibid h. 48

14
4
 Jaminan Asuransi: Pertimbangkan untuk mengasuransikan barang yang disita
agar terlindungi dari risiko kerusakan, kehilangan, atau pencurian. Dengan
memiliki jaminan asuransi yang memadai, pihak yang bertanggung jawab atas
barang dapat melindungi kepentingan mereka dalam hal kerugian atau
kerusakan yang tidak terduga.
Setiap langkah yang diambil harus sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku
dalam yurisdiksi hukum yang relevan. Dalam situasi sengketa sitaan, penting untuk
memastikan bahwa barang tetap aman dan terlindungi sepanjang proses hukum
yang berlangsung.

B. Jenis Jenis Sita Dan Unsur Unsur


1. Jenis Jenis Sita
Ada beberapa jenis sita yang dapat dilakukan dalam konteks hukum sebagai berikut 130:
 Sita Barang Bukti: Jenis sita ini dilakukan untuk menyita barang atau benda
yang merupakan bukti dalam suatu kasus pidana. Barang bukti tersebut dapat
berupa senjata, narkotika, dokumen, uang, atau benda lain yang relevan dengan
kasus yang sedang diselidiki atau diproses.
 Sita Aset Keuangan: Jenis sita ini dilakukan untuk menyita aset keuangan,
seperti uang tunai, rekening bank, investasi, atau aset finansial lainnya. Sita aset
keuangan ini dapat dilakukan sebagai langkah untuk mengamankan dana yang
diduga berasal dari kegiatan ilegal atau untuk memastikan pemulihan kerugian
bagi pihak yang berhak.
 Sita Properti: Sita properti dilakukan untuk menyita properti fisik, seperti tanah,
rumah, kendaraan, atau barang berharga lainnya. Sita properti dapat dilakukan
dalam konteks kasus perdata, hukum keluarga, hukum pajak, atau dalam rangka
melaksanakan putusan pengadilan.
 Sita Pemilik Bisnis atau Usaha: Jenis sita ini dilakukan untuk menyita
kepemilikan atau kendali atas bisnis atau usaha yang terkait dengan kasus
hukum. Misalnya, dalam kasus kegiatan ilegal atau pelanggaran peraturan
perdagangan, otoritas dapat menyita bisnis atau usaha yang terlibat dalam
kegiatan ilegal tersebut.

130
Ibid h.50

14
5
 Sita Jaminan: Sita jaminan adalah jenis sita yang dilakukan untuk menyita aset
yang digunakan sebagai jaminan atau jaminan untuk pinjaman atau kewajiban
keuangan lainnya. Jika pihak yang memberikan jaminan gagal memenuhi
kewajiban mereka, kreditur atau pihak berwenang dapat menyita aset tersebut
sebagai jaminan pembayaran.
 Sita Gaji: Jenis sita ini dilakukan untuk menyita sebagian dari gaji atau
pendapatan seseorang sebagai bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan atau
untuk membayar hutang atau kewajiban keuangan lainnya.
Perlu diperhatikan bahwa jenis sita yang dapat dilakukan dapat bervariasi tergantung
pada yurisdiksi hukum yang berlaku dan jenis kasus yang sedang diproses. Prosedur dan
persyaratan yang terkait dengan setiap jenis sita juga dapat berbeda.

2. Unsur Unsur Sita


Dalam proses sita dan penyitaan, terdapat beberapa unsur yang umumnya terkait dengan
prosedur tersebut. Berikut ini adalah unsur-unsur yang mungkin terlibat dalam sita dan
penyitaan131:
 Dasar Hukum: Sita dan penyitaan harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas
dan sah. Dasar hukum ini dapat berupa undang-undang, peraturan, atau
keputusan pengadilan yang memungkinkan otoritas atau pihak yang berwenang
untuk melakukan sita atau penyitaan.
 Keputusan Pengadilan atau Perintah: Dalam beberapa kasus, sita atau penyitaan
memerlukan keputusan pengadilan atau perintah yang dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang. Keputusan atau perintah ini menetapkan bahwa sita atau
penyitaan diperlukan dalam rangka pelaksanaan hukum yang berlaku.
 Pemberitahuan atau Pemberitahuan Terlebih Dahulu: Pihak yang akan disita
atau barang yang akan disita biasanya memiliki hak untuk diberitahukan terlebih
dahulu tentang proses sita atau penyitaan. Pemberitahuan ini memberikan
kesempatan bagi pihak yang terkena dampak untuk mengajukan sengketa atau
memberikan tanggapan terhadap tindakan tersebut.
 Otoritas atau Pihak yang Melaksanakan: Ada pihak atau otoritas yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan sita atau penyitaan. Ini bisa berupa

131
Ibid h.67

14
6
petugas penegak hukum, otoritas pajak, otoritas pengadilan, atau pihak yang
ditunjuk secara khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
 Prosedur Pelaksanaan: Terdapat prosedur yang harus diikuti dalam pelaksanaan
sita atau penyitaan. Prosedur ini mencakup langkah-langkah seperti pemeriksaan
fisik barang, pencatatan inventaris, pembuatan laporan, atau tindakan lain yang
relevan sesuai dengan kebutuhan dan jenis sita yang dilakukan.
 Pemeliharaan Barang Sitahan: Barang yang disita atau disita harus dijaga dan
dipelihara dengan baik selama proses sita atau penyitaan. Ini termasuk tindakan
untuk mencegah kerusakan, manipulasi, atau pencurian barang, serta untuk
memastikan integritas barang selama berlangsungnya proses hukum.
 Penyelesaian Sengketa: Jika ada sengketa terkait dengan sita atau penyitaan, ada
mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ini dapat
melibatkan pengajuan permohonan sengketa ke pengadilan, negosiasi antara
pihak-pihak yang terlibat, atau upaya alternatif lainnya untuk mencapai
penyelesaian yang adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Perlu dicatat bahwa unsur-unsur ini dapat berbeda-beda tergantung pada yurisdiksi
hukum yang berlaku dan jenis sita atau penyitaan yang dilakukan. Adapun rincian
prosedur dan persyaratan

C. DASAR HUKUM SITA


Dasar hukum untuk sita dapat berbeda-beda tergantung pada yurisdiksi hukum yang
berlaku dan jenis sita yang dilakukan. Berikut ini adalah beberapa dasar hukum umum
yang sering digunakan untuk melakukan sita132:
 Undang-Undang Kepailitan: Dalam kasus kepailitan atau insolvensi, undang-
undang kepailitan memberikan dasar hukum untuk melakukan sita terhadap aset
debitor yang dianggap sebagai bagian dari masa pailit. Tujuan sita dalam
konteks ini adalah untuk mengamankan aset debitor agar dapat digunakan untuk
memenuhi klaim para kreditor.
 Undang-Undang Pidana: Dalam kasus tindak pidana, undang-undang pidana
dapat memberikan dasar hukum untuk melakukan sita sebagai bagian dari
penyelidikan atau penuntutan. Barang bukti yang relevan dengan kasus pidana,

132
Ibid h.70

14
7
seperti senjata, narkotika, atau barang curian, dapat disita untuk mendukung
proses hukum.
 Undang-Undang Perdata: Undang-undang perdata menyediakan dasar hukum
untuk melakukan sita dalam kasus perdata. Misalnya, dalam kasus pelanggaran
kontrak atau penyelesaian sengketa keuangan, undang-undang perdata dapat
memungkinkan sita properti atau aset keuangan untuk menjamin pemenuhan hak
dan kewajiban pihak-pihak terkait.
 Undang-Undang Pajak: Undang-undang pajak memberikan dasar hukum untuk
melakukan sita terhadap properti atau aset sebagai langkah penagihan pajak
yang belum dibayar. Otoritas pajak dapat melakukan sita untuk mengamankan
pembayaran pajak yang jatuh tempo atau untuk mengeksekusi putusan pajak
yang telah dikeluarkan.
 Putusan Pengadilan: Dasar hukum untuk sita juga dapat berasal dari putusan
pengadilan. Jika pengadilan mengeluarkan perintah untuk melakukan sita
sebagai bagian dari proses peradilan atau pelaksanaan putusan, pihak yang
berwenang dapat melaksanakan sita berdasarkan perintah tersebut.
Penting untuk mencatat bahwa setiap yurisdiksi memiliki undang-undang dan peraturan
yang berbeda yang mengatur sita. Oleh karena itu, untuk mengetahui dasar hukum yang
spesifik untuk sita dalam suatu yurisdiksi, penting untuk merujuk pada undang-undang,
peraturan, dan putusan pengadilan yang berlaku di wilayah tersebut.

