Anda di halaman 1dari 13

KONSEP MAQASHID SYARI’AH MENURUT PERSFEKTIF

YUSUF AL-QARDHAWI

Makalah ini sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh Maqashid Syari’ah

Oleh :
MUNAWAR HARIS
HUSAIN ANWAR
KAHARUDDIN
IRWAN

Dosen Pengampu :
Abd Razik, S,Sy., MH.

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-AZHAR GOWA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menimbulkan masalah serius berkaitan
dengan hokum islam. Oleh karena itu, mereka harus merumuskan suatu
metodologi sistematis yang mempunyai akar islam yang kokoh.
Untuk mencari basis terori tersebut, salah satu konsep yang di kaji
adalah konsep maqashid syariah atau tujuan di syariatkannya hokum islam
adalah mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau
menarik manfaat dan menolak mudarat, dan istilah yang sepadan dengan inti
maqasid syariah tersebut adalah maslahah.
Kenapa pilihannya jatuh kepada maqashid syariah? Di samping sedang
menjadi trend dalam wacana hokum islam, maqashid syariah juga sering di
jadikan kambing hitam oleh para kaum liberalis
Untuk meluruskan kesalahan dan kesengajaan ‘liberalis’ yang ingin
merusak konsep maqashid syariah, maka berikut persfektif maqashid syariah
Yusuf Al-Qardhawi
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqashid Syariah ssecara umum?
2. Apa pengertian Maqashid Syariah menurut Yusuf Al-Qardhawi?
3. Bagaimana Konsep Maqashid Syariah Yusuf Al-Qardhawi?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Al-Syariah

Maqashid al-syari’ah secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata, yakni
maqasid dan syari’ah.Maqashid, adalah bentuk jamak dari maqsủd, yang berarti
“kesengajaan atau tujuan.”Syari’ah, secara bahasa berarti “jalan menuju air.”

Secara terminologis,Maqashid al-Syari’ahadalah tujuan Allah dan Rasul-Nya


dalam merumuskan hukum-hukum Islam dan menetapkan syari’at, karena segala
sesuatu hal yang disyari’atkan allah didalam syari’at pasti mengandung tujuan dan
maksud yang akan kembali kepada kemaslahatan hamba/manusia baik didunia maupun
diakhirat, semua itu menunjukkan rahmat allah yang begitu luas yang dia limpahkan
kepada makhluknya.1

Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangatpenting.


Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagaiberikut:

• Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyuallah subhanahu
wat’ala dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan
selaluberhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakahhukum
Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun padabeberapa abad yang
lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.Jawaban terhadap pertanyaan itu
baru bisa diberikan setelah diadakan kajianterhadap berbagai elemen hukum Islam, dan
salah satu elemen yangterpenting adalah teori maqashid al-syari'ah.

• Kedua,pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci


keberhasilanmujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum
itulahsetiap persoalandalam bermu'amalah antar sesama manusia dapatdikembalikan.

1
http://suheri19.blogspot.com/2015/11/pengertian-maqashid-syariah-hakikat.html (diakses
pada 09 oktober 2019)

3
B. Pembagian Maqashid al-Syari’ah

Untuk menuju kepada maksud-maksud syari’at. Hujjatul Islam Abul Hamid Al-
Ghazali telah membuat satu perbahasan khusus yang menjelaskan tentang maslahat
sebagai asal yang tidak jelas (ash mauhum) dan membahaginya kepada tiga (3)
tingkatan yang kemudiannya dirinci oleh Imam Asy-Syathibi yaitu: ‫ حاجيات‬, ‫الضروريات‬
dan ‫التحسينات‬.

1. Dharûriyât (primer), artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika
tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam.
2. Hâjiyât (sekunder), maksudnya sesuatu yang diperlukan untuk menghilangkan
kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit.
3. Tahsiniat (tersier) artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis,
dan menutup aurat.

Dharûriyât dijelaskan dengan lebih rinci mencakup lima tujuan (al-kulliyyat al-
khamsah), iaitu :

a. Menjaga agama (hifzh al-Din)


b. Menjaga jiwa (hifzh al-Nafs)
c. Menjaga akal (hifzh al-‘Aql)
d. Menjaga keturunan (hifzh al-Nasl)
e. Menjaga harta (hifzh al-Mal)

Sehingga tujuan dari Maqashid Syariah akan tercapai jika terpenuhinya


penjagaan kelima unsur yang telah disebutkan tadi.

