Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA NABI

SAMPAI MASA TABI’IN


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Oleh :

1. Husain Anwar : 922018005


2. Kaharuddin : 922018007
3. M. AinalYaqin : 922018009
4. MunawarHaris : 922018012

DosenPengampu:
Dr. Abdurahman Sakka Lc. M. Pd. I

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-AZHAR GOWA
2019
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran adalah sumber pertama syariat islam dan As-Sunnah adalah
sumber kedua. As-Sunnah merupakan penjelas Al-Quran, pemerinci hukum-
hukumnya, dan mengeluarkan furu’ ‘cabang’ dari ushul ‘pokok-nya. As-
Sunnah adalah praktik nyata ajaran islam yang dilakukan oleh Rasulullah
Muhammad saw untuk semua umat manusia.
kaum muslimin sejak masa Rasulullah saw sampai sekarang
mematuhioo As-Sunnah dan tetap menjadikannya sumber hukum dan
penuntun akhlak di samping Al-Quran, sampai Allah memusakakan bumi dan
segala yang ada di dalamnya.
Berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah merupakan rahasia
kesuksesan dan kemajuan umat islam, sesuai dengan sabda Rasulullah.,
“Aku tinggallkan dua hal untuk kalian, yang kalian tidak akan tersest
apabila berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hadits pada masa Nabi Saw ?
2. Bagaimana Pekembangan hadits Pada masa Khulafa Ar-Rasyidin?
3. Bagaimana perkembangan hadits pada masa Tabi’in?
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hadist pada Masa Rasulullah Saw.

Periode ini di sebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At- Taqwin (masa turunnya wahyu
dan pembentukan masyarakat islam). Pada periode inilah, hadits lahir berupa
sabda (aqwal), af’al, dan taqrir nabu yang berfungsi menerangkan Al-quran untuk
menegakkan syariat.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi saw. Memberi ceramah,
pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan yang di kirim oleh nabi ke daerah-daerah atau
utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa nabi saw, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat
sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di
kalangan sahabat masih kurang, nabi menekankan untuk menghapal, memahami,
memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari,
serta mentabliqkannya kepada orang lain.
Nabi saw menjadi pusat perhatian para sahabat apa pun yang di datangkan
oleh Nabi Muhammad saw baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan
merupakan referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat.
Setiap sahabat mempuyai kedudukan tersendiri di hadapan Rasulullah
saw, adakalanya disebut dengan “as-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang
pertama masuk islam. Ada juga sahabat yang sungguh-sungguh menghapal hadits
semisal Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat yang
lain yang mana mereka lebih banyak menghapalkannya seperti Anas bin Malik.
Demikian juga ada sahabat yang dekat sama Rasulullah saw seperti Aisyah,
ummu salamah, dan khulafaur rasidin, semakin erat dan lama bergaul semakin
banyak pula hadits yang diriwayatkan dan divaliditasnya tidak diragukan.
4

Sebagaimana yang di sebutkan dalam kitab Fathul Bari bahwa : Para


sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis-majelis Rasulullah saw sambil
tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka , seperti menggembala
dan berdagang. Mereka menghadiri majelis Rasulullah saw secara bergantian
kerena sebgian dari mereka tidak bisa menghadirinya. Hal inilah yang dilakukan
oleh Umar r.a. ia berkata, “Aku dan seorang tetanggaku , sahabat Anshar dari
Bani Umayyah bin Zaid-mereka adalah penduduk di sekitar madinah- secara
bergantian datang kepada Rasulullah saw. Pada suatu hari ia yang datang dan hari
yang lain aku yang datang . jika aku yang datang pada suatu hari maka sepulang
dari Rasulullah saw aku mendatanginya dan memberi tahu wahyu atau hal lain
yang kuterima. Dan jika ia yang datang pada suatu hari maka ia melakukan hal
yang sama.”1
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun
waktu turunya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadits. Untuk lebih
memahami kondisi/keadaan hadits pada zaman nabi saw dapat beberapa hal yang
berkaitan :2

1. Cara Rasulullah saw menyampaikan hadist


Rasulullah saw dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang
apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada nabi saw. Di
masjid, pasar, rumah, dalam perjalanan dan di majelis-majelis ta’lim.
Ucapan dan perilaku beliau selalu di rekam dan dijadikan uswah(suri
tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para
sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis nabi saw. Untuk memperoleh
patuah-patuah Rasulullah saw, karena tempat tinggal mereka berjauhan,
ada di kota dan ada di desa, begitu juga perofesi mereka berbeda, sebagai
pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi saw. Pada

