Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN DAN PENYEBARAN HADITS

PADA MASA SAHABAT,TABI’IN,DAN


KODIFIKASI

Nama : Siti Aminah


Kelas: X ASC ²
Mapel: ilmu hadist
I. PERKEMBANGAN HADIS SEBELUM ERA KODIFIKASI.

1. Masa Rasulullah.

Membicarakan sejarah pertumbuhan hadis pada masa ini secara tidak langsung akan
mengungkapkan cara-cara rasullullah SAW. Dalam membina umatnya selama 23 tahun, dimana pada
masa ini merupakan kurun waktu turunnya al-qur’an sekaligus fungsi utama hadis untuk
menjelaskannya melalui perkataan, perbuatan dan ketetapan dari nabi untuk dijadikan pedoman
bagi kegiatan amaliyah dan ubudiyah mereka sehari-hari. Ketika rasullah SAW. Masih hidup umat
Islam dapat memperoleh hadis langsung dari beliau sebagai sumber hadis melalui beberapa cara
yang digunakan dalam penyampaiaannya, sebagaimana disampaikan Ibnu Mas’ud yang
diriwayatakan oleh Bukhari:

Pertama: melalui majlis ta’lim dimana para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima
hadis sehingga ada motifasi untuk selalu mengikuti kegiatan ini.

Kedua: dalam banyak kesempatan nabi menyampaikan hadisnya melalui beberapa sahabat tertentu
untuk disampaikan kepada sahabat yang lain. Untuk hal-hal mengenai urusan rumah tangga nabi
lebih banyak menyampaikan kepada istri-istrinya sehingga jika para sahabat segan bertanya kepada
nabi mereka bisa bertanya kepada istri-istri beliau.

Ketiga: melalui ceramah umum oleh nabi yang dilakukan ditempat-tempat terbuka. Namun pada
masa ini keberadaan hadis belum mendapat perhatian sepenuhnya sebagaimana al-qur’an
dikarenakan para sahabat lebih banyak mencurahkan perhatiaannya terhadap alquran dengan
menghafal dan menuliskannya sebagaimana perintah rasul. Kecenderungan para sahabat untuk
memelihara al-qur’an dengan cara menghafal ataupun mencatatnya menyebabkan banyak menyita
waktu mereka sehingga menyebabkan minimnya pencatatan hadis pada masa rasulullah. Akan tetapi
kita tidak dapat mengikuti pendapat mereka yang mengatakan bahwa sedikitnya pencatatan pada
masa rasul dikarenakan langkanya sarana penulisan. Memang boleh jadi hal itu merupakan salah
satu faktor, tetapi bukan satu-satunya penyebab dibiarkannya hadis luput dari pencatatan.
Nyatanya, dengan kondisi yang sama, para sahabat sanggup menghimpun dan menulis seluruh isi al-
qur’an pada daun-daun, pelepah korma, papan, pelana-pelana, potongan-potongan kulit, dan
sebagainya. Andaikata faktor psikologis yang mendorong mereka membukukan hadis sama kuatnya
dengan dorongan untuk menuslis al-qur’an tentu mereka akan mengupayakan dengan segala daya
berbagai sarana yang diperlukan. Hanya saja, atas kehendak mereka sendiri dan petunjuk nabinya,
cara mereka menghimpun hadis berbeda jauh dengan cara mereka menghimpun al-qur’an. Namun
disamping itu minimnya pencatatan hadis nabi juga dikarenakan larangan dari nabi, karena
dikhawatirkan timbul kerancuan antara sabda, penjelasan, dan perilaku beliau dengan al-qur’an,
apalagi jika semua ini ditulis pada lembaran-lembaran yang sama. Nabi bersabda:

‫ ومن كذب على متعمدا فليتبوء مقعده من‬,‫ ومن كتب عني شيأ غير القرأن فليمحه وحدثوا عني وال حرج‬,‫ال تكتب عني شيأ اال القرأن‬
‫النار‬.

“Janganlah kalian tulis apa yang datang dariku. Barang siapa menulis dariku selain al-qur’an
hendaklah ia menghapusnya. Ceritakan apa yang kalaian dengar dariku, itu tidak mengapa. Tetapi
barang siapa membuat kedustaan atasku secara sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim).