C. Pengertian Maqashid al-Syari’ah menurut Yusuf Qardhawi

Menurut Qardhawi kata syari’at itu dapat diartikan dengan agama secara utuh
yang mencakup segala aspek, baik itu ibadat, hokum muamalat dan juga aqidah,
kalimat syari’ah merupakan asal kata dari ‫( شرع‬syari’a) yang bermakna “menjelaskan”

4
atau berasal kata dari “ ‫( ”"الشرعة‬syir’ah ) yang bermakna secara bahasa berarti “jalan
menuju air”

Qardhawi menegaskan bahwa kalimat “‫ ”شرع‬baik dalam bentuk isim dan


bentuk fi’il yang terdapat didalam al-qur’an hanya ada lima kali disebutkan, dan
terbukti bahwa kalimat “‫ ”الشريعة‬hanya terdapat dalam surat al-Jatsiyah : 18, dan surat
ini adalah surat makkiyah yang mana surat ini diturunkan sebelum adanya hokum, dari
sini kita mengetahui bahwa kalimat syari’ah adalah kalimat yang mengandung makna
“agama” secara keseluruhan baik itu aqidah, muamalah, ibadat dan lainnya.

Qardhawi juga mengatakan bahwa “ sungguh sangat keliru para ‫”"دعاة العلمانيين‬
(aktivis liberal) bahwa kalimat syari’ah itu hanya bermakna “hokum saja” tidak
termasuk didalamnya ranah “Aqidah”, padahal kalimat “Aqidah” juga tidak ada
ditemukan dalam al-qur’an, jadi mengapa dipisahkan antara aqidah dengan syari’ah?
Dan sesuatu yang sudah menjadi hal yang qath’I bahwasanya al-qur’an itu mencakup
segala aspek: aqidah, muamalat, hokum, akhalq dll.

Namun hari ini pelafalan syari’ah itu diartikan dengan 2 makna yaitu: agama
secara umum dan fiqih secara khusus, namun yusuf qardhawi lebih dominan yang
dimaksud dengan syari’ah itu adalah segala bentuk yang terkait dengan agama, adapun
pengkhususan para ahli ushul fiqih dengan “ ‫ ”الكليات الخمس‬dengan maqashid syari’ah
itu adalah tidak menafikan akan pencakupannya terhadap aqidah.

Jadi, menurut Yusuf Qardhawi yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah


adalah makna-makna dan tujuan-tujuan umum yang diinginkan oleh nash-nash syar’i ,
baik berupa perintah, larangan dan mubah. Atau bisa juga diartikan bahwa Maqashid
al-Syari’ah itu adalah hikmah disyari’atkannya suatu hokum, dan bukan Illat hokum,
karena Illat hokum itu adalah sebab adanya hokum dan bukan tujuan hokum, sebgai

5
contoh “ illat hokum boleh mengqashar Shalat adalah Safar namun hikmahnya adalah
Masyaqqoh (adanya kesusahan dalam safar)2.

D. Pemahaman manusia terhadap nash dalam konteks maqashid menurut Yusuf


Qardhawi

Yusuf Qardhawi mengklasifikasikan pemahaman para ulama terhadap nas


menjadi tiga aliran;

1. Kaum pertama adalah Kaum literalis/tekstual .


Mereka yang memahami nas secara literal tanpa melihat lebih jauh tujuan dasar
diturunkannya hukum syari’i. Qardhawi menamakan aliran ini dengan istilah neo
Zahiriyyah (dhahîriyatu’l judud). Menurut qordhwi mereka mempunyai beberapa
pola fikir3, diantaranya:
a. Memahami nash dengan cara tekstual/literal tanpa melihat ‘illat, makna dan
maksud-maksud yang terkandung dalam nash tersebut.
b. Mengingkari ta’lil hukum yang berasal dari akal dan ijtihad manusia. Ulama
bersepakat ta’lil tidak dibolehkan dalam hukum ibadah kerana dasar ibadah
adalah ta’abbud tanpa mengetahui hikmah sedangkan dasar mu’amalah adalah
mengetahui makna, rahsia dan maksud-maksud.
c. Tidak mengedepankan peran aqal, dan cenderung tidak menggunakan
rasionalitas dalam memahami nash.
d. Bersifat tegas dan keras dalam menetapkan hukum, lebih mengedapankan
sikap kerasnya ibnu umar daripada mengambil rukhshohnya ibnu abbas.