D. Makna Sita/Penyitaan
Makna sita secara umum mengacu pada tindakan mengambil alih atau mengamankan
sesuatu dengan paksa atau melalui perintah hukum. Istilah ini digunakan dalam berbagai
konteks, termasuk hukum acara perdata, hukum pidana, dan hukum eksekusi.
Dalam konteks hukum acara perdata, "sita" merujuk pada tindakan pengambilan
atau pengamanan sementara terhadap barang atau hak milik seseorang oleh otoritas
pengadilan atau eksekutor untuk keperluan proses peradilan133.
Tindakan ini dilakukan untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terlibat
dalam perkara dan untuk memastikan bahwa barang atau hak tersebut tidak hilang,
dirusak, atau dipindahkan tanpa seizin pengadilan.
133
Ibid h. 76

14
8
Penyitaan dalam hukum acara perdata dapat terjadi terhadap berbagai jenis barang
atau hak, seperti tanah, kendaraan, uang, dokumen, atau barang bukti lainnya yang
relevan dengan perkara yang sedang diproses di pengadilan.
Penyitaan ini biasanya dilakukan dengan mengeluarkan perintah pengadilan yang
memberikan wewenang kepada petugas eksekutor untuk mengambil alih atau
mengamankan barang atau hak tersebut. Makna dari "sita" dalam konteks hukum pidana
juga serupa, di mana penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bukti yang relevan
dalam kasus pidana untuk keperluan penyelidikan atau pengadilan.
Secara umum, makna dari "sita" adalah tindakan pengambilalihan atau pengamanan
sementara terhadap sesuatu oleh pihak berwenang dalam konteks hukum, dengan tujuan
melindungi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan memastikan integritas proses
hukum
Secara umum, "sita" merujuk pada tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
atau pengadilan untuk mengambil alih atau menguasai properti atau harta benda
seseorang sebagai bentuk eksekusi terhadap kewajiban atau dalam rangka penegakan
hukum.
Ada beberapa makna dan penggunaan istilah "sita" dalam konteks hukum, termasuk:
1 Penyitaan Properti: Ini mengacu pada tindakan hukum di mana pihak berwenang,
seperti polisi atau pengadilan, mengambil alih atau menguasai properti seseorang
sebagai akibat dari pelanggaran hukum atau perintah pengadilan. Contohnya,
penyitaan properti dapat terjadi dalam kasus pelanggaran kontrak, penipuan, atau
pelanggaran hukum lainnya di mana properti dapat digunakan sebagai jaminan atau
kompensasi.
2 Penyitaan Barang Bukti: Dalam konteks hukum pidana, penyitaan barang bukti
adalah tindakan pengambilan dan pengawalan barang-barang yang dianggap
sebagai bukti dalam suatu kasus kriminal oleh pihak berwenang, seperti polisi atau
jaksa. Barang bukti tersebut akan digunakan dalam proses peradilan untuk
membuktikan atau mendukung tuntutan hukum terhadap terdakwa.
3 Penyitaan Hak Milik: Ini mengacu pada tindakan pengambilalihan atau
pengosongan hak milik seseorang atas properti atau aset tertentu. Misalnya, dalam
kasus tunggakan pajak atau utang, pemerintah dapat melakukan penyitaan hak
milik terhadap properti atau aset

14
9
seseorang untuk memungut pajak atau melunasi utang tersebut.

Tujuan utama dari tindakan penyitaan adalah menegakkan hukum, melindungi


kepentingan pihak yang berwenang, dan memastikan pelaksanaan putusan pengadilan
atau pemenuhan kewajiban hukum. Prosedur penyitaan diatur dalam ketentuan hukum
acara yang berlaku di masing-masing yurisdiksi.134

1) Tindakan menempatkan HK T secara paksa berada dalam Penjagaan ( to take into


costudy the property of defendant ).
2) Tindakan Paksa Penjagaan( costudy ) dilakukan scr resmi berdsrk perintah Hakim
3) Benda yang ditempatkan dalam penjagaan merupakan benda yang disengketakan, ttp
boleh juga benda yang akan dijadikan pembayaran uang sbg pelunasan utang dengan
jalan penjualan secara Lelang.
4) Penetapan dan penjagaan benda yang disita berlangsung slm proses pemeriksaan s.d
putusan
pengadilan BKHT ( In Kracht van Gewijde) Menyatakan Sah dan berharga atas
tindakan
penyitaan yang sudah dilakukan.135

Essensi Fundamental dari penerapan penyitaan :


a) Sita merupakan Tindakan Eksepsional ( ps 226,227 jo 195 HIR.)
1.penyitaan memaksakan kebenaran gugatan.
2.Penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan.
b) Sita merupakan Tindakan Perampasan
c) Penyitaan berdampak psikologis Bentuk-bentuk/Macam penyitaan
Ada 2 yaitu :
1. Conservatoir beslaag/sita jaminan yaitu penyitaan terhadap barang milik tergugat.
Dasar hukum : Pasal 227 HIR/261 RBg
Tujuan : untuk menjamin terlaksananya putusan pengadilan

134
Ibid h.82
135
Martha Eri Shafira, Hukum Acara Perdata, CV. Naya Natakarya: Ponorogo, 2017, Hal. 47.

15
0
Sita ini dapat dilakukan jika ada permintaan dari penggugat dengan
mengemukakan alasan ada dugaan/sangkaan bahwa tergugat akan berusaha
menghilangkan, merusak, memindahtangankan benda benda HK milik nya.
Benda-benda yang menjadi objek sita ini adalah benda bergerak dan benda tidak
bergerak milik T.
2. Revindicatoir beslaag yaitu sita terhadap barang milik penggugat yang dikuasai oleh
orang lain.
Dasar hukumnya Pasal 226 HIR/260 RBG
Tujuan : menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon dan berakhir dengan
penyerahan barang yang disita.
Objeknya : benda bergerak
Sita ini hanya terbatas atas sengketa hak milik.
3. Marital beslaag yaitu sita yang diletakkan atas harta perkawinan.
Sita dapat dimohonkan dalam sengketa perceraian, pembagian harta perkawinan,
pengamanan harta perkawinan.
4. Eksecutoir beslaag yaitu eksekusi dalam rangka pelaksanaan putusan hakim untuk
Eksekusi Verhaal.136

E. Tujuan Penyitaan

Tujuan penyitaan adalah untuk memastikan bahwa bukti yang diperlukan dalam suatu
perkara dapat dijaga, dilindungi, dan disimpan dengan baik selama proses peradilan.
Penyitaan bertujuan untuk mencegah hilangnya atau rusaknya bukti yang dapat
digunakan dalam proses peradilan.

Berikut adalah beberapa tujuan khusus dari penyitaan dalam hukum acara perdata:

1. Memastikan ketersediaan bukti:

Penyitaan dilakukan untuk memastikan bahwa bukti-bukti yang diperlukan dalam suatu
perkara tersedia dan tidak hilang selama proses peradilan. Dengan menyita bukti,
pengadilan dapat memastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tidak
menghilangkan atau merusak bukti-bukti yang relevan.