Larangan penulisan hadits tersebut seperti yang sudah kami singgung diatas dalam rangka
menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadis ke dalam
lembaran-lembaran tulisan al-quran, karena mereka menganggap apa yang semua perkataan,
penjelasan, dan perilaku rasul merupakan bagian daripada wahyu, sehingga tidak menutup
kemungkinan akan terjadi pencampur adukan antara qur’an dan hadis.

Sekalipun ada larangan nabi untuk menulis hadis namun ada beberapa sahabat yang memiliki
catatan-catatan hadis seperti:

a. Abdullah bin ‘amr bin Ash, ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya
dibenarkan oleh rasul. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraish
mengkeritiki sikap Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa yang datang dari rasul, mereka
berkata “Engkau menuliskan apa yang datang dari rasul padahal rasul itu manusia yang bisa
saja bicara dalam keadaan marah” kritikan ini kemudian disampaikan kepada rasul, maka
beliau bersabda:

“ Tulislah demi dzat yang diriku berada ditangannya, tidak ada yang keluar darinya kecuali yang
benar.” (HR. Bukhari).

Menurut pengakuannya dia mempunyai kurang lebih seribu catatan hadis yang diterima langsung
dari rasul ketika ia berada disisinya tanpa ada orang lain yang menemani. Dan catatan-catatan ini
kemudian dikenala dengan nama As-sahifah As-sadiqah.

b. Jabir bin Abdillah bin Amr Al-anshari (w 78 H)ia memiliki catatan hadits dari rasulullah SAW
tentang manasik haji. Hadits haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim.catatan ini dikenal
dengan sahifah jabir.

c. Abu Hurairah Ad Dausi (w 58 H) Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al sahifah al
sahihah dan hasil karyanya ini kemudian diwariskan kepada puteranya yang bernama Hammam.

d. Abu Syah (Umar Bin Sa’ad Al Anmari) Seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada rasulullah
agar dicatatkan hadits yang disampaikan beliau ketika berpidato pada peristiwa fathu makkah
sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap salah
seorang penduduk Bani Laits. Kemudian Rasulullah bersabda :

“kalian tuliskan untuk Abu syah”.


Di samping nama nama diatas, masih banyak lagi nama shahabat lainnya yang memiliki catatan hadis
dan dibenarkan oleh rasulullah seperti :Rafi’I Bin Khodij, ‘Amr Bin Hazm, Ali bin Abi Tholib, dan Ibnu
Mas’ud.

2. Masa Sahabat dan Tabi’in.

Menjelang masa akhir hayatnya, Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar tetap berpegang
teguh kepada al-Qur’an dan Hadits sekaligus mengajarkannya kepada seluruh generasi generasi
selanjutnya, sebagaimana beliau bersabda:

“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka(alquran dan hadis), jika kalian berpegang teguh pada
keduanya niscaya tidak akan tersesat.” (HR. Hakim).

Setelah Nabi wafat, Islam mampu mengadakan ekspansi penaklukan besar-besaran, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat beberapa wilayah telah berada di bawah kekuasaan Islam. Arah Syam
meliputi Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon. Irak dikuasai pada tahun 17 H, dan Mesir pada tahun
20 H. Orang Islam menyeberang sungai Efrat sesudah tadinya menaklukkan Persia pada tahun 21 H,
dan sampai di samarkand pada tahun 56 H. Ke arah Barat, melalui jalur Afrika, orang Islam memasuki
Adalusia (Spanyol) pada tahun 93 H. Perbatasan Cina dijangkau orang Islam melalui jalur darat pada
tahun 96 H.

Dengan perkembangan kekuasaan Islam yang begitu luas, maka tidak dapat dielakkan bahwa para
ulama, tak terkecuali ulama Hadis harus segera disebar kedaerah-daerah yang baru ditaklukkan
sebagai penyambung lidah Rasulullah dalam rangka penyebaran agama Islam. Adapun sistem
periwayatan hadis pada masa ini dilakukan melalui dua cara, yakni: Pertama, dengan lafadz
yang masih asli dari Rasulullah. Periwayatan dengan cara ini hanya bisa dilakukan apabila mereka
benar benar ingat dan hafal hadis baik secara lafdzi atau ma’nawi sesuai dengan yang sudah diterima
dari Nabi.