1
Lihat Hadits Nabi sebelum dibukukan, DR.M.Ajaj Al-Khathib
2
Arief Raihan, “sejarah perkembangan hadist dari zaman Rasulullah hingga sahabat”,
https://knowledgeisfree.blogspot.com/2015/11/makalah-sejarah-perkembangan-hadist.html
5

saat bertemu pada hari jum’at dan hari raya. Cara rasulullah saw
menyampaikan tausiah tersebut kepada para sahabat lain yang tidak hadir.3
2. Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist.
Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadist adalah bertanya
langsung kepada Nabi saw. Dalam problematika yang dihadapi oleh
mereka, seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Tapi perlu diketahui ,
tidak selamanya para sahabat bertanya langsung
Dalam kitab Manna’ Al-Qattan Tarkh al- Tashyri al- islami Kairo
disebutkan bahwa : kebayakan sahabat untuk menguasai hadist nabi saw
melalui hapalan dan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk
mengumpulkan al-quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka
timbul kesamaran dengan al-quran4
3. Larangan menulis hadist dimasa nabi Muhammad saw
Hadist pada zaman nabi Muhammad saw belum di tulis secara
umum sebagaimana al-quran. Hal ini di sebabkan oleh dua factor :
Para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan
otaknya, di samping alat-alat tulis masih kurang. Karena adanya larangan
menulis hadist nabi
Abu Sa’id al-Khudri berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :
‫ال تكتبوا عني شيئا غير القران فمن كتب عني شيئا غير القران فليمحه‬
“janganlah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, dan
barangsiapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya.” ( H.R.
Muslim)
Larangan tersebut di sebabkan karena adanya kekhawatiran
bercampur aduknya hadist dengan al-quran, atau mereka bias melalaikan
al-quran, atau atau larangan khusus bagi orang yang di percaya
hafalannya.tetapi begi orang yang tidak lagi dikhawatirkan, seperti yang

3
Ibid.
4
Ibid.
6

pandai beca tulis, atau mereka khawatir akan lupa, maka penulisan hadist
bagi sahabat tertentu di perbolehkan.5
4. Aktivitas penulisan hadist.
Dalam Ulum al- hadist wal mustalahu di sebutkan Bahwasanya
sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah saw, ada yang
mendapatkan izin khusus dari Nabi saw, hanya saja kebanyakan dari
mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir
kehidupan.6

Keadaan sunnah pada masa Nabi saw belum dibukukan secara resmi,
walau ada beberapa sahabat yang menulisnya karena di perbolehkan oleh Nabi
saw, hadist yang di ceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi saw bersabda:
‫اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه اال الحق‬
“tulislah!, demi zat yang diriku didalm kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku
kecuali yang hak” .(Sunan al-Darimi)
Adanya larangan dan pembolehan penulisan hadist tampak bertentangan,
maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi awal-awal islam untuk
memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-quran. Tetapi setekah itu
jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal al-
quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang
membolehkannya.

Bahwa larangan penulisan hadist itu bersifat umum, sedang perizinan


menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis.
Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan
salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash
Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya
dari pada menulis, sedangkan perizinan penulisannya di berikan kepada orang
yang tidak kuat hafalannya