136
Ibid,.. Hal. 47.

15
1
2. Melindungi kepentingan pihak yang berkepentingan:

Penyitaan juga bertujuan untuk melindungi kepentingan pihak yang berkepentingan


dalam perkara. Dengan menyita bukti, pengadilan dapat mencegah salah satu pihak dari
tindakan yang dapat merugikan pihak lain atau menghalangi pihak lain untuk
mengakses bukti yang penting bagi mereka.

3. Menjaga integritas bukti:

Penyitaan juga dilakukan untuk menjaga integritas bukti. Dengan mengamankan bukti-
bukti yang diperlukan, pengadilan dapat memastikan bahwa bukti tersebut tidak diubah
atau dimanipulasi oleh pihak yang berkepentingan. Ini penting untuk memastikan
bahwa bukti yang dipresentasikan di pengadilan adalah asli dan dapat dipercaya.

4. Mencegah hilangnya bukti:

Penyitaan juga bertujuan untuk mencegah hilangnya bukti yang penting dalam perkara.
Dengan menyita bukti, pengadilan dapat menghindari risiko hilangnya atau kerusakan
bukti yang dapat menghambat proses peradilan dan menyebabkan ketidakadilan.

Dalam praktiknya, penyitaan dapat dilakukan terhadap berbagai jenis bukti, seperti
dokumen, barang bukti fisik, rekaman audio atau visual, atau informasi elektronik.
Prosedur penyitaan ini diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku di setiap yurisdiksi.

5. Agar Gugatan tidak Illusoir HK T tidak dialihkan atau dibebani dengan hak
kebendaan

6. Merupakan upaya bagi P untuk menjamin dan melindungi kepentingannya atas


keutuhan HK T s.d putusan BKHT( IVG ).

7. Untuk menghindari itikad bruk T dengan berusaha melepaskan TGJWB( Civil


Liability ) yang mesti dipikulnya atas PMH /WP yang dilakukannya.

8. Objek eksekusi sudah pasti ada. Permohonan Sita Jaminan Sita jaminan (beslag)
dapat dimohonkan oleh Penggugat dalam gugatannya atau secara terpisah dengan suatu
permohonan tersendiri yang diajukan kepada Majelis Hakim yang memerika dan

15
2
mengadili perkara. Penyitaan pada prinsipnya dapat diletakan baik itu terhadap benda
bergerak maupun tidak bergerak guna menjamin pelaksanaan putusan.137

F. Eksekusi Sita

Eksekusi sita terbagi kedalam dua kelompok yakni : Eksekusi langsung & Eksekusi
tidak langsung.

1. Eksekusi langsung

Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak
milik debitur atau pihak yang kalah. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta
pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah
sertifikat hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
yang bersangkutan. Lihat pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan
pasal 14 (3) Undang undang No. 16 Tahun 1985 jo PP No. 24 Tahun 1997.
Sita eksekusi lanjutan. Apabila barang- barang yang disita sebelumnya dengan sita
conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan di
lelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar
berdasarkan putusan Pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap
barang-barang milik tergugat, untuk kemudian dilelang.

Terhadap eksekusi melalui grosse akta akta hipotik, pihak debitur secara sukarela
menjalankan wajib menjalankan isi perjanjian yang disepakati. Jikalau pihak debitur
ingkar terhadap perjanjian yang disepakati setelah pelaksanaan lelang, maka tindakan
paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan
menjadi pilihan untuk dilakukan apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau
memenuhi isi putusan secara sukarela, misalnya terhadap benda tidak bergerak
dilakukan melalui pengajuan pengosongan rumah terhadap objek hak tanggungan
kepada pengadilan.Sedangkan menjalankan putusan secara sukarela, pihak yang kalah
memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan.

137
Martha Eri Shafira, Hukum Acara Perdata, CV. Naya Natakarya: Ponorogo, 2017, Hal. 50.

15
3
Pihak yang kalah, tanpa paksaan dari pihak lain, menjalankan pemenuhan hubungan
hukum yang dijatuhkan kepadanya. Dengan sukarela pihak yang kalah memenuhi
secara sempurna segala kewajiban dan beban hukum yang tercantum dalam amar
putusan. Dengan dilaksanakannya ketentuan putusan oleh pihak yang kalah, maka
tindakan paksa tidak dapat lagi diberlakukan kepada pihak yang kalah.

2. Eksekusi Tidak Langsung


Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan
yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah
menjadi sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau
perkakas yang benar-benar dibutuh kan oleh tersita untuk mencari nafkah (pasal 197 (8)
HIR, 211 RBg). Perlu diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan, yang
benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi satu atau dua ekor
sapi/kerbau yang benat-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah.

Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah perter nakan, ini selalu dapat disita. Binatang-binatang
lain, yaitu, kuda, anjing, kucing, burung, yang kadang-kadang sangat tinggi harga, dapat
saja disita. Eksekusi sita tentunya dilakukan terhadap putusan condemnatoir yaitu
putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman” dan dengan
sendirinya melekat kekuatan hukum eksekutorial sehingga putusan tersebut dapat
dieksekusi apabila tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.138

G. Tahapan Pelaksanaan Eksekusi

Pelaksanaan eksekusi memiliki tahapan sebagai berikut :

1. Adanya permohonan eksekusi


Setelah adanya putuan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka pada
dasarnya pemenuhan amar putusan tersebut harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah
secara sukarela. Eksekusi akan dapat dijalankan apabila pihak yang kalah tidak
menjalankan putusan dengan sukarela, dengan mengajukan permohonan eksekusi oleh
pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dengan tahapan :

138
Kusbianto dan Rina Sitompul, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata, Medan: Enam Media, 2020, Hal.
55-56.

15
4
1. Anmaning

Permohonan eksekusi ini merupakan dasar bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk
melakukan peringatan atau aanmaning. Aanmaning merupakan tindakan dan upaya
yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara berupa “teguran”
kepada Tergugat (yang kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara sukarela dalam
waktu yang ditentukan setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari
Penggugat. Pihak yang kalah diberikan jangka waktu 8 (delapan) hari untuk
melaksanakan isi putusan terhitung sejak debitur dipanggil untuk menghadap guna
diberikan peringatan.

2. Permohonan eksekusi

Setelah aanmaning dilakukan, ternyata pihak yang kalah tidak juga melakukan amar
dari putusan maka pengadilan melakukan sita eksekusi terhadap harta pihak yang kalah
berdasarkan permohonan dari pihak yang menang. Permohonan tersebut menjadi dasar
bagi Pengadilan untuk mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi perintah kepada
Panitera atau Juru Sita untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat,
sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 197 HIR. Penetapan sita
eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning. Secara garis besar terdapat 2
(dua) macam cara peletakan sita yaitu sita jaminan dan sita eksekusi. Sita jaminan
mengandung arti bahwa,untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari,
barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dengan jalan lain
dipindah tangankan kepada orang lain. Sedangkan sita eksekusi adalah sita yang
ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam sita eksekusi harus dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Mendahulukan penyitaan benda bergerak


Sita eksekusi baru diperkenankan menjangkau barang tidak bergerak sepanjang harta
bergerak tidak lagi mencukupi nilai jumlah yang harus dilunasi.

b. Penetapan eksekusi

15
5
Setelah adanya permohonan sita eksekusi maka tahap selanjutnya adalah
dikeluarkannya Penetapan Eksekusi yang berisi perintah Ketua Pengadilan Negeri
kepada Panitera dan juru sita untuk menjalankan eksekusi.

c. Lelang

Setelah Pengadilan mengeluarkan Penetapan Eksekusi berikut Berita Acara Eksekusi


maka tahap selanjutnya adalah lelang. Lelang merupakan penjualan di muka umum
harta kekayaan termohon yang telah disita eksekusi atau menjual di muka umum barang
sitaan milik termohon yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang
dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang dan cara penjualannnya
dengan jalan harga penawaran semakin meningkat atau semakin menurun melalui
penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran). Tujuan lelang ini adalah
untuk pemenuhan kewajiban si tergugat. Penggunaan kantor lelang dimaksudkan agar
harga yang didapat tidak merugikan si tergugat dan sesuai dengan harga yang
sewajarnya di pasaran. Hasil lelang digunakan untuk membayar kewajiban yang telah
ditetapkan dalam putusan hakim.139
1. Dhea ananda puspita yusuf (0205212062)

2. Fauzan habibi lubis (0205212050)

3. Idham kholiq hasibuan (0205212058)

UPAYA HUKUM

Upaya hukum dalam hukum perdata merujuk pada langkah-langkah atau sarana-sarana
yang dapat digunakan oleh pihak yang merasa dirugikan untuk menyelesaikan
perselisihan atau konflik di hadapan pengadilan. Upaya hukum ini bertujuan untuk
memperoleh perlindungan hukum, pemulihan hak, atau kompensasi atas kerugian yang
diderita.