Yusuf Qardhawi kemudian memaparkan Beberapa contoh kasus hukum yang


dapat dihasilkan dari pendapat ini4, diantaranya adalah:

2
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 17
3
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 41
4
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 62

6
a. Mengharamkan/Membatalkan harga uang kertas (Pendapat golongan al-
ahbasy di Lebanon) kerana ia bukanlah uang yang terdapat di dalam al-Quran
dan as-Sunnah dan uang itu tidak perlu dikeluarkan zakat dan tidak berlaku
riba’ keatasnya.
b. Menggugurkan zakat harta perdagangan, seperti yang dipelopori oleh
syaukani ibnu hazam, yang menyalahi pendapat jumhur.
c. Zakat fitrah harus dikeluarkan dari makanan saja, hal ini adalah salah satu
perbedaan pendapat ulama yang seharusnya tidak harus diperdebatkan dengan
kusir.
d. Mengharamkan fotografi/video.
2. Kaum kedua adalah Kaum liberalis.
Kebaliakan dari aliran pertama, yaitu mereka yang mengklaim dirinya
sebagai orang yang selalu memahami nas sesuai dengan ilmu maqashid. Jargon
yang sering mereka dengungkan adalah bahwa yang terpenting dalam urusan
agama adalah pemahaman substansi dari teks dan bukan teks redaksi dari nas.
Mereka tidak membedakan antara dalil qath’i dan dzanni.Bahkan mereka
cenderung menafsirkan nas sesuai dengan kepentingan mereka. Jika mereka
menghadapi nas sharih, sementara bertentangan dengan arah pemikiran mereka,
maka nas tersebut akan ditakwil. Akibatnya adalah pemahaman yang salah dan
terkesan ngawur terhadap tek-teks al-Qur’ân maupun Sunnah. Ironisnya mereka
mengklaim dirinya sebagai kaum reformis.Corak pemikiran mereka menjadi
sangat liberal.
Mereka ini adalah kaum mu’aththilah/pengingkari nash gaya baru ( ‫المعطلة‬
‫)الجدد‬, dan mereka mewarisi pemikiran nenek moyang mereka atau mu’aththilah
gaya lama (‫)المعطلة القدامى‬yang telah mengingkari dan menafikan nama dan sifat
allah.
Diantara cir-ciri mereka menurut Qardhawi nadalah:
a. Dangkal pemahaman terhadap syari’at.

7
b. Berani berpendapat tanpa ilmu, untuk berlaku sombong dan melakukan klaim-
klaim.
c. Hamba barat/berkiblat kebarat.
Dan diantara pola pikir kaum kedua ini (liberalis) adalah:
a. Meninggikan aqal daripada wahyu. Mereka berdalil “Allah mengkehendaki
kemudahan bagimu, dan tidak mengkehendaki kesukaran bagimu.” (Al-
Baqarah: 185) untuk membatalkan nash-nash syari’at. Sehebat mana-pun aqal
manudia di zaman moden ini, jutaan manusia terjerumus dalam kehancuran
akibat aqal yang dipandu tanpa wahyu
b. Mengklaim bahwa Umar ra. membatalkan nash atas nama maslahat. Contoh
sikap Umar ra. zakat memberikan bahagian zakat kepada muallaf (at-Taubah:
60), membatalkan pembahagian ghanimah di antara orang-orang yang ikut
berperang (al-Anfal: 41) dan tidak melaksanakan had mencuri pada tahun
kelaparan (al-Maidah: 38). Sedangkan fiqih Umar ra. tidak pernah lari
daripada maksud-maksud syari’at. Kerana tidak ada objek yang perlu dipujuk
hatinya, maka ‘illat hilang dan Rasulullah telah memujuk hati mereka para
muallaf demi kemaslahatan Islam sedangkan di zaman Umar Allah swt. telah
memuliakan Islam hinggakan tiada alasan lagi untuk memujuk hati mereka.
Hudud pula harus dihindari kerana adanya syuhbat.
c. Salah faham terhadap pemikiran Najmuddin ath-Thufi (716 H) “ apabila ada
nash qath’i bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat yang lebih
dikepedankan”, padaha setelah dicermati dan diteliti lebih dalam maka
sesungguhnya ath-Thufi tidak menyebutkan nash qath’i tetapi dia
menyebutkan nash zhanni. Dan disebutkan didalam konteks perkatan ath-
Thufi tersebut secara jelas keharaman menyalahi nash qath’i.
d. Berpegang dengan kaedah, “Dimana ada kemaslahatan, di sanalah ada syari’at
Allah” Yang sebenarnya mereka tidak mengambil kaedah yang dinisbatkan
kepada Ibnul Qayyim ini baik pada teks maupun lafaznya kerana mereka