5
Ibid.
6
Ibid.
7

B. Sejarah perkembangan hadits dimasa sahabat (khulafa Arrasyidin)

Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, para sahabat tidak dapat lagi
mendengar sabda sabdanya, tidak bisa lagi melihat perbuatan-perbuatannya
dan hal-ihwalnya secara langsung. Untuk mengenangnya dan melestarikan
ajaran-ajarannya, periwayatan hadis mulai berkembang dari para sahabat
kepada kaum muslimin lainnya. Para sahabat yang diibaratkan laksana
meneguk air yang jernih yang langsung dari sumbernya, mereka berkomitmen
untuk tidak mendustakan Nabi Muhammad Saw.. Mereka adalah orang orang
pilihan yang rela mengorbankan segenap harta, jiwa dan raga untuk dakwah
Islam. Periode perkembangan hadis pada masa ini dikenal dengan zaman al-
Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah, yakni periode membatasi hadis dan
menyedikitkan riwayat yang terjadi diperkirakan antara tahun 12-40-an H.
Hal ini dilakukan karena para sahabat pada periode ini lebih berkonsentrasi
terhadap pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Hal ini sangat nampak
dilakukan oleh para sahabat besar khususnya adalah Khulafa ar Rasyidin
(Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar bin al-Khatthab, ‘Usman bin Affan, dan ‘Ali
bin Abi Talib ra.). Sebagai akibatnya, periwayatan hadis kurang mendapat
perhatian, bahkan mereka berusaha untuk selalu bersikap hati-hati dan
membatasi dalam meriwayatkan hadis. Kehati-hatian dan pembatasan dalam
meriwayatkan hadis yang dilakukan oleh para sahabat ini lebih disebabkan
adanya kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan dalam meriwayatkan hadis.
Karena hadis menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an dalam Islam, ia
harus selalu dijaga keotentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-
Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat khususnya Khulafa ar Rasyidin dan para
sahabat lainnya berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadis. Para
sahabat menyampaikan dan menjaga hadis dengan hati-hati supaya tidak
terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkan kecuali pada saat
dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.
8

1. Sejarah Hadis Masa Abu Bakar as-Siddiq ra.

Sikap hati-hati terhadap periwayatan hadis ditunjukkan oleh


khalifah pertama, Abu Bakar as-Siddiq ra. Khalifah pertama ini
menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara hadis. Abu Bakar
as-Siddiq ra mengambil kebijakan mempeketat periwayatan hadis agar
tidak disalahgunakan oleh orang-orang munafik. Sikap ketat dan kehati-
hatian Abu Bakar as-Siddiq ra tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan
konkret, yakni dengan membakar catatan-catatan hadis yang beliau miliki.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh ‘Aisyah, putri Abu Bakar, bahwa
Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis.
Tindakan Abu Bakar as-Siddiq ra tersebut lebih dilatarbelakangi oleh
kekhawatiran beliau berbuat salah dalam meriwayatkan hadis. Di lain
kesempatan, Abu Bakar as-Siddiq ra juga tidak serta merta menerima
begitu saja riwayat suatu hadis, sebelum meneliti terlebih dahulu
periwayatannya. Untuk membuktikan suatu hadis benar-benar berasal dari
Rasulullah Saw, beliau meminta kepada periwayat hadis untuk
mendatangkan saksi. Sebagai konsekuensi sikap kehati-hatian Abu Bakar
as-Siddiq ra ini, hadis-hadis yang diriwayatkan beliau relatif sedikit
jumlahnya meskipun beliau merupakan sahabat Nabi yang paling dekat
dan akrab dengan Nabi Saw. Selain itu, ada beberapa hal yang
menyebabkan sedikitnya riwayat dari Abu Bakar antara lain; Pertama,
beliau selalu sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; Kedua, kebutuhan
akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; dan ketiga, jarak
antara meninggalnya beliau dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw.
sangat singkat. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa aktivitas
periwayatan hadis pada masa khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra. masih
sangat terbatas dan belum menonjol. Pada masa ini pula umat Islam
dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang sangat menyita waktu, seperti
adanya berbagai pemberontakan yang dapat merongrong kewibawaan
9

pemerintahan sepeninggal Rasulullah Saw. Namun akhirnya, keseṃuanya


itu dapat diatasi oleh Abu Bakar as-Siddiq ra dengan baik.

2. Sejarah Hadis Masa ‘Umar bin al-Khattab ra.

Sikap dan tindakan hati-hati Abu Bakar as-Siddiq ra menginspirasi


tindakan yang dilakukan oleh khalifah kedua, ‘Umar bin al-Khattab.
‘Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan suatu hadis. Beliau tidak mau menerima suatu
riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lain. Sebagian ahli
hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar as-Siddiq ra. dan ‘Umar
menggariskan bahwa periwayatan hadis dapat diterima apabila disertai
saksi atausetidak-tidaknya periwayat berani disumpah. Sikap kehati-hatian
Umar yang seolaholah melarang sahabat lain untuk memperbanyak
periwayatan hadis ini harus ditafsiri bahwa selain kaum muslimin harus
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, juga supaya perhatian mereka
terhadap Al-Qur’an tidak terganggu. Hal ini tentunya dapat dipahami
karena memang pada saat itu, naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas
jumlahnya dan belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam.
Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu
tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan hadis. Meskipun demikian,
pada masa khalifah ‘Umar ini periwayatan hadis juga telah banyak
dilakukan oleh kaum muslimin. Yang tentunya, dalam periwayatan
tersebut tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Sikap hati-hati yang
dilakukan ‘Umar ini di samping untuk menghindarkan kekeliruan dalam
meriwayatkan hadis juga dapat menghalangi orang yang tidak bertanggung
jawab melakukan pemalsuan pemalsuan hadis