A. Upaya hukum Biasa

Dalam konteks hukum perdata, upaya hukum mencakup berbagai tindakan atau
langkah-langkah seperti:
139
Kusbianto dan Rina Sitompul, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata,… Hal. 57-58.

15
6
1. Gugatan (plaint): Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan atau
permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan yang menguntungkan.
Gugatan tersebut diajukan dengan mengemukakan dalil-dalil atau argumen hukum yang
mendukung klaim atau tuntutan yang diajukan. Gugatan dalam hukum perdata adalah
proses pengajuan tuntutan atau klaim hukum oleh satu pihak (penggugat) terhadap
pihak lain (tergugat) di hadapan pengadilan untuk memperoleh keputusan atau putusan
hukum yang menguntungkan. Gugatan dalam hukum perdata dapat berkaitan dengan
berbagai masalah seperti pelanggaran kontrak, ganti rugi, perceraian, penyelesaian
sengketa properti, dan lain sebagainya.

Berikut akan dipaparkan beberapa pasalyang mengatur mengenai gugatan didalam


hhukum perdata:

a. Pasal 1131 KUH Perdata: Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang merasa
dirugikan oleh perbuatan melawan hukum orang lain, yang secara langsung
merugikannya, berhak menuntut ganti rugi kepada orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut.
b. Pasal 1233 KUH Perdata: Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang merasa
dirugikan karena suatu perjanjian yang tidak dipenuhi, berhak menuntut
pemenuhan perjanjian atau ganti rugi.
c. Pasal 1365 KUH Perdata: Pasal ini mengatur bahwa setiap perbuatan melawan
hukum yang merugikan orang lain, mewajibkan pelaku perbuatan tersebut untuk
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat perbuatan tersebut.
d. Pasal 1366 KUH Perdata: Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang karena
kesalahannya sendiri atau karena orang atau barang di bawah tanggungannya,
menderita kerugian akibat perbuatan melawan hukum orang lain, wajib
menggantikan kerugian tersebut.
e. Pasal 1601 KUH Perdata: Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang karena
kelalaiannya, melalui perbuatannya atau karena harta yang berada di bawah
pengawasannya, menyebabkan kerugian pada orang lain, wajib menggantikan
kerugian tersebut. 140

140
Laila M.Rasyid, Herinawati. (2015) Hukum Acara Perdata, cet.I unimal press 2015 hal. 122

15
7
2. Banding (appeal): Jika salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan pengadilan
tingkat pertama, pihak tersebut dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat yang
lebih tinggi. Dalam proses banding, putusan pengadilan yang telah dijatuhkan akan
diperiksa ulang untuk menilai keabsahan dan keberpihakan. Banding dalam hukum
perdata adalah proses pengajuan banding oleh pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan pengadilan tingkat pertama ke pengadilan tingkat banding untuk memperoleh
peninjauan kembali dan perubahan putusan tersebut. Berikut adalah beberapa pasal
yang terkait dengan banding dalam hukum perdata di Indonesia:

a. Pasal 197 HIR (Herziene Indonesisch Reglement): Pasal ini mengatur mengenai
proses banding dalam perkara perdata di pengadilan negeri. Namun, perlu
diketahui bahwa HIR telah dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari
2020.
b. Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP): Pasal ini mengatur
mengenai proses banding dalam perkara pidana di tingkat Pengadilan Negeri.
KUHAP juga dapat digunakan sebagai acuan dalam proses banding dalam
perkara perdata, terutama jika tidak ada ketentuan khusus yang mengatur.
c. Pasal 197 Hukum Acara Perdata (HAP): Pasal ini mengatur mengenai proses
banding dalam perkara perdata di tingkat Pengadilan Negeri. Hukum Acara
Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses dan tata cara dalam
perkara perdata di Indonesia.
d. Pasal 194 HAP: Pasal ini menyebutkan bahwa banding diajukan kepada
pengadilan tingkat banding dalam jangka waktu 14 hari setelah tanggal
dibacanya putusan oleh pengadilan tingkat pertama.
e. Pasal 200 HAP: Pasal ini menyebutkan bahwa putusan pengadilan tingkat
banding bersifat final dan mengikat jika tidak ada upaya hukum lanjutan seperti
kasasi.

ketentuan mengenai banding dapat berbeda tergantung pada jenis perkara dan tingkatan
pengadilan. Oleh karena itu, sangat penting untuk merujuk pada peraturan hukum yang
berlaku dan berkonsultasi dengan ahli hukum terkait untuk mendapatkan informasi yang
lebih lengkap dan akurat

15
8
3. Kasasi (cassation): Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan jika pihak yang
merasa dirugikan tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat banding. Pihak tersebut
dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atau badan peradilan tertinggi di suatu
negara. Kasasi dilakukan dengan tujuan untuk menguji kesesuaian putusan dengan
hukum yang berlaku. Kasasi dalam hukum perdata merupakan upaya hukum yang
diajukan ke Mahkamah Agung oleh pihak yang merasa dirugikan atas putusan
pengadilan tingkat banding. Dalam kasasi, pihak yang mengajukan meminta agar
Mahkamah Agung memeriksa kembali putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan
tingkat banding dengan alasan bahwa ada kesalahan dalam penerapan hukum atau
prosedur dalam proses pengadilan.

Pasal-pasal terkait kasasi dalam hukum perdata di Indonesia dapat ditemukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Beberapa pasal yang mengatur
mengenai kasasi yaitu :

a. Pasal 392 KUHPerdata: Pasal ini menjelaskan bahwa kasasi adalah upaya
hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan
tingkat banding yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Pasal 393 KUHPerdata: Pasal ini menyebutkan bahwa kasasi hanya dapat
diajukan atas dasar kesalahan penerapan hukum atau prosedur dalam pengadilan.
c. Pasal 394 KUHPerdata:Pasal ini menegaskan bahwa dalam kasasi, pihak yang
mengajukan harus mengajukan alasan-alasan kasasi yang jelas dan tertulis.
Alasan-alasan tersebut harus menunjukkan adanya kesalahan yang dilakukan
oleh pengadilan tingkat banding.
d. Pasal 395 KUHPerdata: Pasal ini menyebutkan bahwa dalam kasasi, pihak yang
mengajukan harus memberikan bukti-bukti tertulis yang relevan dengan alasan-
alasan kasasi yang diajukan.
e. Pasal 396 KUHPerdata Pasal ini menjelaskan bahwa kasasi harus diajukan
dalam waktu 14 hari setelah putusan pengadilan tingkat banding dibacakan
secara terbuka.
f. Pasal 397 KUHPerdata: Pasal ini menyebutkan bahwa setelah kasasi diajukan,
Mahkamah Agung akan memeriksa permohonan kasasi tersebut. Mahkamah
Agung dapat memutuskan untuk mengabulkan atau menolak kasasi tersebut.

