Anda di halaman 1dari 20

Pertemuan kedua

Ber-acara di Penggadilan Agama/mahkamah


syar’iyah
Pengertian Hukum Acara
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata ini merupakan ilmu
pengetahuan yang harus dimiliki Mahasiswa yang
berkecimpung dalam masalah hukum baik (syariah,
agama maupun umum/perdata dan pidana,
demikian juga para pemerhati hukum.
Hukum acara perdata merupakan ilmu
pengetahuan mengenai Hukum Formil Perdata
yakni ilmu pengetahuan tentang peraturan hukum
yang mengatur bagaimana cara memelihara dan
mempertahankan hukum perdata materi atau
peraturan yang mengatur bagaimana cara
mengajukan suatu perkara perdata kepada
pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim
perdata memberikan putusan.
Ada beberapa pengertian/batasan maupun
definisi yang dikemukakan para pakar tentang
pengertian hukum acara perdata, baik perdata
umum maupun perdata agama diantaranya adalah:
1. Menurut Rr. Rina Antasari, SH, M.Hum,
mengenai kalimat dalam kata Hukum Acara
Perdata dipergunakan sebagai terjemahan asli
dari bahasa Belanda “Burgerlijke Proses
Recht”.
2. Sedangkan menurut Prof. Sudigno Hukum
Acara Perdata adalah kumpulan aturan yang
mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya
hukum perdata dengan perantara hukum.
3. Sedangkan Menurut Cst, Kansil Hukum
Acara Perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara memelihara dan
mempertahankan hukum perdata materil atau
peraturan yang mengatur bagaimana cara
mengajukan suatu perkara perdata kemuka
pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim
perdata memberikan putusan.
4. Sedangkan Menurut Wirjono Hukum Acara
Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang membuat bagaimana orang harus
bertindak terhadap dandimuka pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harusbertindak,
satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannyaperaturan hukum perdata.
5. Sudikno Mertokusumo, Hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim atau peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materiil. Atau
dalam pengertian lain Sudikno Mertokusumo
mengatakan: “Bahwa untuk melaksanakan
hukum perdata Materil terutama dalam hal
pelanggaran atau untuk mempertahankan
berlangsungnya hukum materiil perdata dalam
hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian
peraturan-peraturan hukum lain disamping
hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan-
peraturan inilah yang disebut hukum perdata
formil atau hukum acara perdata.
6. Wirjono Prodjodikoro, Hukum acara perdata
ialah rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak
di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-
peraturan hukum perdataata.
7. Abdul Manan, Hukum acara perdata agama
merupakan hukum yang mengatur tentang cara
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama,
bagaimana pihak tergugat mempertahankan
diri dari gugatan penggugat, bagaimana para
hakim bertindak baik sebelum dan sedang
pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana
cara hakim memutus perkara yang diajukan
oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara
melaksanakan putusan tersebut sebagaimana
mestinya sesuai dengan peraturan yang
berlaku, sehingga hak dan kewajiban
sebagaimana yang telah diatur dalam hukum
perdata agama dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
8. Mukti Arto, Hukum acara perdata agama
adalah semua kaidah hukum yang menentukan
dan mengatur cara bagaimana melaksanakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata
agama sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil yang berlaku di lingkungan
peradilan agama.
9. Hukum acara perdata dalam pengertian yang
lebih luas adalah sekumpulan peraturan yang
membuat bagaimana caranya orang harus
bertindak di hadapan pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak,
untuk melaksanakan berjalannya peraturan
hukum materiil sekaligus untuk memelihara
ketertiban hukum perdata.
Dari pengertian yang terkandung dalam definisi
tersebut, dapat dipahamkan bahwa tujuan hukum
acara perdata agar orang tidak menjadi main hakim
sendiri atau menghindarkan main hakim sendiri
(eigen richting).
B. Sumber-sumber Hukum Acara pada Pengadilan
Agama.
Hukum acara bagi Peradilan Agama diatur
dalam bab IV, terdiri dari 37 Pasal, mulai Dari Pasal
54 sampai dengan Pasal 91 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang perubahan kedua Undang-Uandang
Nomor 7 Tahun 1989. Hal yang terpenting dari
Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 “Hukum Acara yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah hukum acara perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-Undang ini”
Dari pasal tersebut terkandung maksud:
1. Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan
Agama adalah Hukum acara perdata yang
berlaku pada Peradilan Umum (Lex generalis),
didalam Undang-Undang Nomor 7/89 jo UU
Nomor 3/2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009
sebagai Perubahan kedua dari UU Nomor 7
Tahun 1989 juga merumuskan ketentuan
khusus tentang hukum acara (lex specialis);
2. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 dan 49 UU
Nomor 7/89 dan dikaitkan dengan Pasal 2 UU
Nomorn 1 Tahun 1974 jelas bahwa Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa hukum
sesuai dengan tugas dan kewenangannya
adalah menggunakan Hukum Islam. Namun
jika dihubungkan dengan Hukum Acaranya
yang menggunakan hukum acara Perdata yang
berlaku pada lingkungan Peradilan Umum.
3. Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
4. Dalam bidang hukum acara peradilan agama,
hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan
rasa keadilan yang tidak menyimpang dari
Syari'ah Islam.
5. Kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat
dilakukan apabila sudah tidak ditemukan lagi
dalam UU dan peraturan yang berlaku.
Adapun UU dan peraturan-peraturan yang
berlaku di Pengadilan Agama, di antaranya adalah :
1 . HIR (Herziene Inlandsch Reglement) untuk jawa
dan Madura, RBg (Rechtsreglement Voor De
buitengewesten) untuk luar jawa dan Madura.
Kedua aturan hukum acara ini diberlakukan di
Pengadilan Agama, kecuali dalam hal yang
sudah diatur dan UU tersendiri.
2 . B.Rv. (Reglement Op De Bugerlijke
Rechtsvordering) diperuntukkan untuk
golongan Eropa yang berperkara di muka Raad
van justitie dan Residentie gerecht, dengan
dihapuskannya Raad van justltie dan
Hoogerechtshof, maka B.Rv. sudah tidak
berlaku lagi. Akan tetapi hal-hal yang diatur
dalam B.Rv. banyak yang masih relevan
dengan perkembangan hukum acara dewasa
ini. Misalnya tentang formulasi surat gugatan,
perubahan surat gugat, intervensi dan