3. Sejarah Hadis Masa ‘Usman bin Affan r.a.

Pada masa kekhalifahan ‘Usman bin Affan, periwayatan hadis


tetap dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah
pendahulunya. Sikap hati-hati dalam menyampaikan dan menerima
10

periwayatan hadis selalu dipegang oleh ‘Usman bin Affan. Hanya saja,
usaha yang dilakukan oleh ‘Usman bin Affan tidak setegas yang dilakukan
oleh ‘Umar bin al-Khattab ra. Sikap kehati-hatian ‘Usman ini dapat dilihat,
misalnya, pada saat beliau berkhutbah, di mana beliau meminta kepada
para sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak
pernah mendengar hadis tersebut pada masa Abu Bakar as-Siddiq ra dan
‘Umar bin al-Khattab ra. Dengan pernyataan ini, ‘Usman ingin
menunjukkan bahwa dalam persoalan periwayatan hadis dirinya ingin juga
bersikap hatihati seperti yang dilakukan oleh khalifah pendahulunya. Sikap
kehati-hatian yang dilakukan ‘Usman ini tentunya juga berpengaruh
kepada banyak sedikitnya beliau meriwayatkan hadis. Ahmad bin Hambal
misalnya, meriwayatkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Usman bin
Affan ini tidak lebih dari empat puluh buah hadis. Itupun banyak matan
hadis yang terulang karena perbedaan sanad. Atau dengan kata lain,
jumlah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Usman bin Affan tidak sebanyak
jumlah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar. Walaupun ‘Usman dalam
khutbahnya menyerukan umat Islam untuk berhati- hati dalam
meriwayatkan hadis, pada zaman ini kegiatan umat Islam dalam
meriwayatkan hadis telah lebih banyak jika dibandingkan dengan kegiatan
periwayatan hadis pada zaman dua khalifah sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena selain pribadi ‘Usman yang tidak sekeras ‘Umar, juga
karena semakin luasnya wilayah Islam sehingga mengakibatkan
bertambahnya kesulitan pengendalian periwayatan hadis secara ketat.

4. Sejarah Hadis Masa ‘Ali bin Abi Talib r.a.

Sikap kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis tetap menjadi


prinsip utama yang dipegang oleh ‘Ali bin Abi Talib Artinya, ‘Ali tetap
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis bahkan beliau baru bersedia
menerima suatu riwayat apabila periwayat hadis tersebut mengucapkan
sumpah bahwa hadis yang disampaikan tersebut benar-benar berasal dari
Nabi Muhammad Saw. Hanya saja, terhadap orang-orang yang benar-
11

benar dipercayainya ‘Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dengan kata


lain, fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi ‘Ali tidaklah menjadi
syarat mutlak keabsahan periwayatan suatu hadis. ‘Ali bin Abi Talib
termasuk sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadis nabi. Hadis
yang beliau riwayatkan selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan (catatan). Hadis yang diriwayatkan Ali dalam bentuk tulisan
berkisar tentang hukuman denda (diyat); pembebasan orang Islam yang
ditawan orang kafir; dan larangan melakukan hukuman qisās
̣ ̣ terhadap
orang Islam yang membunuh orang kafir. Ditinjau dari kebijakan
pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadis pada masa
‘Ali bin Abi Talib sama dengan periode sebelumnya. Akan tetapi situasi
umat Islam pada masa ‘Ali bin Abi Talib telah berbeda dengan situasi pada
masa sebelumnya. Pertentangan politik umat Islam pada masa ini semakin
menajam. Peperangan antara pendukung ‘Ali dan Mu’awiyah telah terjadi.
Hal ini tentunya memberikan kontribusi negatif dalam periwayatan hadis.
Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan
pemalsuan hadis. Sehingga tidak semua periwayatan hadis dapat
dipercaya.