15
9
4. Peninjauan Kembali (reconsideration): Peninjauan kembali adalah upaya hukum yang
dilakukan untuk meminta pengadilan untuk memeriksa kembali putusan yang telah
dijatuhkan, berdasarkan adanya alasan baru atau fakta-fakta baru yang muncul setelah
putusan tersebut. Peninjauan kembali dilakukan dengan syarat-syarat yang ditetapkan
oleh undang-undang. Peninjauan kembali dalam hukum perdata merupakan upaya
hukum yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap, berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Undang-
Undang. Upaya ini dilakukan jika terdapat keadaan-keadaan tertentu yang memenuhi
syarat untuk mengubah atau membatalkan putusan tersebut.

Pasal-pasal terkait peninjauan kembali dalam hukum perdata di Indonesia dapat


ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Berikut adalah beberapa pasal yang relevan:

a. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004: Pasal ini menjelaskan bahwa


peninjauan kembali dapat diajukan jika terdapat putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap dan terdapat keadaan yang baru yang dapat mengubah atau
membatalkan putusan tersebut.
b. Pasal 68 KUHPerdata: Pasal ini menyebutkan bahwa peninjauan kembali dapat
diajukan jika terdapat keadaan-keadaan yang memenuhi syarat, seperti adanya fakta
baru yang penting yang tidak diketahui pada saat putusan, atau adanya putusan
yang bertentangan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
perkara yang sama
c. Pasal 69 KUHPerdata: Pasal ini mengatur bahwa peninjauan kembali harus
diajukan dalam waktu 10 tahun sejak putusan yang akan diajukan peninjauan
kembali itu berkekuatan hukum tetap.
d. Pasal 70 KUHPerdata: Pasal ini menyebutkan bahwa permohonan peninjauan
kembali harus diajukan secara tertulis dan disertai dengan alasan-alasan yang jelas.
e. Pasal 71 KUHPerdata: Pasal ini menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung
dalam peninjauan kembali bersifat final dan mengikat.

16
0
Selain itu, terdapat juga upaya hukum lainnya dalam hukum perdata seperti permohonan
eksekusi, upaya penyelesaian alternatif sengketa seperti mediasi atau arbitrase, dan
proses negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat. Setiap upaya hukum ini memiliki
aturan dan prosedur yang diatur dalam hukum acara perdata, dan penerapannya dapat
bervariasi sesuai dengan yurisdiksi dan sistem hukum yang berlaku.

Dalam hukum perdata, terdapat beberapa teori yang mengatur tentang upaya hukum
atau sarana-sarana yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik
antara pihak-pihak yang terlibat. Berikut adalah beberapa teori yang umum digunakan
dalam upaya hukum dalam hukum perdata:141

1. Teori Gugatan (theory of action): Dalam hukum perdata, gugatan adalah langkah
hukum yang diambil oleh seorang penggugat (plaintiff) untuk memulai suatu proses
peradilan. Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa atau menegakkan hak-hak hukum seseorang.

secara umum, terdapat beberapa teori yang mendasari gugatan dalam hukum perdata.
Beberapa teori penting dalam hal ini meliputi:

a. Teori Klaim (Claim Theory): Teori ini menyatakan bahwa gugatan diajukan
untuk menegakkan suatu klaim atau tuntutan hukum yang dimiliki oleh
penggugat. Penggugat harus mengajukan argumen dan bukti yang mendukung
klaimnya dan meyakinkan pengadilan bahwa ia berhak atas apa yang diminta.
b. Teori Kepentingan (Interest Theory): Teori ini berfokus pada perlindungan
kepentingan hukum yang terluka atau dirugikan. Penggugat harus menunjukkan
bahwa ia memiliki kepentingan yang sah untuk melibatkan pengadilan dalam
memutuskan sengketa yang timbul.
c. Teori Perlindungan Hukum (Legal Protection Theory): Teori ini menekankan
perlindungan hak-hak hukum individu. Penggugat mengajukan gugatan untuk
mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindakan atau perilaku yang
melanggar hak-haknya.142

141
Ibid 124
142
Marha Eri Safira.(2017) Hukum Acara Perdata, Cet.I CV.Nata Karya hal.137

16
1
d. Teori Pembelaan (Defense Theory): Teori ini mencerminkan pendekatan
defensif dari penggugat. Penggugat mengambil langkah hukum sebagai respons
terhadap tindakan atau klaim yang diajukan terhadapnya oleh pihak lain.
Gugatan tersebut diajukan untuk membela diri dan membuktikan
ketidakberlakuan klaim yang diajukan terhadapnya.

2. Teori Kompromi (theory of compromise): Teori ini menekankan pada penyelesaian


sengketa melalui negosiasi dan kesepakatan antara para pihak yang terlibat. Pihak-pihak
yang terlibat diharapkan dapat mencapai titik temu atau kesepakatan yang
menguntungkan bagi semua pihak tanpa melalui proses persidangan. Teori kompromi
dalam hukum perdata merujuk pada pendekatan di mana pihak-pihak yang terlibat
dalam perselisihan mencoba mencapai kesepakatan atau kesepahaman bersama melalui
negosiasi dan kompromi, alih-alih melanjutkan persidangan atau pengadilan untuk
mencari keputusan hakim. Ini adalah cara alternatif untuk menyelesaikan perselisihan
tanpa harus melibatkan pihak ketiga seperti hakim. Prinsip dasar di balik teori
kompromi adalah memberikan kebebasan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
perselisihan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi keduanya. Melalui
negosiasi dan kompromi, pihak-pihak dapat mencapai solusi yang lebih cepat, lebih
efisien, dan lebih hemat biaya daripada melalui proses pengadilan yang panjang.

Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kompromi akan saling memberikan
pengakuan dan pengorbanan, dan mencoba mencapai titik tengah di mana kedua belah
pihak merasa puas dengan hasilnya. Dalam banyak kasus, kompromi diwujudkan dalam
bentuk kesepakatan tertulis atau kontrak yang mengatur hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Meskipun teori kompromi menempatkan penekanan pada peran aktif
pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perselisihan, penting untuk diingat
bahwa tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui kompromi. Terkadang, pihak-pihak
tidak dapat mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, dan dalam kasus
tersebut, proses pengadilan mungkin diperlukan untuk mencapai keputusan yang adil.

3. Teori Mediasi (theory of mediation): Dalam hukum perdata, mediasi adalah proses
alternatif penyelesaian sengketa di mana pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan
bekerja sama dengan seorang mediator netral untuk mencapai penyelesaian yang saling
menguntungkan. Mediasi bertujuan untuk menghindari persidangan di pengadilan dan

16
2
memberikan pihak-pihak yang terlibat kontrol yang lebih besar atas hasil penyelesaian
sengketa. Prinsip dasar mediasi adalah bahwa para pihak secara sukarela berpartisipasi
dalam proses tersebut. Mediator, yang merupakan pihak ketiga netral dan tidak
memihak, membantu para pihak untuk berkomunikasi secara efektif, mengidentifikasi
masalah inti, dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Mediator tidak memberikan keputusan atau putusan hukum, tetapi mereka membantu
memfasilitasi dialog antara pihak-pihak agar mereka dapat mencapai kesepakatan
sendiri.

Manfaat dari mediasi adalah fleksibilitas dan penghematan waktu dan biaya yang terkait
dengan proses hukum yang panjang. Mediasi juga dapat membantu dalam
mempertahankan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat, karena solusi yang dicapai
bersifat kolaboratif dan tidak bersifat menang-kalah. Dalam konteks hukum perdata,
mediasi dapat diterapkan dalam berbagai jenis sengketa, termasuk sengketa keluarga,
sengketa properti, sengketa bisnis, dan sengketa kontrak. Mediasi dapat dilakukan
sebelum atau selama proses pengadilan, tergantung pada kesepakatan pihak-pihak yang
terlibat. Pada akhir mediasi, jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, mereka
dapat membuat perjanjian yang mengatur solusi yang dicapai. Perjanjian ini memiliki
kekuatan hukum dan dapat diterapkan di pengadilan jika salah satu pihak tidak
mematuhi kesepakatan tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa mediasi tidak
selalu berhasil dalam setiap kasus. Jika mediasi gagal atau pihak-pihak tidak dapat
mencapai kesepakatan, mereka masih dapat memilih untuk melanjutkan persidangan di
pengadilan. Mediasi telah menjadi metode yang populer dalam penyelesaian sengketa
perdata karena dapat mempromosikan penyelesaian yang adil dan menguntungkan bagi
semua pihak yang terlibat.

