YUSUF AL-QARDHAWI
Makalah ini sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh Maqashid Syari’ah
Oleh :
MUNAWAR HARIS
HUSAIN ANWAR
KAHARUDDIN
IRWAN
Dosen Pengampu :
Abd Razik, S,Sy., MH.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Maqashid al-syari’ah secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata, yakni
maqasid dan syari’ah.Maqashid, adalah bentuk jamak dari maqsủd, yang berarti
“kesengajaan atau tujuan.”Syari’ah, secara bahasa berarti “jalan menuju air.”
• Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyuallah subhanahu
wat’ala dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan
selaluberhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakahhukum
Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun padabeberapa abad yang
lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.Jawaban terhadap pertanyaan itu
baru bisa diberikan setelah diadakan kajianterhadap berbagai elemen hukum Islam, dan
salah satu elemen yangterpenting adalah teori maqashid al-syari'ah.
1
http://suheri19.blogspot.com/2015/11/pengertian-maqashid-syariah-hakikat.html (diakses
pada 09 oktober 2019)
3
B. Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Untuk menuju kepada maksud-maksud syari’at. Hujjatul Islam Abul Hamid Al-
Ghazali telah membuat satu perbahasan khusus yang menjelaskan tentang maslahat
sebagai asal yang tidak jelas (ash mauhum) dan membahaginya kepada tiga (3)
tingkatan yang kemudiannya dirinci oleh Imam Asy-Syathibi yaitu: حاجيات, الضروريات
dan التحسينات.
1. Dharûriyât (primer), artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika
tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam.
2. Hâjiyât (sekunder), maksudnya sesuatu yang diperlukan untuk menghilangkan
kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit.
3. Tahsiniat (tersier) artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis,
dan menutup aurat.
Dharûriyât dijelaskan dengan lebih rinci mencakup lima tujuan (al-kulliyyat al-
khamsah), iaitu :
Menurut Qardhawi kata syari’at itu dapat diartikan dengan agama secara utuh
yang mencakup segala aspek, baik itu ibadat, hokum muamalat dan juga aqidah,
kalimat syari’ah merupakan asal kata dari ( شرعsyari’a) yang bermakna “menjelaskan”
4
atau berasal kata dari “ ( ”"الشرعةsyir’ah ) yang bermakna secara bahasa berarti “jalan
menuju air”
Qardhawi juga mengatakan bahwa “ sungguh sangat keliru para ”"دعاة العلمانيين
(aktivis liberal) bahwa kalimat syari’ah itu hanya bermakna “hokum saja” tidak
termasuk didalamnya ranah “Aqidah”, padahal kalimat “Aqidah” juga tidak ada
ditemukan dalam al-qur’an, jadi mengapa dipisahkan antara aqidah dengan syari’ah?
Dan sesuatu yang sudah menjadi hal yang qath’I bahwasanya al-qur’an itu mencakup
segala aspek: aqidah, muamalat, hokum, akhalq dll.
Namun hari ini pelafalan syari’ah itu diartikan dengan 2 makna yaitu: agama
secara umum dan fiqih secara khusus, namun yusuf qardhawi lebih dominan yang
dimaksud dengan syari’ah itu adalah segala bentuk yang terkait dengan agama, adapun
pengkhususan para ahli ushul fiqih dengan “ ”الكليات الخمسdengan maqashid syari’ah
itu adalah tidak menafikan akan pencakupannya terhadap aqidah.
5
contoh “ illat hokum boleh mengqashar Shalat adalah Safar namun hikmahnya adalah
Masyaqqoh (adanya kesusahan dalam safar)2.
2
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 17
3
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 41
4
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 62
6
a. Mengharamkan/Membatalkan harga uang kertas (Pendapat golongan al-
ahbasy di Lebanon) kerana ia bukanlah uang yang terdapat di dalam al-Quran
dan as-Sunnah dan uang itu tidak perlu dikeluarkan zakat dan tidak berlaku
riba’ keatasnya.
b. Menggugurkan zakat harta perdagangan, seperti yang dipelopori oleh
syaukani ibnu hazam, yang menyalahi pendapat jumhur.
c. Zakat fitrah harus dikeluarkan dari makanan saja, hal ini adalah salah satu
perbedaan pendapat ulama yang seharusnya tidak harus diperdebatkan dengan
kusir.
d. Mengharamkan fotografi/video.