8
menganggap syari’at Allah wajib menurut kemaslahatan sedangkan
sepatutnya “dimana ada syari’at Allah di sanalah ada kemaslahatan manusia.”

Yusuf Qardhawi kemudian memaparkan Beberapa contoh kasus hukum yang


dapat dihasilkan dari pendapat ini, diantaranya adalah:

a. Membuang nash qath’i dan mengambil nash mutasyabihatContoh mereka


berpendapat Allah tidak mengharamkan arak dengan jelas seperti bangkai,
darah dan daging babi dan mereka ragu terhadap as-Sunnah. Sedangkan yang
haram di dalam Al-Quran tidak semestinya menggunakan lafaz haram.
mereka selalu meragukan as-Sunnah, dan mereka memberikan doktrin bahwa
‘as-Sunnah itu sudah bercampur baur antara yang shahih dan dha’if’, dan
mereka juga meragukan kehujjahan as-Sunnah. dan kaum liberal ini sangat
ngotot untuk selau membela tokoh-tokoh yang menyimpang, dan berusaha
untuk menghiasi penyimpangan mereka agar kelihatan baik dan mereka
berusaha untuk berkontribusi mengeksiskan eksistensi paham liberal ini
disekitar mereka.
b. Melawan hukum Islam dan Hudud atas nama kemaslahatan Contoh
mengatakan maksud ibadah adalah mensucikan jiwa dan dengan maksud itu
kita boleh beribadah dengan apa cara sekalipun. diantara Mereka juga ada
yang menghalalkan pelacuran, arak dan riba dengan berbagai alasan
contohnya untuk menarik pelancong untuk kemajuan.
c. Munculnya pemikiran-pemikiran yang keliru.
3. Kelompok ketiga adalah kelomok Moderat.
Mereka adalah aliran yang memahami nas secara moderat atau yang
disebut dengan istilah ‘Wasithiyah’, tidak literal namun juga tidak liberal.Mereka
memahaminas juz’î sesuai dengan maqashidkulî, mengembalikan permasalahan
furu’iyah ke dalam nas kuliyah, selalu berpegang kepada nas qoth’i tsubut dan
dalâlah, menghindari nas mutasyabbihâtdan kembali kepada nas
muhkamât.Qardhawi sendiri mengklaim dirinya sebagai pengikut aliran ini.

9
Menurutnya, aliran inilah yang paling mampu mengekspresikan hakikat Islam
serta dapat menyelamatkan ajaran Islam dari perubahan dan penyelewengan yang
dilancarkan musuh Islam.
Diantara cir-ciri mereka menurut Qardhawi5 adalah:
a. Meyakini adanya hikmah syari’at yang mengandung kemaslahatan untuk
makhluq.
b. Mengkorelasikan antara nash dan hukum syari’at. Hukum syari’at harus
dilihat secara komprehensif, dan tidak terpisah antara satu sama lain.
c. Obyektif dalam melihat urusan dunia dan akhirat.
d. Mengkorelasikan nash dengan realitas dan fakta kehidupan, hidup bersama
realita masyarakat.
e. Berusaha untuk memberikan kemudahan terhadap manusia
f. Terbuka, dialog, dan toleransi terhadap dunia.
Dan diantara pola pikir kaum ketiga ini (moderat) adalah:
a. Menemukan tujuan nash sebelum menjustifikasi hukum.
b. Memahami nash dalam bingkai sebab dan keadaannya, Ada hukum yang
dibangun daripada sesetengah hadis yang gugur apabila hilang ‘illatnya.
1) Contoh Membukukan Al-Quran:“Janganlah kalian menulis dariku
sedikit-pun. Barangsiapa yang menulis selain Al-Quran hendaklah
menghapusnya.” HR Muslim
c. Membedakan antara maksud-maksud yang tetap dan wasilah-wasilah yang
berubah.
Contoh, prinsip syura dalam kehidupan Islam (asy-Syura: 38), persiapkan
kuda untuk menghadapi musuh (al-Anfal: 60), hijab muslimah (al-Ahzab: 59),
siwak, melihat hilal dll. Tidak boleh mengubah maksud kepada wasilah atau
sebaliknya. Contoh tidak perlu ruku’ dan sujud yang penting hati ikhlas
berlawanan dengan hadis jibril