4. Teori Arbitrase (theory of arbitration): Arbitrase dalam konteks hukum perdata


adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui penunjukan pihak ketiga
netral yang disebut arbitrator. Teori arbitrase dalam perdata berkaitan dengan prinsip-
prinsip dan konsep yang mendasari institusi arbitrase serta proses penyelesaiannya.
Berikut adalah beberapa teori arbitrase yang relevan dalam hukum perdata:

16
3
a. Kontrak dan Kewajiban Para Pihak: Teori ini mengasumsikan bahwa arbitrasi
adalah hasil dari perjanjian kontrak antara para pihak yang terlibat. Dalam teori
ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan
menetapkan ketentuan-ketentuan terkait prosedur dan proses yang harus diikuti.
b. Otonomi dan Kedaulatan Para Pihak: Arbitrase mengandalkan pada prinsip
otonomi pihak dalam memilih proses penyelesaian sengketa. Teori ini
berpendapat bahwa para pihak memiliki hak untuk memilih arbitrase sebagai
cara penyelesaian sengketa mereka, dan arbitrase harus dihormati oleh
pengadilan dan badan hukum lainnya.
c. Kepercayaan Terhadap Arbiter: Arbitrase bergantung pada kepercayaan pihak-
pihak yang terlibat terhadap arbitrator yang dipilih. Teori ini berpendapat bahwa
arbiter yang independen, netral, dan terampil diperlukan untuk memastikan
proses arbitrase yang adil dan objektif.
d. Keadilan Prosedural: Arbitrase harus mematuhi prinsip-prinsip keadilan
prosedural yang mendasari sistem hukum perdata. Ini termasuk hak-hak dasar
pihak untuk mendapatkan pemberitahuan, kesempatan untuk menyampaikan
argumen, dan hak untuk mendapatkan keputusan yang ditulis
e. Kepastian dan Keamanan Hukum: Teori ini berpendapat bahwa arbitrase
berkontribusi pada kepastian hukum dengan memberikan hasil yang final dan
mengikat bagi para pihak. Arbitrase juga dapat memberikan kerahasiaan yang
lebih besar daripada persidangan terbuka di pengadilan.
f. Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase: Teori ini menekankan
pentingnya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase oleh pengadilan-
pengadilan negara. Keputusan arbitrase yang diakui dan dilaksanakan
memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan mendorong penggunaan
arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang efektif. Teori-teori ini
membantu memahami dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang melandasi arbitrase
dalam konteks hukum perdata. Meskipun teori-teori ini memberikan pandangan
umum, penting untuk dicatat bahwa hukum arbitrase dapat bervariasi antara
yurisdiksi, dan arbitrase harus dilakukan sesuai dengan peraturan dan ketentuan
yang berlaku di setiap negara atau wilayah.

16
4
5. Teori Kontraktual (theory of contract): Teori kontraktual dalam hukum perdata
adalah pendekatan atau prinsip yang mendasari perjanjian atau kontrak antara pihak-
pihak yang terlibat. Teori ini menyatakan bahwa kontrak adalah perjanjian yang sah
antara dua pihak yang saling memberikan persetujuan dan mengikat mereka untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati.

Kontrak dalam hukum perdata adalah instrumen hukum yang digunakan untuk
mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis, seperti
pembelian barang, penyediaan jasa, atau pinjaman uang. Dalam teori kontraktual,
terdapat beberapa elemen penting yang harus ada dalam suatu kontrak agar dianggap
sah, yaitu:143

a. Persetujuan: Para pihak yang terlibat dalam kontrak harus memberikan


persetujuan yang bebas dan sukarela terhadap syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam kontrak
b. . Kesepakatan: Para pihak harus mencapai kesepakatan yang jelas dan tegas
mengenai hak, kewajiban, dan pertukaran yang dilakukan dalam kontrak.
c. Pertimbangan: Kontrak harus didasarkan pada pertimbangan yang sah, seperti
pembayaran uang, pemberian barang, atau penyediaan jasa.
d. Kemampuan hukum: Para pihak yang terlibat dalam kontrak harus memiliki
kapasitas hukum untuk mengikatkan diri mereka dalam kontrak tersebut.
Misalnya, seorang anak di bawah umur atau seseorang yang tidak mampu secara
mental mungkin tidak memiliki kapasitas hukum untuk membuat kontrak yang
sah
e. Objek yang sah: Kontrak harus memiliki objek yang sah dan dapat diterima
menurut hukum. Objek tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum,
melibatkan kegiatan ilegal, atau melanggar ketertiban umum.

Jika suatu kontrak memenuhi semua persyaratan di atas, maka dianggap sah dan
mengikat bagi para pihak yang terlibat. Jika salah satu pihak melanggar kontrak, pihak
yang dirugikan dapat mengajukan gugatan hukum untuk menuntut pemenuhan kontrak
atau mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita.

143
Hari Widiyanto, Waluyo Sudarmaji. (2022). Hukum Acara Perdata, Cet. I CV. Eureka Media
Aksara hal.119

16
5
6. Teori Restitusi (theory of restitution): Dalam hukum perdata, teori restitusi adalah
prinsip yang mengatur pemulihan atau pengembalian kepada pihak yang terkena
dampak kerugian, baik dalam bentuk harta maupun penggantian kerugian, sebagai
akibat dari suatu tindakan yang salah atau perbuatan melanggar hukum oleh pihak lain.
Restitusi bertujuan untuk mengembalikan pihak yang terkena dampak ke posisi yang
seharusnya jika tindakan yang salah atau melanggar hukum tidak pernah terjadi.

Prinsip restitusi mengasumsikan bahwa jika ada kerugian atau pendapatan yang
diperoleh oleh satu pihak sebagai akibat langsung dari tindakan yang salah atau
melanggar hukum pihak lain, maka pihak yang menderita kerugian harus dikembalikan
ke posisi sebelum kerugian terjadi. Ini berarti pihak yang melakukan tindakan yang
salah harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh tindakannya.

Dalam konteks restitusi, ada beberapa teori yang dapat diterapkan, termasuk:

1. Restitusi Penuh: Teori ini berpendapat bahwa pihak yang menderita kerugian harus
dikembalikan ke posisi yang seharusnya sebelum kerugian terjadi, tanpa adanya
potongan atau pengurangan apapun. Prinsip ini berfokus pada pemulihan penuh
kerugian yang diderita oleh pihak yang terkena dampak.

2. Restitusi Kontrak: Teori ini diterapkan dalam kasus-kasus di mana terdapat


pelanggaran kontrak. Restitusi kontrak bertujuan untuk mengembalikan pihak yang
dirugikan ke posisi yang seharusnya berdasarkan kontrak yang dilanggar tersebut.

3. Restitusi Nilai Beregu: Teori ini mendasarkan pemulihan pada nilai yang dihasilkan
oleh pihak yang melakukan tindakan yang salah atau melanggar hukum. Pihak yang
dirugikan berhak mendapatkan bagian dari nilai tersebut sebagai ganti rugi.

4. Restitusi Restorasional: Teori ini bertujuan untuk mengembalikan pihak yang


menderita kerugian ke posisi sebelum tindakan yang salah terjadi. Restitusi
restorasional berfokus pada restorasi atau pemulihan hubungan yang terganggu akibat
tindakan yang salah.