Kedua, dengan maknanya saja namun redaksinya berbeda-beda sesuai dengan perawinya. Hal itu
disebabkan karena mereka tidak mampu mengingat secara persis lafadz aslinya. Periwayatan dengan
cara yang kedua ini bisa diterima karena Rasulullah tidak melarang periwayatan hadis secara
maknawi asalkan kandungan Hadits tersebut sesuai dengan apa yang telah dikehendaki oleh beliau.
Namun, pada masa ini (sahabat dan tabi’in) keadaan masih belum juga berubah. Yakni, masih seperti
kondisi yang ada di zaman Nabi dan mengakibatkan perkembangan Hadis berjalan sangat lamban.
Walaupun demikian bukan berarti mereka (sahabat dan tabi’in) lalai dan mengenyampingkan usaha
pememelihara Hadis, ini terbukti dengan munculnya pusat-pusat studi pembinaan hadis di berbagai
tempat seperti : Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam (Siria), Mesir, Yaman, Khurasan dan
negara-negara lain lain. Berikut ini keterangan lebih lanjut:

a. Madinah:

Madinah dikenal juga dengan Dar al-Hijrah, sebuah tempat dimana Nabi Hijrah untuk selanjutnya
menetap di sana. Sebagai ibu kota kekuasaan Islam di masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, maka kota
ini menjadi pusat penyebaran agama Islam termasuk studi Hadis.

Yang menjadi pusat pembelajaran hadits di kota Madinah adalah , Abu Hurairah, ‘Aisyah Ummul
Mukminin, Abdullah Bin Umar, Abu Sa’id al-Khudri, Zaid Bin Tsabit –terkenal pemahamannya
terhadap al-Qur’an kerena merupakan sekertaris Nabi untuk menuliskan al-Qur’an-, dan lain-lain.
Sedangkan para tabi’in yang menjadi murid di kota ini diantaranya adalah: Sa’id Ibn al-Musayyab,
‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab al-Zuhri, ‘Ubaidillah Ibnu ‘Utbah bin Mas’ud, Salim Ibnu Abdullah bin
Umar, Muhammad al-Munkadir, dan lain-lain.

b. Makkah:

Setelah menaklukan kota Makkah, Rasulullah saw. Menempatkan Mu’az bin Jabal. Sampai-sampai
beliau disebut-sebut sebagai orang yang paling mengerti tentang halal dan haram. Kota ini adalah
tempat yang memiliki peran penting dalam pertukaran kebudayaan dan penyebaran hadis yang
terjadi pada musim haji, dimana umat islam dari segala penjuru melaksanakan ibadah haji sekaligus
menimba ilmu dari para sahabat dan tabi’in untuk kemudian apa yang diperoleh dari kota ini
disebarkan di daerahnya masing masing.

Adapun para sahabat yang membina hadis (guru) di kota ini adalah : Mu’adz bin Jabal, Atab Bin Asid,
Haris bin Hisyam, Utsman bin Talhah, dan Uqbah bin Haris.

Sedangkan murid-murid madrasah ini diantaranya adalah para tabi’in tercatat nama : Ikrimah,
Mujahid Bin Jabir, Atha’ Bin Abi Robah, dan Thowus Bin Kaisan.

c. Kufah:

Banyak sahabat Nabi yang datang ke kota ini, utamanya di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab,
ketika menaklukkan Irak. Kota Kufah dan Bahsrah selanjutnya menjadi pintu gerbang perluasan Islam
ke Khurasan, Persia, dan India.

Adapun para sahabat yang membina hadis di daerah tersebut adalah : Ali bin Abi Thalib, Sa’ad Bin
Abi Waqosh, Sa’id Ibnu Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Abdullah bin Mas’ud. Sahabat yang disebut
namanya terakhir ini telah mengharumkan nama Kufah sebagai kota Islam karena keberhasilannya
menyelenggarakan pengajaran Hadis dan Fiqh.