C. Perkembangan Hadis Masa Tabi’in

Pengertian Tabi’in adalah orang islam yang bertemu dengan sahabat,


berguru dan belajar kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah
dan tidak pula semasa dengan beliau.Setelah Nabi wafat (11 H/632 M),
kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat
Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-
Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab
(wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi
Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal
12

dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan


zaman sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior)7

Sesudah masa Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-


sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tata cara
periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembukuan tatacara periwayatan
hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari
usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu
lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode
khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif
meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-
hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi
menjadi ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembukuan tatacara
periwayatan telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan
golongan memacu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada
akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih
mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada
periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.

Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda


dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para
sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh
kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa
ini al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis
telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in
dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani
ummayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin
meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga
pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar
Ar-Riwayah lla Al Amshar). Terdapat beberapa kota yang menjadi pusat
pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam

7
(Mudasir.1999). Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
13

mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah, kufah,


basrah, Syam, Mesir, magrib, andalas, yaman dan khurasan. Pusat pembinaan
pertama adalah madinah karena di sinilah Rasullah SAW menetap dan hijrah
serta membina masyarakat islam.8
1. Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah adalah sebagai
berikut Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin
Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari
sini adalah mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan
Ikrimah maula Ibnu Abbas9
2. Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah Ali bin Abi
Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para
tabi’in yang muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-
Nakhai’, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim
Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi.10
3. Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Anas bin
Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar,
Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in
yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub
As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin
Du’amah As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan.11
4. Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu Ubaidah
Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad
bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad
bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah al-
muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
5. Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir ialah Amr bin Al-as,
Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para
tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi Al-

8
Ibid
9
Ibid
10
Ibid
11
Ibid
14

Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin
Sulaiman Ath-Thawil.12
6. Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan andalus ialah
Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid. Para
tabi’in yang munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil,
Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi
Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi dan Muslim bin Yasar.13
7. Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman adalah Muadz bin
jabal dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini
diantaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah,
Tawus dan Mamar bin Rasid.14
8. Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan adalah Abdullah
bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-
Anshari, Yahyab bin Sabih Al-Mugari.15

Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah


terjadinya perang jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan
berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok.
Secara langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan
pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya, baik pengaruh yang
bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif
adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik
masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh
yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan usaha yang mendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari
pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.16
A. Kodifikasi Hadis

12
Ibid
13
Ibid
14
Ibid
15
Ibid
16
Ibid
15

Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis


secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk
membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan
hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya.
Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana
tersebut.
Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah
tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam
di daerah- daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan
dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak
merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan
kodifikasi hadis.

Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadis tentunya berbeda


dengan penulisan hadis kitabah al-hadis. Tadwin al-hadis mempunyai makna
“penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang
pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga
kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri
asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda,
perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh
sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara
lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru
merupakan tulisan- tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan
perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis
adalah sebagai berikut:
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administrative
yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh
perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga
mengumpulkan,menghimpun, dan mendokumentaskannya.
16

3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala


perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan
hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
B. Peran Umar Bin Abdul Aziz Dalam Kodifikasi
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan
beberapa personil, yang ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau
untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama
Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalnya. Di antara isntruksinya kepada para ulama Madinah:
“perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasulullah, kemudian himpunlah ia”
Demikian juga surat khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm
“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadits Rasulullah,
sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama”.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin
Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti
Abdurrahman al- Anshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan
alQasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). instruksi yang sama ia
tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang
dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang
lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat
penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri
ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia, di
antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang.
Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil
kebijaksanaan seperti ini.
1. Pertama ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para
ulama di medan perang.
17

2. Kedua iakhawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih


dengan hadis-hadis yang palsu.
3. Ketiga bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam,
sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak
sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
C. Kesimpulan
Adapun cara periwayatan hadits pada masa Tabi’in, yang mengikuti
jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja
pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa
tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan
meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu
yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik.
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif
2. Yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh
perorangan.
3. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga
mengumpulkan,menghimpun, dan mendokumentaskannya.
4. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala
perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan
hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
18

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khathib, Ajaj. 1999. Hadits Nabi Sebelum di Bukukan. : Gema Insani


https://knowledgeisfree.blogspot.com/2015/11/makalah-sejarah-perkembangan-
hadist.html
https://www.bacaanmadani.com/2018/04/sejarah-hadis-pada-masa-sahabat-
khulafa.html
http://arial001.blogspot.com/2014/04/makalah-perkembangan-hadits-masa-
tabiin.html

Anda mungkin juga menyukai