Penerapan teori restitusi dalam kasus-kasus perdata tergantung pada hukum yang
berlaku di suatu yurisdiksi dan fakta-fakta yang mendasari kasus tersebut. Pengadilan
biasanya akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kerugian yang diderita,

16
6
keuntungan yang diperoleh, dan prinsip keadilan, untuk menentukan jenis restitusi yang
paling tepat dalam suatu kasus. Perlu dicatat bahwa teori-teori ini dapat berlaku
bersamaan atau digunakan secara terpisah, tergantung pada kasus dan kebijakan hukum
yang berlaku di suatu yurisdiksi.

B. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa dalam hukum perdata merujuk pada langkah-langkah yang
diambil di luar proses hukum perdata yang biasa untuk menyelesaikan sengketa atau
melindungi hak-hak individu secara cepat atau darurat. Upaya hukum luar biasa ini
dapat ditempuh ketika situasi memerlukan perlindungan segera atau ketika proses
hukum perdata yang biasa tidak dapat memberikan keadilan yang memadai.

Berikut ini beberapa contoh upaya hukum luar biasa yang umum ditemukan dalam
hukum perdata:

a. Peninjauan Kembali (Revisi): Peninjauan kembali adalah upaya untuk


memperbaiki keputusan pengadilan yang sudah inkrah karena adanya kekeliruan
atau adanya fakta baru yang penting yang sebelumnya tidak diketahui. Dalam
situasi-situasi tertentu, pengadilan dapat memutuskan untuk mengubah atau
membatalkan putusan sebelumnya yang telah dinyatakan final.
Peninjauan kembali dalam hukum perdata dapat dilakukan melalui proses yang
berbeda-beda tergantung pada yurisdiksi hukum yang berlaku. Berikut adalah
langkah-langkah umum yang dapat diikuti untuk melakukan peninjauan kembali
dalam hukum perdata:

1. Mempelajari persyaratan: Pertama, Anda perlu mempelajari persyaratan yang


harus dipenuhi untuk melakukan peninjauan kembali dalam yurisdiksi hukum
yang berlaku. Persyaratan ini mungkin meliputi batasan waktu, alasan yang
dapat diterima untuk melakukan peninjauan kembali, dan bukti yang harus
disajikan.
2. Mengajukan permohonan: Setelah memahami persyaratan, langkah
selanjutnya adalah mengajukan permohonan peninjauan kembali ke pengadilan

16
7
yang berwenang. Permohonan ini biasanya harus diajukan secara tertulis dan
menyertakan alasan yang jelas mengapa Anda mengajukan peninjauan kembali
serta bukti yang mendukung.
3. Melengkapi dokumen-dokumen: Selanjutnya, Anda harus melengkapi semua
dokumen yang diperlukan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Ini
mungkin meliputi salinan putusan pengadilan yang ingin Anda ajukan
peninjauan kembali, dokumen pendukung, dan argumen hukum yang relevan.
4. Menghadiri sidang: Setelah permohonan diajukan, pengadilan akan
menetapkan sidang untuk mendengarkan argumen dan bukti dari pihak-pihak
terkait. Anda harus hadir di sidang ini dan menyampaikan argumen Anda secara
lisan. Penting untuk mempersiapkan argumen Anda dengan baik dan
menyajikan bukti yang kuat untuk mendukung peninjauan kembali Anda.
5. Keputusan pengadilan: Setelah mendengarkan argumen dan bukti dari kedua
belah pihak, pengadilan akan membuat keputusan mengenai permohonan
peninjauan kembali. Pengadilan dapat memutuskan untuk mengabulkan
peninjauan kembali dan mengubah atau membatalkan putusan sebelumnya, atau
menolak permohonan peninjauan kembali.

b. Penghentian Sementara (Suspend): Penghentian sementara adalah upaya untuk


menunda atau menghentikan sementara pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah diberikan. Biasanya, penghentian sementara diberikan dalam kasus-kasus
di mana pelaksanaan putusan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang tidak
dapat diperbaiki secara memadai jika ternyata putusan tersebut keliru.
Dalam hukum perdata, terdapat beberapa cara untuk melakukan penghentian
sementara terhadap suatu proses perdata. Berikut ini adalah beberapa cara yang
umum digunakan:

1. Penundaan Sidang: Pihak yang terlibat dalam proses perdata dapat meminta
penundaan sidang untuk alasan tertentu. Permintaan penundaan sidang ini
biasanya harus diajukan secara tertulis kepada pengadilan, dan pengadilan akan

16
8
mempertimbangkan permintaan tersebut berdasarkan kebijaksanaan dan
keadilan.
2. Permohonan Penangguhan Penyelesaian: Pihak yang terlibat dalam proses
perdata juga dapat mengajukan permohonan penangguhan penyelesaian perkara.
Permohonan ini biasanya diajukan apabila terdapat alasan yang cukup kuat,
misalnya adanya keadaan darurat atau adanya gugatan lain yang berkaitan
dengan perkara yang sedang berjalan. Pengadilan akan mempertimbangkan
permohonan penangguhan ini sebelum membuat keputusan.
3. Mediasi atau Konsiliasi: Mediasi atau konsiliasi adalah cara alternatif untuk
menyelesaikan sengketa secara damai dan penghentian sementara proses
perdata. Pihak yang terlibat dapat sepakat untuk mengajukan mediasi atau
konsiliasi guna mencapai kesepakatan bersama. Mediator atau konsiliator akan
membantu pihak-pihak dalam mencari solusi yang dapat diterima oleh semua
pihak. Selama proses mediasi atau konsiliasi berlangsung, proses perdata dapat
dihentikan sementara.
c. Penyitaan Sementara (Preliminary Attachment): Penyitaan sementara adalah
upaya untuk mengamankan atau menyita sementara harta benda atau aset
tertentu dalam sengketa perdata. Hal ini dilakukan untuk mencegah salah satu
pihak mengalihkan atau menghilangkan harta benda tersebut sebelum keputusan
akhir diambil oleh pengadilan. Tata cara penyitaan sementara dalam hukum
perdata dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi dan peraturan yang berlaku
di suatu negara. Namun, secara umum, berikut adalah langkah-langkah yang
biasanya terlibat dalam proses penyitaan sementara dalam hukum perdata:

1. Permohonan Penyitaan Sementara: Pihak yang berkepentingan, seperti


kreditur atau pihak yang mengajukan gugatan, dapat mengajukan permohonan
penyitaan sementara kepada pengadilan. Permohonan ini harus berisi alasan
yang jelas dan cukup untuk melakukan penyitaan sementara terhadap harta
benda tertentu.
2. Persidangan dan Bukti: Pengadilan akan menjadwalkan persidangan untuk
memeriksa permohonan penyitaan sementara. Pada persidangan, pihak yang
mengajukan permohonan harus menyajikan bukti-bukti yang mendukung alasan

16
9
mereka untuk melakukan penyitaan sementara. Pihak lawan juga berhak
mengajukan argumen dan bukti untuk menentang permohonan tersebut.
3. Putusan Pengadilan: Setelah mempertimbangkan argumen dan bukti dari
kedua belah pihak, pengadilan akan mengeluarkan putusan terkait permohonan
penyitaan sementara. Jika permohonan disetujui, pengadilan akan memberikan
perintah penyitaan sementara yang memerintahkan pihak tertentu (misalnya,
pengadilan atau penjaga) untuk mengamankan harta benda yang disebutkan
dalam permohonan.