Sedangkan murid-murid madrasah Kufah diantaranya adalah: Amir bin Syarahil, Sa’id bin Jabir al-
Asasi, Ibrahim an-Nakha’i, Abu Ishaq al-Sabi’i, Abdul malik Ibnu Umar, dan lain-lain.

d. Bashrah:

Sahabat Nabi yang melawat dan tinggal di Bashrah antara lain Anas bin Malik, seorang imam hadis di
sana, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin ‘Abbas, ‘Utbah Ibnu Gazwan, Imron bin Hushain, Abu Barzah
al-Aslami, Ma’qal Ibnu Yasar, Abdurrahman Ibnu Samurah, dan lain-lain.

Sedangkan tabi’in hasil didikan para sahabat di sana antara lain: Hasan al-Bishri, ia sempat berjumpa
dengan limaratusan sahabat Nabi, kemudian Muhammad Ibnu Sirin, Ayyub al-Sakhtiyani, Yunus Ibnu
‘Ubaid, Abdullah Ibnu ‘Aun, ‘Asyim Ibnu Sulaiamn al-Ahwal, dan lain-lain.

e. Syam:

Sebagaimana telah diketahui bahwa Syam adalah wilayah kekuasaan Mu’awiyah ketika ia menjabat
sebagai Gubernur di sana. Sehingga, ibu kota pemerintahannya pun juga ditetapkan di sana. Maka
tidak mengherankan kalau di sana terdapat banyak sahabat Nabi. Konon, Yazid bin Abi Sufyan
pernah menulis surat kepada khalifah Umar bin Khattab agar mengirim ulama untuk mengajari
agama penduduk Syam. Maka diutuslah Mu’adz bin Jabal sebagai salau satu guru madrasah Syam,
selain itu adalah ‘Ubadah bin Shamit, dan Abu Darda’. Sahabat Nabi yang akhirnya menjadi
penduduk Syam antara lain adalah Abu ‘Ubaidah bin Jarah, Bilal bin Rabah, Syuraihil bin Hasan,
Khalid bin Walid, ‘Iyad bin Ghanam, Fadhl bin Abbas bin Abdul Mutallib, dan lain-lain.

Sedangkan tabi’in yang meriwayatkan Hadis dari para sahabat diatas antara lain adalah: Salim bin
Abdillah al-Maharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiamn ad-Darani, dan lain-lain.

f. Mesir:

Orang Islam masuk Mesir pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dengan pimpinan ‘Amr bin
‘Ash. Ia diiringi oleh sahabat dalam jumlah besar.

Sahabat Nabi yang menjadi pembina di kota ini diantaranya adalah: Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,
‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhanni, Kharijah bin Hadzafah, ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, Abdullah bin
Harist, Abu Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.

Sedangkan murid-murid madrasah ini antara lain adalah: Yazid bin Abi Habib, Umar bin al-Harits,
Khair bin Nu’aim, Abdullah bin Sulaiman at-Tawil, Adullah bin Syuraih al-Ghafiqi, dan lain-lain.
Sedangkan Yazid bin Abi Habib adalah orang yang punya pengaruh besar dalam penyiaran Hadis di
sana. Banyak murid berguru kepadanya, seperti al-Laits Ibnu Sa’ad, Abdullah bin Luhai’ah, dan lain-
lain.

g. Yaman:

Sebagaimana telah diketahui bahwa pada masa Rasulullah Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari
telah diutus oleh beliau untuk menjadi ulama di sana guna menyebarkan syiar Islam. Selain kedua
sahabat tersebut masih banyak lagi yang lainnya.

Sedangkan murid-murid mereka diantaranya adalah, Hamam, Wahab bin Munabbah, Thawus
sekaligus anaknya, kemudian Ma’mar bin Rasyid, Abdurrazzaq bin Hamam beserta sahabat-
sahabtnya.

h. Khurasan:

Para sahabat yang terjun langsung kenegara ini sekaligus menjadi guru penduduk daerah ini
diantaranya adalah: Buraidah bin Hushaib al-Aslami, Abu Barzah al-Aslami, Hakam bin ‘Amr al-
Ghaffari, Abdullah bin Khazim al-Aslami, Qasim bin Abbas dan lain sebagainya.

