syar’iyah Pengertian Hukum Acara A. Pengertian Hukum Acara Perdata Hukum acara perdata ini merupakan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki Mahasiswa yang berkecimpung dalam masalah hukum baik (syariah, agama maupun umum/perdata dan pidana, demikian juga para pemerhati hukum. Hukum acara perdata merupakan ilmu pengetahuan mengenai Hukum Formil Perdata yakni ilmu pengetahuan tentang peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materi atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata kepada pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan. Ada beberapa pengertian/batasan maupun definisi yang dikemukakan para pakar tentang pengertian hukum acara perdata, baik perdata umum maupun perdata agama diantaranya adalah: 1. Menurut Rr. Rina Antasari, SH, M.Hum, mengenai kalimat dalam kata Hukum Acara Perdata dipergunakan sebagai terjemahan asli dari bahasa Belanda “Burgerlijke Proses Recht”. 2. Sedangkan menurut Prof. Sudigno Hukum Acara Perdata adalah kumpulan aturan yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata dengan perantara hukum. 3. Sedangkan Menurut Cst, Kansil Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materil atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata kemuka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan. 4. Sedangkan Menurut Wirjono Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat bagaimana orang harus bertindak terhadap dandimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harusbertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannyaperaturan hukum perdata. 5. Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Atau dalam pengertian lain Sudikno Mertokusumo mengatakan: “Bahwa untuk melaksanakan hukum perdata Materil terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan- peraturan inilah yang disebut hukum perdata formil atau hukum acara perdata. 6. Wirjono Prodjodikoro, Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan- peraturan hukum perdataata. 7. Abdul Manan, Hukum acara perdata agama merupakan hukum yang mengatur tentang cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata agama dapat berjalan sebagaimana mestinya. 8. Mukti Arto, Hukum acara perdata agama adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil yang berlaku di lingkungan peradilan agama. 9. Hukum acara perdata dalam pengertian yang lebih luas adalah sekumpulan peraturan yang membuat bagaimana caranya orang harus bertindak di hadapan pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum materiil sekaligus untuk memelihara ketertiban hukum perdata. Dari pengertian yang terkandung dalam definisi tersebut, dapat dipahamkan bahwa tujuan hukum acara perdata agar orang tidak menjadi main hakim sendiri atau menghindarkan main hakim sendiri (eigen richting). B. Sumber-sumber Hukum Acara pada Pengadilan Agama. Hukum acara bagi Peradilan Agama diatur dalam bab IV, terdiri dari 37 Pasal, mulai Dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Uandang Nomor 7 Tahun 1989. Hal yang terpenting dari Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 54 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini” Dari pasal tersebut terkandung maksud: 1. Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Agama adalah Hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum (Lex generalis), didalam Undang-Undang Nomor 7/89 jo UU Nomor 3/2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 sebagai Perubahan kedua dari UU Nomor 7 Tahun 1989 juga merumuskan ketentuan khusus tentang hukum acara (lex specialis); 2. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 dan 49 UU Nomor 7/89 dan dikaitkan dengan Pasal 2 UU Nomorn 1 Tahun 1974 jelas bahwa Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa hukum sesuai dengan tugas dan kewenangannya adalah menggunakan Hukum Islam. Namun jika dihubungkan dengan Hukum Acaranya yang menggunakan hukum acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum. 3. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 4. Dalam bidang hukum acara peradilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan yang tidak menyimpang dari Syari'ah Islam. 5. Kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat dilakukan apabila sudah tidak ditemukan lagi dalam UU dan peraturan yang berlaku. Adapun UU dan peraturan-peraturan yang berlaku di Pengadilan Agama, di antaranya adalah : 1 . HIR (Herziene Inlandsch Reglement) untuk jawa dan Madura, RBg (Rechtsreglement Voor De buitengewesten) untuk luar jawa dan Madura. Kedua aturan hukum acara ini diberlakukan di Pengadilan Agama, kecuali dalam hal yang sudah diatur dan UU tersendiri. 2 . B.Rv. (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvordering) diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van justitie dan Residentie gerecht, dengan dihapuskannya Raad van justltie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv. sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi hal-hal yang diatur dalam B.Rv. banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum acara dewasa ini. Misalnya tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan hukum acara perdata lainnya. 3 . BW (Burgerlijke Wetbook voor Indonesia), yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan KUHPerdata, terdapat juga sumber hukum acara perdata khususnya buku IV tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993. 4 . WvK (Wetboek van Koophandel), yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan KUH Dagang. Dalam kaitan dengan hukum dagang ini, terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 Nomor 348. 5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal Banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg. 6 . Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999, dan dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya U U Nomor 4 Tahun 2004, jo UU Nomor 48 Tahun 2009 sebagai pengganti. Dalam peraturan perUndang-Undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata dalam praktik peradilan di Indonesia. 7 . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU Perkawinan tersebut. 8 . Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, yang telah diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung. 9 . Unang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai perubahan kedua setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dalam Undang-Undang ini, khususnya Pasal 54 menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU tersebut. 1 0 . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. 1 1 . Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang instruksi pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan shodaqoh. 1 2 . Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; 1 3 . Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah; 1 4 . Perma Nomor 14 Tahun 2016 Tentang tata cara penyelesaian perkara Ekonomi Syariah; 1 5 . Perma Nomor 04 Tahun 2019 Tentang tata cara penyelesaian perkara Ekonomi Syariah; 1 6 . Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah; 1 7 . Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; 1 8 . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan; 1 9 . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2014 tentang penanganan bantuan Panggilan/Pemberitahuan; 2 0 . Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung RI Tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan; 2 1 . Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; 2 2 . Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; 2 3 . Putusan MK Nomor 93 Tahun 2012 tentang Pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankkan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum; 2 4 . Surat Edaran Mahkamah Agung RI., dan Peraturan Mahkamah Agung RI. Sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim. Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang- Undang. Untuk itu para pakar hukum berpendapat bahwa PERMA dan SEMA adalah bentuk campur tangan Mahkamah Agung terhadap hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 195 HIR, nampaknya pendapat tersebut ada benarnya, akan tetapi bila dilihat Pasal 11 (4) UU Nomor 48 Tahun 2009, bahwa Mahkamah Agung berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan lain menurut ketentuan yang ditentukan oleh UU. Sudikno Mertokusumo, (1988:8). Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung itu bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum bukan dalam arti tempat. 2 5 . Yurisprudensi Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti boleh hakim lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Negara Indonesia tidak menganut asas "the binding force of precedent" jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu sudah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyaraka; 2 6 . Kutib Fiqh Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya. Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat menggali hukum acara perdata. Doktrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak dipergunakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama Nomor B/1/1735, tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam fiqh sebagai berikut a. Al- Bajuri. b. Fatchul Mu'in. c. Syarqowi at- Tahrir. d. Qalyubi/Mahalli. e. Fathul Wahab dan Syarahnya. f. Tuhfah. g. Targhibul Mustaq. h. Qawaninus Syari'ah Lis Sayyid bin Yahya. i. Qawaninus Syariah Lis Sayyid Sadaqah Dachlan. j. Syamsyuri Fil Faraidh. k. Baqyatul Mustarsyidin. l. Alfiqhu alaa Mazhabi al-Arbaah. m. Mugnil Muntaj.
Sumber Hukum Materiil Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’yah: a. Al quran dan hadis. b. Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974. e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. f. UNdang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolan Zakat. h. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. i. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara. j. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. k. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. l. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. m. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakap; n. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. o. Kompilasi Hukum Islam. p. PMA Nomor 11 Tahun 2007 q. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) r. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari,ah. s. Yurisprudensi. t. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat; u. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat; v. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat w. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI). x. Akad ekonomi syari’ah. Dengan sumber-sumber kitab di atas hakim diharapkan dapat memutus dengan: 1. Hakim hanya memutus menurut hukum. Setiap putusan harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum ditetapkan dalam suatu perkara kongkrit. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dalam sebuah negara yang beralas, atas hukum, bahwa setiap tindakan harus didasarkan aturan hukum tertentu. 2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena penafsiran konstruksi, tidak menerapkan atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. 3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi atau menemukan hukum, hakim harus berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of lava dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural, justice). 4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasan. Di Amerika Serikat, mekanisme ini ditempuh melalui "impeachment' yaitu suatu peradilan oleh kongres (trial by Congress). Lembaga "Impeachment' ini mengandung makna tindakan terhadap hakim tidak mudah, selain berdasarkan alasan-alasan yang khusus (disebutkan dalam Undang-Undang), juga forumnya tidak mudah (yaitu kongres). Hal ini di satu pihak dimaksudkan untuk melindungi kebebasan hakim, di pihak lain untuk mencegah hakim dari perbuatan tercela. Perlu ditegaskan bahwa tindakan terhadap hakim seperti proses "impeachment" tidak mengenai pelaksanaan fungsi yustisialnya. Tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusannya dianggap kurang adil. Tindakan terhadap hakim hanya mengenai tingkah laku pribadi yang merugikan negara atau menurunkan martabat kekuasaan kehakiman.