4. Pelaksanaan Penyitaan Sementara: Setelah dikeluarkan perintah penyitaan


sementara, pihak yang bertugas (biasanya penjaga atau petugas pengadilan) akan
melaksanakan penyitaan sementara dengan mengamankan atau mengendalikan
harta benda yang dimaksud. Harta benda tersebut akan dijaga atau ditempatkan
di bawah kendali pengadilan hingga ada keputusan lebih lanjut terkait perkara
tersebut.
d. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution):
Dalam hukum perdata, terdapat beberapa mekanisme penyelesaian sengketa di
luar pengadilan yang dapat digunakan. Berikut adalah beberapa contoh
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam hukum perdata:

1. Negosiasi: Pihak yang terlibat dalam sengketa dapat mencoba menyelesaikan


masalah secara langsung melalui negosiasi. Negosiasi melibatkan pembicaraan
antara pihak-pihak yang bersengketa dengan tujuan mencapai kesepakatan
bersama. Prosedur, syarat, dan batasan negosiasi sepenuhnya bergantung pada
pihak-pihak yang terlibat dan kompleksitas sengketa.
2. Mediasi: Mediasi melibatkan pihak ketiga netral yang bertindak sebagai
mediator untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.
Mediator tidak memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan, namun mereka
membantu memfasilitasi komunikasi dan mempromosikan penyelesaian yang
memuaskan bagi kedua belah pihak.
3. Arbitrase: Arbitrase adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih
formal, di mana pihak-pihak yang bersengketa menyepakati untuk menyerahkan

17
0
sengketa kepada satu atau beberapa arbitrase independen yang disebut arbiter.
Arbiter tersebut akan mendengarkan argumen dari kedua pihak dan membuat
keputusan yang mengikat secara hukum, yang disebut sebagai penghargaan
arbitrase.

4. Mediasi Arbitrase: Mediasi arbitrase menggabungkan unsur-unsur mediasi


dan arbitrase. Prosesnya dimulai dengan mediasi, di mana mediator mencoba
membantu pihak-pihak mencapai kesepakatan. Jika mediasi tidak berhasil, maka
sengketa akan dialihkan ke proses arbitrase, di mana arbiter akan membuat
keputusan yang mengikat secara hukum.
5. Penyelesaian di bawah Persyaratan Kontrak: Dalam beberapa kasus, pihak-
pihak yang terlibat dalam sengketa mungkin telah menyepakati persyaratan
penyelesaian sengketa di dalam kontrak mereka. Misalnya, mereka dapat
menyepakati bahwa sengketa akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase.
Jika demikian, pihak-pihak harus mengikuti persyaratan yang ditetapkan dalam
kontrak.

Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam hukum perdata


bergantung pada keinginan pihak-pihak yang terlibat dan kekhususan kasus
tersebut. Beberapa mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat lebih cepat, lebih
murah, dan kurang formal daripada melalui pengadilan. Namun, setiap metode
memiliki kelebihan dan keterbatasan sendiri, dan penting bagi pihak-pihak yang
terlibat untuk mempertimbangkan secara cermat sebelum memilih metode
penyelesaian yang tepat.

Undang-Undang mengenai upaya hukum luar biasa dapat bervariasi tergantung pada
yurisdiksi hukum yang berlaku. Namun, dalam konteks hukum perdata, istilah "upaya
hukum luar biasa" mungkin mengacu pada prosedur hukum yang memungkinkan pihak
yang terkena dampak putusan pengadilan atau tindakan administratif untuk mengajukan
permohonan khusus untuk membatalkan, mengubah, atau merevisi keputusan tersebut.
Upaya hukum luar biasa ini seringkali dilakukan ketika pihak yang bersangkutan

17
1
meyakini adanya kekeliruan hukum atau ketidakadilan dalam putusan atau tindakan
tersebut.144

Di Indonesia, contoh undang-undang yang berkaitan dengan upaya hukum luar biasa
dalam konteks hukum perdata adalah:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase): UU Arbitrase memberikan kerangka kerja untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Dalam konteks ini, pihak yang
merasa tidak puas dengan putusan arbitrase dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk melakukan pengujian terhadap putusan tersebut.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): KUHPerdata Indonesia


mengatur berbagai aspek hukum perdata dan prosedur hukum yang dapat digunakan
untuk mengajukan upaya hukum luar biasa. Misalnya, Pasal 1986 KUHPerdata
mengatur mengenai permohonan revisi terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.Penting untuk dicatat bahwa upaya hukum luar biasa ini dapat
berbeda-beda tergantung pada yurisdiksi hukum yang berlaku dan peraturan yang
berlaku dalam negara tersebut. Oleh karena itu, selalu penting untuk mempelajari
hukum yang berlaku dalam yurisdiksi tertentu dan berkonsultasi dengan ahli hukum jika
Anda membutuhkan nasihat atau informasi yang lebih spesifik terkait upaya hukum luar
biasa dalam hukum perdata.

C. Jika Permohonan Peninjauan Kembali Ditolak MA

Ketika peninjauan kembali (kasasi) ditolak oleh pengadilan dalam perkara perdata,
langkah-langkah selanjutnya dapat bervariasi tergantung pada sistem hukum yang
berlaku di negara atau yurisdiksi tertentu. Berikut adalah beberapa kemungkinan
langkah yang dapat diambil:

1. Putusan yang ditolak menjadi berkekuatan hukum tetap: Jika pengadilan menolak
peninjauan kembali dan tidak ada langkah hukum lebih lanjut yang dapat diambil, maka
putusan yang telah ditolak tersebut akan menjadi berkekuatan hukum tetap. Ini berarti

144
Ibid, 124

17
2
bahwa putusan yang sebelumnya dikeluarkan oleh pengadilan tingkat terakhir akan
tetap berlaku dan harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam perkara.

2. Mencari advokat atau konsultan hukum: Jika peninjauan kembali ditolak, Anda dapat
mencari saran dari advokat atau konsultan hukum yang berpengalaman. Mereka dapat
mengevaluasi kasus Anda, memberikan nasihat hukum, dan membantu menentukan
apakah ada langkah hukum lain yang dapat diambil, seperti mengajukan permohonan
rehabilitasi atau upaya hukum lainnya yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku.

3. Evaluasi ulang dan peninjauan strategi: Setelah peninjauan kembali ditolak, penting
untuk mengevaluasi ulang strategi dan bukti dalam kasus Anda. Bersama dengan
advokat atau konsultan hukum, Anda dapat memeriksa apakah ada kelemahan dalam
argumen atau bukti yang diajukan sebelumnya, atau apakah ada pendekatan baru yang
dapat diambil untuk mendukung kasus Anda.

4. Pilihan alternatif penyelesaian sengketa: Selain melalui proses peradilan, Anda juga
dapat mempertimbangkan opsi penyelesaian sengketa alternatif, seperti mediasi atau
arbitrase. Ini adalah upaya untuk mencapai penyelesaian damai tanpa melalui jalur
peradilan. Namun, keterlibatan dalam proses alternatif ini juga memerlukan persetujuan
dari pihak lain yang terlibat dalam sengketa.

5. Mematuhi putusan pengadilan: Jika semua upaya hukum telah habis dan putusan
tetap, penting untuk mematuhi putusan pengadilan yang telah dikeluarkan. Melanggar
putusan pengadilan dapat berpotensi mengakibatkan konsekuensi hukum lebih lanjut.

langkah-langkah yang dapat diambil setelah peninjauan kembali ditolak dapat bervariasi
tergantung pada hukum yang berlaku di yurisdiksi tertentu. Oleh karena itu, penting
untuk mendapatkan nasihat hukum yang tepat dan mengacu pada sistem hukum yang
berlaku dalam negara atau wilayah yang relevan.145

145
Ibid 126

17
3
Daftar Pustaka

Laila M.Rasyid, Herinawati. (2015) Hukum Acara Perdata, cet.I unimal press 2015
issbn 978-602-1373-35-4

Marha Eri Safira.(2017) Hukum Acara Perdata, Cet.I CV.Nata Karya 2017 978-602-
61041-1-3

Hari Widiyanto, Waluyo Sudarmaji. (2022). Hukum Acara Perdata, Cet. I CV. Eureka
Media Aksara, 2022 ISBN 978-623-5382-57-9

17
4

Anda mungkin juga menyukai