beberapa ketentuan hukum acara perdata
lainnya.
3 . BW (Burgerlijke Wetbook voor Indonesia), yang
dalam bahasa Indonesia disebut dengan
KUHPerdata, terdapat juga sumber hukum
acara perdata khususnya buku IV tentang
pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865
s/d 1993.
4 . WvK (Wetboek van Koophandel), yang dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan KUH
Dagang. Dalam kaitan dengan hukum dagang
ini, terdapat juga hukum acara perdata yang
diatur dalam failissements Verordering (aturan
kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 Nomor
348.
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang
Acara Perdata dalam hal Banding bagi
Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura.
Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan
Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
6 . Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999, dan dinyatakan
tidak berlaku dengan dikeluarkannya U U
Nomor 4 Tahun 2004, jo UU Nomor 48 Tahun
2009 sebagai pengganti. Dalam peraturan
perUndang-Undangan ini memuat beberapa
ketentuan tentang hukum acara perdata dalam
praktik peradilan di Indonesia.
7 . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU
Perkawinan tersebut.
8 . Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, yang
telah diubah dan disempurnakan dengan UU
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung yang memuat tentang acara perdata
dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi
dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
9 . Unang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai
perubahan kedua setelah Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, dalam Undang-Undang ini, khususnya
Pasal 54 menyebutkan bahwa hukum acara
yang berlaku dilingkungan peradilan agama
adalah sama dengan hukum acara yang
berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali
hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam
UU tersebut.
1 0 . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Peradilan Umum.
1 1 . Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang instruksi
pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam, yang
terdiri dari tiga buku yaitu hukum perkawinan,
kewarisan dan shodaqoh.
1 2 . Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa;
1 3 . Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah;
1 4 . Perma Nomor 14 Tahun 2016 Tentang tata
cara penyelesaian perkara Ekonomi Syariah;
1 5 . Perma Nomor 04 Tahun 2019 Tentang tata
cara penyelesaian perkara Ekonomi Syariah;
1 6 . Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun
2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi
Syariah;
1 7 . Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
1 8 . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di
Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat
Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan;
1 9 . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6
Tahun 2014 tentang penanganan bantuan
Panggilan/Pemberitahuan;
2 0 . Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Pemberlakuan hasil rapat pleno kamar
Mahkamah Agung RI Tahun 2016 sebagai
pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan;
2 1 . Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat;
2 2 . Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf;
2 3 . Putusan MK Nomor 93 Tahun 2012 tentang
Pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
perbankkan Syariah tidak mempunyai kekuatan
hukum;
2 4 . Surat Edaran Mahkamah Agung RI., dan
Peraturan Mahkamah Agung RI. Sepanjang
menyangkut hukum acara perdata dan hukum
perdata materiil dapat dijadikan hukum acara
dalam praktik peradilan terhadap suatu
persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung
tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-
Undang. Untuk itu para pakar hukum
berpendapat bahwa PERMA dan SEMA adalah
bentuk campur tangan Mahkamah Agung
terhadap hakim dalam menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 195 HIR, nampaknya
pendapat tersebut ada benarnya, akan tetapi
bila dilihat Pasal 11 (4) UU Nomor 48 Tahun
2009, bahwa Mahkamah Agung berhak
melakukan pengawasan tertinggi atas
perbuatan pengadilan lain menurut ketentuan
yang ditentukan oleh UU. Sudikno
Mertokusumo, (1988:8). Surat Edaran dan
Instruksi Mahkamah Agung itu bukanlah
hukum, tetapi merupakan sumber hukum
bukan dalam arti tempat.
2 5 . Yurisprudensi Mahkamah Agung. Yang
dimaksud dengan Yurisprudensi adalah
pengumpulan yang sistematis dari keputusan
Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan
Tinggi yang diikuti boleh hakim lain dalam
memberikan keputusan terhadap masalah yang
sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan
yurisprudensi tersebut, sebab Negara
Indonesia tidak menganut asas "the binding
force of precedent" jadi bebas memilih antara
meninggalkan yurisprudensi dengan memakai
dalam suatu perkara yang sejenis dan telah
mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus
berani meninggalkan yurisprudensi kalau
sekiranya yurisprudensi itu sudah usang dan
sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman
dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada
salahnya untuk tetap dipakai kalau
yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan
zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyaraka;
2 6 . Kutib Fiqh Islam dan sumber hukum tidak
tertulis lainnya. Doktrin atau ilmu pengetahuan
merupakan sumber hukum acara juga, hakim
dapat menggali hukum acara perdata. Doktrin
itu bukan hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, doktrin atau
ilmu pengetahuan hukum banyak dipergunakan
oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa
dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu
pengetahuan hukum yang tersebut dalam
kitab-kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro
Peradilan Agama Departemen Agama Nomor
B/1/1735, tanggal 18 Februari 1958 sebagai
pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan
luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa
untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam
memeriksa dan memutus perkara maka para
Hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar
mempergunakan sebagai pedoman hukum
acara yang bersumber dalam fiqh sebagai
berikut
a. Al- Bajuri.
b. Fatchul Mu'in.
c. Syarqowi at- Tahrir.
d. Qalyubi/Mahalli.
e. Fathul Wahab dan Syarahnya.
f. Tuhfah.
g. Targhibul Mustaq.
h. Qawaninus Syari'ah Lis Sayyid bin Yahya.
i. Qawaninus Syariah Lis Sayyid Sadaqah
Dachlan.
j. Syamsyuri Fil Faraidh.
k. Baqyatul Mustarsyidin.
l. Alfiqhu alaa Mazhabi al-Arbaah.
m. Mugnil Muntaj.