5
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 152

10
d. Menyesuaikan dengan yang telah tetap dan yang akan senantiasa berubah
Hal yang dibenarkan ijtihad adalah dalam nash-nash zhanni, baik tsubut,
dilalah mahupun keduanya.
e. Melihat perbedaan makna dalam ibadah dan mu’amalah, sebagaimana hal ini
ditegaskan oleh as-Syatibi dalam bukunya ‘al-Muwafaqot’ :
“Hukum asal peribadatan jika di sandarkan kepada mukallaf adalah
‘ta’abbud’ tidak menoleh kepada makna, sebaliknya hokum adat/ kebiasaan
itu menilik kepada maknanya”6

Menurut Qardhawi kelomok ketiga ini mempunyai keunggulan tersendiri


dibanding dengan kelompok sebelumnya, yang mana kelompok ini memberikan
kontribusi baik untuk ijtihad kontemporer yang bisa memposisikan antara realita
dengan nash-nash al-qur’an dan as-sunnah, kita akan mendapatkan hal tersebut dalam
berbagai literatur seperti:

a. Kumpulan fatwa syaikh rasyid ridho “ majallah al-manar”


b. Tafsir sa’di karya syaikh al-allamah Abdurrahman al-Sa’di (ulama besar Saudi
Arabia)
c. Fatawa syaikh Musthofa al-Zarqo (ulama suriah)
d. Dll

Dua pola pikir yang dipaparkan diatas (KAUM LITERALIS dan KAUM
MODERAT) adalah pola pikir yang harus dikombinasikan dalam merealisasikan nash
dan mewujudkan mashlahah, agar tidak terjadi penafian nash secara muthlak atau
bersikap jumud secara muthlak.

6
http://fisy.sunan-giri.ac.id/2015/03/07/maqasid-al-syariah-dan -relevansinya-kulli-juz’i.html
(diakses pada 09 oktober 2019)

11
Demi mewujudkan implementasi hokum yang ada pada nash dan sekaligus
mewujudkan mashlahat yang pada ummat ini seorang pakar hokum islam harus lebih
hati-hati dalam menjastifikasi hokum dengan dalih memelihara maslahat.

Ketika terjadi kontradiksi antara nash dengan maslahah maka yang harus
dikedepankan adalah nash, dan hal ini merupakan pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah,
atau boleh mengedepankan maslahah dalam yang berbentuk yang sangat darurat bukan
hanya sekedar kebutuhan maslahat individu tertentu (hal ini pendapat Ghazali dan al-
Amidi), sebagai contoh adalah ketika ada sekelompok kecil kaum muslimin yang
tinggal sekitar campnya orang kafir harbi yang sedang memerangi kaum muslimin,
dalam kondisi seperti ini kaum muslimin boleh menyerang kaum kafir harbi tersebut
walaupun harus mengenai kaum kelompok kecil kaum muslimin tersebut, (hal ini
mngedepankan dharurat daripada nash yaitu larangan membunuh muslim).7

7
http://huki1.blogspot.com/2017/01/fiqih-maqashid-syariah-studi-terhadap.html

12
DAFTAR PUSTAKA

http://suheri19.blogspot.com/2015/11/pengertian-maqashid-syariah-hakikat.

Al-Qardhawi Yusuf, Fiqih Maqashid Syariah , terj. Arif Munandar Riswanto, Jakarta: pustaka

kautsar, 2007

http://fisy.sunan-giri.ac.id/2015/03/07/maqasid-al-syariah-dan -relevansinya-kulli-juz’i.html

http://huki1.blogspot.com/2017/01/fiqih-maqashid-syariah-studi-terhadap.html

13

Anda mungkin juga menyukai