2. Kaum kedua adalah Kaum liberalis.
Kebaliakan dari aliran pertama, yaitu mereka yang mengklaim dirinya
sebagai orang yang selalu memahami nas sesuai dengan ilmu maqashid. Jargon
yang sering mereka dengungkan adalah bahwa yang terpenting dalam urusan
agama adalah pemahaman substansi dari teks dan bukan teks redaksi dari nas.
Mereka tidak membedakan antara dalil qath’i dan dzanni.Bahkan mereka
cenderung menafsirkan nas sesuai dengan kepentingan mereka. Jika mereka
menghadapi nas sharih, sementara bertentangan dengan arah pemikiran mereka,
maka nas tersebut akan ditakwil. Akibatnya adalah pemahaman yang salah dan
terkesan ngawur terhadap tek-teks al-Qur’ân maupun Sunnah. Ironisnya mereka
mengklaim dirinya sebagai kaum reformis.Corak pemikiran mereka menjadi
sangat liberal.
Mereka ini adalah kaum mu’aththilah/pengingkari nash gaya baru ( المعطلة
)الجدد, dan mereka mewarisi pemikiran nenek moyang mereka atau mu’aththilah
gaya lama ()المعطلة القدامىyang telah mengingkari dan menafikan nama dan sifat
allah.
Diantara cir-ciri mereka menurut Qardhawi nadalah:
a. Dangkal pemahaman terhadap syari’at.
7
b. Berani berpendapat tanpa ilmu, untuk berlaku sombong dan melakukan klaim-
klaim.
c. Hamba barat/berkiblat kebarat.
Dan diantara pola pikir kaum kedua ini (liberalis) adalah:
a. Meninggikan aqal daripada wahyu. Mereka berdalil “Allah mengkehendaki
kemudahan bagimu, dan tidak mengkehendaki kesukaran bagimu.” (Al-
Baqarah: 185) untuk membatalkan nash-nash syari’at. Sehebat mana-pun aqal
manudia di zaman moden ini, jutaan manusia terjerumus dalam kehancuran
akibat aqal yang dipandu tanpa wahyu
b. Mengklaim bahwa Umar ra. membatalkan nash atas nama maslahat. Contoh
sikap Umar ra. zakat memberikan bahagian zakat kepada muallaf (at-Taubah:
60), membatalkan pembahagian ghanimah di antara orang-orang yang ikut
berperang (al-Anfal: 41) dan tidak melaksanakan had mencuri pada tahun
kelaparan (al-Maidah: 38). Sedangkan fiqih Umar ra. tidak pernah lari
daripada maksud-maksud syari’at. Kerana tidak ada objek yang perlu dipujuk
hatinya, maka ‘illat hilang dan Rasulullah telah memujuk hati mereka para
muallaf demi kemaslahatan Islam sedangkan di zaman Umar Allah swt. telah
memuliakan Islam hinggakan tiada alasan lagi untuk memujuk hati mereka.
Hudud pula harus dihindari kerana adanya syuhbat.
c. Salah faham terhadap pemikiran Najmuddin ath-Thufi (716 H) “ apabila ada
nash qath’i bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat yang lebih
dikepedankan”, padaha setelah dicermati dan diteliti lebih dalam maka
sesungguhnya ath-Thufi tidak menyebutkan nash qath’i tetapi dia
menyebutkan nash zhanni. Dan disebutkan didalam konteks perkatan ath-
Thufi tersebut secara jelas keharaman menyalahi nash qath’i.
d. Berpegang dengan kaedah, “Dimana ada kemaslahatan, di sanalah ada syari’at
Allah” Yang sebenarnya mereka tidak mengambil kaedah yang dinisbatkan
kepada Ibnul Qayyim ini baik pada teks maupun lafaznya kerana mereka
8
menganggap syari’at Allah wajib menurut kemaslahatan sedangkan
sepatutnya “dimana ada syari’at Allah di sanalah ada kemaslahatan manusia.”
9
Menurutnya, aliran inilah yang paling mampu mengekspresikan hakikat Islam
serta dapat menyelamatkan ajaran Islam dari perubahan dan penyelewengan yang
dilancarkan musuh Islam.