Madrasah Khurasan ini telah berhasil mencetak murid-murid yang terkenal dalam bidang Hadis Nabi
yang tersebar diberbagai wilayah diantaranya adalah:

1) Wilayah Bukhari muncul berbagai murid yang handal dalam bidang Hadis seperti, Isa bin Musa,
Ahmad bin Hafs, Muhammad bin Salam, Abdullah bin Muhammad al-Sandi, Imam Bukhari.

2) Wilayah Samarqandi muncul beberapa nama, yaitu Imam Darimi, Imam Marwazi.

3) Sedangkan di wilayah Qiryab muncul banyak sekali ulama seperti, Muhammad bin Yusuf al-
Qiryabi, Qadli Ja’far al-Qiryabi, dan lain-lainnya.

i. Syiria

Periwayatan di Syiria ini dilakukan oleh Umar Bin Abdul Aziz yang telah membangu hubungan antara
Madinah dan Damaskus. Perawi lain yang bisa diidentifikasi meriwayatkan hadits di Syiria adalah
Mu’adz Bin Jabal, Ubadah Bin As Samit. Kedua orang ini terkenal dengan periwayatan hadits yang
berhubungan dengan bidang Fiqh- dan Abu Darda’.
Demikianlah sejarah perkembangan hadis pada masa rasul, sahabat, dan tabii’n yang mempunyai
karakteristik berbeda pada setiap generasi dalam menyebarkannya dikarenakan perjalanan hadis
pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai hambatan dan persoalan yang tidak sama. Yakni
penyebaran hadis pada masa rasul dan sahabat belum mampu berkembang secara pesat
dikarenakan pelayanan dan perhatian mereka sebagian besar tertuju kepada pemeliharaan dan
penyebaran al-qur’an. Sehingga perhatian serius terhadap hadis nabi dimulai pada masa sahabat
kecil dan tabi’in dimana permasalahan sosial kemasyarakatan yang mereka hadapi semakin
kompleks, sehingga dalam penyelesaiannya membutuhkan petunjuk praktis yang pernah dikerjakan
oleh nabi atau status hukum yang telah diciptakannya. Maka tidak sedikit para sahabat kecil dan
tabi’in menghabiskan waktu, materi, dan tenaga untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis
rasul dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat tinggalnya sudah
mulai bertebaran diberbagai pelosok.

3. Metode Mengajarkan Hadis.

Dalam bab ini akan digambarkan suatu bentuk kegiatan tranformasi Hadis dari seorang guru kepada
muridnya. Akan tetapi perlu diketahui terlebih dahulu bahwa apa yang diterangkan dalam bab ini
hanyalah gambaran yang bersifat global, karena pada priode ini sistim pengajaran yang teratur
belum ditemukan. Sistim belajar mengajar pada waktu itu masih bersifat bebas, yaitu murid bebas
dalam memilih guru tanpa ada peraturan yang mengikat, begitupula sang guru bebas menerima
ataupun menolak murid sesuai dengan keinginannya yang mempunyai dasar tertentu. Dan jenis-
jenis pendidikan dan metode mengajar, namun bukan berarti tidak ada metode-metode lain di luar
itu. Sebab metode-metode yang akan kami sebutkan disini merupakan sisitim belajar-mengajar yang
populer pada masanya. Setelah berakhirnya priode ini (sebelum kodifikasi) motode-metode belajar
mengajar masih tetap digunakan, hanya saja sistemnya lebih disempurnakan dari priode
sebelumnya.

Dalam mengajarkan Hadis, secara umum ada beberapa metode yang populer digunakan pada saat
itu.

a. Mengajarkan Hadis secara lisan

Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad kedua hijri dan berlangsung lama sekali, akan
tetapi dalam lingkup yang sangan sempit. Para murid disaat itu tinggal bersama guru-gurunya dalam
waktu yang lama, dan dengan cara inilah mereka memperoleh Hadis dari para gurunya. Sebagai
contoh:

1) Tsabit bin Aslam al-Bunani, ia menjadi kawan Anas selama empat puluh tahun.

2) Harmalah bin Yahya, menurut al-Dzahabi ia adalah periwayat Ibnu Wahb, sekaligus sahabat
imam Syafi’i

3) Hamid bin Mas’adah, ia menjadi kawan Husyaim

4) Abdullah bin Musa, ia menjadi rawi dari Sa’id bin Abu ‘Arubah

5) Dan lain-lain.

b. Membacakan Hadis dari suatu Kitab.