Sumber Hukum Materiil Pengadilan


Agama/Mahkamah Syar’yah:
a. Al quran dan hadis.
b. Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. UU
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak,
Cerai dan Rujuk (NTCR).
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974.
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagaimana yang telah diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.
f. UNdang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia.
g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
Tentang Pengelolan Zakat.
h. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
i. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
Tentang Surat Berharga Syari’ah Negara.
j. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syari’ah.
k. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
l. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
m. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakap;
n. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik.
o. Kompilasi Hukum Islam.
p. PMA Nomor 11 Tahun 2007
q. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor
02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah (KHES)
r. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan
dengan ekonomi syari,ah.
s. Yurisprudensi.
t. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Zakat;
u. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Hukum Acara Jinayat;
v. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Jinayat
w. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
x. Akad ekonomi syari’ah.
Dengan sumber-sumber kitab di atas hakim
diharapkan dapat memutus dengan:
1. Hakim hanya memutus menurut hukum.
Setiap putusan harus dapat menunjukkan
secara tegas ketentuan hukum ditetapkan
dalam suatu perkara kongkrit. Hal ini sejalan
dengan asas legalitas dalam sebuah negara
yang beralas, atas hukum, bahwa setiap
tindakan harus didasarkan aturan hukum
tertentu.
2. Hakim memutus semata-mata untuk
memberikan keadilan. Untuk mewujudkan
keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk
menafsirkan, melakukan konstruksi hukum,
bahkan menerapkan atau mengenyampingkan
suatu ketentuan hukum yang berlaku. Dalam
hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang
berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum
demi terwujudnya suatu putusan yang adil.
Karena penafsiran konstruksi, tidak
menerapkan atau menemukan hukum tersebut
semata-mata untuk mewujudkan keadilan, tidak
dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.
3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi
atau menemukan hukum, hakim harus
berpegang teguh pada asas-asas umum
hukum (general principle of lava dan asas
keadilan yang umum (the general principles of
natural, justice).
4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang
memungkinkan menindak hakim yang
sewenang-wenang atau menyalahgunakan
kebebasan. Di Amerika Serikat, mekanisme ini
ditempuh melalui "impeachment' yaitu suatu
peradilan oleh kongres (trial by Congress).
Lembaga "Impeachment' ini mengandung
makna tindakan terhadap hakim tidak mudah,
selain berdasarkan alasan-alasan yang khusus
(disebutkan dalam Undang-Undang), juga
forumnya tidak mudah (yaitu kongres). Hal ini
di satu pihak dimaksudkan untuk melindungi
kebebasan hakim, di pihak lain untuk
mencegah hakim dari perbuatan tercela. Perlu
ditegaskan bahwa tindakan terhadap hakim
seperti proses "impeachment" tidak mengenai
pelaksanaan fungsi yustisialnya. Tidak ada
suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim
karena putusannya dianggap kurang adil.
Tindakan terhadap hakim hanya mengenai
tingkah laku pribadi yang merugikan negara
atau menurunkan martabat kekuasaan
kehakiman.

Anda mungkin juga menyukai