Diantara cir-ciri mereka menurut Qardhawi5 adalah:
a. Meyakini adanya hikmah syari’at yang mengandung kemaslahatan untuk
makhluq.
b. Mengkorelasikan antara nash dan hukum syari’at. Hukum syari’at harus
dilihat secara komprehensif, dan tidak terpisah antara satu sama lain.
c. Obyektif dalam melihat urusan dunia dan akhirat.
d. Mengkorelasikan nash dengan realitas dan fakta kehidupan, hidup bersama
realita masyarakat.
e. Berusaha untuk memberikan kemudahan terhadap manusia
f. Terbuka, dialog, dan toleransi terhadap dunia.
Dan diantara pola pikir kaum ketiga ini (moderat) adalah:
a. Menemukan tujuan nash sebelum menjustifikasi hukum.
b. Memahami nash dalam bingkai sebab dan keadaannya, Ada hukum yang
dibangun daripada sesetengah hadis yang gugur apabila hilang ‘illatnya.
1) Contoh Membukukan Al-Quran:“Janganlah kalian menulis dariku
sedikit-pun. Barangsiapa yang menulis selain Al-Quran hendaklah
menghapusnya.” HR Muslim
c. Membedakan antara maksud-maksud yang tetap dan wasilah-wasilah yang
berubah.
Contoh, prinsip syura dalam kehidupan Islam (asy-Syura: 38), persiapkan
kuda untuk menghadapi musuh (al-Anfal: 60), hijab muslimah (al-Ahzab: 59),
siwak, melihat hilal dll. Tidak boleh mengubah maksud kepada wasilah atau
sebaliknya. Contoh tidak perlu ruku’ dan sujud yang penting hati ikhlas
berlawanan dengan hadis jibril
5
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Maqashid Syariah, hal 152
10
d. Menyesuaikan dengan yang telah tetap dan yang akan senantiasa berubah
Hal yang dibenarkan ijtihad adalah dalam nash-nash zhanni, baik tsubut,
dilalah mahupun keduanya.
e. Melihat perbedaan makna dalam ibadah dan mu’amalah, sebagaimana hal ini
ditegaskan oleh as-Syatibi dalam bukunya ‘al-Muwafaqot’ :
“Hukum asal peribadatan jika di sandarkan kepada mukallaf adalah
‘ta’abbud’ tidak menoleh kepada makna, sebaliknya hokum adat/ kebiasaan
itu menilik kepada maknanya”6
Dua pola pikir yang dipaparkan diatas (KAUM LITERALIS dan KAUM
MODERAT) adalah pola pikir yang harus dikombinasikan dalam merealisasikan nash
dan mewujudkan mashlahah, agar tidak terjadi penafian nash secara muthlak atau
bersikap jumud secara muthlak.
6
http://fisy.sunan-giri.ac.id/2015/03/07/maqasid-al-syariah-dan -relevansinya-kulli-juz’i.html
(diakses pada 09 oktober 2019)
11
Demi mewujudkan implementasi hokum yang ada pada nash dan sekaligus
mewujudkan mashlahat yang pada ummat ini seorang pakar hokum islam harus lebih
hati-hati dalam menjastifikasi hokum dengan dalih memelihara maslahat.
Ketika terjadi kontradiksi antara nash dengan maslahah maka yang harus
dikedepankan adalah nash, dan hal ini merupakan pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah,
atau boleh mengedepankan maslahah dalam yang berbentuk yang sangat darurat bukan
hanya sekedar kebutuhan maslahat individu tertentu (hal ini pendapat Ghazali dan al-
Amidi), sebagai contoh adalah ketika ada sekelompok kecil kaum muslimin yang
tinggal sekitar campnya orang kafir harbi yang sedang memerangi kaum muslimin,
dalam kondisi seperti ini kaum muslimin boleh menyerang kaum kafir harbi tersebut
walaupun harus mengenai kaum kelompok kecil kaum muslimin tersebut, (hal ini
mngedepankan dharurat daripada nash yaitu larangan membunuh muslim).7
7
http://huki1.blogspot.com/2017/01/fiqih-maqashid-syariah-studi-terhadap.html
12
DAFTAR PUSTAKA
http://suheri19.blogspot.com/2015/11/pengertian-maqashid-syariah-hakikat.
Al-Qardhawi Yusuf, Fiqih Maqashid Syariah , terj. Arif Munandar Riswanto, Jakarta: pustaka
kautsar, 2007
http://fisy.sunan-giri.ac.id/2015/03/07/maqasid-al-syariah-dan -relevansinya-kulli-juz’i.html
http://huki1.blogspot.com/2017/01/fiqih-maqashid-syariah-studi-terhadap.html
13