Metode dengan cara membacakan hadis dari suatu kitab ini terdapat tiga macam:

1) Guru membacakan kitabnya sendiri, sedang murid mendengarkannya.


2) Guru membacakan kitab orang lain, sedang murid mendengarkannya.

3) Murid membacakan suatu kitab, sedang guru mendengarkannya.

c. Metode tanya-jawab.

Sistim atraf (menuliskan pangkal Hadis saja) juga dipakai dalam pengajaran Hadis dengan metode
tanya-jawab, di mana murid membacakan pangkal dari suatu Hadis, kemudian gurunya meneruskan
Hadis itu selengkapnya. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sirin. Ia berkata “Saya bertemu Abidah
dengan membawa kitab atraf Hadis, lalu kutanyakan hal itu kepadanya”

d. Metode imla’

Pada mulanya, metode ini kurang relevan dalam mempelajari Hadis. Sebab murid dapat saja
memperoleh Hadis yang banyak dalam waktu yang singkat. Dan barangkali al-Zuhri adalah orang
yang paling banyak mengunakan metode imla’ ini. Namun sejumlah ahli Hadis ada yang tidak suka
apabila ada murud yang menulis pada waktu pelajaran Hadis disampaikan. Misalnya Sulaiman bin
Tarkham, dan Fitr bin Khalifah. Keduanya tidak pernah membiarkan seorangpun menulis
didepannya.

II. PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KODIFIKASI.

Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah pembukuan hadis secara
resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin kepala negara dengan
melibatkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi
pada masa rasulullah SAW. Yang dilakukan secara individu atau untuk kepentingan pribadi. Usaha ini
mulai direalisasikan pada masa pemerintahan kalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan Bani
Umayah), melalui instruksinya kepada walikota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Bin ‘Amr bin
Hazm yang berbunyi “ Tulislah untukku hadis rasullullah SAW. Yang ada padamu melalui hadis
‘Amrah (binti Abdurrahman) sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu.” (riwayat Al-Darimy).

Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada pada dirinya
maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Disamping itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz
juga menulis surat kepada para pegawainya diseluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya sama
dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan mewujudkan
keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri
al-Madani (124H), yang menghimpun hadis dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan
itu kesetiap penjuru wilayahnya. Menurut para ulama, hadis-hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar
bin Hazm masih kurang lengkap, sedangkan hadis-hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri
dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga
tidak sampai kepada generasi sekarang

Para sarjana Hadis, seperti, ‘Ajjaj al-Khatib, Mustafa Husni as-Siba’i, muhammad jamaluddin al-
Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafaf, dan lain-lain, menemukan dokumen yang
bersumber dari imam Malik bin Anas bahwa kodifikasi Hadis ini adalah atas prakarsa Khalifah Umar
bin Abd Aziz dengan menugaskan kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dan Ibnu Hazm untuk
merealisasikannya. Begitu juga Umar bin Abd Aziz menugaskan kepada ulama-ulama lain di berbagai
penjuru untuk ikut serta membantu pelaksanaan kodifikasi Hadis Nabi tsb.
1. Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi.

Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadis pada periode ini dilatar belakangi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kekhawatiran akan hilangnya hadis-hadis nabi disebabkan
meninggalnya para sahabat dan tabi’in yang benar-benar ahli dibidangnya sehingga jumlah mereka
semakin hari semakin sedikit. Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadis
sesuai dengan petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Disamping itu pergolakan
politik pada masa sahabat setelah terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan umat
Islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif
kepada otentitas hadis-hadis nabi dengan munculnya hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat untuk
mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok sekaligus untuk mempertahankan
idiologi golongannya demi mempertahankan madzhab mereka. Demikianlah persoalan yang
menentukan bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah
untuk segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan dan
pemalsuan dengan cara membukukannya.

2. Sistematika Kodifikasi Hadis Pada Abad Kedua.

Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadis priode awal kodifikasi, pada umumnya
para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia
kodifikasi yang relatif masih muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi
dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi
hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama pada periode ini masih
bercampur aduk antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadis
karya ulama-ulama pada masa ini belum di pilah-pilah antara hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’,
dan diantara hadis sahih, hasan dan dha’if. Namun tidak berarti semua ulama hadis pada masa ini
tidak ada yang membukukan hadis dengan lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka
telah mempunyai inisiatif untuk menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai
ide cemerlang mengumpulkan hadis-hadis berhubungan dengan masalah talak kedalam sebuah
kitab. Begitu juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya menghimpun hadis-hadis dari nabi kedalam
sebuah kitab atas instruksi dari Umar bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain hadis nabi SAW saja.”

Kemudian pembukuan hadis berkembang pesat di mana-mana, seperti dikota Makkah hadis telah
dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh Sa’id bin Abi ‘Arubah, Rabi’ bin Shobih,
dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad bin Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu
Amr al-Auza’I dan begitu seterusnya.

3. Masa Pengembangan Sistem kodifikasi Hadis.

Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha mengembangkan sistematika pembukuan
hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha ini kemudian memunculkan ide-ide
untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka
membukukan semata-mata dari hadis rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika
pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khu-susnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan
Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini karena pada periode
sebelumnya, yakni periode tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa
hadis mauquf dan maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis
yang dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih.
Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya.
Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari
yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan
penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya
mereka. Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan
berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub as-sittah yang hanya
memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:

a. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H)

b. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H)

c. As-sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H)

d. As-sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H)

e. As-sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H)

f. As-sunan kitab karya Ibnu Majah (207-273 H)

4. Masa Penyempurnaan Sistem kodifikasi Hadis (abad ke-5 dan seterusnya).

Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari tahun ketahun
semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari para
pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan hadis nabi.
Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam membukukan hadis mulai dari
proses pembukuan yang masih acak hingga berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan
kumpulan hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih
menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya dan menghimpun
hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu
mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh
ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada
pengembangan sistem pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang
sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:

Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:

a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi (384-458 H.)

b. Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).

c. Nailul Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali
as-Syaukani (1172-1250 H).

Kedua, kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, meliputi:

a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry (656 H).

b. Dalil al-Fatihin, sebagai Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu Allan al-Siddiqy
(1057 H).

Ketiga, kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:

a. Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin Suyuthi (849-911 H).

b. Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya sayyid Abdul Ghani.
c. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing

d. Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc

Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan. Dengan demikian hadis nabi telah
melewati perjalanan panjang dalam sejarah pembukuannya sebagai upaya dari tanggung jawab
generasi penerus untuk selalu menjaga dan melestarikan pusaka yang telah diberikan oleh nabi
Muhammad kepada umatnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Demikianlah hadis nabi telah melewati perjalanan panjang, dimana setiap periode mempunyai jasa
begitu besar terhadap penyebaran dan perkembangan hadis sebelum sampai dalam keadaan baik
ketangan kita sekarang ini. Percetakan modern juga ikut berjasa dalam membantu penyebaran
warisan yang agung ini. Oleh karena itu dari pembahasa-pembahasan di atas dapat kita simpulkan
beberapa hal diantaranya:

1. Adanya larangan dan perintah menulis hadis oleh nabi pada priode awal yang terkesan sangat
rancu dan bertolak belakang, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan. Sebenarnya
larangan menulis hadis pada priode nabi bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan
kepada para sahabat pada umumnya. Namun diantara mereka ada yang terpercaya, ada yang baik
hafalannya, dan ada yang bagus tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, rasulullah
memberi izin khusus kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan akan situasi,
kondisi dan sifat pribadi sahabat.

2. Kegigihan para sahabat, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga, melestarikan, dan
menyebarkan dua wasiat yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis sehingga
sampai kepada generasi sesudahnya.

3. Dalam setiap perubahan dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih
sempurna.

4. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan
mengajarkannya kepada generasi-sesuadah kita.

B. Saran

Di penghujung tulisan ini kami berharap semoga kita semua mampu menjaga dan mengamalkan
perintah-perintah agama yang terkandung di dalamnya sehingga kita bisa menjadi orang-orang yang
beruntung dan mendapat petunjuk-Nya.

Anda mungkin juga menyukai